Sejarah Kedatangan Orang Tionghoa Di Nus
SEJARAH KEDATANGAN ORANG TIONGHOA DI KOTA JAMBI
OLEH
SATRIYO PAMUNGKAS
1.1.
Sejarah Orang Tionghoa di Nusantara
Pada awal aba ke 17, sebelum kolonialis belanda datang ke Indonesia, bangsa
Indonesia dengan tiongkok telah terlibat dalam hubungan perdagangan. Hubungan ini
telah di mulai sejak datangnya Dinasti Han ( 206 SM – 220 M ). Pada masa ini, tiongkok
telah membuka jalur perdagangan dengan negara- negara yang ada di kawasan Asia
Tenggara. Sampai saat ini belum dapat dipastikan siapa orang Cina yang pertama kali
menginjakan kakinya di Nusantara ini, Fa Hian seorang penedeta Cina (400 M) dalam
perjalanan pulang dari India ke Cina dia singgah di pulau Jawa selama lima bulan
(Cator,1936:2) Fa Hian melaporkan pada saat itu belum ada orang Cina di Jawa. It Sing
pengelana Cina yang melewati Nusantar pada tahun 671-692 dia melaporkan telah berdiri
kerajaan Ho-Ling. Ho-Ling diduga adalah kerajaan Kalingga (Vlekke,1967:27-30).
Sampai abad ke XIII M hubungan orang Cina dan Nusantara hanya berupa kunjungan
pendeta, pada masa Dinasti Tang ( 618-907 ) ditemukan diskripsi bahwa seorang Raja
Cina menerima upeti dari kerajaan Sumatra (Sanbotsai) ( Heri,Purwanto. 2005: 39 ).
Berdasarkan catatan sejarah dalam buku tang-baru-bangsa-bangsa asia di selatan,
di sebutkan bahwa hubungan antara kerajaan Sriwijaya dan Tiongkok memiliki ke
istimewaan. Pada saat itu, banyak bitsu dari tiongkok yang berkunjung ke sriwijaya untuk
melakukan pertukaran budaya seni, serta untuk belajar bahasa sangsekerta. Pada saat itu
Sriwijaya mengguasai jalur utama lalu lintas di semenanjung malaya bahkan merupakan
salah satu kerajaan terbesar di Asia Tenggara dan merupakan pusat penelitian bagi agama
Budha di kawasan Asia Tenggara pada abad ke-7, banyak bidsu dari Tiongkok
memperdalam agama Budhanya di India, sebelum ke India sering singgah di Sriwijaya
terlebih dahulu untuk mempelajari bahasa sangsekerta untuk beberapa waktu, dan tidak
sedikit juga para bidsu menetap di sumatra dan jawa. ( Hembing. 2005 : 19 )
Hubungan antara Tionghoa dengan Indonesia setelah adanya laksamana ChengHo ke Nusantara pada abad ke 15 M, pada saat itu Cheng-Ho menjalankan misi dari
Kaisar Cheng-Zhu untuk menjalankan politik kerukunan dan persahabatan dengan
bangsa-bangsa asing, termasuk Nusantara. Pada saat kedatangan Cheng-Ho ke Nusantara
sudah banyak Orang tionghoa yang bertempat tinggal di Jawa, Kalimantan, dan Sumatra.
Jumlah imigran semakin bertambah ketika terjadi penyerangan bangsa Manchu terhadap
Dinasti Ming, sehingga banyak penduduk Tiongkok yang bermigrasi untuk menghindari
peperangan, jika pada tahun 1628 jumlah penduduk Tiongkok berjumlah 3000 jiwa, maka
pada saat tahun 1739 meningkat menjadi 10.574 jiwa. ( Hembing. 2005: xii )
Jawa dan sumatra temasuk jalur perdagangan. Lambat laun, banyak penduduk
Tiongkok yang bermigrasi ke kepulauan Nusantar, baik para pedagang ataupun pendeta.
karena daerah nusantara sangat subur di bandingkan dengan Negeri Tiongkok yang
tandus serta kerap terjadi peperangan dan bencana alam.
Gelombang imigrasi orang Tionghoa (terutama daerah selatan seperti Fujian,
Guangdong, Hainan dan Teochew) ke Indonesia sekitar abad ke 19 M dan membawa
banyak percampuran budaya. Termasuk arsitektur, hal ini karena beberapa kelompok
imigran
Cina
adalah
para
tukang
[email protected]. Di akses april 2009 ).
ahli
kayu
dan
ukir-ukiran
(Http//:
Kebanyakan imigran tiongkok yang bermigrasi adalah laki-laki dan mereka tidak
membawa istri dari negeri asalnya, maka mereka di negeri Nusantara ini menikahi
penduduk setempat dan menetap di nusantara ( Leo. 1994 : 20 ). Oleh karena itu
munculah Tionghoa peranakan yang kemudian merasa lebih menjadi orang Indonesia,
sebab mereka lahir, besar, bekerja, dan meninggal di bumi Nusantara, bahkan sebagian
besar mereka tidak bisa berbahasa Tionghoa, serta menganggap Indonesia sebagai tanah
airnya sendiri.
Para imigran ini dapat berdampingan dengan penduduk setempat, mereka
bersamam-sama memajukan ekonomi daerah yang mereka tempati, bahkan keberadaan
mereka sangat membantu bagi pertumbuhan perkembangan daerah setempat, sebab
mereka membawa dan memperkenalkan teknologi dari negrinya, seperti pembuatan gula,
tebu, Mie, bihun, kecap, penyulingan alkohol, serta pembuatan alat rumah tangga. warga
etnis tionghoa sangat rajin bekerja disegala bidang kehidupan misalnya sebagai
pedagang, petani, pandai besi, tukang kayu, dan kuli pertambangan ataupun perkebunan.
Mereka hidup damai dan saling berdampingan, tidak pernah terjadi konflik pada saat itu
apalagi yang disebabkan oleh masyarakat Tionghoa. Sehingga akhirnya pada saat
kedatangan belanda (VOC) di Nusantara ini merusak semua tatanan sosial yang telah di
jaga dengan baik di bumi Nusantara. Tujuan warga tionghoa migran untuk mencari
nafkah, tetapi telah di tafsirkan oleh Belanda sebagai bentuk lain dari kolonialisasi di
bumi Nusantara ( Hembing. 2005 : xii ).
Penindasan yang di lakukan penjajahan belanda terhadap orang Tionghoa
sangatlah membuat kehidupan sosial masyarakat Indonesia hancur, bahkan pernah terjadi
bentrokan rasial yang dikenal dengan peristiwa Kudus pada akhir bulan Oktober 1918.
Peristiwa itu merupakan ungkapan dari para pedagang Islam dan Tionghoa serta
prasangka rasial yang sudah lama terpendam, yang mengakibatkan sebelas orang korban,
rumah-rumah di daerah itu terbakar habis, kebanyakan Pers pribumi menyalahkan orangorang tionghoa, sebaliknya orang Tionghoa menyalahkan Pribumi. Dua harian Sin Po dan
Djawa Tengah menyalahkan belanda karena tidak melindungi orang-orang tionghoa (Leo
Suryadinata. 1994 : 40).
Pemerintah Kolonial Belanda membagi masyarakat menjadi tiga kelas, yakni
kelas satu untuk golongan Eropa, kelas dua golongan Timur Asing, dan yang ke tiga
golongan Pribumi, masalah inilah yang menjadi salah satu faktor yang menjadi penyebab
terjadinya konflik sosial di masa-masa kemudian (Http//:[email protected]. Di akses
april 2009).
Politik Devide Ef Infra yang di terapkan Belanda sangatlah membuat bangsa
Indonesia ini hancur di semua sektor. Soekarno mengajak orang Tionghoa untuk melawan
penjajahan Belanda melalui tulisanya pada tahun 1928 yang menyatakan bahwa Paham
Indonesia tidak bertentangan dengan paham Asia. Sebaliknya paham Indonesia adalah
paham Asia, kemenangan orang Asia atas Imperialis barat adalah juga kemenangan bagi
Indonesia. Dan juga pada awal tahun 1928 surat kabar Tionghoa peranakan Soeara
Publiek, yang dewan redaksinya dipimpin oleh Liem Koen Hian, mengemukakan
gagasan “Kewarga Negaraan Hindia Belanda“ bagi orang-orang Tionghoa peranakan.
Menurut pendapatnya Tionghoa peranakan yang memandang Hindia Belanda sebagai
Tanah Airnya mereka harus diberi status hukum pribumi, dan oleh sebab itu mereka
berhak memiliki tanah dan bukan orang Eropa, dan juga mereka harus mempunyai
kewajiban-kewajiban yang sama seperti orang-orang pribumi (Leo Suryadinata. 1994:
80-82).
Meski begitu, sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di
Pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain
di daerah perkotaan adalah Sumatera Utara, Bangka-Belitung, Sumatera Selatan,
Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin, dan beberapa tempat di Sulawesi.
Suku Hakka tersebar di Aceh, Sumatera Utara, Batam, Sumatera Selatan, BangkaBelitung, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat, Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Ambon,
dan Jayapura. Hainan di Riau (Pekanbaru dan Batam) serta Menado.
Suku Hokkien di Jambi, Sumatera Utara, Pekanbaru, Padang, Sumatera Selatan,
Bengkulu, Jawa, Bali (terutama di Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai,
Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Menado, dan
Ambon. Kantonis (Jakarta, Makassar, dan Menado). Hokchia di Jawa, terutama di
Bandung, Cirebon, Banjarmasin, Surabaya. Dan Tiochiu di Sumatra Utara, Riau,
Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat, khususnya di Pontianak. ( Http://jambi-
independent.co.id. Usi. Kehidupan suku-suku Tionghoa di Jambi. di akses tgl 16
Nevember 2009).
Masyarakat Tionghoa ini sama-sama dengan masyarakat pribumi untuk melawan
penjajahan Belanda. Seperti Dalam perang di Aceh peran warga Tionghoa juga tidak
dapat di abaikan, terutama bantuan dari para pedagang Tionghoa. Para pedagang
Tionghoa, selain telah menyulitkan tentara pasukan belanda di aceh dalam penerobosan
blokade belanda, juga sebagai pemasok senjata bagi para pejuang aceh. (Toer, Pramudya.
1998 : 128).
Perang Diponegoro yang berlangsung selama 5 tahun, menewaskan serdadu
belanda sebanyak 8 ribu jiwa dan menghabiskan biaya sebanyak 20 juta Gulden. Pada
awal perang Diponegoro, banyak warga etnis Tionghoa yang ingin bergabung sebagai
anggota perang oleh karena itu penggeran Diponegoro menggeluarkan intruksi agar
mereka masuk ke dalam agama islam terlebih dahulu. Peran warga etnis Tionghoa dalam
perang Diponegoro sangat besar, selain sebagai anggota pasukan, terutama dalam
penyediaan senjata (Toer, Pramudya. 1998 : 148).
Tindak kekerasan di lancarkan VOC saat itu menyebab lahirnya perjuangan
heroik yang di lakukan oleh warga Tionghoa, peristiwa ini akhirnya di kenang sebagai
peristiwa bersejarah atas keberaniaan warga etnis Tionghoa dalam melawan kesewenagan
VOC di tahun 1740, yang di sebut sebagi Tragedi Angke (Hembing. 2005 : 88).
Nasionalisme warga etnis Tionghoa sebenarnya sudah terlihat sejak VOC berniat
untuk mengguasai banten pada tahun 1753. sumbang sih warga etnis Tionghoa kepada
perjuangan rakyat Banten melawan VOC tidak dapat begitu saja di lupakan. Saat itu
banyak warga etnis Tionghoa yang sama-sama berjuang dengan penduduk setempat
melawan penjajah belanda. Akan tetapi sulit untuk menentukan berapa jumlahnya mereka
secara pasti, sebab mereka sudah banyak yang berasimilasi, bukan saja menggunakan
nama pribumi tetapi juga memasuki adat istiadatnya. Salah satunya yaitu Tjong Lin, yang
membantu Sultan Ageng Tirtayasa dengan menjadi mata- mata bagi Banten, dia akhirnya
di tangkap dan di gantung setelah disiksa oleh belanda.
Inilah bukti bahwa sebelum pejajah menguasai negri Nusantara ini, masyarakat
Tionghoa sudah menyatu kedalam bangsa Indonesia dan sangat besar perananya dalam
membantu perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajahan. Maka dari itu jangan di
pandang sebelah mata yang membuat buruk citra masyarakat Tionghoa tetapi ingatlah
juga apa yang telah meraka lakukan untuk bangsa Indonesia ini. Yang sangat berarti bagi
kehidupan kita sekarang.
1.2.
Sejarah Masyarakat Tionghoa Di Jambi
Pantai timur Sumatera berada dalam posisi yang sangat menguntungkan dalam
jalur pelayaran dan perdagangan di masa lampau ketika dunia pelayaran masih
bergantung pada sistem angin muson yang berubah-ubah arah tujuannya setiap enam
bulan. Di kawasan ini lalu lintas dari segala arah bertemu untuk menantikan angin yang
cocok agar bisa melanjutkan perjalanannya. Tidaklah mengherankan jika pantai ini
dianggap sebagai pantai niaga yang disenangi di kawasan barat Indonesia.
Kedudukan Jambi dalam hal ini tidak kalah dari tetangganya Palembang,
Indragiri, Riau,dsb. Yang juga memanfaatkan posisi yang menguntungkan itu. Jadi
disamping lokasi geografis yang menguntungkan, ada faktor-faktor lain yang ikut
memainkan peranan sehingga yang satu ternyata lebih menonjol dari yang lain,
sebagaimana
telah
dibuktikan
oleh
jalannya
sejarah
kawasan
ini.
(Http://www.geogle.co.id. Matius. 2009 ).
Temuan arkeologi atau sejarah lainnya dapat dikatakan sedikit sekali itupun sudah
memasuki abad IV melalui informasi dari berita-berita Cina terhadap utusan-utusan
Melayu Chan-pi, Suwarnabhumi atau San-fo-tsi ( Http://www.geole.co.id. Junaidi T
Noor. Cerita Perahu Kajang Luko. Di akses tgl 24 November 2009 ).
Kerajaan pada masa pra-Sriwijaya seperti Ge-ying dan Gan-tuo-li telah
memanfaatkan lokasi yang menguntungkan ini dan merupakan bandar pelabuhan bagi
pelayaran dan perdagangan masa awal. Para pakar memperkirakan bahwa lokasinya
harus dicari di pantai Timur Sumatera, walaupun belum dapat dipastikan dengan tepat
apakah letaknya di Jambi atau di Palembang. Lain halnya dengan shi-li-fo-shi dan Moluo-you yang diberitakan oleh Yi-jing pada abad 7 M yang masing-masing
diidentifikasikan oleh para pakar sebagai Sriwijaya dan Melayu dan ditempatkan di
Palembang dan Jambi. Dari berita Yi-jing itu diketahui bahwa Mo-luo-you telah menjadi
Shi- li-fo-shi, dengan kata lain, Jambi telah masuk Sriwijaya walaupun ibukotanya masih
berada di Palembang. Namun diperkirakan pula bahwa pusat kerajaan Sriwijaya dapat
berpindah-pindah sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat tertentu. Misalnya, pada
paro kedua dari abad XI para pakar memperkirakan bahwa ibukota Sriwijaya telah
bertempat di Jambi.
Dalam perdagangan terbuka pada abad ke XIV, di mana bertalian erat dengan
saling ketergantungannya antara perdagangan rempah-rempah, bahan makanan, dan
komoditi lainya, seperti bahan pakaian, pecah belah, dan lain-lain. Cina melakukan
hubungan dagang dengan Jambi yaitu lada. Jadi Jambi merupakan daerah yang sudah
lama di kenal dengan bangsa Cina (Sartono Kartodirdjo. 1987:79). Jambi muncul sebagai
pengekspor lada terbesar karena daerah pedalamanya sampai ke minangkabau adalah
penghasil lada. Sehingga Portugis dan VOC tidak mengingginkan Jambi jatuh ke tangan
Aceh yang pada saat itu Aceh menginginkan pelabuhan yang di miliki Jambi, karena
Jambi merupakan pelabuhan Ekspor Lada dan pengimpor beras dan garam (Sartono
Katodirdjo. 1987 : 109-112).
Ini membuktikan bahwa pelayaran orang Cina ke daerah ini semakin banyak, dan
mencerminkan pula keramaian pelayaran di kawasan ini yang semakin meningkat. Jika
sebelumnya pelayaran Cina dan orang asing lainnya dihubungkan dengan perdagangan
antara negeri Cina dengan India dan kawasan Asia barat-jadi kawasan ini hanya berperan
sebagai tempat singgah dalam jalur sutera -, kini pengunjung asing itu sengaja berlayar
kesini untuk berdagang, yakni mempertukarkan barang impor (kain sutera dan keramik
dari Cina, tekstil dari India, dsb). Dengan hasil kepulauan Indonesia berupa rempahrempah, kayu wangi, dll. Dengan kata lain jalur sutera telah melebur dengan jalur
rempah-rempah. (Http://www.geogle.co.id. Matius. Wikipedia Indonesia. 2009).
Jambi Yang merupakan daerah bagian Sumatra yang posisinya sangat strategis
dalam jalur lintas perdagangan pada zamannya. setiap kapal dagang yang ingin
melakukan perdagangan secara otomatis pasti melintas di daerah kawasan Jambi. Dan
juga Jambi merupakan daerah yang memiliki beberapa kerajaan besar dan kecil di
antaranya. Melayu, Zabah, Kuntala, Sebo, dll. Yang memiliki peranan di dalam daerah
Jambi pada zamannya. Apalagi kerajaan Sriwijaya yang terkenal itu masih belum jelas
keberadaannya apakah di Palembang atau di Jambi. Banyak bukti-bukti tertulis yang di
temukan di Palembang yang memperkuat bahwa kerajaan Sriwijaya di Palembang tetapi
Jambi juga mempunyai bukti-bukti yang berbentuk geografis dan peninggalanpeninggalan yang lainnya. Para bidsu dari Tiongkok yang ingin memperdalam agama
Budhanya mereka memperdalam bahasa sangsekerta di Sriwijaya untuk modal saat tiba
di India. Jambi yang memiliki puluhan tempat beribadah bagi agama Budha dan memiliki
puluhan bahkan ratusan para bidsu yang dapat membantu atau mengajarkan agama dan
bahasa sangsekerta. Dari dua hal tersebut sangatlah wajar kalau orang Tionghoa pasti ada
di Jambi dan secara tidak langsung akan terdapat perkampungan orang Tionghoa di
Jambi.
Namun demikian, hingga saat ini belum diketahui sejak kapan dan siapa orang
Tionghoa pertama yang datang ke Jambi. Tetapi yang pasti, sejak zaman kekuasaan
kerajaan Sriwijaya dan Melayu, penduduk Jambi telah menjalin hubungan dagang dengan
orang-orang Tionghoa. Pada waktu itu, orang-orang Tionghoa menempati daerah sekitar
Sungai dan pantai sebagai tempat tinggal sekaligus tempat berdagang, hal itu disebabkan
sungai menjadi jalur transportasi perdagangan.
Pemusatan pemukiman orang-orang Tionghoa memang pada awalnya terjadi
karena kebiasaan mereka untuk selalu menempati daerah-daerah strategis sepanjang
aliran sungai yang menjadi pusat perdagangan, hal ini karena orang Tionghoa sangat
menyukai bidang bisnis atau berdagang ( Jambi Independent. 2009 : 14 ).
Ghetto, tempat kehidupan sehari-hari orang yahudi yang di pencilkan, dapat di
bandingkan dengan pemukiman-pemukiman khusus yang dibangun oleh orang-orang
Tionghoa bagi mereka sendiri di banyak Kota. Banyak orang, baik orang luar ataupun
orang Indonesia itu sendiri, menggambarkan orang Tionghoa sebagai kelompok daerah
kota yang paling menonjol. Barangkali akan lebih tepat untuk mengatakan bahwa
golongan pribumi Indonesia yang ada di Kota Jambi itu lebih banyak terpusat di daerah
pedesaan dan golongan penduduk Tionghoa tampaknya merupakan penduduk kota dari
apa yang sebenarnya ( Coppel,Charles. 1994 : 27 ).
Salah satu bukti sejarah Tionghoa yang ada di Kota Jambi ini adalah klenteng
Siaw San Teng yang merupakan Klenteng tertua dan terbesar di Provinsi Jambi yang
terletak di daerah Kampung Manggis Kota Jambi.
Klenteng Siaw San Teng Sekarang. DOC PRIBADI
Klenteng ini didirikan pada tahun 1881 itu terlihat dari tulisan kaligrafi Cina
kuno berisi pantun Cina yang hingga saat ini masih bertengger di dinding kelenteng.
Kaligrafi Cina Kuno
Yang betengger di dinding klenteng Siaw San Teng.
Kaligrafi itu telah berumur sekitar 150 tahun. Memiliki banyak makna dan hanya
dimengerti sebagian kecil warga Tionghoa. plakat itu didatangkan langsung dari daerah
Tiongkok dan telah ada sejak kelenteng didirikan sekitar 1881. Jadi itu bukti sejarah Cina
kuno yang masih disimpan dengan sangat baik di dalam kelenteng yang juga merupakan
kelenteng terbesar di Kota Jambi. “Ini akan kita simpan dengan baik, tidak ada yang
boleh membeli atau membawa pulang bukti sejarah ini. Meskipun tidak banyak yang
mengetahui makna dan artinya, ini merupakan salah satu benda penting dan bersejarah
yang hanya ada di kelenteng ini dan bukti bersejarah masyarakat Tionghoa di kota Jambi
secara umum”. Menurut Apong, pengurus Kelenteng Siu San Teng, Satu huruf saja bisa
memiliki banyak makna. Di Kota Jambi sendiri, hanya beberapa orang yang bisa
mengerti arti tulisan itu. Saya saja tidak terlalu mengerti makna dari tulisan tersebut
( Http://www.geogle.co.id. Surya Elviza.Berumur 150 tahun, menjadi bukti sejarah. di
akses tgl 15 November 2009). Didirikannya tempat beribadah ini adalah bukti bahwa
pada tahun 1881 sudah banyak masyarakat Tionghoa yang tinggal di Kota Jambi.
OLEH
SATRIYO PAMUNGKAS
1.1.
Sejarah Orang Tionghoa di Nusantara
Pada awal aba ke 17, sebelum kolonialis belanda datang ke Indonesia, bangsa
Indonesia dengan tiongkok telah terlibat dalam hubungan perdagangan. Hubungan ini
telah di mulai sejak datangnya Dinasti Han ( 206 SM – 220 M ). Pada masa ini, tiongkok
telah membuka jalur perdagangan dengan negara- negara yang ada di kawasan Asia
Tenggara. Sampai saat ini belum dapat dipastikan siapa orang Cina yang pertama kali
menginjakan kakinya di Nusantara ini, Fa Hian seorang penedeta Cina (400 M) dalam
perjalanan pulang dari India ke Cina dia singgah di pulau Jawa selama lima bulan
(Cator,1936:2) Fa Hian melaporkan pada saat itu belum ada orang Cina di Jawa. It Sing
pengelana Cina yang melewati Nusantar pada tahun 671-692 dia melaporkan telah berdiri
kerajaan Ho-Ling. Ho-Ling diduga adalah kerajaan Kalingga (Vlekke,1967:27-30).
Sampai abad ke XIII M hubungan orang Cina dan Nusantara hanya berupa kunjungan
pendeta, pada masa Dinasti Tang ( 618-907 ) ditemukan diskripsi bahwa seorang Raja
Cina menerima upeti dari kerajaan Sumatra (Sanbotsai) ( Heri,Purwanto. 2005: 39 ).
Berdasarkan catatan sejarah dalam buku tang-baru-bangsa-bangsa asia di selatan,
di sebutkan bahwa hubungan antara kerajaan Sriwijaya dan Tiongkok memiliki ke
istimewaan. Pada saat itu, banyak bitsu dari tiongkok yang berkunjung ke sriwijaya untuk
melakukan pertukaran budaya seni, serta untuk belajar bahasa sangsekerta. Pada saat itu
Sriwijaya mengguasai jalur utama lalu lintas di semenanjung malaya bahkan merupakan
salah satu kerajaan terbesar di Asia Tenggara dan merupakan pusat penelitian bagi agama
Budha di kawasan Asia Tenggara pada abad ke-7, banyak bidsu dari Tiongkok
memperdalam agama Budhanya di India, sebelum ke India sering singgah di Sriwijaya
terlebih dahulu untuk mempelajari bahasa sangsekerta untuk beberapa waktu, dan tidak
sedikit juga para bidsu menetap di sumatra dan jawa. ( Hembing. 2005 : 19 )
Hubungan antara Tionghoa dengan Indonesia setelah adanya laksamana ChengHo ke Nusantara pada abad ke 15 M, pada saat itu Cheng-Ho menjalankan misi dari
Kaisar Cheng-Zhu untuk menjalankan politik kerukunan dan persahabatan dengan
bangsa-bangsa asing, termasuk Nusantara. Pada saat kedatangan Cheng-Ho ke Nusantara
sudah banyak Orang tionghoa yang bertempat tinggal di Jawa, Kalimantan, dan Sumatra.
Jumlah imigran semakin bertambah ketika terjadi penyerangan bangsa Manchu terhadap
Dinasti Ming, sehingga banyak penduduk Tiongkok yang bermigrasi untuk menghindari
peperangan, jika pada tahun 1628 jumlah penduduk Tiongkok berjumlah 3000 jiwa, maka
pada saat tahun 1739 meningkat menjadi 10.574 jiwa. ( Hembing. 2005: xii )
Jawa dan sumatra temasuk jalur perdagangan. Lambat laun, banyak penduduk
Tiongkok yang bermigrasi ke kepulauan Nusantar, baik para pedagang ataupun pendeta.
karena daerah nusantara sangat subur di bandingkan dengan Negeri Tiongkok yang
tandus serta kerap terjadi peperangan dan bencana alam.
Gelombang imigrasi orang Tionghoa (terutama daerah selatan seperti Fujian,
Guangdong, Hainan dan Teochew) ke Indonesia sekitar abad ke 19 M dan membawa
banyak percampuran budaya. Termasuk arsitektur, hal ini karena beberapa kelompok
imigran
Cina
adalah
para
tukang
[email protected]. Di akses april 2009 ).
ahli
kayu
dan
ukir-ukiran
(Http//:
Kebanyakan imigran tiongkok yang bermigrasi adalah laki-laki dan mereka tidak
membawa istri dari negeri asalnya, maka mereka di negeri Nusantara ini menikahi
penduduk setempat dan menetap di nusantara ( Leo. 1994 : 20 ). Oleh karena itu
munculah Tionghoa peranakan yang kemudian merasa lebih menjadi orang Indonesia,
sebab mereka lahir, besar, bekerja, dan meninggal di bumi Nusantara, bahkan sebagian
besar mereka tidak bisa berbahasa Tionghoa, serta menganggap Indonesia sebagai tanah
airnya sendiri.
Para imigran ini dapat berdampingan dengan penduduk setempat, mereka
bersamam-sama memajukan ekonomi daerah yang mereka tempati, bahkan keberadaan
mereka sangat membantu bagi pertumbuhan perkembangan daerah setempat, sebab
mereka membawa dan memperkenalkan teknologi dari negrinya, seperti pembuatan gula,
tebu, Mie, bihun, kecap, penyulingan alkohol, serta pembuatan alat rumah tangga. warga
etnis tionghoa sangat rajin bekerja disegala bidang kehidupan misalnya sebagai
pedagang, petani, pandai besi, tukang kayu, dan kuli pertambangan ataupun perkebunan.
Mereka hidup damai dan saling berdampingan, tidak pernah terjadi konflik pada saat itu
apalagi yang disebabkan oleh masyarakat Tionghoa. Sehingga akhirnya pada saat
kedatangan belanda (VOC) di Nusantara ini merusak semua tatanan sosial yang telah di
jaga dengan baik di bumi Nusantara. Tujuan warga tionghoa migran untuk mencari
nafkah, tetapi telah di tafsirkan oleh Belanda sebagai bentuk lain dari kolonialisasi di
bumi Nusantara ( Hembing. 2005 : xii ).
Penindasan yang di lakukan penjajahan belanda terhadap orang Tionghoa
sangatlah membuat kehidupan sosial masyarakat Indonesia hancur, bahkan pernah terjadi
bentrokan rasial yang dikenal dengan peristiwa Kudus pada akhir bulan Oktober 1918.
Peristiwa itu merupakan ungkapan dari para pedagang Islam dan Tionghoa serta
prasangka rasial yang sudah lama terpendam, yang mengakibatkan sebelas orang korban,
rumah-rumah di daerah itu terbakar habis, kebanyakan Pers pribumi menyalahkan orangorang tionghoa, sebaliknya orang Tionghoa menyalahkan Pribumi. Dua harian Sin Po dan
Djawa Tengah menyalahkan belanda karena tidak melindungi orang-orang tionghoa (Leo
Suryadinata. 1994 : 40).
Pemerintah Kolonial Belanda membagi masyarakat menjadi tiga kelas, yakni
kelas satu untuk golongan Eropa, kelas dua golongan Timur Asing, dan yang ke tiga
golongan Pribumi, masalah inilah yang menjadi salah satu faktor yang menjadi penyebab
terjadinya konflik sosial di masa-masa kemudian (Http//:[email protected]. Di akses
april 2009).
Politik Devide Ef Infra yang di terapkan Belanda sangatlah membuat bangsa
Indonesia ini hancur di semua sektor. Soekarno mengajak orang Tionghoa untuk melawan
penjajahan Belanda melalui tulisanya pada tahun 1928 yang menyatakan bahwa Paham
Indonesia tidak bertentangan dengan paham Asia. Sebaliknya paham Indonesia adalah
paham Asia, kemenangan orang Asia atas Imperialis barat adalah juga kemenangan bagi
Indonesia. Dan juga pada awal tahun 1928 surat kabar Tionghoa peranakan Soeara
Publiek, yang dewan redaksinya dipimpin oleh Liem Koen Hian, mengemukakan
gagasan “Kewarga Negaraan Hindia Belanda“ bagi orang-orang Tionghoa peranakan.
Menurut pendapatnya Tionghoa peranakan yang memandang Hindia Belanda sebagai
Tanah Airnya mereka harus diberi status hukum pribumi, dan oleh sebab itu mereka
berhak memiliki tanah dan bukan orang Eropa, dan juga mereka harus mempunyai
kewajiban-kewajiban yang sama seperti orang-orang pribumi (Leo Suryadinata. 1994:
80-82).
Meski begitu, sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di
Pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain
di daerah perkotaan adalah Sumatera Utara, Bangka-Belitung, Sumatera Selatan,
Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin, dan beberapa tempat di Sulawesi.
Suku Hakka tersebar di Aceh, Sumatera Utara, Batam, Sumatera Selatan, BangkaBelitung, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat, Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Ambon,
dan Jayapura. Hainan di Riau (Pekanbaru dan Batam) serta Menado.
Suku Hokkien di Jambi, Sumatera Utara, Pekanbaru, Padang, Sumatera Selatan,
Bengkulu, Jawa, Bali (terutama di Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai,
Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Menado, dan
Ambon. Kantonis (Jakarta, Makassar, dan Menado). Hokchia di Jawa, terutama di
Bandung, Cirebon, Banjarmasin, Surabaya. Dan Tiochiu di Sumatra Utara, Riau,
Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat, khususnya di Pontianak. ( Http://jambi-
independent.co.id. Usi. Kehidupan suku-suku Tionghoa di Jambi. di akses tgl 16
Nevember 2009).
Masyarakat Tionghoa ini sama-sama dengan masyarakat pribumi untuk melawan
penjajahan Belanda. Seperti Dalam perang di Aceh peran warga Tionghoa juga tidak
dapat di abaikan, terutama bantuan dari para pedagang Tionghoa. Para pedagang
Tionghoa, selain telah menyulitkan tentara pasukan belanda di aceh dalam penerobosan
blokade belanda, juga sebagai pemasok senjata bagi para pejuang aceh. (Toer, Pramudya.
1998 : 128).
Perang Diponegoro yang berlangsung selama 5 tahun, menewaskan serdadu
belanda sebanyak 8 ribu jiwa dan menghabiskan biaya sebanyak 20 juta Gulden. Pada
awal perang Diponegoro, banyak warga etnis Tionghoa yang ingin bergabung sebagai
anggota perang oleh karena itu penggeran Diponegoro menggeluarkan intruksi agar
mereka masuk ke dalam agama islam terlebih dahulu. Peran warga etnis Tionghoa dalam
perang Diponegoro sangat besar, selain sebagai anggota pasukan, terutama dalam
penyediaan senjata (Toer, Pramudya. 1998 : 148).
Tindak kekerasan di lancarkan VOC saat itu menyebab lahirnya perjuangan
heroik yang di lakukan oleh warga Tionghoa, peristiwa ini akhirnya di kenang sebagai
peristiwa bersejarah atas keberaniaan warga etnis Tionghoa dalam melawan kesewenagan
VOC di tahun 1740, yang di sebut sebagi Tragedi Angke (Hembing. 2005 : 88).
Nasionalisme warga etnis Tionghoa sebenarnya sudah terlihat sejak VOC berniat
untuk mengguasai banten pada tahun 1753. sumbang sih warga etnis Tionghoa kepada
perjuangan rakyat Banten melawan VOC tidak dapat begitu saja di lupakan. Saat itu
banyak warga etnis Tionghoa yang sama-sama berjuang dengan penduduk setempat
melawan penjajah belanda. Akan tetapi sulit untuk menentukan berapa jumlahnya mereka
secara pasti, sebab mereka sudah banyak yang berasimilasi, bukan saja menggunakan
nama pribumi tetapi juga memasuki adat istiadatnya. Salah satunya yaitu Tjong Lin, yang
membantu Sultan Ageng Tirtayasa dengan menjadi mata- mata bagi Banten, dia akhirnya
di tangkap dan di gantung setelah disiksa oleh belanda.
Inilah bukti bahwa sebelum pejajah menguasai negri Nusantara ini, masyarakat
Tionghoa sudah menyatu kedalam bangsa Indonesia dan sangat besar perananya dalam
membantu perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajahan. Maka dari itu jangan di
pandang sebelah mata yang membuat buruk citra masyarakat Tionghoa tetapi ingatlah
juga apa yang telah meraka lakukan untuk bangsa Indonesia ini. Yang sangat berarti bagi
kehidupan kita sekarang.
1.2.
Sejarah Masyarakat Tionghoa Di Jambi
Pantai timur Sumatera berada dalam posisi yang sangat menguntungkan dalam
jalur pelayaran dan perdagangan di masa lampau ketika dunia pelayaran masih
bergantung pada sistem angin muson yang berubah-ubah arah tujuannya setiap enam
bulan. Di kawasan ini lalu lintas dari segala arah bertemu untuk menantikan angin yang
cocok agar bisa melanjutkan perjalanannya. Tidaklah mengherankan jika pantai ini
dianggap sebagai pantai niaga yang disenangi di kawasan barat Indonesia.
Kedudukan Jambi dalam hal ini tidak kalah dari tetangganya Palembang,
Indragiri, Riau,dsb. Yang juga memanfaatkan posisi yang menguntungkan itu. Jadi
disamping lokasi geografis yang menguntungkan, ada faktor-faktor lain yang ikut
memainkan peranan sehingga yang satu ternyata lebih menonjol dari yang lain,
sebagaimana
telah
dibuktikan
oleh
jalannya
sejarah
kawasan
ini.
(Http://www.geogle.co.id. Matius. 2009 ).
Temuan arkeologi atau sejarah lainnya dapat dikatakan sedikit sekali itupun sudah
memasuki abad IV melalui informasi dari berita-berita Cina terhadap utusan-utusan
Melayu Chan-pi, Suwarnabhumi atau San-fo-tsi ( Http://www.geole.co.id. Junaidi T
Noor. Cerita Perahu Kajang Luko. Di akses tgl 24 November 2009 ).
Kerajaan pada masa pra-Sriwijaya seperti Ge-ying dan Gan-tuo-li telah
memanfaatkan lokasi yang menguntungkan ini dan merupakan bandar pelabuhan bagi
pelayaran dan perdagangan masa awal. Para pakar memperkirakan bahwa lokasinya
harus dicari di pantai Timur Sumatera, walaupun belum dapat dipastikan dengan tepat
apakah letaknya di Jambi atau di Palembang. Lain halnya dengan shi-li-fo-shi dan Moluo-you yang diberitakan oleh Yi-jing pada abad 7 M yang masing-masing
diidentifikasikan oleh para pakar sebagai Sriwijaya dan Melayu dan ditempatkan di
Palembang dan Jambi. Dari berita Yi-jing itu diketahui bahwa Mo-luo-you telah menjadi
Shi- li-fo-shi, dengan kata lain, Jambi telah masuk Sriwijaya walaupun ibukotanya masih
berada di Palembang. Namun diperkirakan pula bahwa pusat kerajaan Sriwijaya dapat
berpindah-pindah sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat tertentu. Misalnya, pada
paro kedua dari abad XI para pakar memperkirakan bahwa ibukota Sriwijaya telah
bertempat di Jambi.
Dalam perdagangan terbuka pada abad ke XIV, di mana bertalian erat dengan
saling ketergantungannya antara perdagangan rempah-rempah, bahan makanan, dan
komoditi lainya, seperti bahan pakaian, pecah belah, dan lain-lain. Cina melakukan
hubungan dagang dengan Jambi yaitu lada. Jadi Jambi merupakan daerah yang sudah
lama di kenal dengan bangsa Cina (Sartono Kartodirdjo. 1987:79). Jambi muncul sebagai
pengekspor lada terbesar karena daerah pedalamanya sampai ke minangkabau adalah
penghasil lada. Sehingga Portugis dan VOC tidak mengingginkan Jambi jatuh ke tangan
Aceh yang pada saat itu Aceh menginginkan pelabuhan yang di miliki Jambi, karena
Jambi merupakan pelabuhan Ekspor Lada dan pengimpor beras dan garam (Sartono
Katodirdjo. 1987 : 109-112).
Ini membuktikan bahwa pelayaran orang Cina ke daerah ini semakin banyak, dan
mencerminkan pula keramaian pelayaran di kawasan ini yang semakin meningkat. Jika
sebelumnya pelayaran Cina dan orang asing lainnya dihubungkan dengan perdagangan
antara negeri Cina dengan India dan kawasan Asia barat-jadi kawasan ini hanya berperan
sebagai tempat singgah dalam jalur sutera -, kini pengunjung asing itu sengaja berlayar
kesini untuk berdagang, yakni mempertukarkan barang impor (kain sutera dan keramik
dari Cina, tekstil dari India, dsb). Dengan hasil kepulauan Indonesia berupa rempahrempah, kayu wangi, dll. Dengan kata lain jalur sutera telah melebur dengan jalur
rempah-rempah. (Http://www.geogle.co.id. Matius. Wikipedia Indonesia. 2009).
Jambi Yang merupakan daerah bagian Sumatra yang posisinya sangat strategis
dalam jalur lintas perdagangan pada zamannya. setiap kapal dagang yang ingin
melakukan perdagangan secara otomatis pasti melintas di daerah kawasan Jambi. Dan
juga Jambi merupakan daerah yang memiliki beberapa kerajaan besar dan kecil di
antaranya. Melayu, Zabah, Kuntala, Sebo, dll. Yang memiliki peranan di dalam daerah
Jambi pada zamannya. Apalagi kerajaan Sriwijaya yang terkenal itu masih belum jelas
keberadaannya apakah di Palembang atau di Jambi. Banyak bukti-bukti tertulis yang di
temukan di Palembang yang memperkuat bahwa kerajaan Sriwijaya di Palembang tetapi
Jambi juga mempunyai bukti-bukti yang berbentuk geografis dan peninggalanpeninggalan yang lainnya. Para bidsu dari Tiongkok yang ingin memperdalam agama
Budhanya mereka memperdalam bahasa sangsekerta di Sriwijaya untuk modal saat tiba
di India. Jambi yang memiliki puluhan tempat beribadah bagi agama Budha dan memiliki
puluhan bahkan ratusan para bidsu yang dapat membantu atau mengajarkan agama dan
bahasa sangsekerta. Dari dua hal tersebut sangatlah wajar kalau orang Tionghoa pasti ada
di Jambi dan secara tidak langsung akan terdapat perkampungan orang Tionghoa di
Jambi.
Namun demikian, hingga saat ini belum diketahui sejak kapan dan siapa orang
Tionghoa pertama yang datang ke Jambi. Tetapi yang pasti, sejak zaman kekuasaan
kerajaan Sriwijaya dan Melayu, penduduk Jambi telah menjalin hubungan dagang dengan
orang-orang Tionghoa. Pada waktu itu, orang-orang Tionghoa menempati daerah sekitar
Sungai dan pantai sebagai tempat tinggal sekaligus tempat berdagang, hal itu disebabkan
sungai menjadi jalur transportasi perdagangan.
Pemusatan pemukiman orang-orang Tionghoa memang pada awalnya terjadi
karena kebiasaan mereka untuk selalu menempati daerah-daerah strategis sepanjang
aliran sungai yang menjadi pusat perdagangan, hal ini karena orang Tionghoa sangat
menyukai bidang bisnis atau berdagang ( Jambi Independent. 2009 : 14 ).
Ghetto, tempat kehidupan sehari-hari orang yahudi yang di pencilkan, dapat di
bandingkan dengan pemukiman-pemukiman khusus yang dibangun oleh orang-orang
Tionghoa bagi mereka sendiri di banyak Kota. Banyak orang, baik orang luar ataupun
orang Indonesia itu sendiri, menggambarkan orang Tionghoa sebagai kelompok daerah
kota yang paling menonjol. Barangkali akan lebih tepat untuk mengatakan bahwa
golongan pribumi Indonesia yang ada di Kota Jambi itu lebih banyak terpusat di daerah
pedesaan dan golongan penduduk Tionghoa tampaknya merupakan penduduk kota dari
apa yang sebenarnya ( Coppel,Charles. 1994 : 27 ).
Salah satu bukti sejarah Tionghoa yang ada di Kota Jambi ini adalah klenteng
Siaw San Teng yang merupakan Klenteng tertua dan terbesar di Provinsi Jambi yang
terletak di daerah Kampung Manggis Kota Jambi.
Klenteng Siaw San Teng Sekarang. DOC PRIBADI
Klenteng ini didirikan pada tahun 1881 itu terlihat dari tulisan kaligrafi Cina
kuno berisi pantun Cina yang hingga saat ini masih bertengger di dinding kelenteng.
Kaligrafi Cina Kuno
Yang betengger di dinding klenteng Siaw San Teng.
Kaligrafi itu telah berumur sekitar 150 tahun. Memiliki banyak makna dan hanya
dimengerti sebagian kecil warga Tionghoa. plakat itu didatangkan langsung dari daerah
Tiongkok dan telah ada sejak kelenteng didirikan sekitar 1881. Jadi itu bukti sejarah Cina
kuno yang masih disimpan dengan sangat baik di dalam kelenteng yang juga merupakan
kelenteng terbesar di Kota Jambi. “Ini akan kita simpan dengan baik, tidak ada yang
boleh membeli atau membawa pulang bukti sejarah ini. Meskipun tidak banyak yang
mengetahui makna dan artinya, ini merupakan salah satu benda penting dan bersejarah
yang hanya ada di kelenteng ini dan bukti bersejarah masyarakat Tionghoa di kota Jambi
secara umum”. Menurut Apong, pengurus Kelenteng Siu San Teng, Satu huruf saja bisa
memiliki banyak makna. Di Kota Jambi sendiri, hanya beberapa orang yang bisa
mengerti arti tulisan itu. Saya saja tidak terlalu mengerti makna dari tulisan tersebut
( Http://www.geogle.co.id. Surya Elviza.Berumur 150 tahun, menjadi bukti sejarah. di
akses tgl 15 November 2009). Didirikannya tempat beribadah ini adalah bukti bahwa
pada tahun 1881 sudah banyak masyarakat Tionghoa yang tinggal di Kota Jambi.