BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Legenda Nilam Baya Bagi Masyarakat Melayu Batubara : Kajian Fungsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 Kepustakaan Yang Relevan Kajian pustaka merupakan kerangka acuan yang disusun berdasarkan kajian berbagai aspek, baik secara teoritis maupun empiris yang menumbuhkan gagasan dan mendasari usulan penelitian. Dasar-dasar usulan penelitian tersebut dapat berasal dari temuan dan hasil penelitian terdahulu yang terkait dan mendukung pilihan tindakan untuk mengatasi permasalahan penelitian. Menurut Ary (1982 : 52) mengatakan bahwa sangat penting bagi peneliti untuk mencari hasil penelitian terdahulu yang cocok dengan bidang yang diteliti sebagai dasar pendukung pilihan. Dalam pembahasan kajian pustaka perlu diungkapkan kerangka acuhan komprehensif mengenai konsep, prinsip atau teori yang digunakan sebagai landasan dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Uraian dalam kajian pustaka diharapkan menjadi landasan teoritik mengapa masalah yang dihadapi dalam penelitian perlu dipecahkan dengan strategi yang dipilih.

  Maka dari dasar tersebut untuk meneliti suatu masalah sangat diperlukan bahan-bahan kajian pustaka dari berbagai sumber, misalnya buku- buku jurnal penelitian, dokumentasi-dokumentasi, laporan penelitian, bahan- bahan internet maupun dari sumber-sumber teoritis lainnya yang sesuai dengan masalah yang diteliti. Kajian pustaka dipaparkan dengan maksud untuk memberikan gambaran tentang kaitan upaya pengembangan dengan upaya- upaya lain yang mungkin sudah pernah dilakukan para ahli untuk mendekati permasalahan yang sama atau relatif sama. Dengan demikian pengembangan yang dilakukan memiliki landasan empiris yang kuat. (UM, 2005). Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk meneliti suatu masalah sangat diperlukan bahan-baham kajian pustaka dari berbagai sumber, misalnya buku-buku ilmiah jurnal penelitian, dokumentasi-dokumentasi, laporan penelitian dan sumber- sumber tertulis lainnya yang sesuai dengan masalah yang diteliti.

  Sesuai dengan judul ini yaitu “Legenda Nilam Baya Bagi Masyarakat , maka dalam memecahkan persoalan yang

  Melayu Batubara Kajian Fungsi”

  timbul dalam penelitian ini penulis menggunakan buku-buku yang relevan sebagai panduan pendukung yaitu buku-buku tentang cerita Rakyat Daerah Sumatera Utara, Pengantar Apresiasi Karya Sastra oleh Aminuddin, Dasar- Dasar Ilmu Pendidikan oleh Hasbullah, Metode Penelitian Sastra oleh Atar Semi. Selain itu, juga digunakan sumber-sumber bacaan lainnya misalnya data dari internet, jurnal dan lain-lain yang masih relevan dengan masalah tentang sastra dan fungsi.

  Adapun penulis menyelesaikan skripsi ini dengan dibantu dengan pustaka yang ada diperpustakaan jurusan berupa buku-buku serta skripsi terdahulu, adapun skripsi yang mendukung dengan kajian yang dianalisis ialah : 1.

  Delsy Monalisa (1999), meneliti cerita Mambang Sigaro, penelitian beliau ditulis dalam bentuk skripsi yang berjudul “ Mite Cerita Rakyat Mambang Sigaro Dalam Masyarakat Melayu Pesisir Dahari Selebar’. Dikatakan bahwa cerita dan peristiwa dalam kisahnya berkaitan dengansistem social yang pernah berlaku di dalam masyarakat Melayu Batubara.

  2. Syahrizal (1999), meneliti cerita tentang Kubah Lobai Sonang, juga dalam bentuk skripsi dengan judul “Fungsi dan Peranan Legenda Kubah Lobai Sonang Bagi Masyarakat Desa Pesisir Kecamatan Talawi”. Dikatakan bahwa struktur ceritanya berkaitan dengannilai-nilai agama islam. Selain itu berhubungan juga dengan unsure kepercayaan yang bersifat animisme dalam masyarakat Melayu Batubara.

  3. Eri Syahputra (2005), meneliti cerita tentang Nilam Baya, juga dalam bentuk skripsi dengan judul “Nilai-Nilai Kesabaran dan Kejujuran Dalam Cerita Lisan Nilam Baya Pada Masyarakat Melayu Batubara”, disini cerita rakyat dikaji dengan analisis didaktis yang berkaitan dengan pengajaran.

2.2 Teori Yang Relevan

  Menurut Poerwadarminta (2003:558), konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain, oleh karena itu konsep penelitian ini adalah mengenai:

2.2.1 Struktural

  Menurut Abrams (Pradopo, 2002:21), karya sastra itu adalah sesuatu yang mandiri, bebas dari pengaruh sekitarnya, baik pengarang dan pembaca.

  Dari pengertian ini konsep struktur dalam karya sastra mengutamakan totalitas. Pengertian ini diperkuat oleh Teuw (Pradopo, 2002: 72, 276) bahwa struktur itu murni untuk membongkar apa yang membentuk karya sastra. Hubungan pengertian para ahli ini dengan konsep struktur yang diaplikasikan dalam penelitian cerita rakyat Melayu Batubara adalah, ke-31 teori dari Vladimir Propp yang oleh Alan Dundes disederhanakan menjadi 6 motifeme, pembongkaran dengan konsep totalitas terhadap apa yang membentuk cerita rakyat Melayu Batubara adalah konsep dasar dari teori struktur ini.

  Untuk mengetahui struktur dalam sebuah karya sastra, haruslah dilakukan analisis unsur instrinsik karya sastra tersebut. Dalam unsur instrinsik digunakan empat struktur karya sastra prosa fiksi yang harus dianalisis yaitu: alur (plot), penokohan/ perwatakan, latar, dan tema (Tinambunan. et.al., 1996:7-14).

  a.

  Alur Alur prosa fiksi (cerita fiksi) adalah rentetan peristiwa yang biasanya bersebab akibat atau berkaitan secara kronologis, sedangkan alur prosa nonfiksi adalah rentetan pikiran atau paparan sebagaimana dalam sajak dan drama (Natawidjaja, 1980:80). Alur yang baik dalam prosa fiksi adalah alur yang di dalamnya terdapat keingintahuan pembaca akan peristiwa berikutnya (Akhadiyah M.K.dkk, (1992:184).

  Secara sederhana alur itu terbagi dalam tiga tahap, yaitu tahap perkenalan, tahap pertikaian, dan tahap akhir (Surana, 1980:84). Pada tahap perkenalan pada awal cerita diperkenalkan/dilukiskan tempat, waktu, dan tokoh-tokohnya pada tempat dan saat tertentu. Pada tahap pertikaian dilukiskan munculnya pertikaian yang berkembang menuju puncak atau klimaks. Pertikaian dapat berupa konflik bathin dalam diri sendiri, antar tokoh dalam suatu keluarga atau masyarakat. Pada tahap akhir dilukiskan cerita telah berakhir atau penyelesaian konflik atau masalah yang dihadapi.

  Rentetan peristiwa itu dapat disusun dari awal, tengah, dan akhir (progresif) cerita dan dapat juga dari akhir cerita, lalu kembali ke pangkalnya (regresif atau flashback). Di samping itu, kedua alur itu dapat dipakai bersama- sama atau digabungkan, yaitu mula-mula diceritakan peristiwa masa lalu, kemudian, beralih ke perstiwa sesudah masa kini.

  Urutan peristiwa dalam alur dapat berupa urutan klimaks atau antiklimaks dan dapat pula berupa urutan kronologis atau regresif (alur mundur atau alur sorot balik). Urutan klimaks peristiwa dimulai dari peristiwa biasa dan diteruskan oleh peristiwa berkembang, serta diakhiri dengan peristiwa memuncak. Dalam urutan antiklimaks, peristiwa dimulai dari peristiwa yang paling tegang atau paling mengerikan (memuncak), kemudian diakhiri dengan peristiwa biasa. Dalam urutan kronologis, peristiwa maju secara wajar menurut waktu. Dalam alur sorot balik, peristiwa dimulai dari peristiwa akhir (tahap akhir), lalu kembali ke permulaan peristiwa (tahap konflik) atau peristiwa dimulai dari peristiwa yang berkonflik (tahap konflik), lalu kembali pada permulaan cerita (tahap perkenalan), dan diteruskan dengan peristiwa akhir dari cerita (tahap akhir), (Surana, 1980:83-86).

  b. Penokohan Tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan di dalam berbagai peristiwa cerita sedangkan watak adalah menggambarkan bagaimana sifat para tokoh pada cerita itu. Tokoh dan watak dinyatakan setelah alur cerita dinyatakan secara jelas. Biasanya alur cerita berpusat pada tokoh utama, ditemukan juga tokoh bawahan. Watak tokoh cerita ada yang baik (penyabar, suka mengampuni dan sebagainya), yang dapat dicontohkan oleh pembaca dan ada juga yang kurang baik (pemarah, pendendam, dan sebagainya) yang harus dihindari ditanggapi secara positif oleh pembaca.

  Ada enam cara yang dipakai dalam mendeskripsikan penokohan dalam karya sastra, yaitu: (1) penulisan bentuk lahir, (2) pelukiskan jalan pikiran dan perasaan, (3) pelukisan reaksi tokoh lain, (4) pelukisan keadaan sekeliling, (5) pengungkapan ucapan, (6) dan pelukisan kebiasaan.

  Pelukisan bentuk lahir atau tingkah laku dalam mengukapan watak seseorang atau tokoh cerita dapat dilakukan secara analitik dan dramatik.

  Pelukisan reaksi tokoh lain terhadap tokoh utama atau tokoh bawahan. Misalnya, pada waktu tokoh mendapat suatu musibah, banyak tetangga dan kenalan datang menjenguk untuk memberikan hiburan dan pertolongan. Dalam hal ini, tampak bahwa tokoh utama berwatak baik: rela menolong, suka mengampuni, dan sebagainya.

  Pelukisan keadaan sekeliling tokoh utama atau tokoh bawahan cerita, misalnya keadaan rumah, kamar, dan halaman dapat mengukapkan watak pelaku, misalnya rajin atau malas, saleh atau munafik.

  Pengungkapan ucapan dapat juga menyatakan watak pelaku. Ucapan positif menunjukan watak negatif. Kebiasaan positif menyatakan watak yang baik dan kebiasaan negatif menyatakan watak yang tidak baik/kurang baik.

  Penggambaran watak pada fiksi kontemporer tidak lagi dapat dilakukan menurut waktu, tetapi menurut tanggapan sesaat, kesadaran zaman lampau, kini dan besok bercampur-baur (perwatakan absur yang tidak logis).

  Perwatakan tokoh cerita fiksi merupakan perbauran, minat, keinginan, yang membentuk sosok individual tokoh itu (Semi, 1988:39).

  emosi, dan moral

  Karena itu, watak tokoh cerita dapat dinyatakan menurut sifat tersebut, antara lain: bersifat positif, berkeinginan positif, emosi positif, dan moral positif (baik hati) atau sebaliknya. Perkembangan tokoh dan perwatakan harus wajar. Perwatakan tokoh cerita itu akan menimbulkan kesan tertentu (benci atau senang/simpati) kepada pembaca, kritikus, atau peminat.

  c.

  Latar Latar atau setting yang disebut juga landas tumpu, menyaran kepada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Nurgiyantoro, 201:218). Latar memberikan pijakan cerita secara konkrit dan jelas, hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca dengan demikian merasa diperlukan untuk mengoperasikan daya imajinasinya di samping memungkinkan untuk berperan serta secara kritis sehubungan dengan tentang latar. Pembaca dapat merasakan menilai kebenaran, ketepatan, dan aktualisasi latar yang diceritakan sehingga merasa lebih akrab. Pembaca seolah-olah merasa menemukan dalam cerita itu sesuatu yang sebenarnya menjadi bagian dirinya, hal ini akan terjadi jika latar mampu mengangkat suasana setempat, warna lokal, lengkap dengan perwatakan dalam cerita.

  Menurut Nurgiyantoro ( 2001:227) unsur latar dapat dibedakan kedalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, sosial. Ketiga unsur itu walau masing- masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Ketiga unsur latar tersebut secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut:

  (1) Latar tempat, latar ini menyarankan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin lokasi tertentu tanpa jelas.

  Tempat- tempat yang bernama adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata misalnya pantai hutan, desa, kota, kamar, ruangan, dan lain-lain.

  (2) Latar waktu , latar ini berhubungan dengan masalah “kapan “ terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra masalah, “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitanya dengan peristiwa sejarah. Pengetahuan tentang persepsi pembaca terhadap waktu sejarah itu kemudian dipergunakan untuk mencoba masuk kedalam suasana cerita. Pembaca berusaha memahami dan menikmati cerita berdasarkan acuan waktu yang diketahuinya berasal dari luar cerita yang bersangkutan. Adanya persamaan perkembangan dan kesejalanan dan waktu tersebut juga dimanfaatkan untuk mengesani pembaca seolah-olah cerita itu sebagai sungguh-sungguh ada dan terjadi.

  (3) Latar sosial, latar ini menyarankan pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya sastra. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Dia dapat berupa kebiasaan hidup, adapt-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara bepikir dan bersikap, dan lain-lain.

  d. Tema dan Amanat Tema adalah gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari satu karya sastra. Adanya tema membuat karya lebih penting daripada sekedar bacaan hiburan (Sudjiman, 1992:50), sedangkan amanat adalah pemecahan tema; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca (Gaffar, 1990:4).

  Sedangkan struktur yang harus dianalisis dalam unsur ekstrinsik karya sastra mencakup latar belakang karya sastra. Latar belakang karya sastra mengacu pada:

  a) Tempat dan masa tertentu dengan fakta-faktanya, yaitu tempat dan yang memungkiri karya sastra itu muncul.

  b) Pandangan hidup masyarakat pada saat itu sehingga muncul pandangan hidup atau cara berpikir masyarakat pada karya sastra.

  c) Keadaan masyarakat pada saat tertentu sehingga perlu direkam dalam karya sastra.

  d) Kondisi baru yang muncul sesudah keadaan masyarakat sebelumnya,

  e) Adat-istiadat masyarakat yang terdapat dalam karya sastra, f) Keadaan penulis karya sastra, seperti pertumbuhan pribadinya, cara penemuannya atas ilham yang tertuang dalam karya sastra, g)

  Pandangan pembaca terhadap karya sastra, dan

  h) Kedudukan karya sastra dalam sejarah sastra atau dalam satu jangka waktu tertentu berdasarkan ciri-ciri umum suatu zaman/periode sastra.

  Unsur-unsur ekstrinsik yang digunakan yaitu: 1)

  Tempat dan masa tertentu dengan fakta-faktanya, yaitu tempat dan yang memungkiri karya sastra itu muncul.

  2) Pandangan hidup masyarakat pada saat itu sehingga muncul pandangan hidup atau cara berpikir masyarakat pada karya sastra.

  3) Keadaan masyarakat pada tertentu sehingga perlu direkam dalam karya sastra.

  4) Kondisi baru yang muncul sesudah keadaan masyarakat sebelumnya,

  5) Adat-istiadat masyarakat yang terdapat dalam karya sastra,

6) Pandangan pembaca terhadap karya sastra.

2.2.2 Fungsi

  Fungsi adalah suatu kegunaan atau faal yang dapat diambil dalam melakukan sesuatu. Demikian juga dengan karya sastra, memiliki fungsi dalam masyarakat, apakah itu fungsi langsung atau tidak langsung. Bila dilihat secara langsung, fungsi karya sastra itu pada dasarnya adalah media penyampaian isi hati pengarang atas apa yang dirasakan atau yang dialami oleh pengarang itu sendiri atas apa yang terjadi pada masyarakat. Karya sastra dapat dikatakan merupakan gambaran tentang apa yang terjadi dalam masyarakat dengankata lain hal yang disampaikan dalam karya sastra adalah cerminan masyarakat .

  Setelah cerita rakyat dianalisis secara struktural kemudian dilanjutkan dengan analisis fungsi yang dikemukakan oleh Bascom (Danandjaya, 1986:19- 20), foklor memiliki empat fungsi yaitu: a. Sebagai sistem proyeksi ( Projective sistem ).

  b. Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan.

  c. Sebagai alat pendidikan anak ( Pedagogical device ).

  d. Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar anggota kolektif dari masyarakat tersebut mematuhinya.

  Fungsi yang diutarakan tersebut di atas didasarkan pada pencatatan hal- hal yang tampak atau tersirat dalam cerita Melayu Batubara. Penulis memilih teori ini karena teori fungsi yang dikemukakan oleh Bascom mampu memberikan penjelasan mengenai kebenaran fungsi cerita rakyat itu bagi kehidupan masyarakakat Melayu Batubara.

2.3 Legenda

  Folklor merupakan sebagian kebudayaan kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda-beda baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Brunvand, 1968:5; Danandjaja, 1986:2). Istilah folklor diciptakan pada abad ke-19 untuk menunjuk dongeng kepercayaan dan adat-istiadat yang tidak tertulis dari kaum tani Eropa sebagai lawan tradisi kaum elit yang terpelajar (Haviland, 1985:227). Menurut Abrams, folklor sebagai mana koleksi, memperlihatkan jangkauan yang sangat luas, sebab hampir setiap aspek kehidupan yang bersifat tradisional (1981:66).

  Sebenarnya istilah folklor (folklore, Inggris; dieja folk-lore) pada mulanya adalah ciptaan William John Thorms, seorang ahli kebudayaan antik (antiquarian) Inggris. Istilah ini digunakan sebagai pengganti istilah popular

  antiquities; dan mula-mual diperkenalkan dalam majalah Athenaeum (No. 982,

  tanggal 22 Agustus 1984), dengan nama samaran Ambrose Merton (1846: 862

  • – 863). Menurut Thorms istilah popular antiquities itu tidak tepat untuk merujuk pada fenomena-fenomena yang hidup dan yang masih mendapat tempat di dalam kehidupan sekelompok penduduk di luar kota di negeri Inggris pada waktu itu. Istilah folklor itu sebenarnya cocok dengan istilah Jerman,
yakni Volkskunde. Istilah-istilah lain yang pernah digunakan orang adalah verbal arts, folk literature, dan folk-life (digunakan di Skandinavia).

  Menurut etimologinya, perkataan folklore (diindonesiakan menjadi

  

folklor ) berasal dari kata folk dan lore. Danandjaya (1984: 2) menyatakan

  bahwa definisi folklor adalah sebagai kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).

  Folklor adalah kepercayaan, legenda, dan adat-istiadat suatu bangsa yang sudah sejak lama diwariskan turun-temurun baik secara lisan maupun tertulis. Bentuknya bisa berupa nyanyian, cerita, peribahasa, teka-teki, bahkan permainan kanak-kanak (Sudjiman, 1986:29). Folklor mencakup kepercayaan, adat-istiadat, upacara yang dijumpai dalam masyarakat dan juga benda-benda yang dibuat manusia yang erat kaitannya dengan kehidupan spiritual, misalnya patung, larangan untuk tidak berbuat sesuatu yang berlawanan dengan norma kehidupan (Moeis, 1988:127-128).

  Jika kebudayaan mempunyai tujuh unsur kebudayaan universal, yaitu sistem data pencaharian hidup (ekonomi), sistem peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi), sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan sistem religi, maka folklor menurut Jan Harold Brunvand, seorang ahli folklor dari Amerika Serikat, dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya: (1) folklor lisan (verbal folklore), (2) folklor sebagian lisan (setengah lisan), dan (3) folklor bukan lisan (non verbal folklore ) (Danandjaja, 1986:21; Brunvand, 1968:2-3).

1. Folklor Lisan Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan.

  Bentuk-bentuk yang termasuk ke dalam folklor lisan adalah sebagai berikut.

  1. Ungkapan tradisional (peribahasa, pepatah, wasita adi), 2.

  Nyanyian rakyat,

  

3. Bahasa rakyat (dialek, julukan, sindiran, title-titel, wadanan, bahasa

  rahasia, dan lain-lain),

  

4. Teka-teki atau pertanyaan tradisional, dan cerita rakyat (dongeng suci

  atau mite, legenda, dongeng, sage, cerita jenaka, cerita cabul, dan lain- lain) (lihat Danandjaja, 1986: 21-22; Hutomo, 1991: 8).

2. Folklor Sebagian Lisan

  Folklor sebagian lisan (setengah lisan) adalah folklor yang bentuknya

  merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Bentuk-bentuk yang termasuk ke dalam folklore sebagian lisan adalah sebagai berikut.

  (a) drama rakyat (ketoprak, ludrug, lenong, wayang orang, wayang kulit, topeng, dan lain-lain)

  (b) tari, (c) kepercayaan rakyat dan takhayul, (d) permainan rakyat dan hiburan rakyat, (e) adat-istiadat atau adat kebiasaan (gotong royong, batas umur pengkhitanan anak, dan lainlain), (f) pesta-pesta rakyat (wetonan, sekaten, dan lain-lain) (lihat Danandjaja, 1986: 21-22; Hutomo, 1991: 9).

3. Folklor Bukan Lisan

  Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan,

  walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Folklor jenis ini terbagi dua, yakni: (1) yang berupa material (mainan/boneka, makanan dan minuman khas rakyat, peralatan dan senjata, alat-alat musik, pakaian dan perhiasan, obat-obatan tradisional, seni kerajinan tangan, dan arsitektur rakyat (bentuk-bentuk rumah asli rakyat (2) yang berupa bukan material (musik (gamelan Sunda, Bali, dan Jawa), dan bahasa gerak isyarat tradisional tanda bahaya, dan lain-lain) (lihat Danandjaja, 1986: 21-22; Hutomo, 1991: h. 9).

  Pada penelitian ini, peneliti menemukan sebuah cerita prosa rakyat yang

  

terdapat di Desa Pahang, yaitu : Nilam Baya. Cerita prosa rakyat tersebut

termasuk kedalam jenis folklor lisan, yang masuk kategori legenda. Cerita

prosa rakyat yang terdapat di Desa Pahang, jika ditinjau dari isi teks ceritanya

dapat diklasifikasikan kedalam jenis legenda. Asumsi ini didasarkan pada

pengklasifikasian yang dikemukankan oleh Jan Harol Brunvand. Menurut

Brunvand (dalam Danandjaja, 1991:67), cerita prosa rakyat yang termasuk

kedalam jenis legenda digolongkan menjadi empat kelompok, yaitu : legenda

keagamaan (religious legends), legenda alam gaib (supernatural legends), legenda perseorangan (personal legends), dan legenda setempat (local legends ).

  Legenda keagamaan (religious legends), yaitu legenda orang-orang suci. Legenda alam gaib (supernatural legends), yaitu legenda yang berbentu sebuah kisah yang dianggap benar-benar terjadi dan pernah dialami seseorang.

Fungsi legenda ini adalah untuk meneguhkan kebenaran takhayul atau

kepercayaan rakyat. Legenda perseorangan (personal legends), yaitu legenda

yang berisikan cerita tentang tokoh-tokoh tertentu yang dianggap oleh

empunya cerita benar-benar terjadi. Legenda setempat (local legends), yaitu

legenda yang isi ceritanya berhubungan dengan suatu tempat , nama tempat

dan bentuk topografi, yakni bentuk permukaan suatu daerah, apakah berbukit- bukit, berjurang, dan lain sebagainya.

2.4 Sekilas Tentang Sosial Budaya Masyarakat Melayu Batubara

2.4.1 Geografi Wilayah Penelitian

  Batubara adalah sebuah kota yang dahulunya terdiri atas beberapa kepenghuluan, terletak di pantai timur Pulau Sumatera, dahulunya adalah daerah Kabupaten Asahan, dan sekarang sudah menjadi Kabupaten Batubara. Pada zaman dahulu pemerintahannya bersifat kerajaan, terdiri atas kepenghuluan yang dipimpin oleh seorang Datuk. Batubara merupakan bagian dari wilayah Deli. Adapun kedatukannya adalah Lima laras, Lima Puluh atau Simpang Dolok, Pesisir, dan Tanah Datar. Tanah Datar sendiri terdiri dari beberapa desa, salah satunya adalah desa Pahang. Desa Pahang merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Talawi Kabupaten Batubara. Desa Pahang terletak di pesisir pantai Timur Sumatera pada ketinggian lebih kurang 3 meter di atas permukaan laut. Suhu maksimal di desa Pahang 33, 2 derajat celcius dan suhu minimal 21, 5 derajat celcius.

  Desa Pahang memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :

  1. Sebelah Utara berbatasan dengan desa Mesjid Lama

  2. Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Sei-Muka

  3. Sebelah Timur berbatasan dengan desa Panjang

  4. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Labuhan Ruku

  Luas desa Pahang lebih kurang 200.000 Ha, yang memanjang dan mengarah ke Selatan 3.5 km. Jumlah penduduk desa Pahang pada tahun 2004/2005 lebih kurang 4854 jiwa, yang terdiri dari VII dusun. Desa Pahang rata-rata penduduknya beretnis Melayu, sedangkan lebihnya bersuku Batak, Padang dan Jawa.

  Jarak antara pusat kota pemerintahan, yaitu kota Batubara menuju Kecamatan Talawi sejauh 1 km, dan dari pemerintahan kota sejauh 27 km, dan jarak dari Ibukota Dati II sejauh 27 km, sedangkan jarak dari Ibukota Dati I sejauh 160 km. Mata pencaharian utama penduduk desa adalah nelayan. Hampir seluruh laki-laki yang berada di desa ini menggantungkan hidupnya dengan hasil laut, meskipun penduduknya mempunyai mata pencaharian tanbahan dengan berladang, buruh, dan jasa. Usaha kaum perempuannya bersifat industri rumah tangga, seperti membuat kain songket, membuat jaring ikan, dan berjualan di depan rumah.

  Tingkat pendidikan penduduk di desa ini tergolong sudah meningkat, terbukti dengan banyaknya anak-anak yang bersekolah Tsanawiah (SMP) dan Aliyah (SMA), serta ada juga yang bersekolah di luar negeri, seperti Libya, Mesir, Malaysia, dan Arab Saudi.

  Mayoritas penduduk Batubara memeluk agama Islam, dan selebihnya memeluk agama Kristen Protestan dan Kristen Katholik. Di desa ini banyak sarana tempat ibadah, seperti mesjid, langgar, musholla, serta tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti Kubah Sabun, Langgar Dusun VII, Istana Air Putih, dan kuburan-kuburan datuk-datuk zaman dahulu yang dianggap keramat oleh masyarakat setempat.

2.4.2 Sejarah Masyarakat Melayu Batubara

  Cerita singkat sejarah masyarakat Melayu Batubara berawal dari seorang raja yang memiliki seorang putri yang cantik jelita. Dan pada saat itu raja yakin bahwa usianya tidak akan lama lagi. Lalu raja berkehendak ada seorang yang bakal menjadi penerus untuk menggantikannya menjadi raja kelak. Kemudian raja mengadakan Sayembara ke seluruh negeri. bagi pemuda yang ingin mempersunting anak perempuannya yang cantik jelita tersebut. Dan beberapa hari kemudian, datanglah Empat pemuda yang ingin mempersunting anak gadis raja tersebut. Keempat pemuda itu datang dari daerah yang berbeda.

  Pemuda-pemuda tersebut datang dari daerah Lima Laras, Pesisir, Lima Puluh, dan Tanah Datar. Oleh karena seorang raja harus berlaku adil, maka keempat pinangan pemuda tersebut diterima oleh raja dan ditetapkan hari pernikahan putrinya. Pada saat pernikahan akan dilaksanakan, raja bingung karena putrinya hanya satu orang, sementara Ia harus bersikap adil. Keempat pemuda itu membawa rombongan yang sangat banyak sekali. Raja memanggil datuk empat suku untuk membicarakan agar menunda pernikahan selama satu hari. Keempat datuk ini menyetujuinya.

  Permaisuri meminta agar raja memberinya tiga ekor binatang, yaitu: anjing betina, monyet, dan kambing. Permaisuri mengurung ketiga binatang itu di dalam kamar dan menutupinya dengan sehelai kain putih. Siang malam permaisuri berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar tidak malu. Dan keesokan harinya terjadi keajaiban ketika permaisuri membuka kain putih. Ia mendapatkan tiga orang putri yang berwajah sama dengan dirinya. Lalu dilaksanakanlah pesta pernikahan itu dengan sangat meriah. Setelah pesta keempat putri raja dibawa oleh suaminya masing-masing. Putri monyet dibawa ke Lima Laras, putri anjing dibawa ke Simpang Dolok, putri kambing dibawa ke Pesisir, dan putri raja yang asli tetap di Tanah Datar. Masyarakat Melayu Batubara mempercayai bahwa sifat ketiga binatang tersebut mempengaruhi citra masyarakatnya masing-masing, terkecuali masyarakat Tanah Datar yang memiliki ketiga-tiga sifat binatang tersebut. Seperti monyet yang suka makan buah-buahan, kambing yang suka makan sayur-sayuran, dan anjing yang suka makan ikan atau daging.

  Dari cerita sejarah singkat masyarakat Batubara ini dapat diambil hikmah bahwa pada zaman dahulu sistem pemerintahan di Batubara merupakan kerajaan. Terdiri atas kepenghuluan yang dipimpin oleh seorang Datuk. Batubara merupakan bagian dari wilayah kerajaan Deli. Adapun wilayah kedatukannya dibagi atas wilayah Simpang Dolok, atau Lima Puluh, Lima Laras, Pesisir, dan Tanah Datar.

  Dalam sejarah silsilah atau keturunan, Datuk-datuknya berasal dari Pagaruyung. Pada zaman kerajaan, pemimpin masyarakatnya adalah datuk dan di bawah kekuasaan kesultanan Deli. Dan sekarang berada dalam pemerintahan Indonesia. Masyarakatnya di bawah Bupati dan Camat. Masing- masing wilayah masyarakat Batubara memiliki kelebihan dan kekurangan. oleh sebab itu masyarakat Batubara saat ini masih menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan, nilai adat-istiadat, serta bertutur kata lemah lembut. Hal ini membuat masyarakat Batubara baik didalam berkata maupun berbuat.

  Masyarakat Melayu Batubara hingga saat ini masih mempunyai budaya yang nilai dan norma-normanya masih dipatuhi di tengah-tengah khalayaknya. seperti adat bersopan santun dan bertutur kata lemah lembut. Masyarakat Melayu Batubara khususnya daerah Lima Laras, Pesisir, Lima Puluh, dan Tanah Datar masih ada yang percaya dengan mistik. Karena daerah-daerah tersebut masih mempunyai beberapa fenomena yang serba mistisme. Hal ini juga dapat dilihat dalam setiap jamuan atau pesta yang diadakan di Batubara sampai saat ini. Tradisi hidangan yang berasal dari daging, ikan, sayur- sayuran, dan buah-buahan yang di masak harus ada, disantap sebagai lauk nasi. Hidangan ini dikenal juga sebagai hidangan penghormatan terhadap leluhur, nenek moyang yang ada pada zaman dahulu.

2.4.3 Sistem Sosial Masyarakat Melayu Batubara

  Cerita pada sastra rakyat hubungan yang erat dalam kehidupan sosial masyarakat. Dalam tradisi lisan, penyampaian cerita biasanya denganmenggunakan bahasa daerah setempat. Penutur cerita biasanya memiliki kedudukan dan status sosial yang berbeda dari anggota masyarakat.

  Sistem sosial masyarakat Melayu Batubara biasanya dapat terlihat pada sebuah acara perkawinan, dimana menantu laki-laki harus tinggal dengan keluarga istrinya. Dapat dikatakan seperti dengan sistem matrenilinial, seperti yang dianut oleh suku padang. Masyarakat Batubara hingga kini masih menjunjung nilai-nilai kesopanan, nilai adapt-istiadatnya, serta bertutut kata lemah baik di dalam silaturahmi diantara masyarakatnya. Dalam berkata maupun berbuat, serta masih kuatnya tali silaturahmi diantara masyarakatnya.

  Dalam masyarakat Melayu Batubara pernah dipakai sistem pemerintahan yang bersifat kerajaan, dan sejak kemerdekaan Indonesia berlaku sistem sosial yang sudah diatur dalam UUD 1945 dan Ideologi yang ada di Indonesia. Pada zaman kerajaan, pimpinan tertinggi dipegang oleh seorang Datuk dan di bawah kekuasaan kesultanan Deli. Dan sekarang berada dalam pemerintahan Indonesia, masyarakatnya di bawah pimpinan Camat dan Bupati.

  

2.4.4.Hubungan Cerita Nilam Baya Dengan Sistem Budaya Masyarakat

Melayu Batubara

  Masyarakat Melayu Batubara, khususnya Masyarakat desa Pahang hingga saat ini masih mempunyai budaya yang nilai dan norma- normanya masih dipatuhi di tengah-tengah khalayaknya. Nilai dan norma budaya tersebut, seperti adapt bersopan santun dan bertutur dan bertutur kata lemah lembut. Masyarakat Melayu Batubara, khususnya di daerah Lima Puluh, Lima Laras, dan Tanah Datar, mempunyai keterikatan yang kuat terhadap cerita Nilam Baya, karena cerita ini dianggap sangat kuat kebenarannya, serta sangat mempengaruhi dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya baik dalam beradat-istiadat, berketuhanan maupun bersosial budaya lainnya. Hal ini juga dapat dilihat dalam setiap jamuan atau pesta yang diadakan di Batubara sampai saat ini, tradisi hidangan yang berasal dari daging, ikan dan sayur-sayuran serta buah-buahan yang dimasak harus ada, disantap sebagai lauk nasi. Hidangan yang mengandung makna ini, bukan hanya sebagai hidangan biasa, tetapi adalah suatu hidangan penghormatan kepada leluhur nenek moyang, yang makanannya adalah daging, ikan dan sayur-sayuran serta buah-buahan. Perilaku dan jenis hidangan ini dipercayai terkait dengan cerita Nilam Baya sebagai cerita asal usul Masyarakat di Batubara.

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia

0 1 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecipir - Daya Terima Brownies Tepung Biji Kecipir dan Kandungan Gizinya

0 2 16

Pengelolaan Pelayanandan Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan : Stroke Haemoragik di Ruang Rindu A4 Neurologi RSUP H Adam Malik Medan

0 1 35

A. Konsep Dasar - Pengelolaan Pelayanandan Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan : Stroke Haemoragik di Ruang Rindu A4 Neurologi RSUP H Adam Malik Medan

0 0 89

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil (Antenatal Care) 2.1.1 Pengertian - Pengaruh Motivasi dan Kompetensi Bidan terhadap Kualitas Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil pada Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Puskesmas di Kabupaten Aceh Barat

0 12 45

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengertian Produk - Pengaruh Atribut Produk dan Sikap Konsumen Terhadap Keputusan Pembelian Produk Luwak White Koffie pada Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

0 1 22

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Atribut Produk dan Sikap Konsumen Terhadap Keputusan Pembelian Produk Luwak White Koffie pada Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

0 2 11

2.1.2 Etiologi dan Patogenesis - Profil Kadar Leptin Serum pada Berbagai Derajat Keparahan Pasien Psoriasis Vulgaris di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 1 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teoritis 2.1.1 Kualitas Pelayanan 2.1.1.1 Pengertian Kualitas Pelayanan - Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Loyalitas Pelanggan Melalui Kepuasan Pelanggan Pada BT/BS BIMA Medan

0 1 40

Legenda Nilam Baya Bagi Masyarakat Melayu Batubara : Kajian Fungsi

0 0 16