Menjadi Guru Yang Membebaskan lsinya

Menjadi Guru Yang Membebaskan1
Oleh: Hardiyan Triasmoroadi
Pranata tentang jabatan khusus2 mengungkapkan bahwa, pendeta adalah orang
yang dipanggil oleh Tuhan Allah sebagai gembala, pemimpin, dan pemuka gereja,
yang menjalankan fungsi kenabian, keimaman, dan keguruan dalam rangka
memenuhi panggilan dan pengutusanNya.
Lebih lanjut secara khusus dalam uraian tentang fungsi keguruan yang harus
diemban pendeta, dinyatakan bahwa fungsi keguruan pendeta terutama dijalankan
dengan cara:
1. Mengajar dan mendidik warga anak dan warga calon supaya tumbuh menjadi warga
jemaat yang mandiri dalam iman serta perilaku kristianinya.
2. Memberikan teladan, bimbingan, dan nasihat kepada warga jemaat agar dapat
mewujudkan persekutuan, kesaksian, dan pelayanan cinta kasih di tengah
masyarakat yang secara terus-menerus berubah dan berkembang.

Dengan demikian, laku seorang guru yang menggulirkan proses pendidikan,
dihayati oleh Greja Kristen Jawi Wetan sebagai bagian yang inheren dari panggilan
kependetaan. Pendeta dalam fungsinya menjalankan tugas seorang guru. Pendeta
pun seorang guru. Sehingga dengan demikian, pendidikan agama Kristen,
pendidikan iman, pendidikan karakter kristiani, pendidikan religiositas, katekisasi
--atau apapun namanya-- yang dimaksudkan demi hadirnya pertumbuhankemandirian iman serta matangnya perilaku kristiani, menjadi sebuah keniscayaan

penting yang harus terus diperjuangkan secara seksama.
Disharmoni
Namun terkadang, harapan ideal akan hadirnya keutamaan hidup dan dampak baik
dari perilaku kristiani pada tataran teori, kerapkali berkebalikan dengan realitas
praktis. Kesenjangan terjadi, sebab harapan tidak berjumpa dengan kenyataan.
Proses pendidikan yang digulirkan seringkali gagal menjawab persoalan-persoalan
riil yang mendesak dan urgen.
Bila dielaborasi, ada pelbagai faktor yang saling berkelidan dan mempengaruhi satu
sama lain, yang menjadi akar permasalahan. Antara lain, disharmoni antara guru
dengan murid, disharmoni guru dengan system, murid dengan system, dan gurumurid berhadapan dengan system.
Disharmoni antara guru dengan murid dapat terjadi ketika relasi tidak terbangun
secara manusiawi. Tatkala guru mengajar secara otoriter, doktriner dan anti
dialog/menghambat kebebasan murid, pastilah minor antusiasme dari pihak murid.
Ketika guru mendaku diri sebagai satu-satunya sumber yang memiliki legitimasi
guna “memberikan” petunjuk, maka serta merta proses pendidikan menjadi
timpang dan sebagaimana dituturkan Terence J.Lovat, orientasi pun menjadi
sekadar transmisif-satu arah. Saat dialog dan komunikasi --yang menurut Levinas
merupakan perjumpaan antar wajah, yang memungkinkan penyingkapan kesejatian
“aku “—secara sadar atau tidak malah diberangus, maka keharmonisan akan
berjalan di tempat, dan pada gilirannya proses pendidikan menjadi mandeg.

Demikian pula saat di satu sisi, sistem (kurikulum) terlampau mengikat secara
ketat, melulu bersifat dogmatis-konservatif, dan tidak sejalan dengan pemahaman
guru serta dinamika konteks yang ada, sementara di sisi lain, guru tak mampu
melakukan kritik/perlawanan, pastilah akan mengkondisikan keringnya proses
pendidikan. Konsekuensinya, semua metode didaktik dan ragam upaya
pengkomunikasikan materi menjadi sia-sia.
Dalam hal ini, bagaimanapun juga, guru sebagai ujung tombak pelaksana
pendidikan seharusnya mau dan mampu membuat terobosan secara aktif, kreatif,
dan konstruktif. Manakala disharmoni terjadi, guru diharapkan menjadi pionir yang
menyadari ketimpangan realitas untuk kemudian memecahkan kebuntuan demi
tercapainya sebuah proses pendidikan yang membebaskan.
Membangun kesadaran
Peran dan fungsi guru pada hakikatnya menempati posisi sentral dalam kehidupan.
Secara indah kaum sikh mengungkapkan kebenaran tersebut melalui syair
sanskerta-nya:
1 Tulisan ini ada dalam rangka mengenang Pdt. Budyanto Th.D, sebagai Guru yang inspiratif
dan liberatif.
2 Tata Pranata Greja Kristen Jawi Wetan edisi revisi, belum diterbitkan, hasil rumusan final
Sidang Istimewa 23-24 Februari 2012.


“gurur brahma, gurur Vishnu, gurur maheswarah
Gurur saakshaat para-brahmaa, tamai shri guruve namah”
(Bagaikan sang pencipta, gurulah yang menanam benih kesadaran dalam diri
Bagaikan sang pemelihara, dialah yang memelihara tanaman kesadaranku
Bagaikan sang pemusnah, dialah yang memusnahkan ketidaksadaranku.)3

Kesadaran merupakan hal utama yang memungkinkan transformasi. Sehingga
seorang guru pun dipanggil untuk terlebih dahulu memiliki kesadaran. Menjadi guru
yang ‘sadar’ membutuhkan ketekunan dan kesetiaan untuk melakukan refleksi /saat
teduh pribadi secara rutin, supaya ibarat pohon yang ditanam di tepi aliran air, ia
senantiasa dimampukan untuk menghasilkan buah pada musimnya, tidak layu
daunnya, dan selalu berhasil dalam setiap upaya yang dilakukan. 4 Kata kuncinya
memang terletak pada kesadaran. Bukan sekadar kepintaran. Mengingat bahwa
seorang guru yang pintar belum tentu sekaligus seorang guru yang berkesadaran.
Sebaliknya, seorang guru yang memiliki kesadaran sudah pasti memiliki
kecemerlangan daya intelektualitas.
Kesadaran sendiri selalu terkait erat dengan spiritualitas. Secara bebas, spiritualitas
dapat dimaknai sebagai “tindakan memelihara atau memberi makan jiwa.”
Sehingga dalam kerangka membangun kesadaran, maka pertanyaannya adalah:“
Konstruksi teologis dan spiritualitas semacam apakah yang dapat digunakan untuk

terus memelihara jiwa, dan berdampak pada kokohnya kesadaran seorang guru?”
Dalam rangka memberikan wacana alternatif, ijinkan saya menyerukan dan
menyodorkan spiritualitas pembebasan yang dikandung, dilahirkan dan diinisiasikan
oleh teologi hitam, sebagai sebuah jawaban.
Mencerap spiritualitas pembebasan dari Teologi Hitam
Tersebutlah Profesor James H. Cone5, yang pada tanggal 13 Juni 1969, dalam
rangkaian kegiatan di interdenominational theological center-atlanta-USA,
mengumumkan secara resmi untuk pertama kali definisi dari Teologi hitam (black
theology) :
Teologi Hitam adalah teologi pembebasan orang kulit hitam. Teologi ini
berusaha
mempertimbangkan kondisi orang berkulit hitam dalam terang Tuhan
yang menyatakan diri dalam Yesus Kristus, sehingga dengan demikian komunitas
orang berkulit hitam
dapat melihat Injil yang sepadan dengan pencapaian
kemanusiaan orang berkulit hitam.
Teologi hitam adalah teologi dari sebuah
kegelapan (blackness). Teologi ini adalah
penegasan dari hakikat kemanusiaan
orang kulit hitam yang merdeka dari orang kulit

putih yang rasis, yang atasnya
tersedia kebebasan yang otentik, baik bagi orang kulit
putih maupun orang kulit
hitam sendiri. Teologi hitam sendiri sebenarnya menegaskan
kemanusiaan
orang berkulit putih, tatkala mengungkapkan penolakannya terhadap penindasan
orang berkulit putih yang melebihi batas6
Dari identifikasi yang dilontarkan sendiri oleh Cone, maka minimal terdapat
beberapa poin acuan yang dapat digunakan untuk menyatakan “apa itu Teologi
Hitam.” Yang pertama, teologi berarti sebuah refleksi iman yang konkrit!. Konkrit
dalam arti selalu terkait dengan situasi/kondisi, tempat serta waktu yang tentu
sifatnya partikular. Lebih lanjut dengan tegas Cone menyatakan:
“No one can write theology for all the times, place and persons. Therefore,
when one
reads a theological textbook, it is important to note the year of its
publication, the
audience for whom it was written, and the issues the author felt
compelle to address”7

3 Anand Krishna, Shangrilla, mencecap sorga dunia, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama

2000), hlm.107.
4 Mazmur 1:2,3
5 James H.Cone lahir pada 1938, ketika tinggal di Bearden, beliau mendapat dua kesan yang
berlawanan, yakni kesalehan orang-orang berkulit hitam dan rasisme orang-orang berkulit
putih. Cone kemudian memutuskan untuk belajar teologi. Selama belajar teologi, karena
berkulit hitam, Cone menerima gangguan-gangguan yang membuatnya depresi. Namun
meskipun demikian masih ada dosen berkulit putih yang mendorongnya sehingga dia bisa
mendapatkan gelar doktor. Tahun 1964, dia mengajar di Philander Smith College, namun
dua tahun kemudian diberhentikan karena system administrasi orang kulit putih yang rasis.
Pada tahun itu juga muncul protes dan pergolakan ras, gerakan yang memperjuangkan hakhak manusia. Gerakan-gerakan ini kemudian di dukung oleh persekutuan gereja-gereja kulit
hitam. Vulker Kuster, The Many Faces of Jesus Christ, (London: SCM Press, 2000), hlm. 138
6 Gayraud Wilmore, A Revolution Unfulfilled, But Not Invalited, dalam: James H. Cone, A
Black Theology of Liberation: twentieth anniversary edition, (New York, 2002), hlm. 152,
7 Sda., preface to the 1986 edition, hlm.xi.

Dengan begitu agaknya ingin ditegaskan sifat kontekstual dari sebuah teologi yang
pendefinisian dan pemaknaannya dilakukan oleh situasi kemanusiaan yang secara
konkrit mengandungnya.
Kedua, mengingat teologi berangkat dari pergumulan konteks kemanusiaan yang
partikular, maka dalam tataran ini yang menjadi konteks pergumulan Teologi Hitam

adalah munculnya paham rasisme yang mendasari klaim supremasi orang kulit
putih atas orang kulit hitam di Amerika Serikat; yang atas dasar itu lantas
berdampak pada penghisapan, penindasan, peminggiran, perlakukan tidak adil
yang dilakukan orang kulit putih terhadap kulit hitam baik secara kultural, politis,
maupun social-ekonomis.
Ketiga, atas dasar konteks tersebut di atas, maka teologi hitam berhadapan
dengan keharusan restorasi, sebuah upaya membangun kembali kerusakan dan
kondisi tanpa daya (powerless) yang disebabkan oleh praktek perbudakan.
Restorasi yang dikatakan Cone merupakan bagian dari Injil ini dilakukan dengan
cara memprotes dan meminta perhatian Negara dan gereja kulit putih, yang
menyaru diri sebagai pelayan Tuhan-yang selama ini hanya berdiam diri, untuk
melakukan rekonsiliasi, meminta maaf kepada orang kulit hitam atas perlakuan
mereka8 serta menyediakan sumberdaya-sumberdaya yang sekiranya dapat
mengembalikan atau membangkitkan kondisi orang kulit hitam dari
ketidakberdayaannya.9 Gereja orang kulit putih haruslah meneladani Zakeus, sosok
yang menyadari kesalahannya untuk lantas berucap “Tuhan, setengah dari milikku
akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari
seseorang, akan kukembalikan empat kali lipat”
Konstruksi Allah dan Kristus menurut Teologi Hitam.
Pemahaman Teologi Hitam terhadap Allah sengatlah konkrit. Allah yang menyatakan

diri dalam Perjanjian Lama dan lantas menyatakan diri sejauh terlaksana dalam diri
Yesus Kristus di dalam Perjanjian Baru, dipahami Teologi Hitam sebagai Allah yang
partisan, yang memihak kepada yang lemah dan yang berada dalam penderitaan
bersama mereka yang tersisihkan secara nyata.
Dalam Perjanjian Lama, Cone memperlihatkan bahwa gagasan Allah yang partisan,
identik dengan “Allah sang liberator” yang membebaskan bangsa Israel dari tanah
perbudakan di Mesir, dan yang menyertai bangsa Israel selama 40 tahun berada
dalam keterasingan di gurun pasir. Pun dengan yang terdapat dalam Perjanjian
Baru, yang memperlihatkan betapa besar kasih Allah terhadap manusia, sehingga
Allah berkenan menyatakan diriNya secara langsung dalam rupa Yesus dari
Nazareth, sosok tukang kayu miskin yang secara kultural lebih dekat dengan
kalangan orang kecil ketimbang golongan penguasa maupun imam yang
berotoritas.
Pemahaman Black Theology berbeda dengan White Theology, yang dikatakan Cone
lebih banyak berbicara perihal penyataan (revelation) yang spekulatif dan abstrak
serta jauh dari kenyataan riil. Secara lantang Cone --yang dikutip Wessels-mempertanyakan kembali serta menggugat white theologians terkait apa artinya
mengenal gagasan-gagasan ortodoksi tentang keputusan Nicaea tahun 325 akan
kesehakikatan (homoousious) Kristus dengan Bapa, juga konsili Chalcedon (451),
yang menyatakan bahwa tabiat keAllahan dan kemanusiawian Yesus Kristus tidak
bercampur, sekaligus tidak terbagi, jika secara de facto Yesus tidak dikenal sebagai

Juruselamat dan Sahabat yang berbela rasa terhadap sesama. 10
Teologi hitam dikatakan Cone mendasarkan diri pada identifikasi antara Injil yang
berdialog dengan pergerakan sejarah-politis (historico-political movement). Sebuah
prosedur pengidentifikasian yang bagi white theologians, penganut teologi
penyataan Allah dianggap invalid.11 Dengan berkata seperti itu, Cone sebenarnya
hendak menggarisbawahi pentingnya memperhatikan keprihatinan konteks,
sekaligus melakukan counter argumentasi terhadap white theologians, yang kerap
dianggap melangit, tidak membumi serta berdiam diri ketika melihat ketidakadilan.

8 Vulker Kuster, The Many Faces of Jesus Christ, (London: SCM Press, 2000), hlm.150.
9 J.H.Cone and Gayraud S.Wilmore, Black Theology a documentary history volume one:19661979, (New York: ORBIS, 1999), hlm.38.
10 Anton Wessel, Memandang Yesus, (Jakarta:BPK-GM, 1999), hlm.84.
11 Scn 5, hlm.140.

Dengan begitu, Kristus menurut Teologi Hitam dipandang otentik, ketika Ia
dikonstruksikan dan dimunculkan secara apa adanya—sebagai sosok sederhana,
yang secara meyakinkan menunjukkan bahwa Allah dekat dengan keseharian kaum
papa yang tersisihkan. Sebaliknya, gambar Kristus Yesus dipandang tidak otentik –
Wessel membahasakannya sebagai dikhianati—tatkala dipergunakan untuk
menyokong ideologi diskriminatif yang menganggap diri sendiri superior sementara

orang lain inferior. Dalam tataran ini, teologi hitam menolak gambar Yesus sebagai
pantokrator, sosok penguasa alam semesta berambut pirang, bermata biru,
bermahkota emas, berjubah ungu-mewah.
Respon terhadap teologi hitam.
Ada tiga respon yang muncul sebagai tanggapan atas Teologi Hitam.
Yang pertama, gambar Kristus serta pemahaman akan Allah yang berbela rasa
dengan kaum tertindas disambut positif oleh orang berkulit hitam, yang pada
gilirannya memperkuat perjuangan dan memampukan mereka untuk memandang
diri secara lebih positif. Daya pembebasan yang muncul dari aplikasi akan gambar
baru Allah pengasih yang rela menderita bersama umatNya memampukan orang
kulit hitam untuk bangkit dari kondisi tanpa daya serta memulihkan martabat serta
harga diri mereka. Dan akhirnya, mereka sedikitnya dapat belajar untuk menerima
keberadaan diri sendiri. Inilah yang disebut Vulker Kuster sebagai kristologi yang
berfungsi menciptakan identitas di tengah konteks kemiskinan serta ketertindasan.
Respon yang kedua cenderung sinis. Ketimbang melakukan introspeksi terkait
kristologi yang telah dikonstruksikan, sebagian orang kulit putih malah memilih
untuk mencibir Teologi Hitam sebagai sebuah teologi yang bukan teologi, karena
dianggap emosional dan anti- intelektual. Taruhlah diantaranya Father Andrew M.
Greely yang mengklaim teologi hitam sebagai sekadar “teologi yang dipenuhi api
kebencian terhadap orang kulit putih dan yang mengasumsikan superioritas moral

orang kulit hitam terhadap orang kulit putih.” Lebih lanjut, secara lugas M Greely
menilai Teologi Hitam sebagai “mentality Nazist ,“ teologi yang bermental Nazist.
Dalam tataran ini menjadi benar Malcolm X yang berkata: “dengan kemampuan
memanipulasi media massa, mereka (orang-orang kulit putih) mampu menjadikan
korban seakan-akan seorang kriminal, dan kriminal seolah-olah sang korban.” 12
Respon ketiga, demi melihat tumbuhnya kesadaran dalam diri kaum tertindas
(oppressed), maka kaum penindas (oppressor) tidak diam begitu saja. Didorong
oleh motivasi mengeruk kapital dan profit sebesar-besarnya, mereka segera
mencari celah-celah baru, dan merancang terobosan metode yang memungkinkan
terjadinya penindasan baru. Maka sebut saja persekutuan terkutuk tiga lembaga
keuangan besar dunia (IMF, World Bank, Asian Development Bank), yang dibalik
jubah sinterklasnya, nyatanya menyimpan motif penjajahan gaya baru;
menggelontorkan hutang besar-besaran dengan kemasan pinjaman dana demi
pembangunan, kepada negara-negara dunia ketiga. Pada momentum tertentu
tatkala negara pengutang tak berdaya dan tak mampu membayar utang
dikarenakan pengkondisian yang telah dilakukan sebelumnya, dengan mudah
kontrol kebijakan, intervensi –untuk tidak menyebut menjajah— dan pengambilalihan kedaulatan dilakukan sedemikian rupa.
Selain itu, jika mencermati perkembangan media massa dewasa ini, sebenarnya
terlihat upaya massif penggiringan opini public dan pencucian otak sebagian besar
masyarakat—yang menjadi penikmat (korban?) media—kepada pemahaman bahwa
yang berkulit putih, berambut lurus, berhidung mancung, berwajah “bule”
(sebagaimana yang selalu menjadi preferensi utama sinetron-sinetron di Indonesia)
yang layak dan pantas disebut sebagai cantik dan ganteng. Implikasinya,
berbondong-bondonglah masyarakat untuk membeli produk komersial pemutih
wajah, mengikuti prosedur ketat program pengurusan badan, melakukan operasi
plastik, dan meluruskan rambut. Jelas bahwa tafsiran tunggal atas kecantikan,
didalangi oleh kapitalis (representasi penindas) yang dengan segala macam cara
berupaya memenuhi pundi-pundi uangnya.
Relevansi Teologi Hitam di tengah konteks kehidupan menggereja.
Berbicara Teologi Hitam, berarti berbicara dikotomi penindas vis a vis tertindas, dan
dalam sejarah dikotomi ini akan senantiasa ada. Ketertindasan telah menjadi
keniscayaan, bahkan karena kerapkali didengung-dengungkan, terkadang
ketertindasan menjadi sekadar retorika yang diusung di mimbar-mimbar,
didiskusikan di kelas-kelas, untuk kemudian (mungkin) dilupakan begitu saja.
12 James H. Cone, A Black Theologi of Liberation, (New York: ORBIS books, 2002), hlm. xii-xiv

Suasana Kerajaan Allah yang didalamnya tidak terdapat kondisi penghisapan,
kemiskinan, ketidakadilan, penderitaan jelas-jelas telah menjadi visi Injil yang
mewarnai keseluruhan hidup dan karya Yesus Kristus. Syaloom, Irene, Damai
Sejahtera sedikit banyak telah kehilangan makna dan direduksi begitu saja menjadi
sekadar salam yang diucapkan demi menyatakan identitas pembeda. Begitu pula
halnya dengan Gereja. Gereja yang semula telah di-plot, dan menyediakan diri
untuk menjadi pelayan yang secara konsisten mengupayakan terwujudnya visi Injil
Kristus-Kerajaan Allah, ternyata kerapkali lalai dan terjebak dalam euforia
kemewahan, sehingga tak jarang energi dan spiritualitas pembebasannya menjadi
tumpul, dan artificial—untuk tidak menyebutnya kering. 13
Jika menimba inspirasi dari spiritualitas pembebasan yang menjadi ruh Teologi
Hitam, setidaknya dapat dipertimbangkan dan dipertanyakan kembali, apakah
gambar Yesus yang telah diterima dan diupayakan untuk diaplikasikan oleh gereja
selama ini telah sesuai dengan gambar Yesus yang genuine? Dalam kaitan tersebut,
menarik untuk direnungkan pertentangan konstruksi wajah Yesus yang sederhana,
lekat dengan orang papa yang menderita akibat penindasan di segala tempat,
dengan wajah Yesus yang terpampang di gedung gereja seharga satu miliar, atau
misalnya di langit-langit basilica Santo Petrus yang menawan. 14
Guru yang lekat dengan spiritualitas pembebasan.
Agaknya apa yang digagas oleh Teologi Hitam melalui gambar Yesus khas orang
kulit hitam yang secara diametral dan oposisional berbeda dengan dominasi
konstruksi kristologis menurut orang kulit putih, patut menjadi sumber inspirasi bagi
gereja untuk membangun spiritualitas dan kesadarannya. Mengingat bahwa konteks
yang dihadapi Indonesia saat ini masih saja berbicara sekitar pengangguran,
ketidakjujuran (korupsi), kemiskinan, kebodohan dan pembodohan, juga
ketertindasan yang diakibatkan kemunculan kaum kapitalis baik dalam tataran lokal
(raja-raja kecil), nasional maupun internasional, yang berupaya dengan segenap
cara memperkaya diri tanpa mempertimbangkan derita sesama. Di tengah upayaupaya rakus bin egois yang dilakukan segelintir kelompok ini, gereja harus lantang
dan berani menyuarakan suara kenabiannya, dan itu berarti dengan tegas berkata:
Tolak penindasan!.
Sehingga seorang guru sebagai bagian dari gereja, yang bertugas menuntun,
menanam benih kesadaran, memelihara, menjadi media dan fasilitator bagi murid,
tentu selayaknya terlebih dahulu melekatkan rohnya dengan spiritualitas
pembebasan. Melalui spirit pembebasan, kesadaran personal serupa Kristus
(imitatio Christo) akan hadir, dan pada gilirannya diharapkan memampukan untuk
menjadi sosok unik yang melakukan pedagogi secara proporsional, sigap mengatasi
kekeringan dan kegamangan proses pendidikan, kreatif dalam mensinkronkan
idealisme pada ranah teori dengan realitas pada ranah praktis, serta yang
terpenting piawai dalam mendewasakan dan memupuk kedalaman hidup murid.
Akhirnya kunci penting terletak pada guru. Sebelum berupaya untuk membebaskan
dan menyadarkan murid untuk menjadi subyek yang otentik dan berkesadaran,
alangkah indahnya jika kesadaran dan spiritualitas pembebasan telah menjiwai, dan
terlebih dahulu terinternalisasi dalam hidup sang guru.
***
Daftar Bacaan
Cone H. James, A Black Theology of Liberation, (New York: ORBIS books,
2002)
Cone H. James dan Wilmore S. Gayraud, Black Theology a documentary
history,
(New York: ORBIS book, 1999)
Muler Vulker, The Many Faces of Jesus Christ, (London: SCM Press, 2000)
Wessels Anton, Memandang Yesus, (Jakarta: BPK-GM, 2000)

13 Bandingkan dengan kisah kontroversial sumbangan emas yang dilakukan PGI di masa
krisis moneter, di era rezim Suharto.
14 Konon gedung gereja yang megah dan mewah tersebut dibangun dengan cara
memanipulasi jemaat melalui propaganda penjualan surat indulgensia/penghapus dosa oleh
J.Tetzel.

Dokumen yang terkait

Analisis Komposisi Struktur Modal Yang Optimal Sebagai Upaya Peningkatan Kinerja Operasional Pada PT Telagamas Pertiwi Di Surabaya

1 65 76

ANALISIS PENGARUH MANAJEMEN LABA TERHADAP NILAI PERUSAHAAN (Studi Empiris Pada Perusahaan Property dan Real Estate Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)

47 440 21

PENGARUH CLIENT IMPORTANCE DAN AUDIT TENURE TERHADAP KUALITAS AUDIT (Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di BEI)

4 86 21

Efek Pemberian Ekstrak Daun Pepaya Muda (Carica papaya) Terhadap Jumlah Sel Makrofag Pada Gingiva Tikus Wistar Yang Diinduksi Porphyromonas gingivalis

10 64 5

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan IPA Pengembangan Profesi Guru Sains melalui Penelitian dan Karya Teknologi yang Sesuai dengan Tuntutan Kurikulum 2013

6 77 175

Analisis Pengaruh Faktor Yang Melekat Pada Tax Payer (Wajib Pajak) Terhadap Keberhasilan Penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan

10 58 124

Pengaruh Rasio Harga Laba Dan Pengembalian Ekuitas Terhadap Harga Saham (Studi Kasus Pada Perusahaan Sektor Perbankan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)

0 13 1

Pengaruh Modal Kerja Dan Leverage Keuangan Tehadap Profitabilitas (Penelitian Pada Perusahaan Tekstil Dan Garmen Yang Terdaftar Di BEI)

10 68 1

Oksidasi Baja Karbon Rendah AISI 1020 Pada Temperatur 700 °C Yang Dilapisi Aluminium Dengan Metode Celup Panas (Hot Dipping)

3 33 84