Ascariasis di Kalimantan Selatan | Juhairiyah | JHECDs: Journal of Health Epidemiology and Communicable Diseases
JHECDs, 2 (1), 2016, hal. 1-6
Penelitian
Ascariasis di Kalimantan Selatan Ascariasis in South Kalimantan
- *)
Juhairiyah , Liestiana Indriyati Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu, Kementerian Kesehatan RI Kawasan Perkantoran Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan
- Korespondensi:
Tanggal masuk 29 Februari 2016, Revisi pertama 07 Maret 2016, Revisi terakhir 6 Mei 2016, Diterima 23 Mei 2016,
Terbit daring 9 Januari 2017Abstract. Helminthiasis remains a public health problem in Indonesia, one of which is ascariasis caused by Ascaris lumbricoides.
Ascariasis causes a decrease in the immune system and inhibit the development of the child as taking in nutrients needed by the
body, further it can degrade the quality of human. The purpose of research was to get the representation of ascariasis distribution
in South Kalimantan. Observational study with cross-sectional design conducted in thirteen districts of the city of South Kalimantan
Province in 2010 and 2011 divided by forest, wetlands, urban and beach ecosystems. The population are all elementary school
children in South Kalimantan. The samples were elementary school children of the elementary school was selected as a sample.
The selection using purposive sample. The study was conducted by field surveys,that are explanation of informed consent, the
distribution and pot collection parasitological examination of feces and worm eggs directly. The existence of ascariasis spread across
Kalimantan Selatan in both of forest, wetlands, urban and beach ecosystems with the highest prevalence in three districts namely
Tanah Bumbu, Tabalong and Balangan . It’s needed health promotion to increase the awareness of personal hygiene and
environmental sanitation, especially the use of latrines and also continue mass drugs administration in endemic areas.Keywords : helminthiasis, ascariasis, South Kalimantan
Abstrak. Penyakit kecacingan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, salah satunya adalah ascariasis
yang disebabkan oleh cacing Ascaris lumbricoides. Ascariasis menyebabkan penurunan daya tahan tubuh dan menghambat tumbuh kembang anak karena mengambil sari-sari makanan yang dibutuhkan oleh tubuh lebih lanjut dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran sebaran Ascariasis di Provinsi Kalimantan Selatan. Penelitian observasional dengan desain potong lintang dilakukan di tiga belas kabupaten kota Propinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2010 dan 2011 dibagi berdasarkan ekosistem hutan, rawa, perkotaan dan pantai. Populasi penelitian adalah seluruh anak sekolah dasar di Provinsi Kalimantan Selatan. Sampel penelitian adalah anak sekolah dasar yang bersekolah pada sekolah dasar yang terpilih sebagai sampel. Pemilihan sampel sekolah dilakukan secara purposive sampling. Penelitian dilakukan dengan cara survei lapangan yaitu penjelasan informed consent, pembagian dan pengumpulan pot tinja dan pemeriksaan parasitologi telur cacing secara langsung. Keberadaan Ascariasis tersebar di seluruh wilayah Provinsi Kalimantan Selatan baik di ekosistem hutan dan pertambangan, rawa, perkotaan maupun pantai dengan prevalensi tertinggi di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Tanah Bumbu, Tabalong dan Balangan. Diperlukan promosi kesehatan guna peningkatan kesadaran perorangan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan serta sanitasi lingkungan yang buruk khususnya penggunaan jamban keluarga dan pemberian obat kecacingan secara kontinyu di daerah endemis.
Kata kunci : kecacingan, ascariasis, Kalimantan Selatan.
DOI
:
Cara sitasi : Juhairiyah, Indiyati L. Ascariasis di Kalimantan Selatan. J.Health.Epidemiol.Commun.Dis.
(How to cite) 2016;2(1): 1-6.
1 Juhairiyah dan L. Indriyati Ascariasis di Kalimantan Selatan.....
Pendahuluan
dan 2011 di 13 kabupaten/ kota Provinsi Kalimantan Selatan dengan pembagian ekosistem seperti pada Tabel 1. 7 Tabel 1. Karakteristik Wilayah di Provinsi Kalimantan Selatan
13 Banjarmasin Kota, Sungai
12 Banjarbaru Kota
11 Banjar Kota, Sungai
10 Hulu Sungai Utara Rawa, Hutan
9 Hulu Sungai Tengah Rawa, Hutan
8 Hulu Sungai Selatan Rawa, Hutan
7 Kotabaru Pantai,Pegunungan, Hutan
6 Tanah Bumbu Pegunungan, Tambang,Pantai
5 Balangan Hutan,Tambang, Pengunungan
4 Tapin Hutan,Tambang, Pengunungan
3 Tabalong Hutan,Tambang, Pengunungan
2 Batola Rawa
1 Tanah Laut Pegunungan,, Daerah Pesisir
No Kabupaten / Kota Karakteristik Wilayah
sectional). Penelitian dilaksanakan pada tahun 2010
Penyakit kecacingan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Prevalensinya berkisar antara 45-65% hingga 80% pada daerah- daerah tertentu dengan sanitasi yang buruk. Cacing nematoda yang tergolong Soil Transmitted Helminth (STH) adalah golongan terbesar yang menginfeksi manusia, akan tetapi golongan Cestoda dan Trematoda tidak jarang dijumpai. 1,2,3 Salah satu cacing nematoda yang tergolong dalam STH adalah
Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan desain rancangan potong lintang (cross
Metode
kasus diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai dasar untuk menentukan jenis dan pola intervensi yang efektif dan efisien.
ascariasis di Provinsi Kalimantan Selatan. Data
8%, Hookworm 3%, Hymenolepis 1,1% dan Enterobius vermicularis sebanyak 1%. 7 Kasus Ascariasis yang menjadi penyebab kecacingan terbanyak di Kalimantan Selatan, perlu dilakukan pemantauan terhadap kasus kecacingan guna menentukan strategi pencegahan ascariasis. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran sebaran
lumbricoides sebanyak 10% selanjutnya T. trichiura
P2B2 Tanah Bumbu tahun 2008-2009 di 13 kabupaten/ kota di Provinsi Kalimantan Selatan dengan total sampel 1.964 siswa sekolah dasar menunjukkan adanya infeksi kecacingan sebesar 23%. Jenis cacing yang menginfeksi adalah A.
Ascariasis. Hasil survey kecacingan Balai Litbang
Kabupaten Banjar, Kabupaten Barito Kuala (Batola), Kabupaten Tanah Laut (Tala), Kabupaten Tanah Bumbu, Kabupaten Kotabaru, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Kabupaten Balangan, dan Kabupaten Tabalong. Kecacingan intestinal yang terjadi di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan umumnya disebabkan oleh cacing yang biasa menginfeksi penduduk daerah tropis dan subtropik, termasuk
pencegahan maupun penanggulangannya. Provinsi Kalimantan Selatan terdiri dari 13 kabupaten/ kota yaitu Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru,
ascariasis kurang diperhatikan baik dalam
Masyarakat Indonesia menganggap ascariasis merupakan penyakit yang tidak berbahaya, karena tidak menimbulkan dampak kematian. Sebagai penyakit yang diabaikan atau neglected diseases,
frekuensi terbesar pada negara tropis yang lembab dengan angka prevalensi mencapai di atas 50%. 4 Kecacingan umumnya termasuk ascariasis dapat menyerang semua golongan umur dan jenis kelamin namun paling sering ditemukan pada anak usia belum sekolah dan anak sekolah dasar yang berusia 4-10 tahun, dapat menyebabkan penurunan daya tahan tubuh dan menghambat tumbuh kembang anak karena cacing mengambil sari makanan yang dibutuhkan oleh tubuh. 5,6 Kerugian yang diakibatkan oleh Ascariasis lebih lanjut dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia terutama pada anak-anak yang merupakan kelompok rentan terinfeksi kecacingan.
Ascaris lumbricoides yang merupakan penyebab dari ascariasis. Ascariasis ditemukan kosmopolit dengan
Sumber : Profil Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota JHECDs Vol. 2, No. 1, Juni 2016 Populasi penelitian adalah seluruh anak sekolah dasar di Provinsi Kalimantan Selatan. Sampel penelitian adalah anak sekolah dasar (kelas 1-6) pada sekolah dasar yang terpilih sebagai sampel. Pemilihan sampel sekolah dilakukan secara
purposive sampling. Kriteria inklusi adalah anak
29
3.2
6
2.1
4
7.9
15
15.3
1.9 Balangan 190
1.6
5
0.4
1
1.5
4
0.7
2
3
1
8
2.7
Survei tinja yang dilakukan pada tahun 2011 di 7 kabupaten (Kotabaru, HSS, HST, HSU, Banjar, Kota Banjarbaru dan Banjarmasin) dengan jumlah sampel sebanyak 2.307 terdapat 47 anak (2%) yang positif kecacingan. Cacing A. lumbricoides ditemukan menginfeksi anak-anak di Kabupaten
Tahun 2011
5 16 1,2 19 1,4 17 1,3 8 0,6
66
9
0.3 Total 1336 126
1
8
0.5 Tanah Bumbu 294
0.3
1
1.4
4
6.1
18
10.9
32
3.0
7.5
sekolah dasar yang berusia 6 – 15 tahun, tanpa menilai berat badan, status gizi dan jenis kelamin. Pengumpulan data dilakukan dengan cara survei lapangan. Kegiatan yang dilakukan yaitu memberikan penjelasan kepada anak sekolah tentang manfaat keikutsertaan dalam penelitian, pembagian pot tinja yang telah diisi formalin 10% dan lembar penjelasan untuk orangtua murid. Penjelasan berisi tujuan penelitian, cara pengambilan sampel feses, keuntungan dan kerugian, kerahasiaan data bagi responden penelitian serta bahan kontak yang akan diberikan bagi anak sekolah yang bersedia mengumpulkan tinjanya. Lembar penjelasan yang telah ditandatangani orang tua murid dikembalikan bersama pengembalian pot tinja yang telah diisi dengan feses anak murid. Pengembalian/ pengumpulan feses dilakukan keesokan hari hingga 3 hari berikutnya. Pemeriksaan parasit telur cacing dilakukan dengan metode pemeriksaan langsung yaitu tinja sebanyak ±0,2 gr diambil menggunakan osse diletakkan pada kaca benda. Ditambahkan 1-2 tetes larutan garam fisiologis dan diratakan, untuk memberikan warna pada tinja agar telur cacing tampak lebih jelas digunakan 1 tetes lugol 2%. Sediaan selanjutnya ditutup dengan kaca penutup dan langsung diperiksa di bawah mikroskop binokuler dengan perbesaran 10x dan 40x. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif jika ditemukan telur cacing pada spesimen yang diperiksa.
2.8
6
0.0 Batola 200
0.0
0.9
2
0.5
1
6
4
4.7
10
Tanah Laut 214
A. lumbricoides T. trichiura Hookworm E. vermicularis Hymenolepis. n % n % n % n % n % n %
Tabel 2. Sebaran Kasus Kecacingan di 6 kabupaten Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2010 Kabupaten / Kota Jumlah Sampel Kecacingan
Survei kecacingan yang dilakukan tahun 2010, berdasarkan jumlah sampel di 6 kabupaten (Tala, Batola, Tabalong, Tapin, Balangan dan Tanah Bumbu) yaitu sebanyak 1.336, terdapat 126 anak yang positif kecacingan. Jenis cacing yang paling banyak menginfeksi yaitu A. lumbricoides tertinggi di Kabupaten Tanah Bumbu sebanyak 18 anak (6,1%) yang terinfeksi dengan karakteristik wilayah pengunungan, daerah pertambangan (batubara) dan pantai. Jenis cacing yang sedikit ditemukan yaitu Hymenolepis sp. tertinggi terdapat di Kabupaten Tapin sebanyak 8 anak (0,6%) yang terinfeksi dengan karakteristik wilayah hutan, daerah pertambangan dan pegunungan. Gambaran penyebaran kasus kecacingan di 6 kabupaten terlihat pada Tabel 2.
Hasil Tahun 2010
3.0
2.0
20
4
0.6 Tapin 267
1
1.8
3
3.5
6
2.3
8.8
1
15
17.0
29
0.0 Tabalong 171
0.5
1
0.0
0.5
Kotabaru dan HSS, namun tidak ditemukan di Kabupaten HST, HSU, Banjar, dan Kota Banjarmasin. Tidak ditemukan infeksi cacing yang disebabkan oleh Hookworm. Sebaran kasus kecacingan pada tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 3. Juhairiyah dan L. Indriyati Ascariasis di Kalimantan Selatan.....
Tabel 3. Sebaran Kasus Kecacingan di 7 kabupaten Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2011 Kabupaten / Kota Jumlah Sampel Kecacingan
7
2
1
5
2 Banjarbaru 299
3
1
1
2
1 Banjarmasin 362
11
3
2
1 Banjar 290
1
3
1 Total 2307 47 2 11
0.5
18
0.8
6
0.3
12
0.5 Pembahasan Frekuensi ascariasis tertinggi diderita oleh anak- anak sedangkan orang dewasa frekuensinya rendah. Hal ini disebabkan, kesadaran anak-anak akan kebersihan dan kesehatan masih rendah ataupun mereka tidak berpikir sampai ke tahap tersebut sehinga anak-anak lebih mudah terinfeksi telur cacing A. lumbricoides melalui makanan. Faktor host merupakan salah satu hal yang penting karena manusia sebagai sumber infeksi dapat mengurangi kontaminasi ataupun tanah tercemar oleh telur cacing yang berasal dari kotoran manusia. Prevalensi Ascariasis di daerah pedesaan lebih tinggi, hal ini terjadi karena buruknya sistem sanitasi lingkungan di pedesaan, tidak adanya jamban yang menyebabkan tinja manusia tidak terisolasi sehingga telur cacing mudah menyebar. Hal ini juga terjadi pada golongan masyarakat yang memiliki tingkat sosial ekonomi yang rendah, sehingga memiliki kebiasaan buang air besar (defekasi) di tanah, yang kemudian tanah akan terkontaminasi dengan telur cacing yang infektif dan seterusnya akan terjadi reinfeksi pada daerah endemik. 8,9 Pendidikan, pengetahuan dan status ekonomi keluarga juga berperan terhadap risiko infeksi seperti penelitian yang dilakukan di daerah pedesaan dan perkotaan China, India, Pakistan, Nigeria, Brazil, dan Malaysia prevalensi infeksi STH dua kali lebih tinggi pada anak-anak dengan sosial ekonomi rendah. Sebuah studi di Brazil misalnya, menemukan bahwa terdapat 44% anak-anak yang berasal dari keluarga miskin terinfeksi STH dibandingkan dengan anak-anak yang lebih kaya hanya terinfeksi sebesar 22%. Penelitian di pedesaan Nigeria menyebutkan bahwa tingkat infeksi ascariasis tinggi (96%) pada orang tua yang tidak berpendidikan sekolah dasar dan sebanyak 27% anak-anak terinfeksi ascariasis pada orang tua yang pekerjaannya petani dibandingkan dengan pekerja propesional atau pengusaha (11-13%), selain itu juga disebutkan bahwa semakin bertambah usia anak, maka semakin tinggi kasus infeksi. 10,11,12 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu pada anak sekolah dasar, ditemukan kasus ascariasis hampir di semua kabupaten, terkecuali Kabupaten HST, HSU, Banjar dan Kota Banjarmasin. Tidak ditemukannya kasus ascariasis di empat kabupaten tersebut dapat disebabkan oleh 3 faktor yaitu: (1) pada kabupaten HST dan HSU sampel murid sekolah dasar tersebut berada pada ekosistem rawa yang lingkungan hidup para responden berada di atas rawa sehingga kontak fisik dengan tanah sangat jarang. Lingkungan fisik berupa rawa tersebut menurunkan risiko untuk penularan ascariasis. (2) Sampel yang diambil pada Kota Banjarmasin dan Banjarbaru hanya murid pada satu sekolah dasar, penambahan jumlah sampel memungkinkan akan ditemukannya kasus positif ascariasis. (3) Pemeriksaan telur cacing dilakukan hanya secara langsung. Pemeriksaan secara langsung mempunyai risiko untuk tidak menemukan telur cacing pada kasus infeksi ringan dikarenakan adanya kemungkinan telur cacing tidak terambil pada jumlah sampel yang diperiksa. Kasus ascariasis terdapat di kabupaten Tanah Bumbu, Tabalong, Balangan, Tapin, Kotabaru, Tanah Laut, Batola, HSS dan Banjarbaru. Kasus tertinggi ascariasis terdapat di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Tanah Bumbu, Tabalong dan Balangan, ke tiga kabupaten tersebut memiliki karakteristik tanah berupa tanah liat dengan ekosistem pantai, hutan dan pertambangan dan beriklim tropik. Seperti diketahui perkembangan telur dan larva cacing sangat cocok pada iklim tropik dengan suhu optimal 23 o C-30 o
C. Jenis tanah liat merupakan tanah yang sangat cocok untuk perkembangan telur cacing ascaris. Pada studi yang dilakukan oleh Klotz, menyebutkan bahwa perkembangan
ascariasis dipengaruhi oleh distribusi geografis di
6
2
A. lumbricoides T. trichiura Hookworm E. vermicularis Hymenolepis. n % n % N % n % n % n %
1
Kotabaru 360
11
3
7
2
2
1
1
1 HSS 308
10
3
3
2
1
1
2
1
3
1 HST 350
2
1
2
1 HSU 338
4
1
2
negara-negara intertropicals miskin dengan kondisi iklim dan bahaya feses yang dibuang di sembarang tempat. 13 JHECDs Vol. 2, No. 1, Juni 2016
Ascaris lumbricoides tergolong dalam Soil Transmitted Helminth (STH) yaitu cacing yang
memerlukan tanah untuk siklus hidupnya khususnya untuk pematangan telur dari stadium non efektif menjadi stadium infektif. 14 Pada siklus hidupnya, telur cacing mencapai tanah melalui tinja. Pada musim panas, telur menjadi infektif setelah 20-24 hari dengan suhu optimum 30 o C dan tetap infektif selama beberapa bulan atau beberapa tahun di tanah dalam kondisi yang cocok. Infeksi terjadi jika tertelan telur infektif berembrio. 14 Dilihat dari proses penularan maka infeksi dapat terjadi jika responden tidak melaksanakan dengan baik kebersihan diri perorangan atau personal hygiene. Telur cacing dapat tertelan secara langsung jika responden tidak mencuci tangan sebelum makan dan tidak menggunting kuku yang menyebabkan telur cacing terselip pada kuku. Selain itu telur cacing juga dapat tertiup angin bersama debu dan menempel pada makanan sehingga memakan makanan yang tidak ditutup/ dikemas dengan baik juga dapat menularkan infeksi ascariasis.
Telur embrionasi yang tertelan menetas pada lumen usus, larva menembus dinding usus dan mencapai paru-paru melalui sistem sirkulasi. Antara 9-10 hari setelah infeksi larva masuk ke alveoli menembus trakhea dan tertelan kembali menuju usus halus. Selama 14-20 hari di dalam usus halus larva tumbuh dewasa dan 45-60 hari setelah infeksi cacing dewasa mulai bertelur. Cacing betina dewasa dapat memproduksi > 200.000 telur sehari atau 2.000-3.000 telur/gram tinja. 4,13 Salah satu kelemahan penelitian ini adalah pemeriksaan parasitologi telur cacing dilakukan secara langsung (kualitatif) sehingga tidak dapat diketahui berat ringannya infeksi yang diderita oleh responden. Infeksi ascariasis dikatakan ringan jika jumlah telur < 7.000/gram tinja dan jumlah cacing betina ≤ 5 ekor. Dikatakan infeksi sedang jika jumlah telur 7.000-35.000/gram tinja dan jumlah cacing betina 6-25 ekor dan dikatakan infeksi berat jika jumlah telur >35.000/gram tinja dan jumlah cacing betina >25 ekor. 14 Infeksi ascariasis dapat mengganggu penyerapan zat gizi makanan. 4 Setiap 20 ekor Ascaris lumbricoides cacing dewasa akan merampas 2,8 gram karbohidrat dan 0,7 gram protein dalam sehari. 14 Maka 1 ekor cacing dewasa akan merampas 0,14 gram karbohidrat dan 0,035 gram protein dalam sehari. Cacing dewasa dapat berumur 12-24 bulan hidup di dalam usus. 4 Jika dikalkulasi dalam sebulan, seekor cacing Ascaris lumbricoides akan merampas
4,2 gram karbohidrat dan 1,05 gram protein dan dalam setahun, seekor cacing Ascaris lumbricoides akan merampas 51,1 gram karbohidrat dan 12,8 gram protein. Jika contoh kasus ascariasis di Kabupaten Tanah Bumbu dianalogkan dengan setiap anak penderita ascariasis terdapat 5 ekor cacing dewasa di dalam ususnya maka kerugian yang diderita dalam setahun adalah 4.599 gram karbohidrat (18 orang x 5 ekor x 51,1 gram) dan 1.152 gram protein (18 orang x 5 ekor x 12,8 gram). Sebagai catatan bahwa perhitungan kerugian di atas hanya untuk sampel sebesar 294 anak yang diambil dari 1 sekolah dasar yang terpilih sebagai sampel. Beratnya kerugian yang ditimbulkan ascariasis khususnya gangguan dalam penyerapan gizi dan makanan dapat menjadi penyebab bertambahnya kasus malnutrisi. Karbohidrat diketahui sebagai sumber tenaga, sehingga penderita ascariasis akan menjadi lemah dan lesu karena karbohidrat yang dikonsumsi dirampas oleh cacing Ascaris lumbricoides. Sedangkan protein dikenal sebagai zat pembangun yang berfungsi sebagai peningkat kecerdasan sehingga penderita ascariasis berisiko untuk mengalami pengurangan kecerdasan. Tidak salah jika penyakit kecacingan disebut dapat menyebabkan the lost generation pada sumber daya manusia akibat malnutrisi yang dialami. Penanganan ascariasis lebih diarahkan pada pemenuhan dan penggunaan jamban keluarga dan penerapan personal hygiene yang baik berupa kebiasaan/ perilaku mencuci tangan sebelum makan atau memegang makanan dan penutupan/ pengemasan makanan yang baik. Hasil penelitian di Kota Banjar, Serang, Bandung dan Tangerang menyatakan bahwa kesehatan lingkungan yang jelek (tidak mempunyai saluran limbah dan jamban keluarga) serta kebiasaan ibu mencuci tangan mempunyai hubungan yang signifikan terhadap prevalensi gizi kurang dan gizi buruk. 15 penelitian yang juga dilakukan di India menyebutkan bahwa cuci tangan setelah buang air besar dan mencuci peralatan memasak, sayuran dan buah menggunakan air bersih dan sabun dapat mengurangi risiko infeksi ascariasis. 16 Ketersediaan dan penggunaan jamban keluarga dipengaruhi oleh jenis jamban dan perilaku penggunaan jamban. Jamban terdiri atas berbagai jenis antara lain jamban cemplung, leher angsa, dan lain-lain. Sedangkan ketidaktersediaan jamban keluarga membuat masyarakat berperilaku buang air di pantai pada daerah dengan ekosistem pantai. Ketersediaan jamban belum tentu diiringi oleh penggunaan jamban oleh masyarakat, seperti fenomena yang biasa terjadi di ekosistem pantai di Kabupaten Kotabaru dan Kabupaten Tanah Bumbu, masyarakat lebih memilih buang air di pantai dari pada di jamban, sehingga feses akan terbawa ombak ke pinggir pantai dan menyatu dengan pasir, yang memungkinkan kontak langsung antara feses dengan anak yang bermain di pantai.
Juhairiyah dan L. Indriyati Ascariasis di Kalimantan Selatan..... Diperlukan pemantauan secara berkala prevalensi dan intensitas infeksi STH, sehingga dapat dilakukan program pemberantasan kecacingan seperti pengobatan, khususnya pada anak usia sekolah sebagai penerus bangsa. Di Indonesia frekuensi pengobatan massal pada STH terutama
12. Kirwan P, Asaolu SO, Abiona TC, Jackson AL, Smith HV, Holland CV. Soil-transmitted helminth infections in Nigerian children. JHELMINTHOL.
Individual predispotition, household clustering and risk factors for human infection with Ascaris lumbricoides : New Epidemiological Insights. Plos Neglected Tropical Diseases. April 2011; 5(4): 1-
10 10. Houweling TAJ, Karim-Kos HE, Kulik MC, Stolk
WA, Haagsma JA, Lenk EJ, et al. Socioeconomic Inequalities in Neglected Tropical Diseases: A Systematic Review. PLoS Negl Trop Dis.
2016;10(5):1 –28.
11. Fonseca EOL, Teixeira MG, Barreto ML, Carmo EH, Coasta MCN. Prevalence and factors associated with geohelminth infections in children living in municipalities with low HDI in North and Northeast Brazil. Cad Saude Publica.
PubMedPMID:508. 2010;26(1):143 –52.
2009;83(3):261 –6.
Gramedia. Jakarta.
13. Klotz F, Saliou MP, Wade B. Ascariasis. EMC- Pediatrie. 2004;1(2):186 –97.
14. Djaenudin Natadisastra, Ridad Agoes. 2009.
Parasitologi Kedokteran : ditinjau dari organ tubuh yang diserang. Jakarta. EGC. Hal. 72
15. Trintrin Tjukarni, Sri Prihartini dan Hermina.
Faktor pembeda prevalensi gizi kurang dan buruk pada balita di daerah tidak miskin. Buletin Penelitian Kesehatan Vol. 39 No.2 tahun 2011 hal 52-61.
16. Greenland K, Dixon R, Khan SA, Gunawardena K, Kihara JH, Smith JL, et al. The Epidemiology of Soil- Transmitted Helminths in Bihar State, India. PLoS Negl Trop Dis. 2015;9(5):1 –14.
9. Walker Martin, Hall Andrew, Gloria Basanes Maria.
8. Brown, Harold, W. 1983. Dasar Parasitologi Klinis.
ascariasis berpatokan pada prevalensi infeksi pada
Ucapan Terima Kasih
suatu wilayah. Jika prevalensi >30% maka pengobatan dilakukan 3x/tahun, jika prevalensi 20- 30% maka pengobatan 2x/tahun, jika prevalensi 10- 20% maka pengobatan 1x/tahun dan jika prevalensi <10% maka pengobatan hanya untuk kasus positif (individual). 14 Kesimpulan dan Saran
Keberadaan ascariasis tersebar di seluruh wilayah Provinsi Kalimantan Selatan baik di ekosistem hutan dan pertambangan, rawa, perkotaan maupun pantai dengan prevalensi tertinggi di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Tanah Bumbu, Tabalong dan Balangan. Keberadaan ascariasis di sebabkan oleh
personal hygiene dan sanitasi lingkungan yang buruk
karena tidak tersedianya jamban keluarga yang memenuhi syarat. Peningkatan promosi kesehatan tentang pentingnya personal hygiene dan sanitasi lingkungan yang baik serta akibat buruk yang ditimbulkan oleh
ascariasis sangat diperlukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat guna pencegahan ascariasis.
Program pemberian obat kecacingan perlu dilakukan secara kontinyu setiap 6 bulan sekali khususnya pada daerah endemis guna pengendalian kecacingan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Kepala Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu, para guru dan kepala sekolah dasar yang terpilih sebagai sampel penelitian serta teman-teman yang telah membantu terlaksananya kegiatan ini.
Sekolah Dasar di Provinsi Kalimantan Selatan. J Kebijak Pembang. 2016;11(1):11 –6.
Daftar Pustaka 1.
Purnomo,J.Gunawan W, Magdalena LJ, Ayda R, Harijani AM. Atlas helminthologi kedokteran.
Jakarta:PT.Gramedia;2003 2. Inge Sutanto, Is Suhariah I, Pudji KS, Saleha S.
Parasitologi Kedokteran.Jakarta: Fakultas kedokteran Universitas Indonesia;2008
Chadijah. Prevalensi Kecacingan usus pada anak sekolah Dasar di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Jurnal vector Penyakit Vol.VI No.2 Desember 2012. Balai Litbang P2B2 Donggala 4. Chin, James.2000. Manual pemberantasan Penyakit menular. Edisi
17.Cetakan kedua. Editor Penterjemah I Nyoman kandun. Infomedika. Hal.
58 5. Anorital. Model penanggulangan Fasciolopsis buski di Kalimantan Selatan dengan pendekatan social budaya (tahun pertama). Final report. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI;2002 6. Anorital. Model penanggulangan Fasciolopsis buski di Kalimantan Selatan dengan pendekatan social budaya (tahun kedua). Final report. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI;2003 7. Juhairiyah, Hairani B. Kecacingan pada Anak