Konsepsi Keamanan dalam Studi Hubungan I

*Hubungan Internasional-Universitas Padjadjaran
G1B040033
2007
anggaliaputri@gmail.com

Keamanan dalam Studi1 Hubungan
Internasional
Anggalia Putri Permatasari*

Catatan penulis:
Tulisan ini membahas secara (sangat) singkat beberapa pertanyaan mengenai konsepsi
‘keamanan’ dalam studi Hubungan Internasional, mulai dari mengapa konsep tersebut
dipandang sebagai sebuah ‘contested concept,’ pandangan kaum realis dan neo-realis
terhadap keamanan (serta sulitnya negara untuk bekerja sama), pandangan kaum
liberal-institusionalis yang lebih optimis, pandangan kaum konstruktivis, critical

theorist, feminis, dan posmodernis, hingga keamanan dalam globalisasi dan pasca-9/11.
Tulisan ini dibuat pada tahun 2007 ketika saya masih duduk di bangku kuliah semester
IV (sudah banyak pemikiran saya yang berubah sejak saat itu) dan kemungkinan besar
akan saya perdalam kembali (suatu hari nanti).2


1.

Mengapa keamanan disebut sebagai konsep yang ‘diperdebatkan’?
Keamanan sering disebut sebagai konsep yang diperdebatkan karena para pakar

tidak berhasil menyusun definisi umum mengenai keamanan yang dapat disepakati
bersama. Mereka hanya berhasil mencapai konsensus bahwa pengertian mengenai
keamanan mengimplikasikan adanya ‘kebebasan dari ancaman terhadap nilai-nilai inti’,
baik bagi individu maupun kelompok. Akan tetapi, para pakar berbeda pendapat
mengenai fokus utama dalam kajian mengenai keamanan, apakah keamanan
‘individual’, ‘nasional’, atau ‘internasional.
Sepanjang periode perang dingin, literatur mengenai keamanan didominasi oleh
gagasan mengenai keamanan nasional yang sebagian besar diartikan secara militeristik3
Saya pernah belajar di Unpad dan di UI. Di UI orang-orangnya sudah pede menyebut HI sebagai ‘ilmu,’ tapi di Unpad HI
sepertinya masih ‘studi.’ Tapi ndak apa-apa, rasanya lebih indah HI dianggap sebagai ‘sandiwara yang tak pernah berakhir’

2 Ngutip boleh, tapi mbok ya di-parafrase, dosen-dosen sekarang udah canggih lho dalam mem-bust plagiarism ;p
3 J. Baylis, “International and Global Security”, dalam J. Baylis dan S. Smith (eds.), The Globalization of World Politics 4e,
(Oxford: Oxford University Press, 2006), h. 229.


1

*Hubungan Internasional-Universitas Padjadjaran
G1B040033
2007
anggaliaputri@gmail.com

Dari sudut pandang ini, keamanan nasional (diukur melalui kepemilikan kapabilitas

militer suatu negara) menempati prioritas utama. Pada masa ini, gagasan mengenai
keamanan sangat bersifat state-centric (berpusat pada negara sehingga yang
diutamakan adalah keamanan nasional) dan sempit (terfokus pada aspek militer dari
keamanan nasional). Pandangan ini kemudian dikritisi oleh pihak-pihak yang menuntut
agar keamanan didefinisikan secara lebih luas. Buzan, misalnya, berargumen bahwa
keamanan setidaknya mencakup lima aspek, yakni keamanan politik, ekonomi, sosial,
lingkungan, dan militer. Ia juga mengalihkan fokus dari keamanan nasional ke
keamanan internasional (antarnegara).
Di samping itu, muncul pula gagasan mengenai keamanan yang berargumen
bahwa yang seharusnya menjadi fokus utama dalam keamanan adalah kelompok etnonasional, bukan negara, dengan argumen bahwa politik dunia pasca-perang dingin telah
mengalami perubahan fundamental yang dikarakteristikkan oleh dua hal yang

bertentangan: fragmentasi dan integrasi sehingga keamanan masyarakat ( societal

security), alih-alih keamanan nasional, harus menjadi prioritas utama. Perdebatan
mengenai fokus utama dari keamanan diperhangat dengan munculnya gagasan
mengenai keamanan yang bertitik-tolak dari semakin intensifnya proses globalisasi,
yang memunculkan ancaman-ancaman baru yang bersifat global (menjangkau seluruh
planet) sehingga fokus keamanan harus diletakkan pada keamanan global dengan
masyarakat global yang tengah berkembang sebagai referent object-nya.
Paparan di atas memperlihatkan berbagai sudut pandang yang berbeda dan
seringkali bertentangan mengenai fokus utama dari studi keamanan. Akan tetapi, hal
tersebut bukanlah satu-satunya alasan yang membuat keamanan disebut sebagai
‘contested concept’. Menurut Buzan dalam artikelnya, Security, keamanan menjadi
konsep yang debatable karena konsepsi mengenainya berbeda-beda dari satu individu
ke individu lainnya, dari satu kelompok ke kelompok lainnya. Apa yang disebut aman
bersifat relatif dari satu kelompok ke kelompok lainnya sehingga memunculkan
pertanyaan, ‘security for whom?’. Dengan kata lain, makna keamanan berbeda-beda
bagi aktor yang berbeda.4 Sama halnya dengan konsep ‘ancaman’. Sesuatu yang

4 A. A. B. Perwita dan Y. M. Yani,


Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 120.

*Hubungan Internasional-Universitas Padjadjaran
G1B040033
2007
anggaliaputri@gmail.com

dianggap ancaman oleh suatu kelompok mungkin bukan ancaman bagi kelompok
lainnya atau sebaliknya. Hal ini bergantung pada nilai-nilai yang dijunjung oleh
kelompok tersebut.
Hal lain yang membuat konsep keamanan sulit didefinisikan adalah sifatnya
yang taksa karena selain mengandung dimensi objektif (yang berarti terbebas dari
ancaman eksistensial terhadap nilai-nilai yang dijunjung), keamanan juga mengandung
dimensi subjektif (yang berarti terbebas dari rasa takut bahwa nilai-nilai yang
dijunjungnya akan diserang. Konsekuensinya, pengertian keamanan selalu berbeda dari
pihak satu ke pihak lainnya dan dari satu waktu ke waktu yang lain (dapat meluas
maupun menyempit). Jadi, dapat disimpulkan bahwa keamanan disebut sebagai konsep
yang diperdebatkan karena tidak ada definisi yang ajeg mengenainya kecuali konsensus
yang amat longgar. Hal ini berkaitan dengan perdebatan mengenai apa yang seharusnya
menjadi fokus utama dalam studi keamanan, dimensi subjektif yang terkandung dalam

konsep keamanan, dan terus berubahnya ruang lingkup dari pengertian keamanan itu
sendiri.

2.

Mengapa para penulis realis memfokuskan diri pada keamanan nasional?
Sejak pasca-Perang Dunia II dan sepanjang perang dingin, literatur mengenai

keamanan didominasi oleh pemikiran dari kaum realis. Tiga prinsip utama dari
Realisme adalah statism, yang berpandangan bahwa negara adalah aktor utama di
dalam sistem internasional, dan bahwa negara adalah perwakilan yang legitimate dari
penduduk yang berada di dalamnya, survival, yang berarti bahwa negara selalu
berusaha untuk mempertahankan eksistensinya dalam sistem internasional dengan
cara mempertahankan diri dari ancaman negara lain, dan self-help, yang berarti bahwa
negara

hanya

dapat


mengandalkan

dirinya

sendiri

untuk

mempertahankan

eksistensinya dalam sistem internasional, yaitu dengan membangun kapabilitas militer
yang cukup untuk dapat mempertahankan diri dari agresi negara lain dan untuk
memperluas power-nya.
Dalam pandangan kaum realis mengenai keamanan, prinsip statisme
mengandung arti bahwa negara adalah unit analisis atau fokus utama dalam studi

*Hubungan Internasional-Universitas Padjadjaran
G1B040033
2007
anggaliaputri@gmail.com


keamanan. Secara historis, negara dianggap sebagai aktor yang paling berkuasa dalam
sistem internasional sejak Perjanjian Westphalia pada tahun 1648. Kaum realis
mengangkat hal ini sebagai prinsip mendasar. Mereka memandang negara sebagai
‘standar legitimasi politik universal’ yang tidak mengakui kewenangan siapapun di
atasnya.
Dalam hal ini, keamanan dipandang sebagai kewajiban pemerintah yang harus
diprioritaskan agar negaranya dapat bertahan dalam sistem internasional yang anarkis.
Dalam dunia yang dicirikan oleh self-help, negara harus mengandalkan dirinya sendiri
dalam mencapai keamanan. Jika negara telah mencapai keamanan, maka penduduk di
dalamnya dianggap telah mencapai keamanan juga. Hal inilah yang mendasari
penekanan kaum realis pada keamanan nasional, yaitu pandangan bahwa keamanan
nasional (negara) harus diutamakan di atas segala-galanya (di atas keamanan individu
dan kelompok di dalam negara). Sementara itu, kaum realis bersikap pesimis terhadap
cita-cita keamanan internasional karena berasumsi bahwa negara dalam sistem
internasional ibarat berada dalam kondisi state of nature yang diwarnai oleh
pengejaran power, kompetisi, dan konflik di mana kerja sama antarnegara sulit
dilakukan.
Jadi, kaum realis memfokuskan diri pada keamanan nasional karena mereka
memandang negara sebagai representasi legitimate dari rakyat (penduduknya) di mana

keamanan nasional mewakili keamanan masyarakatnya, serta karena mereka
memandang negara sebagai aktor utama dalam sistem internasional yang dicirikan oleh
kedaulatan di mana tidak ada wewenang yang lebih tinggi yang dapat mengendalikan
perilaku negara. Oleh karena itu, di mata kaum realis, menjaga dan mempertahankan
keamanan

nasional

mempertahankan

menjadi

prioritas

keberlangsungannya

dan

utama


pemerintah

penduduknya

di

negara

untuk

dalam

sistem

internasional.5

3.

Apa yang dimaksud kaum neo-realis dengan struktur?


Tetapi, kalau membayangkan betapa seringnya negara berbuat jahat pada rakyatnya, misalnya membiarkan TNI dan
Brimob yang disewa perusahaan besar membakar dan meratakan puluhan rumah warga desa yang berada di dalam
konsesi perusahaan HTI di Siak, Riau, baru-baru ini, betapa absurdnya konsepsi ini terasa.
5

*Hubungan Internasional-Universitas Padjadjaran
G1B040033
2007
anggaliaputri@gmail.com

Yang dimaksud dengan struktur menurut kaum neo-realis adalah international

anarchy atau sistem internasional yang anarkis. Anarki di sini tidak serta merta
mengimplikasikan chaos atau kekacauan, melainkan mengandung arti bahwa tidak ada
kewenangan sentral yang mampu mengendalikan perilaku negara. Dalam kondisi
anarkis, negara-negara berdaulat harus mengembangkan kapabilitas militer yang
ofensif untuk mempertahankan diri dan memperluas power mereka. Karena itulah,
anarki membuat negara-negara saling bersaing dan menjadi ancaman bagi satu sama
lain. Anarki pulalah yang membuat negara tidak dapat saling percaya satu sama lain dan
terus menerus dalam keadaan waspada akan intensi negara lain. Karena negara selalu

berupaya untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya, survival menjadi
motif yang paling berpengaruh dalam perilaku negara. Ditambah dengan rentannya
terjadi salah perhitungan, kesemua asumsi di atas menghasilkan tendensi bagi negaranegara untuk bersikap agresif terhadap satu sama lain Dengan kata lain, anarki adalah
struktur yang mengekang dan menentukan perilaku negara-negara dalam sistem
internasional.
Ada beberapa hal yang menjadi karakteristik struktural dalam level sistemik,
yaitu organisasi kewenangan, aktor-aktor dalam sistem, dan ruang lingkup serta tingkat
interaksi.6 Anarki menjadi organisasi kewenangan dalam sistem internasional saat ini.
Sementara itu, kaum neo-realis menekankan distribusi kapabilitas material sebagai the

defining principle dalam sistem internasional yang anarkis. Artinya, perilaku negara
dikekang

oleh

struktur

sistem

internasional

(anarki)

dan

ditentukan

oleh

kedudukannya di dalam sistem internasional yang diukur dari kapabilitas militer yang
dimilikinya. Jadi, yang dimaksud dengan struktur oleh kaum neo-realis adalah anarki
internasional7, yang mengekang dan mengendalikan perilaku negara dan menentukan
keamanan atau ketidakamanan nasional.

6 J.

T. Rourke, International Politics on The World Stage,Tenth Edition, (Boston: McGraw-Hill/Dushkin, 2005),

h. 187.

7 Kadang-kadang saya kasihan pada si anarki ini, selalu disalahkan atas segala yang salah di tingkat internasional. Rusia
menginvasi Ukraina? Anarki. AS menyerang Afghanistan? Anarki? Pesawat MH360 lenyap? Nah lho, anarki jugakah?

*Hubungan Internasional-Universitas Padjadjaran
G1B040033
2007
anggaliaputri@gmail.com

4.

Mengapa perang terjadi?
Pertanyaan mengenai apa yang menyebabkan perang dan apakah perang dapat

dieliminasi untuk selamanya adalah pertanyaan abadi dalam studi Hubungan
Internasional. Perdebatan mengenai hal ini terus berlangsung. Bagi para sejarawan,
penyebab setiap perang adalah unik bagi setiap kasus. Para pakar yang lain percaya
bahwa ada sebab-sebab perang yang dapat digeneralisasi. Secara umum, penyebab
perang dapat dipandang dari tiga level analisis yang berbeda dan saling melengkapi,
yaitu first image (human nature), second image (internal organization of states), dan

third image (international anarchy/international system), sebagaimana yang tercermin
dari tesis Kenneth Waltz, Man, State, and War.
Pada level analisis yang pertama (human nature), yang dipandang sebagai
penyebab perang adalah sifat dasar manusia yang buruk, egois (self-interested), dan
selalu mengejar power atau ingin menguasai satu sama lain. pada level analisis yang
kedua atau second image, yang dipandang sebagai penyebab perang adalah organisasi
internal masing-masing negara. Dalam hal ini, terdapat teori bahwa negara-negara
otoriter lebih mudah berperang daripada negara-negara demokratis (democratic peace

theory). Pada level yang ketiga atau the third image, yang dipandang sebagai penyebab
perang adalah anarki internasional. Perang terjadi karena tidak ada kekuatan yang
dapat mencegahnya untuk terjadi karena dalam lingkungan yang anarkis, tidak ada
kewenangan sentral yang dapat mengendalikan perilaku negara. Waltz menekankan
peran anarki internasional, namun ia pun mengakui peran the first image dan the

second image sebagai kekuatan yang mendorong dilaksanakannya suatu kebijakan
tertentu yang dapat mengarah pada perang. Namun, menurut Waltz, tanpa adanya
logika dari anarki internasional, perilaku negara tidak dapat dimaknai dalam cara yang
dapat diprediksi.8

5.

Mengapa negara-negara mengalami kesulitan dalam bekerja sama?

J. Baylis, “International and Global Security”, dalam J. Baylis dan S. Smith (eds.), The Globalization of World Politics 4e,
(Oxford: Oxford University Press, 2006), h. 228. Catatan: pada suatu titik saya merasa si Waltz ini keterlaluan sekali dalam
berusaha membuat perilaku negara ‘dapat diprediksi.’ Hasratnya akan parsimony seringkali mengarah pada distorsi realitas.
Topik ini saya bahas di salah satu paper saya yang lain (lupa judulnya ;p).
8

*Hubungan Internasional-Universitas Padjadjaran
G1B040033
2007
anggaliaputri@gmail.com

Bagi kaum neo-realis, terdapat dua faktor utama yang menyebabkan negaranegara sulit untuk bekerja sama. Yang pertama adalah adanya prospek untuk berbuat
curang dan yang kedua adalah permasalahan perolehan relatif atau relative gains.
Mengenai yang pertama, kaum neo-realis (misalnya Waltz dan Mearsheimer), tidak
memungkiri bahwa negara-negara memiliki kesempatan yang lebih besar untuk bekerja
sama di era pasca-perang dingin. Akan tetapi, mereka menyatakan bahwa negara hanya
akan bekerja sama secara terbatas karena khawatir bahwa negara-negara lain akan
berbuat curang atau melanggar perjanjian yang telah disepakati dengan harapan akan
mendapatkan keuntungan dari perbuatan curang tersebut. Meskipun negara-negara
bergabung dalam suatu aliansi atau perjanjian pengurangan senjata, misalnya, mereka
akan selalu waspada dan bersiap-siap untuk menjaga keamanan nasionalnya. Dilema
karena adanya prospek untuk berbuat curang ini diilustrasikan antara lain dalam ‘ stag-

hunter’ yang intinya menggambarkan bahwa negara-negara sering tergoda berbuat
curang atau melanggar perjanjian yang telah disepakati karena dengan berbuat curang
tersebut, ia akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dibandingkan jika ia
bekerja sama atau menepati perjanjian yang telah dibuat.
Mengenai faktor yang kedua (permasalahan relative gains/perolehan relatif),
kaum neo-realis berargumen bahwa kerja sama sulit untuk dilakukan karena negaranegara cenderung lebih mengutamakan ‘perolehan relatif’ dibandingkan ‘perolehan
absolut’. Bukannya tertarik untuk bekerja sama karena akan mendatangkan
keuntungan bagi kedua belah pihak, negara-negara selalu mempertimbangkan berapa
banyak keuntungan yang mereka dapatkan dibandingkan dengan partner kerja
samanya. Mereka lebih memilih untuk tidak bekerja sama apabila partner kerja
samanya dianggap mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Karena negara-negara
selalu berupaya untuk memaksimalkan keuntungan di dalam lingkungan yang
kompetitif, saling curiga, dan tidak pasti, kerja sama akan sulit untuk dilakukan dan
lebih sulit lagi untuk dipertahankan.

6.

Apakah argumen Liberal Institutionalisme meyakinkan bagi Anda?

*Hubungan Internasional-Universitas Padjadjaran
G1B040033
2007
anggaliaputri@gmail.com

Kaum liberal institusionalis

berargumen

bahwa

institusi

internasional

memainkan peran penting dalam mewujudkan dan mempertahankan keamanan serta
perdamaian internasional, tidak sebagaimana pandangan kaum neo-realis yang
menganggapnya tidak terlalu berperan. Meskipun tidak dapat sepenuhnya
menghilangkan perang dari sistem internasional, kaum liberal institusionalis
menyatakan bahwa institusi internasional dapat memperbesar kemungkinan negaranegara untuk bekerja sama dalam mencegah terjadinya perang dan untuk
mempertahankan perdamaian yang telah ada. Institusi internasional bekerja dengan
cara ‘menyediakan informasi, mengurangi biaya transaksi, membuat komitmen lebih
kredibel, menyediakan titik tali untuk menjalankan koordinasi, dan secara umum
memfasilitasi berjalannya resiprositas’ (Keohane dan Martin, 1995: 42). Kaum liberal
institusional sering menunjuk institusi dalam bidang kerja sama keamanan yang
terdapat di Eropa (Uni Eropa, NATO, OSCE) sebagai gambaran bahwa institusi
internasional dapat membantu negara-negara Eropa untuk mengatasi antagonisme
yang pernah menghancurkan kawasan tersebut. Kaum Liberal Institusionalis
mengakui premis kaum neo-realis bahwa sistem internasional bersifat anarkis dan
bahwa negara adalah aktor utama dalam sistem internasional, akan tetapi berbeda
pendapat dengan kaum neo-realis dalam hal potensi kerja sama antarnegara dalam
lingkungan yang anarkis. Kaum liberal institusionalis percaya bahwa negara-negara
dapat melakukan kerja sama yang lebih erat meskipun di bawah struktur anarki, yaitu
melalui institusi-institusi internasional.
Menurut saya, institusi internasional memang berperan penting di dalam
mewujudkan keamanan internasional. Tidak hanya di Eropa, di kawasan Asia
Tenggara pun peran institusi internasional sangat terlihat dalam menjaga stabilitas
kawasan. ASEAN dengan berbagai mekanisme konsultatifnya yang dimanifestasikan
dalam ARF (ASEAN Regional Forum) yang mencakup preventive diplomacy dan

confidence building measure terbukti dapat menghindarkan terjadinya perang di
antara sesama anggotanya selama 40 tahun. Akan tetapi, peran institusi internasional
ini memang harus diakui bersifat terbatas karena seringkali negara-negara
mengedepankan kepentingan dan pertimbangannya sendiri (melakukan tindakan

*Hubungan Internasional-Universitas Padjadjaran
G1B040033
2007
anggaliaputri@gmail.com

unilateral), meskipun ia telah berkomitmen pada suatu institusi internasional. Yang
menjadi pertanyaan saya adalah, dalam kondisi-kondisi apakah suatu negara

cenderung bertindak unilateral dalam isu keamanan dan dalam kondisi-kondisi
apakah dia cenderung mematuhi komitmen terhadap institusi internasional? 9
Perlu diakui bahwa institusi internasional dalam bidang keamanan belum
sesukses institusi internasional di dalam bidang ekonomi, yang direpresentasikan oleh
keberadaan WTO. Potensi kerja sama yang dikemukakan oleh kaum liberal
institusional seringkali dilebih-lebihkan dan bergantung pada kemauan negara-negara
untuk lebih mengutamakan long-term gains dibandingkan short-term gains. Pada
kenyataannya, seringkali negara-negara lebih mementingkan yang terakhir sehingga
institusi internasional, khususnya dalam bidang keamanan, tidak dapat berjalan secara
efektif tanpa adanya transfer power yang memadai dari negara-negara yang
membuatnya. Meskipun demikian, saya berpendapat bahwa keberadaan institusi
internasional jauh lebih baik dalam membantu menciptakan keamanan dan
perdamaian dibandingkan tidak ada institusi sama sekali, yang dapat mendorong
negara-negara terjebak dalam ‘war of all against all’. Salah satu hal yang perlu
dilakukan adalah memberdayakan institusi internasional itu dengan cara mentransfer
power negara kepada institusi internasional dalam kadar yang cukup memadai agar
institusi internasional tersebut dapat di-enforce.10

7.

Mengapa negara demokratis cenderung lebih damai?

Democratic peace theory yang diasosiasikan dengan tulisan Michael Doyle dan
Bruce Russett menyatakan bahwa negara-negara demokratis bersifat lebih damai
terhadap satu sama lain dan secara umum cenderung lebih damai dibandingkan dengan
negara-negara non-demokratis (otoriter). Menurut Russett, ada tiga hal yang
menjelaskan kecenderungan damai negara-negara demokratis, yang terinspirasi oleh

Perpetual Peace karya Immanuel Kant, yaitu pemerintahan perwakilan yang
demokratis, komitmen ideologis terhadap hak asasi manusia, dan interdependensi
9 Jadiin skripsi dong ;p
10 An afterthought 7 years later: siapa yang bisa menjamin institusi internasional ini juga tidak melanggar norma-norma yang
dijunjungnya sendiri?

*Hubungan Internasional-Universitas Padjadjaran
G1B040033
2007
anggaliaputri@gmail.com

transnasional. Tidak adanya hal-hal ini di dalam negara non-demokratis menyebabkan
negara-negara otoriter cenderung lebih mudah berperang. Secara umum, ada dua
penjelasan bagi kecenderungan damai negara demokratis ini, yaitu penjelasan kultural
(domestic values) dan penjelasan struktural (restraint).
Penjelasan kultural menyatakan bahwa orang-orang di dalam sebuah negara
demokrasi memandang diri mereka sendiri sebagai masyarakat otonom yang bersifat
memerintah diri sendiri (self-governing), yang berbagi norma “hidup dan biarkan
hidup” (live and let live), dan yang menghormati prinsip kebebasan untuk menentukan
nasib sendiri atau self-determination jika mereka memandang masyarakat yang lain
sebagai masyarakat yang juga bersifat self-governing dan tidak mudah dibawa dalam
kebijakan luar negeri yang agresif oleh segelintir elit.11
Penjelasan struktural menyatakan bahwa kekangan-kekangan struktural seperti
pemilihan umum, pemisahan kekuasaan dalam pemerintahan, dan mekanisme check

and balance membuat para pemimpin negara demokratis lebih sulit untuk
menggerakkan negara mereka menuju perang. Pemerintah suatu negara demokratis
harus melewati proses yang panjang dan melelahkan untuk dapat menyatakan perang,
mulai dari meminta persetujuan parlemen hingga meyakinkan publik. Oleh karena itu,
mereka cenderung lebih sulit untuk berperang dibandingkan dengan negara-negara
otoriter yang tidak harus meminta persetujuan parlemen atau rakyatnya untuk
mengobarkan perang. Kekangan kultural dan struktural ini membatasi keinginan dan
kesempatan suatu negara demokratis untuk pergi berperang.
8.

Apa yang berbeda dalam pandangan Konstruktivis terhadap keamanan
internasional?
Yang menjadi ciri pembeda dalam pandangan Konstruktivis mengenai keamanan

internasional adalah kepercayaan bahwa struktur fundamental dalam politik

11

S. Spiegel, World Politics in a New Era, Third Edition, (Bellmont: Thompson Wadsworth, 2004), h.

119.

*Hubungan Internasional-Universitas Padjadjaran
G1B040033
2007
anggaliaputri@gmail.com

internasional bersifat sosial, tidak semata-mata bersifat material. Oleh karena itu, kaum
konstruktivis sosial berargumen bahwa sifat interaksi sosial di antara negara-negara
dapat mengarah pada terwujudnya keamanan internasional yang lebih besar. Kaum
konstruktivis memandang politik dunia secara berbeda dibandingkan dengan kaum
neo-realis yang memandang struktur sebagai sesuatu yang hanya terdiri dari distribusi
kapabilitas material. Kaum konstruktivis memandang struktur sebagai produk dari
hubungan-hubungan sosial. Struktur sosial terdiri dari pengetahuan persama, sumber
daya material, dan praktik-praktik yang dilakukan bersama. Berarti, struktur sosial
didefinisikan sebagian oleh pemahaman, ekspektasi, dan pengetahuan bersama. Kaum
konstruktivis tidak menafikan pentingnya sumber daya material dalam sebuah struktur.
Akan tetapi, mereka berargumen bahwa segala sesuatu yang bersifat material
mendapatkan makna melalui pengetahuan yang dibagi bersama. Jadi, yang
membedakan pandangan Konstruktivis terhadap keamanan internasional adalah
keyakinannya bahwa struktur yang menentukan keamanan internasional tidak hanya
dibangun oleh hal-hal yang bersifat material, tetapi juga yang bersifat sosial, seperti
pengetahuan dan pengertian yang dibagi bersama, juga praktik-praktik yang dijalankan
bersama. Dengan adanya kepercayaan bahwa struktur sistem internasional yang
mendasar adalah hasil dari konstruksi sosial, kaum Konstruktivis percaya bahwa
dengan mengubah pola interaksi di antara satu sama lain, negara-negara dapat
memproduksi keamanan internasional yang lebih besar.

9.

Apakah perbedaan di antara teori ‘critical security’, pandangan kaum feminis, dan
post-modernis mengenai keamanan internasional dengan pandangan kaum neorealis mengenai keamanan internasional?
Pandangan ‘critical security’, feminis, dan post-modernis tehadap keamanan

internasional memiliki titik tolak yang sama, yaitu dalam hal upaya mereka untuk
mengalihkan fokus keamanan dari negara kepada individu. Teori kritis terhadap
keamanan internasional berargumen bahwa terlalu banyak penekanan diberikan kepada
negara dan peran sentralnya sehingga mengabaikan keamanan individu dan masyarakat.
Sementara itu, kaum feminis menyatakan bahwa gender selama ini telah dipinggirkan

*Hubungan Internasional-Universitas Padjadjaran
G1B040033
2007
anggaliaputri@gmail.com

dalam kajian mengenai keamanan nasional dan internasional yang hanya mengakomodasi
sudut pandang maskulin. Para penulis feminis berargumen bahwa inkorporasi gender ke
dalam diskursus keamanan nasional (yang dikonstruksi dari sudut pandang maskulin
dengan mengabaikan sudut pandang feminin) dan rekonseptualisasi keamanan dapat
meningkatkan keamanan itu sendiri dan menciptakan tatanan keamanan yang lebih adil
bagi kaum perempuan yang selama ini termarjinalkan. Sementara itu, kaum post-modern
berpandangan bahwa gagasan, diskursus, dan ‘’logika interpretasi ‘ memainkan peran
penting dalam memahami politik internasional. Kaum post-modern menganggap Realisme
sebagai akar masalah dari keamanan internasional itu sendiri karena menekankan
diskursus kekuasaan.
Jadi, yang membedakan antara ketiga pandangan di atas dengan pandangan neorealis adalah aktor utama yang dijadikan sebagai referent object, di mana studi kritis
tentang keamanan berusaha mengalihkan fokus perhatian dalam studi keamanan dari
negara kepada individu. Selain itu, teori kritis mengenai keamanan tergolong ke dalam
‘critical theory’ yang berupaya untuk melihat apa-apa yang dimarjinalkan dalam tatanan
status quo atau oleh teori yang mendominasi, berkebalikan dengan neo-realis yang
tergolong ke dalam ‘problem-solving theory’ yang bergerak dalam tatanan yang telah
mapan. Dengan kata lain, sementara pandangan neo-realis mengenai keamanan
internasional bersifat fixed dan cenderung mempertahankan tatanan yang telah ada
(status quo) dengan memarjinalkan pihak-pihak tertentu, teori kritis mengenai keamanan
berusaha untuk mengubah tatanan keamanan internasional dan mengakhiri marjinalisasi
tersebut dengan cara mengedepankan konsep emansipasi.

10.

Apakah globalisasi menciptakan keamanan global yang lebih besar atau
sebaliknya?
Globalisasi mencirikan era di mana kita hidup saat ini dan sering disebut-sebut

sebagai titik balik dalam hal keamanan internasional. Kecenderungan dan perubahanperubahan yang dibawa oleh globalisasi dikatakan menjadi awal bagi perubahan
mendasar dalam tatanan dunia. Para penulis dari aliran masyarakat global berargumen
bahwa globalisasi yang dicirikan dengan munculnya sistem ekonomi global, komunikasi

*Hubungan Internasional-Universitas Padjadjaran
G1B040033
2007
anggaliaputri@gmail.com

global, dan elemen-elemen budaya global membantu menciptakan jejaring hubungan
sosial yang melewati batas-batas negara. Hal ini mengarah pada menghilangnya
kecenderungan perang teritorial di antara negara dan menjanjikan politik dunia yang lebih
damai. Selain itu, kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, serta semakin tingginya
interdependensi antarnegara dan antarmasyarakat mempertinggi potensi kerja sama
lintas batas negara sehingga memungkinkan terbentuknya embrio masyarakat global yang
dapat mengatasi berbagai permasalahan yang tidak lagi dapat ditangani sendiri oleh
negara atau kawasan negara, misalnya permasalahan lingkungan global (pemanasan
global, perubahan iklim, penipisan ozon), kejahatan transnasional, terorisme global, dan
sebagainya.
Namun, di sisi lain, globalisasi membawa ketidakamanan yang lebih besar pula.
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, misalnya, telah memberi akses lebih
leluasa bagi para kelompok kriminal terorganisasi untuk memperluas jejaring dan wilayah
aktivitas mereka, serta meninmbulkan ancaman-ancaman baru, seperti kejahatan dunia
maya, terorisme dunia maya, serta berbagai mode perang yang sebelumnya tidak
terpikirkan, yang sering disebut sebagai fourth generation war. Selain itu, globalisasi yang
ditandai dengan fragmentasi dan integrasi serta yang diwarnai oleh semakin
meningkatnya kesenjangan antara the haves and the haves-not membuat dunia semakin
terasa tidak aman. Globalisasi juga mempertajam perbedaan yang ada sehingga
mendorong terjadinya konflik di dalam negara, di samping menumbuhkan peluang untuk
berintegrasi di tataran global.
Jadi, menurut saya, globalisasi bagaikan pedang bermata dua yang membawa
kontradiksi-kontradiksi (ambivalen). Di satu sisi, globalisasi mendorong kemunculan
masyarakat global yang berpotensi mengatasi berbagai ancaman terhadap keamanan
global. Globalisasi juga memperbesar peluang bagi negara untuk bekerja sama. Di sisi lain,
globalisasi memunculkan ancaman-ancaman baru terhadap keamanan internasional
dengan cara menimbulkan fragmentasi, menimbulkan perubahan sosial yang cepat,

*Hubungan Internasional-Universitas Padjadjaran
G1B040033
2007
anggaliaputri@gmail.com

memperbesar kesenjangan ekonomi, dan mengancam identitas kultural sehingga
berkontribusi pada terjadinya konflik di dalam dan di antara negara. 12

11. Apakah ketegangan antara keamanan nasional dan kemanan global dapat
diselesaikan?
Kecenderungan

dalam

perkembangan

keamanan

internasional

sejak

berakhirnya perang dingin dan globalisasi menunjukkan bahwa ketegangan antara
keamanan nasional dan keamanan global akan terus berlanjut. Keamanan nasional
tetap menjadi perhatian dan fokus utama bagi para negarawan dan aspek militer dari
keamanan nasional masih akan memainkan peran penting, terutama dengan semakin
banyaknya konflik bersenjata, baik di dalam negara maupun di antara negara-negara.
Logika power politics juga masih akan mewarnai politik dunia, ditambah
kecenderungan negara-negara, terutama yang berpower besar, untuk mengambil
tindakan unilateral. Di sisi lain, aliran keamanan global pun dapat diperkirakan akan
semakin berkembang seiring dengan kemunculan masyarakat global. Dengan demikian,
ketegangan di antara keamanan nasional dan keamanan global akan tetap berlanjut,
namun tidak menutup kemungkinan bahwa terdapat titik-titik di mana keduanya dapat
berjalan beriringan.

12. Apakah keamanan internasional mengalami perubahan sejak peristiwa 9/11?
Menurut saya, keamanan internasional mengalami perubahan mendasar sejak
peristiwa 9/11. Konsepsi keamanan yang semula menjauh dari negara mulai bergeser
kembali kepada negara sebagai aktor utama yang menyediakan keamanan bagi
warganya dari ancaman teroris yang merupakan aktor-aktor non-negara. Banyak
negara melakukan sekuritisasi dengan mendeklarasikan terorisme sebagai ancaman
keamanan nasional yang lantas menjustifikasi pengerahan militer, misalnya Amerika
12 Another afterthought: Siapa coba penguasa di era globalisasi sekarang ini? Segelintir elit ekonomi-politik-militer yang ituitu juga toh? Banyak lho elit yang justru diuntungkan dengan adanya perang, bukan hanya perang teritorial tapi juga perang
sipil: penjual senjata, pemegang kontrak pertahanan, bahkan pedagang gula (nggak percaya? baca deh bukunya Isabel
Allende, Portrait in Sepia). Terkait krisis identitas, perubahan yang begitu cepat, mulai dari keharusan berbahasa Inggris di
perusahaan, 9gag, youtube, hingga situs-situs perekrutan bunuh diri, mendorong orang-orang yang merasa tidak aman
secara ekonomi untuk berlindung dalam perkumpulan yang mengutamakan identitas (dan tempat untuk berhutang),
misalnya identitas pembela agama, pejuang etnis dan suku, atau menjadi jemaah habib-habib yang jargonnya adalah ‘peci
lebih kuat daripada helm’.

*Hubungan Internasional-Universitas Padjadjaran
G1B040033
2007
anggaliaputri@gmail.com

Serikat, Sri Lanka, Filipina, dan China. Di sisi lain, keamanan individu menjadi lebih
disorot lebih dari kapanpun karena yang menjadi target (utama) serangan teroris
adalah warga sipil.13 Serangan teroris membuat jenis-jenis keamanan lainnya yang tidak
terlalu memfokuskan diri pada aspek kekerasan menjadi terpinggirkan (kembali),
misalnya keamanan pangan, keamanan dari kekeringan, keamanan lingkungan, dan
aspek-aspek freedom from want dalam konsep human security lainnya.

13 Kayaknya waktu jawab pertanyaan terakhir ini mata dan otak udah sepet. Tapi no worries, karena S-2 saya program

studinya terorisme dalam keamanan internasional (are you kidding me? of all the programs? ;p), topik yang satu ini sudah
banyak dibahas di berbagai paper yang lain 