Hukum Acara Peradilan Agama (1)

Hukum Acara Peradilan Agama
I.

Pendahuluan.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pada pasal 2 menyatakan : “Peradilan Agama adalah
salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini”.
Anak kalimat ”perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini”
dapat ditemukan petunjuknya dalam pasal 49 yang menyatakan : Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
1. perkawinan ;
2. waris ;
3. wasiat ;
4. hibah ;
5. wakaf ;
6. zakat ;
7. infaq ;
8. shadaqah ; dan
9. ekonomi syari’ah.

Bidang-bidang tersebut adalah perkara perdata. Maka hukum acara yang dimaksud dengan
judul di atas adalah Hukum Acara Perdata Peradilan Agama.

1. Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama.
Menurut Prof. Dr. Wiryono Prodjodikoro, SH., hukum acara perdata adalah
rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka
pengadilan dan cara bagaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk
melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.

R. Suparmono SH. memberikan definisi hukum acara perdata adalah keseluruhan
peraturan hukum yang mengatur tentang cara-cara bagaimana mempertahankan,
melaksanakan dan menegakkan hukum perdata materiil melalui proses peradilan (peradilan
negara).
Prof. Dr. Soedikno Mertokusumo, SH. menyatakan, hukum acara perdata mengatur
tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan
pelaksanaan dari putusannya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum Acara Peradilan Agama adalah
rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka
pengadilan yang terdiri dari cara mengajukan tuntutan dan mempertahankan hak, cara
bagaimana pengadilan harus bertindak untuk memeriksa serta memutus perkara dan cara

bagaimana melaksanakan putusan tersebut di lingkungan Peradilan Agama.

2. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama.
Pasal 54 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan, Hukum Acara yang berlaku
pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang
berlaku dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam
Undang-undang ini. Oleh karena itu dapat tegaskan bahwa sumber hukum acara Peradilan
Agama antara lain :
1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
3. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan
Madura.
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
5. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974.
6. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

7. Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura.
8. Rechtsreglement Buitengewesten (RBg.) untuk luar Jawa dan Madura.

9. Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv).
10. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 tentang penggunaan Kompilasi
Hukum Islam sebagai pedoman dalam penyelesaian masalah-masalah di bidang
Perkawinan, Perwakafan dan Kewarisan.
11. Yurisprudensi, yaitu kumpulan yang sistematis dari Putusan Mahkamah Agung
yang diikuti oleh Hakim lain dalam putusan yang sama.
12. Surat Edaran Mahkamah Agung sepanjang menyangkut Hukum Acara Perdata.

3. Asas-asas Hukum Acara Perdata Peradilan Agama.
Sebagai landasan Hukum Acara Peradilan Agama, perlu dipedomani Asas-asas
Hukum Acara Peradilan Agama sebagai berikut :
1. Peradilan Agama adalah Peradilan Negara (pasal 3 ayat (1) Undang-undang No. 4
Tahun 2004, pasal 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-undang
Nomor 3 tahun 2006.
2. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam (pasal 1
angka 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
3. Peradilan Agama menetapkan dan menmegakkan hukum berdasarkan keadilan

berdasarkan Pancasila (pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
4. Peradilan Agama memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara berdasarkan
hukum Islam (pasal 2, 49 dan Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 3 tahun
2006).
5. Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa
(pasal 4 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 57 ayat (1) Undang-undang
Nomor 3 tahun 2006).
6. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan (pasal 2 ayat (2)
Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 57 ayat (3) Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989).
7. Peradilan dilakukan menurut hukum dan tidak membeda-bedakan orang (pasal 5
ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 58 ayat (3) Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989).
8. Peradilan dilakukan bebas dari pengaruh dan campur tangan dari luar (pasal 4
ayat (3) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).

9. Peradilan dilakukan dalam persidangan Majelis dengan sekurang-kurangnya tiga
orang Hakim dan salah satunya sebagai Ketua, sedang yang lain sebagai anggota,
dibantu oleh Panitera Sidang (pasal 17 ayat (1), (2) dan (3) Undang-undang
Nomor 4 tahun 2004).

10. Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap Hakim yang mengadili (pasal
29 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
11. Beracara dikenakan biaya (pasal 121 ayat (1) HIR, pasal 145 ayat (4) RBg.).
12. Hakim bersifat menunggu (pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006).
13. Hakim pasif (pasal 118 ayat (1) HIR, pasal 142 ayat (1) RBg.)
14. Persidangan bersifat terbuka untuk umum (pasal 19 ayat (1) Undang-undang
Nomor 4 tahun 2004).
15. Hakim mendengar kedua belah pihak (pasal 121 HIR,pasal 145 RBg., pasal 5 ayat
(1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 58 ayat (3) Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989).
16. Tidak harus diwakilkan (pasal 123 HIR, pasal 147 RBg.).
17. Hakim wajib mendamaikan para pihak (pasal 130 HIR, 154 RBg, pasal 39 ayat
(2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974).
18. Hakim membantu para pihak (pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 tahun
2004, pasal 58 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
19. Hakim wajib menghadili setiap perkara yang diajukan kepadanya (pasal 16 ayat
(1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
20. Putusan harus disertai alasan (pasal 25 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun
2004, pasal 62 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, pasal 184 ayat
(1)dan pasal 195 RBg.).

21. Tiap putusan dimulai dengan kalimat “Bismillahir rahmaanir rahiim” diikuti
dengan “Demi Keadilan Berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa” (pasal 57
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
22. Semua putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (pasal 20 Undang-undang Nomor 4
tahun 2004).

23. Tiap-tiap pemeriksaan dan perbuatan hakim dalam penyelesaian perkara harus
dibuat berita acara (pasal 186 HIR, pasa 96 Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989).
24. Terhadap setiap putusan diberikan jalan upaya hukum berupa banding, kasasi dan
peninjauan kembali (pasal 21, 22 dan 23 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
25. Pelaksanaan putusan Pengadilan wajib menjaga terpeliharanya peri kemanusiaan
dan peri keadilan (pasal 36 ayat (4) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).

II.

Pengajuan Tuntutan Hak.
Seseorang yang merasa haknya dilanggar oleh orang lain dan ia tidak dapat
menyelesaikan sendiri masalahnya itu, dapat mengajukan tuntutan hak kepada Pengadilan

untuk menyelesaikannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tuntutan itu harus mengandung kepentingan hukum, point d’interet, poit d’action,
geen belang geen actie (tidak ada ada kepentingan, tidak dapat digugat di muka pengadilan).
Putusan MARI No. 294 K/Sip/1971 tanggal 7 Juli 1971 menyebutkan, gugatan harus
diajukan oleh orang yang mempunyai hubungan hukum.

1. Surat gugatan.
Gugatan diajukan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan di tempat tinggal Tergugat
(pasal 118 HIR, 142 RBg), atau jika Penggugat buta huruf, ia dapat mengajukan secara lisan
kepada Ketua Pengadilan yang akan mencatat atau menyuruh mencatat Hakim yang
ditunjuk, gugatan tersebut dalam Catatan Surat Gugatan. Catatan Surat Gugatan tersebut
ditanda tangani oleh Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk itu.
Surat gugatan itu menurut ketentuan pasal 8 Nomor 3 Rv, pada pokoknya harus
memuat :
1. Identitas para pihak. Terdiri dari nama, umur, pekerjaan dan tempat tinggal serta
kedudukan para pihak dalam perkara yang diajukan.
2. Fundamentum petendi atau dasar tuntutan yang terdiri dari :
1.

Uraian tentang kejadian atau peristiwa yang menjadi dasar pengajuan

gugatan. Atau menjelaskan tentang duduk perkaranya sehingga Penggugat
merasa hak dilanggar/dirugikan dan menuntut haknya ke Pengadilan.

2. Uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis
pengajuan gugatan yang harus dibuktikan di Pengadilan.
3.

Petitum, yaitu apa yang diminta/dituntut agar diputus oleh Hakim dalam
persidangan. Terdiri dari :
1. Tuntutan pokok atau primer.
2. Tuntutan tambahan, antara lain :
i.

Tuntutan provisionil,

ii.

Tuntutan pembayaran bunga moratoir,

iii.

Tuntutan agar Tergugat dihukum membayar uang paksa
(dwangsom),

3.

iv.

Tuntutan uitvoerbaar bij voorraad,

v.

Pembebanan biaya perkara.

Tuntutan subsider atau pengganti. Yaitu permohonan, apabila Hakim
berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.

2. Penggabungan/kumulasi gugatan.
Penggabungan/kumulasi gugatan dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu :
1. Penggabungan subyektif. Yaitu penggabungan para pihak berperkara yang terdiri
lebih dari seorang. Misalnya beberapa orang Penggugat melawan seorang

Tergugat, atau sebaliknya seorang Penggugat melawan beberapa orang Tergugat.
2. Penggabungan obyektif, yaitu penggabungan lebih dari satu tuntutan dalam satu
perkara. Misalnya gugatan cerai diajukan bersama dengan gugatan penguasaan
anak, nafkah isteri, harta bersama.
3. Intervensi, yaitu ikut sertanya pihak ke tiga kedalam proses perkara, terdiri dari :
1.

Voeging, yaitu masuknya pihak ke tiga atas kehendak sendiri dengan
bergabung pada salah satu pihak Penggugat atau Tergugat.

2. Vrijwaring, yaitu pihak ke tiga ditarik oleh Tergugat dengan maksud agar ia
menjadi penanggung bagi Tergugat.

3.

Tussenkomst, ialah pihak ketiga masuk dalam satu proses perkara yang
sedang berjalan untuk membela kepentingannya sendiri.

3. Gugatan secara cuma-cuma (prodeo).
Pada dasarnya beracara di Pengadilan dalam gugatan perdata, dikenakan biaya

perkara (pasal 121 ayat (4) dan pasal 182 HIR, pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 4
tahun 2004). Namun dalam hal Penggugat dan Tergugat tidak mampu, ia dapat mohon
kepada Ketua Pengadilan untuk berperkara secara cuma-cuma, sebelum perkara pokok
diperiksa oleh Pengadilan (pasal 237 HIR, pasal 273 RBg). Permohonan diajukan dengan
melampirkan Surat Keterangan Tidak Mampu yang dibuat oleh Kepala Desa dan diketahui
Camat.
4. Upaya menjamin hak.
Untuk kepentingan Penggugat agar terjamin haknya sekiranya gugatannya
dikabulkan, undang-undang menyediakan sarana untuk menjamin hak tersebut dengan
penyitaan (arrest, beslag). Sita adalah suatu tindakan hukum oleh Hakim yang bersifat
eksepsional, atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa, untuk mengamankan
barang-barang sengketa atau yang menjadi jaminan dari kemungkinan dipindah tangankan,
dibebani suatu jaminan, dirusak atau dimusnahkan oleh pihak yang menguasai barangbarang tersebut, untuk menjamin agar putusan Hakim nantinya dapat dilaksanakan
sebagaimana mestinya.
Hukum Acara Peradilan Agama mengenal beberapa macam sita yaitu :
1. Sita conservatoir.
2. Sita revindicatoir.
3. Sita marital.
4. Sita persamaan .
5. Sita eksekusi.
Uraian tentang cata cara sita yang meliputi permohonan, pemeriksaan, pelaksanaan dan halhal lain yang berkenaan dengan penyitaan dilakukan dalam pembahasan tersendiri.

5. Perubahan gugatan.

Perubahan gugatan tidak diatur dalam HIR dan RBg. Ketentuannya terdapat dalam
Rv pasal 127. Perubahan gugatan diperbolehkan, selama tidak merugikan kepentingan kedua
belah pihak, yaitu sepanjang tetap berdasarkan pada hubungan hukum yang menjadi dasar
tuntutan semula, dan tidak merubah kejadian materiil yang menjadi dasar gugatannya.

6. Pencabutan gugatan.
Pencabutan gugatan tidak diatur dalam HIR dan RBg. Ketentuannya terdapat dalam
Rv pasal 271, yang menyatakan bahwa pencabutan gugatan dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut :

III.

1.

Sebelum gugatan diperiksa dalam persidangan, tidak perlu persetujuan dari
pihak Tergugat, karena Tergugat secara langsung belum mengetahui tentang
adanya gugatan/belum tersentuh kepentingannya.

2.

Sebelum Tergugat memberi jawaban, juga tidak perlu mendapat persetujuan
Tergugat.

3.

Sesudah Tergugat memberi jawaban, pencabutan harus terlebih dulu mendapat
persetujuan Tergugat, karena sudah tersentuh kepentingannya.

Pemeriksaan Perkara.
Pemeriksaan perkara, didahului dengan persiapan persidangan yang meliputi
Penetapan Majelis Hakim, Penunjukan Panitera Sidang, Penetapan Hari Sidang (uraiannya
dilakukan dalam pembahasan tersendiri).
Sejalan dengan asas Hukum Acara Peradilan Agama bahwa Hakim harus mendengar
keterangan kedua belah pihak sebagaimana diuraikan di atas, maka Hakim dengan
perantaraan Juru Sita/Juru Sita Pengganti memanggil kedua belah pihak dengan secara resmi
dan patut, untuk menghadap ke persidangan (uraian lebih lanjut dalam pembahasan
tersendiri).
Setelah para pihak menghadap ke persidangan, pemeriksaan perkara dilakukan
dalam sebuah persidangan yang dinyatakan terbuka untuk umum (pasal 19 ayat (1) Undangundang Nomor 4 tahun 2004). Selanjutnya proses pemeriksaan perkara dilangsungkan
melalui beberapa tahapan yang pada garis besarnya sebagai berikut :
1.

Upaya perdamaian (pasal 130 HIR, pasal 154 RBg). Pada permulaan
persidangan, sebelum pemeriksaan perkara Hakim wajib mendamaikan antara
para pihak berperkara. Jika perdamaian berhasil, oleh Hakim dibuat Akta

Perdamaian yang mempunyai kekuatan sebagai putusan. Jika tidak berhasil
dilanjutkan pada tahap berikutnya yaitu :
2.

Pembacaan surat gugatan. (pasal 131 HIR, pasal 155 RBg). Sebelum
pembacaan gugatan ada beberapa kemungkinan yang dilakukan Penggugat
yaitu:
1. Mencabut gugatan.
2. Merubah gugatan
3. Mempertahankan gugatan.

Jika gugatan dipertahankan, maka gugatan tersebut dibacakan dan diteruskan pada tahap
berikutnya yaitu :
1. Penyampaian jawaban oleh Tergugat, ada yang berupa :
1.

Exeptief verweer (bantahan yang tidak langsung mengenai pokok
perkara) terdiri dari :
1. Eksepsi formil atau Prosesual eksepsi, diajukan agar supaya pokok
perkaranya ditolak pemeriksaannya oleh Majelis Hakim, meliputi :


Eksepsi absolut, berkenaan dengan perkara yang bersangkutan
bukan kewenangan lingkungan Peradilan Agama melainkan
kewenangan lingkungan peradilan lain.



Eksepsi relatif berkenaan dengan perkara yang bersangkutan
adalah kewenangan Pengadilan laian dalam satu lingkungan
Peradilan yang sama.



Eksepsi van gewijsde zaak, berkenaan gugatan yang
bersangkutan pernah diputus oleh Hakim Pengadilan yang
terdahulu dan putusannya telah berkekuatan hukum tetap.



Eksepsi disqualificatoir, yaitu bahwa Penggugat tidak
mempunyai hak untuk mengajukan gugatan, Penggugat salah
menentukan pihak Tergugat.

2. Eksepsi materiil atau material eksepsi, diajukan agar Hakim yang
memeriksa perkara tidak melanjutkan pemeriksaan karena dalil
gugatannya bertentangan dengan hukum perdata materiil, meliputi:


Eksepsi dilatoir, karena gugatan belum tiba saatnya diajukan
oleh Penggugat. Atau gugatan belum memenuhi syarat hukum.

2.



Eksepsi aan hanging geding, yaitu perkara yang sama masih
bergantung dalam proses pengadilan lain dan belum ada
putusan yang berkekuatan hukum tetap.



Eksepsi peremptoir, menyangkut pokok gugatan, seperti
gugatan telah lampau waktunya, atau karena Tergugat telah
dibebaskan dari kewajiban membayar.



Eksepsi plurium litis consortium, yaitu bahwa yang digugat
seharusnya termasuk Tergugat lain, tidak hanya Tergugat
sendiri.



Eksepsi obscuur libel, yaitu bahwa gugatan kabur tidak jelas
permasalahannya dan tidak beralasan.



Eksepsi karena petitum yang diajukan tidak didukung oleh
positanya.

Verweer ten principale (bantahan yang langsung berhubungan
dengan pokok perkara), adalah bantahan langsung yang bertujuan
melumpuhkan dalil gugatan berupa fakta kejadian/peristiwa hukum
yang berkenaan dengan posita, menyingkirkan kekuatan pembuktian
dalil gugatan dengan alat bukti lain yang sah sesuai dengan batas
minimum pembuktian dan sebagainya.

3. Pengakuan, jawaban yang membenarkan seluruh atau sebagian dalil
gugatan. Apabila Tergugat dalam jawabannya mengakui dalil gugatan,
maka dalil gugatan dianggap terbukti dan gugatan dapat dikabulkan.
4.

Referte, jawaban dengan tidak membantah atau membenarkan
gugatan, tetapi menyerahkan kepada kebijaksanaan hakim. Tergugat
hanya menunggu putusan Hakim.

5. Rekonpensi atau gugatan balik yang diajukan oleh Tergugat terhadap
Penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan (pasal 132 a dan pasal
132 b HIR, pasal 157 dan pasal 158 RBg).
Tujuannya :
1. Menggabungkan dua tuntutan yang saling berhubungan.
2. Mempermudah prosedur.
3. Menghindarkan putusan-putusan yang saling bertentangan.
4. Mempersingkat dan menyederhanakan pembuktian.

5. Menghemat biaya.
Syarat-syarat gugatan rekonpensi :
1. Diajukan bersama-sama dengan jawaban. Menurut pendapat lain sampai dengan sebelum
pembuktian. Rekonpensi tidak dapat diajukan dalam tingkat banding atau kasasi.
2. Diajukan terhadap Penggugat dalam kwalitas yang sama.
3. Diajukan masih dalam lingkup kewenangan Pengadilan yang bersangkutan.
4. Hanya mengenai perkara yang bersifat sengketa kebendaan.
5. Bukan mengenai pelaksanaan putusan
4. Penyampaian Replik dari Penggugat.
Yaitu tanggapan terhadap jawaban Tergugat, dengan tetap mempertahankan gugatannya,
atau Penggugat merubah sikap dengan membenarkan jawaban/ bantahan Tergugat.
5. Penyampaian duplik dari Tergugat.
Yaitu tanggapan terhadap replik Tergugat, dengan tetap mempertahankan jawabannya,
atau bersikap seperti Penggugat dalam repliknya.
Apabila jawab menjawab dianggap cukup, dan terdapat hal-hal yang tidak disepakati,
sehingga perlu dibuktikan kebenarannya, maka acara dilanjutkan ke tahap pembuktian.
6. Pembuktian.
1. Pembuktian adalah suatu upaya para pihak untuk meyakinkan hakim tentang dalil-dalil
yang dikemukakan dalam suatu perkara yang dipersengketakan di hadapan sidang
Pengadilan.
2. Yang harus dibuktikan adalah peristiwa atau kejadian yang dikemukakan oleh para pihak
dalam hal yang belum jelas atau yang menjadi sengketa.
3. Yang dibebani wajib pembuktian adalah seseorang yang mengaku mempunyai hak dan
seseorang yang membantah hak orang lain, dengan membuktikan adanya hak atau
peristiwa yang didalilkan (pasal 163 HIR, pasal 283 RBg, pasal 1865 KUH Perdata).
4. Tujuannya untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa/kejadian yang diajukan
itu merupakan fakta yang benar terjadi, atau dibuktikan kebenarannya, sehingga nampak
adanya hubungan hukum antara para pihak.

5. Dalam acara perdata yang dicari adalah kebenaran formil, sehingga tidak secara
tegasmensyaratkan adanya keyakinan hakim. Hakim tidak boleh melampaui batas-batas
yang diajukan oleh pihak yang berperkara.
7. Alat-alat bukti.
Alat-alat bukti dalam perkara perdata di Peradilan Agama, sesuai dengan pasal 164 HIR,
pasal 284 RBg dan pasal 1866 KUH Perdata berupa :
1. Alat bukti surat/tulisan.
Dibuat oleh Pejabat
Otentik
Akta Dibuat di hadapan Pejabat
Surat Di bawah tangan
Bukan Akta
1.
Surat yaitu segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk
mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan
sebagai pembuktian.
2. Akta ialah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar
suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan semula untuk pembuktian.
3. Akta otentik, akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang
membuatnya, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun
tanpa bantuan yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat
didalamnya oleh yang berkepentingan.
4. Kekuatan pembuktian akta otentik ada 3 macam :
1. Kekuatan pembuktian lahir, didasarkan atas keadaan yang tampak lahirnya. Surat yang
tampak lahirnya seperti akta dan memenuhi syarat yang ditentukan, dianggap mempunyai
kekuatan seperti akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya.
2. Kekuatan pembuktian formil, membuktikan kebenaran dari pada apa yang dilihat,
didengar dan dilakukan pejabat pembuat akta terutama tanggal dan tempat akta dibuat,
serta kebenaran tanda tangan di bawah akta tersebut.

3. Kekuatan pembuktian materiil, membuktikan kepastian tentang materi suatu akta, bahwa
pejabat atau para pihak yang membuat akta menyatakan dan melakukan seperti apa yang
dimuat dalam akta.
5. Akta di bawah tangan, suatu akta yang ditandatangani dan dibuat dengan maksud
dijadikan alat bukti suatu perbuatan hukum tanpa bantuan seorang pejabat.
6. Kekuatan pembuktian akta dibawah tangan :
1. Apabila suatu akta dibawah tangan, isi dan tanda
tngan akta diakui oeh yang mebuatnya, maka akta
tersebut mempunyai kekuatan pembuktian seperti
akta otentik.
2. Apabila tanda tangan dalam akta disangkal oleh
pihak yang menanda tangani, maka pihak yang
mengajukan akta harus berusaha membuktikan
kebenaran tanda tangan itu.
7. Surat bukan akta, surat yang dibuat tidak dengan tujuan sebagai alat bukti dan belum
tentu ditandatangani. Kekuatan pembuktyiannya diserahkan pada pertimbangan hakim.
Misalnya buku register, surat-surat rumah tangga, letter C tanah dsb.
2. Alat bukti saksi.
1. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang
peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan
pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil
dalam persidangan.
2. Syarat-syarat saksi :
1. Syarat formil saksi :
1. Memberikan keterangan di depan Pengadilan
2. Bukan orang yang dilarang untuk didengar sebagai saksi (pasal 145 HIR, pasal 172 RBg).
3. Bagi kelompok yang berhak mengundurkan diri (pasal 146 a ayat (4) HIR, pasal 174
RBg), menyatakan kesediaan menjadi saksi.
4. Mengangkat sumpah menurut agama yang dianutnya.
1. Syarat materiil saksi :

1. Keterangan yang diberikan harus mengenai peristiwa yang dialami, didengar dan dilihat
sendiri oleh saksi. Keterangan saksi yang berdasarkan pendengaran orang lain
(testimonium de auditu) tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian.
2. Keterangan yang diberikan saksi harus menyebutkan sebab-sebab ia mengetahui (pasal
171 ayat (1) HIR, pasal 308 ayat (1) Rbg), jadi tidak cukup hanya keterangan bahwa ia
telah tahu. Pendapat atau persangkaan saksi berdasarkan akal pikiran tidak bernilai
sebagai alat bukti (pasal 171 ayat (2) HIR, pasal 308 ayat (2) Rbg).
3. Keterangan yang diberikan oleh saksi harus saling bersesuaian satu dengan yang lain dan
alat bukti yang sah (pasal 172 HIR, pasal 309 Rbg).
4. Keterangan seorang saksi tanpa dikuatkan alat bukti lain bukan bukan kesaksian (unus
testis nullus testis) (pasal 169 HIR, pasal 306 Rbg).
1. Yang tidak boleh menjadi saksi (pasal 145 HIR,pasal 172 RBg) :
1. Tidak mampu absolut :
1. Keluarga sedarah dan semenda dalam keturunan lurus salah satu pihak.
2. Suami isteri salah satu pihak meskipuin telah bercerai.
1. Tidak mampu relatif :
1. Anak belum berumur 15 tahun.
2. Orang gila meskipun kadang-kadang ingatannya terang.
1. Yang boleh mengundurkan sebagai saksi (pasal 146 HIR, pasal 174 RBg) :
1. Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan dari saalah satu
pihak.
2. Keluarga sedarah menurut keturunan lurus dan saudara laki-laki dan perempuan
dari suami/isteri salah satu pihak.
3. Semua orang yang karena martabat, jabatan/hubungan kerja syang sah diwajibkan
menyimpan rahasia.
3. Bukti persangkaan.
Diatur pada pasal 173 HIR, pasal 310 RBg.
Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dikenal
atau dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang tidak dikenal atau belum terbukti.

Persangkaan sebagai alat bukti bersifat sementara, tak bisa berdiri sendiri, tetapi
diambil dari alat bukti lain.
Persangkaan ada 2 macam :
1. Persangkaan berdasarkan undang-undang.
Contoh : Perkawinan yang tidak memenuhi syarat, dianggap tidak sah menurut
undang-undang (pasal 2 ayat (1) Undang-undang No 1 tahun 1974).
2. Persangkaan yang berupa kesimpulan yang ditarik oleh Hakim dari keadaan yang
timbul di persidangan.
Contoh : Adanya 3 (tiga) surat tanda pembayaran (kuitansi) tiga bulan terakhir
berturut-turut, timbul persangkaan angsuran bulan-bulan sebelumnya
telah dibayar lunas.
4. Bukti pengakuan.
Diatur pasal 174, 175 dan 176 HIR, pasal 311, 312 dan 313 RBg.
1. Pengakuan ialah pernyataan seseorang tentang dirinya sendiri, bersifat sepihak
dan tidak memerlukan persetujuan pihak lain.
2. Pengakuan dapat diberikan di muka Hakim di persidangan atau diluar
persidangan, dapat pula diberikan secara
3. Ada tiga macam pengakuan :
1. Pengakuan murni yaitu pengakuan yang bersifat sederhana dan sesuai sepenuhnya
dengan tuntutan pihak lawan.
2. Pengakuan dengan kualifikasi, pengakuan disertai penyangkalan sebagian .
Contoh : Penggugat menyatakan telah menerima uang sebesar Rp. 5.000.000,dari Tergugat, dan Tergugat mengaku telah menerima uang dari
Penggugat tetapi hanya Rp. 3.000.000,-.
3. Pengakuan dengan kalusula, yaitu pengakuan disertai keterangan tambahan yang
bersifat membebaskan.
Contoh : Isteri menyatakan suami tidak memberi nafkah selama 3 tahun,
suami mengakui benar tidak memberi nafkah karena isteri nusyuz.
5. Bukti sumpah.

Diatur pasal 155 – 158 dan 177 HIR, pasal 182- 185 dan 314 RBg.
1. Sumpah ialah pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada
waktu berjanji atau keterangan dengan mengingat sifat Maha Kuasa Tuhan dan
percaya bahwa jika janji atau keterangan itu tidak benar, yang memberikan
keterangan akan dihukum oleh-Nya.
Ada dua macam sumpah :
1. Sumpah promissoir, yaitu sumpah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Dilakukan sebelum memberikan kesaksian. Misalnya sumpah saksi atau saksi ahli.
2. Sumpah assertoir atau confirmatoir, yaitu sumpah untuk meneguhkan bahwa sesuatu
hal/peristiwa itu benar demikian atau tidak. Dilakukan sesudah memberikan kesaksian.
1. Sumpah sebagai alat bukti ( pasal 155 HIR, pasal 182 RBg) ada 3 macam :
1. Sumpah suppletoir (tambahan/pelengkap), yaitu sumpah yang atas perintah Hakim
setelah ada bukti permulaan. Misalnya hanya ada satu saksi (bukti permulaan) karena
belum mencukupi, ditambah dengan sumpah tersebut.
2. Sumpah aestimatoir (penaksiran) yaitu sumpah atas perintah Hakim hanya kepada
Penggugat saja, untuk menentukan jumlah uang ganti rugi atau sejumlah uang tertentu
dengan rincian yang dituntutnya.
3. Sumpah decissoir (pemutus), yaitu sumpah yang dilakukan atas permintaan salah satu
pihak kepada lawannya, jika tidak ada pembuktian apapun dan dapat dilakukan setiap
saat selama proses pemeriksaan di persidangan.
Dengan sumpah ini kebenaran peristiwa yang dimintakan sumpah menjadi
pasti. Oleh karena itu sumpah decissoir harus berkenaan dengan hal yang
pokok dan bersifat tuntas atau menentukan serta menyelesaikan sengketa.
Menolak untuk mengucapkan sumpah akan berakibat dikalahkan.
6. Saksi ahli.
Keterangan saksi ahli (expertise) diatur pada pasal 154 HIR, pasal 181 RBg, pasal
215 Rv.
1. Keterangan saksi ahli yaitu keterangan pihak ke tiga yang obyektif bertujuan
untuk membantu Hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan Hakim
sendiri.
2. Tujuannya agar Hakim memperoleh kebenaran dan keadilan pada masalah yang
bersangkutan.

3. Syarat-syarat saksi ahli :
1. Orang yang tidak boleh didengan sebagai saksi juga tidak boleh didengar sebagai saksi
ahli.
2. Saksi ahli harus memberikan keterangan secara jujur dan obyektif serta tidak memihak.
1. Sebelum memberikan keterangan harus bersumpah bahwa ia akan memberikan
pendapat tentang soal-soal yang diperiksa menurut pengetahuan/keahliannya
dengan sebaik-baiknya.
2. Pemeriksaan Setempat.
Diatur pada pasal 153 HIR, pasal 180 RBg dan 211 Rv.
Yaitu pemeriksaan mengenai perkara oleh Hakim karena jabatannya, yang dilakukan
di luar gedung atau tempat kedudukan Pengadilan, agar Hakim dengan melihat
sendiri, memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang
peristiwa yang menjadi sengketa.

IV.

Putusan.
Setelah tahapan pembuktian dalam pemeriksaan perkara dilalui, para pihak diberikan
kesempatan untuk mengajukan kesimpulan jika ada. Majelis Hakim kemudian
bermusyawarah untuk merumuskan keputusan.
1. Dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada dua macam
produk keputusan Hakim/Pengadilan :
1. Putusan.
2. Penetapan
2. Putusan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim sebagai
pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di
persidangan terbuka untuk umum, bertujuan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan sengketa antar para pihak, sebagi hasil dari
pemeriksaan perkara gugatan (contentious).
3. Penetapan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim
sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan
di persidangan terbuka untuk umum, sebagi hasil dari pemeriksaan
perkara permohonan (voluntair).

4. Nilai suatu putusan Hakim terletak pada pertimbangan hukumnya,
apakah pertimbangan itu baik atau tidak, dikaitkan dengan
ketepatan analisis kasus perkaranya dan kejadian atau peristiwanya
berdasarkan fakta hukum.
5. Macam-macam Putusan Hakim :
1. Dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara, ada dua
macam yaitu :
1. Putusan Akhir.
Putusan Akhir, yaitu putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan, baik
yang telah melalui semua tahap pemeriksaan maupun yang belum/tidak
menempuh semua tahap pemeriksaan.
Putusan Akhir yang dijatuhkan sebelum sampai tahap akhir pemeriksaan adalah :
1. Putusan gugur.
2. Putusan Verstek yang tidak diajukan verzet.
3. Putusan tidak menerima.
4. Putusan yang menyatakan Pengadilan tidak berwenang memeriksa.
2. Putusan Sela.
Putusan Sela ialah putusan yang dijatuhkan masih dalam proses pemeriksaan
perkara dengan tujuan untuk memperlancar jalannya pemeriksaan.
Putusan sela dilakukan dalam hal :
1. Pemeriksaan berperkara cuma-cuma
2. Pemeriksaan eksepsi tisak berwenang.
3. Sumpah supletoir.
4. Sumpah decissoir.
5. Sumpah penaksir.
6. Pemeriksaan gugatan provisionil.
7. Pemeriksaan gugatan insidentil (intervensi).

Beberapa jenis Putusan Sela :
1. Putusan Praeparatoir, putusan sela sebagai persiapan putusan akhir, tidak berpengaruh
terhadap pokok perkara dan putusan akhir. Menurut HIR/RBg cukup dicatat dalam Berita
Acara Persidangan.
2. Putusan Interlocutoir, yaitu putusan yang berisi memerintahkan pembuktian seperti
pemeriksaan saksi, pemeriksaan setempat.
3. Putusan Insidentil, sehubungan dengan adanya peristiwa misalnya permohonan prodeo,
eksepsi kewenangan, intervensi.
1. Dari segi hadir tidaknya para pihak, ada tiga macam yaitu :
1. Putusan gugur.
Yaitu putusan yang menyatakan gugatan gugur karena penggugat tidak hadir
setelah dipanggil dengan resmi dan patut. Dijatuhkan pada sidang pertama atau
sesudahnya sebelum pembacaan gugatan.
2. Putusan verstek.
Yaitu putusan yang dijatuhkan karena tergugat tidak hadir dan tidak mewakilkan
kepada orang lain, setelah dipanggil dengan resmi dan patut. Dapat dijatuhkan
pada sidang pertama atau sesudahnya setelah pembacaan gugatan sebelum tahap
jawaban tergugat.
3. Putusan contradictoir.
Yaitu yang pada saat dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak dihadiri salah satu
pihak atau para pihak. Dalam putusan contradictoir, disyaratkan baik penggugat
maupun tergugat pernah hadir dalam sidang.
1. Dari segi isinya terhadap gugatan ada empat macam :
1. Tidak menerima gugatan.
Yaitu putusan yang menyatakan Hakim tidak menerima gugatan penggugat atau
gugatan penggugat tidak diterima, karena gugatannya tidak memenuhi syarat
hukum formil maupun materiil. Terhadap putusan ini penggugat tidak dapat
mengajukan banding, tetapi dapat mengajukan perkara baru.
2. Menolak gugatan Penggugat seluruhnya.
Yaitu putusan yang dijatuhkan setelah ditempuh semua tahap pemeriksaan tetapi
dalil-dalil gugatan tidak terbukti.

3. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian dan menolak/tidak menerima
selebihnya.
Yaitu putusan di mana dalil gugatan ada yang terbukti dan ada yang tidak terbukti,
atau tidak memenuhi syarat syarat hukum formil maupun materiil.
1. Dalil gugatan yang terbukti tuntutannya dikabulkan.
2. Dalil gugatan yang tidak terbukti tuntutannya ditolak.
3. Dalil yang tidak memenuhi syarat diputus dengan tidak diterima.
4. Mengabukan gugatan Penggugat seluruhnya.
Yaitu putusan yang dijatuhkan di mana syarat-syarat gugatan dipenuhi, dan
seluruh dalil gugatan yang mendukung petitum telah terbukti.
1. Dari segi sifatnya terhadap hukum yang ditimbulkan, ada
tiga macam, yaitu :
1. Declaratoir.
Yaitu putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan tertentu yang resmi menurut
hukum. Misalnya putusan yang menyatakan sah atau tidaknya suatu perbuatan
hukum atau status hukum, menyatakan boleh tidaknya suatu perbuatan hukum
dsb.
2. Constitutif.
Yaitu suatu putusan yang menciptakan atau menimbulkan keadaan hukum baru,
berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya. Misalnya putusan perceraian,
pembatalan perkawinan.
3. Condemnatoir.
Yaitu putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu, atau menyerahkan sesuatu kepada pihak
lawan untuk memenuhi prestasi.
Apabila putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak terhukum tidak
mau melaksanakan isi putusan, maka atas permohonan penggugat, putusan dapat
dilaksanakan dengan paksa oleh Pengadilan yang memutusnya, kecuali dalam
putusan serta merta (uitvoerbaar bijvoorraad).
Putusan condemnatoir dapat berupa penghukuman untuk :

1. Menyerahkan suatu barang.
2. Membayar sejumlah uang.
3. Melakukan suatu perbuatan tertentu.
4. Menghentikan suatu perbuatan/keadaan.
5. Mengosongkan tanah/rumah.
6. Kekuatan putusan Hakim :
Putusan Hakim mempunyai tiga macam kekuatan yaitu :
1. Kekuatan mengikat.
Putusan Hakim itu mengikat para pihak yang berperkara, para pihak harus tunduk dan
menghormati putusan itu
2. Kekuatan pembuktian.
Dengan putusan Hakim itu telah diperoleh kepastian tentang sesuatu yang terkandung
dalam putusan, dan menjadi bukti bagi kebenaran sesuatu yang termuat di dalamnya.
Putusan Hakim harus dianggap dan tidak boleh diajukan lagi perkara baru mengenai
hal yang sama antara pihak-pihak yang sama.
3. Kekuatan eksekutorial.
Yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang telah ditetapkan dalam itu secara
paksa oleh alat-alat negara. Oleh karena itu setiap putusan Hakim harus memuat titel
eksekutorial yaitu kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
7. Kekuatan hukum tetap.
Suatu putusan mempunyai kekuatan hukum tetap apabila terhadap putusan tersebut,
sampai dengan habisnya masa upaya hukum yang ditetapkan menurut undang-undang,
tidak dimintakan upaya hukum.

V.

Upaya Hukum.

Setiap putusan hakim, tidak dapat luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bahkan kadangkadang bersifat memihak, oleh karena itu putusan hakim dimungkinkan untuk diperiksa
ulang melalui upaya hukum.

Upaya hukum adalah suatu upaya untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu
putusan, karena salah satu pihak atau para pihak merasa dirugikan kepentingannya dalam
memperoleh keadilan dan perlindungan/kepastian hukum, menurut cara-cara yang ditentukan
undang-undang.
Ada dua macam upaya hukum :
1. Upaya hukum biasa terdiri dari :
1. Verzet.
Verzet atau perlawanan merupakan upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan di
luar hadirnya Tergugat (verstek).
2. Banding.
Yaitu permohonan supaya perkara yang telah diputus oleh Pengadilan Tingkat
Pertama diperiksa ulang oleh Pengadilan Tinggi (tingkat banding) karena merasa
tidak puas atas putusan Pengadilan Tingkat Pertama, menurut cara-cara yang
ditentukan undang-undang.
3. Kasasi.
Yaitu upaya hukum yang merupakan wewenang Mahkamah Agung untuk memeriksa
kembali putusan dari Pengadilan-pengadilan terdahulu, menurut cara-cara yang
ditentukan undang-undang.
2. Upaya hukum luar biasa yaitu :
Peninjauan kembali.
Yaitu peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena
ditemukannya hal-hal baru (novum) yang dahulu tidak diketahui oleh Hakim, sehingga
apabila hal itu diketahui maka putusan hakim akan menjadi lain.
3. Perlawanan Pihak Ke Tiga (derdenverzet).
Pada asasnya putusan Hakim hanya mengikat para pihak yang berperkara dan tidak
mengikat pihak ke tiga. Tetapi ada pihak ke tiga yang merasa hak-haknya dirugikan oleh
suatu putusan, ia dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan itu (pasal 378 Rv).

VI.

Pelaksanaan Putusan.

Pelaksanaan putusan atau eksekusi adalah realisasi dari kewajiban para pihak untuk
memenuhi prestasi yang telah ditetapkan dalam putusan tersebut.
Pelaksanaan putusan hakim dapat dilakukan :
1. Secara suka rela oleh para pihak yang bersengketa.
2. Secara paksa dengan menggunakan alat negara, apabila pihak
terhukum tidak mau melaksanakan secara sukarela.
Putusan yang dapat dimohonkan eksekusi/pelaksanaannya hanyalah putusan yang bersifat
condemnatoir.
Ada beberapa jenis pelaksanaan putusan :
1. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk menyerahkan
suatu barang.
2. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk membayar
sejumlah uang.
3. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu
perbuatan tertentu.
4. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk menghentikan
suatu perbuatan/keadaan.
5. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan
tanah/rumah.
6. Eksekusi riil dalam bentuk penjualan lelang.
Daftar pustaka.
1. Abdul Manan, Dr. H.SH., SIP., MHum., Penerapan Hukum Acara
Perdata si Lingkungan Peradilan Agama, yayasan Al Hikmah,
Cetakan Pertama Jakarta, 2000.
2. Mukti Arto, Drs, HA.,SH., Praktek Perkara Perdata Pada
Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Cetakan Pertama, Yogyakarta,
1996.
3. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006, Mahkamah Agung RI.,
Jakarta, 2006.

4. Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Himpunan
Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan
Agama, Departemen Agama, Jakarta, 2003.
5. Eman Suparman, Dr.,SH.,MH., Kitab Undang-undang Peradilan
Umum, Fokusmedia, Cetakan Pertama, Bandung, 2004.
6. Simorangkir, JCT., SH., Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta,
1987.
7. Soebekti, Prof., R., SH., Hukum Acara Perdata, BPHN, Bina
Cipta, Bandung, 1977.
8. Soeparmono, R.,SH., Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi,
Mandar Maju, Bandung, 2000.
9. Sudikno Mertokusumo, Prof., Dr.,SH., Hukum Acara Perdata
Indonesia, Liberty, edisi ke tiga, Cetakan Pertama, 1988.
10. Supomo, Prof., Dr., R, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri,
fasco, Jakarta, 1958