Istilah-Istilah Kesenian Reog Di Kabupaten Boyolali (Suatu Kajian Etnolinguistik)

DI KABUPATEN BOYOLALI (SUATU KAJIAN ETNOLINGUISTIK)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan Menempuh Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah

Fakultas Sastra dan Seni Rupa

Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh : WITDAYATI

NIM C0104045

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa memiliki satu fungsi utama yaitu sebagai alat komunikasi. Bahasa sebagai alat komunikasi guna mengungkapkan pikiran, perasaan, dan keinginan. Dapat dinyatakan pula bahwa pada dasarnya bahasa merupakan alat atau sarana untuk komunikasi dalam anggota masyarakat pemakai bahasa dan merupakan dokumentasi kegiatan atau aktivitas hidup manusia. Selain itu, bahasa berfungsi sebagai alat pengembangan kebudayaan, jalur penerus kebudayaan dan inventaris ciri-ciri kebudayaan (Nababan, 1984: 38).

Salah satu bahasa yang berfungsi sebagai alat komunikasi dan alat pengembangan kebudayaan adalah bahasa Jawa. Bahasa Jawa merupakan bagian dari bahasa yang ada di Nusantara, memiliki area pemakaian jumlah penutur yang amat besar jumlahnya. Adanya faktor area pemakaian jumlah penutur dan usia bahasa itu menunjukkan bahwa bahasa Jawa merupakan bahasa yang besar dan mengalami sejarah yang cukup panjang. Di samping itu, bahasa Jawa merupakan bahasa yang dapat memberikan corak (variasi) dan carik (catatan) tersendiri. Corak dapat dimaksudkan dalam pemakaian (khususnya menyebutkan untuk istilah-istilah tertentu) memiliki kekhasan atau ciri-ciri tersendiri (dapat disebut variasi dialektal) pada masing-masing daerah pemakaian, maka ada penyebutan untuk daerah pemakaian bahasa Jawa dialek Banyumas, Pesisir, Surakarta, dan Jawa Timur (Uhlenbeck, 1972: 75). Sedangkan carik (catatan) dimaksudkan bahwa dalam penyebutan atau memberi istilah untuk nama-nama tertentu,

Harimurti Kridalaksana (1982: 42) disebutnya dengan istilah linguistik antropologi, di samping etnolinguistik.

Istilah “etnolinguistik” berasal dari kata „etnologi‟ berarti ilmu yang mempelajari tentang suku- suku tertentu dan „linguistik‟ berarti ilmu yang

mempelajari seluk-beluk bahasa keseharian manusia atau disebut juga ilmu bahasa (Sudaryanto, 1996:9),artinya ilmu yang lahir karena adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa dilakukan oleh para ahli etnologi (kini antropologi budaya). Menurut Adamson Hoebel (dalam Spradley, 1997: xvi) secara singkat

menegaskan bahwa “The Foundation of cultural antropology is ethnography" dasar antropologi budaya adalah etnografi). James Spradley juga mengungkapkan bahwa “Etnographic field work is the hallmark of cultural antropology“ (Kajian lapangan etnografi yang berasal dari kata etno (bangsa) dan graph (tulisan). Etnologi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan. Etnolinguistik adalah suatu bidang linguistik yang menganalisis tentang hubungan kebudayaan dengan bahasa (kesenian reog merupakan salah satu hasil dari kebudayaan, sedangkan istilah merupakan hasil dari bahasa).

Kesenian reog merupakan salah satu kesenian rakyat yang hingga kini masih ada, meskipun sedang terancam keberadaanya di era globalisasi ini, kesenian reog merupakan bentuk dari kesenian. Adapun bentuk seni itu sendiri merupakan hasil ciptaan seniman yang merupakan wujud dari ungkapan isi, pandang dan tanggapan ke dalam bentuk fisik yang ditangkap indera. Jadi, di dalam bentuk seni Kesenian reog merupakan salah satu kesenian rakyat yang hingga kini masih ada, meskipun sedang terancam keberadaanya di era globalisasi ini, kesenian reog merupakan bentuk dari kesenian. Adapun bentuk seni itu sendiri merupakan hasil ciptaan seniman yang merupakan wujud dari ungkapan isi, pandang dan tanggapan ke dalam bentuk fisik yang ditangkap indera. Jadi, di dalam bentuk seni

Seni reog merupakan bentuk fisik yang mempunyai makna tertentu. Sajian pertunjukan reog menampilkan tema tertentu. Temanya adalah keprajuritan yaitu sekelompok prajurit yang sedang berlatih perang. Karena pertunjukan reog merupakan bentuk tari yang bertema dan bukan bercerita, maka tidak ada nama- nama tokoh didalamnya. Nama-nama peran pada tari reog diambil dari nama peralatan yang digunakan peran tersebut. Sebagai contoh peran yang menggunakan jaran kepang disebut jaran kepang dan peran yang menggunakan topeng penthul-tembem disebut penthul-tembem.

Seni reog sebagai khasanah budaya Jawa yang mampu bertahan dalam era globalisasi ini, karena seni reog banyak digemari dan diminati oleh masyarakat. Bentuk sajian tari dalam reog terkandung nilai-nilai tertentu yang dapat digunakan sebagai tuntunan bagi masyarakat sekitar selain bentuk sajian tari, seni reog juga terdapat alat musik pengiring dan lagu, alat busana, dan perlengkapan lainnya yang mengandung makna kultural. Seni reog dapat disajikan dalam berbagai acara seperti sarana upacara bersih desa, upacara pernikahan, upacara penebus janji (nadzar) , dan hiburan atau tontonan. Mampunya seni reog ini bertahan hingga kini karena mempunyai ciri khusus sehingga kesenian reog digemari oleh segenap lapisan masyarakat, baik kanak-kanak maupun orang dewasa. Adapun ciri khusus Seni reog sebagai khasanah budaya Jawa yang mampu bertahan dalam era globalisasi ini, karena seni reog banyak digemari dan diminati oleh masyarakat. Bentuk sajian tari dalam reog terkandung nilai-nilai tertentu yang dapat digunakan sebagai tuntunan bagi masyarakat sekitar selain bentuk sajian tari, seni reog juga terdapat alat musik pengiring dan lagu, alat busana, dan perlengkapan lainnya yang mengandung makna kultural. Seni reog dapat disajikan dalam berbagai acara seperti sarana upacara bersih desa, upacara pernikahan, upacara penebus janji (nadzar) , dan hiburan atau tontonan. Mampunya seni reog ini bertahan hingga kini karena mempunyai ciri khusus sehingga kesenian reog digemari oleh segenap lapisan masyarakat, baik kanak-kanak maupun orang dewasa. Adapun ciri khusus

Berdasarkan latar belakang tersebut istilah dalam seni reog yang disertai perkembagannya dapat dikaji secara etnolinguistik, karena dapat ditemukan proses terbentuknya kebudayaan dan keterkaitannya dengan bahasa. Penelitian yang berkaitan dengan kesenian tradisional yang pernah dilakukan adalah sebagai berikut.

1. Penelitian yang dilakukan oleh Noer Istoening, 1995 yang berjudul “Kesenian Tradisioanal Daerah di Kabupaten Wonogiri sebagai Paket Wisata“, yang mengkaji kesenian tradisional daerah secara global yang ada di Kabupaten Wonogiri. Penelitian ini mengkaji tentang berbagai bentuk kesenian tradisional daerah seperti ketoprak, wayang kulit, dan seni tari tradisional. Perkembangan kesenian tradisional daerah berdasarkan kesamaan fungsinya latar belakang budaya dan sumbangan kesenian tradisional daerah terhadap sektor pariwisata di Kabupaten Wonogiri.

2. Penelitian yang berjudul "Istilah Alat-alat Rumah Tangga dan Perkembangannya di Kodya Surakarta (Suatu Pendekatan Etnolinguistik)" 2. Penelitian yang berjudul "Istilah Alat-alat Rumah Tangga dan Perkembangannya di Kodya Surakarta (Suatu Pendekatan Etnolinguistik)"

3. Penelitian yang dilakukan oleh Margono dan Sudarsana, (2002) dengan judul “Kesenian Reog Tradisional, Sebuah Kajian Seni Pertunjukan Rakyat

Mengenai Fungsi dan Keberadaannya pada Masa Kini di Desa Kalikebo Kabupaten Klaten ”. Penelitian ini merupakan kajian reog yang bersifat holistik yang menekankan aspek sejarah dan latar belakang keberadaannya, persepsi di masyarakat serta persepsi para pemain reog, makna, dan fungsi reog .

4. Penelitian oleh Yuliana Sylvina Maharani, 2003 dengan judul “Festival Reog Nasional sebagai Atraksi Wisata di Ponorogo Jawa Timur". Penelitian ini mengkaji tentang peranan festival reog nasional dalam upaya melestarikan kebudayaan asli sebagai even pariwisata Kota Ponorogo. Festival reog nasional yang diselenggarakan sebagai atraksi wisata budaya merupakan rangkaian dari penyelenggaraan perayaan grebeg Sura dan peringatan hari jadi Kabupaten Ponorogo yang dijadikan sebagai even pariwisata untuk menarik minat masyarakat terhadap kesenian dan Kota Ponorogo sendiri.

5. Penelitian oleh Retno Wulandari, 2004 dengan judul "Istilah Gerakan Tari Klasik Gaya Surakarta (Kajian Etnoliguistik), mengkaji bagaimana bentuk kata-kata istilah gerakan tari klasik gaya Surakarta dan makna kata dari istilah

Bertolak dari penelitian tersebut, penelitian tentang istilah dalam kesenian reog yang meliputi peralatan, alat musik pengiring lagu, busana dan sesajiannya beserta fungsi belum pernah dilakukan. Peneliti akan mengkaji dan bagaimana bentuk makna kata dari istilah yang ada dalam seni reog beserta fungsinya. Penelitian ini dilakukan karena didasari adanya alasan bahwa: 1) kesenian reog merupakan potensi dasar daerah setempat, 2) sebagai bentuk kebudayaan, kesenian reog juga merupakan keseluruhan daya upaya manusia untuk mengembangkan harkat dan martabat bangsa, yang dapat memberikan peningkatan wawasan dan makna pembangunan nasional yang berbudaya, 3) kesenian reog mencerminkan nilai-nilai luhur perlu dijaga, dipelihara dan diberdayakan guna memperkuat wawasan budaya jati diri. Oleh karena itu, penelitian ini akan berusaha mendeskripsikan persoalan kebahasaan yang ada hubungannya dengan kesenian tersebut, khususnya di bidang kesenian reog, sehingga judul penelitian ini adalah: Istilah-istilah Kesenian Reog di Kabupaten Boyolali (Suatu Kajian Etnolinguistik ).

istilah-istilah yang ada pada satu jenis seni pertunjukan rakyat yaitu kesenian reog. Adapun batasan masalah tersebut terdapat pada istilah-istilah dari dalam seni reog yang meliputi alat musik pengiring dan lagu, busana dan peralatan untuk pemainnya serta peralatan sesajian.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah seperti di atas masalah yang akan dikaji dapat dirumuskan seperti sebagai berikut.

1. Istilah-istilah apa sajakah yang terdapat dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali?

2. Apakah makna istilah-istilah kesenian reog di Kabupaten Boyolali?

3. Bagaimana fungsi kesenian reog di Kabupaten Boyolali ?

D. Tujuan Penelitian

Dari perumusan masalah tersebut di atas maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan istilah dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali.

2. Mendeskripsikan makna istilah dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali.

3. Mendeskripsikan fungsi kesenian reog di Kabupaten Boyolali.

dan manfaat praktis.

1. Manfaat Teoretis Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap teori linguistik khususnya etnolinguistik.

2. Manfaat Praktis

a. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bentuk dokumentasi budaya Jawa. Pendokumentasian istilah-istilah dalam kesenian reog dilakukan supaya dapat diketahui oleh generasi mendatang dan dapat ditampilkan kembali. Oleh karena itu, pendokumentasian adalah langkah awal terpenting dalam setiap usaha- usaha pelestarian unsur-unsur kebudayaan Jawa.

b. Memberikan wawasan pengetahuan di bidang kebahasaan yang berkaitan dengan budaya khususnya dalam kesenian reog.

c. Sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.

d. Sebagai usaha pelestarian dan pemerkahan kesenian reog di Kabupaten Boyolali.

F. Sistematika Penulisan

Sehubungan dengan penelitian ini, sistematika penulisan meliputi lima bab. Kelima bab tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

penelitian dan sistematika penulisan skripsi. Bab II Landasan teori, bab ini meliputi istilah dan kesenian, sejarah dan latar belakang kesenian reog di Kabupaten Boyolali, kesenian reog sebagai seni pertunjukan rakyat, makna, stuktur, dan etnolinguistik.

Bab III Metode penelitian, bab ini berisi tentang sifat penelitian, lokasi penelitian, data, sumber data, populasi, sampel, metode pengumpulan data, metode analisis data dan metode penyajian data.

Bab IV Hasil analisis data, dan pembahasannya, bab ini merupakan hasil analisis dari pembahasan bentuk dan makna dari istilah-istilah dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali serta fungsinya.

Bab V Penutup, bab ini berisi kesimpulan dan saran.

BAB II KAJIAN TEORETIK

Kajian teoretik di sini maksudnya adalah dasar atau landasan yang bersifat teoretik yang relevan dengan pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Konsep-konsep teoretis yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain sebagai berikut.

A. Pengertian Istilah, Kesenian, dan Reog

tertentu (Kridalaksana, 1982: 67). Di samping itu, dalam Poerwadarminta (1976: 388) menjelaskan bahwa istilah adalah perkataan yang khusus mengandung arti tertentu di lingkungan sesuatu ilmu pengetahuan, pekerjaan atau kesenian. Menurut S. Prawiroatmojo dalam kamus Bausastra Jawa (1993: 287) istilah yaitu “tembung (tetembungan) sing mengku teges, kaanan, sipat, lan sapiturute sing mirunggan ing babagan tartamtu” kata yang mengandung makna, keadaan, sifat, dan sebagainya yang khusus pada bagian tertentu. Berdasar penertian tersebut tidak menutup kemungkinan apabila satu kata atau gabungan kata dapat berbeda arti namun dapat juga sama arti pada bidang tertentu. Misalnya kata barongan "sejenis topeng yang berwujud kepala harimau" dan pembarongan, “orang yang menggunakan barongan". Dari contoh kata itu menunjukkan bahwa istilah adalah kata atau gabungan kata yang mempunyai arti dan maksud tertentu dalam suatu bidang tertentu.

10 Kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan yang cukup penting

dalam kehidupan masyarakat. Kesenian adalah suatu keindahan/estetika yang mewujudkan nilai rasa dalam arti luas. Kedwisatuan manusia yang terdiri atas budi dan badan tidak dapat mengungkapkan pengalamannya secara memadai dengan akal murni saja. Adanya kecenderungan bahwa manusia itu dapat menerima suatu keindahan yang salah satunya adalah kesenian (Bakker, 1994: 47). Suatu kesenian sebenarnya merupakan bentuk lahiriah dari suatu ide seorang pencipta seni budaya yang dapat ditangkap dengan pancaindera. Salah satu bentuk dalam kehidupan masyarakat. Kesenian adalah suatu keindahan/estetika yang mewujudkan nilai rasa dalam arti luas. Kedwisatuan manusia yang terdiri atas budi dan badan tidak dapat mengungkapkan pengalamannya secara memadai dengan akal murni saja. Adanya kecenderungan bahwa manusia itu dapat menerima suatu keindahan yang salah satunya adalah kesenian (Bakker, 1994: 47). Suatu kesenian sebenarnya merupakan bentuk lahiriah dari suatu ide seorang pencipta seni budaya yang dapat ditangkap dengan pancaindera. Salah satu bentuk

Secara etimologis reog berasal dari kata reg dan yod yang berdasarkan pada akar kata dalam bahasa Jawa disebut tembung wod kang dadi oyode (satu kata yang mempunyai satu kata atau paling mendasar dan mengandung arti berguncang). Dalam ensiklopedi Indonesia, reog sama dengan kepang atau penari yang meniru seseorang mengendarai kuda, yang diartikan sebagai tarian naik kuda lumping/kuda kepang. Oleh karena itu, reog berarti pertunjukan sejenis jathil (padha nunggang kuda) (Poerwadarminta, 1939: 527).

Yang dimaksud dengan seni reog adalah suatu seni tarian pertunjukan rakyat dengan menampilkan tarian kuda kepang dan tokoh-tokoh yang bertopeng dan setidaknya ada elemen seperti barongan, penthul, tembem, yang berfungsi sebagai hiburan rakyat. Menurut Pigeaud (1991: 347), tarian kuda yang dimaksud adalah pertunjukan orang yang mengapit anyaman yang terbuat dari bambu atau kulit dengan meniru bentuk kuda.

B. Sejarah dan Latar Belakang Kesenian Reog di Kabupaten Boyolali

Di Desa Glonggong berkembang sebuah cerita rakyat yang berkaitan erat dengan asal-usul kesenian reog. Menurut cerita yang berkembang dalam masyarakat pada zaman ± tahun 1700, ada seorang pangeran dari Mataram yang

besar sehingga rakit tidak bisa berjalan. Pada akhirnya berhentilah sang pangeran untuk melanjutkan ritualnya dan bertapa di suatu gundhukan (tanah perbukitan), dan dalam melakukan ritual itu diikuti seorang abdi untuk mengurus perbekalan, pakaian, dan titihannya kudanya. Sementara waktu bertapa sampailah hari terakhirnya yaitu wafat. Tak bisa menceritakan bagaimana kehidupan di perbukitan tadi. Abdi dan titihan sang pangeran dan kudanya meninggal. Abdi, kuda, dan pakaiannya di kubur di bukit tersebut, tetapi sang pangeran Samudra dibawa ke keraton dan dimakamkan di Ayodyakarta (sekarang Yogyakarta). Oleh para penduduk masyarakat, tempat yang digunakan untuk bertapa sang pangeran dan mengubur abdi, kuda (tunggangan) dan pakaiannya dinamakan puncak suci. Puncak suci ini sampai sekarang dikeramatkan oleh para penerus sejarah, khususnya warga desa Glonggong. Tempat itu mempunyai makna tersendiri. Untuk mengenang hal tersebut maka para sesepuh membuat suatu pertanda atau seni yaitu jaran kepang (kuda kepang) dan dinamakan seni jaran kepang yang mempunyai makna yaitu :

- Jaran (kuda) sebagai tunggangan sang pangeran. - Kepang (anyaman bambu) sebagai getek. - Pemain kuda kepang sebagai abdi - Pakaian hitam-hitam sebagai busana yang dikubur di puncak suci.

Ada empat kuburan di puncak suci yaitu 1) kuburan abdi, 2) kuburan kuda,

3) kuburan pakaian/busana, dan 4) kuburan perbekalan. Seni jaran kepang ini 3) kuburan pakaian/busana, dan 4) kuburan perbekalan. Seni jaran kepang ini

1. Pakaian hitam-hitam bermakna seni bisa hidup jika menggunakan ritual adat daerah. Selain ini kepala menggunakan udheng (ikat kepala) seperti yang digunakan sang Pangeran Samudra

2. Kembang setaman mempunyai makna sarana untuk berdoa.

3. Rujak degan bermakna agar semua pemain bisa sehat dan segar.

4. Menyan cina mempunyai maksud untuk mengundang roh halus yang dibutuhkan.

5. Gamelan sebagai aba-aba dan pengatur gerak para pemain. Seni jaran kepang ini sampai sekarang masih berfungsi dan dikenal dengan seni reog. Kesenian reog difungsikan sebagai media upacara pernikahan, upacara bersih desa, upacara penebus janji (nadzar) dan sebagainya.

Yang dimaksud dengan seni reog adalah suatu seni tarian pertunjukan rakyat dengan menampilkan tarian kuda kepang dan tokoh-tokoh yang bertopeng dan setidaknya ada elemen seperti barongan, penthul, tembem, yang berfungsi sebagai hiburan rakyat. Menurut Pigeaud (1991: 347), tarian kuda yang dimaksud adalah

C. Kesenian Reog sebagai Seni Pertunjukan Rakyat

Kesenian reog merupakan salah satu seni pertunjukan rakyat yang dikategorikan sebagai kesenian rakyat. Sebagai kesenian rakyat seni reog juga disebut sebagai kesenian daerah atau kesenian tradisional. Dalam perkembagannya seni rakyat ini yang disebut seni tradisi kecil karena seni rakyat berada di luar wilayah keraton bukan seni tradisi-tradisi besar yang merupakan kesenian yang tumbuh dan berkembang di lingkungan keraton.

Sebagai seni pertunjukan, seni reog masih bersifat kontekstual dan masih dipentaskan hingga sekarang ini. Ada dua alasan penting kesenian rakyat/tradisonal masih dipertunjukkan. Pertama seni pertunjukan rakyat masih berkaitan dengan mitos (pandangan hidup) dari satu etnik tertentu, dan kedua kesenian rakyat justru bersifat dinamik dan kreatif melalui pertunjukan yang dilakukan secara spontan dan komunikatif.

Secara umum reog dalam bentuk pertunjukan terdiri dari tiga penari yang masing-masing memiliki ciri-ciri khas sendiri, sehingga sepintas tampak berbeda dengan penari-penari dengan kesenian yang lain. Tiga jenis penari tersebut meliputi penari kuda kepang, penari topeng dan penari barongan. Pertunjukan kesenian reog selalu diiringi gending reogan atau gending panaragan. Sedangkan

Kesenian rakyat yang di dalamnya kesenian reog, pada umumnya memiliki ciri-ciri antara lain: 1) berfungsi sosial dan bukannya komersial, 2) keberadaanya dilestarikan bersama, 3) menuntut spontanitas, 4) bentuk gerakan sederhana, 5) ringan irama dinamis dan cenderung cepat, 6) jarang membawakan lakon, 7) jangka waktu tergantung gairah penari, 8) tata rias dan busana sederhana, 9) sifat cenderung humoris, 10) tempat terbentuk arena, dan 11) temanya adalah berkisar pada kehidupan rakyat.

Dalam kelangsungan hidup seni rakyat seperti juga seni reog didukung oleh kelompok masyarakat yang bersifat homogen namun menunjukkan sifat solidaritas yang nyata, yang dalam hal ini berada dalam masyarakat desa atau pedalaman. Sebagai seni rakyat ia memiliki bentuk tunggal dan bukannya bentuk yang beragam, tidak halus dan tidak rumit seperti seni keraton. Di samping itu, penguasaan terhadap bentuk-bentuk dalam kesenian rakyat dapat dicapai tanpa melalui latihan khusus. Kesenian ini biasanya disertai peralatan yang sederhana dan terbatas. Dalam bentuk penyajian seni rakyat memiliki ciri-ciri yang akrab dengan penonton, sehingga penonton sewaktu-waktu dapat memasuki lokasi pertunjukan dan bertindak sebagai pemain.

Sebagai seni rakyat, keberadaan kesenian reog sangat akrab pula dengan lingkungannya. Pengertian akrab di sini tidak hanya berarti dirasakan mantap serta dekat dengan masyarakat pendukungnya, melainkan juga dapat muncul bersama dengan ungkapan-ungkapan yang lain seperti kepercayaan agama, upacara Sebagai seni rakyat, keberadaan kesenian reog sangat akrab pula dengan lingkungannya. Pengertian akrab di sini tidak hanya berarti dirasakan mantap serta dekat dengan masyarakat pendukungnya, melainkan juga dapat muncul bersama dengan ungkapan-ungkapan yang lain seperti kepercayaan agama, upacara

D. Makna

Dalam semantik pengertian sense „makna‟ dibedakan dalam meaning „arti‟, sense „makna‟ adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri. Menurut Lyons (1977: 204) menyebutkan bahwa mengkaji dan memberikan makna suatu kata ialah memahami kajian kata tersebut yang berkenaan dengan hubungan makna yang membuat kata-kata tersebut berbeda dari kata-kata lain, sedang „meaning‟ menyangkut makna kata leksikal dari kata-kata itu sendiri, yang cenderung terdapat dalam kamus sebagai leksikon (Fatimah Djajasudarma, 1993: 5). Makna erat kaitannya dengan semantik, oleh karena itu istilah-istilah dalam kesenian reog dilihat dari segi makna leksikal dan makna kultural. Makna leksikal adalah makna yang ada pada leksem-leksem (Chaer, 1994: 7). Leksem merupakan satuan leksikal abstrak, mendasari berbagai bentuk inflektif suatu kata atau frase yang merupakan satuan bermakna, satuan terkecil dari leksikon (Kridalaksana, 2001:126). Sebagai contoh makna leksikal barongan yaitu barong tiruan atau barong yang tidak sebenarnya. Dalam kesenian reog yang disebut barongan adalah topeng harimau (kepala harimau). Sedangkan makna kultural adalah makna bahasa yang dimiliki oleh masyarakat dalam hubungannya dengan budaya tertentu (Wakit, 1999: 3). Contoh makna kultural dari barongan adalah

Makna kultural diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Simbol adalah objek atau peristiwa apapun yang merujuk pada sesuatu. Simbol itu sendiri meliputi apa saja yang dapat kita rasakan atau kita alami. Simbol yang dimaksud dalam penelitian ini adalah istilah-istilah dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali.

E. Struktur

1. Monomorfemis

Monomorfemis terjadi dari suatu morfem. Morfem (morpheme), merupakan satuan bahasa terkecil yang maknanya secara relatif stabil dan yang tidak dapat dibagi atas bagian bermakna yang lebih kecil, misalnya, (tulis, jalan). (Harimurti Kridalaksana, 1993: 140). Menurut Djoko Kentjono (1982: 44-45) satu atau lebih morfem akan menyusun sebuah kata. Kata dalam hal ini ialah satuan gramatikal bebas yang terkecil. Kata bermorfem satu disebut kata monomorfemis dengan ciri-ciri dapat berdiri sendiri sebagai kata, mempunyai makna dan kategori jelas, sedangkan kata bermorfem lebih dari satu disebut kata polimorfemis. Penggolongan kata menjadi jenis monomorfemis dan polimorfemis adalah menggolongkan berdasarkan jumlah morfem yang menyusun kata.

bahwa morfem itu dapat berdiri sendiri dengan makna tertentu tanpa dilekati imbuhan. Dengan kata lain, subyeknya belum mengalami proses morfologis atau belum mendapat tambahan apapun, belum diulang dan belum digabungkan atau dibentuk menjadi kata majemuk.

2. Polimorfemis

Kata polimorfemis dapat dilihat sebagai hasil proses morfologis yang berupa perangkaian morfem. Proses morfologis meliputi a) pengimbuhan atau afiksasi (penambahan afiks). Penambahan afiks dapat dilakukan di depan, di tengah, di belakang, atau di depan dan di belakang morfem dasar. Afiks yang ditambahkan di depan disebut awalan atau prefiks, yang di tengah disebut sisipan atau infiks, yang di belakang disebut akhiran atau sufiks, yang di depan dan belakang disebut sirkumfiks atau konfiks. Afiks selalu berupa morfem terikat. Contoh morfem dasar nasal M-pada mbarong, sufiks -an pada jathilan, dan sebagainya, b) pengulangan atau reduplikasi, reduplikasi (reduplication) adalah proses dan hasil pengulangan satuan bahasa sebagai alat fonologis atau gramatikal (Harimurti Kridalaksana, 1993: 186), dan c) pemajemukan atau komposisi yaitu proses morfologis yang membentuk satu kata dari dua (atau lebih dari dua) morfem dasar atau proses pembentukan dua kata baru dengan jalan menggabungkan dua kata yang telah ada sehingga melahirkan makna baru. Arti yang terkandung dalam kata majemuk adalah arti keseluruhan

3. Frase

Frase adalah satuan gramatikal yang terdiri dari dua atau lebih dari dua kata yang tidak berciri klausa dan yang pada umumnya menjadi pembentuk klausa (Djoko Kentjono, 1982: 57). Frase seperti dengan kata, frase dapat berdiri sendiri. Frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya, baik semua unsurnya maupun salah satu dari unsurnya, disebut frase endosentrik , dan frase yang tidak mempunyai distribusi yang sama dengan semua unsurnya disebut frase eksosentrik (Ramlan, 2001: 141). Contoh frase kaos loreng, kembang setaman, rujak degan, gedhang raja, dhadhak merak, jaran kepang, jaran ngedan, celeng ngedan, udheng jilidan, udheng modhang.

F. Etnolinguistik (Ethnolinguistics)

1. Pengertian Etnolinguistik

Etnolinguistik adalah cabang linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum mempunyai tulisan (bidang ini juga disebut linguistik antropologi) cabang linguistik antropologi yang menyelidiki hubungan bahasa dan sifat bahasawan terhadap bahasa, di salah satu aspek etnolinguistik yang sangat menonjol ialah

pandangan dunianya melalui kategori gramatikal dan klasifikasi semantik yang ada dalam bahasan itu dan yang dikreasi bersama kebudayaannya (Harimurti Kridalaksana, 1982: 3) istilah „etnolinguistik‟ berasal dari kata 'etnologi' dan 'linguistik', yang lahir karena adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa dilakukan oleh para ahli etnologi (kini: antropologi budaya) dengan pendekatan linguistik. Dalam studi semacam ini sebenarnya terjadi hubungan timbal-balik yang menguntungkan antara disiplin linguistik dengan disiplin etnologi, yaitu (a) kajian linguistik yang memberikan sumbangan bagi etnologi.

a. Kajian Linguistik untuk Etnologi

1. Bahasa dan Struktur Pemikiran Penelitian mengenai dimensi-dimensi kenyataan yang dianggap penting oleh suatu kebudayaan, kemudian juga memunculkan suatu cabang kajian baru yang berusaha mengungkapkan struktur pemikiran manusia. Hal ini memang merupakan akibat lebih lanjut yang tidak dapat dihindari, karena ketika berbagai hasil penelitian tentang sistem klasifikasi harus ditampilkan dalam bentuk berbagai model yang digunakan tersebut memang mencerminkan struktur pemikiran yang ada pada manusia. Upaya untuk mencerminkan struktur pemikiran yang ada pada manusia. Upaya untuk mendalami berbagai macam sistem klasifikasi serta berbagai model yang dapat digunakan untuk

Kajian ini pertama-tama memutuskan perhatian pada dimensi semantik dan berbagai istilah yang ada dalam suatu domain 'bidang' dalam suatu kebudayaan. Misalnya saja bidang kekerabatan, bidang klasifikasi tanaman, atau bidang penelitian kemudian menyusun sebuah kerangka klasifikasi yang ditemukan dengan lebih mudah dan jelas. Secara tidak langsung, kerangka klasifikasi yang ditemukan yang merupakan suatu struktur ini mencerminkan struktur yang ada dibalik berbagai istilah yang ada dalam suatu bidang yang teliti, dan ini dianggap juga mencerminkan struktur yang ada dalam pemikiran manusia, walaupun belum atau bukan merupakan keseluruhan struktur.

Hal ini, dengan istilah-istilah dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali yang mengandung makna-makna kultural yang mencerminkan struktur pemikiran masyarakat Jawa, misal saja istilah kata "epek timang" [EpE? timaG] yang oleh masyarakat Jawa digambarkan sebagai suatu perlambang bahwa sebenarnya seni budaya Jawa mempunyai suatu keunggulan yang dari hati sanubari para leluhur yang melekat pada jiwa para trah kusuma (keturunan para ratu).

2. Bahasa dan Cara Memandang Kenyataan Kajian tentang bahasa dan maknanya akan memungkinkan kita mengetahui cara memandang kenyataan yang ada dikalangan 2. Bahasa dan Cara Memandang Kenyataan Kajian tentang bahasa dan maknanya akan memungkinkan kita mengetahui cara memandang kenyataan yang ada dikalangan

Bagi orang Jawa, pemakaian kata-kata itu sendiri memang lantas terkait dengan berbagai macam hal yang ada dalam budaya mereka. Misalnya, dalam kesenian reog terdapat istilah jathilan. Seorang pemain jathilan tidak akan dianggap hebat jika orang bilang dia bisa „mangan sega‟ atau „mangan beras‟ (dalam bahasa Inggris „eat rice‟). Lain halnya jika orang bilang dia bisa „mangan pari‟ atau „mangan gabah‟ (dalam bahasa Inggris tetap „eat rice‟), sebab tidak semua orang mampu makan padi atau gabah. Oleh karena itu, jika kita ingin mengekspresikan “Seorang pemain jathilan mampu makan gabah dengan cepat tanpa luka” dalam bahasa Inggris, mungkin kita

akan sedikit mengalami kesulitan, karena dalam bahasa ini tidak ada pembedaan antara gabah, beras, dan nasi. Fakta ini setidak-tidaknya memperlihatkan pada kita bahwa kenyataan yang sama tidak selalu dilihat dengan cara yang sama.

BAB III

METODE PENELITIAN METODE PENELITIAN

Dalam metode penelitian akan dijelaskan mengenai delapan hal, yaitu: (1) sifat penelitian, (2) lokasi penelitian, (3) data, (4) sumber data, (5) populasi, (6) sampel, (7) metode pengumpulan data, dan (8) metode analisis data.

A. Sifat Penelitian

Sifat penelitian ini adalah deskriptif kualitatif artinya data yang dianalisis dan hasilnya berupa deskriptif fenomena bukan angka (Aminudin, 1990: 16). Dengan kata lain penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya, sehingga menghasilkan catatan berupa pemberian bahasa dan sifatnya seperti potret (Sudaryanto, 1993: 62).

Deskriptif adalah metode yang bertujuan membuat deskripsi, maksudnya membuat gambaran, lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai data, sifat-sifat serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti. Penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasan sendiri dan berhubungan dengan masyarakat tersebut melalui bahasanya serta peristilahannya. Dalam Deskriptif adalah metode yang bertujuan membuat deskripsi, maksudnya membuat gambaran, lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai data, sifat-sifat serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti. Penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasan sendiri dan berhubungan dengan masyarakat tersebut melalui bahasanya serta peristilahannya. Dalam

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat atau objek penelitian. Adapun lokasi penelitian ini ada di wilayah Boyolali, yaitu lebih tepatnya di desa Glonggong, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali. Penulis mengambil lokasi ini sebagai lokasi objek penelitian karena merupakan salah satu wilayah Jawa yang masih melestarikan kebudayaan Jawa, terutama di bidang kesenian yaitu kesenian pertunjukan rakyat khususnya kesenian reog. Sehingga secara pasti pemilihan lokasi yang tepat juga sangat mendukung dalam proses penelitian.

C. Data

Data adalah bahan penelitian (Sudaryanto, 1990: 3). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data lisan sebagai data utama yang akan diteliti, dan data tulis sebagai data pembanding. Data lisan diperoleh dari informan, sedangkan data tulis diperoleh dari buku-buku yang ada kaitannya dengan kesenian reog.

Sumber data lisan dalam penelitian ini berasal dari informan terpilih yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Sumber yang berasal dari informan berupa tuturan yang mengandung istilah-istilah yang dipakai dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali.

Adapun kriteria informan adalah:

a. Pemain reog

b. Penduduk asli daerah setempat

c. Memahami bahasa dan budaya Jawa

d. Berumur 25-70 tahun dan belum pikun

e. Memiliki alat ucap sempurna

f. Alat pendengaran yang normal

g. Memiliki waktu yang cukup untuk wawancara

h. Bisa berbahasa Indonesia secara aktif Adapun informan yang dimaksud adalah sebagai berikut :

a. Bapak Mulyono, tetua masyarakat desa Glonggong.

b. Bapak Sutarno, pemimpin reog.

c. Bapak Sumeh, penyanyi dalam reog.

d. Bapak Sariman, pengrawit alat musik pengiring.

e. Bapak Sulasman pemain jaran kepang.

f. Bapak Suratno, pemain celeng.

g. Bapak Jumirin, peman penthul-tembem.

h. Ibu Dalmi, 50 tahun, pedagang.

Sedangkan sumber data tulis dalam penelitian ini berasal dari referensi buku, diantaranya adalah:

1. Reog Ponorogo (Untuk Perguruan Tinggi). (Hartono: 1980).

2. Reog Ponorogo Menari di Antara Dominasi dan Keragaman. (Muhammad Zamzam Fauzanafi: 2005).

3. Kesenian Reog Tradisi Sebuah Kajian Seni pertunjukan Rakyat mengenai Fungsi-fungsi dan Kebudayaan pada Masa Kini Desa Kalikebo Kabupaten Klaten. (Margono, Sudarsono: 2002).

E. Populasi

Dalam penelitian linguistik populasi pada umumnya adalah keseluruhan individu dari segi-segi tertentu bahasa (Subroto, 1992: 32). Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan istilah dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali.

F. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang di jadikan sebagai objek penelitian langsung yang mewakili populasi. Cara pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampel yaitu pengambilan secara selektif disesuaikan kebutuhan dan benar-benar memenuhi kepentingan dan tujuan penelitian berdasarkan data yang ada. Sampel dalam penelitian ini diambil dari sumber data lisan. Sampel dari sumber data lisan berupa 53 istilah-istilah kesenian

G. Metode Pengumpulan Data

Metode merupakan cara mendekati, mengamati, menganalisa, dan menjelaskan suatu fenomena. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak atau penyimakan atau metode pengumpulan data dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993: 133). Sebagai teknik dasarnya, teknik sadap. Caranya dengan segenap kemampuan dan pikiran penyadap pemakaian bahasa di masyarakat sekitar. Teknik ini dipakai untuk mendapatkan data dari informan secara spontan dan wajar.

Teknik sadap digunakan bersama-sama dengan teknik rekam yaitu menyada dan merekam pemakaian istilah-istilah yang ada dalam kesenian reog secara spontan. Fungsinya: (1) untuk mengabadikan data dari hasil wawancara dan informan, (2) untuk mendapatkan data sesuai dengan tujuan penelitian, (3) merekam pengucapan secara wajar terhadap satuan lingual yang terlepas dari konteks/kalimat, (4) mempermudah memberikan bentuk satuan lingual yang di teliti, maknanya dan fonetisnya. Penelitian juga menggunakan teknik kerja sama dengan informan atau wawancara. Informan yang diwawancarai adalah penutur asli yang berkemampuan memberi informasi kebahasaan kepada peneliti yang merencanakan dengan pertanyaan agar terarah sesuai dengan tujuan penelitian.

Selain itu peneliti juga menggunakan teknik pustaka adalah data penelitian ini bersumber dari pustaka. Teknik pustaka yaitu teknik yang menggunakan data Selain itu peneliti juga menggunakan teknik pustaka adalah data penelitian ini bersumber dari pustaka. Teknik pustaka yaitu teknik yang menggunakan data

Setelah melewati beberapa teknik lanjutan kemudian data yang sudah ditranskripsikan dalam bentuk data dan di klasifikasikan dalam bentuk analisis. .

H. Metode Analisa Data

Dalam menganalisa data, penulis menggunakan metode distribusional dan metode padan. Kedua metode ini digunakan dalam upaya menemukan kaidah dalam tahap analisis data.

1) Metode Distribusional

Metode distribusional yaitu metode analisis data yang alat penentunya adalah unsur dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri. Metode distribusional digunakan untuk menganalisis bentuk dari istilah kesenian reog tradisi.

Teknik dasar yang digunakan untuk membagi satuan lingual data menjadi beberapa unsur dan unsur-unsur bersangkutan dipandang sebagai bagian yang langsung membentuk satuan lingual yang dimaksud Teknik Bagi Unsur Langsung (BUL). Teknik ini untuk membagi satuan lingual datanya menjadi beberapa bagian. Unsur-unsur tersebut dipandang sebagai bagian yang langsung pembentukanya. Teknik ini digunakan untuk menganalisis bentuk dari istilah dalam kesenian reog adalah kata dasar atau kata jadian.

→ Bentuk Monomorfemis (satuan morferm)

a. kendhang (k|nDaG) „kendang‟

b. trompet (trompEt) „terompet‟

c. gong (gOG) „gong‟

d. angklung (aGklUG) „angklung‟

2. Alat-alat untuk pemain. → Bentuk Monomorfemis (satu morfem)

a. topeng [topEG] „topeng‟

b. pecut [p|cUt] „pecut‟ → Bentuk polimorfemis (lebih dari satu morferm)

a. barongan [baroGan] „barongan‟ →Bentuk Frase (terdiri dari dua/lebih kata)

a. dhadhak merak [DaDa? m|ra?] „dhadhak merak‟

b. jaran kepang [jaran kepaG ] „kuda kepang‟

3. Alat-alat untuk sesajian. →Bentuk Frase (terdiri dari dua/lebih kata)

a. gedhang raja (g|DaG rOjO)

b. kembang setaman [k|mbaG s|taman] „bunga setaman‟

c. rujak degan [ruja? d|gan] „rujak degan‟

bahasa yang merupakan konteks sosial terjadinya peristiwa penggunaan bahasa di dalam masyarakat. Metode ini digunakan untuk menganalisis dari makna kata dari istilah dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali. Dalam penelitian ini analisis data bersifat kontekstual yaitu analisis data dengan mempertimbangkan konteks sosial yang melatarbelakangi penggunaan bahasa dalam istilah dalam kesenian reog tradisional. Adapun penerapan metode padan seperti sebagai berikut.

a. Pecut [p|cUt] adalah seutas tali yang terbuat dari bambu atau rotan. Makna cultural dari pecut ini adalah dipergunakan untuk menggerakkan para pemain agar selalu bersemangat dan tidak mudah putus asa atau menyerah. Selain itu pecut juga digunakan untuk mengundang dan mengembalikan roh halus sehingga roh halus yang dibutuhkan dapat dikendalikan dengan pecut.

b. Kendhang [k|nDaG] adalah alat musik perkusi yang berfungsi sebagai aba-aba atau dimulainya gending dan berfungsi sebagai pengiring gerakan juga pengendali irama. Adapun makna kulturalnya kendang berperan sebagai genderang bagi prajurit yang dapat melahirkan sikap dan langkah yang tegas serta untuk menampakkan semangat prajurit. Jadi kendang dalam kesenian reog dipercaya dapat membakar semangat dan pengatur situasi penonton.

gamelan dimainkan, makna kulturalnya adalah bunyi yang merupakan suatu perintah yang harus ditaati. Terompet di sini dipercaya dapat membakar semangat dan mengorbankan jiwa juang.

d. Gong [gOG] berbentuk seperti bonang tapi dalam ukuran yang lebih besar berfungsi sebagai bas yang dipukul bersamaan dengan bonang pada pukulan genap. Makna kulturalnya adalah menggambarkan komando yang menggugah semangat tempur dengan bunyi gong tersebut.

e. Angklung [aGklUG] adalah alat musik yang terbuat dari bambu yang dibunyikan dengan cara di getarkan. Makna kultural dari angklung adalah sebagai simbol kegirangan hati rakyat.

f. Dhadhak merak [Dada? m|ra?] artinya peralatan utama dalam reog yang artinya burung merak yang berada di atas kepala harimau. Adapun makna kulturalnya adalah menggambarkan sifat yang terpuji, berwibawa, dan dicintai.

g. Barongan [baroGan] adalah barong tiruan atau kepala harimau yang mempunyai makna kultural menggambarkan perawatakan yang kokoh, tenang, waspada, dan terampil dalam bergerak.

h. Kembang setaman [k|mbaG s|taman] adalah bunga yang berbau wangi yang digunakan dalam sesajian. Makna kulturalnya adalah menumbuhkan kekuatan batiniah.

kekuatan batiniah itu bisa bergerak dengan segar. j. Menyan cina [m|¥an cinO] merupakan peralatan yang digunakan dalam sesaji. Makna kulturalnya adalah aroma atau bau menyan cina yang dibakar itu digunakan untuk memanggil roh halus yang dibutuhkan untuk memberikan kekuatan ghoib sesuai dengan permintaan.

k. Jaran kepang [jaran kepaG] adalah alat yang terbuat dari anyaman bambu yang bentuknya seperti kuda. Makna kulturalnya adalah sebagai lambang ilmu kebatinan.

3). Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Metode penyajian hasil analisis data menggunakan metode deskriptif, formal dan informal. Metode deskriptif adalah metode yang semata-mata hanya berdasarkan fakta-fakta yang ada atau fenomena-fenomena secara empiris hiduppada penutur-penuturnya (Sudaryanto, 1993: 63)

Metode informal, yaitu metode penyajian hasil analisis data yang menggunakan kata-kata biasa atau sederhana agar mudah dipahami. Analisis metode informal dalam penelitian ini agar mempermudah pemahaman terhadap setiap hasil penelitian. Metode formal yaitu metode penelitian data dengan menggunakan dokumen tentang data yang dipergunakan sebagai lampiran. Lampiran tersebut dapat berupa gambar-gambar, bagan, tabel, grafik, dan sebagainya. Dalam penelitian ini menggunakan lampiran gambar

Kabupaten Boyolali di lapangan Nogosari, acara perayaan Idul Fitri.

BAB IV PEMBAHASAN

Berdasarkan pada masalah penelitian, maka analisis data ini dideskripsikan bentuk, makna leksikal dan makna kultural, fungsi pertunjukan kesenian reog bagi masyarakat, dan para pemain kesenian reog di Kabupaten Boyolali.

A. Bentuk Istilah dalam Kesenian Reog

Berdasarkan hasil pengumpulan data dan analisis yang dilakukan, ditemukan bentuk istilah alat musik pengiring, peralatan untuk permain, busana atau kostum yang dipakai, pemain, lagu dan tarian, dan sesajian.

1. Monomorfemis

Monomorfemis mencakup semua kata yang tergolong kata dasar bentuk tunggal dalam istilah kesenian reog, dengan pengertian bahwa morfem itu dapat Monomorfemis mencakup semua kata yang tergolong kata dasar bentuk tunggal dalam istilah kesenian reog, dengan pengertian bahwa morfem itu dapat

1.

34

(Minggu,26 Oktober 2008) Gong [gO ŋ] adalah seperti kethuk bonang tetapi dalam ukuran yang besar, berfungsi sebagai bas dipukul bersamaan dengan bonang pada pukulan genap.

1.2 Angklung [aGklUG]

(Minggu,26 Oktober 2008) Angklung [aGklUG] adalah alat musik yang terbuat dari bambu yang dibunyikan dengan cara digetarkan berfungsi sebagai ritmis dan berfungsi sebagai pengiring di sela-sela bonang.

1.3 Bonang [bonaG]

(Minggu, 26 Oktober 2008)

1.4 Kendhang [k ənDaŋ]

(Senin, 18 Agustus 2008) Kendhang [k ənDaŋ] adalah alat musik perkusi yang berfungsi sebagai aba-aba saat dimulainya gending dan berfungsi sebagai pengiring gerakan juga pengendali irama.

1.5 Ketipung [k|tipUG]

(Senin, 18 Agustus 2008) Ketipung [k|tipUG] adalah berbentuk seperti kendang tetapi dalam ukuran yang lebih kecil dan berfungsi sebagai penambah rempeg atau meriahnya gending, ditabuh di sela-sela pukulan kedua bonang.

(Kamis, 05 Juni 2008) Trompet [trompEt] adalah salah satu alat musik dalam kesenian reog yang berfungsi sebagai pembawa lagu atau melodi dan aba-aba sebelum gamelan dimainkan.

1.7 Saron [sarOn]

(Kamis, 05 Juni 2008) Saron (sarOn) adalah alat yang terbuat dari kuningan, cara membunyikannya dengan ditabuh atau dipukul.

2. Peralatan untuk permainan

Adapun peralatan yang digunakan dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali sebagai berikut.

(Kamis, 05 Juni 2008) Topeng (topEG) adalah aling-aling atau tutup wajah yang dibuat dari kayu, dan dibentuk menurut kreasi budaya daerah yang ada.

2.2 Pecut (p|cUt)

(Minggu, 26 Oktober 2008) Pecut (p|cUt) adalah alat yang dibuat dari penjalin (bambu atau rotan) yang diberi upat-upat benang warna merah putih. Pecut biasa digunakan oleh pawang untuk mengendalikan pemain jaran kepang.

2.3 Celeng (cElEG)

(Minggu, 26 Oktober 2008) Celeng (cElEG) adalah alat yang dibuat dari anyaman bambu yang bentuknya seperti binatang babi. Dalam pertunjukan reog di Kabupaten Boyolali ada dua celeng yaitu celeng yang berwarna hitam dan merah.

(Kamis, 05 Juni 2008) Penthul (p|nTUl) adalah topeng yang bentuknya beraneka ragam, dibentuk sesuai dengan kreasi masyarakat daerah yang ada. Penthul biasa digunakan untuk membuat suasana pertunjukan reog semakin meriah dan semarak.

2.5 Tembem (t|mb|m)

(Kamis, 05 Juni 2008) Tembem (t|mb|m) adalah topeng yang menyerupai wanita dan pria. Tembem ini terbuat dari kayu yang dibentuk seperti wajah seorang wanita dan pria, yang fungsinya sama dengan penthul yaitu menambah meriahnya pertunjukan reog.

2.6 Keris (k|rIs)

(Minggu, 26 Oktober 2008) Keris (k|rIs) adalah alat yang terbuat dari yang dibentuk dengan luk (lekuk-lekuk). Bentuknya berlekuk-lekuk dari ukuran besar kemudian semakin kecil sampai ujung keris dengan bentuk tumpul.

3. Busana (kostum)

Busana atau kostum yang dipakai dalam kesenian reog di kabupaten Boyolali sebagai berikut.

3.1 Ancinco (ancinco)

(Senin, 18 Agustus 2008) Ancinco (ancinco) adalah busana yang dipakai para pemain baik atasan (baju) atau bawahan (celana), semua berwarna hitam-hitam.

3.2 Udheng (uD|G)

Udheng (uD|G) adalah iket yang dipakai untuk menutup kepala. Udheng ini berupa kain yang bercorak batik dengan berbagai warna.

3.3 Sampur (sampUr)

(Minggu, 26 Oktober 2008) Sampur (sampUr) adalah selendang yang diikatkan di pinggang dan kedua ujungnya terulur dengan berbagai warna, biasanya dengan warna yang cerah.

3.4 Jarik (jarI?)

(Minggu, 26 Oktober 2008) Jarik [jarI?] adalah kain panjang berwarna latar hitam dan corak batik warna coklat dengan motif beraneka.

3.5 Setagen (s|tagEn) 3.5 Setagen (s|tagEn)

4. Pemain Reog

4.1 Warok (warO?)

(Minggu, 26 Oktober 2008) Warok (warO?) adalah seseorang yang „menguasai ilmu„ (kejawen) atau pimpinan kelompok reog. Dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali ada dua warok yaitu warok tua dan warok muda

4.2 Paraga (parOgO)

(Kamis, 5 Juni 2008) Paraga (parOgO) adalah keseluruhan para pemain baik dari pemain jaran kepang, dhadhak merak, barongan, celeng dan pentul tembem.

4.3 Pawang (pawaG)

Pawang (pawaG) adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk mendatangkan dan mengembalikan roh halus yang dibutuhkan seperti roh nenek moyang (pangeran Samudra).

4.4 Srati (srati)

(Kamis, 05 Juni 2008) Srati (srati) adalah orang yang mempunyai tugas dan kemampuan untuk mengawasi dan mengamankan gerak para pemain.

5. Lagu dan Tarian (adegan)

5.1 Tanjak (tanja?) adalah posisi gerakan berdiri dari jengkeng. Gerakan ini biasa dilakukan oleh pemain jaran kepang.

5.2 Sendon (s|ndOn) adalah adegan keluarnya penthul-tembem dari arah pengiring ke tengah arena sambil menari bersamaan dengan lagu (tembang). Adegan ini dilakukan pada waktu pemain dhadhak merak dan barongan, jaran kepang, dan celeng istirahat.

5.3 Jongklang (joGklaG) adalah gerak kaki yang nyongklang atau pincang. Gerakan ini berupa gerakan kaki satu diangkat dan yang satunya di bawah sambil berjalan.

6.1 Buncet (bunc|t)

(Minggu, 26 Oktober 2008) Buncet (bunc|t) adalah nasi yang dibentuk seperti gunungan dalam bentuk tumpeng kecil.

6.2 Krupuk (krupU?)

(Minggu, 26 Oktober 2008) Krupuk (krupU?) adalah perlengkapan dalam sesajian yang berupa krupuk berwarna merah.

6.3 Peyek (pEyE?) 6.3 Peyek (pEyE?)

2. Polimorfemis

Bentuk polimorfemis meliputi: (1) pengimbuhan atau penambahan afiksasi, (2) pengulangan atau reduplikasi, dan (3) pemajemukan. Adapun kata-kata yang termasuk dalam bentuk polimorfemis adalah :

1. Alat untuk pemain

1.1 Barongan (baroGan)

(Kamis, 05 Juni 2008) Barongan (baroGan) adalah barong (kepala harimau) tiruan atau barong yang tidak sebenarnya.

Barong + an → barongan „tiruan kepala harimau tiruan‟ Nomina + Sufiks -an → nomina. Akhiran -an mempunyai arti tiruan atau tidak sebenarnya sehingga barongan adalah barong tiruan.

2. Pemain Reog

2.1 Mbarong (mbarOG)

Mbarong (mbarOG) salah satu pemain dalam reog yang menggunakan barongan, biasa disebut pembarong. Mbarong : m- + barong → mbarong „pelaku„ Prefiks M - + nomina → verba denominal. Prefiks M- memberi makna orang yang melakukan, jadi mbarong adalah orang yang membawa barongan.

2.2 Pengrawit (p|Grawit)

(Kamis, 05 Juni 2008) Pengrawit (p|Grawit) adalah bagian dari pemain reog yang memainkan musik. Pengrawi : peNg- + krawit „musik‟ → pengkrawit „orang yang memainkan musik‟. Prefiks peNg- + nomina → verba denominal.