MANAGEMENT KONFLIK Cara Mengelola Konflik

KESENJANGAN SOSIAL PADA PERISTIWA KONFLIK
POSO DI PROPINSI SULAWESI TENGAH
Disusun dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“ Managemen Konflik ”

Disusun Oleh :
Abdul Majid (E74212059)

Dosen Pengampu
Dr. H.M. Ismail, MH.

Prodi Filsafat Politik Islam Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya 2015

1

BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Konflik Poso
Konflik di poso adalah salah satu konflik yang ada di Indonesia yang belum terpecahkan

sampai saat ini. Meskipun sudah beberapa resolusi ditawarkan, namun itu belum bisa menjamin
keamanan di Poso. Berbagai macam konflik terus bermunculan di Poso. Meskipun secara umum
konflik-konflik yang terjadi di Poso adalah berlatar belakang agama, namun kalau kita meneliti
lebih lanjut, maka kita akan menemukan berbagai kepentingan golongan yang mewarnai konflik
tersebut.
Poso adalah sebuah kabupaten yang terdapat di Sulawesi Tengah. Kalau dilihat dari
keberagaman penduduk, Poso tergolong daerah yang cukup majemuk, selain terdapat suku asli
yang mendiami Poso, suku-suku pendatang pun banyak berdomisili di Poso, seperti dari Jawa,
batak, bugis dan sebagainya.
Suku asli di Poso, serupa dengan daerah-daerah disekitarnya;Morowali dan Tojo Una
Una, adalah orang-orang Toraja. Menurut Albert Kruyt terdapat tiga kelompok besar toraja yang
menetap di Poso. Pertama, Toraja Barat atau sering disebut dengan Toraja Pargi-Kaili. Kedua
adalah toraja Timur atau Toraja Poso-Tojo, dan ketiga adalah Toraja Selatan yang disebut juga
dengan Toraja Sa’dan. Kelompok pertama berdomisili di Sulawesi Tengah, sedangkan untuk
kelompok ketiga berada di Sulawesi Selatan. Untuk wilayah poso sendiri, dibagi menjadi dua
kelompok besar. Pertama adalah Poso tojo yang berbahasa Bare’e dan kedua adalah Toraja
Parigi-kaili. Namun untuk kelompok pertama tidak mempunyai kesamaan bahasa seperti halnya
kelompok pertama.
Kalau dilihat dari konteks agama, Poso terbagi menjadi dua kelomok agama besar, Islam
dan Kristen. Sebelum pemekaran, Poso didominasi oleh agama Islam, namun setelah mengalami

pemekaran menjadi Morowali dan Tojo Una Una, maka yang mendominasi adalah agama
Kristen. Selain itu masih banyak dijumpai penganut agama-agama yang berbasis kesukuan,

2

terutama di daerah-daerah pedalaman. Islam dalam hal ini masuk ke Sulawesi, dan terkhusus
Poso, terlebih dahulu. Baru kemudian disusul Kristen masuk ke Poso.
Keberagaman ini lah yang menjadi salah satu pemantik seringnya terjadi berbagai
kerusuhan yang terjadi di Poso. Baik itu kerusuhan yang berlatar belakang sosial-budaya,
ataupun kerusuhan yang berlatarbelakang agama, seperti yang diklaim saat kerusuhan Poso tahun
1998 dan kerusuhan tahun 2000. Agama seolah-olah menjadi kendaraan dan alasan tendesius
untuk kepentingan masing-masing.
1. Rumusan Masalah
Konflik Poso merupakan pertikaian antar suku dengan pemeluk agama islam dan kristen
sehingga dapat disebut sebagai konflik agama. Peristiwa kerusuhan ini diawali dengan
pertikaian antara dua pemuda yang berbeda agama sehingga belarut dan berhujung dengan
terjadinya kerusuhan yang melibatkan orang banyak. Impliksasi- implikasi kepentingan elite
politik nasional, elite lokal dan militer juga diduga menyulut terjadinya konflik horizontal
sehingga sulit mencari titik temu penyelesaian yang tepat, bahkan terkesan pihak keamanan
lamban menangani konflik tersebut seolah membiarkan konflik ini berkelanjutan karena sulitnya

mendamaikan konflik, sehingga konflik terjadi belarut- larut dan memakan ratusan korban jiwa
dan berbagai harta.
Kurangnya rasa kepercayaan antara sesama penduduk, kecemburuan sosial, provokasi
yang menyentuh pada sentimen antar agama, merupakan rentetan faktor-faktor yang sangat
berpengaruh sehingga menyebabkan konflik di Poso begitu sulit untuk diselesaikan. Ada
berbagai permasalahan yang dapat dirumuskan dari konflik Poso yakni sebagai berikut:
a) Apa latar belakang terjadinya kesenjangan sosial konflik di Poso ?
b) Faktor- faktor apakah yang menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial di Poso ?
c) Bagaimana upaya-upaya pemerintah dalam penyelesaian terjadinya kesenjangan sosial pada
konflik Poso ?

3

BAB II
PENYAJIAN MAKALAH
Konflik sudah menjadi fenomena yang kerapkali mengiringi berjalannya kehidupan ini,
baik konflik dalam sosial, pemikiran, ekonomi, dan konflik lainnya adalah merupakan tantangan
hidup yang harus bias diselesaikan oleh orang-orang yang berada dalam konflik, karena tanpa
penyelesaian konflik akan berubah lebih buruk lagi. Dalam kasus ini, Konflik bernuansa
etnis/kedaerahan dan agama semakin meningkat pada era reformasi pada tahun 1998. Hal itu

dalam tinjauan psikologis merupakan hal yang wajar karena merupakan akumulasi dari
ketidakadilan dalam proses politik dan distribusi pada masa Orde Baru. Ditambah lagi banyak
daerah yang tidak menikmati hasil pembangunan rakyat karena sistem yang sentralistik yang
terpusat pada ibu kota Negara yakni, Jakarta.
Hal inilah yang menyebabkan masyarakat lebih mudah terprovokasi oleh isu-isu yang
dihembuskan oleh oknum-oknum yang memiliki kepentingan dari keberlangsungan konflik.
Terlebih lagi isu-isu yang bergulir sengaja bernuansa etnis dan agama yang belum tentu benar.
Isu tersebut dijadikan senjata untuk menyulut konflik karena ampuh menyentuh lubuk sanubari
masyarakat menjadi sentimental sehingga mudah terpancing. Memang, dibandingkan dengan
kawasan Indonesia Barat, konflik di Indonesia Timur jauh lebih sering karena kawasan Indonesia
Timur terdiri dari 547 suku, sedangkan Indonesia bagian Barat sebanyak 109 suku.

A. DEMOGRAFI POSO
Dilihat dari segi demografi, berdasarkan hasil registrasi sensus penduduk Badan Pusat
Statistik (BPS) Propinsi Sulawesi Tengah tahun 2010, jumlah penduduk (populasi) di Propinsi
Sulawesi Tengah adalah 2.633.420 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 1.349.225 jiwa dan
perempuan sebanyak 1.284.195 jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk (2000-2010) sebesar
1,46 persen dan tingkat kepadatan penduduk mencapai 36 jiwa per kilometer persegi.
Dari sisi ketenagakerjaan, daya serap tenaga kerja berdasarkan sektor lapangan usaha di
Provinsi Sulawesi Tengah selama tahun 2006-2010 terus menunjukan trend yang meningkat

diseluruh sektor ekonomi, kecuali sektor Keuangan,Persewaan dan Jasa Perusahaan sedikit
4

mengalami penurunan. Pada tahun 2006 jumlah penduduk yang bekerja di suluruh sektor
lapangan usaha berjumlah 961.006 orang meningkat menjadi 1.164.226 orang, atau terjadi
peningkatan selama lima tahun sebanyak 203.220 orang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
tabel berikut:
Perkembangan tenaga kerja selama lima tahun terakhir (2006-2010), Sektor Pertanian
menyerap tenaga kerja terbanyak, yaitu sebesar 27,38 persen, menyusul Sektor Jasa-Jasa dengan
menyerap tenaga kerja sebesar 25,17 persen dan Sektor Perdagangan, Restoran dan Hotel dengan
menyerap tenaga kerja sebesar 17,57 persen serta Sektor Pertambangan menyerap tenaga kerja
sebesar 7,16 persen. sedangkan sektor yang paling rendah (berkurang) daya serapnya adalah
Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan yaitu sebesar 0,64 persen.
Poso merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah yang memiliki luas
wilayah 14.433,76 Km2 dengan letak geografis 0,35-1,20 LU dan 120,12-122,09 BT. Di wilayah
administratif kabupaten Poso menyebar 13 kecamatan yang membawahi 211 desa dan 29
kelurahan, yang didiami 231.891 jiwa (sensus penduduk 2000) dengan pluralitas masyarakat
yang hidup dari beragam komunitas etnis dan agama.Di samping tanah pertanian yang subur,
sebagian besar wilayah kabupaten Poso ditumbuhi hutan dengan vegetasi kayu-kayuan (jenis
agathis, ebony, meranti, besi, damar dan rotan), fauna yang hidup secara endemik (anoa, babi

rusa dan burung maleo) serta tambang mineral yang cukup banyak tersebar di sekitar kawasan
pegunungan.
Selain kabupaten ini memiliki penduduk yang beragam, Poso juga memiliki latar
belakang sejarah dan peradaban yang bisa dilacak lewat warisan peninggalan kebudayaan
megalir. Secara kultural masyarakat Poso yang menggunakan bahasa Bare’e dalam komunikasi,
mengikat kekerabatan mereka dengan semboyan sintuwu maroso (persatuan yang kuat). Jadi,
sangat kontradiksi dengan semboyan mereka apabila masyarakat di Poso bisa berseteru sengit.

5

B. KRONOLOGI KONFLIK POSO
Asal mula meletusnya konflik Poso didasari oleh berbagai faktor, yakni pemuda mabuk,
sosial, ekonomi, hingga politik. Hal tersebut berujung pada konflik keagamaan. Isu agama
menjadi salah satu pendorong munculnya tragedi Poso karena ada berberapa daerah yang
dikotak-kotakkan berdasarkan basis massa. Ada Kelompok Putih yang merupakan representasi
dari kelompok Islam, terutama berada di daerah pesisir yakni, Toyado, Madale, Parigi,
dan Bungku. Sedangkan representasi dari Kelompok Merah terdapat di daerah pedalaman
seperti, Lage, Tokorando, Tentena, Taripa, dan Pamona.1
Selain itu, konflik Poso juga disulut oleh adanya rentetan peristiwa-peristiwa besar di
Indonesia pada tahun 1998. Hal tersebut membuat terjadinya chaos sehingga mengubah atmosfir

bangsa Indonesia semakin memanas. Berawal dari krisis ekonomi dan keuangan sejak
pertengahan tahun 1997, kemudian berakhir pada penurunan Presiden Soeharto dari tampuk
kekuasaannya. Sistem sentralisme kekuasaan juga runtuh seketika. Padahal belum ada kesiapan
sosial dari daerah-daerah yang sudah lama termarjinalisasi. Sehingga terjadilah kerusuhan di
Sampit, Maluku, termasuk di Poso.
Konflik Poso yang muncul di permukaan pada akhirnya lebih terlihat mengandung isu
SARA (suku, agama, ras dan antar kelompok). Menurut Ketua Umum Forum Silaturahmi dan
Perjuangan Umat Islam (FSPUI) Poso, H. Muh. Adnan Arsal, konflik tersebut terus terjadi dan
bertujuan kembali mengadu domba antarumat beragama di Poso. Akan tetapi, bila diperhatikan
secara jeli, konflik Poso pada awalnya lebih didasarkan pada kesenjangan politik pemerintahan
yang dipicu oleh pergeseran tampuk pemerintahan daerah/lokal dan kesenjangan sosial ekonomi.
Pergeseran kepemimpinan yang menyulut konflik dari etnis lokal (suku Pamona) ke etnis
pendatang. Hal ini berimplikasi juga terhadap proses rekrutmen pegawai negeri sipil daerah
setempat. Sementara itu, pergeresan lokasi kegiatan ekonomi dari Poso Kota (lama) ke Poso
Kota (baru) juga merupakan faktor meletusnya konflik Poso. Kedua hal tersebut memiliki relasi
karena merupakan konsekuensi logis dari bergesernya pusat pemerintahan akan berimplikasi

1

http://tempo.co.id/hg/timeline/2004/05/12/tml,20040512-03,id.html (diakses pada tanggal 30 April 2015).


6

pada pergeseran pusat-pusat perekonomian pula. Penduduk pendatang pada akhirnya yang
menguasai sendi-sendi kehidupan di Poso.

C. TAHAP-TAHAP KERUSUHANDAN PERPECAHAN
1. Kerusuhan Tahap Pertama
Konflik Poso meletus karena suhu politik memanas pada saat musim kampanye enam
kandidat bupati. Mereka menjadikan agama sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan. Tepatnya
pada Desember 1998, di tengah hujan selebaran dan intrik politik yang bertopeng kepentingan
agama, terjadi perkelahian pemuda yang berbeda agama yakni, Islam dan Kristen.
Peristiwa tersebut terjadi tepatnya pada Jum’at, 25 Desember 1998 bulan Ramadhan 1419
H, sekelompok pemuda yang mengadakan pesta miras (minuman keras) membuat keributan saat
Shalat Tarawih berlangsung. Oleh karena itu, pengurus masjid berusaha mengingatkan mereka.
Akhirnya, para pemuda Kristen tersebut pergi meninggalkan area masjid.2
Setelah lewat tengah malam, mereka kembali. Salah seorang pengurus masjid yang
mengingatkan mereka tadi, bernama Ridwan, dikejar oleh Roy Runtu dalam keadaan mabuk.
Kejadian tersebut terjadi ketika Ridwan sedang membangunkan sahur para warga Muslim di
Kelurahan Sayo. Menghindari kejaran Roy, Ridwan melarikan diri ke sebuah masjid (dekat

pesantren), namun di tempat itu pula ia dibacok. Ridwan sempat berteriak minta tolong dan lari
dengan meningalkan percikan darah di plafon masjid. Pada akhirnya, masyarakat Muslim Poso
bergerak untuk menghancurkan setiap kedai/toko menjual miras. Mereka juga meminta Roy agar
menyerahkan diri kepada aparat yang berwajib.
Kembali ditinjau dari psikologis massa, permasalahan semakin rumit karena pemerintah
daerah tidak menanggapi secara serius. Akhirnya masyarakat mengambil tindakan sendiri
sehingga situasi semakin menegang. Hal itu dikarenakan massa mulai melakukan tindakan
destruktif.
2

DWA. FSPUI Protes Stgmatisasi Teroris oleh Aparat. Kompas, 14-3-2006. Ghazali, Abd Moqsith. Poso.

7

Provokasi terus berlanjut, kelompok massa yang dipimpin Herman Parimo hendak
menyerbu rumah dinas bupati. Isu penyerbuan itu kontan mendatangkan reaksi dari kalangan
Muslim. Tiga hari setelah Natal, konflik yang sebelumnya terselubung akhirnya pecah. Benturan
fisik dengan senjata parang, panah, dan tombak tak terhindarkan. Opini yang beredar
selanjutnya: Di Poso Kota terjadi kerusuhan antar-agama.
Konflik yang terjadi Poso mampu membangkitkan solidaritas yang berdasarkan sentimen

agama. Tidak hanya orang-orang Poso sendiri, tetapi juga sesama Muslim di luar daerah mereka.
Setelah didengungkannya konflik atas nama agama maka, isu politik seakan tenggelam. Hal itu
dikarenakan masing-masing dari kedua belah pihak tersulut emosi yang seolah-seolah berusaha
memperjuangkan martabat agamanya. Entah, apakah itu benar-benar motif sesungguhnya dari
kerusuhan tahap pertama ini?
Sangat mengherankan sebenarnya mengapa mereka bisa begitu mudah menuai konflik.
Padahal, sebelumnya mereka hidup berdampingan penuh cinta kasih. Tapi, semenjak terjadinya
tragedi tersebut, rasa saling percaya yang sejak dulu mereka pupuk kini pupus sudah. Bahkan
karena kecurigaan Muslim terhadap umat Kristiani, mereka menggunakan kata-kata sandi yakni,
“Pak Nasir datang berobat lanjut ke Poso” yang berarti akan ada penyerangan kaum Nasrani ke
Poso, Dalam kajian sosiologis, kondisi demikian sebetulnya mencerminkan adanya sebuah
realitas dari psikologi sosial yang tegang.

2. Kerusuhan Tahap Kedua
Suhu yang semakin memanas di kabupaten Poso menyebabkan kerusuhan jilid kedua
berkobar tak terelakkan lagi. Tepatnya pada 16-17 April 2000, massa dari pihak Kristen dan
Islam sama-sama memanggul senjata. Peristiwa itu terbukti dengan bebasnya orang menenteng
senjata di jalan umum. Memang senjata yang digunakan masih tradisional seperti, panah, parang,
dan tombak. Akan tetapi, hal itu cukup meresahkan karena mengindikasikan semangat yang
membara untuk melanjutkan konflik. Kondisi tersebut berkembang liar karena aparat keamanan

tak dapat melerai perseturuan massal tersebut dengan alasan kekurangan personel.
Sebenarnya motif mereka masih samar, apakah kerusuhan tersebut sengaja diperpanjang
karena demi membela kesucian agama? Ataukah karena dendam yang dipupuk, hingga mereka
8

tak kuasa memuntahkannya dalam bentuk konflik? Berdasarkan pengamatan intelijen, pada
kerusuhan tahap kedua inilah bala bantuan mulai bermunculan dari luar Poso, baik berupa
makanan, obat-obatan, bahkan senjata.
Pada tahap kedua ini, muncullah Fabianus Tibo bersama 13 orang temannya. Tepatnya
pada tanggal 22 Mei 200, sekitar pukul dua dini hari, kelompok Tibo bergerak dari kelurahan
Gebang Rejo memasuki Poso Kota bersama pasukannya. Dia tidak segan-segan menghadapi
musuh-musuh yang menghalanginya dengan sekali tebas. Jagal dari Poso tersebut dikenal
sebagai komandan Laskar Kelelawar Hitam, yang disebut sebagai pasukan Kristen. Walaupun
sesungguhnya Tibo dan kawan-kawan bukanlah satu-satunya tokoh yang berperan dalam konflik
Poso. Namun, mereka sangat mencolok karena berpakai serba hitam dan bengis menghabisi
nyawa musuhnya.

3. Kerusuhan Tahap Ketiga
Masyarakat Kristen mulai merapatkan barisan dengan melakukan pengorganisasian yang
intensif. Hal itu terinspirasi dari masyarakat Muslim yang lebih terkordinir pada periode pertama
dan kedua. Upaya tersebut dilakukan untuk melakukan serangan balik kepada pasukan Muslim.
Strategi dari mereka adalah melakukan penyerangan di saat Muslim masih lengah. Tak disangkasangka, kelompok Kristen menyerang kelompok Muslim dari lima penjuru kota Poso.
Kerusuhan jilid ketiga ini berlangsung berhari-hari membuat kelompok Muslim semakin
terdesak. Akan tetapi kondisi diperparah karena bala bantuan tidak bisa masuk ke Poso. Hal itu
dikarenakan jembatan yang dirusak dan jalan-jalan menuju Poso Kota dihalangi dengan kayu
gelondongan. Dalam perang terbuka yang melibatkan ribuan orang itu, senjata organik mulai
memuntahkan peluru ke hamparan massa. Aparat keamanan dibuat tak berdaya dan bertahan
seadanya di bangunan-bangunan pemerintah yang berlokasi strategis. Gagal memasuki Poso
Kota, kelompok Kristen kemudian membumihanguskan beberapa kecamatan di Poso Pesisir.
Kemudian pada 5 April 2001, Tibo, Dominggus dan Marinus Riwu dijatuhkan vonis mati.
Mereka dituduh melanggar Pasal 340, 187, 351 juncto Pasal 55 dan 64 KUHP. Pada persidangan,
Tibo menyampaikan surat yang ditulis tangan kepada Majelis Hakim, berisikan tentang sejumlah
16 nama yang selama ini menjadi penyuplai logistik bagi pasukannya selama kerusuhan Poso
9

berlangsung. Menurut Tibo, Yahya Pattiro SH yang saat itu menjabat sebagai Asisten IV
Sekretaris Daerah Sulawesi Tengah dan Drs Edi Bungkundapu yang saat itu menjabat sebagai
Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulteng,
menjadi aktor intelektual dalam rusuh Poso Mei hingga Juni 2000. Selain itu, Tibo juga
menyebutkan Tungkanan, Limpadeli, Erik Rombot, Angki Tungkanan sebagai aktor yang
berperan dalam kerusuhan Poso. Pada akhirnya, keputusan memvonis mati Tibo dkk menuai pro
dan kontra di kalangan masyarakat.
Arianto Sangaji menyatakan bahwa masa depan keamanan di sana sangat bergantung pada
kemauan pemerintah. Pertama, kemauan untuk menyelesaikan masalah, dengan tidak bertumpu
pada pendekatan keamanan. Pemerintah harus menghentikan solusi primitif penyelesaian kasus
Poso dengan pengerahan pasukan bersenjata. Kedua, selesaikan kasus-kasus kekerasan Poso
secara menyeluruh, tidak per kasus. Kasus Tibo merupakan contoh di mana pemerintah
menggunakan kacamata kuda dengan memistifikasi Tibo cs seolah-olah sebagai faktor penting
dalam kekerasan. Padahal tidak hanya Tibo cs yang harus bertanggungjawab atas terjadinya
konflik Poso.
Walaupun provokator menjamur di Poso sehingga menyulut konflik, akan tetapi banyak
pihak yang mengupayakan perdamaian. Salah satu tokoh yang berupaya keras untuk
menyelesaikan konflik tersebut adalah Yusuf Kalla yang menjabat Menko Kesra pada kabinet
Megawati. Jalan penyelesaian tersebut ditembuh dengan ditandatanganinya Deklarasi Malino
tanggal 20 Desember 2001. Untuk menyelesaikan konflik di Poso, Deklarasi itu ditandatangani
oleh 24 anggota delegasi kelompok Kristen (merah) dan 25 anggota dari delegasi kelompok
Islam (putih). Terdapat 10 poin dalam kesepakatan tersebut, yakni:3
1) Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan.
2) Menaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung pemberian sanksi
hukum bagi siapa saja yang melanggar.
3) Meminta aparat negara bertidak tegas dan adil untuk menjaga keamanan.
4) Untuk menjaga terciptanya suasana damai menolak memberlakukan keadaan darurat sipil
serta campur tangan pihak asing.
3

http://akupunmenulis.wwordpress.com/2009/07/22/pendekatan-budaya-sebagai-sarana-penyelesaian-konflik--diposo/ (diakses pada tanggal 30 April 2015).

10

5) Menghilangkan seluruh fitnah dan ketidakjujuran terhadap semua pihak dan menegakkan
sikap saling menghormati dan memaafkan satu sama lain demi terciptanya kerukunan hidup
bersama.
6) Tanah Poso adalah bagian integral dari Indonesia. Karena itu, setiap warga negara memiliki
hak untuk hidup, datang dan tinggal secara damai dan menghormati adat istiadat setempat.
7) Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan ke pemiliknya yang sah sebagaimana
adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung.
8) Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asala masing-masing.
9) Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana ekonomi secara
menyeluruh.
10) Menjalankan syariat agama masing-masing dengan cara dan prinsip saling menghormati dan
menaati segala aturan yang telah disetujui baik dalam bentuk UU maupun dalam peraturan
pemerintah.
Setelah Deklarasi Malino untuk Poso diberlakukan, konflik terbuka antarkelompok di Poso
berhasil dihentikan sementara. Namun dalam perjalannanya, kekerasan di Poso masih kerap
terjadi. Berbagai kasus bermunculan seperti teror, upaya mengadu domba yang dapat dilihat
melalui penembakan-penembakan misterius, pembunuhan, peledakan bom, bahkan dengan
tulisan-tulisan di dinding rumah penduduk yang sifatnya provokasi. Pada 2002 hingga 2005 telah
terjadi setidaknya 10 kali teror bom yang merenggut puluhan nyawa. Peristiwa tersebut kembali
menimbulkan rasa trauma, saling curiga dan meningkatkan sensitivitas di tingkat masyarakat.
Penghentian konflik dan perselisihan adalah tujuan utama ikhtiar perdamaian Poso.
karena itu, penghentian konflik dan perselisihan sengaja ditempatkan sebagai poin pertama
dalam deklarasi damai ini. Soal penegakan hukum dan pemberian sanksi bagi yang melanggar
hukum, sengaja ditempatkan di urutan kedua karena kedua pihak menyoroti tajam tentang ini.
Keduanya saling mencurigai bahwa ada yang kebal hukum. Ini juga terkait dengan butir ketiga
yakni meminta aparat untuk bertindak tegas dan adil untuk menjaga keamanan.
Jalan keluarnya Poso harus ditempatkan sebagai kawasan bebas bagi siapa saja yang mau
datang sebagaimana daerah-daerah lainnya dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun bagi para pendatang mereka harus menghormati adat istiadat setempat.

11

Forum Umat Islam (FUI) menyatakan pangkal permasalah kasus Poso disebabkan adanya
ketidakadilan dari pelaksanaan poin-poin dalam Deklarasi Malino.
Dari 10 poin yang ada dalam deklarasi Malino, tiga poin diantaranya sampai saat ini belum
dilaksanakan.Ketiga poin itu adalah poin nomor dua, tujuh dan delapan.
Pada poin kedua, berisi penaatan semua bentuk upaya hukum dan sanksi yang diberikan
kepada pelanggar tidak berjalan semestinya. Untuk poin nomor tujuh berbunyi semua hak-hak
kepemilikan harus di kembalikan kepada pemiliknya. Poin ke delapan berisi pengembalian
seluruh pengungsi ketempat asalnya masing-masing belum ada yang terealisasi.
Penyelesaian konflik di Poso yang dilakukan oleh pemerintah selama ini lebih
mengedepankan pendekatan keamanan daripada komunikasi. Karena itu apa yang diinginkan
oleh pihak-pihak yang bertikai serta akar penyebab konflik tidak pernah tersentuh. Akhirnya
yang terjadi siatuasi keamanan di Poso bersifat fluktuatif. Agar keamanan di Poso bersifat
permanen, perlu dilakukan mediasi kedua pihak yang bertikai yakni masyarakat beragama Islam
dengan yang beragama Kristen, dan dimediatori oleh pemerintah pusat sebagai pihak yang netral.
Selain itu perlu pendekatan budaya mengingat Poso adalah daerah yang sangat heterogen.
Terlebih sebelumnya, masyarakat Poso baik yang asli maupun pendatang hidup berdampingan
dengan damai dengan mengusung nilai-nilai kearifan lokal.
Adapun Dibutuhkan dukungan kebijakan dan prasyarat untuk mewujudkan Poso yang
damai dan tentram yang terkait dengan tugas Polri, yakni:
 pemerintah harus terus mengupayakan agar penyelesaian Konflik Poso menjadi agenda utama.
Salah satu indikasi keseriusan tersebut adanya kebijakan yang simultan dan sinergis, bukan
parsial bagi upaya mewujudkan Keamanan Dalam Negeri. Artinya perlu kearifan pemerintah
untuk tidak lagi menampilkan kebijakan populisdan menjadikan Poso sebagai komoditas politik
semata.
 Meninjau ulang penempatan pasukan BKO, baik dari TNI, maupun Polri khususnya Brimob.
Sebab dalam dua tahun terakhir, eskalasi konflik meningkat di Poso, salahsatunya disebabkan
oleh prilaku pasukan BKO. Jikapun perlu penempatan pasukan BKO, perluada satu pendekatan
yang dibangun bersama berkaitan dengan upaya menjaga agar Poso tetap dalam kondisi
kondusif.
12

 Perlu segera merumuskan Undang-undang Tugas Perbantuan agar memperjelastugas dan fungsi
Polri dan TNI. Hal ini agar dapat menertibkan definisi yang meluas tentang Operasi Militer
Selain Perang yang terumus dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Selain itu juga Polri
sebagai institusi pasif dalam pertahanan negara, yang menjadi domain TNI dapat memposisikan
diri lebih efektif. Kasus di Poso sebenarnya menjadi cerminan bahwa tumpang tindih tugas
antara Polri dan TNI merupakan contoh dari ketiadaan perangkat perundang-undangan yang
mengikat.
 Polri sebagai institusi yang bertanggung jawab dalam mewujudkan Kamdagri harus segera
menata dan memperbaiki diri, khususnya terkait dengan pola pendekatan kemasyarakat di daerah
konflik. Agaknya Polri relatif lamban dalam melakukan dan pola pendekatan ke masyarakat di
daerah konflik. Pembelajaran di Papua, yang menewaskan anggotanya padabentrok massa di
Abepura beberapa waktu lalu belum cukup memberikan satu pencerahan bagi Polri. keinginan
kuat untuk membangun kultur Polisi Sipil hingga saat ini baru sebatas wacana,sebab dalam
praktik di lapangan masih menggunakan pola dan pendekatan militeristik.
 Masyarakat di Poso harus memiliki keinginan yang kuat untuk menyudahi konflik yang terjadi di
daerahnya. Sebab, keinginan untuk menyelesaikan konflik harus bermula dari masyarakat Poso
sendiri. Jika masyarakat Poso masih terpeta dan terbagi dalam faksi-faksi konflik, dan
mementingkan kelompoknya dari pada Poso yang damai. Maka dapat dipastikan Posoakan
menjadi faktor penghambat bagi terwujudnya Kamdagri.
Apabila kebijakan dan lima prasyarat tersebut dapat terpenuhi, maka bukan saja Posoakan
aman dan konflik dapat terselesaikan, tapi citra Polri sebagai pengemban tugas pemeliharaan
Kamdagri akan meningkat. Dan peningkatan citra Polri di mata masyarakat indikasiyang terukur
adalah, sejauhmana Polri mempraktikkan nilai-nilai Polisi Sipil dalam setiap tugasnya.

D. REKONSTRUKSI KONFLIK POSO (1998-2001)
A. Kondisi Masyarakat Poso

13

Istilah konflik berasal dari bahasa Latin yakni com dan fligere. Bila diartikan secara
harfiah bisa berarti saling tubruk atau saling bentur. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai
suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) di mana salah satu pihak
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik dapat selalu mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat. Sebab dalam kancah
keragaman di mana manusia yang satu saling bertatap muka dengan manusia lain dalam
komunitas masyarakat tentu memiliki perbedaan yang bisa mengarah pada silang pendapat dan
lebih jauh menimbulkan konflik fisik. Karenanya konflik akan menghilang apabila masyarakat
juga lenyap.
Menurut Max van der Stoel, konflik, termasuk konflik etnik tidak dapat dihindari namun
bisa dicegah. Pencegahannya membutuhkan berbagai upaya misalkan dengan mengidentifikasi
sumber potensial dari konflik dan menganalisanya sebagai resolusi awal. Namun bila
pencegahan tidak berhasil maka peringatan dini perlu diberikan untuk merespons konflik yang
lebih serius.
Ada berbagai hal yang bisa menjadi pemicu konflik. Ketidak cocokan antar pribadi,
perbedaan sistem nilai, persaingan, ketidak jelasan batas-batas wewenang dan tanggung jawab,
perbedaan fungsi, miss communication, dan pertentangan kepentingan adalah contoh kondisi dan
situasi tertentu dalam masyarakat yang menjadi penyebab munculnya konflik. Sebagaimana di
negara-negara lainnya, di Indonesia terdapat konflik horizontal dan konflik vertikal. Namun
konflik horizontal lebih sering dijumpai di Indonesia sebagai konsekuensi atas keragaman yang
dimilikinya.
Terjadinya konflik dan perilaku kekerasan dalam masyarakat tergantung dari sumber
potensi konflik yang ada. Menurut Koentjoraningrat, setidaknya ada 4 sumber konflik dalam
masyarakat majemuk. Keempatnya adalah persaingan antara kelompok etnik dalam memperoleh
sumber kehidupan, adanya kelompok etnik yang memaksakan kebudayaan kepada kelompok
etnik lainnya, adanya golongan agama yang memaksakan ajarannya kepada golongan agama
lain, dan adanya potensi konflik yang sudah mengakar dalam masyarakat.
Meski demikian masih ada faktor lain yang bisa memicu munculnya konflik yakni
ketidakadilan ekonomi, ketidakstabilan polititik, serta ketimpangan sosial. Untuk menyelesaikan
14

konflik di Poso, maka perlu pemahaman yang baik mengenai apa penyebab konflik tersebut. Hal
tersebut bisa diketahui dengan memahami kondisi masyarakat setempat.
Kondisi masyarakat Poso bisa diketahui dengan menganalisanya melalui metode
PESTEL (Political, Economy, Socio Cultural, Technological, Environment, Legal). Namun
tulisan ini hanya akan memfokuskan pada kondisi politik, ekonomi, dan sosial budaya karena
ketiga hal tersebut menjadi isu yang paling sering disinggung dalam konflik Poso.
Kerusuhan yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah ini secara umum merupakan konflik
horizontal antar kelompok masyarakat setempat. Dilihat dari sisi dinamika kelompok (in groupoutgroup), sikap keberpihakan dan identitas keagamaan dari para warga dan tokoh-tokoh yang
terlibat, secara kasat mata terlihat bahwa dalam konflik kerusuhan Poso melibatkan kelompok
muslim (putih) di satu pihak dan kelompok Kristiani (merah) di pihak yang lain. Namun begitu
tidak berarti bahwa secara otomatis “agama” merupakan faktor utama penyebab konflik. Agama
dalam konflik tersebut lebih banyak berperan sebagai faktor pengiring yang meningkatkan
eskalasi konflik. Identitas keagamaan telah dimananfaatkan sebagai alat yang efektif untuk
mencari dukungan, legitimasi dan memperkuat posisi masing-masing kelompok yang
berkepentingan. Sementara penyebab utamanya diduga kuat adalah faktor-faktor di luar agama,
yakni berbagai kesenjangan di bidang politik, ekonomi, hukum, tidak efektifnya pemerintahan
dan aparat keamanan, serta dampak suasana globalisasi dan reformasi yang cenderung makin liar
dan tak terkendali.4

B. Faktor Pemicu Konflik Poso
Awal konflik Poso terjadi setelah pemilihan bupati pada desember 1998. Ada sintimen
keagamaan yang melatarbelakangi pemilihan tersebut. Dengan menangnya pasangan Piet I dan
Mutholib Rimi waktu tidak lepas dari identitas agama dan suku. 5 Untuk seterusnya agama
4

Departemen Agama (Mursyid Ali), Konflik Sosial Bernuansa Agama di Indonesia Seri II, (Jakarta: Badan Litbang
Agama da Diklat Keagamaan Puslitbang Kehidupan Beragama, 2003), hal 82.
5

Bulletin Yayasan Taman Merdeka Palu, edisi 5 tahun II 2005

15

dijadikan tedeng aling-aling pada setiap konflik yang terjadi di Poso. Perseturuan kecil,
semacam perkelahian antar personal pun bisa menjadi pemicu kerusuhan yang ada di sana.
Semisal, ada dua pemuda terlibat perkelahian. Yang satu beragama islam dan yang satunya lagi
beragama Kristen. Karena salah satu pihak mengalami kekalahan, maka ada perasaan tidak
terima diantara keduanya. Setelah itu salah satu, atau bahkan keduanya, melaporkan masalah
tersebut ke kelompok masing-masing, dan timbullah kerusuhan yang melibatkan banyak orang
dan bahkan kelompok.
Sebelum meletus konflik Desember 1998 dan diikuti oleh beberapa peristiwa konflik
lanjutan, sebenarnya Poso pernah mengalami ketegangan hubungan antar komunitas keagamaan
(Muslim dan Kristen) yakni tahun 1992 dan 1995. Tahun 1992 terjadi akibat Rusli Lobolo
(seorang mantan Muslim, yang menjadi anak bupati Poso, Soewandi yang juga mantan Muslim)
dianggap menghujat Islam, dengan menyebut Muhammad nabinya orang Islam bukanlah Nabi
apalagi Rasul. Sedangkan peristiwa 15 Februari 1995 terjadi akibat pelemparan masjid dan
madrasah di desa Tegalrejo oleh sekelompok pemuda Kristen asal desa Mandale. Peristiwa ini
mendapat perlawanan dan balasan pemuda Islam asal Tegalrejo dan Lawanga dengan melakukan
pengrusakan rumah di desa Mandale. Kerusuhan-kerusuhan ”kecil” tersebut kala itu diredam
oleh aparat keamanan Orde Baru, sehingga tak sampai melebar apalagi berlarut-larut.
Memang, setelah peristiwa 1992 dan 1995, masyarakat kembali hidup secara wajar.
Namun seiring dengan runtuhnya Orde Baru, lengkap dengan lemahnya peran ”aparat
keamanan” yang sedang digugat disemua ini melalui berbagai isu, kerusuhan Poso kembali
meletus, bahkan terjadi secara beruntun dan bersifat lebih masif.
Dari laporan jurnalistis, konflik Poso disebut sebagai tragedi tiga babak. Kerusuhan
pertama berlangsung tanggal 25-30 Desember 1998, yang kedua 15-21 April 2000, sedangkan
kerusuhan ketiga tanggal 23 Mei-10 Juni 2001. Rentetan peristiwa kerusuhan Poso menurut
paparan Sinansari Ecip dan Darwin Daru, konflik Poso dimulai dari kerusuhan pertama pada
tanggal 25 Desember 1998 (kebetulan Natal dan bulan puasa) karena pertikaian dua pemuda
yaang berbeda agama.6 Pertikaian itu terus berlanjut hingga mengundang kelompok massa untuk
melakukan aksi yang anarkis.

6

Sinansari Ecip, Darwin Waru, Kerusuhan Poso Yang Sebenarnya, PT. Global Mahardika Netama, 2001, hal 23-40.

16

Konflik individual ini kemudian melibatkan kelompok pemuda agama (masing-masing
perwakilan dari korban dan pelaku yang berbeda agama) yang berlanjut ke pembakaran toko dan
rumah-rumah warga yang sebelumnya tidak terlibat.
Terjadinya konflik dan perilaku kekerasan dalam masyarakat tergantung dari sumber
potensi konflik yang ada. Ada beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya konflik, selain
agama, yaitu ketidakadilan ekonomi, ketidakstabilan politik, serta ketimpangan sosial.
Meskipun konflik Poso mengatasnamakan ‘agama’ sebagai penyebab konfliknya, namun harus
dilihat terlebih dahulu apakah benar agama sebagai faktor dibalik konflik tersebut. Untuk itulah,
dibutuhkan pemahaman terlebih dahulu mengenai kondisi masyarakat Poso yang menjadi poin
terjadinya konflik.

1. Faktor Politik
Meskipun pemicu awal munculnya konflik di Poso ini adalah karena pertikaian pemuda
namun sebenarnya terdapat muatan politik berkaitan dengan sukses bupati. Ketidakpuasan
politik inilah yang menjadi akar permasalah konflik. Pada 1998, ketika mantan Bupati Poso
Arief Patanga akan mengakhiri masa kepemimpinannya, terlihat sinyalemen terjadinya gesekan
di tingkat politisi partai yang menginginkan perubahan kepemimpinan. Pergesekan antara politisi
partai akhirnya merambah hingga ke tingkat akar rumput. Akhirnya muncullah kelompokkelompok di masyarakat yang berlawanan haluan dengan kebijakan politisi partai.
Terendusnya praktik korupsi yang dilakukan oleh kroni-kroni Bupati Arief Patanga
membuat yang bersangkutan berupaya mengalihkan isu. Korupsi Korupsi bermula dari
pemberian dana kredit usaha tani (KUT) sebesar Rp 5 miliar pada 1998 oleh pemerintah pusat.
Saat ada upaya pengungkapan kasus korupsi itu, orang-orang yang terlibat korupsi menggalang
massa untuk melakukan aksi untuk mengalihkan isu korupsi yang berkembang. Bahkan ada
selebaran yang berisi penyerangan tokoh Kristen yang sengaja diedarkan ke masyarakat. Hal itu
kemudian semakin memperuncing konflik masyarakat yang beragama Islam dan Kristen.
Kekerasan yang terjadi tersebut tidak mendapat respons yang memadai dari aparat
keamanan. Kegiatan itu terlihat dibiarkan sehingga terus terjadi dan meluas. Karena pembiaran
17

oleh aparat, eskalasi kekerasannya meningkat hingga terjadi pembakaran rumah penduduk,
gereja, dan masjid. Bahkan terjadi pembantaian di Pesantren Walisongo, Sintuwelemba, yang
lokasinya di tengah-tengah komunitas Kristen.

2. Faktor Ekonomi
Poso telah dimasuki pendatang Kristen dan Islam sejak masa pra-kolonial, namun
proporsi migrasi yang signifikan baru terjadi pada masa orde baru. Hal itu terjadi sejak
dibangunnya prasara jalan trans-Sulawesi dan pembangunan berbagai pelabuhan laut dan udara
yang semakin memudahkan perpindahan penduduk. Tanpa disadari proses pembangunan
ekonomi di Poso membawa dampak bagi orang Kristen setempat yakni proses Islamisasi yang
cepat dan kesenjangan ekonomi. Keadaan ini lebih dipertajam lagi dengan banyaknya angka
pengangguran kaum terpelajar karena sempitnya atau langkanya lapangan konflik yang sesuai
dengan pendidikan yang pernah ditempuh.
Para pendatang masuk dari utara dan selatan, akibatnya proporsi pendatang terutama
yang beragama Islam semakin besar mendekati proporsi umat Kristen, baik di Poso Pesisir
maupun di Pamona Selatan. Umat Kristen yang banyak mendiami wilayah tengah Poso merasa
terjepit dan terancam secara ekonomi.
Keterancaman masyarakat beragama Kristen di Poso dikarenakan kegiatan perdagangan
secara perlahan tapi pasti mulai mengambil alih peran ekonomi pertanian. Sektor perdagangan
yang terpusat di perkotaan lebih banyak dikuasai pendatang beragama Islam. Kesenjangan
ekonomi pun tercipta. Keadaan ini semakin menebalkan rasa keterdesakan penduduk asli yang
berbasis pertanian dan beragama Kristen.
Rasa saling tidak suka antar kelompok yang juga diprovokasi pihak-pihak lain membuat
masyarakat mudah tersulut konflik. Pembangunan ekonomi yang tengah mengalami kemajuan
seketika terhempas karena harus menanggung kerugian materil akibat konflik yang terjadi.
Tingkat pertumbuhan ekonomi pada 1997 mencapai angka rata-rata 5,15 persen.
Sebenarnya, pertumbuhan ekonomi sempat membaik 2,12 persen di tahun 1999. Namun, seiring

18

dengan meledaknya kembali kerusuhan pada Mei 2000 yang mengakibatkan kerugian sekitar Rp
250 miliar, pertumbuhan ekonomi terjun bebas ke angka minus 4,78 persen.
Akibat urbanisasi dan kesenjangan ekonomi, politik dan budaya antar umat beragama ini
menyebabkan perubahan pola-pola hubungan antar umat beragama terutama antara Muslim dan
Kristiani.
Pertumbuhan urbanisasi yang cepat akan mengantarkan masyarakat ke arah modernisasi
sering terjadi konflik nilai-nilai tradisional yang masih kuat dengan nilai-nilai baru yang belum
mapan di masyarakat. Konflik nilai tersebut berpengaruh besar terhadap perilaku masyarakat dan
dapat mendorong masyarakat ke proses desintegrasi alienasi, disorienttasi, disorganisasi,
segmentasi dan lain sebagainya.
Umat Islam yang hidup di Poso tidak rela dan tidak senang kalau melihat pemudapemuda Kristen yang minum-minuman keras serta mabuk-mabukan di jalan, apalagi di bulan
suci Ramadhan. Oleh karena itu sasaran pengrusakan atau amuk massa Islam tatkala gagal
mencari pemuda Kristen yang memukul pemuda Islam di masjid adalah Toko Lima, tempat
penjualan minuman keras terbesar di Poso. Peristiwa inilah merupakan awal mula bentrok fisik
antara massa Islam dan Kristen. Peristiwa hari Jum’at tanggal 26 Desember 1998 inilah yang
merupakan pelampiasan emosi keagamaan antara Islam dan Kristen yang berpangkal pada
perbedaan dan kesenjangan sistem nilai budaya antara komunitas tersebut.7

3. Sosial Kebudayaan (Socio Cultural)
Daerah Poso dihuni oleh masyarakat asli dan pendatang. Suku Toraja di Poso yang
terbagi dalam 3 kelompok besar yakni Toraja Koro, Toraja Palu dan Toraja Sa’dan adalah
penduduk asli Sulawesi Tengah. Tinggal pula suku To Bungku, To Mori, dan Togean.

7

Departemen Agama (Muh. Nahar Nahrawi), Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Badan
Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Puslitbang Kehidupan Beragama, 2003), hal 159

19

Sedangkan para pendatang yang datang ke Poso berasal dari suku Bugis, Gorontalo,
Toraja, Minahasa, Jawa, Bali, suku-suku dari Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur,
Tionghoa dan Arab. Suku-suku itu umumnya memasuki Poso, baik melalui migrasi secara
spontan, juga melalui program-program transmigrasi yang dilakukan oleh pemerintah. Arus
transmigrasi intensif terjadi sejak dasawarsa 1970-an dan 1980-an, terutama setelah dibukanya
jalur prasarana angkutan darat Trans-Sulawesi.
Kedatangan para pendatang menyebabkan terjadinya peralihan lahan dari yang dahulunya
atas kepemilikan penduduk asli, kemudian beralih kepada para pendatang. Para pendatang
kemudian mengembangkan tanaman bernilai ekonomi tinggi seperti kakao dan kelapa (kopra).
Pengembangan tanaman itu lantas menghasilkan peningkatan kesejahteraan pemiliknya. Meski
penduduk asli mengikuti pola tanam tersebut, namun pemasaran hasil-hasil perkebunan dikuasai
para pendatang. Karena keadaan sosial ekonominya tidak sebaik para pendatang, akibatnya
penduduk asli merasa dirugikan.
Penduduk asli Poso yang beragama Kristen awalnya banyak tinggal di bagian tengah.
Namun lama kelamaan mereka merasa terjepit oleh proporsi pendatang terutama yang beragama
Islam. Sebab semakin lama semakin mendekati proporsi umat Kristen baik di Poso Pesisir
maupun di Pamona Selatan.

BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Konflik di poso adalah salah satu konflik yang ada di Indonesia yang belum terpecahkan
sampai saat ini. Meskipun sudah beberapa resolusi ditawarkan, namun itu belum bisa menjamin
20

keamanan di Poso. Berbagai macam konflik terus bermunculan di Poso. Meskipun secara umum
konflik-konflik yang terjadi di Poso adalah berlatar belakang agama, namun kalau kita meneliti
lebih lanjut, maka kita akan menemukan berbagai kepentingan golongan yang mewarnai konflik
tersebut.
Poso adalah sebuah kabupaten yang terdapat di Sulawesi Tengah. Kalau dilihat dari
keberagaman penduduk, Poso tergolong daerah yang cukup majemuk, selain terdapat suku asli
yang mendiami Poso, suku-suku pendatang pun banyak berdomisili di Poso, seperti dari Jawa,
batak, bugis dan sebagainya.
Kalau dilihat dari konteks agama, Poso terbagi menjadi dua kelompok agama besar,
Islam dan Kristen. Sebelum pemekaran, Poso didominasi oleh agama Islam, namun setelah
mengalami pemekaran menjadi Morowali dan Tojo Una Una, maka yang mendominasi adalah
agama Kristen. Selain itu masih banyak dijumpai penganut agama-agama yang berbasis
kesukuan, terutama di daerah-daerah pedalaman. Islam dalam hal ini masuk ke Sulawesi, dan
terkhusus Poso, terlebih dahulu. Baru kemudian disusul Kristen masuk ke Poso.
Keberagaman ini lah yang menjadi salah satu pemantik seringnya terjadi berbagai
kerusuhan yang terjadi di Poso. Baik itu kerusuhan yang berlatar belakang sosial-budaya,
ataupun kerusuhan yang berlatarbelakang agama, seperti yang diklaim saat kerusuhan Poso tahun
1998 dan kerusuhan tahun 2000. Agama seolah-olah menjadi kendaraan dan alasan tendesius
untuk kepentingan masing-masing.
Situasi yang tergambar dari konflik Poso sungguh mengerikan. Banyak rumah-rumah
yang terbakar karena terjadi pembumihangusan. Selain itu, mayat-mayat bergelimangan darah
menjadi pemandangan yang biasa. Ditambah lagi, setiap detik warga saling bertikai.
Aksi teror bom memburu waktu dan senjata otomatis menjamur di kalangan sipil. Tapi, di lain
sisi terdapat banyak warga yang mengungsi tak mendapat akses bantuan.
Bila dikaji lewat pendekatan sosiologis dan fenomenologis, konflik yang terjadi di Poso
berhembus seiring merebaknya ketidakadilan lokal. Hal tersebut berpangkal pada kebijakan
pemerintahan pusat yang sentralistik dan diskriminatif. Ketidakadilan yang sudah mendarah

21

daging diamini oleh masyarakat lokal yang menyusupkannya pada isu SARA (suku, ras, agama,
dan antar kelompok). Pada akhirnya, rasa ketidakadilan yang terus dipupuk oleh warga tumbuh
dengan subur. Sehingga, motif etnis dan agama menjadi lahan empuk terciptanya konflik yang
bermuara pada konflik agama.
Pengkerucutan konflik Poso hanya semata problem antarkomunitas, sesungguhnya keliru.
Hal itu dikarenakan tragedi tersebut merupakan akumulasi kekerasan yang melibatkan
masyarakat, aparat keamanan, birokrasi sipil, politisi, dan pengusaha. Motifnya beragam, mulai
dari kemarahan korban, eksploitasi terhadap doktrin agama, hingga eksploitasi atas hal itu untuk
menarik keuntungan ekonomi dan politik dari kekerasan yang terjadi.
Bila dilihat dalam kacamata psikologis, suasana konflik di Poso dapat diilustrasikan
dengan mengentalnya identitas sosial dengan fenomena in-group dan out-group. Kedua
fenomena tersebut berkenaan dengan persepsi mereka terhadap kelompok lain, serta eksistensi
dan teritori. Atas dasar itu, muncullah oknum-oknum yang berencana menciptakan kerusuhan
dengan membentuk sentimen yang ada di masyarakat.
Ditambah lagi sempat adanya ulur waktu yang dilakukan oleh aparat pemerintahan
terhadap penyelesaian konflik Poso. “Aparat fokus mengejar teroris dan koruptor. Namun, untuk
teroris, yang dikejar adalah masyarakat Muslim seperti kami. Selama ini kami merasa ada upaya
sengaja memelihara konflik. Masyarakat serta tokoh Muslim dan Kristen sebenarnya sudah
membentuk forum bersama, tetapi setelah itu masih saja ada teror muncul,” ujar Adnan Arsal.8

Setelah Deklarasi Malino, banyak pihak yang berpikir keras untuk mengupayakan
penyelesaian konflik Poso. Akan tetapi, perlu diperhatikan masalah krusial yang sewaktu-waktu
menjadi bom waktu, apabila perdamaian hanya pada tataran konsep. Pertama, banyak
bermunculan komplain dari warga karena adanya diskriminasi penanganan konflik Poso.
Ketidakpuasan masyarakat terhadap proses hukum di negeri ini berpotensi menyulut konflik lagi.

8

http://www.hidayatullah.com/berita/wawancara/read/2013/04/20/4998/sebelum-konflik-tahun-2000-umat-islamagama-lain-hidup-rukun.html (diakses pada tanggal 30 April 2015).

22

Kedua, dalam upaya penyelesaian konflik, pemerintah mengabaikan aspek sosial dan
ekonomi. Banyak dari mereka yang tinggal di pengungsian kehilangan rasa aman. Ditambah lagi
hak milik para pengungsi yang jatuh kepada pihak lain. Selain itu dalam wilayah ekonomi,
mereka bisa tersulut emosinya karena alokasi dana telah dikorupsi oleh aparat birokrat.
Sementara itu, mekanisme jual beli maupun pemanfaatan hasil pertanian tidak dinikmati
sepenuhnya oleh mereka. Konflik juga menyebabkan perekonomian lumpuh sehingga
pengangguran merajalela. Aspek sosial dan ekonomi perlu dieperhatikan secara serius oleh
pemerintah karena sama pentingnya dengan aspek keamanan.
Ketiga, penyelesaian masalah korupsi yang tak kunjung usai. Walaupun Inpres No.
14/2005 sudah mengungkap korupsi yang dilakukan oleh dua mantan pejabat Sulawesi Tengah.
Akan tetapi, korupsi dana bantuan pengungsi merajalela tanpa tersentuh hukum. Hal itu
dikarenakan korupsi melibatkan dan mendapat proteksi politik dari para pejabat. Bahkan teror
disinyalir sebagai upaya melanggengkan praktik korupsi. Selain itu, sebagai pertimbangan untuk
mencegah konflik Poso adalah dengan menerapkan prinsip “persatuan geneologis yang masih
kuat” dan “persatuan atas dasar kepentingan”.
Abd Moqsith Ghazali menyatakan dalam artikel “Poso” bahwa sejumlah analisa beredar
di lingkungan masyarakat. Salah satunya, tentang adanya pihak-pihak tertentu yang ingin
memelihara kekerasan di sana. Jika itu motifnya, maka alangkah jahatnya pihak yang telah
menjadikan saudaranya sebagai tumbal untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka lebih
mementingkan kekuasaan politik dan ekonomi ekonomi-finansial di atas timbunan darah orangorang yang tak berdosa.
David Bloomfield dan Ben Reilly melakukan penelitian atas berbagai konflik horizontal
yang terjadi di Negara-negara Dunia Ketiga. Menurutnya, ada dua elemen kuat yang menjadi
pemicu terjadinya konflik berkepanjangan.
Pertama adalah elemen identitas, yaitu mobilisasi orang dalam kelompok-kelompok identitas
komunal yang didasarkan atas ras, agama, kultur, bahasa, dan lainnya. Kedua adalah elemen
distribusi, yakni cara untuk membagi sumber daya ekonomi, sosial dan politik dalam sebuah
masyarakat.

23

Kita dapat menerapkan kedua elemen tersebut pada konflik Poso. Konflik yang terjadi
Poso berakar dari distribusi baik ekonomi, social dan politik yang tidak adil berkenaan dengan
perbedaan identitas. Maka ketika terjadi gesekan-gesekan sosial sudah representatif untuk
menyulut konflik yang massif dan berkepanjangan. Konflik Poso sangat dipengaruhi oleh isu
indetitas (etnis dan agama) dan isu distribusi. Adanya perbuatan dari kelompok etnis/agama
tertentu yang menyinggung harga diri dan rasa keadilan kelompok identitas lainnya. Selain itu,
penguasaan lapangan kerja yang berpindah alih turut menjadi salah satu faktor terjadinya
konflik.
Konflik berdasarkan identitas bersinggungan dengan pendistribusian sumber daya seperti,
wilayah, kekuasaan ekonomi, prospek lapangan kerja dan seterusnya. Hal tersebut menciptakan
kesempatan bagi para oportunis untuk memperpanjang konflik. Masyarakat sangat mudah
terprovokasi dan belum terbiasa dengan keterbukaan. Sehingga hal tersebut menjadi faktor
penunggu yang potensial terhadap munculnya konflik.
Selain pada tataran horizontal, terdapat juga konflik pada level vertikal. Hal ini
dipengaruhi oleh berbagai faktor, yakni pihak eksekutif, legislatif, judikatif dan Hankam
terlambat dalam koordinasi dan penghimpunan berbagai sumber daya yang dibutuhkan untuk
mencegah konflik semakin meluas. Langkah aparat yang melakukan kekerasan justru semakin
memperkeruh suasana sehingga konflik makin berkepanjangan.
Bila dilihat dari sisi politis, terlihat adanya unsur kesengajaan untuk memperpanjang
konflik dari berbagai pihak yang tidak setuju dengan reformasi. Mereka menyebarkan informasi
untuk mempengaruhi opini publik. Isu yang dihembuskan adalah Orde Baru merupakan era yang
lebih baik daripada Reformasi. Sebagai bukti yang mereka tunjukkan, ketika Orde Baru,
Indonesia begitu tentram dan berdaulat. Namun, ketika kekuasaan Status Quo runtuh, negeri ini
bergejolak. Mereka sengaja menciptakan konflik dimana-mana dengan memprovokasi rakyat,
termasuk konflik di Poso.
Masyarakat dibenturkan dengan isu etnis dan agama yang sangat sensitif sehingga mudah
menyulut konflik. Oleh karena itu, tesis mereka bahwa pemerintahan Orde Baru lebih baik
daripada Era Reformasi yang kacau balau, diamini oleh rakyat Indonesia.

24

Di sisi lain, nampaknya konflik yang berdampak kerusuhan ini merupakan bagian dari
skenario konspirasi besar pihak asing untuk menghancurkan tatanan bangsa ini dari segi
keutuhan (kohesi), stabilitas ekonomi dan pembenturan rakyat dengan TNI-Birokrasi. Ini terlihat
dari yel-yel yang dieluk-elukkan tidak hanya di Poso, akan tetapi di wilayah konflik seperti
Ambon dan Ternate. Mereka meneriakkan Hidup Amerika! Hidup Australia! Hidup Belanda!
Ada beberapa hal berkenaan dengan faktor-faktor yang melanggengkan Kerusuhan Poso.
Pertama, berkaitan dengan peran aparat Negara, Polri, dan TNI. Terdapat dua kubu penafsiran.
Kubu pertama mengatakan militer, setidaknya ikut bermain dalam konflik berdarah di Poso dan
juga di tempat konflik lainnya. Menurut Dedy Askary, dari Lembaga Pengembangan Studi
Hukum dan Advokasi Hak Asasi Manusia di Palu, keterlibatan apa