Lembar Kerja Ekonomi dan Studi Pengemban

Lembar Kerja Ekonomi
dan Studi Pengembangan

No. 201409

Komoditas Harga Internasional dan
Kesenjangan di Indonesia
Arief Anshory Yusuf
Pusat Ekonomi dan Studi Pembangunan CEDS

June 2014

Center for Economics and Development Studies,
Department of Economics, Padjadjaran University
Jalan Cimandiri no. 6, Bandung, Indonesia.
Phone/Fax: +62-22-4204510
http://www.ceds.fe.unpad.ac.id
For more titles on this series, visit:
http://econpapers.repec.org/paper/unpwpaper/

Komoditas Harga Internasional dan

Kesenjangan di Indonesia
Arief Anshory Yusuf1
Universitas Padjadjaran
abstrak

Telah ada peningkatan perhatian pada ketidaksetaraan di Indonesia. dari
2009-2011, koefisien meningkat 0,37-0,41, yang tertinggi yang pernah tercatat di
sejarah Indonesia. Selama periode yang sama, harga dunia banyak komoditas
ekspor Indonesia menjadi dua kali lipat. Sebagai sektor-sektor, khususnya
pertambangan,

intensif

intensif,

ini

hal

dan


dapat

terampil

tenaga

meningkatkan

kerja

kembali

yang
faktor

sangat

besar


intensif

yang

digunakan,sehingga memiliki kecenderungan untuk meningkatkan ketimpangan.
Menggunakan model INDONESIA-E3, sebuah Computable General Equilibrium
model

ekonomi

Indonesia,

makalah

ini

meneliti

sejauh


mana

kenaikan harga dunia komoditas ekspor utama Indonesia (perkebunan dan
pertambangan) memberikan kontribusi untuk peningkatan ketimpangan di
Indonesia. Dampak dari kenaikan harga 8 komoditas ekspor utama Indonesia
disimulasikan selama periode 2009-2011. Hasilnya menunjukkan bahwa mereka
memang meningkatkan ketidaksetaraan, namun dengan besarnya

hanya

seperempat dari peningkatan koefisien diamati periode 2009 hingga 2011. Faktor
yang dominan balik peningkatan koefisien dapat ditelusuri dengan peningkatan
harga dunia pertambangan komoditas daripada perkebunan. Pengaruh kenaikan
harga dunia karet, sawit minyak, kopi, dan teh diabaikan dan pengentasan
kemiskinan di daerah pedesaan. Di sisi lain, efek dari kenaikan harga dunia
batubara, minyak, gas, dan logam menghasilkan peningkatan yang signifikan
dalam ketidaksetaraan. Temuan ini menunjukkan bahwa, dari perspektif
kesetaraan, membatasi ekspor estate tanaman komoditas di tengah-tengah

booming komoditas tidak akan menguntungkan bagi agenda pengurangan

kemiskinan, terutama di daerah pedesaan. Kata kunci: Harga komoditas,
ketimpangan, Indonesia, General Equilibrium, CGE
1. Perkenalan Indonesia, dengan standar apapun, dapat dianggap sebagai telah
berhasil meningkatkan GDP per kapita. Sejak awal dari "Orde Baru" pemerintah,
sampai dengan sebelum 1997 Indonesia Krisis ekonomi, telah membawa
peningkatan pendapatan riil per kapita hampir empat kali. Meningkatnya
pendapatan

Indonesia

rata-rata

juga

telah

disertai

dengan


luar

biasa

pengurangan kemiskinan. Jumlah penduduk miskin menurun dari 54.200.000
orang pada tahun 1976 (40,1% dari total penduduk) menjadi 22,5 juta orang
(11,3% dari total populasi) pada tahun 1996 (Alisjahbanaetal

2003).

Sementara menghargai pencapaian pembangunan ekonomi Indonesia jangka
panjang dijelaskan di atas, beberapa masalah dalam isu-isu sosial masih tetap.
Salah

satunya

adalah

bahwa


peningkatan

pesat

dalam

1 Penulis ingin mengucapkan terima kasih proyek USAID-SEADI untuk
mendanai penelitian ini, Geoffrey Hewings untuk komentar yang berguna
dan saran dan Megananda untuk bantuan penelitian yang sangat baik. Semua
kesalahan adalah tanggung jawab penuh penulis. Biasa disclaimer berlaku.
1.

pendapatan per kapita, meskipun mengurangi kemiskinan, belum diikuti

dengan pengurangan di ketimpangan pendapatan. Namun, ketimpangan
pendapatan Indonesia yang diukur dengan koefisien Gini (salah satu ukuran yang
paling umum dari ketidaksetaraan) belum begitu banyak dalam diskusi publik
sampai saat ini. Alasannya adalah bahwa selama bertahun-tahun, koefisien Gini
Indonesia telah relatif stabil dari waktu ke waktu, dengan besaran yang dianggap
dalam literatur pembangunan ekonomi

2. Lebih ke debat publik dan politik atas ketimpangan di Indonesia mulai menjadi
perhatian media koefisien Gini Indonesia mencapai 0,41 pada 2011, tertinggi yang
pernah tercatat di Indonesia sejarah. Perdebatan bahkan mencapai sidang
parlemen, yang berakhir dengan tekanan dari parlemen untuk memasukkan

koefisien Gini sebagai salah satu indikator yang ditargetkan tahunan sebagai
bagian dari rencana.
3. anggaran tahunan ini akan terbukti menjadi permintaan yang sangat sulit
karena ketidaksetaraan dapat dipengaruhi oleh banyak faktor dari kemiskinan.
Sementara angka kemiskinan pasti bisa dikurangi dengan kebijakan yang
ditargetkan atau program kesejahteraan sosial, program tersebut tidak akan
menjamin pengurangan ketimpangan jika pendapatan orang kaya masih tumbuh
jauh lebih cepat daripada pendapatan masyarakat miskin.
4. Melihat data pada distribution6 pendapatan selama sepuluh tahun terakhir,
ketimpangan telah meningkat selama lima tahun terakhir 2008-2012, meskipun itu
relatif stabil sebelum 2008. Gini Koefisien, misalnya meningkat dari 0,35 pada
2008-0,41 pada tahun 2012 (Gambar 1), yang tertinggi di History.7 direkam
Indonesia Yusuf (2006b) menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu
negara yang paling sama, termasuk dalam 30 negara dengan tertinggi kesetaraan
(peringkat 26), bersama-sama dengan, antara lain, mantan ekonomi komunis

(misalnya Slowakia, Belarusia, Hungaria), Negara-negara Skandinavia dan
kesejahteraan Eropa Barat. Peringkat ini didasarkan pada koefisien Gini, indikator
standar mengukur ketimpangan. Indonesia, sebenarnya adalah salah satu yang
sangat sedikit dari negara-negara kurang berkembang dengan kesetaraan yang
lebih tinggi. Namun, seperti Yusuf (2006b) menunjukkan, ini bisa menjadi agak
menyesatkan untuk setidaknya dua alasan. Pertama, ketimpangan yang diukur
dengan menggunakan Data pengeluaran daripada pendapatan cenderung lebih
rendah, karena kelompok berpenghasilan tinggi biasanya menyimpan sebagian
besar dari mereka pendapatan, distribusi pengeluaran konsumsi umumnya lebih
merata dibanding distribusi pendapatan. Kedua, ketika data yang digunakan untuk
menghitung ketimpangan bawah mewakili kelompok-kelompok tertentu dalam
populasi yaitu kaya.
5. Biasanya, hanya insiden kemiskinan termasuk sebagai salah satu target
tersebut,
Sumber

tetapi

tidak


ketimpangan

indikator

seperti

koefisien

Gini.

http://www.investor.co.id/home/dpr-ketimpangan-pendapatan-sudah-

mengkhawatirkan/42892;

http://m.bisnis.com/articles/indikator-kesejahteraan-

rakyat-pemerintah-dan-dpr-belum-sepakat
6 Dengan distribusi pendapatan, artinya distribusi pengeluaran seperti yang diukur
dari sisi pengeluaran daripada pendapatan.
7. Seperti tercantum dalam situs BPS, terjadi perubahan dalam metodologi

perhitungan

koefisien

Gini

pada

tahun

2009.

Sebelum

tahun

2009,

Koefisien Gini dihitung dari data dikelompokkan (data dikelompokkan berarti
data survei rumah tangga (SUSENAS) dikelompokkan oleh beberapa kelas
pendapatan dan koefisien Gini dihitung berdasarkan pengeluaran kelompok ini),
tetapi mulai dari 2009, koefisien Gini dihitung menggunakan data individu
(langsung

menghitung

koefisien

Gini

dari

seluruh

sampel

data survei rumah tangga). Namun, tren peningkatan ini masih terlihat bahkan jika
kita mulai pengamatan dari 2009 selanjutnya di mana metodologi telah konsisten
(sumber:http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?
kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=05¬ab=8)

Gambar

1.

Gini

Indonesia

Koefisien

2002-2012

(Sumber:

BPS)

Ini kecenderungan meningkat pada ketimpangan juga dapat dikonfirmasi oleh tren

dalam pangsa pendapatanterkaya 20% rumah tangga termiskin dan 40% rumah
tangga (Gambar 2). Bagian pendapatan terkaya 20%, misalnya, meningkat dari
41,2% pada 2009-48,6% pada tahun 2012 sedangkan pangsa pendapatan
terendah 40% turun dari 21,2% pada tahun 2009 menjadi hanya 16,9% pada tahun
2012.

Peningkatan terbaru dalam ketidaksetaraan Indonesia tidak hanya memicu
perdebatan publik dan politik, tetapi juga telah menjadi menarik bagi akademisi.
Namun, sepengetahuan penulis, telah ada tidak namun setiap analisis ketat
diterbitkan

berfokus

pada

apa

penyebab

tren

terbaru

ini.

ada

bisa

ada banyak faktor yang dapat berkontribusi terhadap peningkatan ketimpangan.
Salah satu yang jelas adalah bahwa peningkatan ketimpangan bukan disebabkan
oleh pertumbuhan ekonomi saja di mana orang kaya menjadi lebih kaya
dan orang miskin menjadi lebih miskin, seperti tingkat kemiskinan terus turun di
Indonesia. Seperti ditunjukkan dalam Gambar 2, peningkatan ketimpangan
terutama disebabkan oleh fakta bahwa 20% telah memperoleh bagian yang lebih
besar dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia pada biaya sisa Indonesia.
Pendapatan share dari 20% meningkat 2009-2012 sedangkan tengah 40% dan
bawah 20% menurun. Salah satu calon dari sumber tren ini adalah kenaikan harga

komoditas, terutama mereka yang komoditas ekspor tradisional Indonesia seperti
perkebunan dan pertambangan. Alasan, antara lain, adalah bahwa untuk beberapa
sektor tersebut, terutama pertambangan, mereka intensif dan terampil tenaga kerja
yang sangat padat modal. Kenaikan harga pertambangan komoditas akan
meningkatkan kembali faktor yang digunakan lebih intensif di sektor-sektor.
Sebaliknya, efek dari kenaikan harga dunia perkebunan, bagaimanapun, adalah
lebih kurang jelas. Masyarakat miskin Indonesia lebih bergantung pada tanaman
pangan dari sektor perkebunan. Namun, dalam banyak daerah di Indonesia, buruh
miskin di pedesaan berasal mata pencaharian mereka sebagai pekerja di berbagai
perkebunan. Data menunjukkan bahwa harga dunia komoditas memang mungkin
terbukti menjadi baik calon faktor di balik tren terbaru dalam ketidaksetaraan
Indonesia. Dari tahun 2009 hingga 2011, periode yang sama di mana kami
mengamati peningkatan tren koefisien Gini Indonesia, semua harga komoditas
indeks telah dua kali lipat (Gambar 3). Dengan beberapa pengecualian, harga
dunia banyak Ekspor komoditas penting Indonesia meningkat cukup pesat selama
periode ini (Gambar 4).

Dokumen yang terkait

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENANGANI KELUHAN PELANGGAN SPEEDY ( Studi Pada Public Relations PT Telkom Madiun)

32 284 52