Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam K

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang paling
tinggi derajatnya dan telah menjadi kodrat bahwa manusia yang berlainan jenis
kelamin akan memiliki teman hidup dan melangsungkan perkawinan, dengan
maksud untuk membentuk rumah tangga dan memperoleh keturunan.
Perkawinan bertujuan untuk menciptakan sebuah keluarga yang bahagia,
kekal, sejahtera lahir dan batin serta damai. Perkawinan akan menyebabkan
adanya akibat-akibat hukum antara suami istri, sehingga berpengaruh pula
terhadap hubungan keluarga yang bersangkutan. Hubungan kekeluargaan ini
sangat penting, karena ada sangkut pautnya dengan hubungan anak dan orang tua,
pewaris, perwalian serta pengampuan.1 Melalui perkawinan akan timbul ikatan
yang berisi hak dan kewajiban, misalkan kewajiban untuk bertempat tinggal yang
sama, setia kepada satu dan lainnya.
Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Pasal 1 disebutkan bahwa,
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Suatu perkawinan merupakan perwujudan ikatan lahir dan batin. Ikatan
lahir tercermin adanya akad nikah, sedangkan ikatan batin adanya perasaan saling

mencintai dari kedua belah pihak. Walaupun demikian dalam keadaan-keadaan
tertentu, lembaga perkawinan yang berasaskan monogami dalam Undang-Undang
No. 1 tahun 1974 Pasal 3 menyebutkan bahwa :
(1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan dapat memberi izin pada seorang suami untuk beristri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Anak perlu mendapat perlindungan hukum demi menjamin hak-haknya.
Anak merupakan aset negara yang paling penting untuk diperhatikan, dimana
kepadanyalah digantungkan segala harapan bangsa di masa yang akan datang.
1 Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 2000), h. 93

2

Karena itu perhatian yang besar sudah sepantasnya diberikan dalam rangka menyongsong hari esok
yang lebih baik. Anak-anak perlu diberikan pendidikan, kesehatan, dan perhatian kasih sayang di
samping kebutuhan sandang dan pangan yang baik, agar dapat mengembangkan pribadinya secara
benar.
Tanggung jawab terhadap pemeliharaan anak adalah tanggung jawab semua pihak

(pemerintah, masyarakat dan keluarga). Keluarga, dalam hal ini orang tua adalah pihak pertama dan
utama yang bertanggung jawab terhadap pemeliharaan anak, yang tersebut dalam UU No. 4 tahun
1979 tentang Kesejahteraan Anak. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa poligami itu dapat
membawa akibat buruk terhadap perkembangan kehidupan anak. Karena itu diperlukan adanya
aturan-aturan hukum yang jelas mengenai perlindungan orang tua terhadap anak dalam perkawinan
poligami.
Dalam UU No. 1 tahun 1974 ditentukan bahwa suami dibolehkan untuk berpoligami,
apabila ada alasan-alasan yang membenarkan suami berpoligami, seperti istri cacat fisik dan mental
atau istri mandul, sehingga tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai istri. Selain itu suami harus
memenuhi syarat-syarat antara lain, memperoleh izin dari istri pertama, adanya kepastian hukum
bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup anak-anak serta harus ada jaminan bahwa suami
akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Tetapi poligami tetap terjadi walaupun tanpa
izin, sehingga tidak sedikit juga dijumpai anak-anak dari hasil perkawinan poligami yang secara
benar sangat kurang mendapat perhatian kasih sayang orang tua, kurang dan bahkan tidak mendapat
pendidikan serta ada yang mengalami rasa frustasi, yang sebagian besar disebabkan ayahnya
berpoligami. Oleh karena itu, untuk melihat pelaksanaan dalam prakteknya maka sangat perlu
dilakukan penelitian terhadap masalah anak dalam keluarga poligami, dengan judul “Perlindungan
Hukum Terhadap Anak dalam Keluarga Poligami, Ditinjau Dari Undang-Undang No. 1 Tahun
1974”.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan menjadi beberapa rumusan,
yaitu :
1.

Apa yang dimaksud dengan poligami dan apa saja yang dapat dijadikan alasan untuk dapat

2.
3.

melakukan poligami ?
Bagaimana kedudukan anak dalam hukum ?
Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak dalam keluarga poligami ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :

3

1.


Untuk mengetahui pengertian poligami dan alasan-alasan apa sehingga poligami itu dapat

2.
3.

dilakukan.
Untuk mengetahui kedudukan anak dalam hukum.
Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak dalam keluarga poligami.

4

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Perkawinan
Telah menjadi kodrat alam manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya di dalam
suatu pergaulan hidup sejak dilahirkannya. Hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita
yang memenuhi syarat-syarat tertentu disebut perkawinan. Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Pasal
1 menyebutkan, “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari definisi tersebut, ada beberapa pengertian yang

terkandung di dalamnya, yaitu :
a) Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri.
b) Ikatan lahir batin dan ditujukan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, kekal
c)

dan sejahtera.
Dasar ikatan lahir batin dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan pada Ketuhanan Yang
Maha Esa.2
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yang pengertiannya adalah suatu

akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang pria dan wanita, guna menghalalkan
hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhaan untuk
mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman,
dengan cara-cara yang diridhai Allah.3
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 4 menyebutkan perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat 1,
dimana disebutkan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya”.4
Masalah perkawinan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, tidak dapat lepas dari
masalah seks dan hubungan seksual antara laki-laki dengan wanita, sebab perkawinan merupakan

lembaga yang mengatur hubungan seksual tersebut agar sah dan halal. Manusia normal tentu saja
berpendapat bahwa perkawinan yang dilaksanakan untuk mengesahkan dan menghalalkan
hubungan biologis, serta untuk mendapatkan keturunan yang sah.

2 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: CV. Zahir Trading Co., 1975), h. 11
3 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1999), h. 15
4 Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Cet. II; Jakarta:
Gema Insani Press, 2002), h. 78

5

Allah swt. telah mensyariatkan perkawinan dengan kebijaksanaan yang tinggi dan tujuan
yang mulia, serta merupakan jalan yang bersih untuk melanjutkan keturunan dan memakmurkan
bumi. Perkawinan merupakan sarana untuk mewujudkan ketenangan jiwa dan ketentraman hati,
menjaga kesucian diri dari perbuatan keji sebagaimana juga menjadi kenikmatan, kebahagian hidup,
sarana untuk membentengi diri agar tidak jatuh pada jurang kenistaan, serta penyebab perolehan
keturunan yang saleh, dan yang akan mendatangkan kemuliaan bagi manusia untuk kehidupannya
di dunia dan sesudah meninggal.5 Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 3 disebutkan bahwa
perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah wa
rahmah.6

B. Poligami
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, dimana kata ini merupakan penggalan kata poli
atau polus, yang artinya “banyak” serta kata gamein atau gamos yang artinya kawin. Poligami atau
mempunyai beberapa orang istri pada saat yang sama. Menurut ajaran Islam, perkawinan semacam
ini walaupun diperbolehkan tetapi tidak dianjurkan dilaksanakan.7
Dalam Islam, poligami mempunyai arti yaitu perkawinan yang lebih dari satu dengan
batasan, dimana umumnya dibolehkan hanya sampai empat wanita. Walau ada juga yang
memahami ayat tentang poligami dengan batasan lebih dari empat atau bahkan lebih dari sembilan
istri. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan dalam memahami dan menafsirkan surah an-Nisa
ayat 3 sebagai dasar penetapan hukum poligami. 8 Dengan kata lain, poligami ialah mengamalkan
beristri lebih dari satu, yaitu dua, tiga atau empat. 9 Hal ini juga disebutkan dalam Kompilasi Hukum
Islam Pasal 55 ayat 1 bahwa “beristri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas
hanya sampai empat orang istri”.
Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 baik pasal demi pasal maupun penjelasannya
tidak ditemukan pengertian poligami, meski pada Pasal 3 ayat 2 menyatakan bahwa “Pengadilan
dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang, apabila dikehendaki
oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Para ahli mengatakan bahwa dengan adanya pasal ini, maka
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 menganut asas monogami terbuka, sehingga tidak tertutup
kemungkinan dalam keadaan terpaksa suami melakukan poligami yang sifatnya tertutup atau


5 Musfir Aj-Jahrani, Poligami dari Berbagai Persepsi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 15
6 Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, h. 78
7 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Untuk IAIN,STAIN,PTAIS), h. 113
8 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, h. 84
9 Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga, (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), h. 19

6

poligami yang tidak begitu saja dapat dibuka tanpa pengawasan hakim.

10

Dengan demikian,

poligami baru boleh dilakukan apabila terdapat beberapa sebab, diantaranya :
(i) Apabila suami mempunyai dorongan nafsu syahwat yang berkekuatan luar biasa, sehingga si
istri tidak sanggup lagi memenuhi keinginannya.
(ii) Istri yang dalam keadaan uzur atau sakit, sehingga tidak dapat lagi melayani suaminya.
(iii) Bertujuan untuk membela kaum wanita yang sudah menjadi janda, karena suaminya gugur
dalam berjihad fisabilillah.

(iv) Menyelamatkan kaum wanita yang masih belum berpeluang berumah tangga, supaya tidak
terjerumus ke lembah dosa.11
Orang yang beragama Islam menurut hukum Islam boleh mempunyai istri sebanyak dua,
tiga dan empat, tetapi setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 sudah semakin sukar.
Ini karena pemerintah telah ikut campur dalam menentukan keinginan suami yang ingin melakukan
perkawinan dengan seorang wanita sebagai istri kedua, ketiga, atau keempat. Dengan demikian,
setiap suami harus mempunyai alasan yang dapat diterima oleh undang-undang agar dapat
berpoligami. Ini berarti bahwa poligami sekarang sudah dipersulit. 12 Seorang suami yang ingin
kawin dengan seorang janda karena merasa kasihan terhadap anak janda yang tidak mempunyai
ayah lagi, tidak dapat menjadikannya alasan untuk kawin kedua kalinya. Alasan pertimbangan
kemanusiaan itu tidak dapat diterima oleh Undang-Undang No. 1 tahun 1974.
Alasan yang dapat dijadikan dasar oleh seorang suami untuk melakukan poligami telah
ditentukan dalam Undang-Undang No. 1 tahun 197413, yaitu :
a) Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
b) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Di samping alasan-alasan di atas, masih diperlukan syarat-syarat lain seperti dalam
penjelasan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Pasal 4 dan 5 yang harus dipenuhi. Dalam hukum
Islam, poligami dibenarkan dengan syarat dapat berlaku adil di antara istri-istri, dalam rangka
melindungi wanita sebagai kaum ibu serta untuk menghindari perzinahan, dimana bukan sematamata untuk kepentingan lelaki, tetapi juga untuk kepentingan kaum wanita dan masyarakat.

C. Hak-Hak Anak Dalam Undang-Undang
Kata anak mengandung banyak arti, apalagi jika diikuti dengan kata lain, misalnya anak
turunan, anak kecil, anak negeri, anak sungai dan sebagainya. Yang menjadi perhatian dalam
10 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-Undangan Hukum Adat,
Hukum Agama, (Bandung: Mandarmaju, 1990), h. 32
11 Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga, h. 19
12 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-Undangan Hukum Adat,
Hukum Agama, h. 32

13 Christine ST. Kansil, Pengantar Ilmu dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 213

7

penelitian ini adalah pengertian anak dalam hukum keperdataan, terutama dalam hubungannya
dengan keluarga, seperti anak kandung (laki-laki dan wanita), anak sah dan anak tidak sah, anak
sulung dan anak bungsu, anak tiri dan anak angkat, anak pungut, anak haram dan sebagainya.14
Sehubungan dengan uraian di atas, pengertian anak secara konstitusional dapat dilihat
dalam Konvensi Hak-Hak Anak Pasal 1 yang diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan BangsaBangsa pada tanggal 20 November 1989 yang menyebutkan, “Anak adalah setiap orang yang
berusia di bawah 18 tahun”. Sementara itu, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 330
menyatakan bahwa :

“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak
lebih dari dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap
dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Mereka
yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orangtua, berada di bawah perwalian
atas dasar dan dengan cara sebagaimana diatur dalam bagian ketiga, keempat, kelima dan
keenam bab ini”.
Menurut isi pasal di atas, maka dapat diketahui bahwa anak adalah individu yang belum berumur 21
tahun. Terdapat pembatasan yang tegas tentang seseorang telah dewasa atau belum dewasa.
Kedudukan anak dalam pengertian Islam adalah merupakan titipan Allah swt. kepada
kedua orangtua, masyarakat, bangsa dan negara, sebagai pewaris dari ajaran Islam dan kelak akan
memakmurkan dunia sebagai rahmatan lil alamin. Pengertian ini memberikan hak atau melahirkan
hak anak yang harus diakui, diyakini dan diamankan sebagai implementasi amalan yang diterima
oleh anak dari orangtua, masyarakat, bangsa dan negara.
Hak-hak anak yang mutlak dalam dimensi akidah dan pandangan kehidupan agama Islam,
terdiri dari :
1.

Hak untuk melindungi anak ketika masih berada dalam kandungan atau rahim ibunya dan hak
untuk disusui selama dua tahun (firman Allah swt. dalam Q.S. Al-Baqarah: 233)

2.

Hak untuk diberi pendidikan, ajaran, pembinaan, tuntutan dan akhlak yang benar (firman Allah
swt. dalam Q.S. Al-Mujadilah: 11)

3.

Hak untuk mewarisi harta kekayaan milik kedua orangtuanya (firman Allah swt. dalam Q.S.
An-Nisa: 2 dan 6

4.

Hak untuk mendapatkan nafkah dari orangtuanya (firman Allah swt. dalam Q.S. Al-Qashas: 12)
Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Pasal 45 diatur mengenai hak dan kewajiban

antara orangtua dan anak, yang berbunyi :
(1) Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
14 Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 1992), h. 83

8

(2) Kewajiban orangtua yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini berlaku sampai anak itu kawin
atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua
orangtua putus.
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 juga memberikan perlindungan kepada anak di bawah umur dari
tindakan orangtua yang merugikannya. Dalam Pasal 48 dinyatakan :
“Orangtua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggandakan barang-barang tetap yang
dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.”
Maksud ketentuan tersebut adalah untuk menjaga kelangsungan hidup dan terjaminnya harta benda
anak, yang merupakan tumpuannya di masa depan.
Kepentingan anak harus didahulukan dari kepentingan orang dewasa, dan ini merupakan
tanggung jawab orangtua, masyarakat, bangsa dan negara. Diharapkan ada kerjasama yang baik
antara pihak-pihak di atas dalam upaya mensejahterakan anak, karena tidak mungkin hal tersebut
dipikul sendiri oleh orangtuanya. Untuk menjamin terselenggaranya pemenuhan hak-hak anak,
maka peranan keluarga (orangtua), sekolah dan masyarakat sangat menentukan terwujudnya secara
nyata hak-hak anak dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.15
Pada umumnya hubungan anak dengan keluarga sangat tergantung dari keadaan sosial
dalam masyarakat yang bersangkutan, khususnya sistem keturunan. Di Indonesia ini terdapat
persekutuan-persekutuan yang susunannya berlandaskan tiga macam garis keturunan, yaitu garis
keturunan ibu, garis keturunan bapak serta garis keturunan bapak dan ibu. Dalam persekutuan yang
menganut garis keturunan bapak dan ibu, maka hubungan anak dengan keluarga dari pihak bapak
ataupun keluarga dari pihak ibu sama eratnya atau derajatnya.
D. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Undang-Undang
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hakhaknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.16
Kegiatan perlindungan anak sebagai tindakan hukum yang membawa akibat hukum. Oleh
karena itu, perlu jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak tersebut. Kepastian hukum perlu
diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang
membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak.17

15 Yusuf Thaib, Pengaturan Perlindungan Hak Anak dalam Hukum Positif, (Jakarta: BPHN, 1984), h. 132
16 Hadi Setia Tunggal, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, (Harvarindo,
2003), h. 5
17 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta: Akademi Pressindo, 1989), h. 19

9

Ditinjau secara garis besar, perlindungan anak dapat dibedakan dalam dua pengertian, yaitu
:
a.
b.

Perlindungan anak yang bersifat yuridis, meliputi perlindungan dalam :
(i) Bidang Hukum Publik
(ii) Bidang Hukum Keperdataan
Perlindungan yang bersifat non yuridis, meliputi perlindungan :
(i) Bidang Sosial
(ii) Bidang Kesehatan
(iii) Bidang Pendidikan18

Perlindungan anak yang bersifat yuridis di atas menyangkut semua aturan hukum yang mempunyai
dampak langsung bagi kehidupan seorang anak, dalam arti semua aturan hukum yang mengatur
kehidupan anak.
Masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk
melindungi anak-anak Indonesia, oleh sebab itu masalahnya tidak semata-mata bisa didekati secara
yuridis, tetapi perlu pendekatan yang lebih luas, yaitu ekonomi, sosial dan budaya. 19 UndangUndang No. 4 tahun 1979 Pasal 9 menyebutkan bahwa orangtua yang pertama-tama bertanggung
jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak, baik secara fisik, jasmani maupun sosial. Kewajiban
untuk memelihara dan mendidik anak berlangsung sejak anak dilahirkan sampai anak dapat berdiri
sendiri atau dewasa, meskipun perkawinan kedua orangtua putus.20 Agar anak menjadi anak yang
baik, maka kedua orangtua dituntut untuk memberikan pengawasan dan pelayanan yang sebaikbaiknya kepada anak.
Pemeliharaan dan penjagaan anak menurut para ulama merupakan tanggung jawab seorang
ibu (jika anak lelaki sampai berumur tujuh tahun dan anak wanita sampai ia mencapai usia
pubernya). Pada umur yang ditentukan ini, ayah hanya merupakan penjaga yang menjamin
kesejahteraan anak-anaknya. Bila ayah meninggal, maka penggantinya menjadi penjaga anak-anak
yang sah. Sekalipun anak-anak berada dalam perawatan ibu, namun ayah tidak boleh mengabaikan
tanggung jawabnya dalam mengawasi anak-anak yang diasuh ibunya. 21 Anak yang masih di bawah
umur tujuh tahun belum dapat dipisahkan dari ibunya, karena rasa kasih sayang dengan ibu begitu
melekat. Bila anak yang masih di bawah umur tujuh tahun dipisahkan dengan ibunya, akan
mempengaruhi pertumbuhan fisik dan mental anak yang bersangkutan. Meskipun anak berada

18 Irma Setyowati Soemitro, Aspek hukum Perlindungan Anak, h. 13
19 Bismar Siregar dkk., Hukum dan Hak-Hak Anak, (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 22

20 Mohd. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dari Segi Hukum
Perkawinan Islam, (Jakarta: In-Hilco, 1986), h. 47
21 Abdur Rahman I. Doi, Perkawinan dalam Syariat Islam, h. 147

10

dalam pangkuan ibu, baik dalam perkawinan monogami maupun poligami, ayah tetap tidak lepas
dari tanggung jawabnya untuk menanggung nafkah demi kelangsungan hidup anak.
Kitab Undang-Undang Hukum (KUH) Perdata Pasal 298 juga menyebutkan :
“Bapak dan ibu wajib memelihara serta mendidik anak-anak mereka yang belum dewasa,
walaupun hak untuk memangku kekuasaan orangtua atau hak untuk menjadi wali hilang,
tidaklah mereka bebas dari kewajiban untuk memberi tunjangan yang seimbang dengan
penghasilan mereka untuk membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak”.
Ketentuan tersebut menekankan kepada kedua orangtua untuk memelihara dan mendidik anak yang
masih di bawah umur. Menurut Ketentuan Hukum Perdata, anak dinyatakan sudah dewasa apabila
sudah mencapai umur 21 tahun, yang berarti anak di bawah 21 tahun belumlah dewasa dan masih
menjadi tanggung jawab orangtuanya dalam melakukan pemeliharaan dan pendidikannya.
Ketentuan dalam KUH Perdata berbeda dengan yang diatur dalam Undang-Undang No. 1
tahun 1974. Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974, kewajiban orangtua memelihara dan
mendidik anak-anaknya sampai kawin dan dapat berdiri sendiri. Ini berarti walaupun anak telah
kawin, jika kenyataannya belum dapat berdiri sendiri maka tetap merupakan kewajiban orangtua
untuk memelihara anak, istri dan cucunya. Sementara dalam KUH Perdata anak dipelihara orangtua
hanya sampai dewasa (berumur 21 tahun).22
Kewajiban selanjutnya dari orangtua terhadap anak sebagai tanggung jawabnya, yaitu
“Orangtua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar
Pengadilan”. Pernyataan ini terdapat dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Pasal 47 ayat 2.
Dalam melakukan perbuatan hukum, anak dipertanggungjawabkan kepada orangtuanya. Apabila
orangtua menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan anak, kekuasaan orangtua dapat dicabut,
dengan demikian orangtua tidak dapat mewakili kepentingan anak baik di dalam maupun di luar
pengadilan.
Orangtua yang terbukti melalaikan tanggungjawabnya sebagaimana termaksud dalam
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Pasal 49, yaitu :
(1) Salah seorang atau kedua orangtua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau
lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orangtua yang lain, keluarga anak dalam
garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang
dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal :
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya.
b. Ia berkelakuan buruk sekali.
(2) Meskipun orangtua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban untuk memberi
pemeliharaan kepada anak tersebut.
Pasal ini ditetapkan untuk mencegah agar seorang anak tidak diperlakukan secara sewenangwenang, termasuk oleh orangtuanya sendiri. Demi untuk kepentingan anak, perlu ada pihak yang
22 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-Undangan Hukum Adat,
Hukum Agama, h. 141

11

melindungi jika orangtuanya tidak mampu melaksanakan kewajibannya, baik karena kehendaknya
sendiri maupun karena ketentuan hukum, yang diserahi hak dan kewajiban untuk mengasuh anak.
Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Pasal 41 (b) disebutkan :
“Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan
anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapt memberi kewajiban tersebut pengadilan
dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut”.
Oleh karena itu, seorang anak dapat menuntut pemenuhan kewajiban seorang bapak yang harus
dipenuhi selama anak belum dewasa. Hal ini dikenal dengan istilah ‘nafkah terhutang’. Pelaku
penelantaran anak bisa dituntut secara pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) Pasal 304 yang pada dasarnya menyatakan :
”Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan
sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib
memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”.
Pasal ini dapat diterapkan terhadap orangtua yang melalaikan tanggung jawabnya terhadap anak,
karena secara hukum orangtua harus bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup anak.
Kewajiban orang tua berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban
mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orangtua putus. Kalimat tersebut terdapat
pada Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Pasal 45. Akan tetapi Undang-Undang No. 1 tahun 1974
Pasal 46 menyebutkan bahwa, “Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut
kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan
bantuannya”. Disini terlihat bahwa kedewasaan itu dikaitkan dengan kemampuan untuk membantu
memelihara orang lain, dan hal ini hanya mungkin dilakukan jika orang yang disebut dewasa itu
adalah orang yang hidupnya tidak lagi tergantung kepada orangtuanya.

12

BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan yang berkaitan dengan
perlindungan hukum terhadap anak dalam keluarga poligami, yaitu :
1. Poligami artinya mempunyai beberapa orang istri pada saat yang sama. Dalam Islam, poligami
mempunyai arti yaitu perkawinan yang lebih dari satu dengan batasan, dimana umumnya
dibolehkan hanya sampai empat wanita. Walau ada juga yang memahami ayat tentang poligami
dengan batasan lebih dari empat atau bahkan lebih dari sembilan istri. Hal ini disebabkan karena
adanya perbedaan dalam memahami dan menafsirkan surah an-Nisa ayat 3 sebagai dasar
penetapan hukum poligami.
Alasan yang dapat dijadikan dasar oleh seorang suami untuk melakukan poligami dalam
Undang-Undang No. 1 tahun 1974, yaitu :
a) Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
b) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
2. Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Pasal 45 diatur mengenai hak dan kewajiban antara
orangtua dan anak, yang berbunyi :
- Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
- Kewajiban orangtua yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini berlaku sampai anak itu kawin
atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua
orangtua putus.
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 juga memberikan perlindungan kepada anak di bawah umur
dari tindakan orangtua yang merugikannya. Dalam Pasal 48 dinyatakan :
“Orangtua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggandakan barang-barang tetap yang
dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.”
Maksud ketentuan tersebut adalah untuk menjaga kelangsungan hidup dan terjaminnya harta
benda anak, yang merupakan tumpuannya di masa depan.
3. Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak dalam keluarga poligami belum terlaksana
dengan baik, dimana hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :
a) Faktor perkawinan poligami yang terselubung.
b) Faktor penghasilan suami yang belum mencukupi, sehingga anak-anak kurang terurus,
bahkan terlantar dalam hal pendidikan maupun kebutuhan lainnya.
Pelaksanaan perkawinan poligami yang banyak terselubung (perkawinan di bawah tangan),
mengakibatkan perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang tetap serta anak
yang dilahirkan juga tercatat sebagai anak di luar nikah. Anak di luar nikah hanya mempunyai

13

hubungan perdata terhadap ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang No. 1
tahun 1974).