Gender Inequality Faktor Resiko Peningka

Gender Inequality : Faktor Resiko Peningkatan Kasus HIV AIDS pada Ibu

Rumah Tangga
Oleh Amrina Rosyada

Laporan dari Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Ditjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak,
Kementrian Kesehatan RI memberikan laporan yang cukup mengkhawatirkan mengenai perkembangan
kasus HIV-AIDS di Indonesia. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2011 kasus AIDS terbesar terjadi
pada kelompok ibu rumah tangga sebesar 22%. Data tren juga menunjukkan peningkatan kasus AIDS
pada ibu rumah tangga yang signifikan dari tahun 1999-2010 bahkan peningkatan jumlah kasus AIDS
pada ibu rumah tangga lebih tinggi daripada kelompok pekerja seks komersial (Kemenkes, n.d.). Fakta ini
cukup mengkhawatirkan bagi upaya pemberantasan HIV-AIDS terkait terserangnya kelompok ibu rumah
tangga yang selama ini dianggap kelompok yang tidak beresiko dan sekarang kasus AIDSnya melebihi
kasus pada pekerja seks komersial. Hal ini disebabkan ibu rumah tangga yang selama ini digolongkan
kelompok non resiko sehingga penularan HIV serta perkembangannya menjadi AIDS pada kelompok ini
tidak menjadi perhatian serius.
Upaya pemberantasan HIV-AIDS saat ini masih berfokus pada kelompok resiko seperti pekerja
seks komersial, homoseksual, dan pemakai narkoba suntik. Fakta mengatakan bahwa banyak anggapan
perempuanlah sebagai penyebab dan penyebar utama HIV-AIDS, sehingga anggapan masyarakat
terhadap perempuan yang terkena HIV sangat buruk (Van Hollen, 2010; Watkins, 1998). Hal ini sangat
mengkhawatirkan apabila terjadi pada ibu rumah tangga yang pada dasarnya tidak melakukan aktivitas

seks beresiko atau bisa dikategorikan kelompok innocent. Stigma pada mereka akan semakin
memperburuk kejiwaan dan tingkat kesehatan mereka karena pada dasarnya mereka memang kelompok
yang tidak bersalah. Apalagi terkait ibu rumah tangga kurang mendapatkan sentuhan dari program upaya
pemberantasan HIV-AIDS.
Sumber penularan utama HIV-AIDS pada ibu rumah tangga adalah dari pasangan atau suami
mereka sendiri. Berdasarkan data juga disebutkan bahwa heteroseksual merupakan penyebab utama
penyebaran HIV-AIDS. Direktorat jendral CDC dan EH, Kementrian Kesehatan RI menyebutkan kasus
AIDS tertinggi pada kelompok heteroseksual yaitu sebesar 26.158. angka ini sangat signifikan
dibandingkan kelompok beresiko lainnya yang hanya dibawah 10.000 (Kemenkes, 2013). Suami yang
sering menggunakan jasa pekerja seks komersial atau dengan sesama jenis beresiko besar untuk
menularkan HIV-AIDS pada istrinya di rumah apabila terkena HIV AIDS. Hal ini disebabkan
penggunaan kondom pada pasangan suami istri masih jarang dilakukan.

Dari tahun 1987 sejak ditemukan sampai dengan tahun 2011, kasus AIDS sudah menyebar di 368
dari 498 kabupaten/kota di Indonesia atau sekitar 73,9% dari keseluruhan Negara Indonesia(Kemenkes,
n.d.). Kasus HIV-AIDS yang dilaporkan sampai Juni 2013 dari Direktorat jendral CDC dan EH,
Kementrian Kesehatan RI menunjukkan bahwa DKI Jakarta merupakan kota dengan prevalensi HIV
terbanyak dengan jumlah kumulatif kasus sampai dengan Juni 2013 mencapai 24.807 kasus(Kemenkes,
2013; UNICEF, 2012). Apabila dikaitkan dengan kerentanan ibu rumah tangga, ibu rumah tangga di DKI
Jakarta merupakan kelompok beresiko untuk terkena HIV-AIDS. Kelompok ini seharusnya dapat

meningkatkan kewaspadaan terkait perilaku suami yang suka menggunakan jasa pekerja seks komersial
atau sesama jenis.
Perhatian serius terhadap HIV-AIDS pada ibu rumah tangga perlu digalakkan, terkait fakta bahwa
lebih dari 90% kasus HIV pada anak ditularkan melalui ibu (Kemenkes, n.d.). Pemutusan generasi HIV
AIDS dapat dilakukan melalui pendekatan pemberantasan kasus HIV pada ibu rumah tangga. Oleh karena
itulah mengapa ibu rumah tangga seharusnya digolongkan kelompok beresiko sehingga harus dilindungi.
Selain itu juga kasus HIV pada keluarga dapat menimbulkan stigma bahkan diskriminasi dari masyarakat.
Ibu yang terkena HIV-AIDS dan anaknya yang tidak bersalah apa-apa menjadi korban penyakit HIVAIDS dan juga korban stigma dari masyarakat yang menyebabkan kesehatan mereka bertambah buruk
dan depresi berat (“Non-discrimination in HIV responses,” 2010; UNAIDS, 2007). Apabila melihat
dampak ini, membiarkan ibu rumah tangga beresiko tanpa ditangani dapat menyalahi hak asasi dan
kejahatan kemanusiaan. Selain itu, stigma yang didapat ternyata tidak hanya dari masyarakat, dari petugas
kesehatan pun stigma dapat terjadi. Stigma yang berasal dari petugas kesehatan dapat menyebabkan
terjadinya penolakan atau penundaan pencarian pengobatan pada pasien dengan HIV-AIDS sehingga
mempercepat perkembangan HIV menjadi AIDS. Pasien menjadi merasa tidak diinginkan oleh pelayanan
kesehatan, tidak mendapatkan motivasi untuk tetap sehat, merasa dimarahi, dan mendapatkan perlakuan
yang buruk (Rahmati-Najarkolaei et al., 2010). Stigma ini dapat menimbulkan ketakutan pada diri pasien
HIV-AIDS. Ketakutan dapat menimbulkan resistansi terhadap tes HIV, rasa malu untuk mencari dan
melakukan pengobatan, dan dalam beberapa hal keengganan untuk menerima pendidikan tentang HIV
(UNICEF, 2012). Hal ini semua dapat mempersulit pengendalian epidemi HIV-AIDS. Hasil penelitian
juga memperkuat buruknya efek stigma yaitu dapat menyebabkan depresi berat pada penderita yang dapat

menurunkan kualitas hidupnya hingga 2.7 kali lebih rendah dengan confidence interval 1.1-7.7 kali lebih
rendah (Charles et al., 2012). Angka ini mengindikasikan bahwa stigma dapat menurunkan kualitas hidup
seorang pasien HIV hingga 8 kali lebih rendah karena depresi berat. Penderita yang depresi berat akan
menjadi lebih sulit untuk sembuh bahkan menjadi lebih rentan terhadap serangan penyakit lainnya dan
didukung pula imunitas yang berkurang drastis akibat serangan HIV.

υ

Mengapa ibu rumah tangga menjadi rentan terhadap HIV-AIDS ini merupakan pertanyaan yang
sering timbul. Hal ini terkait dengan anggapan bahwa ibu rumah tangga merupakan kelompok tidak
beresiko. Namun, pada kenyataannya kasusnya menyamai bahkan lebih besar dari kelompok beresiko. Isu
ketidaksetaraan gender berperan besar pada rentannya ibu rumah tangga terhadap kasus HIV-AIDS.
Unsur ketidaksetaraaan gender terlihat dalam ketidakberdayaan dalam mengatur perilaku seksual suami
yang tidak aman, tidak mampu bernegosiasi untuk perlindungan dirinya dalam berhubungan seksual,
tidak mampu dalam pengambilan keputusan untuk dirinya dalam hal pemeriksaan, pengobatan yang
harus dilakukan, dan kekerasan terhadap perempuan (E. Greig & Koopman, 2003). Hal ini disebabkan
kurangnya empowerment perempuan dan akar masalahnya adalah pada pendidikan perempuan.
Pendidikan yang rendah dapat menyebabkan kurangnya power untuk mengambil keputusan
terhadap perlindungan dirinya sendiri, cenderung takut, selain itu ketergantungan yang kuat terhadap
finansial pada suami yang menyebabkan ketakutan untuk mengambil keputusan. Hal ini menyalahi hak

asasi perempuan. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara empowerment pada
perempuan dan pencegahan HIV pada nasional dan individual level di Botswana, Afrika. Prevalensi HIV
secara positif berkorelasi dengan faktor tidak langsung yaitu empowerment pada perempuan terkait
tingkat pendidikannya (E. Greig & Koopman, 2003).
Pernikahan dini termasuk salah satu penyebab dari putusnya pendidikan pada perempuan
(UNICEF, 2012). Padahal pendidikan mempunyai banyak dampak positif terhadap perempuan seperti
pengetahuan untuk mengambil keputusan, cara melindungi diri dan keluarga, berpikir kritis dan rasional,
serta dapat secara tidak langsung dapat memperkuat dari sisi finansial. Program pendidikan di Indonesia
masih mengupayakan pendidikan sekolah dasar sesuai indikator dalam Millenium Development Goals.
Pendidikan yang tinggi bagi perempuan belum menjadi prioritas (BAPPENAS, 2012). Kota Jakarta yang
identik dengan kota metropolitan pun tak lepas dari fakta ini. Masih banyak perempuan-perempuan yang
tidak bersekolah dan anak-anak perempuan yang berkeliaran menjadi anak jalanan. Menurut data dari
Pusat Data dan Informasi Kementerian Sosial tahun 2009, jumlah anak jalanan di seluruh indonesia
mencapai angka di atas 80 ribu anak lebih, yaitu 85.013 anak. Kota Jakarta merupakan salah satu propinsi
terbesar yang menjadi ajang para anak jalanan ini mencari peluang mendapatkan uang yaitu sekitar
20.000 anak jalanan pada tahun 2009 (Saniyah, 2010; “Satu Tindakan Sederhana Pada Hari Anak Jalanan
Internasional,” n.d.). Hal ini pun berdampak pada masih maraknya kekerasan pada perempuan dan anakanak terutama kekerasan seksual yang beresiko terhadap serangan HIV-AIDS

φ


Secara singkat skema penjelasan diatas digambarkan sebagai pohon masalah berikut
Kasus HIV AIDS pada
IRT

Tidak dapat melindungi diri dari dampak
perilaku seks beresiko suami

Kurangnya Empowerment
(Pengambilan Keputusan)

Pendidikan yang rendah

Kurangnya kesadaran
pentingnya pendidikan
(Kemauan)

Pernikahan Dini

Tidak adanya biaya
(Kemampuan)


Gambar 1. Analisis Pohon Masalah Kasus HIV-AIDS pada Ibu Rumah Tangga

Program pemberantasan HIV-AIDS harus menambahkan isu gender didalamnya (UNAIDS,
2009). Empowerment pada

ibu rumah tangga dan perempuan sangat penting dilakukan agar dapat

perempuan memiliki kemampuan untuk mengatur dan mengambil keputusan demi perlindungan dirinya
sendiri. Pendidikan perempuan sangat penting. Ibu atau perempuan adalah kunci generasi penerus bangsa
yang berkualitas. Pendidikan perempuan bahkan dapat mengurangi angka-angka kematian dan kesakitan
lainnya seperti HIV, kematian ibu, bahkan kematian anak. Seorang Ibu yang berpendidikan akan
mengetahui banyak hal tentang apa yang perlu dilakukannya untuk dirinya sendiri dan keluarganya
apabila terkait suatu masalah khususnya dalam kesehatan. Dan yang paling penting pendidikan secara
tidak langsung dapat memutus generasi HIV yang ditularkan melalui ibu ke anak. Promosi kesehatan

χ

juga penting terhadap ibu dan juga terhadap suami atau pasangannya untuk lebih aware atau waspada.
Penyampaian pesan penyuluhan ini dapat melalui media-media elektronik atau media massa seperti

halnya juga poster dan gambar yang dapat mempersuasi masyarakat untuk menyadari pesan yang
disampaikan. Contoh poster penyampaian pesan terkait pencegahan HIV-AIDS pada ibu rumah tangga
yang sasarannya merupakan suami atau pasangan.

Gambar 2. Contoh Poster Pencegahan HIV-AIDS (WHO, 2009)
Poster yang dibuat untuk program promosi kesehatan harus disesuaikan dengan sasaran penggunaan
poster. Gambar yang menarik serta kata-kata sederhana yang mudah dipahami menjadi unsur penting
dalam promosi kesehatan menggunakan media poster (WHO, 2009).

ψ

REFERENSI
BAPPENAS. (2012). Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium di Indonesia 2011. Jakarta:
Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(BAPPENAS).
Charles, B., Jeyaseelan, L., Pandian, A. K., Sam, A. E., Thenmozhi, M., & Jayaseelan, V. (2012).
Association Between Stigma, Depression and Quality of Life of People Living with HIV/AIDS
(PLHA) in South India- a community based cross sectonal study. BMC Public Health, 12, 463.
E. Greig, F., & Koopman, C. (2003). Multilevel Analysis of Women’s Empowerment and HIV
Prevention: Quantitave Survey Results from a Preliminary Study in Botswana. AIDS and Behaviour ,

7.
Kemenkes. (n.d.). Factsheet HIV.
Kemenkes. (2013). Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia .
Non-discrimination in HIV responses. (2010). In 26th meeting of the UNAIDS programme coordinating
Board. UNAIDS.
Rahmati-Najarkolaei, F., Niknami, S., Aminshokravi, F., Bazargan, M., Ahmadi, F., Hadjizadeh, E., & S
Tavafian, S. (2010). Experinces of Stigma in Helathcare Settings Among Adults Living with HIV in
the Islamic Republic of Iran. Journal of The International AIDS Society, 13, 27.
Saniyah, N. (2010). Kementerian Sosial RI - 1200 Anak Jalanan Bertatap Muka dengan Menteri Sosial.
Retrieved from http://www.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=print&sid=15136
Satu Tindakan Sederhana Pada Hari Anak Jalanan Internasional. (n.d.). Retrieved from
http://www.sahabatanak.org/index.php/in/media/media-umum/244-satu-tindakan-sederhana-padahari-anak-jalanan-internasional.html
UNAIDS. (2007). Reducing HIV Stigma and Discrimination: a critical part of national AIDS
programmes. Geneva: WHO Press.
UNAIDS. (2009). Agenda for Accelerated Country Action for Women, Girls, Gender Equality, and HIV.
UNICEF. (2012). Ringkasan Kajian Respon terhadap HIV/AIDS.
Van Hollen, C. (2010). HIV/AIDS and the Gendering of Stigma in Tamil Nadu South India. Cult Med
Psychiatry, 34, 633–657.
Watkins, B. (1998). Women, AIDS, and Theatre: Representations and Resistance. Journal of Medical
Humanities, 19.


ω

WHO. (2009). Integrating Gender into HIV/AIDS programme in the Health Sector . Geneva: World
Health Organization (WHO) Press.

ϊ