BAB II PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT DALAM PEMBIMBINGAN BAPAS (Balai Pemasyarakatan) KELAS I MEDAN. A. Pembebasan Bersyarat - Pembebasan Bersyarat dan Tingkat Pelanggaran yang Dilakukan Klien Pemasyarakatan (Riset di Balai Pemasyarakatan Kelas I Medan)

BAB II PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT DALAM PEMBIMBINGAN BAPAS (Balai Pemasyarakatan) KELAS I MEDAN. A. Pembebasan Bersyarat Pembebasan bersyarat ini telah ada sejak diberlakukannya KUHP

  (1918), yang berbeda dengan lembaga pidana bersyarat yang baru dimasukkan dalam KUHP pada Tahun 1927. Pembebasan bersyarat ini dua belas (12)

  

  tahun lebih dulu ada daripada pemidanaan bersyarat. Perbedaan antara kedua lembaga ini ialah pada pidana bersyarat terpidana tidak pernah menjalani pidananya kecuali jika ia melanggar syarat umum atau syarat khusus yang ditentukan oleh hakim, sedangkan pada pembebasan bersyarat terpidana harus menjalani pidananya paling kurang dua per tiga-nya (2/3).

  Pembebasan bersyarat ini terlahir karena pada prinsipnya, pengawasan terhadap narapidana yang dilepas dengan bersyarat relatif lebih mudah karena ia telah dibina dan menjalani pidana penjara selama waktu tertentu, yang telah ditentukan oleh negara melalui undang-undang sebagaimana yang telah ditentukan pada pasal 15 KUHP. Keputusan untuk memberikan pembebasan bersyarat dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM, setelah mendengar pendapat penuntut umum dan petugas Lembaga Pemasyarakatan, yang lebih mengetahui tingkah laku terpidana selama menjalani pidana penjaranya. Pihak Lembaga Pemasyarakatan mengusulkan seseorang pada Menteri Hukum dan 16 Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana I, Grafindo, Malang, 2001. Hlm. 63.

  26 HAM selain karena dinilai telah berkelakuan baik selama pembinaan, dan telah memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam pasal 15 ayat (1) KUHP, untuk mendapatkan keputusan pemberian pembebasan bersyarat.

  Pembebasan bersyarat memiliki tujuan yang sama dengan pidana bersyarat, ialah mengembalikan terpidana ke dalam masyarakat untuk menjadi warga yang baik dan berguna. Oleh karena itulah, sebelum diberikan pembebasan bersyarat kepada terpidana, harus dipertimbangkan kepentingan masyarakat yang akan menerima bekas terpidana. Harus dipersiapkan lapangan kerja yang sesuai dengan bakat dan keterampilan yang telah diperolehnya selama berada di Lembaga Pemasyarkatan. Ketentuan tentang pembebasan bersyarat diatur dalam Pasal 15, 15a, 15b, 16, dan 17 KUHP dan stbl. 1917 No.749, stbl.1962 No.151 jo.486 dan stbl.1939 No.77, yang diganti

   dengan Undang-undang No.12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan.

  Semula lembaga ini menentukan harus dijalani pidana sekurang- kurangnya tiga per empat (3/4) dan paling kurang tiga (3) tahun, jadi hanya diperuntukkan bagi pidana penjara yang lama. Akan tetapi, dengan stbl. 1926 No.251 jo.486 jangka waktu tersebut diperpendek menjadi dua per tiga dan paling kurang sembilan bulan telah dijalani. Ini berarti tidak ada pembebasan bersyarat sebelum sembilan bulan pidana dijalani. Pengawasan terhadap pembebasan bersyarat oleh pemerintah cukup lama karena seperti ditentukan dalam pasal 15 ayat 3 KUHP tersebut lamanya sama dengan sisa pidana yang belum dijalani ditambah satu tahun. Jika pidana yang dijatuhkan lamanya 17 P.A.F. Lamintang, Hukum Panitensier Indonesia. Armico, Bandung, 1984. Hlm. 248. sembilan tahun, pembebasan bersyarat dapat dilakukan setelah pidana dijalani enam (6) tahun. sisa tiga tahun merupakan pembebasan bersyarat dan lama pengawasan oleh pemerintah ialah empat tahun (tiga tahun ditambah satu tahun).

  Klien Pamasyarakatan yang menerima pembebasan bersyarat diberikan suatu surat lepas/bebas bersyarat, dimana di dalamnya dimuat syarat-syarat yang harus ditaatinya selama masa percobaan tersebut. Jika terpidana melanggar perjanjian atau syarat-syarat yang ditentukan dalam surat pembebasan (verlofpas), terpidana dapat dipanggil kembali untuk menjalani sisa pidananya. Pembebasan bersyarat dapat dicabut kembali atas usul jaksa maupun BAPAS dibantu oleh tim Pengamat Pemasyarakatan di tempat terpidana berdiam. Jika narapidana/klien melanggar perjanjian atau syarat- syarat yang ditentukan, selama menunggu keputusan Menteri Hukum dan HAM, jaksa dapat melakukan penahanan terhadapnya selama 60 hari. Jika waktu itu telah lewat dan belum keluar keputusan tersebut, terpidana harus dikeluarkan dari tahanan (Pasal 16 ayat (3) & (4) KUHP. Pencabutan surat lepas tersebut dibuat oleh Menteri Hukum Dan HAM, atas usul atau setelah memperoleh keterangan dari jaksa tempat asal terpidana, dan setelah

   mendapat keterangan dari Dirjen Pemasyarakatan.

18 A. Hamzah, Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik (Percobaan, Penyertaan, dan , Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Hlm. 77.

  Gabungan Delik) dan Hukum Penitensier

B. Syarat Pemberian Pembebasan Bersyarat

  Pembebasan bersyarat diberikan kepada narapidana (klien pemasyarakatan) harus terlebih dahulu menjalani dua per tiga dari masa hukumannya, yang sekurang-kurangnya adalah Sembilan bulan. Jika terpidana harus menjalani pidana berturut-turut maka pidana itu dianggap sebagai satu pidana (Pasal 15 ayat (1) KUHP).

  Setiap klien pemasyarakatan yang menerima izin bebas bersyarat dalam tahapan tertentu menerima suatu masa percobaan, serta syarat-syarat yang harus dipenuhi selam masa percobaan. Masa percobaan atau masa menjalankan program pembebasan bersyarat, itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani ditambah satu tahun. Jika terhukum ada dalam tahanan maka waktu itu tidak termasuk masa percobaan (Pasal 15 ayat (2), (3) KUHP).

  Pembebasan bersyarat dapat diartikan sebagai bagian akhir dari pidana yang tidak dijalankan di dalam Lapas. Pembebasan bersyarat ini tidak dapat diberikan kepada mereka yang dijatuhkan pidana penjara seumur hidup. Kecuali jika pidana seumur hidup tersebut dengan “grasi” diubah menjadi pidana penjara sementara waktu, dan kemudian dilakukan pemeberian pembebasan beryarat. Pemberian pembebasan bersyarat juga tidak mungkin diberikan mereka yang dikenakan pidana kurungan.

  Memberikan pembebasan bersyarat disertai dengan suatu masa percobaan dan ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan itu. Selama masa percobaan itulah narapidana (klien) “dipaksa” untuk memenuhi syarat-syarat kehidupan tertentu. Proses pemberian pembebasan bersyarat diberikan juga dengan syarat umum yaitu bahwa narapidana (klien) yang mendapatkan pembebasan bersyarat tidak akan melakukan perbuatan pidana dan perbuatan lain yang tidak baik. Selain itu juga boleh ditambahkan syarat- syarat khusus mengenai kelakuan narapidana (klien) asal saja tidak mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik, biasanya syarat khusus ini diadakan karena tindak pidana yang dilakukan adalah tindak pidana khusus, atau karena klien pemasyarakatan tersebut adalah warga negara asing.

  Permohonan pembebasan bersyarat bagi narapidana yang telah memenuhi dua pertiga masa pidanannya yang sekurang-kurangnya Sembilan (9) bulan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 15 KUHP, maka sebelum permohonan diajukan ke Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang telah ditentukan dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor. M.01.04.10 Tahun 1999 tentang Asimilasi, Cuti menjelang bebas dan Pembebasan Bersyarat, yang telah diperbaharui dengan Peraturan Meneteri Nomor. M2. PK. 04-10 Tahun 2007 tentang syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pemebasan Bersyarat Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti Bersyarat dan diperbaharui lagi dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 21 Tahun 2013 tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelasng Bebas, Dan Cuti Bersyarat , sebagai berikut :

  1) Syarat Substantif (Pasal 49 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 21 Tahun 2013) a.

  Telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3 (dua per tiga), dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (Sembilan) bulan; b. Berkelakuan baik selama menjalani masa pidana paling sedikit 9

  (Sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa pidana; c.

  Telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun, dan bersemangat; dan d.

  Masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan Narapidana.

  

2) Syarat Administratif/Dokumen (Pasal 50 ayat (1) Peraturan

Menteri Hukum dan HAM No. 21 Tahun 2013)

  a.

  Fotokopi kutipan putusan Hakim dan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan; b.

  Laporan perkembangan pembinaan yang dibuat oleh wali pemasyarakatan atai hasil assessment resiko dan assessment kebutuhan yang dilakukan oleh asesor; c. Laporan penelitian kemasyarkatan (LitMas) yang dibuat oleh pembimbing pemasyarakatan yang diketahui oleh Balai

  Pemasyarakatan (BAPAS); d. Surat pemberitahuan ke Kejaksaan Negeri entang rencana pemberian

  Pembebasan Bersyarat terhadap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang bersangkutan; e.

  Salinan register F dari Kepala LAPAS; f. Salina perubahan dari Kepal LAPAS; g.

  Surat pernyataan dari Narapidana atau anak didik pemasyarakatan tidak akan melakukan perbuatan melanggar hukum; h.

  Surat jaminan kesanggupan dari pihak keluarga yang diketahui oleh lurah kepala desa atau nama lain yang menyatakan bahwa :

  1. Narapidana atau anak didik pemasyarakatan tidak akan melarikan diri dan/atau tidak melakukan perbuatan melanggra hukum; dan

  2. Membantu dalam membimbing dan mengawasi narapidana atau anak didik pemasyarakatan selama mengikuti program pembebasan bersyarat. Selain ketentuan yang mengatur tentang syarat untuk pemberian pembebasan bersyarat tersebut diatas, dalam pasal 16 KUHP juga diatur tentang pihak yang berwenang untuk menetapkan pemberian dalam pencabutan izin pembebasan bersyarat. Ketentuan dalam Pasal 16 KUHP adalah sebagai berikut :

  Pasal 16 (1) Ketentuan pembebasan bersyarat ditetapkan oleh Menteri Kehakiman atas usul atau setelah mendapat kabar dari pengurus penjara tempat terpidana, dan setelah mendapat keterangan dari jaksa tempat asal terpidana. Sebelum menentukan, harus ditanya dahulu pendapat Dewan Reklasering Pusat, yang tugasnya diatur oleh Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan HAM). (2) Ketentuan mencabut pembebasan bersyarat, begitu juga hal-hal yang tersebut dalam pasal 15a ayat 5, ditetapkan oleh Menteri Kehakiman

  (sekarang Menteri Hukum dan HAM) atas usul atau setelah mendapat kabar dari jaksa tempat asal terpidana. Sebelum memutus, harus ditanya dahulu pendapat Dewan Reklasering Pusat. (3) Selama pembebasan masih dapat dicabut, maka atas perintah jaksa tempat dimana dia berada, orang yang dilapaskan bersyarat dapat ditahan guna menjaga ketertiban umum, jika ada sangkaan yang beralasan bahwa orang itu selama masa percobaan telah berbuat hal-hal yang melanggar syaratsyarat tersebut dalam surat pasnya. Jaksa harus segera memberitahukan penahanan itu kepada Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan HAM). (4) Waktu penahanan paling lama enam puluh hari. Jika penahanan disusul dengan penghentian untuk sementara waktu atau pencabutan pembebasan bersyarat, maka orang itu dianggap meneruskan menjalani pidananya mulai dari masa tahanan. Pembebasan bersyarat hanya dapat diberikan kepada narapidana yang dihukum pidana penjara sementara, bukan kurungan. Ketika memberikan pembebasan bersyarat, ditentukan juga suatu masa percobaan, serta ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan tersebut. Penetapan pembebasan bersyarat diberikan oleh Menteri Hukum dan HAM apabila narapidana atau klien pemasyarakatan telah menjalani masa pidananya sesuai yang ditetapkan dalam pasal 15 KUHP. Lamanya menjalani pidana yang dimaksud adalah tidak termasuk lamanya masa penahanan sementara. Dalam artian bahwa lamanya penahanan sementara tidak dihitung dalam menentukan syarat 2/3 (dua per tiga) atau 9 (Sembilan) bulan tersebut, walaupun dalam putusan hakim selalu ditetapkan bahwa pidana yang dijatuhkan itu dipotong dengan masa tahanan sementara. R. Soesilo memberikan contoh sebagai berikut :

  

19 R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar- komentarnya lengkap pasal demi pasal. Bogor, Politea. Hlm. 47.

1. Orang yang dihukum penjara 9 bulan, meskipun telah menjalani 2/3

  (dua per tiga) hukumannya (6 bulan), belum dapat dibebaskan dengan bersyarat, oleh karena belum memenuhi syarat minimum 9 bulan.

  2. Orang yang dihukum 9 tahun penjara, jika telah menjalani hukuman selama 6 tahun, dapat diberikan pembebasan bersyarat, bila baik kelakuannya. Apabila orang misalnya setelah 1 tahun dibebaskan, kemudian melanggar perjanjian atau syarat-syarat yang telah ditentukan, ia harus menjalani lagi sisa hukumannya 3 tahun, jadi masa ia dalam kebebasan selama 1 tahun itu tidak dihitung sebagai masa hukuman.

  3. Masa percobaan ditentukan satu tahun lebih lama dari sisa hukuman yang belum dijalani, jadi jika seseorang dipidana 9 tahun penjara, dan ia telah menjalani 2/3 (dua per tiga) hukumannyayaotu 6 tahun penjara, maka dalam hal ini lama masa percobaan adalah (9 – 6) + 1 = 4 Tahun.

  Pasal 15 (a) KUHP menentukan, bahwa pembebasan bersyarat diberikan dengan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana dan perbuatan lain yang tidak baik. Selain itu, juga boleh ditambahkan syarat- syarat khusus mengenai kelakuan terpidana, asal saja tidak mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik. Agar syarat-syarat ini terpenuhi, dapat diadakan pengawasan atau pembimbingan khusus yang

  

  semata-mata harus bertujuan memberikan bantuan kepada terpidana. Selama masa percobaan, syarat-syarat dapat diubah atau dihapus atau dapat diadakan syarat-syarat khusus yang baru, begitu juga dapat diadakan pengwasan khusus. 20 Mohamad Eka Putra, Abul Khair. Sistem Pidana di dalam KUHP dan Pengaturannya menurut konsep KUHP yang Baru. Medan, USU Press. Hlm. 122.

  Pengawasan khusus itu dapat diserahkan kepada orang lain atau pihak yang memiliki pengaruh disekitar klien pemasyarakatan. Selanjutnya ditentukan, bahwa orang yang mendapat pembebasan bersyarat diberi surat yang memuat syarat-syarat yang harus dipenuhinya.

C. Prosedur Pengusulan Pembebasan Bersyarat

  Mengenai tata cara atau lebih dikenal dengan prosedur pengusulan pembebasan bersyarat, KUHP tidak menjelaskan secara lengkap. Hal tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 21 Tahun 2013 pada Pasal 55 sampai dengan 57. Tata cara pemberian pembebasan bersyarat dilaksanakan melalui sistem informasi pemasyarakatan.

  Sistem informasi tersebut merupakan suatu sistem yang terintegrasi antara unit pelaksana teknis pemasyarakatan, kantor wilayah, dengan Direktorat Jendral Pemasyarakatan.

  Tahap awal dari upaya penerbitan surat keputusan adalah penyaringan oleh petugas lembaga pemasyarakatan terhadap warga binaan yang telah memenuhi syarat untuk dapat mendapatkan pengajuan pembebasan bersyarat. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Peristiwa Sembiring S.H, menyatakan bahwa yang menjadi persyaratan pokok biasanya adalah apa yang tercantum dalam pasal 15 KUHP yaitu telah melewati minimal 2/3 masa pidananya atau sekurang-kurangnya 9 bulan dan telah dianggap berkelakuan baik berdasarkan hasil pengamatan petugas LAPAS maupun

  

  pegawai BAPAS Kelas I Medan. Dalam hal pengajuan permohonan tersebut petugas LAPAS juga mengajukannya ke Kejaksaan Negeri yang terkait dengan warga binaan untuk dapat diketahui tentang kepastian ada atau tidaknya perkara lain yang berkaitan dengan warga binaan yang dimohonkan tersebut.

  Setelah mengajukan permohonan kepada pihak BAPAS Kelas I Medan, maka selanjutnya petugas BAPAS akan melakukan Penelitian Kemasyarakatan (LITMAS) terkait dengan daftar warga binaan yang diajukan/dimohonkan, untuk dapat diketahui kondisi sebenarnya dari lingkungan tempat tinggal setiap warga binaan tersebut. Jika ditemukan kejanggalan pada saat melakukan Penelitian Kemasyarakatan (LITMAS), maka ada kemungkinan permohonan pihak LAPAS akan di tolak sementara untuk dapat diperbaiki. Kemudian jika penelitian kemasyarakatan telah selesai dilaksanakan maka dilanjutkan dengan sidang TPP (Tim Pengamat Pemasyarakatan) dari pihak BAPAS Kelas I Medan untuk melakukan evaluasi dari hasil LITMAS dan dikaitkan dengan permohonan petugas LAPAS.

  Pada tahap sidang TPP yang diadakan oleh BAPAS Kelas I Medan bertujuan untuk memastikan mengenai hal-hal yang dianggap sangat vital

  

  atau penting, seperti hal berikut ini : a.

  Keberadaan Penjamin Klien; b. Kepastian Surat Jaminan yang minimal harus diketahui oleh pegawai 21 kelurahan; 22 Ibid.

  Hasil wawancara dengan Ibu Peristiwa Sembiring S.H Pada tanggal 7 April 2015 di BAPAS Kelas I Medan. c.

  Kepastian alamat warga binaan.

  Tahap selanjutnya jika sidang TPP menyimpulkan bahwa permohonan dari pihak LAPAS adalah “layak”, maka petugas BAPAS Kelas I Medan mengirimkan balasan atas permohonan tersebut dengan subtansi persetujuan atau rekomendasi dari BAPAS Kelas I Medan ke LAPAS. Kemudian untuk menanggapi surat rekomendasi tersebut, petugas LAPAS melakukan sidang TPP dengan mengundang pegawai BAPAS untuk ikut serta, dimana sidang TPP ini berfungsi untuk membahas surat rekomendasi tersebut dan membicarakan langkah selanjutnya.

  Setelah melakukan sidang TPP oleh LAPAS, maka dilanjutkan dengan mengajukan permohonan yang sudah dievaluasi dalam sidang sebelumnya bersama pihak BAPAS Kelas I Medan, kepada Kantor Wilayah Menteri Hukum dan HAM. Kemudian untuk menindaklanjuti permohonan tersebut pegawai di KanWIL juga mengadakan sidang TPP, dan jika berdasarkan hasil sidang tersebut dianggap layak maka akan teruskan kepada Dirjen Pemasyaraktan. Sesampai di dalam kewenangan Dirjen Pemasyarakatan, permohonan tersebut juga akan dibawakan dalam sidang TPP, untuk memeriksa kebenaran dan kelengkapan berkas permohonan tersebut, jika dianggap layak maka akan diterbitkan surat keputusan bebas bersyarat yang disertai dengan surat tugas Pembimbing Kemasyarakatan tertanda tangan Menteri Hukum dan HAM. Setelah proses tersebut selesai, maka dilanjutkan dengan tahap serah terima warga binaan menjadi klien pemasyarakatan dari petugas LAPAS kepada BAPAS Kelas I Medan dan Kejaksaan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Peristiwa Sembiring S.H. warga binaan setelah proses serah terima tersebut, tidak lagi disebut warga binaan tetapi sebagi

23 Klien Pemasyarakatan.

  

D. Pembimbingan dalam Masa Pembebasan Bersyarat (BAPAS Kelas I

Medan)

  Pembebasan bersyarat adalah salah satu bentuk dari pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana / klien dengan tujuan agar dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat. Dalam Pasal 1 angka 12 Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. 21 Tahun 2013 tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Dan Cuti Bersyarat; yang dimaksud dengan BAPAS adalah “ Pranata untuk melaksanakan bimbingan klien”, dan dilanjutkan dengan angka 13 dikatakan bahwa” klien pemasyarakatan yang selanjutnya disebut dengan klien adalah seorang yang berada dalam bimbingan BAPAS”. Berdasarkan pengertian BAPAS dan Klien diatas dapat dikatakan bahwa Balai Pemasyarakatan atau dalam hal ini BAPAS Kelas I Medan adalah sebuah organ atau lembaga yang diciptakan oleh Pemerintah, yang bertugas sebagai pranata dalam penanganan klien pemasyarakatan atau lebih sederhana jika dikatakan sebagai institusi/Lembaga yang melaksanakan fungsi bimbingan terhadap kliennya dalam hal ini yang telah mendapatkan pembebasan bersyarat.

  Dalam proses pengusulan pembebasan bersyarat hingga pada tahap seorang narapidana mendapatkan izin bebas bersyarat, BAPAS Kelas I Medan 23 Ibid. telah turut serta dalam setiap proses tersebut. Dimana pada praktiknya BAPAS Kelas I Medan dalam menyelesaikan berkas pengusulan tersebut, telah melakukan penelitian kemasyarakatan dalam hal kesiapan narapidana untuk kembali kemasyarakat dan begitu juga sebaliknya, dengan meneliti kondisi masyarakat, keluarga, dan pihak lainnya sebagai penjamin.

  Penelitian kemasyarakatan adalah hal yang sangat penting, karena data dari hasil penelitian tersebut merupakan salah satu acuan yang memiliki pengaruh yang besar, dari setiap pertimbangan atas usulan pemberian izin bebas bersyarat. Berikut adalah contoh data hasil dari penelitian kemasyarakatan yang dilakukan oleh petugas BAPAS kelas I Medan terhadap salah satu warga binaan.

   a.

  Identitas

  Penelitian Kemasyarakatan Untuk Pengusulan Pembebasan Bersyarat

  No. Reg : B.I. 192 / 2012 Perkara : Perompakan (Pasal 439 KUHP) 1.

  Nama : HASBI Als HERI KOSTRAD 2.

  Tempat/Tanggal Lahir : Gampung Jl. Idi Raya, 25–07-1973 3.

  Jenis Kelamin : Laki - laki 4.

  Agama : Islam 5.

  Kewarganegaraan : Indonesia 6.

  Pendidikan : SMP 7.

  Pekerjaan : Nelayan 24 Hasil Penelitian Pegawai BAPAS Kelas I Medan, Ibu Peristiwa Sembiring S.H. Medan, 17 Juli 2013.

  8. : Duda Status Perkawinan 9. : Jl. Yos Sudarso KM. 19,5 Gg.

  Alamat Rumah Haji. Kec. Medan Labuhan

  10. : 4 Tahun Lama Pidana

  11. : Tahun 2012 Ditahan Sejak

  12. : - Remisi

  13. : 1 Tahun 6 Bulan Sisa Pidana Dijalani

  14. : 12 April 2015 Tanggal Bebas Akhir b.

  Hasil Pertimbangan Tim Pengamat Pemasyarakatan Selama menjalani pidananya di Rutan Kelas II B Labuhan Deli, klien telah menunjukkan sikap yang positif, dapat menerima keadaan, patuh terhadap peraturan yang berlaku dan dapat berinteraksi secara baik dengan petugas dan sesame narapidana dan tahanan yang berada di Rutan Kelas II B Labuhan Deli. Pihak Rutan Kelas II B Labuhan Deli memberikan kesempatan kepada klien untuk diusulkan / direkomendasikan untuk mendapat program pembebasan bersyarat, karena klien sudah menjalani menjelang 2/3 dari masa pidananya dan selama berada di Rutan Kelas II B Labuhan Deli klien dapat menjaga keamanan dan ketertiban yang berlaku di dalam Rutan Kelas II B Labuhan Deli.

a. Kesimpulan

  Berdasarkan data dan analisa yang dilakukan petugas, maka dengan ini Pembimbing Kemasyarakatan dapat membuat kesimpulan sebagai berikut: 1.

  Klien dipidana penjara selam 4 tahun karena telah melakukan tindak pidana sebagaimana tercantum dalam pasal 439 KUHP tentang perompakan.

  2. Selama menjalani pidananya di Rutan Kelas II B Labuhan Deli, klien telah menunjukan sikap yang positif, dapat menerima keadaan, patuh terhadap peraturan yang berlaku dan dapat berinteraksi secara baik dengan petugas dan narapidana serta tahanan lainnya, klien juga dapat mengikuti program pembinaan yang diberikan dengan baik dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

  3. Pihak Rutan Kelas II B Labuhan Deli memberikan kesempatan kepada klien, untuk diusulkan mendapatkan program pembebasan bersyarat, karena klien sudah menjalani menjelang 2/3 masa pidannya dan selama berada di Rutan Kelas II B Labuhan Deli klien dapat menjaga keamanan dan ketertiban yang berlaku di dalam Rutan Kelas II B Labuhan Deli.

  4. Keluarga, penjamin kemasyarakatan dan pemerintah setempat, dimana nantinya klien akan bertempat tinggal menjalani pembebasan bersyarat, bersedia menerima kehadiran klien, serta mendukung atas usulan pembebasan bersyarayang diberikan kepada klien.

b. Rekomendasi

  Berdasarkan analisa dan kesimpulan tersebut diatas, dengan didukung oleh hasil sidang TPP BAPAS Kelas I Medan, tanggal 16 Juli 2013 kami SETUJU terhadap klien an. HASBI ALS HERI

  KOSTRAD. Ditingkatkan pembinaannya dengan program

  pembebasan bersyarat, apabila telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan serta tidak bertentangan denga peraturam yang berlaku.

  Tabel 3

Jumlah Klien BAPAS Kelas I Medan (Januari sampai dengan Desember

2014 )

  NO Keterangan S D B J

  1 JANUARI 3477 290 145 3622

  2 FEBRUARI 3622 185 114 3811

  3 MARET 3811 156 132 3825

  4 APRIL 3835 196 98 3933

  5 MEI 3933 197 103 4027

  6 JUNI 4027 209 87 4209

  7 JULI 4209 214 88 4335 TOTAL 4335 Sumber : Data bagian Registrasi BAPAS Kelas I Medan. Desember 2014.

  Ket : S = Sisa

  D = Diterima B = Berakhir J = Jumlah

  Pelaksanaan bimbingan yang dilakukan oleh BAPAS Kelas I Medan melalui petugas yang lebih dikenal dengan sebutan Pembimbing Kemasyarakatan (P.K) pada dasarnya harus dilakukan secara berkesinambungan. Hal ini bertujuan untuk mencapai keefektifan dalam hal pembimbingan, karena tindakan yang berkesinambungan akan memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap pelaksanaan pembimbingan dan pengawasan.

  Kesinambungan dalam proses pembimbingan juga harus dibarengi dengan pengamatan secara terjun langsung dilapangan untuk mendekati klien secara lebih dekat. Dimana setiap perbuatan dan tindakan klien yang diamati harus diketahui secara pasti. Dengan begitu dapat diupayakan tindakan atau kebijakan yang tepat berdasarkan hasil pengamatan dan pengawasan sebagai langkah untuk pelaksanaan program pembebasan bersyarat dapat tercapai secara maksimal dan dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan hasil penelitian di BAPAS Kelas I Medan, yang dilakukan oleh petugas dari pihak BAPAS adalah hanya sebatas pembimbingan saja, karena jika disertai dengan pengawasan akan menimbulkan kesulitan bagi petugas untuk dapat mengawasi dari sekian banyak klien yang dibebaskan secara bersyarat maupun

   merealisasikan program lainnya.

  Prosedur dan mekanisme pembimbingan terdiri atas tiga tahap yakni tahap awal, tahap lanjutan dan tahap akhir. Berbeda dengan pembagian jangka waktu untuk setiap tahapan pembinaan yang dilaksanakan di Lapas yang 25 Hasil wawancara dengan Bapak Budhiantoro S.H Pada tanggal 2 April 2015 di BAPAS Kelas I Medan. menggunakan 1/3, ½, dan 2/3 masa pidananya, lamanya waktu untuk setiap tahapan pembimbingan yang dilaksanakan menggunakan pembagian masa

  

  bimbingan sebagai berikut : 1.

  Tahap Awal Pembimbingan tahap awal dimulai sejak yang bersangkutan berstatus sebagai klien sampai dengan ¼ (satu perempat), prosedur dan mekanisme pembimbingan tahap awal adalah sebagai berikut : a.

  Penelitian Kemasyarakatan.

  b.

  Menyusun rencana program bimbingan.

  c.

  Pelaksanaan progam bimbingan guna mempersiapkan anak untuk mengikuti program diversi di luar Lapas.

  d.

  Penilaian pelaksanaan program tahap awal dan penyusunan rencana bimbingan tahap lanjutan.

2. Tahap Lanjutan

  Pembimbingan tahap lanjutan dilaksanakan sejak berakhirnya bimbingan tahap awal sampai dengan ¾ (tiga Perempat) masa pembimbingan, prosedur dan mekanisme pembimbingan adalah sebagai berikut : a.

  Pelaksanaan Program bimbingan, seperti ; wajib lapor dari pihak klien, kunjungan rumah, dan bimbingan mental/ kelompok.

  b.

  Penilaian pelaksanaan program tahapan lanjutan dan penyusunan rencana bimbingan tahap akhir.

26 Modul Pembimbing Kemasyarakatan. Modul III, Bab III tentang Prosedur Pelaksanaan tugas pembimbingan Kemasyarakatan. Hlm. 124.

3. Tahap Akhir

  Pembimbingan tahap akhir dilaksanakan sejak berakhir bimbingan tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pembimbingan, prosedur dan mekanisme pembimbingan tahap akhir adalah sebagai berikut : a.

  Pelaksanaan program bimbingan.

  b.

  Meneliti dan menilai keseluruhan hasil pelaksanaan program bimbingan.

  c.

  Mempersiapkan klien mengakhiri masa bimbingan tambahan (after care).

  Pada setiap masa peralihan tahapan dari tahapan yang satu ke tahapan yang selanjutnya, pembimbingan kemasyarakatan menentukan program pembimbingan melalui mekanisme sidang TPP. Adapun jenis bimbingan yang diberikan kepada klien meliputi : Pendidikan Agama, pendidikan budi pekerti, bimbingan dan penyuluhan perorangan maupun kelompok, pendidikan formal, kepramukaan, pendidikan keterampilan kerja, pendidikan kesejahteraan keluarga, psikoterapi, kepustakaan, terapi dan berbagai usaha penyembuhan

   klien.

  Hasil penelitian yang didapatkan adalah bahwa dalam proses pembimbingan yang dilakukan merupakan sistem pelaporan, dan pelaporan tersebut dilakukan oleh klien terhadap Pembimbingan Kemasyarakatan dalam jangka waktu dan substansi laporan yang telah ditentukan sebelumnya biasanya 1X (satu kali) sebulan. Hal ini pun terkadang mengalami kendala, dimana masih ada klien yang tidak melapor dengan tepat waktu. Sehingga dari 27 Ibid. pihak pembimbing membuat kebijakan sesuai dengan aturan yang berlaku jika hal tersebut terjadi berulang terhadap klien yang sama. Pada kenyataannya sebelum kebijakan yang sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu berdasarkan PERMENKUMHAM No. 01 Tahun 2007 pada Pasal 24, 25 dan 26, biasanya Pembimbing Kemasyarakatan terlebih dahulu mendatangi klien ke tempat kediamanya, untuk mencari tahu apa penyebab dari keterlambatan itu dalam pratek di lapangan dikenal dengan program kunjungan rumah.

  Proses pembimbingan klien oleh Pembimbing Kemasyarakatan pada umumnya mengunjungi tempat tinggal klien. Dalam proses pembimbingan yang seperti itu dilakukan dalam kurun waktu yang tidak dapat ditentukan secara berkala, karena program pembimbingan seperti ini hanya dilakukan jika dianggap dibutuhkan untuk dilakukan, biasanya jika ada kejanggalan atau pelanggaran yang dilakukan oleh klien. Program ini dapat dikatakan sulit untuk dilakukan, karena mengingat aktifitas dari klien yang kebanyakan bekerja dan mempunyai kegiatan sehingga sulit untuk dilakukan sesuai dengan literatur yang ada dan juga didukung faktor tempat tinggal klien yang jauh.

  Permasalahan seperti sulitnya bertemu antara klien dengan pembimbing kemasyarakatan mengakibatkan sistem pelaporan dari klien dan pengamatan dari pembimbing kemasyarakatan menjadi sering terhambat dan bahkan sulit juga untuk terlaksana. Fakta yang terjadi di lapangan adalah apabila sistem pelaporan yang demikian terlaksana dengan baik dan rutin oleh klien kepada pembimbing kemasyarakatan, maka dari pihak pembimbing kemasyarakatan kesulitan melakukan penilaian terhadap klien tersebut, karena seringkali penilaian pembimbing kemasyarakatan hanya pada hasil pelaporan tersebut, sehingga sulit untuk menyimpulkan bagaimana keadaan sebenarnya dari klien

   yang bersangkutan.

  Oleh karena itu, jika ditanya kepada petugas BAPAS Kelas I Medan mengenai hal tersebut, tanggapan yang didapat adalah petugas memberikan dispensasi kepada klien, karena pembimbing kemasyarakatan tidak biasa memastikan bagaimana keadaan klien. Kecuali jika terjadi suatu pelanggaran maka pihak pembimbing kemasyarakatan dapat melakukan penilian secara mendalam dan melakukan evaluasi terhadap hal tersebut, agar dapat memeberikan laporan yang konkrit kepada Dirjen Kemasyarakatan, terutama jika klien melakukan kejahatan yang baru atau mengulangi tindak pidana sebelumnya.

E. Alasan Hapusnya Izin Bebas Bersyarat

  Dalam Masa percobaan pembebasan bersyarat, sangat sering dijumpai kelalaian dari klien pemasyarakatan termasuk dalam BAPAS Kelas I Medan.

  Hal ini dapat terjadi karena kesibukan menjalani aktifitas setelah kembali kemasyarakat atau dapat juga karena klien pemasyarakatan tersebut yang kurang mengerti arti dari syarat-syarat yang telah diterimanya ketika mendapat izin bebas bersyarat.

  Kesalahan klien pemasyarakatan adalah salah satu yang dapat mengakibatkan kegagalan dari masa percobaan itu. Ada juga hal lain seperti dari sisi pemerintah atau Negara melalui pertimbangan tertentu oleh lembaga yang terkait. Pasal 16 ayat (3) KUHP menentukan, bahwa selama masa 28 Hasil wawancara dengan Ibu Peristiwa Sembiring S.H., pada tanggal 7 April 2015 di Gedung BAPAS Kelas I Medan. percobaan izin bebas bersyarat masih dapat dicabut, maka atas usulan jaksa tempat dimana klien berada. Klien pemasyarakatan tersebut dapat ditahan demi menjaga ketertiban umum, jika ada sangkaan yang beralasan bahwa klien tersebut selama masa percobaan telah berbuat hal-hal yang melanggar syarat-syarat tersebut dalam surat lepas/bebas bersyaratnya. Jaksa harus segera memberitahukan penahanan itu kepada kementrian Hukum dan HAM.

  Biasanya pencabutan izin bebas bersyarat ini didahului dengan penahanan. Pihak yang bisa menahan adalah jaksa dalam kurun waktu paling lama selama enam puluh (60) hari. Dan jika pada kenyataanya penahanan tersebut, disusul dengan penghentian untuk sementara waktu maupun pencabutan izin pembebasan bersyarat, maka klien pemasyarakatan tersebut dianggap menjalani sisa pidanannya mulai hari penahanan sebelumnya.

  R. Tresna menjelaskan, bahwa penahanan itu dapat diikuti dengan penghentian sementara atau penarikan sama sekali pembebasan bersyarat itu oleh menteri Hukum dan HAM. Menteri Hukum dan HAM dapat pula menghentikan sementara pembebasan bersayarat itu, tanpa didahului dengan penahanan, jika ada sangkaan yang sungguh-sungguh bahwa si terhukum melakukan pelanggaran terhadap syarat-syarat yang dituliskan dalam surat keputusan pembebasan bersyarat, dalam hal seperti ini si terpidana diperlakukan seperti orang hukuman biasa. Penghentian sementara itu tidak terikat oleh ketentuan waktu, sehingga ada kemungkinan, bahwa sampai habisnya waktu hukuman ia berada dalam keadaan penghentian sementara. Dengan habisnya waktu hukuman, maka dengan sendirinya penghentian

   sementara itu juga berhenti.

  Selanjutnya dijelaskan, bahwa dalam hal penahanan diikuti dengan penghentian sementara atau dengan penarikan sama sekali (pencabutan) pembebasan bersyarat itu, maka terpidana atau klien pemasyarakatan dianggap meneruskan pidananya sejak ditahan. Tetapi jika ia berada di luar penjara, yaitu sejak ia dilepaskan dengan syarat sampai ia dimasukkan kembali ke penjara, tidak diperhitungkan sebagai hukuman. Sebagai contoh jika klien pemasyarakatan dilepaskan dengan syarat pada tanggal 1 Mei dan kemudian Karena melanggar syarat ia dimasukkan kembali ke dalam penjara pada tanggal 30 Agustus tahun itu juga, maka waktu selama 1 Mei sampai dengan

  30 Agustus itu tidak dihitung untuk mengurangi sisa masa hukuman yang masih harus dijalani.

F. Manfaat Pembebasan Bersyarat

  Pembebasan bersyarat pada kenyataannya belum banyak mengetahui, baik dari masyarakat umum/awam, maupun dari kalangan akademis dibidang hukum. Banyak dari mereka ketika akan ditanya apa yang menjadi manfaat dari kebijakan pembebasan bersyarat, penulis diminta untuk menjelaskan terlebih dahulu gambaran umum dari pembebasan bersyarat. Tetapi jika dikalangan orang atau pihak yang pernah berhadapan dengan hukum, baik diri sendiri maupun keluarganya, program ini adalah salah satu yang sangat terkenal. Pembebasan bersyarat memiliki maksud dan tujuan sebagai masa transisi memudahkan kembalinya narapidana ke masyarakat dan menjadi 29 R. Tresna, Azas-azas Hukum Pidana, Jakarta, Tiara Limited, 1959. Hlm. 142. stimulant atau mendorong narapidana untuk berkelakuan baik di dalam

   lembaga pemasyarakatan.

  Manfaat dari pembebasan bersyarat dapat dijelaskan dengan menguraikan dari sudut pandang mana manfaat itu dapat ditemukan.

  Perbedaan sudut pandang sangat mempengaruhi manfaat dari pembebasan bersyarat, karena memiliki tujuan dan harapan yang berbeda akan adanya pembebasan bersyarat. Sudut pandang yang dimaksud adalah pihak-pihak yang memiiki hubungan dengan adanya pembebasan bersyarat, seperti dari sisi Lembaga Pemasyarakatan, Keluarga atau Masyarakat, serta dari sisi Klien/ Narapidana sendiri.

  Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, berikut adalah manfaat yang dimaksud :

1. Manfaat terhadap Lembaga Pemasyarakatan

  Lembaga Pemasyarakatan adalah salah satu lembaga yang sangat vital akan berjalannya sistem pidana Indonesia. Pidana penjara adalah salah satu yang menjadi kewenangan yang diberikan undang-undang kepada LAPAS. Sebagaimana yang diketahui pada dasarnya pidana penjara bukan lagi bertujuan untuk pembalasan seperti yang dahulu dilakukan, tetapi sebaliknya yang menjadi harapan akan pelaksanaan dari pidana ini adalah untuk membuat narapidana mengerti apa yang menjadi kesalahannya dan dapat menyesalinya dan besar kemungkinannya tidak akan diulangi, jika proses pembalasan diganti dengan pembinaan dan pembimbingan selama berada di Lembaga Pemasyarakatan maupun di luar Lembaga Pemasyarakatan. 30 Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Dasar Aturan Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta , Ghalia Indonesia. Hlm. 114.

  Dalam perkembangan zaman di Indonesia, masalah yang terjadi tidak lagi sekompleks atau sesederhana itu. Dewasa ini, banyak permasalahan yang terjadi LAPAS, mulai dari perkelahian yang berujung pada pemberontakan, yang salah satu penyebab dasarnya adalah fasilitas yang kurang dibarengi over kapasitas Lembaga Pemasyarakatan. Seperti yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta (Juli 2013) dan di

   Lembaga Pemasyarakatan Hulu Balu (Agustus 2013).

  Dalam bukunya Mohammad Ekaputra dan Abul khair menuliskan, bahwa dalam menentukan dasar pembenaran pidana penjara dilihat dari sudut efektivitasnya. Hal ini merupakan suatu pendekatan pragmatis yang

   memang sepatutnya dipertimbangkan dalam setiap langkah kebijakan.

  Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pembebasan bersyarat merupakan salah satu kebijakan yang dapat dijadikan kebijakan pendukung untuk dapat pembenaran pidana penjara tersebut, karena pembebasan bersyarat hanya akan berjalan jika proses pembinaan dan pembimbingan di dalam Lembaga Pemasyarakatan berjalan dengan semestinya dan memnuhi kriteri yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang terkait. Jadi manfaat terhadap Lembaga pemasyarakatan dapat diuraikan sebagai berikut : a.

  Mengurangi kemungkinan pemberontakan dan perkelahiaan antar narapidana, karena telah termotivasi untuk bersikap baik untuk dapat mendapatkan izin bebas bersyarat.

  31 Koran Sindo online (Sindonews.com : //nasional. Sindonews.com) tanggal 9 Agustus 2013. 32 Muhammad Ekaputra, Abul Khair, Sitem pidana di dalam KUHP dan pengaturannya menurut konsep KUHP baru . Medan. USU Press. Hlm. 40. b.

  Memaksimalkan proses pembinaan dan pembimbingan di dalam LAPAS.

  c.

  Meningkatkan peluang keluarnya narapidana lebih cepat dari Lembaga Pemasyarakatan yang dapat mengakibatkan kurangnya dampak dari over kapasitas di dalam LAPAS.

  d.

  Meningkatkan kemungkinan pencapaian sistem pemidanaan yang baru, yakni pemidanaan yang bersifat pembinaan dan pembimbingan (rehabilitasi).

  e.

  Memaksimalkan proses perbaikan diri dari narapidana dengan keinginan untuk mengikuti pembinaan dan pembimbingan.

2. Manfaat terhadap Keluarga/Masyarakat

  Masyarakat adalah salah satu pihak yang harus mendapat perhatian khusus dari setiap pelaksanaan dan kebijakan dari sistem pidana yang berlangsung di Indonesia. Aspek perlindungan masyarakat dari suatu kebijakan pidana dapat tercapai apabila kebijakan itu sejauh mungkin dapat

  

  mencegah atau mengurangi kejahatan. Apapun dampak yang akan terjadi dari suatu tindak pidana, masyarakat adalah pihak pertama yang harus diselamatkan. Sama dengan kebijakan pembebasan bersyarat, masyarakat adalah salah satu pihak yang menentukan. Hal ini dibuktikan dari hasil penlitian masyarakat yang di lakukan oleh pihak BAPAS, dan keluarga dari narapidana adalah termasuk didalamnya.

  Penelitian Kemasyarakatan atau yang sering disebut LITMAS itu adalah faktor pendukung dalam setiap pengusulan izin bebas bersyarat 33 Ibid. Hlm. 41. terhadap seorang narapidana. Hal ini terjadi karena masyarakat dan keluarga adalah pihak yang akan mereka hadapi dalam menjalani proses percobaan pembebasan bersyarat sebagaimana yang dijelaskan dalam bagian pertimbangan ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan HAM No.21 Tahun 2013 tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Dan Cuti Bersyarat.

  . Oleh karena itu masyarakat dan keluarga adalah salah satu pihak yang berpengaruh akan keberhasilan proses pembebasan bersyarat. Begitu juga sebaliknya, jika proses ini berjalan dengan baik maka masyarakat dan keluarga juga akan mendapatkan banyak manfaat dari kebijakan ini, seperti hal-hal berikut : a.

  Mencegah masyarakat mencoba korban kejahatan dari suatu tindak pidana.

  b.

  Masyarakat tidak lagi terkejut dengan hadirnya seorang narapidana, karena klien/ narapidana dibimbing secara bertahap.

  c.

  Keluarga lebih mudah untuk memperhatikan klien/narapidana sebagai salah satu anggota keluarga.

  d.

  Masyarakat dapat diyakinkan bahwa klien/narapidana telah berubah dan tidak akan menguangi perbuatan yang sama lagi.

  e.

  Pandangan masyarakat akan seorang narapidana atau mantan narapidana akan perlahan membaik.

3. Manfaat terhadap Klien/Narapidana

  Pembebasan bersayarat dilahirkan untuk membantu narapidana menjalani setiap proses pembinaan dan pembimbingan dengan lebih cepat.

  Hal ini sejalan dengan gagasan Suhardjo yang kemudian dirumuskan dalam konfrensi Dinas Kepenjaraan di Lembang Bandung, yang lebih dikenal dengan “sepuluh prinsip pemasyarakatan”, yang salah satu point yang paling berkaitan adalah “ tiap Orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat. Tidak boleh ditunjukkan kepada

  

  narapidana bahwa ia itu penjahat”. Sejalan dengan pemahaman tersebut, setiap narapidana dengan kebijakan pembebasan bersyarat diharapkana dapat menjadi pribadi yang mendalami perbuatannya dan menyesalinya, dan ketika akan dikembalikan ke dalam masyarakat diharapkan dapat dengan mudah untuk di bina dan dibimbing demi kelancaran masa percobaannya.

  Pada dasarnya pembebasan bersyarat bukanlah suatu kebijakan yang sederhana ketika dikatankan membina seorang narapidana yang berada di dalam masyarakat atau diluar LAPAS. Hal ini akan semakin rumit karena klien/ narapidana akan sulit untuk diketahui pergerakannya. Tetapi ketika menerima izin pembebasan bersyarat seorang narapidana telah menerima syarat-syarat yang harus dipatuhi, sehingga akan sedikit mempermudah pembimbing masyarakat. Oleh karena itu ketika dibicarakan mengenai manfaat pembebasan bersyarat terhadap seorang klien/narapidana akan didapat ketika narapidana mengikuti apa yang menjadi prosedur atau syarat- syarat yang diterima klien pemasyarakatan sebelumnya, seperti yang 34 Ibid. Hlm. 46. dimaksud dalam pasal 1 angka (4) Peraturan Menteri Hukum dan HAM No.

  21 Tahun 2013, bahwa pembebasan bersyarat merupakan suatu program pembinaan untuk mengintegrasikan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan kedalam kehidupan masyarakat setelah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.

G. Pemberian Pembebasan bersyarat dalam kewenangan BAPAS Kelas I Medan.

  Pembebasan bersyarat merupakan salah satu kebijakan dari pemerintah dalam mewujudkan semangat reformasi sistem pemasyarakatan. Pembebasan bersyarat diupayakan untuk dapat mempersiapkan setiap klien untuk dapat bergabung dan kembali ke dalam masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu pegawai BAPAS Kelas I Medan, pemberian pembebasan bersyarat sejak dari tahap pengamatan di LAPAS sampai pada selesainya masa percobaan tidak semua berjalan dengan lancar. Kesalahan sangat mungkin terjadi, mulai dari ketidak sengajaan dari pihak klien, hingga pada

   kelalaian dari pihak penjamin klien.

  Balai Pemasyarakatan Kelas I Medan dalam usaha pemenuhan penerbitan surat keputusan izin bebas bersyarat, dapat dikatan sangat serius dan total. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Ibu Peristiwa Sembiring S.H bahwa pelaksanaan pembimbingan terhadap klien tersebut tidak boleh hanya sebatas

35 Hasil wawancara dengan Ibu Peristiwa Sembiring S.H., pada tanggal 7 April 2015 di Gedung BAPAS Kelas I Medan.

  wajib lapor, harus dilakukan kegiatan pembimbingan lain sebagaimana yang

   diatur dalam teknis pelaksanaan pembimbingan.

  Untuk menjelaskan pemberian pembebasan bersyarat di dalam kewenangan BAPAS Kelas I Medan, akan diuraikan dalam hal-hal berikut :

1. Unsur-unsur Pembimbingan

a. Pembimbing Kemasyarakatan (P.K) BAPAS

  Istilah Pembimbing kemasyarakatan dapat ditemukan dalam beberapa peraturan perundang-undangan, salah satunya pengertian pembimbing kemasyarakatan disebutkan dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak, bahwa pembimbing kemasyarakatan adalah petugas pemasyarakatan pada balai pemasyarakatan yang melaksanakan bimbingan warga binaan pemasyarakatan. Namun demikan perlu pula diketahui bahwa denga sahnya Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak (SPPA) pada tanggal 30 Juli 2014 maka Undang-undang No.3 Tahun 1997 akan digantikan dan dinyatakan tidak berlaku. Dengan demikian pengertian P.K telah mengalami perubahan menjadi Pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana (Pasal 1 angka 13 UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak)

  Pembimbing kemasyarakatan dalam melaksanakan wewenangnya harus memiliki fungsi yang jelas. Hal ini dapat mendorong mencapai titik maksimal dalam kinerjanya, karena pembimbing kemasyarakatan memiliki 36 Ibid. program yang harus dijalankan sebagaimana yang dihasilkan dalam sidang TPP. Fungsi pembimbing kemasyarakatan yang dimaksud adalah sebagai berikut :

   a.

  Berusaha menyadarkan klien untuk tidak melakukan kembali pelanggaran hukum/tindak pidana; b.

  Menasehati klien untuk selalu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang positif/baik; c.

  Menghubungi dan melakukan kerjasama dengan pihak ketiga / pihak tertentu dalam rangka menyalurkan bakat dan minat klien sebagai tenaga kerja, untuk kesejahteraan masa depan dari klien tersebut. Secara rinci fungsi pembimbing kemasyarakatan dapat disebutkan sebagai berikut :

   a.

  Melaksanakan pelayanan penelitian kemasyarakatan tahanan (untuk menentukan pelayanan dan perawatan) dan narapidana (menentukan program pembinaan) yang menghasilkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan yang digunakan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan persidangan dalam perkara anak. Dalam Undang- undang Nomor 11 Tahun 2012 disebutkan bahwa laporan hasil penelitian kemasyarakatan dapat dilakukan untuk kepentingan diversi.

  b.

  Melakukan registrasi klien pemasyarakatan.

  37 MODUL PEMBIMBING KEMASYARAKATAN. Modul I BAB III, tentang tugas dan fungsi pembimbing kemasyarakatan. Hlm.16-17. 38 Ibid. c.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pasar Modal - Pengaruh Return On Asset, Debt To Equity Ratio, Ukuran Perusahaan Dan Status Kepemilikan Terhadap Return Saham Pada Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 0 20

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengaruh Return On Asset, Debt To Equity Ratio, Ukuran Perusahaan Dan Status Kepemilikan Terhadap Return Saham Pada Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 1 12

Pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) pada Perusahaan Real Estate dan Property yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2012

0 1 35

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis - Pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) pada Perusahaan Real Estate dan Property yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2012

0 0 44

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) pada Perusahaan Real Estate dan Property yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2012

0 0 9

Pengaruh Kinerja Keuangan terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) pada Perusahaan Real Estate dan Property yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2012

0 0 13

BAB II PENDELEGASIAN WEWENANG DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA A. Pengertian Pendelegasian Wewenang - Prosedur Pendelegasian Wewenang Ditinjau dari Persepektif Hukum Administrasi Negara (Studi di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Me

0 0 37

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Prosedur Pendelegasian Wewenang Ditinjau dari Persepektif Hukum Administrasi Negara (Studi di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Medan)

0 0 20

BAB 2 LANDASAN TEORI - Penentuan Nilai Motorik Halus Anak Dengan Game Magic Maze Menggunakan Metode Mamdani

0 5 19

BAB 1 PENDAHULUAN - Penentuan Nilai Motorik Halus Anak Dengan Game Magic Maze Menggunakan Metode Mamdani

0 0 6