Sadisme Dalam Fotojurnalistik (Analisis Ikonografi Foto – Foto Kematian Moammar Khadafi Di Harian Waspada)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Konteks Masalah

  Media massa (media cetak, media elektronik, media online, dan media lainnya) sangat berperan penting dalam terjadinya proses komunikasi massa dalam masyarakat. Media massa adalah alat dari jurnalisme yang digunakan dalam penyampaian pesan-pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio, TV (Cangara, 2006: 122).

  Menurut Littlejohn (2002), dalam komunikasi massa terjadi proses dimana organisasi media massa memproduksi dan menyampaikan pesan kepada masyarakat dan proses dimana pesan tersebut dicari, digunakan, dipahami, dan dipengaruhi oleh masyarakat. Melalui media massa, segala bentuk informasi akan sangat dengan mudah diterima oleh masyarakat tanpa ada batasan ruang dan waktu. Hal ini tidak dapat lepas dari fungsi dasar media massa itu sendiri, yaitu (McQuail, 1987:3) : 1.

  Media massa merupakan industri yang berubah dan berkembang yang menciptakan lapangan kerja, barang dan jasa, serta menghidupkan industri lain yang terkait.

  2. Media massa merupakan sumber kekuatan, alat kontrol, manajemen, dan inovasi lain dalam masyarakat yang dapat digunakan sebagai pengganti kekuatan atas sumber daya lainnya.

  3. Media merupakan lokasi (forum) yang semakin berperan untuk menampilkan peristiwa kehidupan masyarakat, baik yang bertaraf nasional maupun internasional.

  4. Media sering kali berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan, bukan saja dalam pengertian pengembangan bentuk seni dan simbol, tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata cara, metode, gaya hidup, dan norma-norma.

  5. Media telah menjadi sumber dominan bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif. Khalayak yang menjadi sasaran media massa yakni manusia, sehingga keberadaan media massa senantiasa dituntut untuk mengikuti gerak dan dinamika individu sebagai kesatuan dalam masyarakat. Namun, kehadiran media massa akan dinilai berbeda-beda oleh setiap individu. Untuk memberikan pelayanan informasi kepada masyarakat, media massa (pers) diharapkan mampu mencerdaskan masyarakat melalui muatan informasi yang memiliki kebenaran, kepentingan dan manfaat untuk masyarakat. Salah satu media massa yang sangat popular di masyarakat yakni surat kabar. Sebuah surat kabar tak hanya memuat deretan kata-kata. Ada foto, ilustrasi, grafik, dan lain-lain.

  Fungsi foto dalam media cetak bukan hanya sebagai ilustrasi sebuah berita. Penyajian foto dalam surat kabar telah membuat pemberitaan menjadi lebih lengkap, akurat dan menarik, karena foto digunakan untuk menyalurkan ide, berkomunikasi dengan masyarakat, mempengaruhi orang lain, hingga menghadirkan kenangan lama. Foto dalam media massa tidak hanya berfungsi sebagai pelengkap pesan yang ingin disampaikan komunikator, tapi ia merupakan pesan itu sendiri. Sebuah foto yang disajikan dalam surat kabar (media massa cetak) tidak lepas dari tujuan jurnalistik, yaitu menyebarkan berita seluas-luasnya.

  Fotografi tumbuh seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Perkembangan dari waktu ke waktu yang membutuhkan proses evolusi yang cukup panjang. Sejak fotografi ditemukan tahun 1839, dalam perkembangannya kini telah jauh meninggalkan generasi awalnya. Teknologi digital yang saat ini sudah mulai masuk pada berbagai sendi-sendi kehidupan manusia, turut membawa fotografi ke era digitalisasi.

  Kehadiran piranti fotografi berteknologi tinggi tentunya berpengaruh pada

  

output nya. Karya foto yang dihasilkan dapat dibuat atau dirubah sedemikian rupa

  sesuai kehendak sang fotografer. Dengan kekuatan visualisasi yang otentik, sebuah foto akan sangat representatif dipakai sebagai perpajangan dari tujuan kegiatan jurnalistik. Perkembangan fotografi baik secara langsung maupun tidak, selaras dengan perkembangan bidang jurnalistik. Teknologi digital yang berkembang pesat saat ini pun memberi sumbangsih yang signifikan. Foto yang merekam sebuah peristiwa dapat dengan segera disebarluaskan dalam hitungan detik saja dengan menggunakan kamera digital serta perangkat komputer yang memiliki fasilitas internet.

  Foto yang tersaji dalam media massa disebut sebagai fotojurnalistik. Fotojurnalitik lahir di kota New York, Amerika Serikat, pada hari Senin tanggal

  16 April 1877. Surat kabar bernama The Daily Graphic memuat foto kebakaran hotel dan salon pada halaman satu. Terbitan inilah yang menjadi cikal bakal adanya fotojurnalistik di media cetak, dimana sebelumnya hanya berupa sketsa. Foto sebagai elemen berita, berkembang secara besar-besaran saat terbitnya majalah Life di Amerika Serikat, sekitar tahun 1930-an. Wilson Hick, yang menjadi redaktur foto pertama majalah tersebut selama 20 tahun lebih, dianggap sebagai perintis kemajuan fotojurnalistik dunia. Lewat didikannya, lahir beberapa fotografer kelas dunia, seperti Elliot Ellisofon, Edward Steichen, Robert Capa, dan lainnya. Hick pula yang melahirkan dasar-dasar fotojurnalistik (Wijaya, 2011: 1).

  Karya fotojurnalistik yang dihasilkan oleh fotografer (kerap disebut pewarta foto, jurnalis foto, atau wartawan foto) yang dianggap dapat mengekspresikan sudut pandang sang fotografer namun pesan komunikasinya memiliki arti yang jauh lebih luas daripada hanya sekadar arti dari sudut pandang sang fotografer. Foto berita atau fotojurnalistik mempunyai paling sedikit dua wajah: p ertama sebagai ilustrasi pendukung berita, kedua sebagai „berita‟ itu sendiri (Soedjono, 2007: 133). Fotojurnalistik memenuhi kaidah-kaidah fotografis dan punya daya tarik secara visual. Karya foto apa pun mengkomunikasikan pesan, tetapi dalam hal ini berita foto berisi pesan yang terarah.

  Penggunaan foto dalam surat kabar adalah penting karena beberapa sebab. Pertama, foto merupakan unsur pertama yang menangkap mata pembaca. Kedua, foto dalam surat kabar bisa digunakan untuk berkomunikasi dengan pembaca yang mempunyai latar belakang beraneka ragam, karena foto bersifat universal

  (Flournoy, 1989:183). James Nachtwey dalam buku fotografinya berjudul Inferno, menyatakan sebuah foto dapat memasuki fikiran dan menjangkau hati dengan kekuatan kesegaran. Hal ini mempengaruhi bagian jiwa dimana makna hanya sedikit bergantung pada kata-kata dan membuat satu dampak mendalam, lebih mendasar, lebih dekat dengan pengalaman mentah. Sementara menurut editor majalah Life, Wilson Hicks, fotojurnalistik adalah kombinasi dari kata dan gambar yang menghasilkan satu kesatuan komunikasi saat ada kesamaan antara latar belakang pendidikan dan sosial pembacanya (Wijaya, 2011: 9). Jadi foto yang merekam suatu peristwa adalah fotojurnalistik. Foto peristiwa, wajib dan senantiasa menghiasi pemberitaan-pemberitaan surat kabar setiap harinya, apakah foto berita tentang olah raga, seni, fashion, ataupun kejadian kejadian luar biasa lainnya.

  Pada saat yang sama foto harus memenuhi standar tertentu dari media cetak yang memuatnya, memiliki nilai berita, memancing rasa ingin tahu pembaca, dan seyogyanya tergolong di dalam peringkat “teks berita yang terbit tanpa foto, akan berk urang bobotnya.” Sebuah pameo ternama menggambarkan bahwa selembar foto lebih berbicara dari seribu kata. Hal ini mempunyai arti bahwa dalam menyampaikan pesan seorang manusia ikhwalnya tidak hanya selalu dengan menggunakan kata-kata konvensional yang verbal atau nonverbal.

  Bahkan, media massa tanpa ada gambar/foto, hanya akan menjadi lembaran- lembaran yang membosankan (Wijaya, 2009: 5).

  Oscar Matuloh salah seorang ikon fotografi jurnalistik Indonesia mengatakan dalam sebuah wawancara dengan majalah fotografi The Light

  Magazine

  , “Ketika seseorang membaca Koran, yang membuat berita jadi menarik dibaca selain tulisannya adalah fotonya. Dan memang itu tugas fotografer jurnalis, yaitu menarik perhatian pembaca untuk membaca lebih jauh lagi. Untuk itu hal paling penting dalam fotojurnalistik adalah eye

  catching . Semakin foto tersebut eye catching semakin ia berhasil

  menjalan kan tugasnya”. Fotojurnalistik adalah karya foto biasa tetapi memilki nilai berita atau pesan yang layak untuk diketahui orang banyak dan disebarluaskan lewat media massa. Fotojurnalistik mengandung unsur 5W dan 1H seperti halnya berita tulis. Jadi dalam sebuah foto menjelaskan What

  (apa). “Apa” menyangkut sebuah benda. Unsur “apa” seperti api dari sebuah kebakaran, sabu-sabu sebagai barang bukti, senjata yang dibawa tentara, mobil dan sepeda motor yang bertabrakan. Sedangkan Who berarti siapa yang menyangkut tentang orang. Where ditandai dengan latar belakang penunjangannya yang hadir bersama When, Why, dan How.

  

Photo caption atau teks foto adalah kata-kata yang menjelaskan tentang sebuah

  foto. Foto yang dilengkapi dengan caption nantinya akan mempermudah fotografer dan editor serta memerlihatkan profesionalisme seorang foto jurnalis dalam membuat caption foto.

  Teks foto tidak perlu berpuluh-puluh paragraf. Idealnya cukup singkat, padat, namun sudah dapat menjelaskan maksud foto tersebut. Suatu fotojurnalistik bisa dikatakan tidak lengkap pemahamannya tanpa teks foto. Untuk itu, teks foto sangat diperlukan untuk melengkapinya. Upaya untuk melengkapinya unsur 5W dan 1H tersebut disesuaikan dengan gambar yang ditampilkan.

  Media melalui fotografi tidak sekedar menjadikan foto sebagai media komunikasi informasi atas sebuah peristiwa, tetapi lebih dari itu fotografi juga berupaya membangun citra dan menarik perhatian masyarakat untuk menikmatinya. Sehingga, persaingan pasar dalam memilih media pun ikut bermain andil disini. Seiring perkembangan teknologi dan informasi, menjamur pula industri media. Persaingan bebas memaksa media massa memunculkan kreativitasnya agar tetap eksis. Akibatnya media massa cenderung mengacu pada peluang komersialisasi media, yang terlepas dari prinsip media yang sehat, cerdas dan mencerdaskan.

  Kebebasan pers telah dilindungi oleh undang-undang. Insan pers dan pelaku bisnis media merasa mendapat angin segar atau jaminan untuk mengekspresikan karya atau tulisannya tanpa peduli layak atau tidak layak. Media massa relatif bebas dari kontrol kekuasaan pemerintah, tetapi dalam kenyataan yang sebenarnya media tidak pernah bebas dari institusi yang memiliki budaya bisnis, dan industri-industri pemilik modal yang bekerja dengan imbalan profit yang mendewakan keuntungan.

  Industri media massa menjadi ajang persaingan satu sama lain dalam merebut perhatian khalayak. Media cetak, termasuk surat kabar, tidak terlepas dari fenomena ini. Surat kabar saat ini, dituntut memberikan lebih banyak hal daripada sekadar melaporkan berita, sehingga merebut perhatian khalayak melalui sajian menarik menjadi tugas besar dari pekerja-pekerja media tersebut.

  Seorang jurnalis yang melaksanakan profesinya, baik itu wartawan tulis, foto, maupun video, menaati aturan-aturan dasar yang harus dijalankan. Aturan tersebut antara lain tertuang dalam, Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik yang disahkan melalui Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 Tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers. Namun terkadang foto-foto yang mengandung unsur kekerasan, peperangan, darah, dianggap lebih menarik perhatian pembaca dan mampu meningkatkan oplah surat kabar tersebut.

  Lahirnya Undang-Undang Pers, membuat angka kelahiran wartawan juga meningkat, sehingga jumlah wartawan melonjak menjadi sekitar 30 ribu. Data tersebut diambil dari jumlah penerbitan yang lahir pasca reformasi. Terakhir, bulan Maret tahun 2006, ketika Dewan Pers memfasilitasi pembuatan Kode Etik Jurnalistik, Standar Organisasi Wartawan dan penguatan peran Dewan Pers, tercatat 26 organisasi kewartawanan (Sukardi, 2012: 36).

  Semakin menjamurnya wartawan di Indonesia, memunculkan masalah mutu profesional wartawan. Hal tersebut juga berimbas pada kurangnya penghayatan wartawan terhadap etika profesinya. Hal yang cukup mengejutkan ketika Dewan Pers melakukan survei Close Up Seperempat Abad Kode Etik

  

Jurnalistik , yang diterbitkan dalam sebuah buku di tahun 2007, terungkap rata-

  rata 80 persen wartawan belum pernah membaca isi seluruh Kode Etik Jurnalistik yang diputuskan Dewan Pers. Dalam survei Dewan Pers berikutnya di tahun 2011, menunjukkan angka yang semakin baik. Jumlah wartawan yang sudah membaca Kode Etik Jurnalistik melonjak menjadi 48 persen (Sukardi, 2012: 37).

  Kode Etik Jurnalistik merupakan mahkota pekerjaan jurnalistik. Pendidikan dan pelatihan kode etik, bukan hanya mengenali rambu-rambu etik atau sistem nilai pekerjaan jurnalistik. Lebih dari itu, pendidikan dan pelatihan kode etik merupakan pendidikan sikap (attitude) dan karakter (character), menghargai dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan, terlatih berfikir dan bekerja keras atas dasar objektivitas, berkembang, dari sikap-sikap membenci dan menghakimi, menjadi berhati-hati (Manan, 2011: 26).

  Kode Etik Jurnalistik juga bukan berarti mengekang kebebasan pers, justru untuk menjaga dan mempertahankan kemerdekaan pers. Sesuai dengan sifat etika profesi yang dibuat dari oleh dan untuk kalangan profesi itu sendiri, Kode Etik Jurnalistik dibuat sudah sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan jurnalis (wartawan) sehingga keberadaan Kode Etik Jurnalistik justru mampu mempertahankan harkat dan martabat pekerjaan wartawan. Dengan adanya Kode Etik Jurnalistik bukan saja wartawan dapat terhindar dari anarki, malpraktek dan persaingan tidak sehat sesama wartawan, tetapi juga wartawan memperoleh semacam perlindungan atau tameng dari kemungkinan tindakan-tindakan publik atau siapapun yang mencoba merongrong dan membatasi kemerdekaan pers dengan berbagai cara yang tidak sesuai Kode Etik Jurnalistik.

  Terdapat tujuh pasal dalam Kode Etik Jurnalistik. Pasal yang secara jelas, melarang wartawan untuk membuat karya jurnalistik yang mengandung unsur kekerasan, darah dan unsur sadis lainnya, terdapat dalam pasal 4 yaitu “Wartawan Indon esia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul”. Dalam fotojurnalistik, kita bisa mengetahui foto yang mengandung unsur sadis dari respon spontan pembaca. Seperti, menunjukkan ekspresi ngeri, takut, mengerutkan wajah, dan lain-lain. Namun, beberapa fotografer menilai, foto sadis adalah foto yang menunjukkan secara utuh darah, luka parah yang tak layak untuk dilihat, ataupun gambar-gambar yang menunjukkan korban pembantaian.

  Kode Etik Jurnalistik sudah melarang menampilkan foto yang mengandung unsur sadis. Namun, aturan seakan menjadi barisan kalimat yang tak memiliki kekuatan. Tetap saja, ada media yang menampilkan foto-foto tersebut. Isu internasional yang sempat menguncang dunia, salah satunya mengenai peristiwa kematian Moammar Khadafi. Berita itu langsung menyebar di seantero dunia, tak terkecuali Indonesia. Bahkan, kisah pemerintahan Moammar Khadafi menjadi topik utama media lokal, nasional dan internasional.

  Dibawah kepemimpinan Moammar Khadafi, Libya menerapkan sistem pemerintahan tanpa adanya partai politik. Moammar Khadafi menetapkan sistem pemerintahan “Jamahiriya” atau negara rakyat atau “a state of the masses”, yang dalam teorinya merupakan tipe pemerintahan oleh rakyat melalui Dewan Lokal (local councils), tetapi pada prakteknya merupakan pemerintahan otoriter. Moammar Khadafi juga menghapus semua ideologi berbau asing dari tanah Libya, terutama kapitalisme dan komunisme (Adnan, 2008: 37).

  Kepemimpinan Moammar Khadafi mengantarkan Libya sebagai suatu negara yang berpengaruh dalam konstalasi politik melawan dominasi Amerika Serikat, khususnya di wilayah Timur Tengah dan Afrika. Moammar Khadafi berhasil menanamkan pemikiran politik dan pemerintahan anti-Barat di dalam negaranya dengan menempuh kebijakan sebagai negara tertutup diawali dengan keputusan menutup pangkalan militer Amerika Serikat di Libya. Amerika Serikat kemudian memasukkan Libya dalam daftar negara yang mendukung terorisme internasional. Libya dikaitkan dengan beberapa aksi terorisme internasional, di antaranya, pemboman sebuah diskotik pada tahun 1986 di Berlin, pemboman pesawat Prancis (French Airliner) pada tahun 1989, dan yang paling fenomenal adalah pemboman pesawat Pan Am Flight 103 di Lockerbie, Skotlandia. Hasilnya, Libya menjadi negara yang disegani dan berulang kali menjadi sasaran embargo Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa . Moammar Khadafi bahkan berada pada garis depan mendukung perlawanan Palestina terhadap Israel. Kiprah Moammar Khadafi yang seringkali bertolak belakang dengan keinginan Amerika Serikat dan Sekutunya, menyebabkan hubungan yang sangat buruk antara Libya dengan negara Barat.

  Moammar Khadafi dalam memimpin Libya juga memaksakan pemikirannya tentang direct democracy yang sesungguhnya, melalui sistem pemerintahan “Jamahiriya” tersebut. Menurutnya, demokrasi yang dikenal saat ini bukanlah esensi dari demokrasi yang sesungguhnya. Sistem pemilihan dengan menganggap hasil pilih dengan suara mayoritas sebagai perwakilan rakyat yang sah, menafikkan suara minoritas yang menghendaki perwakilan yang lain. Berdasarkan atas hal tersebut, Moammar Khadafi kemudian menjalankan pemerintahan di Libya tanpa adanya partai politik, maupun kelompok kepentingan. Bahkan, Moammar Khadafi mencanangkan, bahwa semua orang yang terlibat dalam partai politik, merupakan sebuah bentuk pengkhianatan terhadap negara. Hal ini tidak saja berkisar hanya dalam pidato Moammar Khadafi, tetapi juga dituangkan dalam undang-undang No. 71 tahun 1972, disebutkan bahwa partai politik merupakan tindakan kriminal dan merupakan bentuk kegiatan yang membahayakan negara.

  Moammar Khadafi selalu mengambil peranan dalam setiap masalah- masalah sentral di Afrika dan Timur Tengah, serta berusaha untuk menggalang persatuan kekuatan negara-negara Arab, melalui piagam dan perjanjian-perjanjian dengan negara Arab lainnya. November 1969, Moammar Khadafi menyusun Piagam Tripoli untuk mengaitkan kepentingan Libya dan Sudan, tahun 1961 dibentuk perjanjian Benghazi antara Libya, Suriah, dan Mesir, tahun 1973 dibentuk Hassi Messaoud Accords antara Libya dan Aljazair (Adnan, 2008: 37). Meskipun pada kenyataannya tindakannya tersebut justru mendatangkan perpecahan di kalangan negara-negara Arab sendiri, antara yang mendukung Moammar Khadafi, dan yang tidak setuju dengan pandangan serta idenya.

  Moammar Khadafi mulai goyang dalam panggung politik Libya ketika pada tahun 2010, dunia internasional diwarnai dengan munculnya gejolak demokrasi di Timur Tengah. Negara-negara dengan cap otoriter di Timur Tengah, mulai mendapatkan tekanan dari rakyatnya, yang menginginkan sistem pemerintahan yang demokratis. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya efek domino dari krisis politik yang terjadi di Tunisia dan Mesir ke negara-negara lain seperti Bahrain, Suriah dan Libya.

  Ada beberapa faktor penyebab keinginan rakyat Libya untuk mengakhiri kepemimpinan Moammar Khadafi. Antara lain, kondisi sosial dalam masyarakat Libya yang tidak memuaskan secara financial dan angka pengangguran di Libya mencapai 30 persen dengan total penduduk sebanyak 6.597.960 Jiwa (sensus Juli 2011) . Meskipun satu dekade terakhir, Moammar Khadafi mulai melunak dalam kebijakan luar negerinya, misalnya dengan membatalkan program senjata pemusnah massal dan menjalin kembali hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat pada tahun 2004 (Adnan, 2008: 40) untuk memperbaiki kondisi ekonomi Libya. Moammar Khadafi bahkan mengizinkan kembali adanya penanaman modal asing terutama di bagian perminyakan bagi para pengusaha asal Amerika Serikat. Akan tetapi, hal ini ternyata tidak cukup mampu membendung arus demokratisasi yang diinginkan rakyatnya.

  Ketidakpuasan rakyat Libya semakin diperparah dengan tindakan para putra Moammar Khadafi, yang dituding memperkaya diri sendiri dengan penyalahgunaan aset kekayaan negara. Putra Moammar Khadafi merupakan objek nyata kekecewaan rakyat terhadap Pemimpin Revolusi Libya yang memicu reaksi internasional yang negatif. Misalnya, tindakan Hannibal Moammar Khadafi, putra keempat Moammar Khadafi yang ditangkap di Genewa, Swiss, karena penyiksaan terhadap pembantunya. Hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh putra dari pemimpin sebuah negara ini, malah dijadikan alasan untuk kebijakan politik luar negeri yang tidak strategis, berupa pemboikotan produk Swiss, pencabutan hak usaha bagi para pengusaha Swiss di Libya, dan bahkan penarikan diplomat Libya dari Swiss. Hal ini tentu saja merupakan tindakan yang tidak didasarkan pada kepentingan rakyat Libya tetapi lebih kepada egoisme pribadi.

  Pengaruh Moammar Khadafi terlalu dominan dalam setiap hal mengenai Libya. Hampir di semua sudut kota Libya terdapat potret Moammar Khadafi. Dia menyebut dirinya sebagai The Brother Leader, Guide of the Revolution dan King

  

of Kings . Termasuk dengan berbagai tindakannya yang ekstrim seperti pemaksaan

  ideologi pribadinya yang dituangkan dalam buku hijau tent ang “Teori Ketiga dari Dunia”.

  Revolusi Libya yang kemudian dimulai pada 17 Februari 2011, akhirnya berhasil menumbangkan Moammar Khadafi. Trias Kuncahyono, dalam sebuah artikel berjudul “Gorong-gorong Sirte” di Harian Kompas, menuliskan kondisi Moammar Khadafi sebagaimana Alexander Agung pernah disindir oleh seorang filsuf Roma bernama Seneca, Armis Vicit, vitiis victus est, dia yang menang dengan senjata, tetapi dikalahkan oleh kejahatan-kejahatannya sendiri.

  Detik-detik kematian sang diktator begitu tragis. Nampaknya tidak ada penghormatan sedikit pun terhadapnya. Moammar Khadafi yang dalam keadaan lemah dan penuh luka menjadi bulan-bulanan rakyatnya. Beberapa jam setelah tertangkap oleh Dewan Transisi Nasional (NTC), Khadafi akhirnya tewas ditembak, pada 20 Oktober 2011.

  Gerakan massa yang diwarnai konflik bersenjata selama delapan bulan, mampu menumbangkan diktator yang telah berkuasa selama 42 tahun itu. Tak ayal, kematian orang kuat di Afrika tersebut disambut suka cita rakyat Libya. Pemimpin Dunia Barat memandang kematian Moammar Khadafi sebagai berakhirnya kekuasaan tirani, dan awal baru bagi masa depan Libya yang lebih baik. Puluhan ribu warga berbondong-bondong turun ke jalan untuk merayakannya.

  Jenazah Moammar Khadafi kemudian dipamerkan di sebuah toko daging di Pusat Perbelanjaan, Misrata. Disana, ratusan warga mendatangi untuk melihat lebih dekat mayatnya. Mereka diperbolehkan mendekati dan mengambil foto. Ketika itu, mayat Moammar Khadafi dalam kondisi terbaring dengan dada terbuka. Ia diletakkan di atas kasur tipis. Ia menjadi tontonan warganya sendiri. Akhirnya, di hari Selasa, 25 Oktober 2011, Moammar Khadafi dimakamkan secara diam-diam di gurun pasir yang dirahasiakan .

  Cuplikan video dan beberapa foto mayat Moammar Khadafi yang masih berlumuran darah tersebut menghiasi halaman surat kabar lokal di Medan, bahkan menjadi headline. Surat kabar lokal yang memuat foto-foto tersebut salah satunya Harian Waspada .

  Untuk menganalisa foto, peneliti menggunakan teori semiotika dengan analisis ikonografi. Salah satu ahli yang mendefinisikan semiotika yakni seorang filsuf dan pemikir Amerika, Charles Sanders Pierce (1839-1914). Menurut Pierce, tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Sedangkan objek adalah sesuatu yang menjadi referensi dari tanda. Sementara interpretan adalah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda (Sobur 2009: 41).

  Foto merupakan bagian dari karya seni visual yakni seni gambar. Dalam bidang seni, untuk mengkaji aspek-aspek representasional dari karya seni gambar (seni piktoral) atau seni lukis, terdapat teori ikonografi-ikonologi dari sejarawan seni Erwin Panofsky. Teori ikonografi-ikonologi melihat kenyataan bahwa di samping memiliki kekayaan data-data indrawi pada dirinya sendiri, seperti warna, tekstur, garis, bidang, dan sebagainya dalam satu kesatuan komposisi bentuk (form), karya seni gambar juga umumnya digunakan untuk merepresentasikan realitas lainnya di luar karya itu sendiri. Itulah yang dinamakan representasional yang juga memberikan andil kepada keseluruhan nilai isi intrinsik (content) sebuah karya seni (Holly, 1985: 146).

  Winfried Noth memasukkan teori Panofsky ini ke dalam kelompok semiotik untuk seni lukis. W.J.T Mitchell menyebut teori ikonografi Panofsky sebagai kajian tentang “what images say?” dan “what to say about images?”. Mitchell menyatakan bahwa rupa dan verba bukanlah dua fakta yang berbeda secara ontologis. Kedua kategori itu dibedakan hanya karena memiliki relasi khusus antara keduanya sebagai alat representasi. Rupa dan verba masing-masing meredefinisikan satu sama lainnya secara terus menerus, sejalan dengan perubahan sosial dan budaya, dan merupakan indikasi yang tajam tentang ideologi masyarakat serta seniman yang hidup dalam zaman itu. Dengan demikian, representasi visual maupun verbal, serta relasi keduanya akan mampu merepresentasikan struktur nilai dan minat masyarakat yang hidup pada satu zaman tertentu (Noth, 1995:419).

  Foto-foto mengenai tewasnya Moammar Khadafi menarik perhatian penulis. Melalui kajian ikonografi, diharapkan mampu memahami dan memaknai karya-karya fotografi yang mandiri maupun yang dimanfaatkan dalam berbagai media, yang masing-masing memiliki kerangka wacana konteks dan tujuan yang berbeda. Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti merasa perlu mengeksplorasi permasalahan ini lewat skrips i dengan mengangkat judul “Sadisme Dalam Foto

  Jurnalistik (Analisis Ikonografi Foto-Foto Kematian Moammar Khadafi Di Harian Waspada)”.

1.2 Fokus Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: ”Bagaimanakah Pemaknaan Sadisme Dalam Foto Jurnalistik (Analisis

  Ikonografi Foto-Foto Kematian Moammar Khadafi Di Harian Waspada)?”

  Agar tidak terjadi ruang lingkup penelitian yang terlalu luas yang menyebabkan kaburnya penelitian, maka perlu dibuat pembatasan masalah. Pembatasan masalah yang akan diteliti adalah: 1.

  Penelitian ini menggunakan model analisis ikonografi oleh Erwin Panofsky.

2. Penelitian dilakukan pada Harian Waspada.

1.3 Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.

  Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis isi foto yang mengandung unsur sadisme di Harian Waspada.

  2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan dunia foto jurnalistik.

  3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana surat kabar di Medan menerapkan Kode Etik Jurnalistik.

1.4 Manfaat Penelitian

  Penelitian ini diharapkan memberi manfaat, yakni: 1.

  Secara teoritis, penelitian ini diharapkan berguna dalam memperluas pengetahuan peneliti dalam bidang jurnalistik, khususnya mengenai fotojurnalistik.

  2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya khazanah penelitian bidang komunikasi, terutama yang berkaitan dengan kajian tentang media massa di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

3. Sebagai bahan yang dapat dijadikan informasi dan menambah wawasan pembaca tentang studi media cetak dan foto berita.

  4. Secara praktis, diharapkan menjadi bahan masukan untuk perbaikan serta meningkatkan kualitas pemberitaan surat kabar yaitu Harian

  Waspada sebagai objek penelitian.

Dokumen yang terkait

BAB II TANGGUNG JAWAB PIHAK BANK TERHADAP KERUGIAN YANG DIALAMI NASABAH JIKA TERJADI KEHILANGAN ATAU KERUSAKAN BARANG YANG DISIMPAN DALAM SAFE DEPOSIT BOX DI PT. BANK PANIN CABANG PEMBANTU TEBING TINGGI - Perlindungan Konsumen Atas Penyimpanan Barang Di S

1 4 31

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Konsumen Atas Penyimpanan Barang Di Safe Deposit Box (Studi Pada PT. Bank Panin Cabang Pembantu Tebing Tinggi

0 1 28

Perlindungan Konsumen Atas Penyimpanan Barang Di Safe Deposit Box (Studi Pada PT. Bank Panin Cabang Pembantu Tebing Tinggi

0 1 14

Doctoral Program of Regional Development University of North Sumatera – Medan - Indonesia Abstract: The research goal is to determine how the intergenerational transfer in the elderly population based on residence (living alone, living with family, living

0 0 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Basis Gigitiruan 2.1.1 Pengertian - Pengaruh Lama Perendaman Serat Kaca Dalam monomer Metil Metakrilat Terhadap Kekuatan Transversal Bahan Basis Gigitiruan Resin Akrilik Polimerisasi Panas

0 0 15

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Lama Perendaman Serat Kaca Dalam monomer Metil Metakrilat Terhadap Kekuatan Transversal Bahan Basis Gigitiruan Resin Akrilik Polimerisasi Panas

0 0 6

Pengaruh Lama Perendaman Serat Kaca Dalam monomer Metil Metakrilat Terhadap Kekuatan Transversal Bahan Basis Gigitiruan Resin Akrilik Polimerisasi Panas

0 0 15

Analisis Pengaruh Jumlah Pelanggan Dan Jumlah Penjualan Terhadap Jumlah Produksiair Di Pdam Tirtanadi Cabang Medan Kota

0 0 17

Analisis Pengaruh Jumlah Pelanggan Dan Jumlah Penjualan Terhadap Jumlah Produksiair Di Pdam Tirtanadi Cabang Medan Kota

0 0 10

Sadisme Dalam Fotojurnalistik (Analisis Ikonografi Foto – Foto Kematian Moammar Khadafi Di Harian Waspada)

0 0 58