Perlindungan Terhadap Paus Di Southren Ocean Whale Sanctuary Menurut International Convention For The Regulation Of Whaling (Studi Pada Sengketa Perburuan Paus Antara Jepang Dan Australia )

KATA PENGANTAR

  Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa memberikan harapan, semangat, kekuatan, kesabaran, dan bimbingan selama proses penulisan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan baik dan tepat waktu.

  Penulisan skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN TERHADAP

  PAUS DI SOUTHREN OCEAN WHALE SANCTUARY MENURUT

  

INTERNASTIONAL CONVENTION FOR THE REGULATION OF

WHALING (STUDI PADA SENGKETA PERBURUAN PAUS ANTARA

  

JEPANG DAN AUSTRALIA)” ini ditujukan untuk memberikan informasi

  kepada para pembaca mengenai pengaturan hukum internasional tentang perburuan paus di Antartika antara Jepang dan Australia yang juga di intervensi oleh New Zealand. Selain itu, penulisan skripsi ini juga ditujukan untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

  Penulisan skripsi ini tidaklah terlepas dari ketidaksempurnaan sehingga penulis berharap agar semua pihak dapat memberikan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik dan lebih sempurna lagi baik dari segi substansi maupun cara penulisannya.

  Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis, David Kwee dan Yenny, yang telah membesarkan, mendidik, dan mendukung penulis sehingga penulis dapat memperoleh pendidikan formal sampai pada tingkat Strata Satu. Semoga dengan berbekal pendidikan yang penulis tempuh selama ini dapat membahagiakan dan membanggakan keluarga tercinta.

  Tak lupa juga penulis menyampaikan ucapan terima kasih sebesar- besarnya kepada :

  1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc. (CTM), Sp.A(K).

  2. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

  3. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

  4. Syafruddin Hasibuan, S.H., M.Hum., DFM selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

  5. Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

  6. Arif, S.H., M.H. selaku Dosen Hukum Internasional, serta Dosen Pembimbing II yang selalu membantu penulis dalam memberikan bimbingan bagi penyusunan skripsi ini. Penulis dalam kesempatan ini mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan dan dukungan yang sangat bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.

  7. Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H. selaku Dosen Pembimbing I serta Dosen Pembimbing yang selalu membantu penulis dalam memberikan bimbingan bagi penyusunan skripsi. Penulis dalam kesempatan ini mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Beliau atas segala bantuan dan dukungan yang sangat bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.

  8. Dr. Chairul Bariah, SH, MHum selaku Ketua Departemen Hukum Internasional.

  9. Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum. selaku Sekretaris Jurusan Departemen Hukum Internasional dan Dosen Hukum Internasional, 10. Deni Amsari Purba, S.H., L.L.M. selaku Dosen Hukum Internasional

  Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU). Dalam kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih atas segala ilmu yang telah dibagikan Beliau selama menjadi dosen hukum internasional penulis.

  11. Sutiarnoto S.H., M.Hum. selaku Dosen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU). Dalam kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih atas segala ilmu yang telah dibagikan Beliau selama menjadi dosen hukum internasional penulis.

  12. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) atas segala ilmu yang telah diberikan sejak awal perkuliahan hingga terselesainya penulisan skripsi ini.

  13. Seluruh staf pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

  14. Teman-teman Stambuk 2010, yang merupakan teman-teman akrab, teman segrup, dan teman satu tim klinis penulis, yaitu Hasnita Sihombing, Ekpi Yosara Simbolon, Hotmarta Adelia Saragih, Henny Handayani Sirait, Rahmad Rmadhan, M. Monang Saragih, Diana Wijaya, Steffy Wijaya, Moria

  Gunawaty, Sally Putri, Febrina Sumardy serta yang lainnya yang tidak bisa penulis ucapkan satu per satu.

  15. Teman-teman organisasi ILSA yang telah bekerja sama dan membantu penulis dalam melaksanakan tugas dan menyelenggarakan kegiatan organisasi kampus selama perkuliahan.

  16. Senior-senior di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yaitu Paulina Tandiono dan lainnya yang telah memberikan banyak informasi mengenai kegiatan perkuliahan dan membimbing penulis selama mengikuti kegiatan- kegiatan hukum dalam organisasi kampus.

  17. Junior-junior di di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yaitu Elsha Manaloe, Reta Puji Ulina Damanik, Jessica dan teman teman lainnya di tim jurnalis Lintas Almamater (LASER) Fakultas Hukum USU yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

  18. Teman-teman diluar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya teman teman dari Filipina , yaitu Dave Hernando, Ate Irma, Ate Risa, Helfred, Nico, Aleli, Bang Jay, Kak Asri , William dan yang lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang selalu memberi dukungan moral dan spiritual hingga terselesainya penulisan skripsi ini. Thank you guys, truly appreciated.

  Salam hormat, Penulis

  DAFTAR ISI ABSTRAK ........................................................................................................... i KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii DAFTAR ISI ........................................................................................................ vi

  BAB I . PENDAHULUAN ............................................................................ 1 A. Latar Belakang ............................................................................ 1 B. Perumusan Masalah .................................................................... 9 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 9 D. Keaslian Penuliasn ...................................................................... 10 E. Tinjauan Kepustakaan ................................................................. 11 F. Metode Penelitian........................................................................ 12 G. Sistematika Penulisan ................................................................. 15

BAB II. PENGATURAN PERBURUAN PAUS DI DALAM HUKUM

INTERNASIONAL ............................................................................................. 17 A. Perjanjian Internasional ............................................................... 17 1. Pengertian Perjanjian Internasional....................................... 17 2. Kekuatan Mengikat Suatu Perjanjian Internasional .............. 24 B. Sejarah Berdirinya International Whaling Commission (IWC) .. 25 C. Regulasi Internastional Whaling Commission (IWC) Terhadap Perburuan Paus ............................................................................ 28

  D.

  International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW) Sebagai Konvensi Dasar Internastional Whaling Commission (IWC). ......................................................................................... 30

  

BAB III. TAHAP PENYELESAIAN SENGKETA PERBURUAN PAUS

ANTARA JEPANG DAN AUSTRALIA .......................................................... 35 A. Sengketa Internasional dan Penyelesaiannya Secara Damai ...... 35 B. Kepentingan Penelitian (Scientific Research) di dalam Pasal 8 ICRW .......................................................................................... 47 1. Pasal 8 ICRW ......................................................................... 47 2. Kepentingan Penelitian (scientific research) ......................... 49 C. Sengketa Perburuan Paus Antara Jepang dan Australia .............. 52 1. The Japanese Whale Research Program under Special Permit in the Antarctic (JARPA) ....................................................... 52 2.

  JARPA II Sebagai Program Penerus JARPA ......................... 54 D. Penggunaan Metode Mematikan di Dalam JARPA II ................ 57 E. Tahapan Penyelesaian Sengketa Perburuan Paus ....................... 61

  1. Penolakan Jepang Terhadap Rekomendasi IWC dan Negara Anggota Lainnya ......................................................................... 61

  2. Penyerahan Kewenangan Mengadili Kepada Mahkamah Internasional ............................................................................... 64

  

BAB IV. PUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL MENGENAI

SENGKETA PERBURUAN PAUS ANTARA JEPANG DAN AUSTRALIA ....................................................................................................... 69 A. Gugatan Australia Terhadap Jepang .......................................... 69 B. Aspek-aspek yang Ada di Dalam Program JARPA II ................ 76 C. Keputusan Akhir Mahkamah Internasional ................................ 80 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 82 A. Kesimpulan ................................................................................. 82 B. Saran ............................................................................................ 83 LAMPIRAN I ...................................................................................................... 85 LAMPIRAN II ..................................................................................................... 88 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 98

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Antartika merupakan benua yang meliputi Kutub Selatan bumi dan merupakan

  salah satu tempat terdingin di muka bumi ini dengan sebagian besar wilayahnya tertutup es sepanjang tahun. Antartika merupakan zona bebas, yaitu zona yang tidak boleh dimiliki oleh siapapun ataupun dijadikan objek sengketa; Antartika

   hanya boleh digunakan untuk kepentingan umat manusia dan untuk tujuan damai .

  Meskipun dinyatakan demikian, sampai saat ini masih ada beberapa negara di

  

  dunia yang mengajukan klaim kepemilikan wilayah di benua Antartik Di dalam pemanfaatan sumber dayanya, Antartika diatur dalam Perjanjian Antartika ( The

  

Antarctic Treaty ) yang ditanda tangani pada tanggal 1 Desember 1959 dan mulai

berlaku pada tahun 1961.

  Antartika, merupakan satu-satunya benua di Bumi yang tidak memiliki penduduk

  

  asli , sehingga didaerah ini terdapat banyak biota laut yang menjadi perhatian banyak negara sebagai hewan yang perlu untuk dilindungi dan dilestarikan eksistensinya; Salah-satunya yaitu paus. Antartika, menjadi rumah bagi banyak jenis paus sehingga tempat ini merupakan loasi yang sangat strategis untuk melakukan hal hal yang berkaitan dengan makhluk laut tersebut. Beberapa jenis paus yang hidup di Antartika dan dilindungi adalah paus minke (Minke whale), paus bongkok (Humpback whale) dan paus sirip (Fin whale). Antartika di dalam pengunaannya sumber daya alamnya, diatur di dalam 1 Perjanjian Antartika yang berisikan tentang:

  

Perjanjian Antartika (Antartic Treaty 1959), “Mengakui, bahwa dengan kehendak seluruh umat

manusia, melanjutkan pengunaan sumber daya Antartika dengan tujuan demi perdamaian dan 2 tidak boleh dijadikan objek persengketaan” 3 Antartika, http://id.wikipedia.org/wiki/Antarktika , diakses pada 6 Juni 2014 pukul 09.00 WIB.

  

ATS, Atlantic Treaty System, http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_Traktat_Antarktika, diakses

  1. Antartika hanya boleh digunakan untuk kepentingan perdamaian. Segala hal yang berhubungan dengan militer dan sebagainya tidak diboleh dilakukan di Antartika.

  2. Kebebasan untuk melakukan penelitian di Antartika dan segala bentuk kerjasama atas tujuan tersebut.

  3. Observasi dan hasil penelitian di Antartika harus di sumbangkan dan

   tersedia untuk semua pihak.

  Sebelumnya, telah disebutkan diatas bahwa Antartika merupakan rumah bagi banyak jenis paus. Paus secara umum adalah sebutan untuk makhluk hidup laut yang merupakan bagian dari bangsa Cetacea. Mahkluk ini, memiliki ciri-ciri yang unik, seperti bernafas menggunakan paru-paru walaupun hidup di laut, memiliki ekor yang horizontal dan memiliki tulang punggung yang sedikit melengkung dengan lubang udara diatas kepalanya. Paus juga memiliki ukuran juga beragam, mulai dari jenis paus biru (Blue Whale) dengan ukuran tiga-puluh meter sampai dengan paus minke yang berukuran tiga koma lima meter.

  Populasi Paus tersebar diseluruh lautan yang didunia dengan jumlah yang mencapai jutaan, dengan pertambahan populasi per tahunnya berkisar antara 3% sampai 13%. Paus juga memiliki umur yang berbeda tergantung pada jenisnya, seperti paus punggung bongkok dengan masa hidup mencapai 77 tahun dan paus kepala panah (Bowhead Whale) yang umurnya bisa mencapai lebih dari 1 (satu)

   abad.

  Pada awalnya, banyak orang yang berpikir bahwa paus merupakan ikan yang sangat besar, namun hal tersebut tidaklah benar karena paus tergolong ke dalam

  

  kategori mamalia. Paus merupakan salah satu bagian penting dari ekosistem 4 kelautan untuk menjaga keseimbangan rantai makanan. Paus merupakan salah 5 Perjanjian Antartika (Antartic Treaty 1959), Pasal (1),(2) & (3). 6 Whale, http://en.wikipedia.org/wiki/Whale , diakses pada 6 Juni 2014 pukul 09.38.

  Pernyataan Linneus, ahli biologi Swedia, tahun 1778, http://www.ecokids.ca/pub/eco_info/topics/whales/mammals.cfm, diakses pada 23 Nov 2014 satu biota laut yang dilindungi oleh hukum internasional karena jumlahnya yang terus berkurang dan ada kemungkinan terjadi kepunahan terhadap beberapa spesiesnya. Selama ini, paus banyak diburu dan dijadikan objek komersial seperti untuk makanan tradisional ataupun acara budaya. Tidak hanya itu, pada zaman dahulu, paus diburu untuk diambil minyaknya yang kemudian digunakan untuk keperluan penerangan mercusuar.

   1.

  Paus memiliki suhu badan yang stabil dan panas. Suhu badan mereka tidak berubah mengikut suhu lingkungannya. Hal ini dimungkinkan dengan adanya lemak tebal dibawah kulitnya sehingga mereka bahkan dapat bertahan hiddup di perairan es seperti Antartika. Paus, sebagai objek utama di dalam sengketa yang akan dibahas nantinya memiliki ciri ciri sebagai berikut :

  2. Paus bernafas bukan menggunakan insang, tetapi paru paru. Oleh karena itu, paus dikategorikan sebagai mamalia. Tidak seperti ikan, paus tidak memisahkan oksigen dari air melainkan langsung bernafas melalui udara dengan berenang ke permukaan dalam selang waktu tertentu. Tubuh paus juga didesain sedemikian rupa dengan lubang udara diatas kepalanya sebagai saluran pembuangan.

  3. Paus pada umumnya hanya melahirkan satu anak setiap waktu dan mempunyai kelenjar susu untuk menyusui generasi mudanya yang baru lahir. Hal ini jauh dari ciri ciri ikan yang bertelur dalam jumlah banyak dan bisa hidup mandiri.

  4. Paus memiliki rambut, meskipun tidak sebanyak mamalia pada umumnya, yang terdapat diatas kepalanya

   Paus juga banyak dikaitkan dengan adat istiadat seperi kebudayaan suku Makah,

  negara Jepang, Iceland, Norway dan negara-negara lainnya. Suku Makah menyatakan bahwa prosesi adat perburuan paus merupakan perayaan tradisional 7 Whale oil, http://en.wikipedia.org/wiki/Whale_oil , diakses pada 6 Juni 2014 pukul 10.40 8 Whales Are Mammals, http://www.ecokids.ca/pub/eco_info/topics/whales/mammals.cfm,

  yang sudah dilakukan sejak zaman nenek moyangnya, dan adat inilah yang menjadi sumber inspirasi terhadap lagu, tarian, desain dan alat keterampilan mereka. Bagi suku Makah, perburuan paus memberikan pelajaran mengenai tujuan hidup dan mengajarkan kedisiplinan bagi seluruh komunitasnya; pada tahun 1855 , suku Makah berhasil mendapatkan hak untuk berburu paus di daerah

   Neah Bay sesuai dengan perjanjian dengan Amerika Serikat.

  Selain dari Suku Makah, Jepang juga memiliki sejarah yang panjang mengenai perburuan paus, seperti yang urutkan didalam kronologi berikut:

  1. Pada periode Jomon antara 7000/8000 (tujuh ribu atau delapan ribu) sampai 3000 (tiga ribu) tahun sebelum masehi sebagai sumber makanan yang penting.

  2. Pada periode Yayoi antara 3000 (tiga ribu) sampai 300 (tiga ratus) tahun sebelum masehi sebagai persembahan kepada orang yang telah meninggal.

  3. Pada periode Nara antara 710 (tujuh ratus sepuluh) sampai 784 (tujuh ratus delapan puluh empat) tahun sebelum masehi, munculnya kata

  

  “kujira” di dalam literature orang Jepang, 4. Pada periode Muromachi/Azuchimomoyama antara tahun 1573 (lima belas tujuh tiga) sampai tahun 1600 (seribu enam ratus) setelah masehi sebagai makanan yang disajikan di meja para kaisarnya.

5. Pada zaman Edo tahun 1600 (seribu enam ratus) sampai tahun 1867

  (delapan belas enam puluh tujuh) setelah masehi , terjadi peningkatan

   terhadap minat dan konsumsi daging paus secara nasional.

  Namun di dalam perkembangannya, tradisi-tradisi lama yang mengharuskan pengorbanan hewan ini pun mulai ditinggalkan dan diprotes keras oleh 9 masyarakat internasional karena dianggap tidak relevan lagi dijaman modern ini.

  

The Makah Whaling Tradition, http://makah.com/makah-tribal-info/whaling/ , diakses pada 6

10 Juni 2014 pukul 10.50 WIB 11 Munculnya penamaan terhadap paus dengan nama “Kujira” クジラ”di dalam bahasa Jepang.

HISTORY OF THE TRADITIONAL DIET: JAPANESE AND THE WHALE,

  Bahkan, perburuan paus dianggap sebagai hal yang kejam dan dapat mengacam keberlangsungan eksistensi paus dengan adanya perburuan massal dan bahaya

   alami dari alam yang harus dihadapinya.

  Mengenai perlindungan terhadap eksistensi paus, ada organisasi internasional yang bernama IWC (International Whaling Commision) yang terus mengawasi perburuan paus demi menjaga eksistensi paus dimasa yang akan datang. Negara yang tergabung kedalamnya diharuskan mengikuti konvensi yang dianut oleh organisasi tersebut yaitu ICRW (International Convention for the Regulation of

  

Whaling ), yang mengatur mengenai regulasi penangkapan paus. ICRW

  merupakan perjanjian lingkungan internasional yang disahkan pada tahun 1946 oleh negara negara yang menyetujuinya untuk menjaga ketersediaan paus dan juga pengembangan sistem kontrol bagi industri industri yang berkaitan dengan perburuan paus. Konvensi ini juga mencakup kepentingan komersial, penelitian dan yang lainnya. ICRW melihat paus sebagai sebuah sumber daya alam yang harus disimpan untuk generasi mendatang dan di hindarkan dari perburuan massal. Paus hanya boleh ditangkap ketika jumlah batasan aman populasinya telah

   terlampaui dan dapat diambil tanpa membahayakan eksistensinya.

  Pada awalnya, IWC memiliki 59 (lima puluh sembilan) negara yang ikut serta di dalamnya, dimana salah satunya adalah Jepang. Namun pada Januari tahun 2014 (dua ribu empat belas), beberapa negara anggotanya mengundurkan diri dari perjanjian tersebut. Negara negara tersebut yaitu Mesir, Yunani, Jamaica, Mauritus, Philipines, Seychelles dan Venezuela. Negara lainnya seperti Belize, Brazil, Dominica, Ecuador, Iceland, Japan, New Zealand, dan Panama juga mengundurkan diri. Namun, hanya untuk sementara dengan alasan melakukan perubahan terhadap ratifikasi ketentuan di dalam ICRW. Sampai Januari 2014,

12 WDC in Action, Whaling , http://us.whales.org/issues/whaling , diakses pada 6 Juni 2014

  pukul 11.32 WIB jumlah negara yang tergabung kedalam badan ini sudah mencapai 89 (delapan

   puluh sembilan).

  Manusia, sebagai makhluk yang punya rasa ingin tahu yang besar, selalu berusaha untuk mempelajari semua yang ada. Segala hal yang ada disekitarnya baik benda mati maupun benda hidup. Semuanya dapat dijadikan manfaat apabila dilakukan dengan tujuan yang jelas dan maksud yang baik. Untuk itulah izin untuk melakukan penelitian dengan perburuan terhadap paus yang sedang dilindundi diberikan. Adanya harapan bahwa data dan ilmu yang didapatkan dari penelitian tersebut akan berguna kedepannya untuk membangun industri yang jauh lebih efektif dan efisien serta dapat menjaga keberlangsungan eksistensi paus sehingga dapat dilakukan pngambilan secara terus menerus ke depannya. Salah satu contohnya seperti izin penangkapan paus yang dengan catatan untuk tujuan khusus yang berhubungan dengan penelitian demi perkembangan ilmu pengetahuan yang dapat membawa keuntungan bagi masyarakat banyak dan kelangsungan hidup paus kedepannya. Namun, terkadang izin tersebut disalahgunakan karena adanya kepentingan lain yang tersirat di dalam pelaksanaannya. Ketika izin untuk melakukan penelitian diberikan dan disalah gunakan oleh negara yang bersangkutan, maka negara anggota lainnya yang juga memiliki hubungan dengna hal tersebut, dapat melakukan protes serta mengajukan gugatan ke organisasi yang berwenang. Salah satu contoh disini ialah antara Jepang dan Australia, dimana Jepang yang mengeluarkan izin untuk melakukan penelitian terhadap paus yang ada di Antartika melalui Porgram JARPA nya ternyata difokuskan untuk kebutuhan komersial. Dalam hal ini, Australia berhak dan berkewajiban untuk menegur, melaporkan dan menggugat Jepang sesuai dengan aturan yang berlaku di dalam ICRW dan sebagai anggota IWC. 14 Kewajiban Australia untuk melapor ini tertulis di dalam ICRW yang berbunyi :

  International Whaling commission, structure and membership, http://en.wikipedia.org/wiki/International_Whaling_Commission, diakses pada 7 Juni 2014 pukul

  

“Each Contracting Government shall take appropriate measures to ensure the

application of the provisions of this Convention and the punishment of infractions

against the said provisions in operations carried out by persons or by vessels

under its jurisdiction.”

  Yang terjemahannya berbunyi : “Setiap negara yang menyetujui harus mengambil tindakan sepantasnya untuk memastikan seluruh peraturan yang ada terpenuhi dan segala sangsi yang muncul dari pelanggaran atas peraturan ini dapat diaplikasikan oleh yang telah ditentukan

  

  ataupun oleh yang diwakilkan” Ketika satu negara menganggap pelaksaan yang dilakukan tersebut masih wajar dan dapat dimasukkan kedalam batas kewenangan yang diberikan oleh izinnya dan negara lainnya menggangap hal tersebut sudah diluar izin yang diberikan, maka dapat timbul persengketaan diantara dua negara tersebut sehingga diperlukan jalan penyelesaian yang damai. Salah satu cara penyelesaian secara damai tersebut ialah melalui Mahkamah Internasional apabila kedua belah pihak

   menghendaki.

  Dalam kasus ini, negara yang berseteru adalah Jepang dan Australia. Dimana masing-masing pihak pada saat diajukannya gugatan masih tergabung sebagai anggota ICW, dan Jepang mengundurkan diri dari organisasi tersebut pada Januari 2014 (dua ribu empat belas) bersamaan dengan beberapa negara lainnya. Jepang sejak lama telah melakukan penelitian mengenai paus dengan program nya yaitu JARPA, JARPA II, JARPN, dan JARPN II.

  Pada awalnya, pihak Jepang awalnya di beri izin untuk melakukan proyek penelitian. Suatu program Jepang yang dapat membantu monitorisasi dan menambah data untuk membuat sistem regulasi yang lebih efektif terhadap populasi paus yang ada di Antartika sehingga eksistensinya terjaga; juga untuk 15 melakukan penelitian terhadap jenis-jenis paus disana yang bisa menambah ICRW 1946, pasal 9 ayat (1). pengetahuan tentang ekosistem dari paus tersebut. Program ini diberi nama nama JARPA II yang merupakan kelanjutan dari JARPA pertama yang pernah dilakukannya.

  JARPA II dimulai pada tahun 2005 dan masih berlanjut sampai hari ini (sampai pada putusan Mahkamah Internasional mencabut kewenangan Jepang pada

  

  tanggal 31 Maret 2014) , dengan beberapa tujuan yang ikut termasuk ke dalamnya yaitu monitorisasi ekosistem di Antartika, membuat skema kompetisi antara jenis paus , merekam perkembangan jumlah paus dan memperbaiki sistem

   managemen paus antartika.

  Namun, setelah diteliti lebih lanjut oleh Australia dengan beberapa organiasi non- pemerintah lainnya yang memiliki kepedulian terhadap pelestarian paus, ditemukan banyak kejanggalan dari pelaksanaan penelitian yang dilakukan oleh Jepang. Di dalam misi pengawasannya, Australia mengirimkan beberapa kapalnya membuntuti kapal penelitian Jepang yang melihat banyak paus di buru, dibunuh, dan di potong-potong dalam bagian yang lebih kecil di tempat tersebut. Rekaman mengenai hal ini banyak disebarkan dimedia media sehingga menarik simpati dari masyarakat internasional yang peduli terhadap makhluk hidup, terutama paus. Australia beberapa kali mencoba melakukan diskusi ataupun memberi saran terhadap Jepang. Namun tidak ada dampak yang muncul dari peringatan tersebut sehingga pada akhirnya kedua negara tersebut sepakat untuk membawa kasus tersebut ke Mahkamah Internasional dan memberikan lembaga tersebut untuk memberikan putusan terhadap kasus ini. Masing-masing pihak berusaha memberikan pembelaan dan gugatan mengenai kasus ini dimana Australia

  

   mendapat dukungan dari Sea Shepherd dan intervensi dari New Zealand. 17 Putusan Akhir Mahkamah Internasional, 31 Maret 2014, WHALING IN THE ANTARTIC 18 (AUSTRALIA vs JAPAN : NEW ZEALAND INTERVENING)

Scientific Research, http://en.wikipedia.org/wiki/Whaling_in_Japan#JARPA_II, diakses pada 7

19 Juni 2014 pukul 9.30 WIB.

  

Sea Shepherd Australia News, http://www.seashepherd.org.au/news-and-

media/2014/04/01/the-whales-have-won-icj-rules-japans-southern-ocean-whaling-not-for-

B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan perburuan paus di dalam hukum internasional? 2.

  Bagaimana tahap penyelesaian sengketa perburuan paus antara Jepang dan Australia? 3. Bagaimana putusan Mahkamah Internasional didalam sengketa perburuan paus antara Jepang dan Australia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

  Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.

  Untuk mengetahui tentang perjanjian internasional yang mengatur tentang perburuan paus .

  2. Untuk mengerti bagaimana tahapan penyelesaian sengketa perburuan paus Antartika antara Jepang dan Australia.

  3. Untuk mengetahui tentang putusan yang dikeluarkan oleh Mahkmaha Internasional terhadap kasus ini dan dampaknya terhadap pihak pihak bersengketa.

  Selain tujuan daripada penulisan skripsi, perlu pula diketahui bersama bahwa manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1.

  Secara Teoritis Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu hukum secara umum dan khususnya untuk hukum internasional. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan 20 perangkat hukum internasional maupun perangkat hukum nasional dalam kaitan

  

Unofficial Press Release 21 November 2012, International Court of Justice, New Zealand files a declaration of intervention in the proceedings under Article 63 of the Statute. dengan ketaatan terhadap suatu konvensi sehingga tidak menimbulkan konflik di dunia Internasional.

2. Secara praktis

  Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan masukan dan pemahaman yang lebih mendalam mengenai kewajiban suatu negara yang telah memutuskan untuk ikut di dalam suatu organisasi internasional yang menganut konvensi tertentu di dalam kegiatannya meregulasi dan memonitorisasi penangkapan paus untuk tujuan komersial dan penelitian. Penelitian ini juga diharapkan memberikan gambaran mengenai kemungkinan yang terjadi apabila ada negara anggota yang tidak menaati suatu perjanjian internasional yang telah disetujuinya sehingga diajukan gugatannya ke Mahkamah Internasional setelah rekomendasinya tidak ditaati.

  D. Keaslian Penulisan

  Karya tulis ini merupakan karya tulis asli, sebagai refleksi dan pemahaman dari apa yang telah penulis pelajari selama mengikuti perkembangan kasusnya di media media Internasional yang ada. Penulis berupaya untuk menuangkan seluruh gagasan dengan sudut pandang yang netral dengan mencoba melihat alasan-alasan pembela masing-masing negara ketika dihadapkan di Mahkamah Internasional mengenai kasus penangkapan paus ini antara Jepang dan Australia. Sepanjang yang ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan tentang “Sengketa Mengenai Kasus Penangkapan Paus di Antartica Antara Jepang dan Australia” belum pernah ditulis sebelumnya. Khusus untuk yang terdapat di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, keaslian penulisan ini ditunjukkan dengan adanya penegasan dari pihak administrasi bagian/jurusan hukum internasional.

  E. Tinjauan Kepustakaan

  Penelitian ini memperoleh bahan tulisannya dari buku-buku, laporan-laporan, dan informasi dari internet. Untuk itu, diberikan penegasan dan pengertian dari judul penelitian, yang diambil dari sumber-sumber buku yang memberikan pengertian terhadap judul penelitian ini, ditinjau dari sudut etimologi (arti kata) dan pengertian-pengertian lainnya dari sudut ilmu hukum maupun pendapat dari para sarjana sehingga mempunyai arti yang lebih tegas.

   Pengertian perburuan paus secara umum ialah : (a) Whaling is the hunting of whales primarily for meat and oil in the past. (b) Modernly, whaling is the hunting of whales primarily used for commercial and consumption needs.

   Dan pengertian perburuan paus secara khusus menurut ICW ada 3 jenis , yaitu : (a) The first of these is commercial whaling conducted either under objection or reservation to the moratorium. (b) The second, called aboriginal subsistence whaling is to support the

   needs of indigenous peoples.

  (c) The third type is whaling under special permit.

  Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan “Whaling” adalah segala kegiatan perburuan terhadap paus untuk diambil sumber dayanya. Sumber daya yang dimaksudkan dalam hal ini berupa : minyak hewaninya, dagingnya dan kepentingan komersial lainnya. IWC di dalam perburuan paus, juga membagi klasifikasinya ke dalam 3 (tiga jenis) tergantung dari tujuan khususnya. Menurut klasifikasi IWC, yang pertama adalah perburuan paus komersial yang bertentangan dengan peraturan dan reservasi dari moratorium, dimana ini merupakan pelanggaan yang paling ditentang oleh negara-negara anggota IWC. 21 Yang kedua, mengenai kebiasaan tradisional masyarakat tertentu yang berburu 22 Whaling, http://en.wikipedia.org/wiki/Whaling , diakese pada 7 Juni 2014 , pukul 14.00 WIB.

  Whaling, http://iwc.int/whaling , diakses pada 7 Juni 2014 pukul 15.37 WIB paus untuk kelangsungan hidupnya; Yang ketiga, mengenai perburuan paus yang memang diizinkan oleh IWC dengan tujuan untuk menjaga stabilitas jumlah populasi jenis paus tersebut ataupun untuk penelitian yang bermanfaat bagi

   manusia.

  Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, haruslah dipahami bahwa perburuan paus yang dimaksudkan di dalam penelitian ini ialah perburuan paus yang tidak diberikan izin oleh IWC dan dilakukan dengan tujuan yang bukan untuk penelitian, melainkan untuk tujuan komersil yang termasuk kedalamnya konsumsi.

F. Metode Penelitian

  Untuk melengkapi penelitian ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penelitian yang digunakan sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

  Sebagaimana lazimnya penulisan dalam penyusunan dan penulisan karya tulis ilmiah yang harus bersadarkan fakta-fakta dan data-data yang objektif (benar dan layak dipercaya), demikian halnya dalam menyusun dan menyelesaikan penulisan penelitian ini sebagai karya tulis ilmiah, juga menggunakan pengumpulan data secara ilmiah (metodologi), guna memperoleh data-data yang diperlukan dalam penyusunan sesuai dengan yang telah direncanakan semula yaitu guna menjawab permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya. Metode penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dan data sekunder. Penelitian yuridis normatif digunakan dalam penelitian ini untuk meneliti norma hukum internasional yang berlaku yang mengatur tentang pelarangan perburuan paus sebagaimana yang telah disetujui oleh negara-negara yang telah bergabung menjadi anggota International Whaling commission (IWC) dengan acuan International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW).

  Penelitian ini menggunakan metode analisis, yaitu menganalisis tentang upaya untuk menegakkan konvensi internasional tertentu ketika terjadi pelanggaran terhadap pasal-pasalnya oleh negara yang sebelumnya telah menyetujui pelaksanaannya.

2. Data Penelitian

  Penelitian ini memusatkan pada berbagai konvensi mengenai regulasi terhadap penangkapan paus sebagai dasar acuan serta kebiasaan kebiasaan masyarakat international lainnya yang memiliki kaitan dengan kasus ini. Data dalam penelitian ini mempergunakan data sekunder yang terdiri dari :

  

  a. , yaitu bahan hukum yang mengikat secara Bahan hukum primer umum, termasuk di dalamnya International Convention for the

  Regulation of Whaling (ICRW) dan data data dari International

  Whale Commission (IWC), yaitu :

  1) International Convention for the Regulation of Whaling, nd

  Washington 2 December 1946 2)

International Whaling commission Resolutions

3) Statute of International Court of Justice

  

  b. , yaitu tulisan-tulisan atau karya-karya Bahan hukum sekunder

  para ahli hukum dalam buku-buku teks, surat kabar, internet, dan lain-lain yang relevan dengan masalah penelitian.

  25 Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari (untuk

Indonesia): a. Norma atau kaedah dasar; b. Peraturan dasar; c. Peraturan perundang-undangan; d.

  Bahan hukum yang tidak dikodifikasi; e. Yurisprudensi; f. Traktat; g. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI- 26 Press, Jakarta, 2005, hal. 52.

  

Bahan hukum sekunder ialah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum c.

  Bahan hukum tersier

  

  , yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, diantaranya kamus-kamus bahasa.

3. Teknik Pengumpulan Data

  Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library

  Research ), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka

  atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku koleksi pribadi maupun pinjaman dari perpustakaan dan dosen pembimbing, artikel-artikel yang berasal dari media elektronik, dokumen-dokumen internasional yang resmi dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut : a.

  Melakukan inventarisasi hukum internasional dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.

  b.

  Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media elektronik, dokumen-dokumen internasional yang resmi dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.

  c.

  Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan.

  d.

  Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.

27 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), P.T.Rajagrafindo

4. Analisa Data

  Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa secara

  

  kualitatif . Analisis secara kualitatif berarti analisis yang memfokuskan perhatiannya pada makna-makna yang terkandung di dalam suatu pernyataan, bukan analisis yang memfokuskan perhatiannya pada figur-figur kuantitatif semata. Analisa data dilakukan sedemikian rupa dengan memperhatikan aspek kualitatif lebih daripada aspek kuantitatif dengan maksud agar diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.

G. Sistematika Penulisan

  Sebagai gambaran umum untuk memudahkan pemahamanan materi penelitian ini, maka dibagi dalam 5 (lima) Bab yang berhubungan erat satu sama lain, yaitu : Bab Pertama merupakan pendahuluan. Pada bab ini akan diuraikan hal-hal pokok yang menjadi latarbelakang permasalahan yang mendasari terjadinya sengketa serta informasi yang dibutuhkan untuk menganalisa objek sengketa. Bab ini terdiri atas perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab Kedua mendeskripsikan tentang perjanjian internasional secara umum dan perjanjian internasional yang mengatur tentang regulasi perburuan paus yaitu International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW). Bab ini juga membahas sejarah International Whaling commission (IWC) agar dapat dipahami kedudukan IWC di dalam sengketa ini dan apa yang menjadi kewajiban dari 28 negara-negara anggota yang telah ikut meratifikasi ICRW.

  

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak

menggunakan prosedur analisis statistic atau cara kuantifikasi lainnya. Pengertian ini

mempertentangkan penelitian kualitatif dengan penelitian yang bernuansa kuantitatif yaitu dengan menonjolkan bahwa usaha kuantifikasi apapun tidak perlu digunakan pada penelitian kualitatif. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, Cetakan keduapuluh dua Bab Ketiga membahas mengenai tahapan penyelesaian sengketa perburuan paus anatar Jepang dan Australia. Didalam bab ini, di jelaskan mengenai tata cara penyelesaian sengketa secara damai melalui litigasi maupun non litigasi. Bab ini juga memberikan informasi dasar tentang objek yang persengketakan serta jalan yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa perburuan paus tersebut. Bab Keempat membahas tentang putusan akhir yang dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional setelah melalui seluruh acara persidangannya. Didalam bab ini, juga dicantumkan poin-poin penting dari kasus ini dan juga gugatan yang diajukan oleh Australia terhadap Mahkamah Internasional untuk menghentikan program penelitian yang sedang dilakukan oleh Jepang . Bab Kelima merupakan bab penutup dari penelitian yang berisi kesimpulan dari keseluruhan uraian materi pembahasan dan disertai dengan beberapa saran yang mungkin akan bermanfaat.