Laporan Praktikum Silvikultur ( 1 )
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hutan sebagai sumberdaya alam yang dpat diperbaharui memberikan manfaat
pada setiap manusia. Namu dari tahun ke tahun kawasan hutan semakin berkurang
seiring meningkatnya kebutuhan manusia akan hasil hutan dan adanya kemajuan
teknologi. Pertambahan penduduk yang semakin meningkat berbanding terbalik
dengan persediaan sumberdaya hutan. Hal ini akan menjadi ancaman bagi kehidupan
manusia di masa datang (Anonim, 2012).
Keberadaan hutan sebagai sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, terutama
hasil hutan yang berupa kayu dan non kayu yang memiliki sifat estetika yang alamiah
membuat banyak orang tertarik untuk mengelolanya. Akan tetpi pengolahan hutan
ini, biasanya dilakukan dengan cara yang tidak bertanggung jawab misalnya
menebang
tanpa
melakukan
penanaman
kembali,
sehingga
mengakibatkan
terputusnya siklus kehidupan di dalam hutan dan berdampak langsung bagi
kehidupan masyarakat sekitar hutan dan perekonomian negara (Anonim, 2012).
Banyak cara yang telah dilakukan untuk menutupi ketersediaan sumberdaya hutan
yang semakin terbatas, misalnya melalui kegiatan reboisasi, penghijauan dan Gerakan
Nasional Rehabilitasi Lahan (GNRHL) yang merupakan kegiatan yang menggunakan
rangkaian kegiatan silvikultur. Dalam ilmu silvikultur membahas mengenai
penenaman, penumbuhan, pemeliharaan, pemungutan hasil dan melaksanakan
permudaan. Oleh karena itu, dalam usaha melestarikan hutan perlu dipahami prinsip
dan cara teknis dalam penerapan ilmu silvikultur ini (Anonim, 2012).
Untuk mengetahui dan memahami teknik silvikultur yang lebih baik, maka perlu
dilakukan praktek lapang silvikultur mengenai produktivitas dan potensi tegakan jati
Tectona grandis.
1
B. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui sebaran diameter tegakan jati.
2. Mengetahui kerapatan tegakan jati.
3. Mengetahui bonita tegakan jati.
4. Mengetahui derajat kekerasan penjarangan tegakan jati.
Adapun kegunaan praktikum ini yaitu mahasiswa dapat menentukan sebaran
diameter dalam suatu tegakan dan dapat membuat kurva kelas diameter tersebut serta
mengetahui pertumbuhan dan perkembangan tanaman sebagai bahan informasi dalam
penerapan praktikum selanjutnya serta sebagai bahan perbandingan antara teori dan
praktikum di lapangan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Bonita
Bonita adalah suatu ukuran kualitas tempat tumbuh hutan tanaman yang
ditetapkan berdasar hasil pengukuran tinggi rata – rata seratus pohon tertinggi per ha
(pohon peninggi ) suatu tegakan pada umur tertentu. Bonita I menunjukkan kualitas
tempat tumbuh paling rendah dan bonita V dan VI menunjukkan kualitas paling
tinggi (Junus dkk, 1984).
Lingkungan hutan biasanya dinamakan tempat tumbuh. Tempat tumbuh dapat
diartikan dengan jumlah dari keadaan – keadaan yang efektif yang mempengaruhi
penghidupan suatu tumbuh – tumbuhan atau masyarakat tumbuh – tumbuhan. Dilihat
dari segi silvikultur maka tempat tumbuh adalah semua yang berhubungan dengan
faktor – fakor yang mempengaruhi vegetasi hutan. Jadi jelasnya bahwa tempat
tumbuh adalah amat kompleks dan merupakan hasil interaksi dari banyak faktor yang
dihasilkan persatuan areal berkorelasi dengan faktor – faktor tempat tumbuh. Suatu
perubahan – perubahan dalam fsktor – faktor akan menyebabkan suatu perubahan
dalam volume kayu yang diprodusir dan juga perubahan dalam sifat – sifat
vegetasinya. Suatu perubahan dalam suplai air di bawah jumlah optimum yang
diperlukan suatu tipe vegetasi akan menurunkan hasil volume. Kualitas tempat
tumbuh menunjukkan kapasitas produksi dari suatu areal tanah hutan biasanya untuk
suatu kombinasi dari spesies (Soetrisno, 1998).
Namun konteks kualitas tumbuh dan bonita itu berbeda. Kualitas tempat tumbuh
adalah ukuran tingkat kesuburan tanah yang berhubungan erat dengan produktivitas
kayu yang dapat dihasilkan. Sedangkan yang dimaksud dengan bonita adalah ukuran
yang digunakan untuk menentukan kualitas tempat tumbuh. Penetapan nilai bonita
sering didasarkan pada hubungan antara rata-rata peninggi dengan umur dengan
tegakan. Salah satu penentu kualitas kayu jati adalah tinggi tanaman jati semakin baik
kualitas dari jati tersebut. Sedang penilaian bonita melalui penilaian karakteristik
3
lahan mungkin dapat dikembangkan dan akan lebih bermanfaat khususnya bagi
kepentingan perencanaan, pengembangan dan pengolahan hutan jati (Anonim, 2009).
Penetapan kualitas tempat tumbuh berdasarkan antara peninggi dan umur tegakan
di lapangan memang sangat praktis tetapi mempunyai kelemahan dimana penilaian
terlalu rendah bagi tegakan yang masih muda dan sebaliknya penilaian terlalu tinggi
untuk tanaman yang sudah tua. Evaluasi kualitas tempat tumbuh dapat dilakukan
dengan metode langsung dan tidak langsung. Metode langsung untuk menentukan
kualitas tempat tumbuh adalah dengan menumbuhkan tegakan berkerapatan penuh
terhadap jenis yang diinginkan pada suatu tempat tumbuh untuk periode yang
direncanakan (Soetrisno, 1998).
B. Penjarangan
Penjarangan merupakan kegiatan yang dijalankan pada tegakan seumur atau
kelompok seumur dan tegakan tidak seumur pada setiap saat sebelum permulaan atau
periode
permudaa.
Tujuannya
yaitu
pemungutan
pohon
terutama
untuk
mendistribusikan kembali potensi pertumbuhan atau untuk meningkatkan kualitas
tegakan tinggal (Soekotjo, 1992).
Pada dasarnya penjarangan adalah suatu upaya pemeliharaan yang dilakukan
manusia pada tegakan pohon dalam suatu areal hutan, tujuannya adalah menciptakan
keseimbnagan antara kepentingan biologi dari pohon dan kepentingan eki=onomi
untuk memperoleh hasil yang maksimal dikemudian hari. Penjarangan berpengaruh
terhadap tegakan yaitu meningkatkan diameter batang, tinggi tegakan dan volume
total tegakan. Selain itu jumlah batang tegakan dan volume tegakan tinggal berkurang
(Wanggai, 2009).
Dampak penjarangan adalah memberikan ruang tumbuh yang lebih baik pada
tegakan tinggal, terutama perkembangan tajuk aupun pertambahan riap. Dapat
diungkapkan pula bahwa pada penjarangan pohon-pohon dengan diameter yang
snagat kecil yaitu kurang dari 5 cm memang tidak menguntungkan dan menambah
bebean biaya pemeliharaan. Dengan alasan tersebut, maka dalam banyak hal,
kegiatan penjarangan tidak dilaksanakan, Jika dianalisis lebih lanjut, maka tampak
4
bahwa pohon-pohon tanpa penjarangan akan sangat berpengaruh pada hasil akhir
yang diperoleh dari suatu kawasan hutan (Wanggai, 2009).
Manan (1976) mengemukakan bahwa secara alami terjadi persaingan dalam suatu
masyarakat tumbuh-tumbuhan. Pada kondisi yang demikian, terjadi suksesi hingga
mencapai kondisi klimaks, yaitu saat tercatat keseimbangan antara masyarakat
tumbuh-tumbuhan dengan lingkungannya. Pohon-pohon yang tertekan, kalah dalam
persaingan akan mati dan ini merupakan penjarangan alami. Dalam proses demikian
akan terjadi pengurangan jumlah pohon secara bebas dan tidak teratur akibat seleksi
alami dalam suatu kawasan hutan. Selanjutnya diungkapkan bahwa penjarangan
secara alami akan membiarkan banyak energi dan materi yang terbuang dalam jangka
panjang sehingga memerlukan campur tangan manusia. Untuk itu penjarangan buatan
perlu dilakukan agar lebih banyak energi dan materi alam dapat digunakan oleh
tumbuhan secara optimum sesuai ruang dan waktu tertentu.
Penjarangan dapat dilakuan 2 kali pada umur 5-7 tahun sebanyak 25% dan pada
umur 10 tahun sebanyak 25% dan pada umur 15 tahun dilakukan tebang habis atau
panen total. Penjarangan dan penebangan dilakukan dengan berbagai pertimbangan
yang
mungkin
bisa
dilakukan
ini
tergantung
pada:
Jarak tanam; Kesuburan tanah; Perawatan; Pelaksanaan penjarangan sendiri
didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain: Pertimbangan ekonomis; Jumlah
pohon persatuan luas ideal; Penjarangan sistematik; Penjarangan seleksi rendah;
Penjarangan tajuk; Berkaitan dengan prinsip-prinsip penjarangan tersebut, maka yang
ideal adalah dilakukan dengan kaidah selemah mungkin akan tetapi sesering
mungkin. Sebab penjarangan yang terlalu keras akan menyebabkan ruang tumbuh
yang terlalu terbuka yang mengakibatkan tanaman menjadi lunglai, sedangkan
penjarangan yang telalu lemah menyebabkan tanaman menjadi kurang optimal
pertumbuhannya (Manan, 1976).
Hawley dan Smith (1962) dalam Manan (1976) mengemukakan bahwa pada
umumnya terdapat lima metode penjarangan yang digunakan, yaitu:
5
1. Penjarangan Rendah (Low Thinning)
Disebut penjarangan rendah karena dimulai dari lapisan tajuk yang paling bawah
dan merupakan cara tertua diterapkan di Jerman sehingga cara ini dikenal dengan
istilah Metode Jerman. Prinsip dasar yang diterapkan dalam metode ini adalah
semua pohon dan tajuk jelek pada lapisan paling bawah ditebang kemudian
disusul pohon-pohon dengan tajuk yang jelek pada lapisan tajuk di atas sampai
pada lapisan tajuk paling atas.
2. Penjarangan Tajuk (Crown Thinning)
Penjarangan tajuk lebih diarahkan pada pohon-pohon kelas tajuk paling atas
(dominanan trees) dan kelas tajuk pertengahan. Dari proses penjarangan ini maka
perbedaan pokok antara low thinning dan crown thinning adalah bahwa dalam
crown thinning tidak ada penjelasan ringan karena dimulai dari pohon kelas tajuk
paling atas serta pohon-pohon yang ditinggalkan untuk penjarangan ringan karena
dimulai dari pohon kelas tajuk kodominan dan dominan. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa pohon-pohon yang ditinggalkan berasal dari dua kelas lapisan
tajuk dalam satu kelas umur. Kelemahan metode penjarangan ini adalah dua kelas
diterapkan pada tegakan pohon yang distribusi atau sebaran kelas-kelas tajuknya
yang tidak jelas dalam satu kelas umur tegakan.
3. Penjarangan Seleksi ( Selection Thinnning)
Ciri khusus dari penjarangan ini seleksi adalah dimulai dari pohon-pohon
dominan dengan tajuk paling atas akan dimanfaatkan kayunya. Penjarangan
seleksi sangat berbeda dengan penjarangan rendah yaitu dimulai pada pohon-ohon
yang tertekan. Prinsip dari penjarangan seleksi adalah memanfaatkan secara
maksimal hasil terbaik pohon selama daurnya. Dengan demikian, pohon
kododminan dan yang tertekan diberi ruang tumbuh yang lebih baik untuk
dimanfaatkan kayunya pada penjarangan berikutnya. Dapat disimpulkan bahwa
cara penjarangan ini lebih cocok diterapkan pada suatu tegakan yang
menghasilkan kayu dengan diameter sedang dan kecil.
6
4. Penjarangan Mekanik (Mechanichal Thinning)
Penjarangan ini berbeda dengan metode-metode lainnya yaitu dengan metode
mekanik, yang menjadi pertimbangan utama atau dasar penjarangan pohon adalah
posisi tajuk pohon yang akan ditebang. Biasanya metode penjarangan ini
diterapkan pada tegakan seumur dan tingginya hamper seragam. Dalam
aplikasinya, pohon pada jarak tertentu ditebang sehingga disebut pula
penjarangan jalur atau row thinning. Secara umum penjarangan ini diterapkan
pada tegakan yang berukuran sedang setelah mencapai ukuran poles atau tiang
maka digunakan metode lain.
5. Penjarangan Bebas (Free Thinning)
Penjarangan bebas umumnya merupakan gabungan penerapan dari metode lain
sehingga disebut free thinking tidak terikat pada persyaratan tertentu. Pada
umumnya penjarangan bebas dilakukan pada tegakan yang belum dilakukan
penjarangan. Dalam pelaksanaan penjarangan beberapa hal seperti jarak, posisi
tajuk, bentuk batang menjadi pertimbangan dalam penetapan tegakan yang akan
ditebang. Dengan demikian, pohon-pohon yang ditinggalkan berpenampilan kekar
dan diharapkan memberikan produk kayu terbaik dikemudian hari.
C. Derajat Kekerasan Penjarangan
S% (Derajat Ketinggian Penjarangan), yaitu rata-rata jarak antara pohon yang
dinyatakan dalam persen terhadap rata-rata peninggi pohon (sama dengan rata-rat
pohon tertinggi per ha dalam tegakan). S% optimal memberikan ruang tumbuh
optimal bagi pohon dalam tegakan sampai saat penjarangan berikutnya. Untuk S%
optimal diperlukan data pertumbuhan pohon pada setiap umur tegakan. Besarnya S%
pada akhir penjarangan beragam menurut jenis, umumnya berkisar antara 15 – 35%
(Anonim, 2012).
Pohon yang terbaik yaitu bila jarak antar pohon merupakan segitiga sama sisi,
sehingga 1 pohon dikelilingi oleh 6 pohon yang jaraknya masing-masing sama-sama
jauh, dan pohon yang ditengah tersebut akan mempunyai ruangan untuk
perkembangan tajuk yang tidak menyebelah (Manan, 1976).
7
D. Kerapatan
Kerapatan tegakan hutan merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan
produktivitas tempat tumbuh dalam tegakan hutan yang sudah ada. Hal ini penting
karena kerapatan tegakan hutan merupakan faktor utama yang dapat dimanipulasi
dalam rangka pengembangan tegakan (Theodore, dkk, 1987).
Kerapatan tegakan merupakan faktor terpenting kedua setelah tempat tumbuh
dalam penentuan produktivitas tempat tumbuh. Hal ini penting karena kerapatan
tegakan merupakan faktor utama yang dapat dimanipulasi rimbawan dalam
pengembangan tegakan. Melalui manipulasi kerapatan tegakan silvikulturis dapat
mempengaruhi pemantapan jenis selama periode permudaan, dan juga memodifikasi
kualitas batang, kecepatan pertumbuhan diameter, dan bahkan volume produksi
selama periode perkembangan tegakan. Kerapatan tegakan didefenisikan sebagai
ukuran kuantitatif stok pohon yang dinyatakan secara relative sebagai koefisien,
dengan mengambil jumlah normal, luas bidang dasar atau volume sebagai unit, atau
secara mutlak dalam istilah jumlah pohon, luas bidang dasar total, atau volume setiap
unit areal (Theodore, dkk, 1987).
Kerapatan tegakan adalah ukuran kuantitatif stok pohon didasarkan pada jumlah
normal, luas bidang dasar dan volume. Kerapatan dibagi atas 2 yakni kerapatn rendah
dan kerapatan tinggi. Hubungan antara kerapatan dengan pertumbuhan dapat
dinyatakan secara umum yaitu jumlah produksi dalam kubik dalam suatu tegakan
dengan komposisi tertentu pada umumnya tetap dan optimum dalam suatu kisaran
kerapatan (range density) yang besar (Anonim, 2012).
Pengaruh kerapatan tanaman terhadap diameter dan tinggi tanaman yaitu semakin
besar kerapatan tanaman maka semakin kecil diameter dan tinggi tanaman yang ada.
Hal ini disebabkan karena kerapatan yang besar berarti jumlah tanaman sejenis
banyak tumbuh di ruang sempit, saling berkompetisi untuk mendapatkan air, dan
nutrisi yang jumlahnya terbatas. Oleh karena itu diameter batang dan tinggi tanaman
tidak dapat tumbuh. Bengitupun sebaliknya, jika kerapatan kecil maka air dan nutrisi
yang tersedia akan semakin besar dan kesempatan tanaman untuk menyerap air dan
8
nutrisi semakin besar, sehingga diamtere batang dan tinggi tanaman bisa tumbuh
secara maksimal. Pengaruh kerapatan tanaman terhadap pertumbuhan akar dan tajuk
yaitu semakin besar kerapatan tanaman, pertumbuhan akar dan tajuk tanaman akan
semakin kecil karena faktor nutrisi dan air akan diperebutkan oleh banyak tanaman
yang sejenis (Anonim, 2012).
Pengaturan jarak tanam merupakan salah satu cara untuk menciptakan faktorfaktor yang dibutuhkan tanaman dapat tersedia secara merata bagi setiap individu
tanaman dan untuk mengoptimasi penggunaan faktor lingkungan yang tersedia.
Metode untuk pengukuran kerapatan tegakan didasarkan pada prinsip biologis yang
hanya dikenal baru-baru ini yaitu, korelasi yang tinggi antara lebar tajuk pohon yang
tumbuh terbuka dan diameternya. Metode ini terbukti berguna untuk estimasi
pengurangan tinggi yang disebabkan oleh berbagai derajat stagnasi pada Pinus
contorta (Theodore, dkk, 1987).
Metode ini memberikan alat untuk mengetahui jumlah tekanan sampingan yang
dapat ditahan suatu jenis dan memberikan wawasan yang berharga mengapa beberapa
jenis mampu tumbuh pada tegakan yang lebih rapat dari yang lain. Metode ini
mengukur karakteristik biologis lain suatu jenis yang tidak bergantung pada umur dan
tempat tumbuh. Metode persaingan tajuk dikembangkan untuk memberikan data
ruang tumbuh maksimal yang dapat digunakan oleh pohon dan data keperluan pohon
minimal untuk mempertahankan tempatnya dalam tegakan (Anonim, 2012).
9
BAB III
METODE PRAKTIKUM
A. Waktu dan Tempat
Praktek lapang ini dilaksanakan pada hari Sabtu, 17 Oktober 2015 pukul 09.30
WITA – selesai yang bertempat di tegakan jati Fakultas Sastra Universitas
Hasanuddin Makassar.
B. Alat dan Bahan
1. Alat
Alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah:
a. Pita meter digunakan untuk mengukur keliling pohon.
b.
Roll meter digunakan untuk mengukur plot dan jarak pengamat dari pohon.
c. Abney level digunakan untuk mengukur tinggi total dan tinggi bebas cabang
pohon.
d. Kamera digital digunakan untuk mendokumentasi praktek lapangan.
e. Alat tulis menulis digunakan sebagai alat untuk mencatat hasil yang diamati.
2. Bahan
Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah sebagai berikut:
a. Tally sheet digunakan sebagai tempat untuk mencatat data hasil pengukuran.
b. Tali rafia digunakan untuk memberi tanda batas wilayah praktikum..
c. Tegakan pohon jati (Tectona grandis) yang dijadikan sebagai objek dalam
praktikum ini.
C. Prosedur Kerja
Prosedur kerja yang dilakukan dalam praktek lapang silvikultur, ialah:
1. Menentukan lokasi pengamatan.
2. Membuat 2 plot, yang masing-masing plot berukuran 10 x 10 m.
3. Melakukan pengukuran keliling pohon dengan menggunakan pita meter serta
tinggi total dan tinggi bebas cabang pohon menggunakan abney level.
4. Memasukkan data ke dalam tally sheet yang telah disiapkan
10
5. Mengolah data dengan menggunakan rumus.
D. Analisa Data
Metode pengukuran pohon yang dilakukan pada praktek lapang Silvikultur
adalah sebagai berikut :
1. Mengukur diameter pohon dengan cara mengukur keliling pohon yang dikonversi
ke diameter, dengan rumus :
k
d = π , dengan k adalah keliling, π bernilai 3,14
2. Menghitung tinggi pohon menggunakan abney level, dengan rumus :
Tinggi total
: tinggi pengamat + jarak . tan α 1
Tinggi bebas cabang (Tbc)
: tinggi pengamat + jarak . tan α 2
3. Menghitung Luas Bidang Dasar (LBDS) dengan menggunakan rumus:
π 2
2
B= 4 d atau B=π r
( )
4. Menghitung volume pohon Tbc dengan rumus :
Volume Tbc = B .Tbc . f
Dimana : B
: Luas Bidang dasar (LBDS) m 2
Tbc
: Tinggi bebas cabang, m
f
: Angka Bentuk (0,8)
5. Menghitung volume tinggi dengan rumus :
Volume Tinggi = B .Ttotal . f
Dimana : B
: Luas Bidang dasar (LBDS) m 2
Ttotal
: Tinggi total pohon, m
f
: Angka Bentuk (0,8)
6. Kurva Kelas Diameter
J = d maksimal – d minimal
K = 1 + 3,3 log (jumlah pohon)
P = J/K
Dimana : d = diameter
11
J = jangkauan data
K = banyaknya interval kelas
P = panjang kelas
7. Kerapatan
a. Kerapatan Individu
Kerapatan Individu/ha =
Jumlah Pohon
Luas
b. Kerapatan LBDs
Kerapatan LBDs/ha =
Σ LBDs seluruh plot
Luas Area
Luas Plot sampel = 0,1 ha
8. Bonita
Menggunakan jumlah pohon dalam seluruh tegakan dengan rumus :
H = h1 + h2 + h3 +…..+ n
N
Keterangan:
H : Tinggi rata-rata (peninggi)
h : Peninggi masing-masing pohon
N : Jumlah Pohon.
9. Penjarangan
Rumus yang digunakan dalam menghitung tingkat kekerasan Penjarangan (S%)
adalah sebagai berikut :
a
S% Hitung = pe x 100 %
a = √ 10000 x
√
2
N √3
Keterangan :
a = jarak antar Pohon
p = Peninggi
N = jumlah Pohon
12
S% Tabel dapat dilihat pada tabel Bonita.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1.
Kelas Diameter
Menghitung kurva kelas diameter dengan mengunakan rumus:
a. Jangkauan Data (J)
J = dmax - dmin
b. Banyak Interval Kelas
K = 1 + 3,3 log (jumlah pohon)
c. Panjang Interval Kelas
J
P= K
Penyelesaian:
a. Jangkauan data
Untuk Plot 1:
Untuk Plot 6:
J = 26,43 – 11,47 = 14,96 cm
J = 23,89 – 12,42 = 11,47 cm
Untuk Plot 2:
Untuk Plot 7:
J = 23,89 – 12,42 = 11,47 cm
J = 26,43 – 16,88 = 9,55 cm
Untuk Plot 3:
Untuk Plot 8:
J = 21,66 – 14,65 = 7,01 cm
J = 19,43 – 9,24 = 10,19 cm
Untuk Plot 4:
Untuk Plot 9:
J = 25,29 –17,29 = 8 cm
J = 25,48 –11,47 = 14,01cm
Untuk Plot 5:
Untuk Plot 10:
J = 23,89 –11,47 = 14,19 cm
J = 24,84 –12,10 = 12,74 cm
Untuk semua plot dari plot 1 – plot 10
J = 26,43 – 9,24 = 17,19 cm
b. Banyak Interval Kelas
13
k = 1 + 3,3 log (Jumlah Pohon)
k = 1 + 3,3 log 110
k = 1 + 3,3 × 2,04
k = 1 + 3,3 (1,04)
k = 1 + 6,73
k = 7,73
Maka, banyaknya interval kelas adalah 8
c. Panjang Interval Kelas
J
P= K
17,19
P= 8
P = 2,15
d. Batas Interval Kelas
Tabel 1. Data Frekuensi Kelas Diameter Pohon
Kelas
1
2
3
4
5
6
7
8
Interval (cm)
Frekuens
9,24-11,39
11,40-13,55
13,56-15,71
15,72-17,87
17,88-20,03
20,04-22,19
22,20-24,35
24,36-26,51
i
2
11
10
15
30
25
11
6
14
Kelas Diameter Tectona grandis
35
30
25
Frekuensi
20
15
Kelas Diameter
Kurva Diameter
10
5
0
Kategori Kelas
2. Kerapatan Tegakan Setiap Pohon
a. Kerapatan Individu
Plot 1 =
∑ Pohon Plot I
Luas Area
Plot
6
=
Plot
7
=
∑ Pohon Plot VI
Luas Area
Plot 2 =
∑ Pohon Plot II
Luas Area
∑ Pohon Plot VII
Luas Area
Plot 3 =
∑ Pohon Plot III
Plot
Luas Area
∑ Pohon Plot VIII
Luas Area
15
8
=
Plot 4 =
∑ Pohon Plot IV
Plot
Luas Area
9
=
∑ Pohon Plot IX
Luas Area
Plot 5 =
∑ Pohon Plot V
Plot
Luas Area
10
=
∑ Pohon Plot X
Luas Area
Kerapatan Individu/Ha =
∑ X ( Jumlah Seluruh Pohon)
∑ Luas Area
b. Kerapatan LBDS
Plot 1 =
∑ LBDS Plot I
Plot 6 =
Plot 2 =
∑ LBDS Plot II
Plot
∑ Luas
∑ Luas
∑ LBDS Plot VI
∑ Luas
7
=
∑ LBDS Plot VII
∑ Luas
Plot 3 =
∑ LBDS Plot III
∑ Luas
Plot
8
=
Plot
9
=
∑ LBDS Plot VIII
∑ Luas
Plot 4 =
∑ LBDS Plot IV
∑ Luas
∑ LBDS Plot IX
∑ Luas
Plot 5 =
∑ LBDS Plot V
Plot
∑ Luas
∑ LBDS Plot X
∑ Luas
16
10
=
Kerapatan LBDs/ha =
∑ LBDS Seluruh Plot
∑ Luas Area
Penyelesaian:
a. Kerapatan Individu
13
Plot 1 = 0,1
= 130
12
Plot 2 = 0,1 = 120
10
Plot 3 = 0,1 = 100
7
Plot 4 = 0,1 = 70
12
Plot 5 = 0,1 = 120
8
Plot 6 = 0,1 = 80
6
Plot 7 = 0,1 = 60
12
Plot 8 = 0,1 = 120
15
Plot 9 = 0,1 = 150
15
Plot 10 = 0,1 = 150
110
Kerapatan Individu/Ha = 1 = 110 pohon/ha
b. Kerapatan LBDS
Plot 1 = 0,406 m2
Plot 6 = 0,214 m2
Plot 2 = 0,322 m2
Plot 7 = 0,202 m2
Plot 3 = 0,285 m2
Plot 8 = 0,240 m2
Plot 4 = 0,246 m2
Plot 9 = 0,526 m2
Plot 5 = 0,320 m2
Plot 10 = 0,363 m2
Σ LBDs seluruh plot = 3,124 m2
3,124
Jadi, Kerapatan LBDs = 0,1 = 31,24 m2 / ha
3. Bonita
a. Peninggi
Untuk menentukan bonita, sebelumnya peninggi seluruh plot harus ditentukan
terlebih dahulu dengan rumus berikut :
Σ 10 Pohontertinggi plot ke−n(TT )
10
Σ Peninggi plot
Peninggi seluruh plot =
10
Peninggi Plot ke-n =
17
Penyelesaian:
Peninggi Plot 1 = 15,881 m
Peninggi Plot 6 = 18,821 m
Peninggi Plot 2 = 13,104 m
Peninggi Plot 7 = 19,600 m
Peninggi Plot 3 = 29,075 m
Peninggi Plot 8 = 16,386 m
Peninggi Plot 4 = 24,060 m
Peninggi Plot 9 = 16,949 m
Peninggi Plot 5 = 18,143 m
Peninggi Plot 10 = 13,899 m
Σ Pohon tertinggi setiap plot = 185,918 m
185,918
Jadi, peninggi seluruh plot =
10 = 18,592 m
b. Bonita
Bonita ditentukan dengan rumus berikut :
Bonita I = (Peninggi pada umur 15 - Peninggi pada umur 10) / 15-10 = x
Bonita I = Peninggi pada umur 10 tahun + x
Bonita II sampai Bonita V ditentukan dengan rumus yang sama.
Penyelesaian:
1) Bonita I =
(12,8−10,7)
= 0,4
15−10
10,7 + 0,4 = 11,1
2) Bonita II =
(16,4−13,6)
= 0,6
15−10
13,6 + 0,6 = 14,2
(20,0−16,6)
= 0,7
15−10
3) Bonita III =
16,6 + 0,7 = 17,30
4) Bonita IV =
(23,6−19,6)
= 0,8
15−10
19,6 + 0,8 = 20,4
5) Bonita V =
(27,0 – 22,6)
= 0,9
15−10
22,6 + 0,9 = 23,5
18
Peninggi yang didapatkan adalah 18,592 m untuk luas 0,1 ha. Jadi tegakan jati
yang diamati berada pada bonita III.
4. Derajat Kekerasan Penjarangan (S%)
a. S% Hitung
Untuk menentukan S% hitung ditentukan dengan rumus :
a
S% Hitung = pe x 100 %
Keterangan: a = jarak tanam
Pe = Peninggi
Q = 100 ×
√
2
→ karena ada 10 plot dengan keseluruhan luasan 1 ha
N √3
Sehingga untuk a = √ 10000 x
√
2
N √3
Penyelesaian:
2
= 100 x 0,1024 = 10,24
110 √ 3
10,24
S% Hitung = 18,59 × 100% = 55 %
a = 100 x
√
b. S% Tabel
S% Tabel ditentukan dengan rumus berikut :
S% 1 =
(S % pada umur 15−S % pada umur 10)
=y
15−10
S% 1 = S% pada umur 10 tahun + y
S% 2 sampai S% 5 ditentukan dengan rumus yang sama
1) S% 1= ¿ ¿ = 0,3
19,1 + 0,3 = 19,4
2) S% 2 =
(21,3−20,4)
= 0,2
15−10
20,4 + 0,2 = 20,6
3) S% 3=
(22,7−21,3)
= 0,3
15−10
19
21,3 + 0,3 = 21,6
4) S% 4 =
(24,3−22,6)
= 0,3
15−10
22,6 + 0,3 = 22,9
5) S% 5 =
(26,2 – 23,8)
= 0,5
15−10
23,8 + 0,5 = 24,3
S% Hitung yang didapatkan adalah 55 %. Jadi tegakan jati yang diamati tidak
perlu dilakukan penjarangan karena S% Tabel (S% 1 - S% 5) lebih kecil dari S%
Hitung.
B. Pembahasan
Kegiatan praktikum pada tegakan jati Tectona grandis di Fakultas Sastra
Universitas Hasanuddin bertujuan untuk menentukan potensi tegakan dan
menentukan preskripsi pengelolaan tegakan mengetahui kondisi bonita maupun
derajat kekerasan penjarangannya melalui data hasil inventarisasi tegakan. Pada
tegakan ini diperoleh pula informasi bahwa pada hutan tanaman yang diamati tidak
hanya terdapat satu jenis tanaman, tetapi memiliki beberapa tanaman lain. Terbukti
pada lokasi praktikum terdapat jenis mangga di antara dominan tegakan jati.
Luas plot sampel yaitu 0,1 ha yang selanjutnya dibagi menjadi 10 subplot masingmasing seluas 0,001 ha. Jumlah total pohon adalah 110 pohon dengan 10 peninggi
yang tersebar secara merata. Tegakan pohon jati ini (Tectona grandis) memiliki
pertumbuhan primer (tinggi) dan pertumbuhan sekunder (diameter) yang cukup baik.
Pohon jati (Tectona grandis) juga memiliki sedikit percabangan, hal ini disebabkan
karena pola penanaman atau jarak tanam yang rapat sehingga pertumbuhan pohon
lebih banyak diarahkan kepada pertumbuhan tinggi karena adanya persaingan atau
kompetisi dalam memperebutkan cahaya matahari sehingga semua pohon bersaing
untuk meninggikan batangnya dalam hal untuk mendapatkan cahaya penuh.
1. Kurva Kelas Diameter
20
Hasil analisis data menunjukkan bahwa tegakan jati lebih banyak berada pada
kisaran interval kelas diameter 17,88-20,03 cm dengan jumlah 30 pohon, dengan arti
bahwa pertumbuhan tegakan tersebut pada umumnya berada pada fase tiang atau
pohon .Kelas diameter dominan pada interval ini karena pengaturan jarak tanam yang
terbilang rapat, sehingga pertumbuhan pohon lebih banyak diarahkan kepada
pertumbuhan tingginya. Jarak tanam yang rapat juga menyebabkan bentuk batang
dari pohon jati berbentuk silindris. Sedangkan pada kelas diameter terkecil berada
pada interval kelas 9,24-11,39 cm yang hanya terdapat 2 pohon saja. Hal ini
dikarenakan kurangnya kemampuan bersaing pada 2 pohon ini.
2. Kerapatan Tegakan
Pada kerapatan tegakan disini didapatkan dua hasil, yaitu yang pertama kerapatan
individu yang menggambarkan kerapatan dari suatu tegakan. Dimana kerapatan
individunya yaitu 110 pohon/ha. Yang kedua yaitu kerapatan LBDS yang
menggambarkan integrasi antara jumlah pohon dan luas permukaan batang dalam
suatu tegakan dengan nilai kerapatan LBDs sebesar 31,24 m2/ha.
3. Bonita
Peninggi yang diperoleh pada seluruh plot adalah 18,592 m. Peninggi ini
diperlukan untuk menentukan kualitas tapak tegakan. Dari data peningi tersebut
dapat dilihat bahwa tegakan jati yang diamati terdapat pada kelas bonita III yang
artinya kualitas kesuburan tapak cukup baik untuk ditumbuhi tanaman.
4. Derajat Kekerasan Penjarangan (S%)
Untuk perhitungan derajat kekerasan maka preskripsi yang dilakukan pada
0,1ha areal ini dilihat pada S% tabel > S% hitung jadi tegakan tersebut membutuhkan
penjarangan. Namun berdasarkan perhitungan yang diperoleh sebaliknya yaitu S %
tabel < S% hitung yakni 55 % ¿ 54.76% sehingga kesimpulannya tegakan jati yang
diamati tidak butuh dijarangi. Untuk hasil riap tahun rata-rata, diperoleh MAI = 0,398
m3/tahun. Dimana MAI ini adalah rata-rata produksi yang terakumulasi tiap
tahunselama umur dari tegakan. Dengan mengetahui MAI kita juga dapat menetapkan
berapa seharusnya rotasi untuk memaksimalkan produksi.
21
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengamatan yang dilakukan, maka dapat
disimpulkan sebgai berikut:
1. Tegakan jati yang diamati dengan jarak tanam yang rapat memiliki 8 sebaran
kelas diameter dari 9,24 hingga 26,51cm dengan frekuensi pohon terbanyak pada
interval kelas 17,88-20,03 cm dengan 30 pohon dan frekuensi pohon terkecil
pada interval kelas 9,24-11,39cm dengan jumlah 2 pohon.
2. Kerapatan tegakan jati terbilang tinggi yaitu kerapatan individu dengan nilai 110
pohon/ha dan kerapatan LBDS adalah 31,24 m2 / ha.
3. Tegakan jati yang diamati berada pada bonita III yang dikategorikan cukup baik
yaitu 18,592 m.
4. Tegakan jati di Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin yang diamati tidak perlu
dilakukan penjarangan karena S% Tabel lebih kecil yaitu 54.76% dari S% Hitung
dengan nilai 55%.
B. Saran
Dalam praktikum diharapkan dapat menggunakan alat ukur dan pembacaannya
secara teliti agar data yang diperoleh akurat serta mengolah data dengan benar agar
data yang diperoleh lebih jelas dan akurat.
22
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
2012.
Contoh
Preskripsi
Silvikultur.
http://aldrenp.blogspot.co.id/2012/04/contoh-preskripsi-silvikultur.html.
Diakses tanggal 18 Oktober 2015.
Junus, Mas’ud, dkk. 1984. Dasar-dasar Umum Ilmu Kehutanan. Badan Kerjasama
Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Timur.
Manan, S. 1976. Pengaruh Hutan dan manajemen DAS. Departemen Manajemen
Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Soetrisno, Kadar, Dr. 1998. Silvika (Bahan Kuliah Fakultas Kehutanan Universitas
Mulawarman untuk Kalangan Sendiri). Samarinda: Fakultas Kehutanan
Mulawarman.
Theodore, Daniel, dkk. 1987 . Prinsip-Prinsip Silvikultur (Diterjemahkan oleh Dr.Ir.
Djoko Marsono, 1992). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Wanggai, Frans. 2009. Manajemen Hutan. Jakarta. PT Gramedia Widiarsarana
Indonesia.
23
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Inventarisasi Tegakan Jati Tectona grandis di Fakultas Sastra
Unhas
Kelomp
ok
Plo
(Penga
t
mat)
Lua
s
(ha)
I
1
2
0,01
0,01
Tinggi
Tinggi
No
Diamet
Total
Bebas
.
er (cm)
(m)
Cabang
Ket.
(m)
1
26.43
13.518
5.043
Pohon
2
11.47
8.602
4.467
Tiang
3
21.98
13.518
6.052
Pohon
4
21.34
13.949
7.143
Pohon
5
11.78
9.991
2.475
Tiang
6
21.02
13.104
7.374
Pohon
7
20.70
12.706
4.849
Pohon
8
21.02
11.955
4.657
Pohon
9
16.56
10.604
3.184
Tiang
10
23.57
14.399
12.706
Pohon
11
22.29
13.949
7.849
Pohon
12
14.33
7.143
3.184
Tiang
13
20.38
15.881
4.279
Pohon
14
12.42
8.094
2.299
Tiang
15
19.75
12.324
9.991
Tiang
24
II
3
4
0,01
0,01
16
14.33
11.600
3.184
Tiang
17
23.89
11.600
4.849
Pohon
18
14.97
12.324
3.184
Tiang
19
16.88
11.257
2.475
Tiang
20
23.89
12.706
6.477
Pohon
21
21.34
13.104
7.609
Pohon
22
14.65
13.518
2.299
Tiang
23
15.92
9.413
3.544
Tiang
24
21.66
12.324
5.845
Pohon
25
17.52
13.104
3.184
Tiang
26
18.15
18.921
11.600
Tiang
27
21.02
23.045
11.600
Pohon
28
20.06
18.921
8.602
Pohon
29
19.43
13.518
6.263
Tiang
30
15.29
18.921
9.991
Tiang
31
20.06
38.921
15.881
Pohon
32
18.79
38.921
13.518
Tiang
33
20.06
29.075
15.881
Pohon
34
14.65
23.045
9.991
Tiang
35
21.66
18.921
3.363
Pohon
36
22.01
19.640
10.604
Pohon
37
23.09
17.603
7.374
Pohon
38
25.29
14.870
6.052
Pohon
39
19.46
53.046
8.602
Tiang
25
5
0,01
III
6
IV
7
0,01
0,01
40
18.85
36.474
8.345
Tiang
41
17.29
11.600
7.374
Tiang
42
21.08
24.060
11.955
Pohon
43
17.83
15.264
7.994
Tiang
44
19.11
15.781
5.339
Tiang
45
23.89
15.781
11.157
Pohon
46
19.43
18.821
12.224
Tiang
47
11.47
9.036
4.367
Tiang
48
19.43
14.770
10.825
Tiang
49
17.52
16.326
11.855
Tiang
50
20.06
18.143
11.855
Pohon
51
19.75
15.781
11.855
Tiang
52
19.11
13.849
10.193
Tiang
53
18.79
12.606
9.891
Tiang
54
10.83
6.377
4.749
Tiang
55
19.43
19.540
11.500
Tiang
56
18.15
11.855
7.274
Tiang
57
18.15
15.264
6.377
Tiang
58
19.75
20.307
11.855
Tiang
59
23.89
18.821
9.313
Pohon
60
15.92
19.540
10.825
Tiang
61
17.83
18.143
11.855
Tiang
62
12.42
11.157
4.557
Tiang
63
20.06
18.203
10.885
Pohon
26
8
V
9
0,01
0,01
64
20.38
19.600
7.103
Pohon
65
18.79
16.386
7.334
Tiang
66
16.88
13.909
8.562
Tiang
67
20.38
16.386
6.655
Pohon
68
26.43
14.359
7.334
Pohon
69
11.47
15.324
8.825
Tiang
70
19.43
14.359
13.064
Tiang
71
16.24
13.478
6.655
Tiang
72
16.56
15.841
8.305
Tiang
73
16.24
14.830
6.437
Tiang
74
18.15
17.563
9.096
Tiang
75
13.69
16.386
7.334
Tiang
76
17.52
16.386
9.373
Tiang
77
13.06
7.569
8.562
Tiang
78
9.24
5.399
3.686
Sapihan
79
17.20
6.877
5.600
Tiang
80
19.11
14.830
6.012
Tiang
81
18.15
13.054
3.313
Tiang
82
11.47
8.815
3.494
Tiang
83
23.25
15.314
7.324
Pohon
84
21.66
16.949
5.795
Pohon
85
20.38
14.349
7.324
Pohon
86
19.43
16.949
8.552
Tiang
87
25.48
15.314
6.427
Pohon
27
10
0,01
88
22.61
16.949
6.645
Pohon
89
23.25
16.376
6.645
Pohon
90
20.70
14.349
5.590
Pohon
91
19.75
14.820
6.213
Tiang
92
23.57
15.831
6.645
Pohon
93
17.52
13.054
5.795
Tiang
94
21.02
15.831
8.044
Pohon
95
24.84
14.820
6.002
Pohon
96
13.06
8.815
3.859
Tiang
97
24.84
13.468
4.799
Pohon
98
12.10
9.648
4.417
Tiang
99
12.74
12.274
5.389
Tiang
18.15
13.468
3.859
Tiang
17.20
13.054
4.043
Tiang
14.65
9.941
3.313
Tiang
18.15
11.207
5.795
Tiang
14.33
7.799
2.778
Tiang
5
19.43
12.656
4.043
Tiang
10
14.97
11.905
3.859
Tiang
10
0
10
1
10
2
10
3
10
4
10
28
6
10
7
20.38
13.899
4.799
Pohon
18.15
13.054
5.389
Tiang
19.75
12.274
5.389
Tiang
20.38
11.550
5.389
Pohon
10
8
10
9
11
0
29
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hutan sebagai sumberdaya alam yang dpat diperbaharui memberikan manfaat
pada setiap manusia. Namu dari tahun ke tahun kawasan hutan semakin berkurang
seiring meningkatnya kebutuhan manusia akan hasil hutan dan adanya kemajuan
teknologi. Pertambahan penduduk yang semakin meningkat berbanding terbalik
dengan persediaan sumberdaya hutan. Hal ini akan menjadi ancaman bagi kehidupan
manusia di masa datang (Anonim, 2012).
Keberadaan hutan sebagai sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, terutama
hasil hutan yang berupa kayu dan non kayu yang memiliki sifat estetika yang alamiah
membuat banyak orang tertarik untuk mengelolanya. Akan tetpi pengolahan hutan
ini, biasanya dilakukan dengan cara yang tidak bertanggung jawab misalnya
menebang
tanpa
melakukan
penanaman
kembali,
sehingga
mengakibatkan
terputusnya siklus kehidupan di dalam hutan dan berdampak langsung bagi
kehidupan masyarakat sekitar hutan dan perekonomian negara (Anonim, 2012).
Banyak cara yang telah dilakukan untuk menutupi ketersediaan sumberdaya hutan
yang semakin terbatas, misalnya melalui kegiatan reboisasi, penghijauan dan Gerakan
Nasional Rehabilitasi Lahan (GNRHL) yang merupakan kegiatan yang menggunakan
rangkaian kegiatan silvikultur. Dalam ilmu silvikultur membahas mengenai
penenaman, penumbuhan, pemeliharaan, pemungutan hasil dan melaksanakan
permudaan. Oleh karena itu, dalam usaha melestarikan hutan perlu dipahami prinsip
dan cara teknis dalam penerapan ilmu silvikultur ini (Anonim, 2012).
Untuk mengetahui dan memahami teknik silvikultur yang lebih baik, maka perlu
dilakukan praktek lapang silvikultur mengenai produktivitas dan potensi tegakan jati
Tectona grandis.
1
B. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui sebaran diameter tegakan jati.
2. Mengetahui kerapatan tegakan jati.
3. Mengetahui bonita tegakan jati.
4. Mengetahui derajat kekerasan penjarangan tegakan jati.
Adapun kegunaan praktikum ini yaitu mahasiswa dapat menentukan sebaran
diameter dalam suatu tegakan dan dapat membuat kurva kelas diameter tersebut serta
mengetahui pertumbuhan dan perkembangan tanaman sebagai bahan informasi dalam
penerapan praktikum selanjutnya serta sebagai bahan perbandingan antara teori dan
praktikum di lapangan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Bonita
Bonita adalah suatu ukuran kualitas tempat tumbuh hutan tanaman yang
ditetapkan berdasar hasil pengukuran tinggi rata – rata seratus pohon tertinggi per ha
(pohon peninggi ) suatu tegakan pada umur tertentu. Bonita I menunjukkan kualitas
tempat tumbuh paling rendah dan bonita V dan VI menunjukkan kualitas paling
tinggi (Junus dkk, 1984).
Lingkungan hutan biasanya dinamakan tempat tumbuh. Tempat tumbuh dapat
diartikan dengan jumlah dari keadaan – keadaan yang efektif yang mempengaruhi
penghidupan suatu tumbuh – tumbuhan atau masyarakat tumbuh – tumbuhan. Dilihat
dari segi silvikultur maka tempat tumbuh adalah semua yang berhubungan dengan
faktor – fakor yang mempengaruhi vegetasi hutan. Jadi jelasnya bahwa tempat
tumbuh adalah amat kompleks dan merupakan hasil interaksi dari banyak faktor yang
dihasilkan persatuan areal berkorelasi dengan faktor – faktor tempat tumbuh. Suatu
perubahan – perubahan dalam fsktor – faktor akan menyebabkan suatu perubahan
dalam volume kayu yang diprodusir dan juga perubahan dalam sifat – sifat
vegetasinya. Suatu perubahan dalam suplai air di bawah jumlah optimum yang
diperlukan suatu tipe vegetasi akan menurunkan hasil volume. Kualitas tempat
tumbuh menunjukkan kapasitas produksi dari suatu areal tanah hutan biasanya untuk
suatu kombinasi dari spesies (Soetrisno, 1998).
Namun konteks kualitas tumbuh dan bonita itu berbeda. Kualitas tempat tumbuh
adalah ukuran tingkat kesuburan tanah yang berhubungan erat dengan produktivitas
kayu yang dapat dihasilkan. Sedangkan yang dimaksud dengan bonita adalah ukuran
yang digunakan untuk menentukan kualitas tempat tumbuh. Penetapan nilai bonita
sering didasarkan pada hubungan antara rata-rata peninggi dengan umur dengan
tegakan. Salah satu penentu kualitas kayu jati adalah tinggi tanaman jati semakin baik
kualitas dari jati tersebut. Sedang penilaian bonita melalui penilaian karakteristik
3
lahan mungkin dapat dikembangkan dan akan lebih bermanfaat khususnya bagi
kepentingan perencanaan, pengembangan dan pengolahan hutan jati (Anonim, 2009).
Penetapan kualitas tempat tumbuh berdasarkan antara peninggi dan umur tegakan
di lapangan memang sangat praktis tetapi mempunyai kelemahan dimana penilaian
terlalu rendah bagi tegakan yang masih muda dan sebaliknya penilaian terlalu tinggi
untuk tanaman yang sudah tua. Evaluasi kualitas tempat tumbuh dapat dilakukan
dengan metode langsung dan tidak langsung. Metode langsung untuk menentukan
kualitas tempat tumbuh adalah dengan menumbuhkan tegakan berkerapatan penuh
terhadap jenis yang diinginkan pada suatu tempat tumbuh untuk periode yang
direncanakan (Soetrisno, 1998).
B. Penjarangan
Penjarangan merupakan kegiatan yang dijalankan pada tegakan seumur atau
kelompok seumur dan tegakan tidak seumur pada setiap saat sebelum permulaan atau
periode
permudaa.
Tujuannya
yaitu
pemungutan
pohon
terutama
untuk
mendistribusikan kembali potensi pertumbuhan atau untuk meningkatkan kualitas
tegakan tinggal (Soekotjo, 1992).
Pada dasarnya penjarangan adalah suatu upaya pemeliharaan yang dilakukan
manusia pada tegakan pohon dalam suatu areal hutan, tujuannya adalah menciptakan
keseimbnagan antara kepentingan biologi dari pohon dan kepentingan eki=onomi
untuk memperoleh hasil yang maksimal dikemudian hari. Penjarangan berpengaruh
terhadap tegakan yaitu meningkatkan diameter batang, tinggi tegakan dan volume
total tegakan. Selain itu jumlah batang tegakan dan volume tegakan tinggal berkurang
(Wanggai, 2009).
Dampak penjarangan adalah memberikan ruang tumbuh yang lebih baik pada
tegakan tinggal, terutama perkembangan tajuk aupun pertambahan riap. Dapat
diungkapkan pula bahwa pada penjarangan pohon-pohon dengan diameter yang
snagat kecil yaitu kurang dari 5 cm memang tidak menguntungkan dan menambah
bebean biaya pemeliharaan. Dengan alasan tersebut, maka dalam banyak hal,
kegiatan penjarangan tidak dilaksanakan, Jika dianalisis lebih lanjut, maka tampak
4
bahwa pohon-pohon tanpa penjarangan akan sangat berpengaruh pada hasil akhir
yang diperoleh dari suatu kawasan hutan (Wanggai, 2009).
Manan (1976) mengemukakan bahwa secara alami terjadi persaingan dalam suatu
masyarakat tumbuh-tumbuhan. Pada kondisi yang demikian, terjadi suksesi hingga
mencapai kondisi klimaks, yaitu saat tercatat keseimbangan antara masyarakat
tumbuh-tumbuhan dengan lingkungannya. Pohon-pohon yang tertekan, kalah dalam
persaingan akan mati dan ini merupakan penjarangan alami. Dalam proses demikian
akan terjadi pengurangan jumlah pohon secara bebas dan tidak teratur akibat seleksi
alami dalam suatu kawasan hutan. Selanjutnya diungkapkan bahwa penjarangan
secara alami akan membiarkan banyak energi dan materi yang terbuang dalam jangka
panjang sehingga memerlukan campur tangan manusia. Untuk itu penjarangan buatan
perlu dilakukan agar lebih banyak energi dan materi alam dapat digunakan oleh
tumbuhan secara optimum sesuai ruang dan waktu tertentu.
Penjarangan dapat dilakuan 2 kali pada umur 5-7 tahun sebanyak 25% dan pada
umur 10 tahun sebanyak 25% dan pada umur 15 tahun dilakukan tebang habis atau
panen total. Penjarangan dan penebangan dilakukan dengan berbagai pertimbangan
yang
mungkin
bisa
dilakukan
ini
tergantung
pada:
Jarak tanam; Kesuburan tanah; Perawatan; Pelaksanaan penjarangan sendiri
didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain: Pertimbangan ekonomis; Jumlah
pohon persatuan luas ideal; Penjarangan sistematik; Penjarangan seleksi rendah;
Penjarangan tajuk; Berkaitan dengan prinsip-prinsip penjarangan tersebut, maka yang
ideal adalah dilakukan dengan kaidah selemah mungkin akan tetapi sesering
mungkin. Sebab penjarangan yang terlalu keras akan menyebabkan ruang tumbuh
yang terlalu terbuka yang mengakibatkan tanaman menjadi lunglai, sedangkan
penjarangan yang telalu lemah menyebabkan tanaman menjadi kurang optimal
pertumbuhannya (Manan, 1976).
Hawley dan Smith (1962) dalam Manan (1976) mengemukakan bahwa pada
umumnya terdapat lima metode penjarangan yang digunakan, yaitu:
5
1. Penjarangan Rendah (Low Thinning)
Disebut penjarangan rendah karena dimulai dari lapisan tajuk yang paling bawah
dan merupakan cara tertua diterapkan di Jerman sehingga cara ini dikenal dengan
istilah Metode Jerman. Prinsip dasar yang diterapkan dalam metode ini adalah
semua pohon dan tajuk jelek pada lapisan paling bawah ditebang kemudian
disusul pohon-pohon dengan tajuk yang jelek pada lapisan tajuk di atas sampai
pada lapisan tajuk paling atas.
2. Penjarangan Tajuk (Crown Thinning)
Penjarangan tajuk lebih diarahkan pada pohon-pohon kelas tajuk paling atas
(dominanan trees) dan kelas tajuk pertengahan. Dari proses penjarangan ini maka
perbedaan pokok antara low thinning dan crown thinning adalah bahwa dalam
crown thinning tidak ada penjelasan ringan karena dimulai dari pohon kelas tajuk
paling atas serta pohon-pohon yang ditinggalkan untuk penjarangan ringan karena
dimulai dari pohon kelas tajuk kodominan dan dominan. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa pohon-pohon yang ditinggalkan berasal dari dua kelas lapisan
tajuk dalam satu kelas umur. Kelemahan metode penjarangan ini adalah dua kelas
diterapkan pada tegakan pohon yang distribusi atau sebaran kelas-kelas tajuknya
yang tidak jelas dalam satu kelas umur tegakan.
3. Penjarangan Seleksi ( Selection Thinnning)
Ciri khusus dari penjarangan ini seleksi adalah dimulai dari pohon-pohon
dominan dengan tajuk paling atas akan dimanfaatkan kayunya. Penjarangan
seleksi sangat berbeda dengan penjarangan rendah yaitu dimulai pada pohon-ohon
yang tertekan. Prinsip dari penjarangan seleksi adalah memanfaatkan secara
maksimal hasil terbaik pohon selama daurnya. Dengan demikian, pohon
kododminan dan yang tertekan diberi ruang tumbuh yang lebih baik untuk
dimanfaatkan kayunya pada penjarangan berikutnya. Dapat disimpulkan bahwa
cara penjarangan ini lebih cocok diterapkan pada suatu tegakan yang
menghasilkan kayu dengan diameter sedang dan kecil.
6
4. Penjarangan Mekanik (Mechanichal Thinning)
Penjarangan ini berbeda dengan metode-metode lainnya yaitu dengan metode
mekanik, yang menjadi pertimbangan utama atau dasar penjarangan pohon adalah
posisi tajuk pohon yang akan ditebang. Biasanya metode penjarangan ini
diterapkan pada tegakan seumur dan tingginya hamper seragam. Dalam
aplikasinya, pohon pada jarak tertentu ditebang sehingga disebut pula
penjarangan jalur atau row thinning. Secara umum penjarangan ini diterapkan
pada tegakan yang berukuran sedang setelah mencapai ukuran poles atau tiang
maka digunakan metode lain.
5. Penjarangan Bebas (Free Thinning)
Penjarangan bebas umumnya merupakan gabungan penerapan dari metode lain
sehingga disebut free thinking tidak terikat pada persyaratan tertentu. Pada
umumnya penjarangan bebas dilakukan pada tegakan yang belum dilakukan
penjarangan. Dalam pelaksanaan penjarangan beberapa hal seperti jarak, posisi
tajuk, bentuk batang menjadi pertimbangan dalam penetapan tegakan yang akan
ditebang. Dengan demikian, pohon-pohon yang ditinggalkan berpenampilan kekar
dan diharapkan memberikan produk kayu terbaik dikemudian hari.
C. Derajat Kekerasan Penjarangan
S% (Derajat Ketinggian Penjarangan), yaitu rata-rata jarak antara pohon yang
dinyatakan dalam persen terhadap rata-rata peninggi pohon (sama dengan rata-rat
pohon tertinggi per ha dalam tegakan). S% optimal memberikan ruang tumbuh
optimal bagi pohon dalam tegakan sampai saat penjarangan berikutnya. Untuk S%
optimal diperlukan data pertumbuhan pohon pada setiap umur tegakan. Besarnya S%
pada akhir penjarangan beragam menurut jenis, umumnya berkisar antara 15 – 35%
(Anonim, 2012).
Pohon yang terbaik yaitu bila jarak antar pohon merupakan segitiga sama sisi,
sehingga 1 pohon dikelilingi oleh 6 pohon yang jaraknya masing-masing sama-sama
jauh, dan pohon yang ditengah tersebut akan mempunyai ruangan untuk
perkembangan tajuk yang tidak menyebelah (Manan, 1976).
7
D. Kerapatan
Kerapatan tegakan hutan merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan
produktivitas tempat tumbuh dalam tegakan hutan yang sudah ada. Hal ini penting
karena kerapatan tegakan hutan merupakan faktor utama yang dapat dimanipulasi
dalam rangka pengembangan tegakan (Theodore, dkk, 1987).
Kerapatan tegakan merupakan faktor terpenting kedua setelah tempat tumbuh
dalam penentuan produktivitas tempat tumbuh. Hal ini penting karena kerapatan
tegakan merupakan faktor utama yang dapat dimanipulasi rimbawan dalam
pengembangan tegakan. Melalui manipulasi kerapatan tegakan silvikulturis dapat
mempengaruhi pemantapan jenis selama periode permudaan, dan juga memodifikasi
kualitas batang, kecepatan pertumbuhan diameter, dan bahkan volume produksi
selama periode perkembangan tegakan. Kerapatan tegakan didefenisikan sebagai
ukuran kuantitatif stok pohon yang dinyatakan secara relative sebagai koefisien,
dengan mengambil jumlah normal, luas bidang dasar atau volume sebagai unit, atau
secara mutlak dalam istilah jumlah pohon, luas bidang dasar total, atau volume setiap
unit areal (Theodore, dkk, 1987).
Kerapatan tegakan adalah ukuran kuantitatif stok pohon didasarkan pada jumlah
normal, luas bidang dasar dan volume. Kerapatan dibagi atas 2 yakni kerapatn rendah
dan kerapatan tinggi. Hubungan antara kerapatan dengan pertumbuhan dapat
dinyatakan secara umum yaitu jumlah produksi dalam kubik dalam suatu tegakan
dengan komposisi tertentu pada umumnya tetap dan optimum dalam suatu kisaran
kerapatan (range density) yang besar (Anonim, 2012).
Pengaruh kerapatan tanaman terhadap diameter dan tinggi tanaman yaitu semakin
besar kerapatan tanaman maka semakin kecil diameter dan tinggi tanaman yang ada.
Hal ini disebabkan karena kerapatan yang besar berarti jumlah tanaman sejenis
banyak tumbuh di ruang sempit, saling berkompetisi untuk mendapatkan air, dan
nutrisi yang jumlahnya terbatas. Oleh karena itu diameter batang dan tinggi tanaman
tidak dapat tumbuh. Bengitupun sebaliknya, jika kerapatan kecil maka air dan nutrisi
yang tersedia akan semakin besar dan kesempatan tanaman untuk menyerap air dan
8
nutrisi semakin besar, sehingga diamtere batang dan tinggi tanaman bisa tumbuh
secara maksimal. Pengaruh kerapatan tanaman terhadap pertumbuhan akar dan tajuk
yaitu semakin besar kerapatan tanaman, pertumbuhan akar dan tajuk tanaman akan
semakin kecil karena faktor nutrisi dan air akan diperebutkan oleh banyak tanaman
yang sejenis (Anonim, 2012).
Pengaturan jarak tanam merupakan salah satu cara untuk menciptakan faktorfaktor yang dibutuhkan tanaman dapat tersedia secara merata bagi setiap individu
tanaman dan untuk mengoptimasi penggunaan faktor lingkungan yang tersedia.
Metode untuk pengukuran kerapatan tegakan didasarkan pada prinsip biologis yang
hanya dikenal baru-baru ini yaitu, korelasi yang tinggi antara lebar tajuk pohon yang
tumbuh terbuka dan diameternya. Metode ini terbukti berguna untuk estimasi
pengurangan tinggi yang disebabkan oleh berbagai derajat stagnasi pada Pinus
contorta (Theodore, dkk, 1987).
Metode ini memberikan alat untuk mengetahui jumlah tekanan sampingan yang
dapat ditahan suatu jenis dan memberikan wawasan yang berharga mengapa beberapa
jenis mampu tumbuh pada tegakan yang lebih rapat dari yang lain. Metode ini
mengukur karakteristik biologis lain suatu jenis yang tidak bergantung pada umur dan
tempat tumbuh. Metode persaingan tajuk dikembangkan untuk memberikan data
ruang tumbuh maksimal yang dapat digunakan oleh pohon dan data keperluan pohon
minimal untuk mempertahankan tempatnya dalam tegakan (Anonim, 2012).
9
BAB III
METODE PRAKTIKUM
A. Waktu dan Tempat
Praktek lapang ini dilaksanakan pada hari Sabtu, 17 Oktober 2015 pukul 09.30
WITA – selesai yang bertempat di tegakan jati Fakultas Sastra Universitas
Hasanuddin Makassar.
B. Alat dan Bahan
1. Alat
Alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah:
a. Pita meter digunakan untuk mengukur keliling pohon.
b.
Roll meter digunakan untuk mengukur plot dan jarak pengamat dari pohon.
c. Abney level digunakan untuk mengukur tinggi total dan tinggi bebas cabang
pohon.
d. Kamera digital digunakan untuk mendokumentasi praktek lapangan.
e. Alat tulis menulis digunakan sebagai alat untuk mencatat hasil yang diamati.
2. Bahan
Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah sebagai berikut:
a. Tally sheet digunakan sebagai tempat untuk mencatat data hasil pengukuran.
b. Tali rafia digunakan untuk memberi tanda batas wilayah praktikum..
c. Tegakan pohon jati (Tectona grandis) yang dijadikan sebagai objek dalam
praktikum ini.
C. Prosedur Kerja
Prosedur kerja yang dilakukan dalam praktek lapang silvikultur, ialah:
1. Menentukan lokasi pengamatan.
2. Membuat 2 plot, yang masing-masing plot berukuran 10 x 10 m.
3. Melakukan pengukuran keliling pohon dengan menggunakan pita meter serta
tinggi total dan tinggi bebas cabang pohon menggunakan abney level.
4. Memasukkan data ke dalam tally sheet yang telah disiapkan
10
5. Mengolah data dengan menggunakan rumus.
D. Analisa Data
Metode pengukuran pohon yang dilakukan pada praktek lapang Silvikultur
adalah sebagai berikut :
1. Mengukur diameter pohon dengan cara mengukur keliling pohon yang dikonversi
ke diameter, dengan rumus :
k
d = π , dengan k adalah keliling, π bernilai 3,14
2. Menghitung tinggi pohon menggunakan abney level, dengan rumus :
Tinggi total
: tinggi pengamat + jarak . tan α 1
Tinggi bebas cabang (Tbc)
: tinggi pengamat + jarak . tan α 2
3. Menghitung Luas Bidang Dasar (LBDS) dengan menggunakan rumus:
π 2
2
B= 4 d atau B=π r
( )
4. Menghitung volume pohon Tbc dengan rumus :
Volume Tbc = B .Tbc . f
Dimana : B
: Luas Bidang dasar (LBDS) m 2
Tbc
: Tinggi bebas cabang, m
f
: Angka Bentuk (0,8)
5. Menghitung volume tinggi dengan rumus :
Volume Tinggi = B .Ttotal . f
Dimana : B
: Luas Bidang dasar (LBDS) m 2
Ttotal
: Tinggi total pohon, m
f
: Angka Bentuk (0,8)
6. Kurva Kelas Diameter
J = d maksimal – d minimal
K = 1 + 3,3 log (jumlah pohon)
P = J/K
Dimana : d = diameter
11
J = jangkauan data
K = banyaknya interval kelas
P = panjang kelas
7. Kerapatan
a. Kerapatan Individu
Kerapatan Individu/ha =
Jumlah Pohon
Luas
b. Kerapatan LBDs
Kerapatan LBDs/ha =
Σ LBDs seluruh plot
Luas Area
Luas Plot sampel = 0,1 ha
8. Bonita
Menggunakan jumlah pohon dalam seluruh tegakan dengan rumus :
H = h1 + h2 + h3 +…..+ n
N
Keterangan:
H : Tinggi rata-rata (peninggi)
h : Peninggi masing-masing pohon
N : Jumlah Pohon.
9. Penjarangan
Rumus yang digunakan dalam menghitung tingkat kekerasan Penjarangan (S%)
adalah sebagai berikut :
a
S% Hitung = pe x 100 %
a = √ 10000 x
√
2
N √3
Keterangan :
a = jarak antar Pohon
p = Peninggi
N = jumlah Pohon
12
S% Tabel dapat dilihat pada tabel Bonita.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1.
Kelas Diameter
Menghitung kurva kelas diameter dengan mengunakan rumus:
a. Jangkauan Data (J)
J = dmax - dmin
b. Banyak Interval Kelas
K = 1 + 3,3 log (jumlah pohon)
c. Panjang Interval Kelas
J
P= K
Penyelesaian:
a. Jangkauan data
Untuk Plot 1:
Untuk Plot 6:
J = 26,43 – 11,47 = 14,96 cm
J = 23,89 – 12,42 = 11,47 cm
Untuk Plot 2:
Untuk Plot 7:
J = 23,89 – 12,42 = 11,47 cm
J = 26,43 – 16,88 = 9,55 cm
Untuk Plot 3:
Untuk Plot 8:
J = 21,66 – 14,65 = 7,01 cm
J = 19,43 – 9,24 = 10,19 cm
Untuk Plot 4:
Untuk Plot 9:
J = 25,29 –17,29 = 8 cm
J = 25,48 –11,47 = 14,01cm
Untuk Plot 5:
Untuk Plot 10:
J = 23,89 –11,47 = 14,19 cm
J = 24,84 –12,10 = 12,74 cm
Untuk semua plot dari plot 1 – plot 10
J = 26,43 – 9,24 = 17,19 cm
b. Banyak Interval Kelas
13
k = 1 + 3,3 log (Jumlah Pohon)
k = 1 + 3,3 log 110
k = 1 + 3,3 × 2,04
k = 1 + 3,3 (1,04)
k = 1 + 6,73
k = 7,73
Maka, banyaknya interval kelas adalah 8
c. Panjang Interval Kelas
J
P= K
17,19
P= 8
P = 2,15
d. Batas Interval Kelas
Tabel 1. Data Frekuensi Kelas Diameter Pohon
Kelas
1
2
3
4
5
6
7
8
Interval (cm)
Frekuens
9,24-11,39
11,40-13,55
13,56-15,71
15,72-17,87
17,88-20,03
20,04-22,19
22,20-24,35
24,36-26,51
i
2
11
10
15
30
25
11
6
14
Kelas Diameter Tectona grandis
35
30
25
Frekuensi
20
15
Kelas Diameter
Kurva Diameter
10
5
0
Kategori Kelas
2. Kerapatan Tegakan Setiap Pohon
a. Kerapatan Individu
Plot 1 =
∑ Pohon Plot I
Luas Area
Plot
6
=
Plot
7
=
∑ Pohon Plot VI
Luas Area
Plot 2 =
∑ Pohon Plot II
Luas Area
∑ Pohon Plot VII
Luas Area
Plot 3 =
∑ Pohon Plot III
Plot
Luas Area
∑ Pohon Plot VIII
Luas Area
15
8
=
Plot 4 =
∑ Pohon Plot IV
Plot
Luas Area
9
=
∑ Pohon Plot IX
Luas Area
Plot 5 =
∑ Pohon Plot V
Plot
Luas Area
10
=
∑ Pohon Plot X
Luas Area
Kerapatan Individu/Ha =
∑ X ( Jumlah Seluruh Pohon)
∑ Luas Area
b. Kerapatan LBDS
Plot 1 =
∑ LBDS Plot I
Plot 6 =
Plot 2 =
∑ LBDS Plot II
Plot
∑ Luas
∑ Luas
∑ LBDS Plot VI
∑ Luas
7
=
∑ LBDS Plot VII
∑ Luas
Plot 3 =
∑ LBDS Plot III
∑ Luas
Plot
8
=
Plot
9
=
∑ LBDS Plot VIII
∑ Luas
Plot 4 =
∑ LBDS Plot IV
∑ Luas
∑ LBDS Plot IX
∑ Luas
Plot 5 =
∑ LBDS Plot V
Plot
∑ Luas
∑ LBDS Plot X
∑ Luas
16
10
=
Kerapatan LBDs/ha =
∑ LBDS Seluruh Plot
∑ Luas Area
Penyelesaian:
a. Kerapatan Individu
13
Plot 1 = 0,1
= 130
12
Plot 2 = 0,1 = 120
10
Plot 3 = 0,1 = 100
7
Plot 4 = 0,1 = 70
12
Plot 5 = 0,1 = 120
8
Plot 6 = 0,1 = 80
6
Plot 7 = 0,1 = 60
12
Plot 8 = 0,1 = 120
15
Plot 9 = 0,1 = 150
15
Plot 10 = 0,1 = 150
110
Kerapatan Individu/Ha = 1 = 110 pohon/ha
b. Kerapatan LBDS
Plot 1 = 0,406 m2
Plot 6 = 0,214 m2
Plot 2 = 0,322 m2
Plot 7 = 0,202 m2
Plot 3 = 0,285 m2
Plot 8 = 0,240 m2
Plot 4 = 0,246 m2
Plot 9 = 0,526 m2
Plot 5 = 0,320 m2
Plot 10 = 0,363 m2
Σ LBDs seluruh plot = 3,124 m2
3,124
Jadi, Kerapatan LBDs = 0,1 = 31,24 m2 / ha
3. Bonita
a. Peninggi
Untuk menentukan bonita, sebelumnya peninggi seluruh plot harus ditentukan
terlebih dahulu dengan rumus berikut :
Σ 10 Pohontertinggi plot ke−n(TT )
10
Σ Peninggi plot
Peninggi seluruh plot =
10
Peninggi Plot ke-n =
17
Penyelesaian:
Peninggi Plot 1 = 15,881 m
Peninggi Plot 6 = 18,821 m
Peninggi Plot 2 = 13,104 m
Peninggi Plot 7 = 19,600 m
Peninggi Plot 3 = 29,075 m
Peninggi Plot 8 = 16,386 m
Peninggi Plot 4 = 24,060 m
Peninggi Plot 9 = 16,949 m
Peninggi Plot 5 = 18,143 m
Peninggi Plot 10 = 13,899 m
Σ Pohon tertinggi setiap plot = 185,918 m
185,918
Jadi, peninggi seluruh plot =
10 = 18,592 m
b. Bonita
Bonita ditentukan dengan rumus berikut :
Bonita I = (Peninggi pada umur 15 - Peninggi pada umur 10) / 15-10 = x
Bonita I = Peninggi pada umur 10 tahun + x
Bonita II sampai Bonita V ditentukan dengan rumus yang sama.
Penyelesaian:
1) Bonita I =
(12,8−10,7)
= 0,4
15−10
10,7 + 0,4 = 11,1
2) Bonita II =
(16,4−13,6)
= 0,6
15−10
13,6 + 0,6 = 14,2
(20,0−16,6)
= 0,7
15−10
3) Bonita III =
16,6 + 0,7 = 17,30
4) Bonita IV =
(23,6−19,6)
= 0,8
15−10
19,6 + 0,8 = 20,4
5) Bonita V =
(27,0 – 22,6)
= 0,9
15−10
22,6 + 0,9 = 23,5
18
Peninggi yang didapatkan adalah 18,592 m untuk luas 0,1 ha. Jadi tegakan jati
yang diamati berada pada bonita III.
4. Derajat Kekerasan Penjarangan (S%)
a. S% Hitung
Untuk menentukan S% hitung ditentukan dengan rumus :
a
S% Hitung = pe x 100 %
Keterangan: a = jarak tanam
Pe = Peninggi
Q = 100 ×
√
2
→ karena ada 10 plot dengan keseluruhan luasan 1 ha
N √3
Sehingga untuk a = √ 10000 x
√
2
N √3
Penyelesaian:
2
= 100 x 0,1024 = 10,24
110 √ 3
10,24
S% Hitung = 18,59 × 100% = 55 %
a = 100 x
√
b. S% Tabel
S% Tabel ditentukan dengan rumus berikut :
S% 1 =
(S % pada umur 15−S % pada umur 10)
=y
15−10
S% 1 = S% pada umur 10 tahun + y
S% 2 sampai S% 5 ditentukan dengan rumus yang sama
1) S% 1= ¿ ¿ = 0,3
19,1 + 0,3 = 19,4
2) S% 2 =
(21,3−20,4)
= 0,2
15−10
20,4 + 0,2 = 20,6
3) S% 3=
(22,7−21,3)
= 0,3
15−10
19
21,3 + 0,3 = 21,6
4) S% 4 =
(24,3−22,6)
= 0,3
15−10
22,6 + 0,3 = 22,9
5) S% 5 =
(26,2 – 23,8)
= 0,5
15−10
23,8 + 0,5 = 24,3
S% Hitung yang didapatkan adalah 55 %. Jadi tegakan jati yang diamati tidak
perlu dilakukan penjarangan karena S% Tabel (S% 1 - S% 5) lebih kecil dari S%
Hitung.
B. Pembahasan
Kegiatan praktikum pada tegakan jati Tectona grandis di Fakultas Sastra
Universitas Hasanuddin bertujuan untuk menentukan potensi tegakan dan
menentukan preskripsi pengelolaan tegakan mengetahui kondisi bonita maupun
derajat kekerasan penjarangannya melalui data hasil inventarisasi tegakan. Pada
tegakan ini diperoleh pula informasi bahwa pada hutan tanaman yang diamati tidak
hanya terdapat satu jenis tanaman, tetapi memiliki beberapa tanaman lain. Terbukti
pada lokasi praktikum terdapat jenis mangga di antara dominan tegakan jati.
Luas plot sampel yaitu 0,1 ha yang selanjutnya dibagi menjadi 10 subplot masingmasing seluas 0,001 ha. Jumlah total pohon adalah 110 pohon dengan 10 peninggi
yang tersebar secara merata. Tegakan pohon jati ini (Tectona grandis) memiliki
pertumbuhan primer (tinggi) dan pertumbuhan sekunder (diameter) yang cukup baik.
Pohon jati (Tectona grandis) juga memiliki sedikit percabangan, hal ini disebabkan
karena pola penanaman atau jarak tanam yang rapat sehingga pertumbuhan pohon
lebih banyak diarahkan kepada pertumbuhan tinggi karena adanya persaingan atau
kompetisi dalam memperebutkan cahaya matahari sehingga semua pohon bersaing
untuk meninggikan batangnya dalam hal untuk mendapatkan cahaya penuh.
1. Kurva Kelas Diameter
20
Hasil analisis data menunjukkan bahwa tegakan jati lebih banyak berada pada
kisaran interval kelas diameter 17,88-20,03 cm dengan jumlah 30 pohon, dengan arti
bahwa pertumbuhan tegakan tersebut pada umumnya berada pada fase tiang atau
pohon .Kelas diameter dominan pada interval ini karena pengaturan jarak tanam yang
terbilang rapat, sehingga pertumbuhan pohon lebih banyak diarahkan kepada
pertumbuhan tingginya. Jarak tanam yang rapat juga menyebabkan bentuk batang
dari pohon jati berbentuk silindris. Sedangkan pada kelas diameter terkecil berada
pada interval kelas 9,24-11,39 cm yang hanya terdapat 2 pohon saja. Hal ini
dikarenakan kurangnya kemampuan bersaing pada 2 pohon ini.
2. Kerapatan Tegakan
Pada kerapatan tegakan disini didapatkan dua hasil, yaitu yang pertama kerapatan
individu yang menggambarkan kerapatan dari suatu tegakan. Dimana kerapatan
individunya yaitu 110 pohon/ha. Yang kedua yaitu kerapatan LBDS yang
menggambarkan integrasi antara jumlah pohon dan luas permukaan batang dalam
suatu tegakan dengan nilai kerapatan LBDs sebesar 31,24 m2/ha.
3. Bonita
Peninggi yang diperoleh pada seluruh plot adalah 18,592 m. Peninggi ini
diperlukan untuk menentukan kualitas tapak tegakan. Dari data peningi tersebut
dapat dilihat bahwa tegakan jati yang diamati terdapat pada kelas bonita III yang
artinya kualitas kesuburan tapak cukup baik untuk ditumbuhi tanaman.
4. Derajat Kekerasan Penjarangan (S%)
Untuk perhitungan derajat kekerasan maka preskripsi yang dilakukan pada
0,1ha areal ini dilihat pada S% tabel > S% hitung jadi tegakan tersebut membutuhkan
penjarangan. Namun berdasarkan perhitungan yang diperoleh sebaliknya yaitu S %
tabel < S% hitung yakni 55 % ¿ 54.76% sehingga kesimpulannya tegakan jati yang
diamati tidak butuh dijarangi. Untuk hasil riap tahun rata-rata, diperoleh MAI = 0,398
m3/tahun. Dimana MAI ini adalah rata-rata produksi yang terakumulasi tiap
tahunselama umur dari tegakan. Dengan mengetahui MAI kita juga dapat menetapkan
berapa seharusnya rotasi untuk memaksimalkan produksi.
21
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengamatan yang dilakukan, maka dapat
disimpulkan sebgai berikut:
1. Tegakan jati yang diamati dengan jarak tanam yang rapat memiliki 8 sebaran
kelas diameter dari 9,24 hingga 26,51cm dengan frekuensi pohon terbanyak pada
interval kelas 17,88-20,03 cm dengan 30 pohon dan frekuensi pohon terkecil
pada interval kelas 9,24-11,39cm dengan jumlah 2 pohon.
2. Kerapatan tegakan jati terbilang tinggi yaitu kerapatan individu dengan nilai 110
pohon/ha dan kerapatan LBDS adalah 31,24 m2 / ha.
3. Tegakan jati yang diamati berada pada bonita III yang dikategorikan cukup baik
yaitu 18,592 m.
4. Tegakan jati di Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin yang diamati tidak perlu
dilakukan penjarangan karena S% Tabel lebih kecil yaitu 54.76% dari S% Hitung
dengan nilai 55%.
B. Saran
Dalam praktikum diharapkan dapat menggunakan alat ukur dan pembacaannya
secara teliti agar data yang diperoleh akurat serta mengolah data dengan benar agar
data yang diperoleh lebih jelas dan akurat.
22
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
2012.
Contoh
Preskripsi
Silvikultur.
http://aldrenp.blogspot.co.id/2012/04/contoh-preskripsi-silvikultur.html.
Diakses tanggal 18 Oktober 2015.
Junus, Mas’ud, dkk. 1984. Dasar-dasar Umum Ilmu Kehutanan. Badan Kerjasama
Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Timur.
Manan, S. 1976. Pengaruh Hutan dan manajemen DAS. Departemen Manajemen
Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Soetrisno, Kadar, Dr. 1998. Silvika (Bahan Kuliah Fakultas Kehutanan Universitas
Mulawarman untuk Kalangan Sendiri). Samarinda: Fakultas Kehutanan
Mulawarman.
Theodore, Daniel, dkk. 1987 . Prinsip-Prinsip Silvikultur (Diterjemahkan oleh Dr.Ir.
Djoko Marsono, 1992). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Wanggai, Frans. 2009. Manajemen Hutan. Jakarta. PT Gramedia Widiarsarana
Indonesia.
23
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Inventarisasi Tegakan Jati Tectona grandis di Fakultas Sastra
Unhas
Kelomp
ok
Plo
(Penga
t
mat)
Lua
s
(ha)
I
1
2
0,01
0,01
Tinggi
Tinggi
No
Diamet
Total
Bebas
.
er (cm)
(m)
Cabang
Ket.
(m)
1
26.43
13.518
5.043
Pohon
2
11.47
8.602
4.467
Tiang
3
21.98
13.518
6.052
Pohon
4
21.34
13.949
7.143
Pohon
5
11.78
9.991
2.475
Tiang
6
21.02
13.104
7.374
Pohon
7
20.70
12.706
4.849
Pohon
8
21.02
11.955
4.657
Pohon
9
16.56
10.604
3.184
Tiang
10
23.57
14.399
12.706
Pohon
11
22.29
13.949
7.849
Pohon
12
14.33
7.143
3.184
Tiang
13
20.38
15.881
4.279
Pohon
14
12.42
8.094
2.299
Tiang
15
19.75
12.324
9.991
Tiang
24
II
3
4
0,01
0,01
16
14.33
11.600
3.184
Tiang
17
23.89
11.600
4.849
Pohon
18
14.97
12.324
3.184
Tiang
19
16.88
11.257
2.475
Tiang
20
23.89
12.706
6.477
Pohon
21
21.34
13.104
7.609
Pohon
22
14.65
13.518
2.299
Tiang
23
15.92
9.413
3.544
Tiang
24
21.66
12.324
5.845
Pohon
25
17.52
13.104
3.184
Tiang
26
18.15
18.921
11.600
Tiang
27
21.02
23.045
11.600
Pohon
28
20.06
18.921
8.602
Pohon
29
19.43
13.518
6.263
Tiang
30
15.29
18.921
9.991
Tiang
31
20.06
38.921
15.881
Pohon
32
18.79
38.921
13.518
Tiang
33
20.06
29.075
15.881
Pohon
34
14.65
23.045
9.991
Tiang
35
21.66
18.921
3.363
Pohon
36
22.01
19.640
10.604
Pohon
37
23.09
17.603
7.374
Pohon
38
25.29
14.870
6.052
Pohon
39
19.46
53.046
8.602
Tiang
25
5
0,01
III
6
IV
7
0,01
0,01
40
18.85
36.474
8.345
Tiang
41
17.29
11.600
7.374
Tiang
42
21.08
24.060
11.955
Pohon
43
17.83
15.264
7.994
Tiang
44
19.11
15.781
5.339
Tiang
45
23.89
15.781
11.157
Pohon
46
19.43
18.821
12.224
Tiang
47
11.47
9.036
4.367
Tiang
48
19.43
14.770
10.825
Tiang
49
17.52
16.326
11.855
Tiang
50
20.06
18.143
11.855
Pohon
51
19.75
15.781
11.855
Tiang
52
19.11
13.849
10.193
Tiang
53
18.79
12.606
9.891
Tiang
54
10.83
6.377
4.749
Tiang
55
19.43
19.540
11.500
Tiang
56
18.15
11.855
7.274
Tiang
57
18.15
15.264
6.377
Tiang
58
19.75
20.307
11.855
Tiang
59
23.89
18.821
9.313
Pohon
60
15.92
19.540
10.825
Tiang
61
17.83
18.143
11.855
Tiang
62
12.42
11.157
4.557
Tiang
63
20.06
18.203
10.885
Pohon
26
8
V
9
0,01
0,01
64
20.38
19.600
7.103
Pohon
65
18.79
16.386
7.334
Tiang
66
16.88
13.909
8.562
Tiang
67
20.38
16.386
6.655
Pohon
68
26.43
14.359
7.334
Pohon
69
11.47
15.324
8.825
Tiang
70
19.43
14.359
13.064
Tiang
71
16.24
13.478
6.655
Tiang
72
16.56
15.841
8.305
Tiang
73
16.24
14.830
6.437
Tiang
74
18.15
17.563
9.096
Tiang
75
13.69
16.386
7.334
Tiang
76
17.52
16.386
9.373
Tiang
77
13.06
7.569
8.562
Tiang
78
9.24
5.399
3.686
Sapihan
79
17.20
6.877
5.600
Tiang
80
19.11
14.830
6.012
Tiang
81
18.15
13.054
3.313
Tiang
82
11.47
8.815
3.494
Tiang
83
23.25
15.314
7.324
Pohon
84
21.66
16.949
5.795
Pohon
85
20.38
14.349
7.324
Pohon
86
19.43
16.949
8.552
Tiang
87
25.48
15.314
6.427
Pohon
27
10
0,01
88
22.61
16.949
6.645
Pohon
89
23.25
16.376
6.645
Pohon
90
20.70
14.349
5.590
Pohon
91
19.75
14.820
6.213
Tiang
92
23.57
15.831
6.645
Pohon
93
17.52
13.054
5.795
Tiang
94
21.02
15.831
8.044
Pohon
95
24.84
14.820
6.002
Pohon
96
13.06
8.815
3.859
Tiang
97
24.84
13.468
4.799
Pohon
98
12.10
9.648
4.417
Tiang
99
12.74
12.274
5.389
Tiang
18.15
13.468
3.859
Tiang
17.20
13.054
4.043
Tiang
14.65
9.941
3.313
Tiang
18.15
11.207
5.795
Tiang
14.33
7.799
2.778
Tiang
5
19.43
12.656
4.043
Tiang
10
14.97
11.905
3.859
Tiang
10
0
10
1
10
2
10
3
10
4
10
28
6
10
7
20.38
13.899
4.799
Pohon
18.15
13.054
5.389
Tiang
19.75
12.274
5.389
Tiang
20.38
11.550
5.389
Pohon
10
8
10
9
11
0
29