Teori Kebijakan Publik Ilmu Politik Faku

Teori Kebijakan Publik
Analisa Undang-Undang No. 12 Tahun 2011

Disusun oleh:
Anjani Nur Permatasari 170810150027
Muhammad Arief Virgy 170810150050

Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Padjadjaran

Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 merupakan Undang-Undang yang berisikan
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Undang-Undang ini bisa dikatakan
sebagai panutan bagi terciptanya kebijakan-kebijakan baru lainnya. Pasalnya, UndangUndang ini memuat tata cara bagaimana sebuah aturan (Perundang-Undangan) terbentuk.
Dimulai dari konsep, proses, sampai terselesaikan pembuatannya semua dikemas dalam
Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tersebut. Seperti apa tahapan-tahapan suatu UndangUndang dapat terbentuk? Berikut penjabarannya.

Tahapan-Tahapan Pembentukan Peraturan PerundangUndangan
Secara keseluruhan, tahapan-tahapan pembentukan perundang-undangan terdiri dari
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan terakhir,
pengundangan.

Perencanaan Perundang-Undangan
Bagian yang mengindikasikan pembentukan perundang-undangan diawali dengan
sebuah perencaan penyusunan yang dikemas secara runtun dalam Bab IV di Pasal 16 sampai
dengan Pasal 23. First of all, perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam
Prolegnas dengan skala prioritas yang didasarkan atas perintah Undang-Undang Dasar 1945,
perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, perintah Undang-Undang lainnya,
sistem perencanaan pembangunan nasional, rencana pembangunan jangka panjang nasional
dan jangka menengah, rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR, serta aspirasi dan
kebutuhan hukum masyarakat. Delapan perintah dan pertimbangan inilah yang akan menjadi
latar belakang terciptanya sebuah kebijakan yang nantinya disahkan sebagai Undang-Undang.

Prolegnas sebagimana yang telah disebutkan ini akan memuat program pembentukan
Undang-Undang dengan judul “Rancangan Undang-Undang” atau yang kita kenal sebagai
“RUU”. Dalam RUU berisi materi yang telah diatur, dan memiliki keterkaitan dengan
peraturan perundang-undangan lainnya. Materi yang diatur dalam RUU telah melalui
pengkajian dan penyelarasan (yang kemudian dituangkan dalam Naskah Akademik) meliputi
keterangan mengenai konsepsi Rancangan Undang-Undang (yang meliputi latar belakang dan
tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan, serta jangkauan dan arah pengaturan).

Aktor dalam penyusunan Prolegnas dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah. Hal ini

tercantum di dalam Pasal 20 yang memuat tentang penyusunan Prolegnas secara detail.
Prolegnas ini nantinya ditetapkan untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala
prioritas pembentukan RUU yang dilakukan setiap awal masa keanggotaan DPR untuk
jangka waktu 5 tahun. Setiap akhir tahun sebelum penetapan RUU APBN, Prolegnas jangka
menengah dapat dievaluasi bersamaan dengan penyusunan dan penetapan Prolegnas Prioritas
Tahunan.
Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR dikoordinasikan oleh DPR yang khusus
menangani bidang legislasi dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, anggota
DPR, DPD, dan/atau masyarakat (Hal ini diatur dalam Peraturan DPR).

Sedangkan,

Penyusunan Prolegnas di lingkungan pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum (diatur dalam Peraturan Presiden).
Nantinya, hasil penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah sebagaimana dijelaskan di
awal paragraf ini kemudian disepakati menjadi Prolegnas dan ditetapkan dalam Rapat
Paripurna DPR.
Lantas apa saja yang dimuat dalam daftar kumulatif Prolegnas? (Dimuat dalam Pasal 23)
-


Pengesahan perjanjian internasional

-

Akibat putusan mahkamah konstitusi

-

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota;

-

Penetapan/pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas
mencakup; a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan b.
keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan
Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus
menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di

bidang hukum.
Penyusunan Perundang-Undangan
Tahap kedua setelah perencanaan adalah Penyusunan Perundang-Undangan yang
tercantum di dalam Bab V mulai dari pasal 43 hingga pasal 50. Didalam nya tertulis
Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR atau Presiden. Rancangan Undang-

Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik.yang
memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur. Penyusunan Naskah Akademik
Rancangan Undang- Undang dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik.
Adapun Rancangan Undang-Undang, baik yang berasal dari DPR maupun Presiden
serta Rancangan Undang- Undang yang diajukan DPD kepada DPR disusun berdasarkan
Prolegnas. RUU yang diajukan oleh DPD meliputi:
a. otonomi daerah;
b. hubungan pusat dan daerah;
c. pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah;
d. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; dan
e. perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Rancangan Undang-Undang dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan
komisi, atau alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi atau DPD.
Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang

berasal dari DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang
legislasi. Selanjutnya, Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan
oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian sesuai dengan lingkup
tugas dan tanggung jawabnya.
Rancangan Undang-Undang dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan
DPD kepada pimpinan DPR dan harus disertai Naskah Akademik. Usulan RUU disampaikan
oleh DPD kepada alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi untuk
dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan UndangUndang. Alat kelengkapan yang dimaksudkan dalam melakukan pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang dapat mengundang
pimpinan alat kelengkapan DPD yang mempunyai tugas di bidang perancangan UndangUndang untuk membahas usul Rancangan Undang-Undang.
Kemudian, alat kelengkapan yang dimaksud menyampaikan laporan tertulis mengenai
hasil pengharmonisasian kepada pimpinan DPR untuk selanjutnya diumumkan dalam rapat
paripurna. Selanjutnya, Rancangan Undang-Undang dari DPR ini disampaikan dengan surat
pimpinan DPR kepada Presiden. Lantas, Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk
membahas Rancangan Undang-Undang bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60
(enam puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima. Menteri yang dimaksud
bertugas mengoordinasikan persiapan pembahasan dengan menteri

yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Setelah itu, Rancangan Undang-Undang dari Presiden diajukan dengan surat Presiden

kepada pimpinan DPR (semacam siklus bolak-balik). Surat Presiden tersebut memuat
penunjukan menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan
Rancangan Undang-Undang bersama DPR. Kemudian DPR mulai membahas Rancangan
Undang-Undang dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat
Presiden diterima. Untuk keperluan pembahasan Rancangan Undang- Undang di DPR,
menteri atau pimpinan lembaga pemrakarsa memperbanyak (meng-copy) naskah Rancangan
Undang-Undang tersebut dalam jumlah yang diperlukan.
Apabila dalam satu masa sidang DPR dan Presiden menyampaikan RUU mengenai
materi yang sama, maka yang dibahas adalah Rancangan Undang-Undang yang disampaikan
oleh DPR. Rancangan Undang-Undang yang disampaikan Presiden digunakan sebagai bahan
untuk dipersandingkan saja.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang
Tahap selanjutnya ialah Pembahasan Rancangan Undang-Undang yang tertuang dalam
Pasal 65 hingga Pasal 71. Dikatakan bahwa Pembahasan Rancangan Undang-Undang
dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi, yang berkaitan dengan
urusan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; dan
perimbangan keuangan pusat dan daerah (dilakukan dengan mengikutsertakan DPD). Peran
DPD disini adalah memberikan pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Rancangan Undang-Undang yang

berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Pembahasan Rancangan Undang-Undang
dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan, terdiri atas:
-

pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan
Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus; dan

-

pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna.

DPR memberikan penjelasan dan Presiden menyampaikan pandangan jika Rancangan
Undang- Undang berasal dari DPR, kemudian DPR memberikan penjelasan serta Presiden
dan DPD menyampaikan pandangan soal bagaimana RUU tersebut, selanjutnya Presiden
akan memberikan penjelasan, atau Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan DPD
menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan

kewenangan DPD berasal dari Presiden. Dalam hal persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat, pengambilan
keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak. Sedangkan, dalam hal Rancangan

Undang-Undang tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, Rancangan
Undang-Undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
Rancangan Undang-Undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPR dan
Presiden namun tetap harus berdasarkan persetujuan bersama DPR dan Presiden.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang- Undang dilaksanakan melalui mekanisme khusus. Rancangan UndangUndang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diajukan oleh
DPR atau Presiden pada saat Rapat Paripurna DPR.

Pengesahan/Penetapan Rancangan Undang-Undang hukumonline.com
Tahap selanjutnya ialah Pengesahan atau Penetapan. Rancangan Undang-Undang
yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada
Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang yang dilakukan dalam jangka waktu paling
lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Selanjutnya, Rancangan
Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 disahkan oleh Presiden dengan
membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Jika
Rancangan Undang-Undang nya tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama
30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama,
maka Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib
diundangkan.

Berbicara soal pengesahannya, Rancangan Undang-Undang memuat kalimat
pengesahan yang berbunyi “Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal
20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. “. Kalimat
pengesahan ini harus dibubuhkan pada halaman terakhir Undang-Undang sebelum
pengundangan naskah Undang-Undang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Kemudian, dalam setiap Undang-Undang harus dicantumkan batas waktu penetapan
Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya sebagai pelaksanaan Undang- Undang tersebut.

Pengundangan
Sampailah kita pada tahap terakhir pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu Tahap
Pengundangan. Apa saja yang dibicarakan pada tahap terakhir ini? Pertama, Peraturan
Perundang-Undangan harus di-publikasikan agar setiap orang mengetahui nya melalui;
- Lembaran Negara Republik Indonesia;
- Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia;
- Berita Negara Republik Indonesia;
- Tambahan Berita Negara Republik Indonesia;
- Lembaran Daerah;
- Tambahan Lembaran Daerah; atau
- Berita Daerah.
Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia, meliputi:
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah;
- Peraturan Presiden; dan
- Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Akhir kata, Peraturan Perundang-undangan mulai diberlakukan dan mempunyai kekuatan
yang mengikat pada tanggal peraturan tersebut diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam
Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.

Analisa Terhadap Teori
Sudah disebutkan bahwasannya Proses Pembuatan Kebijakan Publik khususnya di
Indonesia telah diatur sedemikian rupa oleh Konstitusi, tepatnya diatur oleh Undang-Undang
No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dijelaskan di
dalam undang-undang tersebut bahwa Proses Pembuatan Kebijakan Publik yang
direpresentasikan melalui suatu undang-undang dibuat melalui serangkaian proses,
diantaranya diawali dari Perancangan Perundang-Undangan, Penyusunan PerundangUndangan, Pembahasan Rancangan Undang-Undang, Pengesahan/Penetapan UndangUndang, hingga Pengundangan. Melihat serangkaian proses tersebut, tak lengkap rasanya bila

kita tidak membandingkan dengan teori yang ada, terlebih sebagai mahasiswa Ilmu Politik
yang memerlukan suatu analisa kuat terhadap perkara Proses Pembuatan Kebijakan Publik.

Adapun teori Proses Pembuatan Kebijakan Publik yang ingin kita compare dengan
serangkaian proses pembuatan kebijakan (baca: undang-undang) adalah teori menurut
William Dunn.
Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks karena
melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu beberapa ahli
politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik membagi proses-proses
penyusunan kebijakan publik kedalam beberapa tahap. Tujuan pembagian seperti ini adalah
untuk memudahkan kita dalam mengkaji kebijakan publik. Namun demikian, beberapa ahli
mungkin membagi tahap-tahap ini dengan urutan yang berbeda. Tahap-tahap kebijakan
publik menurut William Dunn sebagaimana dikutip Budi Winarno (2007: 32-34) adalah
sebagai berikut:
a) Tahap penyusunan agenda
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik.
Sebelumnya masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk dalam agenda
kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus
kabijakan. Pada tahap ini mungkin suatu masalah tidak disentuh sama sekali, sementara
masalah yang lain ditetapkan menjadi fokus pembahasan, atau ada pula masalah karena
alasan-alasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama.
b) Tahap formulasi kebijakan
Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat
kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah
terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan
(policy alternatives/policy options) yang ada. Dalam perumusan kebijakan masing-masing
alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan
masalah. Dalam tahap ini masing-masing aktor akan bersaing dan berusaha untuk
mengusulkan pemecahan masalah terbaik.

c) Tahap adopsi kebijakan
Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada
akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari
mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau putusan peradilan.
d) Tahap implementasi kebijakan
Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit jika program tersebut tidak
diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen
pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit
administrasikan yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia. Pada tahap
implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa implementasi
kebijakan mendapat dukungan para pelaksana (implementors), namun beberapa yang lain
mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.
e) Tahap evaluasi kebijakan
Dalam tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi, unuk
melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan, yaitu
memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu ditentukan ukuran-ukuran
atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik yang telah
dilaksanakan sudah mencapai dampak atau tujuan yang diinginkan atau belum.
Dari kelima proses pembuatan kebijakan publik menurut William Dunn, prosesproses tersebut sebenarnya sudah tercakup dengan baik melalui Undang-Undang No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pertama tahap
penyusunan agenda dimana isu-isu yang berkembang diangkat sedemikian rupa hingga
dirasakan urgenitas untuk mengakomodasi isu tersebut. Pasal 17 berbunyi “Prolegnas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 merupakan skala prioritas program pembentukan
Undang- Undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional”. Artinya, setiap isu-isu
yang berkembang dalam masyarakat tidaklah seluruhnya diproses hingga menjadi suatu
kebijakan. Isu yang dirasa urgent menempati skala prioritas pertama untuk ditindaklanjuti
segera.
Kedua tahap formulasi kebijakan. Setelah dipilih salah satu isu yang dianggap urgent untuk
diakomodasi adanya, maka masuklah pada tahap formulasi kebijakan dimana tahap ini

merupakan agenda pembahasan dari isu yang dianggap urgent. Dengan rasionalisasi yang
jelas masalah tersebut dicari akar permasalahannya hingga mencapai suatu formula yang
dapat teratasi oleh suatu kebijakan (baca: undang-undang). Bab IV tentang Perencanaan
Peraturan Perundang-Undangan khususnya pada pasal 19 ayat 2 berbunyi “Materi yang diatur
dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan keterangan mengenai konsepsi Rancangan Undang-Undang yang
meliputi:
a. latar belakang dan tujuan penyusunan;
b. sasaran yang ingin diwujudkan; dan
c. jangkauan dan arah pengaturan

Dan pada pasal 19 ayat 3 berbunyi “Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah
Akademik”. Tercerminkan dari ayat-ayat tersebut bahwasanya isu yang ingin diangkat dikaji
terlebih dahulu. Apabila dalam riset terkait dengan suatu isu yang dianggap urgent tersebut
terinkidasi bahwa isu tersebut penting untuk diangkat oleh para perumus kebijakan, maka isu
tersebut diangkat ke level yang lebih lanjut. Tentunya untuk mengangkat isu tersebut menjadi
isu yang penting diakomodasi, diperlukan suatu usaha agar dapat memenangkan ‘kompetisi’
dari rival untuk memenangkan hati sang perumus kebijakan.
Selanjutnya adalah tahap adopsi kebijakan. Setelah mendapatkan isu yang dianggap urgent
untuk diakomodasi, maka isu tersebut diuji coba terlebih dahulu melalui suatu rancangan
undang-undang yang dibuat oleh perumus kebijakan. Adapun pasal yang mengatur jalan
teknisnya prosedur rancangan undang-undang adalah pasal 43 hingga pasal 51.
Tahap 4 adalah tahap implementasi kebijakan. Dalam hal ini, pengesahan suatu undangundang merupakan representasi dari implementasi suatu kebijakan.

Dalam tahap

implementasi kebijakan menghasilkan pemenang dan pecundang. Adanya pemenang dan
pecundang dikarenakan ada pihak yang merasa diuntungkan dengan adanya undang-undang
tersebut dan ada pihak yang merasa dirugikan dikarenakan adanya undang-undang tersebut.
Terkait dengan pasal mana yang mengatur tentang pengesahan suatu undang-undang, ada
terdapat dalam pasal 72 hingga pasal 74.
Namun, khususnya terkait dengan tahap evaluasi kebijakan, kami tidak menemui bahwasanya
undang-undang ini mencakup tahap tersebut. Kami hanya melihat bahwa undang-undang ini

hanya mencakup tahap penyusunan agenda (formulasi) hingga implementasi kebijakan
(penetapan perundang-undangan). Menilik bahwa Undang-Undang ini merupakan UndangUndang khusus tentang pembuatan kebijakan, kami berpendapat bahwa wajar saja jika
undang-undang ini tidak mencakup tahap evaluasi secara mendetil. Hal itulah yang
menyebabkan kurang nya evaluasi secara lebih spesifik terhadap kebijakan-kebijakan yang
telah di-undang-kan. Kami berpendapat bahwa tahap evaluasi dalam tiap-tiap Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia masih kurang berjalan dengan baik karena masih banyak
pasal-pasal yang multitafsir maupun ketidak-spesifik-an terhadap tahapan evaluasi. Jadi, jika
di-compare dengan gagasan William Dunn, maka Undang-Undang No.12 Tahun 2011 belum
terlalu ideal sebagai peraturan.
Lain nama, lain kebiasaan. Lain hal, lain cerita. Diangkat dari pemikiran James
Anderson yang berpendapat bahwa Kebijakam Publik merupakan serangkaian tindakan yang
mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dengan sekelompok orang guna memecahkan suatu
masalah. Artinya, kebijakan yang dibuat seringkali dibuat dari beberapa aktor yang terlibat;
tidak hanya satu aktor saja. Buktinya ialah hampir semua pasal dan bab dalam perundangundangan ini menyebutkan banyak pihak; mulai dari Pesiden,Wakil Presiden, Menteri, DPR,
DPD, maupun rakyat. Seperti yang telah tercantum dalam Pasal 18 Bab IV. Berarti, UndangUndang No.12 Tahun 2011 ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh James Anderson.
Dan kami berdua berpendapat bahwa dalam konteks ini, UU No.12 Tahun 2011 sudah cukup
ideal jika dibandingkan dengan teori milik James Anderson tersebut. Pasalnya, jika kebijakan
dibuat secara transparansi dan melibatkan banyak aspek, maka kepentingan segelintir orang
(paling tidak) bisa dihilangkan dan ‘suara-suara’ dari banyak pihak pun bisa terakomodasi.

DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang No.12 Tahun 2011
Budi Winarno. 2007. Kebijakan Publik: Teori dan Proses (edisi revisi). Jakarta: Media
Pressindo.
William Dunn. 1998. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press