SLAMETAN UPACARA DAUR HIDUP SIKLUS HIDUP

UPACARA DAUR HIDUP (SIKLUS HIDUP) DALAM MASYARAKAT JAWA

Disusun sebagai Makalah untuk Tugas Kuliah
Mata Kuliah Sosiologi Keagamaan
Dosen Pengampu: Dr. Yustinus Slamet Antono

Oleh:
Alb. Irawan Dwiatmaja
NIM: 120510004

PROGRAM STUDI ILMU FILSAFAT
FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS KATOLIK ST. THOMAS SUMATERA UTARA
2014
0

PENGANTAR
Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang sangat sopan dan halus. Hal ini dapat
kita lihat dari setiap tindak tanduknya dalam kehidupannya. Masyarakat Jawa sangat menjunjung
tinggi aspek keharmonisan yang memiliki dimensi vertikal (menjaga hubungan dengan
Gusti=sebutan “Allah” orang Jawa) dan horizontal (menjaga hubungan dengan sesama dan

alam). Untuk menjaga keharmonisan tersebut, masyarakat Jawa berbagai ritual. Ritual itu
dibungkus dalam macam-macam upacara adat. Upacara adat itu adalah upacara daur hidup
dalam komunitas Jawa yang masih lestari, sebagai wujud realisasi kompleks kelakuan berpola,
kompleks ide, dan hasil karya manusia. Upacara adat yang ada dalam masyarakat Jawa pada
umumnya dapat dibagi menjadi tiga golongan. Yang pertama, upacara adat yang berhubungan
dengan siklus kehidupan. Yang kedua, mengyangkut hubungan masyarakat Jawa dengan siklus
alam. Dan ketiga, mengenai upacara adat kelembagaan.
Upacara daur hidup pada masa sekarang ini cenderung mengalami penyederhanaanpenyederhanaan baik sarana maupun prosesinya. Kebanyakan pada masa kini sudah tidak lagi
mengetahui prosesi lengkap dan tata cara serta sarana yang utuh dalam penyelenggaraan suatu
upacara. Perlu juga kita ketahui bahwa budaya Jawa adalah budaya yang sangat terbuka. Maka,
pengaruh dari budaya nasional dan budaya lainnya banyak sekali mempengaruhi upacara adat
Jawa. Oleh karena intensitas pengaruh budaya luar antara daerah yang satu dengan daerah yang
lain berbeda, maka pelaksanaan upacara adat Jawa dapat berbeda di masing-masing daerah.
Perbedaan ini terasa antara daerah Jawa di wilayah pesisir utara yang bayak sekali menerima
penagruh luar dibandingkan dengan wilayah Jawa bagian selatan yang masih kuat memegang
pengaruh kekuasaan raja-raja Jawa. Seiring dengan perkembangan jaman yang semakin
mengglobal itu, upacara daur hidup juga mengalami perkembangan dan perubahan-perubahan
baik dari sisi substansi maupun fungsi. Hal ini disebabkan adanya kecenderungan pola pikir yang
semakin berorientasi praktis, perubahan pandangan, dan keyakinan, serta perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.

Dalam tulisan seerhana ini, penulis menuliskan pengalaman ketika saudara laki-lakinya
menikah. Namun, dalam menuangkan pengalamannya, penulis juga menggunakan beberapa
literatur sebagai pedoman atau pembanding.
1

UPACARA ADAT YANG BERHUBUNGAN SIKLUS KEHIDUPAN ORANG JAWA
Masyarakat Jawa mengenal istilah slametan. Slametan adalah salah satu cara merayakan
atau memperingati siklus kehidupan Masyarakat Jawa. 1 Maka, pada umumnya masyarakat Jawa
memperingati siklus kehidupan dengan slametan. Upacara adat yang menyangkut siklus
kehidupan orang Jawa dibagi menjadi enam periode atau masa.
Kelahiran hingga Kematian
Slametan yang diadakan dari proses kelahiran hingga kematian merupakan gambaran
sebuah peralihan yang dialami oleh seorang Jawa, mulai dari gerak-gerik isyarat kecil tak teratur
yang melingkungi kelahiran sampai kepada pesta dan hiburan besar yang diatur rapi pada
khitanan (sunat) dan perkawinan dan pada akhirnya upacara kematian. Dalam keseluruhannya,
slametan menyediakan kerangka; apa yang berbeda adalah intensitas, suasana hati dan
kompleksitas simbolisme khusus dari peristiwa itu. Upacara-upacara itu menekankan
kesinambungan dan identitas yang mendasari semua segi kehidupan dan transisi serta fase-fase
khusus yang dilewati.2
a. Tingkeban

Tingkeban merupakan upacara pertama yang diadakan saat kandungan berumur tujuh
bulan. Istilah lain dari tingkeban ini adalah mitoni.3 Mitoni berasal dari kata pitu yang artinya
tujuh. Menurut paham masyarakat Jawa bahwa usia kehamilan tujuh bulan merupakan masa
kritis karena roh-roh halus bisa mengganggu si calon ibu dan bakal bayi. Oleh karena itu,
tingkeban merupakan wujud untuk menghindarkan jabang bayi dari gangguan makhluk-makhluk
halus tersebut.4 Sejak diadakan mitoni, seorang calon ibu juga harus mematuhi berbagai sayarat
dan pantangan. Hal ini dilakukan agar si jabang bayi yang akan dilahirkan nanti selamat. Jika
secara tidak sengaja terjadi pelanggaran atas salah satu pantangan, maka calon ayah atau ibu
bersangkutan harus segera mengucapkan “nyuwun sewu jabang bayi” untuk menghapus
kesalahannya.5 Hidangan untuk selametan ini terdiri dari tujuh buah nasi tumpeng dengan tujuh
1
2
3
4
5

Cliffort Geerzt, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981), hlm. 13.
Cliffort Geerzt, Abangan… hlm. 48.
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 350.
Cliffort Geerzt, Abangan… hlm. 57.

Koentjaraningrat, Kebudayaan… hlm. 351.

2

macam lauk-pauk dan tujuh macam juadah dengan warna yang berbeda-beda. Hidangan yang
disajikan itu mempunyai makna yang melambangkan kelahiran yang cepat dan selamat.
Slametan ini selalu harus diadakan pada hari Setu Wage (Sabtu Wage) yang mengandung
persamaan dengan istilah metu age yaitu lekas keluar.6
b. Kelahiran atau Babaran
Upacara ini dilaksanakan saat proses kelahiran. Kegiatan ini dipimpin oleh seorang
dhukun bayi. Pada saat acara persalinan, seorang dhukun bayi melakukan berbagai ritual, baik
yang praktis maupun yang yang hanya mempunyai arti lambang saja. 7 Setelah bayi lahir, dhukun
memotong tali pusar dengan sebilah pisau yang terbuat dari bambu (welat), sambil mengucapkan
mantra-mantra (jaga mantra). Setelah pusar bayi diobati dengan ramuan yang terbuat dari kunyit
dan jamu-jamuan lain, bayi dimandikan dan kemudian dibungkus dengan sehelai kain,
selanjutnya diberi minum ramuan yang dibuat dari madu dari sunthi dan daun kelor. Upacara
pemotongan tali pusar merupakan upacara yang sangat penting dalam proses kelahiran karena
hal tersebut menjadi pelindung bayi saat di dalam kandungan.8

Sutrisno Sastro Utomo9 mendiskripsikan tentang masa kelahiran sebagai berikut:

- Borokohan
Ada beberapa tahapan dalam menangani proses kelahiran bayi. Yang pertama adalah
pertolongan pada ibunya, kedua pertolongan pada bayinya, ketiga penanaman ari-ari dan yang
keempat selamatan brokohan.
Zaman dahulu sebelum ada dokter atau bidan, proses kelahiran diserahkan kepada dukun
bayi dan biasanya dukun tersebut adalah wanita. Setelah proses melahirkan selesai, tali pusar
6

Koentjaraningrat, Kebudayaan… hlm. 350.
Koentjaraningrat, Kebudayaan… hlm. 352.
8
Cliffort Geerzt, Abangan… hlm. 58; bdk, Koentjaraningrat, Kebudayaan… hlm. 352-354.
9
Sutrisno Sastro Utomo, Upacara Daur Hidup Adat Jawa (Semarang: Efhar dan Dahana Prize, 2005), hlm.
7

15-19.

3


bayi dipotong dengan welat beralaskan kunyit. Welat adalah bambu yang dibuat tajam sisinya.
Keunggulan welat adalah tidak karatan, sehingga kecil kemungkinan kena tetanus.
Kain-kain kotor bekas persalinan dicuci bersih dan disetrika, lalu disimpan dan diberi
pengharum. Kain-kain tersebut dinamakan kopohan. Kelak, jika sewaktu-waktu si bayi sakit,
kain ini dapat dipakai untuk menyelimuti. Ada kepercayaan di kalangan orang Jawa bahwa
menyelimuti dengan kopohan, bayi akan cepat sembuh dari sakitnya.
Setelah pertolongan pada ibunya selesai, dilanjutkan dengan menolong bayinya. Bayi
dimandikan dengan air suam-suam (hangat), kemudian diselimuti menggunakan kain yang bersih
dengan cara membalutkan ke seluruh tubuhnya termasuk tangannya (kecuali wajah dan
kepalanya), hingga tangan dan kakinya tidak bisa digerakkan. Menyelimuti bayi seperti ini
namanya digedong.
Selesai pertolongan pada bayinya, berikutnya adalah tugas bapaknya untuk menanam ariari (plecenta). Lebih dulu ayah si bayi mencuci ari-ari. Setelah dicuci bersih kemudian
dibungkus dengan daun pisang, lalu dimasukkan dalam kendhil (sejenis periuk dari tembikar).
Selain ari-ari, kendil juga diisi dengan garam agar tidak bau. Sebab jika berbau mungkin akan
dibongkar anjing atau kucing.
Di dalam kendhil tersebut, selain dimasukkan ari-ari juga dimasukkan beberapa bendabenda tertentu sebagai lambang pengaharapan orangtuanya. Misalnya, pensil dan buku agar
anaknya menjadi orang yang pandai, cermin kecil agar anaknya kelak selalu menjaga kesehatan,
uang logam agar anaknya kelak menjadi orang yang pandai mengelola uang dan lain-lain.
Sebelumnya juga disiapkan lubang untuk menanam kendhil tadi. Letaknya di depan atau
di belakang rumah. Dalamnya kira-kira 40 cm. ada kepercayaan di kalangan orang Jawa, jika

lubang terlalu dalam, kelak dewasanya sulit mendapatkan jodoh. Tetapi kalau terlalu dangkal
risikonya nanti bisa dibongkar anjing atau kucing.
Setelah semua siap untuk ditanam, terlebih dahulu ayah bayi mandi dan mengenakan baju
yang bersih dan diberi wewangian, harapannya semoga kelak anaknya menjadi orang yang tahu
menjaga kebersihan dan kesehatan.
4

Kendhil digendong oleh ayah si bayi dengan menggunakan selendang dan membawa
paying meunuju llubang yang telah disiapkan. Dengan berdoa, kendhil dimasukkan ke lubang
lalu ditimbuni dengan tanah. Selama selapan (35 hari) tempat tersebut diterangi dengan senthir
yaitu lampu yang bahan bakarnya dari minyak atau masih alamiah. Kemudian diberi kembang
setaman, seperti kantil, kenanga, mawar, dan melati. Pemberian bunga itu maksudkan agar selalu
wangi dan tidak dibongkar oleh hewan.
Acara berikutnya yaitu membuat selamatan yang merupakan ungkapan syukur sekaligus
pemberitahuan kepada sanak keluarga dan para tetangga, bahwa bayi telah lahir dengan sehat
dan selamat. Selamatan ini dinamakan brokohan. Brokoh atau tampah adalah nampan bulat yang
dibuat dari anyaman bambu, tempat sesaji selamatan diletakkan. Karenanya, selamatan itu
disebut brokohan. Ada juga yang mengatakan brokohan berasal dari bahasa Arab yaitu barokah.
Selamatan brokohan ini jika belum, bisa dilakukan pada hari kelahiran, bisa juga pada hari kedua
atau ketiga.

- Sepasaran merupakan salah satu poin dari Sutrisno Sastro Utomo. Jadi tidak usah dimasukkan
lagi karena ada penjelasannya di bawah.
- Puputan
Biasanya, bayi antara umur sepuluh hari sampai dua minggu, tali pusarnya sudah putus.
Setelah tali pusar putus lalu diadakan selametan puputan atau pupak puser. Puputan berasal dari
puput yang artinya putus. Tujuan selamatan ini agar bayi selalu diberi kesehatan dan keselamatan
dalam hidupnya.
- Selapanan
Selapanan artinya 35 hari atau tujuh kali lima hari karena hitungan dari penanggalan
Jawa adalah lima hari. Sesudah berumur 35 hari, oleh kakeknya, bayi dicukur yang pertama kali
dan diadakan selamtan yang disebut selapanan. Harapan yang diinginkan, agar bayi selalu diberi
kesehatan dan keselamatan dalam hidupnya.

5

Sajen yang pelu disiapkan adalah nasi tumpeng dengan lauk-pauknya misalnya urap,
daging ayam. Daging sapi atau kerbau, telur rebus, dan jajan pasar. Selain itu juga disediakan
kembang telon kemenyan.
c. Sepasaran
Lima hari-pada saat tali pusar kering (puput) diselenggarakan sebuah slametan yang agak

lebih besar yaitu pasaran.10 Istilah ini berasal dari sepasar yang berarti lima hari. Pada upacara
ini yang dilakukan adalah memberi nama untuk bayi. Menurut teori, ayah anak itulah yang
memegang keputusan terakhir dalam penamaan anaknya dan biasanya ia mengumumkannya
dalam sambutan ujub atau permohonan pada upacara slametan. Sampai suatu tingkatan yang
luas, nama anka ditentukan oleh kategori sosial di mana keluarganya termasuk.11 Banyaknya
jenis hidangan yang disediakan pada upacar selamatan sepasaran menandakan bahwa upacara ini
dianggap penting. Orang Jawa yakin bahwa bila ada kekurangan dalam macam atau hidangan
maka hal itu dapat berpengaruh buruk terhadap kepribadian anak yang bersangkutan kelak
sehingga ia akan menjadi kirang jaranan (kekurangan sayuran) yang berarti bodoh atau tidak
beradab.12
d. Tedak Siten
Upacara Tedak Siten dianggap penting oleh orang Jawa baik di desa maupun di kota dan
hal ini merupakan perayaan peristiwa sentuhan pertama seorang anak dengan tanah.13 Hal
tersebut nampak dari asal katanya yaitu “tedhak berarti turun dan siti berarti tanah”. Jadi, tedhak
siten berarti turun tanah. Slametan ini diadakan tatkala bayi berusia tujuh bulan. Maka dapat
dimengerti bahwa bayi yang berusia tujuh bulan diturunkan dari pangkuan ibu ke pangkuan
dunia.14 Dalam kehidupan berjuta-juta orang Jawa, tanah meupakan suatu hal yang teramat

10


Biasanya slametan ini diadakan sampai tali pusar menering dan hal tersebut bisa saja tidak tepat pada
hari kelima setelah kelahiran)
11
Cliffort Geerzt, Abangan… hlm. 60.
12
Cliffort Geerzt, Abangan… hlm. 62.
13
Koentjaraningrat, Kebudayaan… hlm. 355.
14
P. Sukino, Slametan: Suatu Uraian Filosofis Atas Dimensi Komunitas Religius dalam Upacara Slametan
(Pematangsiantar: UNIKA St. Thomas Sumatera Utara [SKRIPSI], 1998), hlm. 23.

6

penting dan kontak pertama dengan tanah itu merupakan langkah pertama ke dalam kebudayaan
pertanian Jawa.15
Upacara ini dilaksanakan demi masa depan anak. Orangtua menaruh harapan dengan
melihat bakat yang dimilki anak. Pengharapan ini terungkap dalam simbol yang ada pada acara
tedhak siten. Dengan acara ini juga, sang ibu dibebaskan dari pemali-pemali yang mengurungnya
selama tujuh bulan sesudah melahirkan.16

e. Khitanan atau Sunatan
Setelah upacara tedhak siten, upacara penting berikutnya adalah upcara khitanan atau
juga dikenal dengan sebutan sunatan. Pada umumnya, anak lelaki di Jawa disunat pada usia 10
sampai 16 tahun. Pada waktu sunatan juga diadakan slametan yang bertujuan agar anak yang
disunat terhindar dari segala marabahaya dan upacara sunatan berjalan dengan lancar.17
Upacara sunatan ini diadakan sebagai suatu tonggak kehidupan seseorang yang
merupakan batas antara masa kanak-kanak dengan masa remaja. Dengan demikian, anak yang
sudah dikhitan kemudian dinamakan jaka yang berarti “pemuda yang belum menikah”. Dengan
upacara ini maka seorang anak sudah masuk dalam lingkungan dewasa dan darinya akan dituntut
tanggungjawab.18
Banyak yang menghubungkan tindakan sunatan sebagai tanda seorang anak resmi
menjadi Islam karena dalam hukum ajaran Shafi, khitanan dianggap wajib dan karena itu upacara
ini seringkali juga disebut dengan ngislamaken yang berarti “mengislamkan”.19
f. Pernikahan
Slametan pernikahan diadakan dua hari sebelum tanggal pernikahan. Hal tersebut
dilakukan agar dalam upcara perkawinan dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan yang
diharapkan.20Upacara perkawinan dalam adat Jawa merupakan hal yang cukup rumit. dalam
15

Koentjaraningrat, Kebudayaan… hlm. 356.
Cliffort Geerzt, Abangan… hlm. 65.
17
Koentjaraningrat, Kebudayaan… hlm. 357.
18
Koentjaraningrat, Kebudayaan… hlm. 357.
19
Koentjaraningrat, Kebudayaan… hlm. 356-357.
20
Koentjaraningrat, Kebudayaan… hlm. 131.
16

7

perkawinan banyak hal yang harus dilakukan. Saat ini sudah banyak unsur-unsur yang
ditingalkan untuk mempermudah walaupun unsur-unsur pokok yang ada dalam tata acara
tersebut tetap ada misalnya: menentukan hari, lamaran dan slametan.21
Upacara perkawinan merupakan acara yang sangat penting dalam hidup orang Jawa.
Apalagi bagi anak perempuan, acara perkawinan sama halnya dengan khitanan bagi anak lelaki.
Pada anak lelaki, khitanan merupakan acara menyambut masa remaja. Sedangkan pada anak
perempuan, perkawinan merupakan upacara menyambut masa remaja. 22 Maka tak heran dalam
acara-acara perkawinan banyak slametan-slametan yang menyertai perkawian. Upacara tersebut
diadakan meliputi sebelum, selama dan sesudah pesta perkawinan. Hal itu dilakukan agar sebuah
perkawinan berlangsung seumur hidup. Selain itu, perkawian juga merupakan penyatuan antara
lelaki dan perempuan yang di dalamnya tidak lepas dari peran Yang Ilahi.23

Rangkaian Upacara Adat Secara Kronologis24
Rangkaian upacara adat dalam masyarakat Jawa dapat diuraikan secara kronologis
sebagai berikut, upacara siraman pengantin putra-putri, upacara malam midodareni, upacara akad
nikah atau ijab Kabul, upcara penyerahan pengantin, upacara panggih, upacara dalam resepsi.
I.

Upacara Siraman Pengantin Laki-laki dan Wanita
Upacara siraman ini dilangsungkan sehari sebelum akad nikah atau ijab Kabul. Akad

nikah dilangsungkan menurut agama masing-masing dan hal ini tidak mempengaruhi jalannya
upacara adat. Langkah-langkah yang dilakukan selama pada upacara siraman adalah:
- Siraman Pengantin Putri
Pengntin perempuan pada upacara siraman mengenakan kain dengan motif grompol yang
dirangkapi denagn kain mori putih bersih sepanjang dua meter, dengan rambut terurai. Yang
bertugas menyiram pengantin putri adalah ayah dan ibu pengantin perempuan, kemudian
dilanjutkan ayah dan ibu pengantin laki-laki dan dilanjutkan oleh orang-orang tua serta keluarga
21

P. Sukino, Slametan: Suatu… hlm. 26.
Cliffort Geerzt, Abangan… hlm. 66.
23
P. Sukino, Slametan: Suatu… hlm. 25-27.
24
Thomas Wiyasa Bratawidjaja, Upacara Perkawinan Adat Jawa (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1985),
hlm. 38-64; bdk. Upacara pernikahan saudara laki-laki penulis di daerah Klaten, Jawa Tengah pada tanggal 08
Februari 2012.
22

8

yang dianggap pantas sebagai teladan. Siraman ini dilanjutkan dan diakhiri oleh Juru Rias dan
akhirnya dilakukan oleh pengantin sdendiri. Dalam siraman, sebaiknya menggunakan air hangat
agar pengantin tidak kedinginan dan sakit.
-Siraman Pengantin Laki-laki
Urutan upacara siraman pengantin laki-laki sama seperti siraman pada pengan perempuan
tetapi yang menyiram pertama adalah ayah dan ibu pengantin laki-laki. Setelah upacara siraman
pengantin selesai, maka pengantin laki-laki kembali ke tempat pondokan yang tidak jauh dari
tempat kediaman pengantin laki-laki. Dalam hal ini pengantin laki-laki belum diijinkan tinggal
serumah dengan pengantin perempuan. Setelah siraman, pengantin perempuan berganti busana
kerik. Kerik adalah saat pengantin perempaun dihilangkannya rambut bagian depan pada dahi
secara merata dengan alat khusus.
II.
Upacara malam Midodareni
Dalam upacara malam midodareni, pengantin perempaun mengenakan busana polos.
Artinya, dilarang mengenakan perhiasan apa pun kecuali cincin pertunangan. Padab malam
midodareni itulah baru dapat dikatakan pengantin dan sebelumnya disebut calon pengantin. Pada
malam itu, pengantin laki-laki datang ke rumah pengantin perempuan. Untuk orang Yogyakarta
dan kami adalah orang Yogkarta, pengantin laki-laki mengenakan busana kasatrian yaitu baju
surjan, blangkon Yogyakarta, kalung karset, dan mengenakan keris. Untuk mempermudah, pada
waktu malam midodareni, pengantin laki-laki boleh juga mengenakan jas lengkap dengan
mengenakan dasi. Sekitar pukul 19.00, pengantin laki-laki datang ke rumah pengantin
perempuan untuk berkenalan dengan keluarga dan rekan-rekan pengantin perempuan. Setibanya
pengantin laki-laki, salah seorang pendamping menyerahkan kepada ayah dan ibu pengantin
perempuan. Setelah penyerahan diterima, pengantin laki-laki diantar ke pondokam yang telah
disediakan, yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah pengantin perempuan. Di pondokan telah
disediakan makanan dan minimuman sekedarnya, setelah itu pengantin laki-laki menuju ke
tempat pengantin perempuan untuk menemui para tamu. Tak berapa lama pengantin laki-laki
kembali ke pondokan untuk beristirahat dan jangan sampai malam sebab harus menjaga kondisi
fisik. Jadi kira-kira pukul 22.00 WIB harus sudah kembali ke pondokan. Hal ini perlu mendapat
perhatian agar pengantin laki-laki tidak kelelahan karena kurang tidur. Setelah upacara malam
midodareni masih disusul dengan upacara-upacara lainnya yang cukup melelahkan dua
pengantin. Pada malam midodareni, pengantin perempuan tetap di dalam kamar pengantin dan

9

setelah pukul 24.00 baru diperbolehkan tidur. Pada malam midodareni, para tamu biasanya
berapasangan yaitu suami-isteri.
Keadaan malam midodareni harus cukup tenang dan dalam suasana khidmat. Tidak
terdengar percakapan-percakapan yang terlalu keras. Para tamu yang bercakap-cakap dengan
tamu yang lain diusahakan tidak keras-keras. Pada pukul 22.00-24.00, para tamu diberi makan,
sedapat mungkin nasi dengan lauk-pauk yaitu opor ayam dan telur ayam kampung rebus,
ditambah lalapan kaum kemangi. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam malam midodareni:
- Empat kain sindur utuk dipakai oleh orangtua kedua belah pihak.
- Empat meter kain mori putih yang dibagi menjadi dua bagian dan masing-masing dua
meter.
- Dua lembar tikar yang akan digunakan untuk duduk pengantin perempuan pada waktu
dirias.
- Dua buah kendi Wuntuk siraman pengantin laki-laki dan perempuan.
- Dua butir kelapa gading yang masih utuh dan masih ada tangkainya.
- Sebutir telur ayam kampung mentah dan baru.
- Sebungkus bunga setaman.
- Satu buah baskom atau pengaron yang telah berisi air beserta gayungnya untuk upacara
tampa kaya atau kantungan yang terbuat dari kain apa saja. Pada upacara tampa kaya
yang perlu disediakan ialah kantongan yang berisi uang logam, beras, kacang tanah,
kacang hijau, kedelai, jagung dan lain-lain.
- Dahar klimah yaitu upacara makan bersama (dulangan), pengantin saling menyuapi.
Pada upacara dahar klimah, makanan yang perlu disiapkan adalah nasi kuning ditaburi
bawang merah goring, telur dadar yang telah diiris kecil-kecil, ikan teri yang telah
III.

digoreng, dan opor ayam.
Upacara Pernikahan atau Ijab Kabul
Upacara pernikahan dilaksanakan menurut agamanya masing-masing dan hal ini tidak

mempengaruhi jalan upacara selanjutnya. Oleh karena kami orang Katolik, maka akad nikah
dilangsungkan di Gereja. Bagi kami, upacara pernikahan ini dinamakan Sakramen Perkawinan.
Maka, tata cara yang digunakan adalah tata cara yang telah dianjurkan oleh Gereja Katolik yaitu
Perayaan Ekaristi dan Penerimaan Sakramen Perkawinan. Setelah upacara akad nikah selesai
(Penerimaan Sakramen Perkawinan), pengantin laki-laki tetap menunggu di luar untuk
menantikan upacara selanjutnya. Yang perlu diperhatikan selama upacara pernikahan adalah
selama upacara perkawinan pengantin laki-laki tidak boleh mengenakan keris (keris harus
dilepaskan) dan kain yang dipakai oleh kedua pengantin tidak boleh bermotif hewan begitu pula
blangkon yang dipakai oleh pengantin laki-laki.
10

IV.

Upacara Penyerahan Pengantin Laki-laki
Menjelang upacara panggih, pengantin laki-laki secara resmi diserahkan kepada orangtua

pengantin perempuan. Dalam upacara tersebut, pengantin laki-laki diiringi oleh para keluarga
dan rekan-rekan terdekat. Dalam penyerahan ini, ditunjuk wakil dari pihak keluarga pengantin
laki-laki untuk menyerahkan. Kakek saya adalah wakil dari keluarga kami dalam menyerahkan
pengantin laki-laki. Dalm upacara penyerahan pengantin laki-laki, wakil dari keluarga pengantin
laki-laki berdiri agak jauh dari depan pintu yang disambut oleh wakil dari keluarga pengantin
perempuan. Sedangkan pengantin perempuan telah menantikan di dalam dan pengantin laki-laki
berdiri di belakang wakilnya. Kata-kata yang disampaikan biasanya menggunakan bahasa Jawa
sebagai berikut:
“Nuwun, Bapak… (diisi dengan nama orangtua pengantin perempuan), Sarimbit saha para
rawuh ingkang minulya, kaparena kula matur wigatosing pisowan kula badhe amudhar
gegayuhan wonten ing ngarsa panjenengan sadaya. Wiyosipun, awit saking kapernging Bapak…
(diisi dengan nama orangtua pengantin laki-laki) sekaliyan, menggah pisowan kula sadaya
adhapur duta ingkang tinanggenah masrahaken pengantin kakung ing upacara panggih punika
kanthi reroncen kados makaten: Purwaning rembag, langkun rumiyin keparengan kula
ngaturaken salam taklim saha suka sukuring penggalihipun Bapak… (nama orang tua pengantin
lakki-laki) sarimbit mugi konjuk ing ngarsanipun Bapak… (nama orangtua pengantin
perempuan) sagarwa putra saha sedaya para rawuh. Salajengipun, mergi saking sih
parimirmaning Gusti Ingkang Murbeng Dumadi, saha jinurung pangestunipun para pepundhen
tuwin pinisepuh, keparengan kula nyowanaken ingkang putra penganten kakung inkanh peparab
anakmas:… (nama pengantin laki-laki), wonten ing ngarsa panjenengan Bapak… (nama
orangtua pengantin perempuan) sekaliyan, mugi tinampia kanthi tulusing wardaya sinartan
sukarenaning penggalih. Wodene menggah lampahing tata cara dauping pinengaten sekaliyan
kula semnaggakaken dhumateng kaparenging Bapak… (nama orangtua pengantin perempuan)
sekaliyan. Mboten sanes genging pangajap kula mawantu-wantu mugi Gudti Ingkang Maha Asih
kaparenga paring pengayoman dhumateng lampahing upacara pinanganten segada keleksanaan
kanthi sae rahayu widada nir ing sambe kala, aminagkani jalaran mugi-mugi penganten
serimbit tansah pinaringan kanugrahan, winantu ing suka basuki, sinandhing ing kawiryan, kali
sing rubeda saha tansah pinayungan berkahing Gusti Ingkang Maha Wicaksana. Wasana cekap
samanten atur kula, mbok bilih wonten sisiping atur, kiranging trapsila saha cupeting rehing
tata krami, mugi sadaya paring samodra pangaksama. Nuwun”.
11

Setelah wakil dari pihak pengantin laki-laki selesai menyampaikan maksudnya seperti tersebut di
atas, maka wakil pihak pengantin perempuan yang menerima penyerahan tersebut memberikan
jawaban sebagai berikut:
“Nuwun, Sarawuh panjenengan acanthi ngirid penganten kakung, kula nyaosken atur
pasugatan sugeng rawuh saha matur gunging panuwun dhumateng Gusti Ingkang Maha Agung,
dene sampun ngetrepi ingkang

dados pemundhutipun Bapak saha Ibu… (nama orangtua

pengantin perempuan). Sadaya pengandikanipun panjenengan kala wau sampun kula tampi
kanthi gumbiraning manah saha badhe kula aturaken dhumateng ngarsnipun Bapak saha Ibu…
(nama orangtua pengantin perempuan). Mboten naming pangajab kula mugi-mugi sedaya
karsanipun Bapak saha Ibu… (nama orangtua pengantin laki-laki), segeda kasembadan.
Nuwun”.
V. Upacara Panggih
Upacara panggih dapat dibagi menjadi dua yaitu upacara panggih gaya Surakarta dan
Upacara panggih gaya Yogyakarta. Karena kami berasal dari Yogyakarta, maka gaya yang
dipakai adalah gaya Yogyakarta. Dalam upacara panggih, pengantin laki-laki sebelumnya sudah
bersipa-siap di muka pintu gerbang/pintu utama dengan disertai pengiring. Pada waktu upaca
panggih, bapak dan ibu pengantin lai-laki tidak boleh ikut rombongan. Pengiring dan
pendamping pengantin laki-laki adalah keluarga bapak dan ibu terdekat atau kerabat terdekat.
Posisi iring-iringan adalah pengantin laki-laki berada di tengah-tengah. Kedua orang sebagai
pendamping harus orang yang lebih tua dariapda pengantin laki-laki sendiri. Upacara panggih
dapat dilihat seperti bagian-bagian berikut:
- Balangan Gantal Sirih. Pelaksanaan: kedua pengantin berjabatan tangan sambil menukar daun
sirih dan menjatuhkannya ke lantai, dengan disaksikan oleh kakak pengantin. Hal ini bermakna,
Syahdan: Dahulu kala pernah terjadi bahwa salah seorang pengantin bukanlah aslinya melainkan
mausia jadi-jadian atau orang lain yang menyamar. Daun sirih merupakan mantra ampuh yang
dapat menawarkan sirih sehingga pengantin gadungan itu akan nampak betul aslinya (badar).
- Wiji Dadi. Pelaksanaan: Pengantin laki-laki menginjak telur ayam kampung sampai pecah
kemudian kakinya dibasuh oleh pengantin perempuan dengan air yang diberi bunga setaman.
Makna dari upacara ini: Wiji dadi-bibit yang tumbuh (dadi). Dengan menginjak telur, pengantin
laki-lakinmenyatakan kesanggupannya untuk menjadi ayah dengan segala tanggung jawabnya.
Pengantin perempuan menyatakan kesanggupannya berbakti kepada suami-bekti marang guru
laki.
12

- Sindur. Pelaksanaan: Kedua pengantin bergandengan tangan dan mengikuti ayah menuju
pelaminan. Ibu menutup bahu kedua pengantin dengan kain sindur dan ikut mengantar ke
pelaminan. Makanya, Ayah menunjukkan jalan yang baik untuk menuju ke kebahagiaan berumah
tangga. Sedangkan ibu mengikuti memberi semangat (tut wuri handayani).
- Timbang. Pelaksanaan: Kedua pengantin duduk di pangkuan ayah pengantin perempuan alas
kain tumbal 1.000 (kain yang terdiri dari motif seribu). Atas pertanyaan ibu, “Siapakah di antara
kedua pengantin yang lebih berat?” dan ayah pun menjawab, “Sama beratnya.” Makna dari
upacara ini: Ayah mengatakan bahwa kasih sayangnya antara anak menantu sama seperti
anaknya sendiri.
- Tanem. Pelaksanaan: Ayah pengantin perempuan mempersiapkan kedua pengantin duduk
bersanding di pelaminan. Maknanya, ayah mengesahkan dan merestui kedua mempelai menjadi
suami-istri.
- Tukar Kalpika. Pelaksanaan: Kedua pengantin saling memasang cincin (tukar cincin). Makna,
tukar cincin adalah sebagai tanda terpadunya cinta dan kasih sayang antara kedua pengantin.
- Kacar-Kucur (Tampakaya). Pelaksanaan: Pengantin laki-laki menuangkan beras dan kacangkacangan ke pangkuan pengantin perempuan. Maknanya, pengantin laki-laki sebagai suami
menyerahkan gunakaya yaitu segala penghasilan kepada pengantin perempuan kelak sebagai
istri.
- Dhahar Kembul. Pelaksanaan: Dhahar kembul artinya makan bersama secara lahap saling suap
menyuap. Maknanya, hasil rezeki dan kekayaan akan dirasakan bersama dengan keluarganya dan
dimanfaatkan secara bersama.
- Mertui. Pelaksanaan: Ayah dan ibu pengantin laki-laki dijemput oleh orangtua, bapak dan ibu
pengantin perempuan. Maknanya, bapak dan ibu pengantin laki-laki mengunjungi pengantin
berdua yang telah melangsungkan perkawinan serta besan.
- Sungkem/Ngabekten. Pelaksanaan: Kedua pengantin berlutut untuk menyembah kepada kedua
belah pihak orangtua. Maknanya, tanda kedua pengantin tetap berbakti dan hormat kepada
orangtua dan menyampaikan rasa terimakasih serta mohon doa restu.
VI.
Resepsi
Resepsi ialah pertemuan atau jamuan yang diadakan untuk menerima tamu pada pesta
perkawinan, pelantikan dan lain sebagainya. Resepsi pesta perkawinan dapat dilakukan di rumah
atau di aula atau di gedung pertemuan. Di kota-kota besar, resepsi perkawinan dilangsungkan di
gedung-gedung pertemuan. Hal ini terjadi karena rumah tidak dapat menampung para tamu yang
berdatangan di samping rumahnya sempit dan tidak mempunyai halaman sempit. Ketika

13

perinikahan saudara saya, kami melaksanakannya di rumah. Adapun tata caranya sebagai
berikut:
Resepsi di Rumah
Resepsi di rumah dapat diselenggarakan beberapa saat setelah upacara adat selesai.
Dalam resepsi ini dapat diadakan pengambilan foto-foto bersama keluarga dan rekan-rekan
pengantin sekalian. Setelah selesai pengambilan foto tersebut, kemudian masih diteruskan
upacara kirab, sementara para tamu menikmati hidangan yang telah tersedia.
Kirab pengantin ialah pengantin laki-laki dan perempuan diiringikan masuk ke kamar
pengantin untuk mengganti pakaian/busana dari busana kebesaran ke busana “Ksatriaan”. Pada
upacara kirab tersebut didahului seseorang sebagai petunjuk jalan yang biasa disebut cucuking
lampah atau canthang balung. Cucukin lampah hanya berjalan biasa sesuai irama gendhing yang
mengiringi, tetapi canthang balung diselingi dengan menari. Iring-iring pada waktu irab ialah:
- Paling depan adalah cucuking lampah/canthang balung.
- Dua anak perempuan berpakaian kembar sebagai patah.
- Rombongan Putri Domas (Gadis Remaja) berbusana kembar berjumlah apling sedikit empat
orang dan bila memungkinkan sebanyak 12 orang.
- Dua orang perjaka yang disebut Satria Kembar dan biasanya diambil dari adik pengantin
perempuan atau laki-laki dan keluarga terdekat.
- Keluarga pengantin laki-laki dan perempuan yang masih remaja dan belum kawin.
- Bapak dan ibu dari kedua pengantin.
- Pengiring biasa dari beberapa keluarga lainnya dan rekan terdekat.
Setelah selesai upacara resepsi semua tamu bubaran diiringi dengan gendhing ayak-ayak
pamungkas yang bertanda bahwa upacara telah purna.
g. Kematian
Slametan kematian diselenggarakan setelah jenazah dikuburkan dan biasanya itu terjadi
pada malam pertama setelah kematian.25 Ada banyak tata acara yang dilakukan pada slametan ini
dan hal itu terlihat dari hidangan yang disediakan. Hidangan-hidangan itu memiliki maknanya
sendiri.26 Denagn peristiwa kematian, orang Jawa dituntut untuk merelakan secara sadar
kepergian orang yang meninggal dengan ikhlas.27
Masyarakat Jawa memiliki banyak konsep tentang kematian. Agama Islam mengatakan
bahwa kematian merupakan balas jasa abadi mengenai hukum dan pahala di akhirat untuk dosa25

Cliffort Geerzt, Abangan… hlm. 91.
Cliffort Geerzt, Abangan… hlm. 94-96.
27
Cliffort Geerzt, Abangan… hlm. 97.
26

14

dosa dan amal saleh yang bersangkutan. Masyarakat Jawa abangan mengatakan bahwa kematian
sebagai suatu yang sampurna, yang secara harafiah berarti “lengkap atau sempurna”, tetapi yang
memberikan indikasi dalam konteks ini bahwa kerpibadian individual menghilang seluruhnya
sesudah meninggal dan tidak ada lagi yang tinggal kecuali debu. Bagi masyarakat Jawa secara
umum-pandangan ini lebih banyak dipegang- kematian merupakan sebagai reinkarnasi –bahwa
ketika seseorang meninggal, jiwanya masuk segera sesudah itu ke dalam suatu embrio dalam
rangka kelahirannya kembali. Dari tiga konsep tentang kematian di atas, boleh diambil suatu inti
pokok bahwa orang Jawa memiliki pemahaman akan adanya kehidupan kekal setelah kematian
walaupun konsepnya tidak jelas.28
Slametan sekitar kematian ini memiliki rentang waktu yang cukup panjang dari seluruh
slametan yang ada. Setelah slametan satu hari setelah kematian, kemudiam dilanjutkan slametan
tiga hari setelah kematian lalu slametan 7 hari setelah kematian, slametan empat puluh hari
setelah kematian, slametan 100 hari setelah dan slametan 1000 hari atau 3 tahun setelah
kematian dan ini merupakan akhir dari rangkaian slametan kematian. Tujuan dari rangkaian
slametan ini yaitu mendoakan supaya arwah orang yang sudah meninggal mengalami
ketenangan dan ketentraman serta diterima Yang Ilahi.29

UPACARA ADAT YANG BERHUBUNGAN DENGAN SIKLUS ALAM
Perayaan Tahunan
Masyarakat Jawa memiliki banyak jenis peayaan tahunan. Jenis-jenis perayaan tahunan
tersebut menyangkut baik upacara keagamaan maupun upacara tradisional. Dalam pembahasan
ini hanya akan dikemukakan bentuk-bentuk perayaan tahunan tradisional masyarakat Jawa asli.30
a. Bersih Dhusun

28

Cliffort Geerzt, Abangan… hlm. 101-102.
Cliffort Geerzt, Abangan… hlm. 96; bdk. http://eprints.uny.ac.id/5091/1/Sinkritisme_dan_Simbolisasi.pdf
(10 Maret 2013).
30
Koentjaraningrat, Kebudayaan… hlm. 366.
29

15

Dalam upacara bersih dhusun, seluruh masyarakat terlibat untuk melakukannya. Bersih
dhusun dilakukan sekali dalam setahun dan biasanya dilaksanakan dalam bulan Sela yakni bulan
ke-11 dalam penanggalan Jawa. Meskipun demikian, tanggal dilakukannya upacara ini berbedabeda pada setiap desa. Dalam melakukan bersih dhsusun, seluruh masyarakat desa
membersihkan diri dari kejahatan, dosa, dan segala yang menyebabkan kesengsaraan. Hal ini
tercermin dari berbagai aspek perayaan yang diselengarakan berkenaan dengan upacara itu, yang
megandung unsur-unsur simbolik untuk memelihara kerukunan warga masyarakat. Perayaan ini
juga menandakan adanya penghormatan terhadap roh nenek moyang. 31 Selain itu, upacara bersih
dhusun berfungsi untuk mempererat solidaritas masyarakat dhusun.32
Kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan upacara bersih dhusun biasanya
berlangsung di suatu tempat dekat makam pendiri desa (dhanyang dusun) atau di rumah kepala
desa, apabila tempat makam pendiri desa itu tidak cocok mengadakan upacara karena berbagai
alasan. Dalam perayaan bersih dhusun diadakan suatu slametan yang dinamakan sedhekah bumi
atau sedhekah legena dengan sebuah nasi tumpeng dan lauk-pauknya. 33
b. Ruwatan
Upacara ruwatan diadakan setahun sekali. Upacara ini merupakan upacara khas Agami
Jawi dan upacara ini bertujuan untuk melindungi anak-anak terhadap bahaya-bahaya gaib yang
dilambangkan oleh tokoh Bathara Kala yaitu Dewa Kehancuran. Upacara ruwatan juga diadakan
bila terjadi hal-hal yang dianggap dapat menyebabkan keadaan bahaya, seperti apabila batu
pengiling rempah-rempah (gandhik atau pipisan) atau periuk untuk menanak nasi jatuh atau
pecah.34
Dalam upacara ruwatan diperlukan suatu slametan. Dalam slametan itu, unsur pokok
yang perlu ada yaitu pertunjukan wayang kulit dengan seorang dhalang yang sekaligus seorang
dhukun yang hafal ke-23 rumus untuk ngeruwat. Rumus-rumus itu konon dapat menghalau
Bathara Kala karena jika ada orang mati tanpa sebab maka Bathara Kala-lah yang digadang

31

Koentjaraningrat, Kebudayaan… hlm. 374-375.
Koentjaraningrat, Kebudayaan… hlm. 376.
33
Koentjaraningrat, Kebudayaan… hlm. 375.
34
Koentjaraningrat, Kebudayaan… hlm. 376-377.
32

16

sebagai penyebab kematian tersebut dan ada juga indikasi bahwa semua roh jahat merupakan
suruhan Bathara Kala.35
Hari Raya Agama
Masyarakat Jawa hidup dengan agama tertentu. Tetapi secara khusus masyarakat Jawa
banyak memeluk agama Islam. Banyak dari perayaan Islam (Hari Raya Agama) diselenggarakan
dengan slametan seperti slametan pada Maulud Nabi, Israj Miraj, Idul Fitri, Idul Adha. 36 Melihat
praktek keagamaan orang Jawa tersebut maka dapat dikatakan bahwa meskpiun oaring Jawa
telah menghayati agama tertentu, mereka tetap diengaruhi oleh keyakinan, konsep, pandangan,
nilai budaya dan norma yang ada dalam pikirannya.37
Slametan Sela
Slametan sela diselenggarakan dalam waktu tidak tetap, tergantung pada suatu kejadian
yang boleh dikatakan kejadian ‘luar biasa’ yang dialami seseorang misalnya: keberangkatan
untuk suatu perjalanan jauh, pindah rumah, ganti nama, sakit, terkena tenung dan sebagainya. 38
Pola slametan ini sebagai refleks defensif terhadap setiap kejadian yang tidak biasa –setelah
rumah dicuri, anak jatuh dari pohon atau sebuah jamur payung yang besar tumbuh di halaman
belakang rumah- adalah begitu umum dan barangkali biasa dilihat sebagai reaksi terhadap
mimpi-mimpi yang mencemaskan.39

UPACARA ADAT YANG BERHUBUNGAN KELEMBAGAAN
Salah satu acara yang berkaitan dengan ini adalah garebeg. Penulis tidak memiliki
pengalaman mengikuti secara langsung bagaimana garebeg. Penulis hanya menemukan literartur
yang bisa sedikit menjelaskan apa itu garebeg secara khusus garebeg di kesultanan Yogyakarta.40
35

Koentjaraningrat, Kebudayaan… hlm. 377-378.
Cliffort Geerzt, Abangan… hlm. 38.
37
Koentjaraningrat, Kebudayaan… hlm. 319.
38
Cliffort Geerzt, Abangan… hlm. 38.
39
Cliffort Geerzt, Abangan… hlm. 114.
40
B. Soelarto, Garebeg di Kesultanan Yogyakarta (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 9-10.
36

17

Garebeg, grebeg, gerbeg bermakna suara angin menderu. Kata bahasa Jawa (h)aggarebeg
mengandung makna menggiring raja, pembesar atau pengantin.
Ada sejarah lisan yang mengatakan bahwa dahulu kala para raja Jawa selalu
menyelenggarakan selamatan kerajaan (wilujengan nagari) setiap tahun baru dan disebut
rojowedo. Maknanya, kitab suci para raja atau kebajikan raja. Disebut jugam rojomedo yang
bermakna hewan korban raja,
Tujuan slametan kerajaan yang hakikatnya upacara kurban itu ialah agar Tuhan Yang
Mahakuasa memberikan perlindungan, keselamatan kepada raja, kerajaan serta rakyatnya. Dalam
peristiwa itu, rakyat datang mengahadap raja untuk menyampaikan sembah baktinya. Raja keluar
dari keratin lalu duduk di singgasana keemasaan (Dhampar Kencana) di Bangsal Ponconiti.
Penampilan raja menerima sembah bakti rakyat yang datang menghadap (sowan) itu, diiring
(ginarebeg) oleh putra dan segenap punggawa.
Begitulah kira-kira penjelasan mengenai garebeg yang penulis dapatkan dari literatur.
Yang ditekankan dalam penjelasan di atas bahwa garebeg diadakan di kerajaan untuk
menyelenggarakan upacara kurban setiap tahun baru. Dalam pelaksanaan garebeg saat ini sudah
banyak dimodifikasi. Tetapi inti dari acara ini tidak hilang.

PENUTUP
Dalam uraian di atas, penulis tidak menuliskan semua ritual-ritual yang ada dalam
masyarakat Jawa melainkan hanya beberapa ritual yang penulis tahu dan pernah alami. Penulis
menggunakan beberapa literatur yang sudah ada sebelumnya sebagai pembanding dan pemandu
dalam menjelaskan ritual-ritual di atas.
Dari keterangan di atas dapat kita katakan bahwa masyarakat Jawa memiliki banyak
ritual. Ritual yang dibuat oleh masyarakat Jawa ingin menunjukkan bahwa masyarakat Jawa
selalu menjaga keharmonisan. Masyarakat Jawa menjaga hubungan harmonis dengan Pencipta
(Gusti), sesama, dan alam ciptaan. Ritual-ritual yang ada dan diwujudkan dengan slametan
18

adalah usaha untuk menjaga keharmonisan tersebut. Menjaga keharmonisan dengan Pencipta
(Gusti), sesama, dan alam ciptaan merupakan tindakan untuk mencapai kesempurnaan, “Ngudi
Kasampurnaan.”

BIBLIOGRAFI

Bratawidjaja, Thomas Wiyasa. Upacara Perkawinan Adat Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1985.
Geerzt, Cliffort. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka
Jaya,1981.
http://eprints.uny.ac.id/5091/1/Sinkritisme_dan_Simbolisasi.pdf (diakses pada tanggal 05
Mei 2014).
Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
Soelarto, B. Garebeg di Kesultanan Yogyakarta. Yogyakarta: Kanisius, 1993.

19

Sukino, P. Slametan: Suatu Uraian Filosofis Atas Dimensi Komunitas Religius dalam
Upacara Slametan. Pematangsiantar: UNIKA St. Thomas Sumatera Utara [SKRIPSI], 1998.
Utomo, Sutrisno Sastro. Upacara Daur Hidup Adat Jawa. Semarang: Efhar dan Dahana
Prize, 2005.

20