Konflik Etnis Cina Tahun 1998 di Surakar

Konflik Etnis Cina Tahun 1998 di Surakarta
(Studi Kasus Sosial-Ekonomi)
Oleh: Aulia Fitriana – B0416011
Program Studi Ilmu Sejarah – FIB UNS

ANALISIS
Permasalahan etnis kembali terjadi di Indonesia – negara yang dikenal dengan
kemultikulturalnya termasuk dalam hal etnis. Hal yang memicu konflik ialah sepele.
Terjadinya perkawinan antara etnis Tionghoa dengan orang pribumi, masyarakat pribumi
tidak ingin anak keturunannya nanti lebih dominan sifat ke-Tionghoaannya daripada
pribuminya. Masalah lain yang memicu permasalahan warna kulit. Jelas terlihat berbeda
warna kulit orang Tionghoa dan pribumi. Hal semacam itulah yang terjadi pada saat Perang
Jawa – tidak lain adalah kekhawatiran Diponegoro akan kehadiran etnis Tionghoa1.
Isu etnis yang terjadi di beberapa kota di Indonesia sering menjadi hal yang sensitif
untuk timbul konflik. Surakarta – pada masanya kota yang dikenal dengan keberagaman itu
terjaga dari konflik antar etnis, namun setelah reformasi terjadi, pecah sebuah konflik antar
etnis. Belum diketahui secara jelas apa yang menjadi penyebabnya, tapi beberapa sumber
menyebutkan bahwa hal itu terjadi karena kondisi perekonomian Indonesia yang sedang
terpuruk. Krisis moneter yang berkepanjangan menyebabkan timbulnya kesenjangan 2.
Konflik antara etnis Tionghoa dengan pribumi kembali terlihat pada peristiwa kerusuhan
Mei 1998. Peristiwa yang masih segar di pikiran orang Indonesia. Peristiwa yang bermula

1 Peter Carey, Orang Cina, Bandar Tol, Candu, dan Perang Jawa; Perubahan Persepsi tentang Cina 17551825, (Depok: Komunitas Bambu, 2015), hlm. X-XII
2 Aulia Fitriana, Relin Endra, Fatih Abdulbari, Akar Konflik Etnis 1998 di Surakarta (Tinjauan Kritis
Historis), (Karya tulis ilmiah, tidak diterbitkan, 2017), hlm. 5

pada 14 Mei 1998 mengubah kota Surakarta menjadi penuh dengan gumpalan asap dan api
yang menyala di sepanjang jalan3. Peristiwa yang membuat sejumlah orang ketakutan dan
tidak berani untuk keluar dari rumahnya, baik siang atau malam hari. Peristiwa yang
menewaskan mahasiswa, masyarakat umum, serta aparat. Konflik fisik yang menjadi awal
penyebabnya ialah krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997.
Peristiwa pembakaran dan penjarahan kompleks pertokoan milik orang Cina atau
bukan yang bermula dari Universitas Muhammadiyah Surakarta, lalu bergerak menuju
daerah Purwosari dengan skala orang yang makin banyak. Sepanjang jalan mereka berjalan,
mereka melempari batu, kayu ke kompleks pertokoan dan rumah pinggir jalan. Pembakaran
meletus pertama kali ketika pergerakan massa berhenti di depan kantor BCA Gladak
dengan sebuah mobil Jimny yang terparkir di halaman, dibakar massa. Kumpulan massa di
Solo bagian selatan, tepatnya kompleks pertokoan Coyudan dan Singosaren, tempat dimana
orang-orang Cina mempunyai toko di sana dijarah dan dibakar oleh massa. Plasa
Singosaren dibakar begitu saja tanpa menghiraukan banyaknya karyawan yang masih
terjebak di dalamnya4. Kacaunya situasi, ditambah tidak kunjung selesainya permasalahan
ekonomi membuat masyarakat marah terhadap pihak yang dianggap bertanggung jawab.

Dalam hal ini, umumnya masyarakat menganggap etnis Tionghoa adalah pihak yang
sepantasnya bertanggungjawab atas kerusuhan yang terjadi5.
Surakarta – tiba-tiba padam listrik karena pembakaran rumah dan toko yang
semakin banyak serta beberapa trafo listrik meledak karena panas api. Peristiwa ini terus
berlangsung hingga hari Jumat 15 Mei 1998. Pada hari itu sudah mulai banyak ditemukan
korban jiwa akibat pembakaran dan penjarahan. Kebanyakan dari mereka berjenis kelamin
laki-laki dan kondisinya sudah tidak bisa dikenali lagi karena rusak, terkena luka bakar.
Beberapa korban yang ditemukan sempat dibawa ke rumah sakit, namun mereka meninggal
di jalan. Kondisi Surakarta saat itu sangatlah gelap dan mencekam. Malam hari, tidak ada
listrik yang hidup. Tidak ada yang berani keluar di malam hari. Untuk mengantisipasi
3 Solopos, 15 Mei 1998, hlm. 1
4 Ibid., hlm. 9
5 Aulia Fitriana, Relin Endra, Fatih Abdulbari, Op. Cit., hlm. 6

terjadinya penjarahan lagi, hampir semua jalan kampung dibarikade, ditutup rapat-rapat
dengan berbagai benda oleh warga setempat guna menghindari perusuh yang masuk ke
kampung mereka6
Konflik antara orang Cina dengan orang Jawa kembali terjadi, tapi skalanya lebih
rendah dan tidak beresiko menimbulkan konflik fisik seperti yang terjadi pada Mei 1998
yang lalu. Konflik yang timbul antara orang Cina dengan orang Jawa (pribumi) tidak

terlihat dengan mata namun dapat dirasakan dari pergerakan mereka. Mereka menganggap
bahwa itu bukan masalah, tapi mereka saling menjaga jarak. Unsur harmonis hanya ada
dipermukaan karena kepentingan fungsional. Dapat diambil kesimpulan sementara bahwa
awal mula terjadinya konflik antar kedua etnis itu karena sikap orang Jawa – terutama
kaum Priyayi yang mengunggulkan dirinya dihadapan orang Cina. Kaum Priyayi
menganggap dirinya lebih tinggi derajatnya karena mereka keturunan keraton, sedangkan
orang Cina tidak. Secara kelas sosial di Jawa, derajat orang Jawa lebih tinggi dibanding
dengan orang Cina. Singkatnya, keadaan itu melukiskan bahwa antar keduanya seolah-olah
terdapat batas rasial kuat yang sengaja dibuat. Demikian pula, antar keduanya seperti tidak
mempunyai perasaan saling memiliki dan saling peduli7.
Mereka saling benci dengan sembunyi-sembunyi. Umumnya, timbulnya konflik
karena perbedaan kesejahteraan dan pandangan dalam kehidupan. Dalam hal pandangan
hidup, orang Jawa – kaum Priyayi menggunakan pandangan romantisme yang dianggap
tidak lagi relevan dengan kehidupan era globalisasi seperti ini, sedangkan orang Cina
menggunakan pandangan kapitalis. Pandangan kapitalis terpaksa diterima oleh kaum
Priyayi dengan setengah hati. Dalam pembentukan pandangan kehidupan tersebut
berdasarkan pada legitimasi yang berbau agama Islam untuk kaum Priyayi, sedangkan
orang Cina dengan kapitalis – kompetisi dan legitimasi berbau agama Kristen Kedua etnis
itu selalu saja bertentangan. Apapun itu selalu memicu terjadinya konflik. Sayangnya halhal di atas sudah mengkristal dan sukar untuk dibenarkan. Setidaknya ada empat hal yang
mempengaruhi relasi orang Jawa dengan orang Cina, yakni: (1) cara pandang kompetisi

6 Solopos, 16 Mei 1998, hlm. 1
7 Solopos, 18 Agustus 1999, hlm. 1

yang melahirkan konflik, (2) cara pandang rasis yang selalu memicu perilaku diskriminatif,
(3) cara pandang iman (agama), (4) cara pandang kemanusiaan (humanis) 8.
Cara pandang kompetisi orang Surakarta lekat dengan adanya kehidupan
perdagangan yang basisnya bisa diidentifikasi. Kompetisi dagang antarkomunitas, dianggap
sebagai titik yang dapat menimbulkan konflik yang melebar kemana-mana termasuk aspek
kehidupan. Dalam perekonomian, orang Cina dianggap menang karena sampai sekarang
wilayah basis perekonomiannya berada di Pasar Gede masih eksis dan berkembang pesat,
sedangkan basis perekonomian orang Jawa berada di Laweyan dan hanya tinggal
kenangan9. Mungkin orang Jawa juga harus mengambil pelajaran dibalik itu semua, bukan
mempermasalahkan dan menimbulkan konflik. Kekalahan yang selalu diterima orang Jawa
membuat mereka menyebarkan desas-desus, gosip, cerita-cerita, dan sinisme yang akhirnya
berkembang di area primer seperti lingkungan keluarga merupakan hal yang tidak disengaja
atau meluas begitu saja.
Orang Cina selalu dipandang salah. Hal apapun yang mereka lakukan selalu
dianggap menyimpang dan salah, seakan tidak mampu menghapus stigma yang dilabelkan
kepada mereka10. Kekalahan demi kekalahan yang dialami oleh kaum Priyayi di bidang
ekonomi akhirnya memunculkan gosip, cerita-cerita, dan stigma terhadap orang Cina, yang

hingga saat ini terus bergemuruh di setiap sudut kehidupan.
Arena konflik keduanya merambat sampai tempat-tempat primer seperti kehidupan
keluarga. Gosip, cerita, dan sinisme berkembang di sana tanpa disadari. Perbincangan
bermula dari harga sebuah produk hingga merambat sampai ke hal yang menyudutkan
orang Cina. Demikian pula pada kehidupan beragama yang seharusnya dapat memfasilitasi
relasi orang Jawa dengan orang Cina malah memperuncing dan mempertegas timbulnya
konflik. Alasan perbedaan agama juga menjadi hal yang memunculkan konflik keduanya 11,
padahal dalam kehidupan sosial, hal itu tidak pantas untuk dipermasalahkan. Cukup tahu
8 Ibid.,
9 Ibid., hlm. 2
10 Ibid.,
11 Ibid.,

dan mengerti saja bagaimana orang lain beragama, jangan menjadikan hal itu sebagai
masalah yang memicu timbulnya konflik.
KESIMPULAN
Konflik antara etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi muncul ketika adanya
rasa khawatir akan perbedaan warna kulit dan sifat ke-Tionghoaan yang menurun kepada
anak-anak mereka. Setelah reformasi, konflik kembali terjadi. Penjarahan dan pembakaran
toko milik orang Cina serta menyalahkan orang Cina sebagai penyebab dari krisis ekonomi

Indonesia saat itu menimbulkan konflik besar. Surakarta – Mei 1998 – api menyala dititiktitik tertentu. Peristiwa pembakaran dan penjarahan kompleks pertokoan dan rumah yang
tidak hanya milik orang Cina saja ikut terbakar. Keadaan kota Surakarta sehari setelah
peristiwa penjarahan dan pembakaran menjadi sepi dan mencekam. Tidak ada orang yang
berani keluar malam karena listrik juga padam pada malam itu. Untuk mengantisipasi
terjadinya penjarahan lagi, hampir semua jalan kampung dibarikade, ditutup rapat-rapat
dengan berbagai benda oleh warga setempat guna menghindari perusuh yang masuk ke
kampung mereka. Pemicu timbulnya kembali konflik antara orang Jawa dengan orang Cina
ialah permasalahan sosial ekonomi – terutama ekonomi karena orang Cina memegang andil
besar di dalamnya. Persoalan itu memunculkan sikap rasis antara keduanya. Konflik itu
berkembang dari ucapan-ucapan, desas-desus, gosip, dan khotbah-khotbah yang secara
tidak sengaja menyinggung. Oleh sebab itu, konflik orang Jawa dengan orang Cina ini
merupakan konflik batin yang keduanya tidak saling terbuka tapi saling memojokkan
dengan berbagai hal.

DAFTAR PUSTAKA
Fitriana, Aulia; Relin Endra; Fatih Abdulbari. 2017. Akar Konflik Etnis 1998 di Surakarta
(Tinjauan Kritis Historis). Karya tulis ilmiah, tidak diterbitkan.

Ma’arif Jamuin. 1999. Konflik “Jawa-Cina” di Solo. Solopos 18 Agustus 1999.
Ma’arif Jamuin. 1999. Konflik “Jawa-Cina” di Solo. Solopos 19 Agustus 1999.

Peter Carey. 2015. Orang Cina, Bandar Tol, Candu, dan Perang Jawa Perubahan Persepsi
Tentang Cina 1755-1825. Depok: Komunitas Bambu.
Tim Solopos. 1998. Solo Rusuh, Pembakaran Dimana-mana. Solopos, 15 Mei 1998.
Tim Solopos. 1998. Hancur sudah Kota Bengawan. Solopos, 16 Mei 1998.
Tim Solopos. 1998. Rekaman Lensa “Solo membara”. Solopos, 15 Mei 1998.
Tim Solopos. 1998. Rekaman Lensa “Solo luluh lantak”. Solopos, 16 Mei 1998.
Tim Solopos. 1998. Rekaman Lensa “Solo pasca kerusuhan”. Solopos, 18 Mei 1998.
Tim

Solopos.

1998.

Rekaman

Solopos, 19 Mei 1998.

Lensa

“Kehidupan


Solo

mulai

menggeliat”.

LAMPIRAN