Sastra Fenomenologis Perayaan Makna atau

1

ISSN: 2252-7931
DAFTAR ISI
RUANG REDAKSI

-3

Nocturnalena
ESAI

-4
Indonesia yang Merdeka, Kaum Muda
dan Kebebasan Berekspresi
(Elvan De Porres)
Sastra Fenomenologis: Perayaan Makna atau
Teritorialisasi Subjektivisme
(Sintus Runesi)

CERPEN
Gerhana Bulan

(Silviana Yanti Mesakh)

-23

Ibu
(Kristo Suhardi)
In the Rain
(Cheyene Djema)
PUISI
Agust Kani
Berthy Enjelina Djawa
KUSU-KUSU

-39

-44

Lamafa di Lamalera
(Amanche Franck Oe Ninu)
RESENSI

Homo Lunaticus
(Mario F. Lawi)

-49

KARTUN
Ti’i Rita & To’o Kletus (Elozt)

-53

2

RUANG REDAKSI
Nocturnalena
Seorang gadis kecil
Menyusuri muara.
Didengarnya suara
Cakrawala memanggil.
―Bagaimana cara melepaskan
Sulur pantai yang

Menjerat kakiku?‖
Matahari menghapus sisa
Tulisan di pantai
Yang dilupakan angin
Dan ombak.
(Pantai Lasiana, 30 Juli 2015)

Jurnal Sastra
SANTARANG
Diselenggarakan dan diterbitkan oleh Komunitas Sastra Dusun Flobamora
Pelindung/ Penasehat:
Rm. Sipri Senda, Pr & Dr. Marsel Robot
Penanggungjawab:
Amanche Franck OE Ninu, Pr. & Patris Allegro Neonnub, Pr.
Pemimpin Redaksi: Mario F Lawi|Pengasuh Rubrik: Esai:
Januario Gonzaga|Cerpen: Djho Izmail|Puisi: Christian Dicky Senda|
Kusu-kusu: Amanche Franck|Profil: Arky Manek|Resensi: Saddam HP|
Lay-out: Abdul M. Djou|Kartun: Elozt |Ilustrasi Isi: Arystha Ayu|
Email redaksi: santarang@yahoo.co.id
Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esai, resensi, cerpen dan

puisi. Lampirkan biodata narasi di akhir tulisan yang dikirim.

Edisi 40, Agustus 2015

3

Esai

Sastra Fenomenologis: Perayaan Makna
atau Teritorialisasi Subjektivisme?
Catatan untuk Esai Giovani A. L. Arum

Sintus Runesi
Membaca judulnya, membuat saya tertarik membacanya sampai
selesai. Esai Giovani tentang sastra fenomenologis, sastra yang
mengundang kita turut merayakan keragaman makna. Satu hal yang
gamblang mengemuka menyangkut proposal konseptualnya, adalah
upaya mengelaborasi sosiologi estetis warga sastrawan terkait
kebebasan ekspresif sastrawi mereka. Namun, di akhir pembacaan atas
esai tersebut, saya menemukan bahwa ada implikasi yang datang dari

pandangannya, jauh melebihi apa yang mungkin dipikirkan sang
penulisnya.
Oleh karena itu, apa yang akan hadir lewat artikel ini lebih sebagai
refleksi yang bergerak maju secara kritis-dialektis (cf. κρίζιςmemutuskan dan διαλέγεζθαι-berdialog). Saya akan mulai dengan
coba menangkap maksud Giovani, yakni apa yang secara positif bisa
kita petik dari proposal konseptual Giovani. Kemudian, saya akan
mencoba menunjukkan karakter postmodernisme dan bagaimana
postmodernisme itu dilihat dalam hubungan dengan fenomenologi. Di
bagian ini, saya akan coba memerlihatkan kelemahan dari apa yang
disebut sebagai sastra fenomenologis sebagai sastra postmodernisme.
Saya akan mengakhirinya dengan sebuah anjuran kritis.

Esai Giovani dibuka dengan sebuah telisik kritis mengenai
modernitas yang bermula dalam legasi Cartesianisme dengan diktum
mengenai satu bentuk kombinasi misterius dan tak menentu dari satu
tubuh mekanis dan satu pikiran imanentif. Distingsi pikiran-tubuh
sebagai distingsi subjek-objek. Kategori ini, dengan salah satu
derivatnya hadir dalam ilmu-ilmu positivistik yang mengandung di

Edisi 40, Agustus 2015


9

Esai
dalamnya asumsi tentang naturalisme kalau diletakkan dalam konteks
humanitas. Salah satu keyakinan naturalisme dalam ilmu-ilmu
positivistik, adalah keyakinan bahwa dunia sosial dan masyarakat
mampu dimengerti menggunakan kriterium metodologi ilmu-ilmu
alam. Hal yang kemudian coba difinalkan dalam rekonstruksi historis
August Comte.
Hasil dari logika Cartesian antara lain, manusia diceraikan dari
dunia yang dihayatinya. Manusia seolah dikeluarkan dari gendongan
firdaus asalinya. Dunia bukan lagi tempat penghayatan kemanusiaan,
tetapi tempat penubuhan rasionalitas fungsional dan kekuasaan
pengetahuan manusia. Di situ, manusia menempatkan dirinya sebagai
seorang penakluk, dan dunia merupakan entitas yang bisa diringkas
dan diringkus ke dalam rumusan-rumusan yang ajeg dan niscaya
sekaligus bersifat ahistoris.
Ada dua hal yang patut dicatat di sini. Pertama, bahwa tendensi itu
sebenarnya sudah dilawan sejak dalam modernitas itu sendiri, melalui

para eksponen romantisisme, yang memuncak dalam proyek
kemabukan emosional musik-musik klasik Richard Wagner dan
nihilisme Friedrich Nietzsche. Dan karena itu, yang kedua, kita perlu
membedakan antara kritik terhadap rasionalitas modern sebagaimana
dibuat oleh para eksponen romantisis, dengan kritik terhadap subjek
yang didefinisikan sebagai kesadaran dan sebagai kehendak, yakni
manusia sebagai author (punya otoritas) bagi tindakan dan gagasangagasannya, terutama punya otoritas mutlak atas hubungan antara
impresi sensorik dunia eksternal dengan sensibilitas internal subjek.
Dua hal ini, membantu dalam melihat gerak pergeseran, yakni
bagaimana perlawanan atau reaksi terhadap satu hal mengakibatkan
subjek jatuh pada yang lain. Misalnya, reaksi atas rasionalisme
Cartesian membawa kepada irasionalisme Nietzschean.
Salah satu reaksi atas model Cartesianisme datang dari Edmund
Husserl yang memerkenalkan ilmu baru bernama fenomenologi.
Fenomenologi hadir dengan signifikansinya mengenai sikap seorang
10

KREATIF DAN INSPIRATIF

Esai

pemula di hadapan realitas. Sikap membiarkan kenyataan masuk ke
dalam kesadaran kita sebagaimana adanya. Jadi, ada pergeseran dari
tema pemikiran khas Cartesianisme kepada tema kesadaran dalam
fenomenologi. Mengikuti Heidegger berarti, kita bergeser dari
pikiran kalkulatif (das rechnende Denken) ke pikiran meditatif (das
besinnliche Nachdenken). Menjadi sadar sebagai pemula, sebentuk
keheranan (θασμάζειν) serupa anak di hadapan realitas apa adanya.
Dengan begitu, dalam konteks sastra, bisa kita rumuskan sastra
fenomenologis sebagai sastra yang memberi ruang sebesar-besarnya
bagi ekspresi kebebasan dan pembebasan aisthēsis (αἵζθηζις)
sastrawan. Sastra yang menjadi medan ekspresi tangkapan sensasi,
objek aisthēsis sastrawan. Maka, kita bisa bertemu dengan cerpen
―Matinya seorang Demonstran‖ dari Agus Noor, atau ―Wanita
Sepotong Kepala‖ dari Januario Gonzaga, puisi-puisi disiden Wiji
Thukul, bahkan sampai film seperti ―Jagal‖ dan ―Senyap‖ dari Joshua
Oppenheimer, ibarat invitasi yang datang dari anamnesis atas
kekalahan pihak-pihak periferi dan subalternum.
Persis di sini, nampak gamblang apa yang ingin diartikulasi oleh
Giovani dalam estetika kebebasan dalam perspektif fenomenologi.
Bahwa sastrawan fenomenolog adalah sastrawan yang membuat kita

menyadari, kalau ada multiplisitas peristiwa yang terjadi, yang tidak
kait-mengait secara langsung, dengan kebutuhan langsung kita dari
saat ke saat. Sastra fenomenologis adalah sastra yang bisa membuat
seorang pak polisi tahu kalau ada human trafficking, sastra yang bisa
membuat anggota Dewan tahu kalau harga bawang sedang
melambung, walau mungkin anggota Dewan itu sendiri tidak mampu
melihat hubungan antara harga bawang dengan pekerjaannya yang
cuma studi banding. Dengan demikian, sastra fenomenologis
memerlihatkan karakter emansipatoris dari aktus bercerita.


Edisi 40, Agustus 2015

11

Esai
Namun, secara epistemologis dan etis, saya menemukan ambiguitas
posisional menyangkut arah sastra fenomenologis, kalau kita
memahaminya dalam hubungan dengan penegasannya mengenai
dunia yang taken for granted, sambil menanggalkan sejenak konstruksi

rasional yang sudah ada. Apakah dengan bantuan fenomenologi,
Giovani bermaksud menyatakan kepada kita mengenai peran sastra
sebagai sastra yang terlibat dengan konteks untuk mengangkat
keragaman peristiwa sebagai peristiwa dengan determinasinya atau
kekhasannya masing-masing? Atau sastra yang terlibat dengan
peristiwa sebagai problem kehidupan etis dalam dunia yang sedikit
edan?
Sesuai dengan konstruksi teoritis Husserl, fenomenologi
mengarahkan perhatian kita pada ‗bagaimana sesuatu itu
memerlihatkan diri‖ dan bukan ―mengapa sesuatu seperti itu dan
bukan seperti ini‖. Bukan mengapa tidak perempuan kaya, tidak anak
perempuan seorang pejabat kepolisian atau pejabat imigrasi yang
menjadi korban? Fenomenologi tidak cukup punya waktu
menyibukkan diri dengang pertanyaan mengapa.
Sehubung itu, pertanyaan yang muncul adalah terberi seperti apa
yang direpresentasikan melalui deskripsi sastrawi sastrawan
bersangkutan? Sebabnya, semurni apa pun yang terberi itu,
representasionalitas kehadirannya di dalam teks ditentukan oleh apa
yang disebut sebagai struktur hermeneutis prapemahaman setiap
orang yang selalu berbeda-beda karena bentukan lingkungan,

pendidikan, latar belakang sosio-religius maupun karakter melankolik
(Kristeva) dari jiwa seseorang. Albert Camus dalam Sampar misalnya,
secara gamblang memerlihatkan bagaimana struktur prapemahaman
setiap tokoh memengaruhi cara melihat dan menilai keberadaan
penyakit sampar yang menerabas masuk wilayah Oran dan
membunuh banyak warganya.
Dengan begitu, apakah kita perlu mencintai atau bahasa Edith
Stein berempati dengan ―seorang perempuan yang dijual ke Makasar‖
12

KREATIF DAN INSPIRATIF

Esai
karena itu adalah suatu peristiwa apa adanya, atau karena ―perempuan
yang dijual ke Makasar‖ adalah problem sosial menyangkut martabat
seorang manusia. Singkatnya, apakah cara kita mencintai ―seorang
perempuan yang dijual ke Makasar‖ lewat sastra dapat menjadi
momen redemptif secara sosial kalau kita diajak menghadapi setiap
peristiwa apa adanya sambil sedapat mungkin mengurungkan segala
asumsi etis-moral yang menentukan cara kita menilai peristiwa
tersebut? Bagaimana sastra fenomenologis dapat hadir dengan
kapasitas rupturenya, kalau ia hanya menghadirkan kenyataan apa
adanya?
Ambiguitas lainnya, muncul dari gagasan tentang menjadi pemula.
Pada reduksi mana pemula ini harus ditempatkan dan dimengerti?
Kalau pada level reduksi pertama, berarti apakah penekanan harus
diberikan kepada operasi phantasia (υαντασία) yang mengarah
langsung kepada kepentingan pleasure, yang dalam bahasa Kant
berarti mengarah kepada keharusan kesenangan estetis yang bertaut
erat dengan sensus communis dalam diri subjek, atau penekanan pada
eikasia (εἰκασία) yang bertujuan menjaga ketepatan imitasi dan
kapasitasnya untuk menghadirkan realitas dalam originalitasnya
tanpa mengisinya dengan asumsi-asumsi moral tertentu. Dalam
konteks fenomenologis, akan kita pertanyakan mengapa harus hal
tertentu yang dikurungkan sedangkan hal lainnya tidak dikurungkan?
Jawaban atas pertanyaan ini akan menuntut kita menelusuri
historisitas kehidupan sastrawan demi memeroleh jawaban yang
sedekat mungkin.

Dengan mendiskusikan buku Georg Orwell Animal Farm, Richard
Rorty pernah menulis bahwa adalah tugas literatur (seni dan sastra)
saja untuk menghadapi problem semasa ini seperti kekerasan
identitas; kekerasan politik; kemiskinan; kelaparan; human trafficking;
dan bukan tugas filsuf, sosiolog dan kekuasaan apalagi tugas pendeta
dan pastor dari atas mimbar. Bahkan dengan menggelapkan peran

Edisi 40, Agustus 2015

13

Esai
sosial lebih luas dari para filsuf dan sosiolog, Rorty enteng
menyatakan bahwa filsuf dan sosiolog itu sebuah ―fungsi keimamatan‖
eksklusif dari segelintir orang yang bisa seenaknya mengklaim apa
yang seharusnya benar dan etis. Asumsi itu, dalam satu dan lain cara
terafirmasi dalam sosok sastrawan disiden Wiji Thukul untuk konteks
Indonesia. Rorty yakin bahwa, sebenarnya tidak ada kebenaran atau
apa itu humanisme universal. Orang tidak membincangkan
kebenaran, sebaliknya membincang atau merancang bagaimana
menguasai.
Nada yang sama dapat ditemukan dalam pernyataan Giovani
berikut:
―Seorang satrawan tentu tidak harus mengangkat karya-karya
besar tentang tokoh-tokoh penting, Presiden, Menteri, anggota
DPR, Ilmuwan, rohaniwan dan yang lainnya yang serupa.
Sastrawan adalah juga mereka yang mencintai perempuanperempuan yang dijual ke Makasar, loper-loper koran di
sekitaran bundaran, mahasiswi yang masih menunggak uang
regis dan yang lainnya yang serupa. Bagi sastrawanfenomenolog, peristiwa yang bermakna bukan hanya persoalan
BBM yang dinaikan, berapa gaji para anggota DPR-MPR,
bagaimana artis mengganti bajunya setiap hari, atau mungkin
apa isi UU PEMILUKADA yang sudah disahkan, melainkan
juga berapa harga kue yang harus dijual oleh seorang ibu di
pasar sehingga bisa membayar anaknya sekolah, pun berapa
banyak batang kangkung yang harus dikurangi oleh penjual
sayur supaya mampu membayar biaya ojek kembali ke rumah
dan yang lainnya yang serupa. Segala peristiwa adalah lautan
penuh makna.‖

Pernyataan ini dalam amatan saya bukan sebentuk penegasan
terhadap pandangan Husserl mengenai ―horizon
panoramik‖ (Überschau). Horizon panoramik mau menyatakan bahwa
ada sejenis tindakan di mana seseorang mengalami kehidupan
personalnya sebagai satu keseluruhan. Suatu momen penilaian
terhadap hidup dalam satu makna tunggal tapi bukan final. Ia sebuah
14

KREATIF DAN INSPIRATIF

Esai
aprehensi korelatif dalam satu totalitas yang penuh. Heidegger
misalnya, pada satu momen dalam perjalanan pemikirannya, sampai
pada pemaknaan bahwa manusia itu adalah ada-menuju-kematian.
Namun, apa yang terlihat dari pernyataan Giovani di atas, dan
bersua dengan artikulasi Rorty adalah, keduanya membagi sebuah
keyakinan mengenai orientasi fundamental subjek postmodern terkait
ide mengenai kreasi-diri individual yang telah dikumandangkan oleh
Nietzsche namun memiliki akarnya dalam romantisisme, dalam
hubungan dengan determinasi pengalaman atau determinasi kasus
(Bestimmung) dalam ungkapan Husserl. Bagi Nietzsche, subjek adalah
seseorang, yang kehadirannya memuat kemungkinan kebebasannya
dapat direalisasikan ketika, terlepas dari semua bentuk ekspektasi
normatif-teknis dan pembatasan, mereka mampu untuk secara kreatif
memproduksi (poiesis [ποίηζις] , techne [ηέτνη] – puisi) gambaran
dirinya sepanjang waktu. Asumsi nietzschean ini oleh Giovani diberi
warna fenomenologi, yang ia sebut terlibat sebagai pemula ke dalam
dunia apa adanya. Sastra fenomenologis adalah sastra yang memberi
ruang kepada keragaman artikulatif peristiwa sebagai peristiwa.
Dengan asumsi Nietzschean yang berada dibelakangnya, hemat
saya, sastrawan fenomenolog rawan jatuh kembali kepada sebentuk
cartesianisme baru sebagaimana Husserl sendiri jatuh pada ego
transendental, yakni subjektivisme estetis dan makna yang diartikulasi
adalah makna subjektif. Hal ini sebenarnya sudah dikritik oleh Roman
Ingarden, salah satu murid Husserl sendiri. Ingarden menulis bahwa
Husserl mereduksi dunia-kehidupan dan dunia fisik menjadi sesuatu
yang subjektif, tergantung pada kesadaran imanen subjek. Di sini,
makna sebagai tataan kedua yang merupakan makna subjektif
mengambang, menyembul keluar ke dalam ruang publik sekadar turut
meramaikan pesta kata-kata.
Jika gambaran ini tepat, maka kalau dilihat dalam tautannya
dengan tindakan, berarti makna dan kondisi memberi variasi kepada
tindakan subjek, dan karena pemaknaannya bersifat subjektif, maka

Edisi 40, Agustus 2015

15

Esai
tindakan subjek yang diarahkan oleh pemaknaan subjektif belum pasti
menggugah orang. Ini hampir pasti mengafirmasi pandangan Husserl
dari periode Idea I menyangkut tingkatan dalam estetika. Tingkatan
pertama dalam karya sastra, menurut Husserl terkait bunyi dan
formasi suara berdasarkan teks, dan apa yang ada pada tingkatan
pertama belum tentu serasi dengan makna yang ditangkap seorang
pembaca pada tingkatan kedua. Dengan mengutip Ricoeur, kita dapat
mengargumentasikan bahwa makna yang ditangkap oleh pembaca
tidak mesti bentuk copy paste dari maksud penulis, karena otonomisasi
teks memungkinkan keragaman pemaknaan.
Ambil contoh, seorang sastrawan dengan resonansi jiwa yang lebih
dekat dengan gerakan kiri akan melihat karya-karya Sutardji sebagai
omong kosong. Konsekuensi sosial dari pendirian semacam ini, bila
disokong dengan sebentuk kediktatoran estetis, hal yang hemat saya
tidak dipikirkan oleh Ricoeur, adalah kita atau masyarakat dijebak ke
dalam apa yang bisa disebut sebagai patologi sosio-kultural. Salah
satu bentuknya adalah kesimpangsiuran pemaknaan, skizofrenik
budaya. Dalam bahasa Ricoeur, sastra fenomenologis tak dapat hadir
dengan karakter rupture-nya yang memiliki kekuatan menerabas
penindasan simbolik, karena rupture-nya justru bersifat skisofrenik. Di
situ, suatu problem tidak diselesaikan tetapi subjek justru
dibombardir dengan keragaman artikulatif pemaknaan problem.
Kesimpangsiuran pemaknaan berarti setiap orang boleh (sesuatu
yang diberi ruang seluas-luasnya dalam demokrasi) memberi makna
kepada suatu peristiwa atau tindakannya dengan mengembalikan
referensi pembenaran pemaknaannya kepada dorongan subjektif
orang tersebut sesuai semangat romantisisme. Di sini, makna yang
diartikulasi dipengaruhi secara mendalam oleh resonansi jiwa,
dorongan estetis, reaksi estetis, atau tangkapan sensasi yang muncul
dari dalam diri subjek bersangkutan, dan rasionalitas hanya berfungsi
instrumental memberi pembenaran. Ini dapat mengarah kepada
sebentuk kediktatoran pemaknaan ketika subjek hanya menerima apa
16

KREATIF DAN INSPIRATIF

Esai
yang dipikirkan sebagai paling tepat, benar dan memadai dan menolak
makna lain yang diartikulasi subjek lain.
Sampai di sini, kita bisa memahami mengapa seorang sastrawan
seperti Saut Situmorang misalnya, dengan enteng atas nama
pleonasme, sarkasme mengatai seterunya dan menganggap tindakan
itu adalah bagian dari kritik sastra yang dapat disejajarkan dengan
kritik sastra bercorak sosiologis seperti dilakukan oleh Ignas Kleden.
Atas nama sarkasme misalnya, orang boleh menyebut seorang sebagai
bajingan dan menganggap itu sebuah politik bahasa dan dengan
asumsi yang ‗semena-mena‘, menganggap semua orang harus mampu
berpikir seperti dirinya, melepaskan segala asumsi etis dan melihat
politik bahasa itu sebagai hal yang wajar. Tetapi, kalau sarkasme
misalnya, adalah sesuatu yang bersifat kekecualian dalam kehidupan
publik, dan ternyata kekecualian itu berubah menjadi aturan, karena
dipakai terus-menerus, sekalipun secara individual (dengan begitu
meniadakan pembedaan antara kekecualian dengan norma, sehingga
kritik tidak didasarkan pada asumsi etis tertentu tetapi lebih
didasarkan pada reaksi estetis), bukankah sastra sebagaimana kritik
Axel Honneth pada Rorty merupakan ―a placeholder for social
pathologies”. Honneth bahkan menyatakan bahwa ―literature in such a
way, as a kind of medium for violations, deficiencies and ruptures of our
life”.
Inilah asumsi nietzschean tentang nihilisme, karena
mengembalikan referensi pembenaran pada subjek. Seturut ini,
nihilisme menjadi puncak pencarian estetis yang berakar pada
perceraian dan demarkasi radikal antara estetika dan etika, antara seni
dengan yang transenden. Ini tidak berarti tidak ada nilai, sebaliknya
nilainya adalah nilai subjektivisme. Di sini, literatur (sastra) menjadi
muasal, suatu placeholder bagi patologi sosial karena menempatkan
objek estetis sastra, tangkapan dan ungkapan estetis-subjektif
sastrawan ekuivalen nilai-nilai moral. Kalau sastra menjadi tempat
awal patologi sosial, apakah sastrawan fenomenolog dapat disebut

Edisi 40, Agustus 2015

17

Esai
sebagai penyelamat merujuk pada pernyataan Giovani mengenai
sastra fenomenologi yang menyediakan jalan keselamatan universal?
Michel Henry pernah menulis bahwa [tangkapan] internal sama
dengan interioritas [subjek] sama dengan keseharian sama dengan tak
kelihatan sama dengan pathos.
Dengan demikian, kalau tepat, pada akhirnya, kita akan melihat
bahwa seberapa tepatnya imitasi atas kenyataan, atau seberapa
menyentuhnya suatu karya sastra, atau seberapa kirinya sebuah karya
sastra, per definitionem ia adalah sesuatu yang subjektif. Animal Farm
atau Tetralogi Bumi Manusia misalnya, merefleksikan atau
menggambarkan bahkan mendemonstrasikan melalui mediasi estetik,
masalah pem-binatang-an subjek, ruptur maupun trauma yang terjadi
dalam kehidupan. Dalam bingkai sastra atau literatur secara umum,
semua itu adalah eksplisitasi nyata reaksi kritis-estetis subjek
bersangkutan.
Namun, karya-karya tersebut tetaplah literatur yang bersifat
subjektif, dan berhadapan dengan beragam patologi sosial maupun
defisiensi kultural yang bersifat tersembunyi, sesuatu yang subjektif
tidak cukup radikal mengganggu rasionalitas publik. Oleh karena itu,
selama rasionalitas sosial tidak terganggu, ―seorang perempuan yang
dijual ke Makasar‖ bukanlah suatu problem akut yang tersangkut
dengan martabat perempuan sebagai manusia, tetapi sebagai suatu
faktisitas, suatu fenomena apa adanya yang tidak punya hubungan
dengan dominasi tertentu. Kalau Seno Gumira bilang bahwa ketika
kediktatoran membungkam, sastralah corong yang bisa dipakai untuk
berbicara, lalu pertanyaannya adalah dalam konteks demokrasi yang
memberi ruang kebebasan untuk bersuara, bagaimana represi dan
dominasi tersembunyi yang sering tampil dengan wajah menawan
bisa dilawan?

Michel Foucault menulis dalam Theatrum Philosophicum bahwa
dalam fenomenologi, makna tidak pernah mewakili sebuah peristiwa
18

KREATIF DAN INSPIRATIF

Esai

(event). Baginya, fenomenologi gagal untuk menangkap dan
memahami peristiwa, sebab dengan dalih bahwa signifikansi/makna
hanya ada bagi kesadaran, maka tempat bagi peristiwa berada di luar
dan mendahului kesadaran, atau di dalam dan sesudahnya, dan selalu
disituasikan oleh respek seputar diri (self). Foucault lalu bilang, bahwa

Edisi 40, Agustus 2015

19

Esai
era yang ditandai dengan meningkatnya perkembangan teknologi
merupakan era Deleuzeian, merujuk kepada pemikiran Deleuze
mengenai teritorialisasi.
Teritorialisasi dalam Deleuze adalah menyangkut fenomena
penumpukan massa karena seduksi citra mediatik teknologi
kapitalisme. Di situ, tidak ada subjek individual, person yang
―berwajah‖ (Levinas), tetapi hanya gerombolan yang selalu berpindah
dari satu teritori ke teritori lain mengikuti gembalanya, sebuah
signifikasi tak sadar atau supraindividual. Misalnya, orang tidak
membeli sesuatu karena kebutuhan, tetapi karena orang lain membeli.
Seorang anak muda merasa lebih berisi kalau makannya di KFC tapi
minumnya di Starbucks, seperti dibuat oleh orang lain. Guattari
menyebut teritorialisasi sebagai ―chaosmosis‖, peristiwa penyuaraan
yang terus-menerus, sebuah kemengaliran tanpa henti, tanpa makna
yang pasti yang membebaskan. Subjek sekadar mesin yang
dikendalikan oleh sesuatu yang supraindividual. Subjek tidak mampu
memertanyakan atau mengkrititsi pertanyaannya maupun reaksinya
sendiri (Cogito blesse).
Problem yang muncul dalam tautan dengan sastra fenomenologis
adalah spasialitas subjektivisme yang diteritorialisasi terjebak ke
dalam subjektivitas isolasionis dalam reaksi estetisnya. Hal tersebut,
sudah nampak dalam proyek Husserl yang pada akhirnya jatuh pada
ego transendental yang kontemplatif dan autopoesis. Kontemplatif dan
autopoesis dalam pengertian Lukácsian-Honnethian berarti subjek
hanya menjadikan subjek lain sebagai objek, karena kehilangan
perhatian (Sorge). Subjek kontemplatif dan autopesis tidak punya
perhatian tetapi dikendalikan sepenuhnya oleh prinsip tujuan
menghalalkan cara. Subjek tidak punya hati, dalam ungkapan lazim
masyarakat. Maka, kita menemukan bahwa biasanya penindasan atau
pun kekerasan paling kontemplatif terjadi ketika subjek yang ditindas
tidak merasa bahwa ia sedang ditindas.
Dalam fenomenologi, sebagai reaksi terhadap Cartesianisme,
20

KREATIF DAN INSPIRATIF

Esai
terjadi pergeseran dari tema pemikiran kepada tema kesadaran.
Namun, sebagaimana diungkapkan oleh Hannah Arendt, tidak semua
punya kesadaran kritis atas situasi di mana ia sedang tertanam,
sebaliknya seseorang bisa menjadi sangat banal dalam situasinya,
karena terhegemoni oleh seduksi-seduksi kekuasaan yang menindas
dan membungkam. Di sini, sastra fenomenologis dapat dianalogkan
dengan smartphone. Ia, pertama-tama bukan menjadi jalan penyelamat
tetapi tempat subjek narsis men-selfie dirinya sendiri, bagi dirinya
sendiri.
Sastra fenomenologis dalam konteks penulis, bukanlah imbalhubung antara kesadaran dengan kenyataan, tetapi baku-hubung dari
kenyataan ke teks sastra dengan kebebasan estetis-imaginatif
sastrawan sebagai mediumnya. Menyangkut pluralisme peristiwa atau
fakta, Nietzsche menulis dalam The Will to Power bahwa ―there are
many kinds of eyes…. Consequently there are many kinds of „truths,‟ and
consequently there is no truth”. Dalam garis pikir yang sama, kalau sastra
fenomenologis disebut sebagai sastra yang mengangkat segala
peristiwa untuk dimaknai, berarti ada banyak makna, konsekuensinya
tidak ada makna. Dengan demikian, apakah berarti sastra
fenomenologis hanya ingin menegaskan – menyitir pernyataan Hegel
tentang seni – bahwa sastra sudah berakhir?

Daftar Bacaan:
Andrea Staiti, ―Überschau and The Givenness of Life in Husserl‘s
Phenomenology‖ dalam 41st Annual Meeting of the Husserl Circle,
June 21st-23st 2010, New York: New School for Social Research,
2010, pp. 74-85.
Giovani A. L. Arum, ―Sastra Fenomenologis: Sastra yang Merayakan
Makna‖ Jurnal Santarang, 32 (Desember 2014), pp. 2-10.

Edisi 40, Agustus 2015

21

Esai
Jan Patočka, Body, Community, Language, World, trans. Erazim Kohák,
Chicago: Open Court, 1998.
John D. Caputo, Radical Hermeneutics: Repetition, Deconstruction, and the
Hermeneutic Project, Bloomington: Indiana University Press,
1987.
John Sallis, Force of Imagination: The Sense of the Elemental,
Bloomington: Indiana University Press, 2002.
Martin Heidegger, ―Six Basic Developments in the History of
Aesthetics‖ dalam Nietzsche Vol. I-II, trans. David Farrell Krell,
New York: HarpersCollins, 1991, pp. 80-91.
Michel Foucault, ―Theatrum Philosophicum‖ dalam Aesthetics, Method,
and Epistemology, ed. James D. Faubion, (New York: The New
Press, 1998), pp. 343-368.
Michel Henry, Seeing the Invisible: On Kadinsky, trans. Scott Davidson,
London: Continuum, 2009.
Muhammad Al-Fayyadl, ―Andai Saut Situmorang di Penjara‖ (27
Maret 2015) dalam http://literasi.co/Andai-Saut-SitumorangDipenjara
Richard Rorty, Contingency, Irony and Solidarity, Cambridge:
Cambridge University Press, 1989.

Sintus Runesi, tinggal di sintusrunesi@gmail.com .

22

KREATIF DAN INSPIRATIF