gusti5yahoo.com ABSTRAK - Upaya Peningkatan Produktivitas Padi Menuju Swasembada Pangan Berkelanjutan

UPAYA PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI MENUJU
SWASEMBADA PANGAN BERKELANJUTAN
1

H. Gusti R Sadimantara1 dan Muhidin1
Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo
gusti5@yahoo.com
ABSTRAK

Padi merupakan komoditi strategis yang dapat memberikan dampak yang serius pada
bidang sosial, ekonomi, maupun politik di Indonesia. Pengadaan padi nasional harus betul-betul
diperhatikan agar tidak terjadi gejolak yang tidak diinginkan. Peningkatan produktivitas padi guna
mewujudkan swasembada pangan secara berkelanjutan, dapat dilakukan melalui: (1) pendekatan
teknis/lingkungan (biotik, abiotik, dan manajemen); (2) perbaikan karakter tanaman (pemuliaan
konvensional, bioteknologi/rekayasa genetik); (3) pemanfaatan sumber daya (varietas) lokal secara
maksimal; (4) penambahan luasan lahan pertanian baru; dan (5) pendekatan sosial budaya.
Produksi pangan tergantung dari berbagai faktor, seperti iklim, tanah, tanaman, sarana produksi,
manajemen dan insentif bagi para petani dalam memproduksi komoditas pangan. Rendahnya laju
peningkatan produksi pangan diduga disebabkan oleh: (1) produktivitas tanaman pangan yang
masih rendah dan terus menurun; (2) peningkatan luas areal penanaman-panen yang stagnan
bahkan terus menurun khususnya di lahan pertanian pangan produktif di pulau Jawa. Upaya-upaya

terpadu secara terkonsentrasi pada peningkatan produksi padi nasional yang terencana mulai
―presisi‖ di sektor hulu – proses (on farm) dan hilirnya perlu dilakukan dengan penekanan pada:
peningkatan produktivitas dan penerapan teknologi bio/hayati organik, perluasan areal pertanian
pangan (padi) dan optimalisasi pemberdayaan sumber daya pendukung lokalnya, kebijakan
tataniaga beras dan pembatasan impor beras, pemberian kredit produksi dan subsidi bagi petani
padi, serta pembatasan konversi lahan pertanian pangan menjadi lahan non-pertanian.
Kata kunci : Berkelanjutan, produktivitas padi, swasembada pangan, teknologi budidaya
PENDAHULUAN
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat berperan dalam perekonomian
nasional melalui sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), penerimaan ekspor,
penyediaan tenaga kerja dan penyediaan pangan nasional. Sektor pertanian juga memiliki
kontribusi dalam memperkuat keterkaitan antar industri, konsumsi dan investasi.
Padi adalah sumber makanan pokok bagi hampir seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena
itu, padi merupakan komoditi strategis yang dapat memberikan dampak yang serius pada bidang
sosial, ekonomi, maupun politik di Indonesia. Sejalan dengan hal tersebut, pengadaan padi
nasional harus betul-betul diperhatikan agar tidak terjadi gejolak yang tidak diinginkan.
Pertumbuhan pembangunan di segala bidang yang pesat terutama industri dan pemukiman
sangat berpengaruh negatif terhadap pengembangan produksi padi, karena menyebabkan terjadinya
alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan sawah menjadi lahan non pertanian atau non sawah
yang dapat mengancam ketahanan pangan nasional. Berdasarkan Data BPS mencatat alih fungsi

lahan pertanian untuk kepentingan lainnya selama 2002 - 2010 rerata 56.000 - 60.000 ha per tahun
yang dapat menjadikan Indonesia mengalami defisit beras dan nilai impor beras akan semakin
meningkat pada tahun-tahun mendatang. Urgensi untuk menyelesaikan ancaman defisit beras
semakin relevan ketika dikaitkan dengan proyeksi pertambahan penduduk pada masa mendatang.
Pada tahun 2025 proyeksi penduduk Indonesia mencapai 273,2 juta orang dengan asumsi rata-rata
pertumbuhan sebesar 1,3 persen per tahun (Bappenas, BPS, dan UNFPA 2005). Untuk bisa
mencukupi kebutuhan pangan pada tahun 2025 tersebut, diperlukan adanya tambahan penambahan
baku sawah seluas 2,66 juta hektar (BPS, 2008). Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka
upaya untuk memperluas baku lahan pertanian menjadi sangat penting dengan memanfaatkan dan
mengelola sumberdaya lahan dan air yang ada.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL SWASEMBADA PANGAN | 51

BPS (2008), menyebutkan bahwa hingga tahun 2025 dibutuhkan penambahan baku sawah
seluas 2,66 juta Hektar. Sehingga untuk mencapai angka luasan tersebut, mulai tahun 2013 yang
lalu mestinya dibutuhkan perluasan sawah seluas 205.000 ha/tahun. Dalam perkembangan
perluasan areal sawah baru, produktivitas akan dapat terlihat maksimal dalam jangka dua sampai
tiga tahun kedepan. Namun untuk lahan sawah yang baru ini masih di bawah standar, asumsi untuk
produktivitas pada kisaran 2,5 ton sampai 3 ton per hektar. Sedangkan untuk peningkatan
produktivitas padi tidak hanya bergantung pada lahan, tetapi juga ketersediaan air, kesuburan

lahan, dukungan penyuluh, dukungan modal, dan sarana produksi.
Upaya memacu pertumbuhan produksi pangan (padi) dengan membuka areal lahan
pertanian baru yang dapat digunakan untuk pertanian produktif adalah potensi lahan pasang surut
dan lahan lebak, serta lahan kering yang sebagian besar belum tergarap secara optimal dengan
disertai penerapan teknologi produktivitas. Selama ini andalan produksi padi nasional berfokus
pada lahan sawah irigasi terutama di pulau Jawa, sedangkan sumbangan lahan kering atau padi
gogo yang tersebar di berbagai pulau di Indonesia masih sangat terbatas. Data terbaru,
menyebutkan Indonesia memiliki lahan kering sekitar 148 juta ha (78%) dan lahan basah (wet
lands) seluas 40,20 juta ha (22%) dari 188,20 juta ha total luas daratan. Keadaan ini merupakan
prospek untuk pengembangan padi lahan kering yaitu padi gogo terutama padi gogo lokal.
Kontribusi padi gogo terhadap produksi padi nasional masih relatif rendah, sehingga
pengembangannya masih terus diupayakan. Produktivitas padi gogo pada tahun 2011 sebesar 3,091
ton ha-1, jauh lebih rendah dibanding dengan produktivitas padi sawah yang mencapai 5.179 ton
ha1. Hal tersebut dikarenakan masih rendahnya mutu benih yang digunakan (Deptan, 2012).
Terkait dengan masalah krisis pangan dunia saat ini dan swasembada pangan di Indonesia,
beberapa komponen utama yang sangat menentukan juga adalah (a) tingkat produksi pangan, (b)
besarnya konsumsi, dan (c) tekanan pertambahan penduduk. Pada dasarnya, inti dari masalah
pangan saat ini adalah karena terjadinya kelebihan permintaan, sementara itu pada waktu yang
bersamaan, akses terhadap pangan terbatas akibat suplai atau stok di pasar yang terbatas atau
akibat daya beli yang rendah.

PERMASALAHAN PRODUKSI PANGAN
Rendahnya laju peningkatan produksi pangan dan terus menurunnya produksi di Indonesia
antara lain disebabkan oleh: (1) produktivitas tanaman pangan yang masih rendah dan terus
menurun; (2) peningkatan luas areal penanaman-panen yang stagnan bahkan terus menurun
khususnya di lahan pertanian pangan produktif di pulau Jawa. Kombinasi kedua faktor tersebut
memastikan laju pertumbuhan produksi dari tahun ke tahun yang cenderung terus menurun. Laju
pertumbuhan produksi pangan (padi) yang tidak mampu mengimbangi laju pertambahan penduduk
sehingga terjadinya pelandaian produksi pada daerah-daerah sentra produksi. Untuk mengatasi dua
permasalahan teknis yang mendasar tersebut perlu dilakukan upaya-upaya khusus dalam
pembangunan pertanian pangan untuk peningkatan produksi guna mewujudkan swasembada
pangan dan ketahanan pangan nasional.
UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI MENUJU SWASEMBADA PANGAN
BERKELANJUTAN
Rendahnya penerapan teknologi budidaya tampak dari besarnya kesenjangan potensi
produksi dari hasil penelitian dengan hasil di lapangan yang diperoleh oleh petani. Hal ini
disebabkan karena pemahaman dan penguasaan penerapan paket teknologi baru yang kurang dapat
dipahami oleh petani secara utuh karena penerapan teknologinya sepotong-sepotong. Seperti
penggunaan pupuk yang tidak tepat, bibit unggul dan cara pemeliharaan yang belum optimal
diterapkan petani belum optimal karena lemahnya sosialisasi teknologi, sistem pembinaan serta
lemahnya modal usaha petani itu sendiri. Selain itu juga karena cara budidaya petani yang

menerapkan budidaya konvensional dan kurang inovatif seperti kecenderungan menggunakan input
pupuk kimia yang terus menerus, tidak menggunakan pergiliran tanaman, kehilangan pasca panen
yang masih tinggi 15 – 20 % dan memakai air irigasi yang tidak efisien. Akibatnya antara lain

52 | PROSIDING SEMINAR NASIONAL SWASEMBADA PANGAN

berdampak pada rendahnya produktivitas yang mengancam kelangsungan usaha tani dan daya
saing di pasaran terus menurun. Rendahnya produktivitas dan daya saing komoditi tanaman pangan
yang diusahakan menyebabkan turunnya minat petani untuk mengembangkan usaha budidaya
pangannya, sehingga dalam skala luas mempengaruhi produksi nasional.
Salah satu indikator kerawanan pangan adalah ketersediaan pangan yang merupakan
fungsi dari produksi pangan. Hingga saat ini produksi bahan pangan kita masih rendah bahkan
terus menurun dari tahun ke tahun. Rata-rata produktivitas tanaman pangan nasional masih rendah,
yaitu Rata-rata produktivitas padi adalah 4.4 ton ha-1 (Purba dan Las, 2002), jagung 3.2 ton ha-1
dan kedelai 1.19 ton ha-1. Jika dibanding dengan negara produsen pangan lain di dunia khususnya
beras, produktivitas padi di Indonesia ada pada peringkat ke 29, Australia memiliki produktivitas
rata-rata 9.5 ton ha-1, Jepang 6.65 ton ha-1 dan Cina 6.35 ton ha-1 (FAO, 1993).
Pada sisi produksi, faktor dominan rendahnya produktivitas tanaman pangan adalah (a)
penerapan teknologi budidaya di lapangan yang masih rendah; (b) tingkat kesuburan lahan yang
terus menurun, (c) eksplorasi potensi genetik tanaman yang masih belum optimal. Terkait dengan

produksi bahan pangan, permasalahan dan tantangan yang masih dihadapi hingga saat ini adalah
meningkatnya alih fungsi lahan pertanian, terutama pertanian tanaman pangan, belum optimalnya
pemanfaatan lahan, rendahnya kualitas sumberdaya manusia pertanian, masih terbatasnya akses
petani terhadap sumberdaya produktif dan infrastruktur pertanian. Keterbatasan permodalan juga
membatasi berkembangnya pengolahan hasil dan penerapan teknologi untuk meningkatkan
produktivitas, kualitas dan nilai tambah dalam rangka meningkatkan daya saing komoditas
tanaman pangan, khususnya padi.
Pada sisi konsumsi, terdapat kecenderungan meningkatnya konsumsi bahan pangan pokok
beras per kapita (konsumsi per kapita 135 kg per tahun) dari tahun ke tahun. Sementara
diversifikasi bahan pangan sumber karbohidrat lain seperti ubi, jagung dan tepung-tepungan, tidak
mengalami peningkatan yang signifikan bahkan cenderung menurun. Penurunan ini terjadi akibat
pola pangan tunggal yang masih bergantung kepada beras dan belum berhasilnya kampanye
diversifikasi bahan pangan.
Tantangan terbesar untuk dapat mengatasi itu semua, khususnya di Indonesia adalah
masih lemahnya kelembagaan petani dan kelembagaan pendukung pertanian, dimana dalam
kenyataannya kurang mendukung keberlanjutan dan efektifitas upaya peningkatan produktivitas
pertanian. Kelemahan ini juga kurang mendukung peningkatan efisiensi usaha, nilai tambah dan
upaya-upaya untuk meningkatkan posisi tawar petani dalam rangka peningkatan daya saing
komoditas pertanian, yang dapat menghambat peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani
termasuk masyarakat perdesaan pada umumnya. Selanjutnya, ketergantungan sektor pertanian

terhadap sektor lain dan adanya otonomi daerah juga menuntut koordinasi lintas sektor dan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang lebih baik dalam upaya pemenuhan
ketersediaan pangan.
Berdasarkan uraian di atas, maka upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk peningkatan
produktivitas padi guna mewujudkan swasembada pangan berkelanjutan, dapat dilakukan melalui:
1.

Pendekatan Secara Teknis
Secara teknis peningkatan produktivitas tanaman dapat dilakukan secara biotik, abiotik dan
manajemen. Secara biotik peningkatan produktivitas dilakukan dengan memanfaatkan komponenkomponen biotik (mikroorganisme), misalnya penggunaan jamur, bakteri, virus, dan lain-lain
dalam menekan hambatan-hambatan yang membatasi produksi tanaman padi. Menurut Yuwono
(2006) terdapat beberapa mikroba tanah yang menguntungkan tanaman, dapat dikategorikan
sebagai biofertilizer atau pupuk hayati.
Secara garis besar fungsi menguntungkan pendekatan peningkatan produktivitas secara
biotik karena komponen mikroorganisme tersebut dapat berperan sebagai: (a) penyedia hara, (b)
peningkat ketersediaan hara, (c) pengontrol organisme pengganggu tanaman, (d) pengurai bahan
organik dan pembentuk humus, (e) pemantap agregat tanah, dan (f) perombak persenyawaan
agrokimia.
Beberapa mikroorganisme tanah dimaksud, yaitu Rhizobium, Azospirillum dan
Azootobacter, Mikoriza, Bakteri Pelarut Fosfat (BPF), dimana bila dimanfaatkan secara tepat dalam


PROSIDING SEMINAR NASIONAL SWASEMBADA PANGAN | 53

sistem pertanian akan membawa pengaruh yang positif baik bagi ketersediaan hara yang
dibutuhkan tanaman, lingkungan edapik, maupun upaya pengendalian beberapa jenis penyakit.
Dengan penggunaan mikroorganisme tersebut akan dapat diperoleh pertumbuhan dan produksi
tanaman yang optimal dan hasil panen yang lebih sehat. Mikroorganisme yang bermanfaat dalam
proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman tersebut sering disebut sebagai biofertilizer atau
pupuk hayati.
Pendekatan abiotik secara umum berkaitan dengan komponen fisik atau kimia, dimana
keduanya dapat mempengaruhi pola fisiologis secara positif atau secara negatif. Faktor-faktor fisik
dimaksud, meliputi kondisi cuaca/iklim (radiasi surya, suhu udara, kelembaban udara, angin, curah
hujan, evapotranspirasi), sedangkan komponen kimia meliputi unsur hara tanah, pH tanah,
ketersediaan air tanah. Keberadaan dua faktor tersebut di lingkungan tumbuh tanaman padi dapat
meningkatkan produktivitas tanaman bila sesuai dengan keinginan atau persyaratan tumbuh
tanaman. Oleh karena itu, dalam sistem budidaya tanaman agar menghasilkan produksi yang
maksimal harus diupayakan komponen abiotik berada pada kondisi yang optimal sesuai yang
dipersyaratkan tanaman, karena bila tidak maka inilah yang akan menghambat pertumbuhan dan
perkembangan serta membatasi produksi tanaman.
Peningkatan Produktivitas lahan dan tanaman dapat dicapai dengan pengelolaan atau sistem

manajemen yang baik dan handal, melalui intensifikasi pertanian, diversifikasi produksi pangan,
kontinuitas produksi pangan, sustainabilitas produksi pangan, ekstensifikasi pertanian, penggunaan
kredit usaha pertanian. Masing-masing alternatif tersebut, harus mengaplikasikan prinsip-prinsip
keteraturan yang efisien dan efektif khususnya dalam penerapan teknik budidaya yang
dipersyaratkan mulai dari persiapan benih, sampai panen dan pasca panen. Dengan demikian,
kualitas sumber daya manusia yang menjadi pengelola dan pelaksana di lapangan sangat
menentukan, termasuk ada tidaknya kelembagaan petani.
Intensifikasi pertanian merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan hasil pertanian
tanpa menambah areal lahan pertanian, melalui penggunaan bibit unggul, pemupukan, irigasi yang
baik, mencegah gangguan hama dsb. Intensifikasi pertanian juga dapat dimaknai sebagai usaha
peningkatan produktivitas tenaga kerja dan sumberdaya alam serta upaya peningkatan keunggulan
daya saing dengan penerapan iptek dan sarana produksi yang efisien.
Diversifikasi produksi pangan adalah upaya memproduksi bahan pangan lebih dari satu
jenis bahan pangan. Indikator diversifikasi pertanian yang lazim digunakan adalah: (1) multiple
cropping index (MCI) yang menunjukkan derajat intensitas tanam, (2) harvest diversity index
(HDI) yang merefleksikan derajat diversifikasi pemanfaatan lahan, dan (3) diversity index (DI)
yang menunjukkan derajat diversifikasi pendapatan. Semakin tinggi nilai ketiga indikator tersebut,
makin tinggi derajat diversifikasi pertanian di tingkat wilayah dan di tingkat usaha tani.
Kontinuitas produksi pangan merupakan suatu strategi dimana lahan tidak pernah diberokan
(fallow system), artinya bahwa petani terus melakukan penanaman secara bergilir sehingga

produksi bahan pangan berlangsung terus menerus. Apabila musim kemarau tiba, petani melakukan
pergiliran tanaman. Pola pergiliran tanaman mempunyai fungsi penting untuk memutuskan siklus
perkembangbiakan hama dan penyakit tanaman, selain juga untuk menekan terjadinya erosi dan
mencegah terkurasnya unsur hara dari dalam tanah. Pergiliran tanaman diperlukan juga untuk
mempertahankan dan memperbaiki sifat-sifat fisik dan kesuburan tanah.
Sustainabilitas produksi pangan yaitu suatu strategis penyediaan bahan pangan yang
melaksanakan prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan, meliputi komponen-komponen fisik, biologi
dan sosio-ekonomi, yang direpresentasikan dengan sistem pertanian yang melaksanakan
pengurangan input bahan-bahan kimia dibandingkan pada sistem pertanian tradisional, erosi tanah
terkendali, dan pengendalian gulma, memiliki efisiensi kegiatan pertanian (on-farm) dan bahanbahan input maksimum, pemeliharaan kesuburan tanah dengan menambahkan nutrisi tanaman, dan
penggunaan dasar-dasar biologi pada pelaksanaan pertanian. Salah satu pendekatan pertanian
berkelanjutan adalah input minimal (low input). Konsep ini mengandung makna bahwa sistem
pertanian memiliki kapasitas internal yang besar untuk melakukan regenerasi dengan menggunakan
sumberdaya-sumberdaya internal.
Sistem ekstensifikasi pertanian merupakan suatu strategi pengadaan beras dengan
melakukan pembukaan lahan-lahan baru untuk dijadikan lokasi penanaman padi yang baru. Antara

54 | PROSIDING SEMINAR NASIONAL SWASEMBADA PANGAN

lain dengan (1) memanfaatkan lahan lebak dan pasang surut termasuk di kawasan pasang surut. 2)

mengoptimalkan lahan tidur dan lahan tidak produktif terutama di luar pulau Jawa.
2.

Perbaikan Karakter Tanaman (Pemuliaan Konvensional, Bioteknologi)
Peningkatan produktivitas tanaman padi melalui perbaikan karakter tanaman dapat
dilakukan melalui pemuliaan konvensional dan biotektologi/rekayasa genetik. Pada umumnya
benih ataupun bibit, sebagai produk akhir dari suatu program pemuliaan tanaman memiliki
karakteristik keunggulan tertentu, mempunyai peranan yang vital sebagai penentu batas-batas
produktivitas dan dalam menjamin keberhasilan budidaya tanaman.
Teknik persilangan yang diikuti dengan proses seleksi dalam pemuliaan tanaman
konvensional merupakan teknik yang paling banyak dipakai dalam inovasi perakitan kultivar
unggul baru, selanjutnya diikuti oleh kultivar introduksi, teknik induksi mutasi dan mutasi spontan
yang juga menghasilkan beberapa kultivar baru.
Upaya perakitan varietas padi di Indonesia ditujukan untuk menciptakan varietas yang
berdaya hasil tinggi dan sesuai dengan kondisi ekosistem, sosial, budaya, serta preferensi
masyarakat. Beberapa varietas unggul baru telah dilepas untuk dibudidayakan oleh petani. Galurgalur hasil persilangan padi gogo dan padi sawah sedang dalam pengujian yang ditujukan untuk
mendapatkan varietas padi produksi tinggi dan toleran kekeringan (Sadimantara, et.al., 2014).
Sejalan dengan berkembangnya kondisi sosial ekonomi masyarakat, varietas yang dirakit pun terus
berkembang.
Padi Tipe Baru (New Plant Type, NPT), juga diharapkan dapat memacu peningkatan
produksi padi.Potensi hasil varietas padi tipe baru mencapai 30 – 50% lebih tinggi daripada
varietas unggul yang telah ada, pada kondisi lingkungan yang ideal.Keunggulan tersebut dapat
ditingkatkan dengan memanfaatkannya sebagai bahan dalam perakitan varietas hibrida. Varietas
hibrida yang dihasilkan diharapkan memiliki produktivitas 15% lebih tinggi daripada NPT asalnya.
Keunggulan tersebut memberi harapan bahwa pelandaian peningkatan produktivitas padi dapat
teratasi.Upaya pemuliaan tanaman padi telah secara nyata meningkatkan produksi padi.
Menerapkan bioteknologi atau rekayasa genetik dalam upaya peningkatan produksi bahan
pangan merupakan salah pendekatan yang sudah banyak terbukti, bahwa tanaman hasil
bioteknologi memiliki produktivitas yang tinggi dan menguntungkan bagi petani, diantaranya
dengan mengurangi biaya produksi, energi dan bahan kimia. Produk rekayasa genetik memiliki
beberapa keuntungan diantaranya: meningkatkan tingkat nutrisi bahan pangan. Gen tertentu dapat
ditambahkan dalam susunan gen padi sehingga padi tersebut setelah dipanen dapat memproduksi
beta-carotene yang dapat diubah oleh metabolisme tubuh manusia menjadi vitamin A. Padi yang
dihasilkan dengan teknologi rekayasa genetika yang bernama ‗golden rice‘ ini berpotensi untuk
mengurangi kekurangn vitamin A sebagai penyebab utama kebutaan dan faktor yang cukup
signifikan terhadap kematian anak-anak di dunia, toleran terhadap cekaman lingkungan. Disamping
itu, padi transgenik lainnya yang telah ada adalah Bt rice yang tahan terhadap hama penggerek
batang, varietas dengan kandungan Fe pada beras yang tinggi, serta upaya memodifikikasi
fotosintesis dari C3 menjadi C4.
Sejak 1996, lebih dari 10 jenis tanaman biotek pangan dan serat, seperti jagung, padi,
kacang kedelai dan kapas, hingga buah-buahan dan sayuran seperti pepaya, terong, dan yang
terbaru kentang, telah disahkan dan diperdagangkan di seluruh dunia. Karakteristik yang
ditawarkan tanaman ini berpengaruh terhadap manfaat yang diberikan kepada para konsumen dan
laju produksi untuk para petani, termasuk toleransi kekeringan,res istensi terhadap hama dan
penyakit, toleransi herbisida, dan nutrisi dan kualitas makanan yang meningkat. Tanaman biotek
berkontribusi terhadap sistem produksi tanaman yang lebih berkesinambungan dan memberikan
ketahanan terhadap tantangan perubahan iklim (climate change).
Mengacu pada laporan tersebut, Amerika Serikat terus memimpin produksi hingga 73,1 juta
hektar. Dengan kenaikan hingga tiga juta hektar - tingkat pertumbuhan sebesar empat persen dibandingkan tahun 2013, AS mencatatkan peningkatan tahunan tertinggi, melampui Brasil, yang
mencatatkan peningkatan tahunan tertinggi selama lima tahun terakhir.
Manfaat utama bioteknologi lainnya, seperti pengentasan kemiskinan dan kelaparan dengan
meningkatkan pendapatan para petani berskala kecil dan miskin akan sumber daya di seluruh dunia.

PROSIDING SEMINAR NASIONAL SWASEMBADA PANGAN | 55

Informasi provisional global selama periode 1996 hingga 2013 menunjukkan kalau tanaman
bioteknologi meningkatkan produksi senilai 133 miliar dolar Amerika; selama periode 1996 hingga
2012, penggunaan pestisida turun drastis sehingga menghemat penggunan bahan-bahan aktif
hingga sekitar 500 kg. Pada tahun 2013 saja, tanaman biotek berhasil menurunkan kadar emisi
karbondioksida yang setara dengan menghapus keberadaan mobil hingga 12,4 juta unit dari jalanan
selama satu tahun.
Temuan-temuan tersebut sesuai dengan hasil meta analisis ketat dari dua ekonom Jerman,
Klumper & Qaim (2014), yang menyimpulkan kalau teknologi modifikasi genetis (GM), rata-rata,
telah menekan penggunaan pestisida kimia hingga 37 persen, meningkatkan hasil panen hingga 22
persen, dan meningkatkan pendapatan petani hingga 68 persen selama 20 tahun, mulai dari tahun
1995 hingga tahun 2014.
Menurut Brooks dan Barfoot, jika 441 juta pangan, pakan, dan serat tanaman biotek dari
tahun 1996 hingga 2013 tidak diproduksi, maka akan terdapat 132 juta hektar lahan tanaman
konvensional yang harus memproduksi jumlah pangan dengan tonase yang sama. Kebutuhan
jumlah lahan yang lebih besar ini bisa saja menyebabkan dampak negatif terhadap keanekaragaman
hayati dan lingkungan karena kebutuhan lahan tanaman yang lebih besar.
3.

Pemanfaatan Sumber Daya (Varietas) Lokal Secara Maksimal
Upaya peningkatan produktivitas padi menuju swasembada pangan melalui pengembangan
padi gogo lokal berdaya hasil dan bermutu tinggi tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya upaya
sinergi dengan program pengembangan yang lain. Aplikasi teknologi inovatif dapat mempercepat
dan mempermudah peningkatan produksi padi dan swasembada pangan. Beberapa aplikasi
teknologi inovatif yang dapat dilakukan antara lain melalui penerapan bioteknologi secara bijak,
perbaikan sistem irigasi dan teknologi produksi yang efisien. Penerapan bioteknologi dapat
mempercepat proses pembentukan varietas padi gogo berdaya hasil dan bermutu tinggi.
Produksi padi di lahan kering akan optimal ketika air tersedia. Penyediaan air dapat
dilakukan melalui perbaikan sistem irigasi sehingga air dapat tersedia sepanjang tahun, terutama
pada lahan sawah. Hasil tinggi merupakan interaksi antara varietas dan lingkungan. Perbaikan
lingkungan dapat dilakukan ketika teknologi produksi berjalan efisien. Teknologi produksi yang
efisien menyebabkan tanaman tumbuh optimal sehingga varietas dapat mencapai angka potensi
hasilnya.
Hal lain yang sangat penting dalam mewujudkan swasembada pangan adalah ―dukungan‖
pemerintah berupa kebijakan yang sangat kokoh dan konsisten memihak petani seperti pemberian
insentif, proteksi dan subsidi yang tepat sasaran, seperti yang telah dilakukan pemerintah di negaranegara maju. Pemerintah tidak boleh membiarkan petani berhadapan langsung dengan pasar global.
Di samping itu, kemudahan akses petani terhadap saprodi, stabilitas harga dan jaminan pemasaran
juga menjadi hal yang penting diperhatikan. Program-program konvensional seperti penurunan laju
pertambahan penduduk dan diversifikasi sumber bahan pangan perlu direvitalisasi bersamaan
dengan pemberdayaan kelembagaan pertanian.
Petani memerlukan proteksi atau perlindungan dari pemerintah diantaranya dengan jalan
mengurangi, mencegah atau bahkan menutup masuknya beras dari luar negeri. Ini akan membuka
peluang pasar untuk beras dalam negeri. Peluang ini dapat dimanfaatkan oleh petani dengan jalan
meningkatkan luas penanaman padi gogo yang memiliki kualitas hasil tinggi dan memiliki
harga tinggi yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan petani perdesaan dan memperkokoh
ketahanan dan kedaulatan pangan.
Harga sarana produksi (saprodi) yang tinggi di tingkat eceran memberatkan petani terutama
petani lahan kering. Pemberian subsidi terhadap saprodi menyebabkan petani dapat memperoleh
saprodi dan mampu mengaplikasikan teknologi produksi yang efisien. Ketika teknologi produksi
yang efisien dapat diaplikasikan oleh petani maka produktivitas padi gogo akan meningkat,
dampaknya produksi padi gogo akan meningkat, sehingga swasembada yang direncanakan dapat
tercapai secara berkelanjutan.
Kemudahan akses petani terhadap saprodi dan pemasaran merupakan kebijakan pemerintah
lain yang harus diperhatikan. Subsidi terhadap petani tidak akan bermanfaat kalau petani kesulitan
memperoleh saprodi. Demikian juga ketika produksi tinggi diperoleh, hasil tidak dapat bermanfaat

56 | PROSIDING SEMINAR NASIONAL SWASEMBADA PANGAN

jika tidak dapat dipasarkan. Oleh karena itu kebijakan pemerintah juga harus menyangkut
kemudahan akses petani terhadap saprodi dan jaminan pemasaran.
Sebuah terobosan telah dilakukan oleh Kementerian Pertanian melalui Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan dengan membentuk Konsorsium Padi dan Kedelai yang
melibatkan lembaga yang bergerak di bidang pertanian. Kegiatan utama konsorsium adalah
percepatan uji multilokasi untuk percepatan pelepasan varietas, termasuk varietas padi gogo. Hasil
dari kegiatan ini salah satunya adalah pelepasan varietas. Dengan dilepasnya suatu varietas maka
diharapkan petani akan mempunyai pilihan untuk menanam varietas yang disukainya.
4.

Penambahan Luasan Lahan Pertanian Baru
Dari sisi perluasan areal lahan tanaman padi ini upaya yang dapat ditempuh adalah: (1)
memanfaatkan lahan lebak dan pasang surut termasuk di kawasan pasang surut (Alihamsyah, dkk,
2002) (2) mengoptimalkan lahan tidur dan lahan tidak produktif. Kedua pilihan tersebut mutlak
harus dibarengi dengan menerapkan teknologi produktivitas mengingat sebagian besar lahan
tersebut tidak subur untuk tanaman pangan.
Luas lahan pasang surut dan Lebak di Indonesia diperkirakan mencapai 20,19 juta hektar
dan sekitar 9,5 juta hektar berpotensi untuk pertanian serta 4,2 juta hektar telah di reklamasi untuk
pertanian (Ananto, E.,2002). Memanfaatkan lahan lebak dan Pasang Surut dipandang sebagai
peluang terobosan untuk memacu produksi meskipun disadari bahwa produktivitas di lahan
tersebut masih rendah. Menjadikan lahan lebak dan pasang surut untuk usaha pertanian harus
didukung dengan teknologi dan infrastruktur yang memadai sehingga luasan lahan ini dapat
menjadi pendukung dan buffer untuk peningkatan produksi dan swasembada pangan.
Lahan kering di Indonesia sebesar 11 juta hektar yang sebagian besar berupa lahan tidur dan
lahan marginal sehingga tidak produktif untuk tanaman pangan. Di Pulau Jawa yang padat
penduduk, rata-rata pemilikan lahan usaha tani berkisar hanya 0,2 ha/KK petani. Namun, banyak
pula lahan tidur yang terlantar. Ada 300.000 ha lahan kering terbengkelai di Pulau Jawa dari
kawasan hutan yang menjadi tanah kosong terlantar. Masyarakat sekitar hutan dengan desakan
ekonomi dan tuntutan lapangan kerja tidak ada pilihan lain untuk memanfaatkan lahan-lahan kritis
dan lahan kering untuk usaha tani pangan seperti padi ladang, jagung dan kedelai serta kacang
tanah. Secara alamiah hal ini membantu penambahan luas lahan pertanian pangan, meskipun
disadari bahwa produktivitas di lahan tersebut masih rendah, seperti jagung 2,5 – 3,5 ton/ha dan
padi ladang 1,5 ton/ha dan kedelai 0,6 – 1,1 ton/ha, tetapi pemanfaatannya berdampak positif bagi
peningkatan produksi pangan.
5.

Pendekatan Secara Sosial Budaya
Pendekatan secara sosial budaya merupakan langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam
menanggulangi krisis pangan melalui upaya-upaya sosial atau tindakan-tindakan yang bermotifkan
sosial ekonomi. Dalam hubungan dengan sistem produksi tanaman, pendekatan sosial budaya
seperti pendidikan petani, kelembagaan, ketersediaan biaya produksi, kemudahan petani
memperoleh kredit dll, sangat menentukan keberlangsungannya atau keberlanjutan usahatani yang
dikembangkan.
KESIMPULAN
Upaya-upaya terpadu secara terkonsentrasi pada peningkatan produksi padi nasional yang
terencana mulai ―presisi‖ di sektor hulu – proses (on farm) dan hilirnya perlu dilakukan dengan
penekanan pada: peningkatan produktivitas dan penerapan teknologi bio/hayati organik, perluasan
areal pertanian pangan (padi) dan optimalisasi pemberdayaan sumber daya pendukung lokalnya,
kebijakan tataniaga beras dan pembatasan impor beras, pemberian kredit produksi dan subsidi bagi
petani padi, pembatasan konversi lahan pertanian pangan menjadi lahan non-pertanian, pemacuan
kawasan sentra produksi dan ketersediaan silo untuk stock pangan sampai tingkat terkecil dalam
mencapai swasembada pangan di setiap daerah. Pengembangan padi hibrida, padi tipe baru,
maupun padi hasil rekayasa genetik diharapkan dapat menjawab permasalahan pangan dimasa yang
akan datang, baik secara kuantitas maupun kualitas. Untuk itu pemacuan peningkatan produksi

PROSIDING SEMINAR NASIONAL SWASEMBADA PANGAN | 57

pangan nasional harus ditunjang dengan kesiapan dana, penyediaan lahan, teknologi, masyarakat
dan infrastrukturnya yang dijadikan sebagai kebijakan dalam swasembada dan ketahanan pangan
nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Alihamsyah T., M. Sarwani dan I. Ar-Riza. 2002. Komponen Utama Teknologi Optimalisasi lahan
Pasang Surut Sebagai Sumber Pertumbuhan Produksi Padi Masa Depan. Makalah
disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002.
Ananto Eko. 2002. Pengembangan Pertanian Lahan rawa Pasang Surut Mendukung Peningkatan
Produksi Pangan. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di
Sukamandi 22 Maret 2002.
Badan Pusat Statistik. 2007. Statistik Indonesia 2006. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Brookes G and Barfoot P., 2012. Global Impact of Biotech Crops: Environmental Effects, 1996-2010, GM
Crops 3: 2 April-June 2012, p 1-9. Available on the worldwide web at
www.landesbioscience.com/journal/gmcrops
Barichello, Rick, 2000. Evaluating Government Policy for Food Security: Indonesia. University of
British Columbia. Berlin.
FAO. 1993. Rice In human Nutrition. Food and Nutrition Series. FAO, Rome .
FAO. 1997. Roma : Report of the World Food Summit, 13-17 November 1996 (Part One).
Gurdev S. khush. 2002. Food Security By Design: Improving The Rice Plant in Partnership With
NARS. Makalah disampaikan Pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di
Sukamandi 22 Maret 2002.
Hasanuddin dan Gonggo, B.M. 2004. Pemanfaatan Mikrobia Pelarut Fosfat dan Mikoriza Untuk
Perbaikan Fosfor Tersedia, Serapan Fosfor Tanah Ultisol dan Hasil Jagung (Pada Ultisol).
Jurnal-jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. http://tumoutou.net/654_5644/.hasanuddin
dangonggohtm. [Diakses pada tanggal 21 Desember 2007].
Internasional Conference of Nutrition [ICN]. 1992. [Nutrition on the world map. The UN
International Conference on Nutrition. http://www. nlm.nih.gov/. April 2012.
Klümper W, Qaim M., 2014. A Meta-Analysis of the Impacts of Genetically Modified Crops.
PLoS ONE 9(11): e111629. doi:10.1371/journal.
OECD & FAO (2007),‖OECD-FAO Agricultural Outlook 2007-2016‖, October, Paris/Roma:
Sekretariat Organisation for Economic Cooperation and Development/Food and
Agricultural Organisation.
Purba S. dan Las I. 2002, Regionalisasi Opsi Strategi Peningkatan Produksi Beras. Makalah
disampaikan pada Seminar IPTEK padi Pekan Padi Nasional di Sukamandi 22 Maret 2002.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2005. Teknologi Pengelolaan Lahan
Kering. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor.
Puslitbangtanak. 2005. Satu Abad Kiprah Lembaga Penelitian Tanah Indonesia 1905-2005. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian.
Sadimantara, G.R., Muhidin, and E. Cahyono. 2014. Genetic Analysis on Some Agromorphological Characters of Hybrid Progenies from Cultivated Paddy Rice and Local
Upland Rice. J. Advanced Studies in Biology 6 (1): 7 – 18.
Santosa, D. 2008. ‖Krisis Pangan 2008‖, Kompas, Opini, 15 Maret, hal. 6.
Sastrapradja, S.D dan E.A. Widjaja. 2010. Keanekaragaman Hayati Pertanian Menjamin
Kedaulatan Pangan. LIPI.
Suryana, A. 2004. Kapita Selekta Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan Pangan. Edisi
2003/2004. BPFE – Yogyakarta

58 | PROSIDING SEMINAR NASIONAL SWASEMBADA PANGAN