AKIBAT HUKUM PT thd Putusan Pailit Pengadilan Niaga

ANALISA HUKUM TENTANG PEMBUBARAN (LIKUIDASI)
PERSEROAN TERBATAS (PT) AKIBAT KEPUTUSAN PAILIT
PENGADILAN NIAGA
Oleh :
Arif Indra Setyadi
Mahasiswa Pasca Sarjana Kenotariatan
UNDIP 2011
I. Perseroan Terbatas
Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai akibat hukum apabila
PT dinyatakan Pailit oleh Pengadilan Niaga, alangkah lebih baiknya kita
memahami Pengertian lebih dalam tentang PT sebagai Badan Hukum, karena
hal ini berkait erat dengan pertanggungjawaban kegiatan yang telah dilakukan
oleh Badan Hukum Perseroan Terbatas.
Pasal 1 butir 1 UU. No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas,selanjutnya disebut UUPT, menegaskan bahwa Perseroan Terbatas
(PT) adalah Badan Hukum. Dengan statusnya sebagai badan hukum maka
berarti perseroan berkedudukan sebagai Subyek Hukum, yang mampu
mendukung hak dan kewajibannya sebagaimana halnya dengan orang dan
mempunyai harta kekayaan tersendiri terpisah dari harta kekayaan para
pendirinya, pemegang saham, dan para pengurusnya, atau dapat dikatakan
bahwa kita dapat menemui rechtpersoon dalam badan hukum korporasi atau

perseroan. Akan tetapi dalam UUPT tidak akan kita temui batasan apa itu
sebenarnya yang dimaksud dengan badan hukum tersebut.
Ada beberapa teori yang dikemukakan oleh para ahli mengenai badan
hukum antara lain sebagai berikut :1
1. Teori Fiktif dari Von Savigny
1

R. Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi,
Yayasan, Wakaf, Alumni, Bandung, 2002, Hal. 7.

1

Teori ini menyatakan bahwa badan hukum itu semata-mata buatan Negara
saja. Sebetulnya menurut alam hanya manusia sajalah sebagai subyek
hukum, badan hukum itu hanya suatu fiksi saja, yaitu sesuatu yang
sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menciptakan dalam bayangannya
suatu

pelaku


hukum

(badan

hukum)

sebagai

subyek

hukum

diperhitungkan sama dengan manusia.
2. Teori harta kekayaan bertujuan dari Brinz
Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat menjadi subyek hukum.
Namun, juga tidak dapat dibantah adanya hak-hak atas suatu kekayaan,
sedangkan tiada manusiapun yang menjadi pendukung hak-hak itu. Apa
yang kita namakan hak-hak dari suatu badan hukum sebenarnya adalah
hak-hak yang tidak ada yang memilikinya dan sebagai penggantinya
adalah suatu harta kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan atas kekayaan

kepunyaan suatu tujuan.
3. Teori Organ dari Otto Von Gierki
Menurut teori ini badan hukum adalah suatu realitas sesungguhnya sama
seperti sifat kepribadian alam manusia ada dalam pergaulan hukum. Di
sini tidak hanya suatu pribadi yang sesungguhnya, tetapi badan hukum itu
juga mempunyai kehendak atau kemauan sendiri yang dibentuk melalui
alat-alat perlengkapannya (pengurus, anggota-anggotanya). Apa yang
mereka putuskan, adalah kehendak atau kemauan dari badan hukum. Teori
ini menggambarkan badan hukum sebagai suatu yang tidak berbeda
dengan manusia.
4. Teori propiete collective dari Planiol
Menurut teori ini hak dan kewajiban badan hukum itu pada hakikatnya
adalah hak dan kewajiban anggota bersama-sama disamping hak milik
pribadi, hak milik serta kekayaan itu merupakan harta kekayaan bersama.
Anggota-anggota tidak hanya dapat memiliki masing-masing untuk bagian
yang tidak dapat dibagi, tetapi juga sebagai pemilik bersama-sama untuk

2

keseluruhan. Di sini dapat dikatakan bahwa orang-orang yang berhimpun

itu semuanya merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi
yang dinamakan badan hukum. Maka dari itu badan hukum adalah suatu
konstruksi yuridis saja.
Dengan demikian dari berbagai teori itu dapat dibagi menjadi dua
kelompok teori yaitu sebagai berikut :
• Pertama, mereka yang menganggap bahwa badan hukum itu sebagai wujud
yang nyata, dianggap mempunyai “panca indera” sendiri seperti manusia,
akibatnya badan hukum itu disamakan dengan orang atau manusia.
• Kedua, mereka yang menganggap badan hukum itu tidak sebagai wujud
yang nyata. Di belakang badan hukum itu sebenarnya berdiri manusia.
Akibatnya kalau badan hukum itu membuat kesalahan maka kesalahan itu
adalah kesalahan manusia yang berdiri di belakang badan hukum itu secara
bersama-sama.2
Perbedaan teori mengenai badan hukum ini mempunyai implikasi
yang besar terhadap pemisahan pertanggungjawaban antara badan hukum dan
orang-orang yang berada di belakang badan hukum tersebut. Yang
dimaksudkan dengan pertanggungjawaban adalah siapa yang harus membayar
utang yang timbul dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam rangka
kegiatan bersama ? Siapa yang harus menanggung atas kerugian yang timbul.
Seperti yang diatur dalam Pasal 1 Butir 1 UUPT tersebut diatas bahwa

Perseroan Terbatas adalah merupakan badan hukum berarti bahwa badan
Hukum (Perseroan Terbatas) merupakan penyandang hak dan kewajibannya
sendiri yang memiliki status yang dipersamakan dengan orang perorangan
sebagi subyek hukum. Dalam pengertian sebagai penyandang hak dan
kewajiban badan hukum dapat digugat ataupun menggugat di pengadilan. Hal
ini membawa konsekuensi bahwa keberadaan dan ketidakberdayaannya
2

Agus Budiarto, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2002, hal. 28 – 29;

3

sebagai badan hukum tidak digantungkan pada kehendak pendiri atau
anggotanya melainkan pada sesuatu yang ditentukan oleh hukum
Sebagai suatu badan hukum, pada prinsipnya perseroan terbatas dapat
memiliki segala hak dan kewajiban yang dapat dimiliki oleh setiap orang
perorangan, dengan pengecualian hal-hal yang bersifat pribadi yang hanya
mungkin dilaksanakan oleh orang perorangan seperti misalnya yang diatur
dalam buku kedua KUHPerdata tentang kewarisan. Guna untuk melaksanakan

segala hak dan kewajiban yang dimiliki tersebut, UUPT telah merumuskan
fungsi dan tugas dari masing-masing Organ Perseroan tersebut, yang berbeda
satu dengan yang lainnya. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 2 UUPT,
organ perseroan terbatas adalah :
1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) merupakan organ perseroan yang
kedudukannya adalah sebagai organ yang memegang kekuasaan tertinggi
di dalam perseroan berdasar ketentuan Pasal 1 butir 4 UUPT yang
menerangkan bahwa :
“Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya
disebut RUPS adalah organ perseroan yang
memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan dan
memegang segala wewenang yang tidak diserahkan
kepada direksi dan komisaris”.
Akan tetapi kekuasaan yang diberikan oleh Undang-undang tersebut
adalah tidak mutlak artinya bahwa kekuasaan tertinggi yang dimiliki
RUPS hanya mengenai wewenang yang tidak diserahkan kepada direksi
dan komisaris karena tugas dan wewenang setiap organ perseroan
termasuk RUPS sudah diatur secara mandiri (otonom) di dalam UUPT.


2. Direksi

4

Tidak ada suatu rumusan yang jelas dan pasti mengenai kedudukan direksi
dalam suatu perseroan terbatas, yang jelas direksi merupakan badan
pengurus perseroan yang paling tinggi, serta yang berhak dan berwenang
untuk menjalankan perusahaan.
Direksi atau pengurus perseroan adalah alat perlengkapan perseroan yang
melakukan kegiatan perseroan dan mewakili perseroan baik di dalam
maupun di luar pengadilan. Pengangkatan direksi dilakukan oleh RUPS
akan tetapi untuk pertama kali pengangkatannya dilakukan dengan
mencantumkan susunan dan nama anggota direksi di dalam akta
pendiriannya.
Beberapa pakar dan ilmuwan hukum merumuskan kedudukan direksi
dalam

perseroan

sebagai


gabungan

dari

dua

macam

persetujuan/perjanjian, yaitu :3
1. Perjanjian pemberian kuasa, di satu sisi dan
2. Perjanjian kerja/perburuhan, di sisi lainnya.
3. Komisaris
Sebelumdiberlakukannya UUPT, atau ketika kita masih memberlakukan
PT berdasarkan KUHD, Organ Komisaris ini tidak wajib ada dalam PT.
Tetapi setelah kita memberlakukan UUPT organ Komisaris wajib ada,
seperti yang diatur dalam Pasal 1 butir 6 UUPT, yang menerangkan
bahwa:
Pasal 1 Butir 6
Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas

melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus
sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat
kepada Direksi.

3

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis – Kepailitan, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2002, hal. 97;

5

Adapun tugas pokok dari Komisaris dalam Perseroan Terbatas diatur
dalam Pasal 108 ayat 1 yang menyebutkan bahwa : Dewan Komisaris
melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan
pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha Perseroan, dan
memberi nasihat kepada Direksi.
Uraian diatas dapat memberikan pemahaman kepada kita bahwa
Perseroan Terbatas terdiri dari 2 (dua) unsur pokok yaitu :
1.


Badan Hukum
Dalam pengertian sebagai penyandang hak dan kewajiban badan
hukum dapat digugat ataupun menggugat di pengadilan. Hal ini membawa
konsekuensi bahwa keberadaan dan ketidakberdayaannya sebagai badan
hukum tidak digantungkan pada kehendak pendiri atau anggotanya
melainkan pada sesuatu yang ditentukan oleh hukum

2.

Organ Perseroan
Hak dan kewajiban badan hukum itu pada hakikatnya adalah hak
dan kewajiban anggota bersama-sama disamping hak milik pribadi, hak
milik serta kekayaan itu merupakan harta kekayaan bersama. Anggotaanggota tidak hanya dapat memiliki masing-masing untuk bagian yang
tidak dapat dibagi, tetapi juga sebagai pemilik bersama-sama untuk
keseluruhan. Di sini dapat dikatakan bahwa orang-orang yang berhimpun
itu semuanya merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi
yang dinamakan badan hukum. Anggota-anggota dari badan hukum itu
dalam Perseroan Terbatas terbagi atas pemilikan saham dalam Perseroan
Terbatas, dimana mekanisme pelaksanaan Badan Hukum tersebut
dilakukan oleh Organ Perseroan yang terdiri dari RUPS, Direksi dan

Dewan Komisaris, yang mana memiliki tugas dan tanggung jawab
masing-masing.
Anggota-anggota Badan Hukum ini terikat dalam persekutuan
modal, yang didasarkan pada perjanjian untuk melakukan kegiatan usaha

6

yang terbagi atas kepemilikan saham. Sehingga tanggung jawab Organ
Perseroan inipun terbatas pada isi perjanjian dalam persekutuan modal
dalam bentuk saham yang disetor. Dan pada pelaksanaannya harus
memenuhi syarat yang telah ditetapkan dalam UUPT.
II. Akibat Hukum Perseroan Terbatas (PT) terhadap Keputusan Pailit
Sebelum membahas eksistensi Perseroan Terbatas setelah berakhirnya
kepailitan, berikut ini akan dipaparkan terlebih dahulu syarat-syarat
berakhirnya kepailitan, yaitu :
1. Apabila pembagian terhadap harta si pailit telah dilakukan secara tuntas
dan mempunyai kekuatan hukum yang pasti;
2. Apabila homologasi akor telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti;
3. Apabila ada pertimbangan dari hakim yang memutus kepailitan, bahwa
harta si pailit ternyata tidak cukup untuk membiayai kepailitan.
Dalam hal kepailitan badan hukum perseroan terbatas setelah
berakhirnya kepailitan, bubar atau tidaknya perseroan tergantung kepada
keputusan hakim atas adanya permohonan pembubaran perseroan karena
didalam undang-undang kepailitan dan undang-undang perseroan terbatas No.
40 tahun 2007 tidak adanya pengaturan mengenai pembubaran demi hukum
secara terperinci. Pembubaran Perseroan terbatas demi hukum hanya dikenal
pengaturannya di KUHD yaitu Alasan-alasan pembubaran perseroan karena
jangka waktu berdirinya berakhir dan bubar demi hukum karena kerugian
yang mencapai 75% dari modal perseroan. Akan tetapi undang-undang UUPT
mengenal adanya pembubaran karena penetapan pengadilan tetapi tidak
mengenal adanya pembubaran demi hukum.
Menurut ketentuan Pasal 142 UUPT, Pembubaran Perseroan terjadi :
a. berdasarkan keputusan RUPS;
b. karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar
telah berakhir;

7

c. berdasarkan penetapan pengadilan;
d. dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup
untuk membayar biaya kepailitan;
e. karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam
keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau
f. karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan
melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 142 UUPT ada 2 (dua) alasan
pembubaran PT yang berhubungan dengan Kepailitan yaitu :
1. Dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup
untuk membayar biaya kepailitan;
2. Karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam
keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
Alasan Pertama digunakan untuk melindungi kepentingan kreditor.
Dalam hal ini kreditor tentunya tidak boleh dirugikan dengan adanya keadaan
tidak mampu membayar ini. Berdasarkan Pasal 18 ayat 1 UU. No. 37 tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
apabila perseroan pailit sehingga tidak mampu membayar hutangnya, maka
kreditor dapat mengajukan permohonan pembubaran perseroan kepada Hakim
Pengawas atas Putusan Pernyataan Pailit yang diajukan oleh Debitor.
Berdasarkan permohonan Kreditor atau Panitia Kreditor sementara jika ada,
tersebut Hakim Pengawas mengusulkan kepada Pengadilan Niaga, serta
setelah memanggil dengan sah atau mendengar Debitor, dapat memutuskan

8

pencabutan putusan pernyataan pailit Berdasarkan keputusan Pengadilan
Niaga tersebut, suatu perseroan dapat dibubarkan. Pembubaran tersebut
diikuti dengan pemberesan sehingga kreditor berhak mendapatkan pelunasan
dari hasil pemberesan tersebut.
Setelah pembubaran PT terjadi dengan adanya pencabutan kepailitan
ini, maka menurut pasal 142 butir 4Pengadilan Niaga sekaligus memutuskan,
pemberhentian Kurator. Kemudian peran Kurator digantikan oleh Likuidator
sebagai pihak yang ditunjuk untuk menyelesaikan pemberesan. Dalam jangka
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pembubaran
Perseroan, likuidator wajib memberitahukan:
a. kepada semua kreditor mengenai pembubaran Perseroan dengan cara
mengumumkan pembubaran Perseroan dalam surat kabar dan Berita
Negara Republik Indonesia; dan
b. pembubaran Perseroan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar
Perseroan bahwa Perseroan dalam likuidasi.
Pemberitahuan kepada kreditor dalam surat kabar dan Berita Negara Republik
Indonesia memuat:
a. pembubaran Perseroan dan dasar hukumnya;
b. nama dan alamat likuidator;
c. tata cara pengajuan tagihan; dan
d. jangka waktu pengajuan tagihan.
Jangka waktu pengajuan tagihan adalah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak
tanggal pengumuman sebagaimana. Pemberitahuan kepada Menteri wajib
dilengkapi dengan bukti:
a. dasar hukum pembubaran Perseroan; dan
b. pemberitahuan kepada kreditor dalam surat kabar
Alasan Kedua,Pembubaran Perseroan Terbatas terjadi karena telah
dinyatakan pailit dan dalam keadaan Insolvensi. Keadaan insolvenasi menurut
Pasal 178 ayat 1 UUK dan PKPU yaitu suatu keadaan dimana Debitor

9

dinyatakan benar-benar tidak mampu membayar, insolvensi ini terjadi
apabila :
1.

Dalam rapat pencocokan
piutang Kreditor tidak ditawarkan perdamaian atau

2.

Rencana

Perdamaian

yang ditawarkan Debitor ditolak oleh Panitia Kreditor atau
3.

Pengesahan

Perdamaian

ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
Akibat hukum dari penetapan insolvensi debitor pailit, timbulnya
konsekuensi hukum tertentu, yaitu sebagai berikut :
1. Harta pailit segera dieksekusi dan dibagi kecuali ada pertimbangan
tertentu (misal : pertimbangan prospek kelangsungan usaha) yang
menyebabkan penundaan eksekusi dan penundaan pembagian akan lebih
mengutungkan;
2. Pada prinsipnya tidak ada Rehabilitasi, sebab insolvensi ini disebabkan
tidak adanya perdamaian dan aset Debitor Pailit lebih kecil dari
kewajibannya. Kecuali apabila setelah dalam keadaan insolvensi
kemudian terdapat Harta lain dari Debitor pailit. Misalnya adanya warisan,
sehingga utang dapat dibayar lunas. Dengan demikian Rehabilitasi dapat
diajukan berdasarkan.Pasal 215 UUK dan PKPU.
Bertolak dari kedua alasan yang dipakai sebagai dasar Pembubaran
Perseroan Terbatas dalam Kepailitan, menimbulkan dua mode perlakuan
hukum terhadap perseroan terbatas, yaitu :
1. Berlakunya demi Hukum (by the operation of law).
Ada beberapa akibat yuridis yang berlaku demi hukum (by the operation
of law) segera setelah pernyataan pailit dinyatakan atau setelah pernyataan
pailit mempunyai hukum tetap, ataupun setelah berakhirnya kepailitan.
Dalam hal ini, Pengadilan Niaga, Hakim Pengawas, Kurator, Kreditur dan

10

siapapun yang terlibat dalam proses kepailitan tidak dapat memberikan
andil secara langsung untuk terjadinya akibat yuridis tersebut. Misal,
dalam Pasal 93 Undang-undang Kepailitan disebutkan, larangan bagi
debitur pailit untuk meninggalkan tempat tinggalnya (cekal), sungguhpun
dalam hal ini pihak hakim pengawas masih mungkin memberi izin bagi
debitur pailit untuk meninggalkan tempat tinggalnya.
2. Berlaku secara Rule of Reason.
Untuk akibat-akibat hukum tertentu dari kepailitan berlaku Rule of
Reason, adalah bahwa akibat hukum tersebut tidak otomatis berlaku, akan
tetapi baru berlaku jika diberlakukan oleh pihak-pihak tertentu, setelah
mepunyai alasan yang wajar untuk diberlakukan. Pihak-pihak yang mesti
mempertimbangkan berlakunya akibat-akibat hukum tertentu tersebut.
Misal, Kurator, Pengadilan Niaga, Hakim Pengawas, dan lain-lain.
Dengan demikian, bahwa berlakunya akibat hukum tersebut tidak
semuanya sama. Ada yang perlu dimintakan oleh pihak tertentu dan perlu pula
persetujuan institusi tertentu, tetapi ada juga yang berlaku karena hukum (by
the operation of law) begitu putusan pailit dikabulkan oleh Pengadilan
Niaga.4
Pada dasarnya sebelum pernyataan pailit, hak-hak debitur untuk
melakukan semua tindakan hukum berkenaan dengan kekayaannya harus
dihormati. Tentunya dengan memperhatikan hak-hak kontraktual serta
kewajiban debitur menurut peraturan perundang-undangan.5
Semenjak pengadilan mengucapkan putusan kepailitan dalam sidang
yang terbuka untuk umum terhadap debitur berakibat bahwa ia kehilangan hak
untuk melakukan pengurusan dan penguasaan atas harta bendanya (persona
4
5

Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Edisi Revisi, Bandung ; Penerbit PT.
Citra Aditya Bakti, 2005, hal 65-66;
Imran Nating, Peranan dan Tanggungjawab Kurator Dalam Pengurusan dan Pemberesan
Harta Pailit, Raja Grafindo, Persada, Jakarta, 2004, hal 39.

11

standy in ludicio) dan hak kewajiban si pailit beralih kepada kurator untuk
mengurus dan menguasai boedelnya. Si pailit masih diperkenankan untuk
melakukan perbuatan-perbuatan hukum di bidang harta kekayaan, misalnya
membuat perjanjian, apabila dengan perbuatan hukum itu akan memberi
keuntungan bagi harta (boedel) si pailit, sebaliknya apabila dengan perjanjian
atau perbuatan hukum itu justru akan merugikan boedel, maka kerugian itu
tidak mengikat boedel.
Kepailitan Badan Hukum Perseroan Terbatas di Indonesia tidak secara
otomatis terhentinya operasional perseroan. Pernyataan Pailit Perseroan
Terbatas membuat perseroan sebatas kehilangan haknya untuk mengurus dan
menguasai harta kekayaan perseroan tersebut. Pendapat ini dkuatkan dengan
berlandaskan pada beberapa hal sebagai berikut :
1. Pasal 143 ayat 1 UUPT, menjelaskan bahwa :
Pasal 143
(1) Pembubaran
Perseroan
tidak
mengakibatkan
Perseroan kehilangan status badan hukum sampai
dengan selesainya likuidasi dan pertanggungjawaban
likuidator diterima oleh RUPS atau pengadilan.
(2) Sejak saat pembubaran pada setiap surat keluar
Perseroan dicantumkan kata “dalam Likuidasi” di
belakang nama Perseroan.

Pasal ini berkaitan dengan pasal sebelumnya bahwa salah satu
penyebab pembubaran adalah disebabkankan karena berada pada keadaan
pailit yangmana keadaan pailit dapat terjadi karena dicabutnya kepailitan
berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dan karena telah dinyatakan Insolvensi. Dengan demikian
Pembubaran perseroan, seperti yang diatur dalam Pasal 142 butir 4, yang
dimaksud dalam Pasal 143 UUPT tersebut pun harus memperhatikan
ketentuan-ketentuan yang berlaku di dalam Undang-Undang Kepailitan
dan PKPU No. 37 tahun 2004.

12

Pembubaran perseroan terbatas yang dimaksud dalam Pasal 142
butir 1 huruf d dan e UUPT, proses dan pemberesannya haruslah sesuai
dengan UU Kepailitan dan PKPU. Pada Pembubaran yang demikian ini,
bahwa Pembubaran yang dimaksud adalah penghentian operasional
Perseroan Terbatas yang dilakukan oleh organ-organ Perseroan yang
meliputi RUPS, Anggota Direksi, dan Dewan Komisaris, bukanlah berupa
Pembubaran Badan Hukum perseroan terbatas Peran organ-organ
perseroan tersebut berdasarkan pasal 16 dan pasal 21 UU Kepailitan dan
PKPU, diambil alih oleh Kurator dan Hakim Pengawas untuk melakukan
Pemberesan harta pailit dan atau melanjutkan operasional perseroan
terbatas

dengan

pertimbangkan

lebih

mengutungkan

daripada

menghentikan operasional perseroan terbatas, kecuali apabila terjadi
pencabutan kepailitan akibat tidak ada kemampuan membayar Debitor
untuk membayar biaya kepailitan maka bersamaan dengan itu dilakukan
penghentian

tugas

dan

wewenang

Kurator

dalam

kegiatannnya,

pemberesan dan penyelesaian kewajiban perseroan dilakukan oleh
likuidator seperti halnya diatur dalam pasal 143 butir 4 UUPT.
Dari ketiga organ perseroan, yang sangat berperan penting dalam
operasional badan hukum perseroan terbatas adalah Direksi. Sebagai
organ dari perseroan, keberadan direksi bergantung sepenuhnya pada
keberadaan perseroan, dan sebaliknya perseroan baru dapat menjalankan
kegiatannya jika ada direksi yang mengurus dan mengelolanya. Sebagai
suatu badan hukum, perseroan terbatas dianggap seolah-olah sebagai suatu

person atau subyek hukum tersendiri (artificial person) yang mandiri
sehingga mempunyai hak untuk menjadi pemegang hak dan kewajibannya
sendiri, sedangkan Direksi sebagai bagian dari organ Perseroan Terbatas
adalah satu-satunya organ Perseroan yang berhak dan berwewenang untuk

13

mewakili Perseroan, sebenarnya hanyalah sub dari suatu subyek hukum
yang bernama Perseroan Terbatas.6
Dari pengertian di atas maka dalam melakukan kewajibannya
untuk

melakukan

pengurusan

perseroan

maka

ada

pembatasan

kewenangan bagi Direksi bahwa ia tidak diperkenankan untuk bertindak
diluar maksud dan tujuan dari perseroan serta untuk melakukan tindakan
yang berada di luar kewenangannya sebagaimana ditentukan di dalam
Undang-Undang Perseroan Terbatas, Anggaran Dasar, dan Peraturan lain
yang berlaku. Dengan dipenuhinya syarat-syarat pembatasan kewenangan
yang berlaku maka setiap tindakan yang dilakukan oleh anggota Direksi
Perseroan akan dianggap tetap mengikat perseroan. Ini berarti perseroan
harus tetap menanggung segala akibat hukumnya sehingga berdasarkan
hal ini maka untuk menciptakan kepastian hukum mengenai kewenangan
bertindak untuk dan atas nama perseroan, pada banyak negara telah
diberlakukan

mekanisme

keterbukaan

(disclosure)

tertentu

yang

mewajibkan perseroan untuk mengumumkan kewenangan bertindak
Direksi dan setiap anggotanya termasuk pihak-pihak lainnya yang
ditunjuk atau diberi kuasa untuk bertindak untuk dan atas nama perseroan
serta pembatasan kewenang-kewenangannya.
Dari sinilah makna yang sebenarnya dari pembubaran Perseroan
Terbatas sebagai akibat dari Kepailitan yang diatur dalam Pasal 142 butir
1 huruf d dan e UUPT. Dengan pemberhentian tugas dan wewenang organ
PT, termasuk yang sangat penting adalah Direksi n. dalam menjalankan
operasional Perseroan Terbatas. Sedang Pembubaran BADAN HUKUM
perseroan terbatas dilaksanakan setelah segala urusan dan pemberesan
kewajiban telah diselesaikan secara keseluruhan terhadap Kreditor
maupun pihak ketiga. Pembubaran Badan Hukum ini melalui mekanisme
yang diatur dalam UUPT. Setelah segala sesuatu mengenai pemberesan
6

Munir Fuady, Ibid. Hal. 86

14

dan penyelesaian kewajiban terhadao Kreditor maupun Pihak Ketiga
selesai, RUPS sebagai organ tertinggi Perseroan Terbatas, kembali pada
fungsi, tugas dan wewenangnya untuk melakukan langkah-langkah
pembubaran Badan Hukum.
2. Pasal 104 UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang
Pasal 104
(1) Berdasarkan persetujuan panitia kreditor
sementara, Kurator dapat melanjutkan usaha
Debitor yang dinyatakan pailit walaupun
terhadap putusan pernyataan pailit tersebut
diajukan kasasi atau peninjauan kembali.
(2) Apabila dalam kepailitan tidak diangkat
panitia kreditor, Kurator memerlukan izin
Hakim Pengawas untuk melanjutkan usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Sebelumnya kita sudah mengetahui mengenai pembubaran
perseroan terbatas akibat dari kepailitan yang diatur dalam UUPT.
Mengingat segala apa yang diatur dalam UUPT mengenai pembubaran
perseroan terbatas khususnya yang disebabkan karena kepailtan harus
mempertimbangkan dan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang Kepailitan maka bertolak dari hal tersebut pada
esensinya bahwa tidak setiap perseroan yang dinyatakan pailit baik karena
dicabutnya kepailitan berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dan karena telah dinyatakan Insolvensi,
selalu dibubarkan baik pengertian berhenti operasionalnya maupun
pembubaran Badan hukum Perseroan Terbatas, tersebut.
Peluang untuk tidak dibubarkan dan tidak berhenti operasional
Perseroan Terbatas ini diberikan dalam ketentuan UU Kepailitan dan
PKPU pada Pasal 104, yaitu dengan persetujuan Panitia Kreditor, Kurator,

15

bahkan walaupun terhadap putusan pernyataan pailit tersebut diajukan
kasasi atau Peninjauan Kembali. Dalam kepailitan badan hukum Perseroan
Terbatas, beroperasi atau tidaknya perseroan setelah putusan pailit
dibacakan tergantung pada cara pandang kurator terhadap prospek usaha
perseroan pada waktu yang akan datang.
Berdasarkan pasal 104 di atas dapat disimpulkan bahwa Kepailitan
Badan Hukum Perseroan Terbatas di Indonesia tidak secara otomatis
membuat perseroan kehilangan haknya untuk mengurus dan menguasai
harta kekayaan perseroan tersebut karena Kepailitan Perseroan Terbatas
menurut Hukum di Indonesia tidak menyebabkan terhentinya operasional
Perseroan. Akan tetapi dalam hal perusahaan yang dilanjutkan ternyata
tidak berprospek dengan baik, maka hakim pengawas akan memutuskan
untuk menghentikan beroperasinya perseroan terbatas dalam permohonan
seorang Kreditor.
Pasal tersebut di atas tidak berlaku apabila di dalam rapat
pencocokan piutang tidak ditawarkan perdamaian atau jika rencana
perdamaian yang ditawarkan tidak diterima atau pengesahan perdamaian
ditolak sehingga demi hukum harga pailit berada dalam keadaan
insolvensi. Kurator yang hadir dalam rapat mengusulkan supaya
perusahaan debitur pailit dilanjutkan (Pasal 179 ayat (1)) dan usul tersebut
hanya dapat diterima apabila usul tersebut disetujui oleh para kreditor
yang mewakili lebih dari ½ (setengah) dari semua piutang yang diakui dan
diterima dengan sementara yang tidak dijamin dengan hak gadai, jaminan
fiducia, hak tanggungan, hipotik atau hak agunan atas kebendaan lainnya
(Pasal 180 ayat (1)).
Walaupun syarat-syarat seperti di atas telah terpenuhi, tetap
beroperasi tidaknya suatu badan hukum perseroan masih harus tetap
mendapatkan persetujuan dari Hakim Pengawas dalam suatu rapat yang
dihadiri oleh Kurator, Debitur dan Kreditor, yang diadakan khusus untuk

16

membahas atas usul kreditor sebagaimana tersebut di dalam Pasal 179
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 180 ayat (1), Pasal 183 UUK & PKPU.
Dengan pertimbangan tetap beroperasinya usaha dari perseroan
terbatas pailit maka dimungkinkan adanya keuntungan yang akan
diperoleh diantaranya yaitu :
1. Dapat menambah harta si pailit dengan keuntungan-keuntungan yang
mungkin diperoleh dari perusahaan itu.
2. Ada kemungkinan lambat laun si pailit akan dapat membayar utangnya
secara penuh.
3. Kemungkinan tercapai suatu perdamaian.
3. Asas Kelangsungan Usaha
Pada penjelasan Undang-undang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, memberi peluang bagi perusahaan yang
menurut penilaian Kurator, Panitia Kreditor dan atas ijin Hakim Pengawas
masih memiliki Prospek Usaha yang Baik, dapat tetap dilangsungkan.
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, tidak semata-mata bertujuan untuk
memenuhi kepentingan-kepentingan Kreditor atas utang-utang Debitor
saja, tetapi lebih dari pada itu, nilai-nilai dasar yang terkadung dalam asasasas UU Kepailitan dan PKPU ini, ditujukan untuk melindungi seluruh
kepentingan-kepentingan para pihak dan bahkan dengan pertimbangan
untuk kepentingan ekonomi nasional atau kepentingan negara.
Ada beberapa tujuan yang terkandung dalam asas-asas dari UU
Kepailitan dan PKPU, menurut Sutan Remy Syahdeni antara lain :7
1. Undang-Undang Kepailitan harus dapat mendorong kegairahan
investasi asing, mendorong pasar modal, dan memudahkan perusahaan
Indonesia memperoleh kredit luar negeri;
7

Sutan Remy, Sjahdeini. 2002. Hukum Kepailitan Memahami Faillissementsverordening
Juncto Undang-undang No.4 Tahun 1998,Cet.1, Pustaka Utama Grafiti: Jakarta, hal. 38.

17

2. Putusan pernyataan pailit seyogianya berdasarkan persetujuan para
kreditor mayoritas;
3. Permohonan pernyataan pailit seyogianya hanya dapat diajukan
terhadap Debitor yang insolven yaitu tidak membayar utangutangnya
kepada kreditor mayoritas;
4. Undang-undang Kepailitan harus mengakui hak separatis dari kreditor
pemegang hak jaminan
5. Undang-undang kepailitan harus memberikan perlindungan yang
seimbang bagi kreditor dan Debitor;
6. Undang-undang Kepailitan seyogianya memungkinkan utang debitor
diupayakan

direstrukrisasi

terlebih

dahulu

sebelum

diajukan

permohonan pernyataan pailit;
Asas Kelangsungan usaha ini, bermaksud untuk melindungi
kepentingan Debitor Pailit atas kepentingan beberapa Kreditor yang
menghendaki segera diselesaikan utang-utang debitor kepadanya setelah
jatuh tempo. Demi hukum sejak Debitor dinyatakan pailit secara otomatis
kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurusi kekayaan yang
termasuk dalam harta pailit (Pasal 24 ).
Kemudian jika kita mencerna ketentuan yang mengatur mengenai
syarat-syarat Debitor pailit pada pasal 2 ayat 1, demikian sederhana, yaitu:
1. Debitor terhadap siapa permohonan itu diajukan harus paling sedikit
mempunyai dua kreditor atau dengan kata lain harus memiliki lebih
dari satu kreditor;
2. Debitor tidak membayar sedikitnya satu utang kepada salah satu
kreditornya;
3. Utang yang tidak dibayar itu harus telah jatuh waktu dan telah dapat
ditagih.
Menurut Sutan Remy harus dibedakan antara pengertian kreditor
dalam kalimat :

18

“…….mempunyai dua atau lebih kreditor …….”dan kreditor
dalam kalimat “……….atas permintaan seseorang atau lebih
kreditornya”
Yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004. Kalimat yang pertama adalah untuk mensyaratkan bahwa
debitor tidak hanya mempunyai utang kepada satu kreditor saja. Dengan
demikian, pengertian kreditor di sini adalah untuk mensyaratkan bahwa
debitor tidak hanya mempunyai utang kepada satu kreditor saja. Dengan
demikian, pengertian kreditor di sini adalah menunjuk pada sembarang
kreditor, yaitu baik kreditor konkuren maupun kreditor preferen. Yang
ditekankan di sini adalah keuangan kreditor bukan bebas dari utang, tetapi
memikul beban kewajiban membayar utang-utang.
Sedangkan maksud kalimat yang kedua adalah untuk menentukan
bahwa permohonan pailit dapat diajukan bukan saja oleh debitor sendiri
tetapi juga oleh kreditor. Kreditor yang dimaksud di sini adalah kreditor
konkuren. Mengapa harus kreditor konkuren adalah karena seorang
kreditor preferen atau separatis pemegang hak-hak jaminan tidak
mempunyai kepentingan untuk diberi hak mengajukan permohonan
pernyataan pailit mengingat kreditor separatis telah terjamin sumber
pelunasan tagihannya yaitu dari barang-barang yang telah dibebani dengan
hak jaminan.8
Syarat kedua permohonan pailit adalah adanya suatu “utang”. Kata
utang (diambil dari kata Gotisch “skulan” atau “sollen”)77. Pada mulanya
harus dikerjakan menurut hukum, sehingga utang dalam pengertian ini
merupakan hal yang dapat timbul pada kedua belah pihak. Dalam
Perikatan, kewajiban (pemenuhan prestasi) yang harus dijalankan menurut
hukum dan merupakan tagihannya yang dapat dimintakan ganti rugi bila
8

Sutan Remy, Ibid, hal. 67.

19

tidak dipenuhi oleh si debitor, sehingga si berpiutang atau kreditor
memiliki piutang (inschuld) dan hak atas tuntutan ganti rugi, sementara
pada pihak si berutang atau debitor memiliki utang (uitschuld) dan
tanggungjawab atas tuntutan gantirugi (haftung).
Menurut Sutan Remy9, rumusan Pasal 2 ayat (1) UUK tersebut
tidak sejalan dengan asas hukum kepailitan yang umum berlaku secara
global. Seharusnya tidaklah cukup hanya disyaratkan bahwa Debitor
memiliki lebih dari satu Kreditor saja (mempunyai dua atau lebih
kreditor). Tetapi harus disyaratkan pula bahwa utang-utang kepada para
kreditor yang lain haruslah pula telah jatuh waktu dan dapat ditagih serta
tidak dibayar. Artinya, debitor harus dalam keadaan insolven. Seperti telah
dikemukakan di atas bahwa debitor harus telah berada dalam keadaan
berhenti membayar kepada satu atau dua orang kreditor saja. Sedangkan
kepada kreditor lainnya Debitor masih melaksanakan kewajiban
pembayaran utang-utangnya dengan baik. Dalam hal Debitor hanya tidak
mambayar kepada satu atau dua orang Kreditor saja, sedangkan kepada para
Kreditor yang lain Kreditor masih mambayar utangutangnya, maka terhadap
Debitor tidak dapat diajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga
tetapi diajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri.

Ada sebuah contoh yang sangat menarik mengenai putusan pailit
Pengadilan Niaga terhadap suatu perusahaan yang masih solven hanya
berdasarkan

dalih

bahwa

perusahaan

tersebut

tidak

membayar

kewajibannya kepada salah satu kreditor tertentu saja, sekalipun kepada
Kreditor-Kreditor

lainnya

perusahaan

tersebut

masih

memenuhi

kewajiban-kewajibannya dengan baik. Putusan yang dimaksud adalah
Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.
10/PAILIT/2000/PN.NIAGA.JKT.PST tanggal 13 Juni 2002 itu, yang
9

Sutan Remy, hal. 75.

20

menyatakan PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (PT. AJMI) pailit.
Putusan tersebut telah memicu reaksi yang keras tidak saja dari dalam
negeri, tetapi juga dari dunia internasional.
III. Penutup
1. Kepailitan Badan Hukum Perseroan Terbatas adalah kepailitan dirinya
sendiri bukan kepailitan para pengurusnya, walaupun kepailitan itu terjadi
karena adanya kelalaian dari para pengurusnya. Sehingga seharusnya
pengurus tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya secara tanggung
renteng atas adanya kerugian karena kelalaiannya dan hanya dapat
dimintai pertangungjawaban apabila kekayaan perseroan tidak cukup
untuk menutup kerugian akibat kepailitan (Pasal 90 ayat (2) UUPT).
2. Pembubaran perseroan yang dimaksud dalam pasal 142 butir 1 huruf d
dan e, adalah penghetian kegiatan perseroan terbatas yang dilakukan oleh
organ-organ PT yang meliputi RUPS, Direksi dan Dewan Direksi,
Perseroan Terbatas yang telah dinyatakan dalam keadaan Insolvensi wajib
mencantumkan

“Likuidasi”

dibelakang

nama

Perseroan Terbatas.

Sedangkan Badan Hukum PT, tidak secara otomatis bubar (Pasal 143 ayat
1). Pembubaran Badan Hukum PT tetap mengunakan prosedur RUPS
sebgai organ tertinggi dalam PT. Pelaksanaan Pembubaran Badan Hukum
PT dilaksanakan setelah pengurusan dan pemberesan perseroan telah
selesai dilaksanakan.
3. Pembubaran perseroan terbatas setelah putusan pailit dibacakan hanya
dapat dimintakan penetapan pengadilan oleh kreditor dengan alasan
perseroan tidak mampu membayar hutangnya setelah dinyatakan pailit
atau harta kekayaan perseroan tidak cukup untuk melunasi seluruh
hutangnya setelah pernyataan pailit dicabut. Hal mana juga ditegaskan di
dalam penjelasan UUK dan PKPU bahwa asas di dalam Undang-undang
ini di antaranya adalah asas kelangsungan usaha yang artinya bahwa
kepailitan tidak demi hukum menjadikan perseroan bubar.

21

4. Kelanjutan usaha dari perseroan terbatas pailit tergantung dari cara
pandang Kurator serta kreditur atas prospek usaha debitur pailit di masa
datang, kepailitan perseroan terbatas demi hukum tidak membubarkan
perseroan terbatas. Dengan mempertimbangkan ketentuan Pasal 104 dan
Asas Kelangsungan Usaha, maka Kurator bersama-sama Panitia Kreditor
dengan persetujuan Hakim Pengawas, dapat mengusulkan agar PT yang
telah dinyatakan Insolensi dapat tetap melangsungkan Usaha. Jika
dianggap Perseroan Terbatas tersebut masih memilik Prospek Bisnis yang
menguntungkan.

22

DAFTAR PUSTAKA
Agus Budiarto, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan
Terbatas, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002;
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis – Kepailitan, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2002;
Imran Nating, Peranan dan Tanggungjawab Kurator Dalam Pengurusan dan
Pemberesan Harta Pailit, Raja Grafindo, Persada, Jakarta, 2004;
Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Edisi Revisi, Bandung ;
Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2005;
R. Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan,
Koperasi, Yayasan, Wakaf, Alumni, Bandung, 2002;
Sutan

Remy,
Sjahdeini.
2002.
Hukum
Kepailitan
Memahami
Faillissementsverordening Juncto Undang-undang No.4 Tahun 1998,Cet.1,
Pustaka Utama Grafiti: Jakarta

23