Pelaksanaan Pajak Bumi Dan Bangunan PBB (1)
Pelaksanaan Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB) Di Indonesia
Serta Tinjauannya Berdasarkan Ekonomi Islam
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Perpajakan
Dosen Pengampu:
Neneng Hartati. S.E., M.M
Disusun Oleh:
Kelompok 8
Muamalah/VI/HPS-B
Idah Nurnaeni
1133020091
Imas Nurul Fuadiah
1133020096
Ismat Fauzi
1133020
PROGRAM STUDI MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2016 M / 1437 H
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat
beserta salam semoga tercurah limpahkan kepada baginda alam yakni Nabi Besar
Muhammad SAW. Tak lupa juga kepada para thabi’in yang senantiasa mengikuti
ajaran-Nya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam pembelajaran
mata kuliah perpajakan pada jurusan Muamalah Universitas Islam Negeri Sunan
Gunung Djati Bandung.
Kami selaku penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini
masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan dalam penyajian materi-materi
pembahasan, seperti kata pepatah “tak ada gading yang tak retak”. Oleh karena
itu, kritik dan saran pembaca yang bersifat membangun sangat penulis harapkan
dalam penyempurnaan penulisan karya tulis ini di masa yang akan datang.
Bandung, Mei 2016
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN ...................................................................................1
A. Latar Belakang .............................................................................................1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................1
A. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan ........................................................1
B. Objek Pajak Bumi dan Bangunan ...............................................................1
C. Subjek dan Wajib Pajak ..............................................................................4
D. Tarif Pajak ....................................................................................................5
E. Dasar Pengenaan Pajak ...............................................................................6
F. Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan ...................................................7
G. Dasar Perhitungan Pajak ..............................................................................8
H. Cara Menghitung Pajak ...............................................................................9
I. Rumusan Perhitungan Pajak .....................................................................10
J. Tahun pajak, saat, dan tempat yang menentukan pajak terutang ...............10
K. Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP), Surat Pemberitahuan Pajak
Terutang (SPPT), dan Surat Ketetapan Pajak (SKP) .................................10
BAB III PEMBAHASAN ...................................................................................16
A. Pajak Bumi dan Bangunan Menurut Syariah ............................................16
B. Tinjauan Ekonomi Islam terhadap Pajak Bumi dan Bangunan
di Indonesia ................................................................................................17
C. Analisis Ekonomi Islam Terhadap Pajak Bumi dan Banguna
di Indonesia ................................................................................................25
BAB IV PENUTUP ..............................................................................................32
A. Simpulan ....................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................33
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pajak merupakan suatu iuran wajib bagi wajib pajak yang dipungut oleh
pemerintah berdasarkan Undang-undang. Adanya pajak dapat diharapkan mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pajak ini sifatnya tidak dapat dirasakan
langsung oleh masyarakat. Dalam hubungannya dengan adanya suatu wilayah
dipermukaan bumi dan segala sesuatu yang bernilai diatasnya, dalam pelaksanaan
pemungutan pajak harus memiliki aturan yang jelas. Peraturan yang berkaitan
dengan pajak ini diatur dalam Undang-undang No.12 tahun 1985 yang telah
diubah dengan adanya undang-undang No.12 tahun 1994. Dengan adanya
peraturan ini diharapkan adanya pemungutan pajak yang berkaitan dengan bumi
dan bangunan dapat dilakukan sesuai dengan asas-asas yang ada.
Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak yang dipungut atas tanah
dan bangunan karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi
yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau
memperoleh manfaat dari padanya. Dasar pengenaan pajak dalam PBB adalah
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP ditentukan berdasarkan harga pasar per
wilayah dan ditetapkan setiap tahun oleh menteri keuangan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pelaksanaan Pajak Bumi dan Bangunan yang di anut di
Indonesia?
2. Bagaimana Tinjauan Ekonomi Islam Terhadap Pajak Bumi Dan
Bangunan Di Indonesia?
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan
Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya.
Permukaan meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa,
tambak, perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia.1
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan
secara tetap pada tanah dan atau perairan.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak negara yang dikenakan
terhadap bumi dan atau bangunan berdasarkan undang-undang No.12 tahun
1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No.12 tahun 1994. PBB adalah pajak yang bersifat
kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek
yaitu bumi atau tanah dan atau bangunan. Sementara itu keadaan Subjek
(siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.
Asas Pajak Bumi dan Bangunan:
1.
Memberikan kemudahan dan kesederhanaan
2.
Adanya kepastian hukum
3.
Mudah dimengerti dan adil
4.
Menghindari pajak berganda
B. Objek Pajak Bumi dan Bangunan
1. Yang menjadi objek pajak adalah bumi dan atau bangunan
2. Yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah
pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan
sebagai pedoman, serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang
terutang.
Termasuk dalam pengertian bangunan adalah:
1
Mardiasmo, Perpajakan, Yogyakarta : CV Andi Offset, 2013. Hlm. 331
2
3
a. Jalan lingkunan dalam satu kesatuan dengan kompleks bangunan.
b. Jalan tol.
c. Kolam Renang.
d. Pagar Mewah.
e. Tempat olah raga.
f. Galangan Kapal, dermaga
g. Taman mewah
h. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak.
i. Fasilitas lain yang memberikan manfaat
PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak
terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan.
Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya
pajak.2
Adakalanya orang atau badan memiliki rumah yang ada di atas tanah
orang lain, sehingga pemillik rumah terpisah dari pemilik tanah. Undangundang PBB memungkinkan orang yang memiliki rumah diatas tanah orang
lain dikenakan pajak tersendeiri terlepas dari pajak yang dikenakan dianut
asas pemisahan horisontal (horizontale sheiding) antara pemilik tanah dan
pemilik rumah yang ada diats tanah yang bersangkutan. Asas ini seberya
tidak sama dengan undang-undang Pokok Agraria maka ada baiknya bahwa
hal ini ditegaskan dalam undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan. Masalah
ini menjadi aktuil pada masa bertingkat yang masing-masing terikat dimiliki
oleh orang lain.3
Objek pajak yang tidak dikenakan PBB, pasal 3 UU PBB menentukan
bahwa tidak dikenakan pajak adalah :
a. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dan ridak
untuk keuntungan antara lain,
b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan pubakala, atau yang sejenis
dengan itu.
2
3
http://www.pajak.go.id/content/seri-pbb-ketentuan-umum-pajak-bumi-dan-bangunan-pbb
Wahyudi triyono. 2003.Perpajakan indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
4
c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata taman
nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai desa dan tanah negara
yang belum dibebani suatu hak
d. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsultan berdasarkan asas
perlakuan timbal balik
e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang
ditentukan oleh menteri keuangan.
Objek pajak yang digunakan untuk kepentingan negara diatur lebih
lanjut oleh peraturan pemerintah. Objek pajak tersebut dimiliki atau dikuasai
atau digunakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam
menyelenggarakan pemerintahan. Pajak bumi dan bangunan adalah pajak
negara yang sebagian besar penerimaan merupakan pendapatan daerah yang
antara lain digunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga diminati oleh
pemerintah pusat ikut membiayai fasilitas tersebut dengan membayar Pajak
Bumi dan Bangunan.
Besarnya nilai jual Objek Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan
untuk masing-masing kabupaten/kota dengan besar setinggi-tingginya Rp
12.000.000.00 untuk setiap wajib pajak. Apabila seorang wajib pajak
mempunyai beberapa objek pajak, maka yang diberikan NJOPTKP hanya
salah satu objek pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi
NJOPTKP.4
C. Subjek pajak
1. Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata
mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau memperoleh manfaat atas
bumi, dan atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas
bangunan. Dengan demikian tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan
merupakan bukti pemilikan hak.
2. Subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no.1 yang dikenakan
kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak.
4
Trisni Suryani dan Tarsis Tarmudji.2012.pajak di indonesia. Semarang: GRAHA ILMU
5
3. Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya,
Direktur Jendral Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana
dimaksud dalam no.1 sebagai wajib pajak.
Hal ini berarti memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk
menentukan subjek wajib pajak, apabila suatu objek pajak belum jelas
wajib pajaknya.
4. Subjek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam no.3 dapat
memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktur Jendral Pajak
bahwa ia bukan wajib pajak terhadap objek pajak dimaksud.
5. Bila keterangan yang diajukan oleh wajib dalam no.4 disetujui, maka
Direktur Jendral Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib pajak
sebagaimana dalam no.3 dalam jangka waktu satu bulan sejak
diterimanya surat keterangan dimaksud.
6. Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur Jendral
Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasanalasannya.
7. Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya
keterangan sebagaimana dalam no.4 Direktur Jendral Pajak tidak
memberikan keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap
disetujui.
Apabila Direktur Jendral Pajak tidak memberikan keputusan dalam
waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya keterangan dari wajib
pajak, maka ketetapan sebagai wajib pajak gugur dengan sendirinya dan
berhak mendapatkan keputusan pencabutan penetapan sebagai wajib
pajak.5
D. Tarif pajak
Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5%.6 Tarif
PBB untuk pedesaan dan perkotaan diturunkan dari 0,5% terhadap nilai jual
objek pajak (NJOP) menjadi paling tinggi 0,3% dari NJOP. Perubahan tarif
5
6
Mardiasmo, Perpajakan, Yogyakarta : CV Andi Offset, 2013. Hlm. 336
Ibid. Hllm. 337
6
PBB pedesaan dan perkotaan itu ditetapkan dalam UU No.28 tahun 2009
tentang pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) yang selesai diamandemen
pada tanggal 15 September 2009.
Langkah ini diharapkan dapat memperluas basis pemungutan PBB
kepada pemerintah kabupaten atau kota setelah 31 Desember 2013.7
1.
Tahun Pajak, Saat, Dan Tempat Yang Menentukan Pajak Terutang
a. Tahun pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun takwim. Jangka
waktu satu tahun takwim adalah dari 1 Januari sampai dengan 31
Desember.
b. Saat yang menentukan pajak yang terutang adalah menurut keadaan
objek pajak pada tanggal 1 Januari.
Contoh :
a.
Objek pajak pada tanggal 1 Januari 2005 berupa tanah dan
bangunan. Pada tanggal 10 Januari 2005 bangunannya terbakar,
maka pajak yang terutang tetap berdasarkan keadaan objek pajak
pada tanggal 1 Januari 2005, yaitu keadaan sebelum keadaan
terbakar.
b.
Objek pajak pada tanggal 1 Januari 2005 berupa sebidang tanah
tanpa bangunan diatasnya. Pada tanggal 20 Agustus 2005
dilakukan pendataan, ternyata diatas tanah tersebut telah berdiri
suatu bangunan, maka pajak yang terutang untuk tahun 2005 tetap
dikenakan berdasarkan keadaan pada tanggal 1 Januari 2005.
Sedangkan bangunannya baru akan dikenakan pada tahun 2006.
2.
Tempat pajak yang terutang :
a. Untuk daerah Jakarta, di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
b. Untuk daerah lainnya, di wilayah Kabupaten atau Kota. Tempat
pajak yang terutang untuk Batam, di wilayah Provinsi Riau
E. Dasar Pengenaan Pajak
1. Dasar pengenalan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
7
Trisni Suryani dan Tarsis Tarmudji.2012.pajak di indonesia. Semarang: GRAHA ILMU
7
2. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) ditetapkan setiap tiga tahun
oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak atas nama
Menteri
Keuangan
dengan
mempertimbangkan
pendapat
Gubernur/Bupati/Walikota (pemerintah daerah) setempat.
3. Dasar penghitungan pajak adalah yang ditetapkan serendah-rendahnya
20% dan setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
4. Besarnya persentase ditetapkan dengan peraturan pemerintah dengan
memperhatikan kondisi ekonomi nasional.
Pada dasarnya penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah
tiga tahun sekali. Namun demikian untuk daerah tertentu yang karena
perkembangan pembangunan mengakibatkan kenaikan NJOP cukup
besar, maka penetapan nilai jual ditetapkan setahun sekali.
Dalam menetapkan nilai jual, Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jendral Pajak atas nama menteri keuangan dengan mempertimbangkan
pendapat Gubernur/Bupati/Walikota (pemerintah daerah) setempat
serta memperhatikan asas self assessment. Yang dimaksud adalah nilai
jual yang dipergunakan sebagai dasar penghitungan pajak, yaitu suatu
persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya.8
Contoh :
a. Nilai jual suatu objek pajak sebesar Rp2.000.000,00. Persentase
misalnya 20%, maka besarnya= 20% x Rp2.000.000,00 =
Rp.400.000,00.
b. Nilai jual suatu objek pajak sebesar Rp2.000.000.000,00.
Persentase
misalnya
40%,
maka
besarnya
40%
x
Rp2.000.000.000,00 = Rp800.000.000,00.
Untuk perekonomian sekarang ini, terutama untuk tidak terlalu
membebani wajib pajak di daerah pesesaan, tetapi dengan tetap
memperhatikan penerimaan, khususnya bagi Pemerintahan Daerah, makan
telah ditetapkan besarnya persentase untuk menentukan besarnya NJKP,
yaitu:
8
Ibid
8
a.
Sebesar 40% (empat puluh persen) dari NJOP untuk:
1) Objek Pajak perkebunan.
2) Objek Pajak kehutanan.
3) Objek Pajak lainnya, yang wajib pajaknya perorangan dengan
NJOP atas bumi dan bangunan sama atau lebih besar dari
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
b.
Sebesar 20% (dua puluh persen) dari NJOP untuk :
1) Objek Pajak pertambangan.
2) Objek
Pajak
lainnya
yang
NJOP-nya
kurang
dari
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
F. Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan
UU No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU
No. 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
1. KMK No.201/KMK.04/2000 Tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual
Objek Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi
dan Bangunan.
2. KMK No. 523/KMK.04/1998 Tentang Penentuan Klasifikasi dan
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi
dan Bangunan.
3. KMK No. 1004/KMK.04/1985 Tentang Penentuan Badan atau
Perwakilan Organisasi Internasional yang Menggunakan Objek Pajak
Bumi dan Bangunan Yang Tidak Dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.
4. Kep Dirjen Pajak Nomor: KEP-251/PJ./2000 Tentang Tata Cara
Penetapan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai
Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan.
5. Kep Dirjen Pajak Nomor: KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan Pajak
Bumi dan Bangunan.Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-43/PJ.6/2003
Tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak
6. Kena Pajak (NJOPTKP) PBB dan Perubahan Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) BPHTB Untuk Tahun Pajak 2004.
9
g. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-57/PJ.6/1994 Tentang Penegasan
dan Penjelasan Pembebasan PBB atas Fasilitas Umum dan Sarana Sosial
Untuk Kawasan Industri dan Real Estate.
G. Dasar perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan
Dasar perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan adalah Nilai Jual Kena
Pajak (NJKP). Besarnya NJKP adalah9 :
1. Objek pajak perkebunan adalah 40%
2. Objek pajak kehutanan adalah 40%
3. Objek pajak pertambangan adalah 20%
4. Apabila NJOPnya < Rp. 1000.000.000,- adalah 40%
5. Apabila NJOPnya > Rp. 1000.000.000,- adalah 20%
H. Cara Menghitung Pajak
Untuk menghitungbesarnya pajak bumi dn Bangunan (PBB) Yang
harus dibayar maka harus diketahui lebih dahulu kelas dari tanah (bumi)
dan/atau bangunan yang menjadi obyek PBB sehigga bisa dihitung NJOP
PBB. Penentuan klasifikasi dari bumi dan bangunan didasakan pada
keputusan Menteri keuangan dan untuk peraturan yang terbari adalah
peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010 tentang klasifikasi
dan penetapan Nilai Jual Obyek Pajak sebagaimana Dasar Pengenaan Pajak
Bumi dan Bangunan, yang menggantikan keputusan Menteri Kuangan Nomor
523/KMK.04/1998.10
Contoh :
Wajib Pajak A mempunyai sebidang tanah dan bangunan yang NJOPnya Rp20.000.000,00 dan NJOPTKP untuk daerah tersebut Rp12.000.000,00,
maka besarnya pajak yang terutang adalah :
PBB
= 0,5% x 20% x (Rp20.000.000,00 - Rp12.000.000,00)
= 0,001 x Rp8.000.000,00
9
http://www.pajak.go.id/sites/default/files/BookletPBB.pdf
10
Trisni Suryani dan Tarsis Tarmudji.2012.pajak di indonesia. Semarang: GRAHA ILMU
10
= Rp8.000,00
I. Rumus Perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan
Rumus perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan = Tarif x NJKP
a. Jika NJKP = 40% x (NJOP – NJOPTKP) maka besarnya Pajak Bumi
dan Bangunan
= 0,5% x 40% x (NJOP – NJOPTKP)
= 0,2% x (NJOP – NJOPTKP)
b. Jika NJKP = 20% x (NJOP – NJOPTKP) maka besarnya Pajak Bumi
dan Bangunan
= 0,5% x 20% x (NJOP – NJOPTKP)
= 0,1% x (NJOP – NJOPTKP)
J. Tahun pajak, saat, dan tempat yang menentukan pajak terutang
1. Tahun pajak adalah jangka waktu satu tahun takwim. Jangka waktu
satu tahun takwim adalah dari 1 januari sampai dengan 31 desember.
2. Saat menentukan pajak yang terutang adalah menurut keadaan objek
pajak pada tanggal 1 januari.
3. Tempat pajak yang terutang:
a. Untuk daerah Jakarata, di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
b. Untuk daerah lainnya, di Wilayah Kabupaten atau Kota.
Tempat pajak yang terutang untuk Batam, di Wilayah Propinsi
Riau.
K. Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP), Surat Pemberitahuan Pajak
Terutang (SPPT), dan Surat Ketetapan Pajak (SKP)
1. Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP)
Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) adalah sarana bagi Wajib
Pajak (WP) untuk mendaftarkan Objek Pajak yang akan dipakai sebagai
11
dasar untuk menghitung Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang
terutang.11
Hak Wajib Pajak
a. Memperoleh formulir SPOP secara gratis pada Kantor Pelayanan
Pajak (KPP), Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi
Perpajakan (KP2KP) atau tempat lain yang ditunjuk.
b. Memperoleh penjelasan, keterangan tentang tata cara pengisian
maupun penyampaian kembali SPOP pada KPP atau KP2KP.
c. Memperoleh tanda terima pengembalian SPOP dari KPP, atau
KP2KP.
d. Memperbaiki/mengisi ulang SPOP apabila terjadi kesalahan dalam
pengisian dengan melampirkan foto kopi bukti yang sah (sertifikat
tanah, akta jual beli tanah, dan lain-lain).
e. Menunjuk orang/pihak lain selain pegawai Direktorat Jenderal
Pajak dengan surat kuasa khusus bermeterai, sebagai kuasa Wajib
Pajak untuk mengisi dan menandatangani SPOP.
f. Mengajukan
permohonan
tertulis
mengenai
penundaan
penyampaian SPOP sebelum batas waktu dilampaui dengan
menyebutkan alasan-alasan yang sah.
Kewajiban Wajib Pajak
a. Mendaftarkan Objek Pajak dengan cara mengisi SPOP.
b. Mengisi SPOP dengan jelas, benar, dan lengkap:
1) Jelas berarti dapat dibaca sehingga tidak menimbulkan salah
tafsir;
2) Benar berarti data yang diisi sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya;
3) Lengkap berarti terisi semua dan ditandatangani serta dilampiri
surat kuasa khusus bagi yang dikuasakan.
11
Ketentuan umum seri PBB, Http://www.pajak.go.id/sites/default/files/BookletPBB.pdf
12
c. Menyampaikan kembali SPOP yang telah diisi WP ke KPP
Pratama atau KP2KP setempat selambat-lambatnya 30 hari setelah
formulir SPOP diterima.
d. Melaporkan perubahan data Objek Pajak/WP ke KPP Pratama atau
KP2KP
setempat
dengan
cara
mengisi
SPOP
sebagai
perbaikan/pembetulan SPOP sebelumnya.
Sanksi
a. Sanksi Administrasi
1) Dalam hal WP tidak menyampaikan kembali SPOP pada
waktunya dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan
sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran, maka akan
diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dengan sanksi berupa
denda administrasi sebesar 25% dari PBB yang terutang.
2) Apabila pengisian SPOP setelah diteliti atau diperiksa ternyata
tidak benar (lebih kecil), maka akan diterbitkan SKP dengan
sanksi berupa denda administrasi sebesar 25% dari selisih
besarnya PBB yang terutang.
b. Sanksi Pidana
1) Barang siapa karena kealpaannya tidak mengembalikan SPOP
atau mengembalikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau tidak
lengkap dan atau melampirkan keterangan yang tidak benar
sehingga menimbulkan kerugian bagi negara, dipidana dengan
pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda
setinggi-tingginya 2 (dua) kali lipat pajak yang terutang;
2) Barang siapa karena dengan sengaja:
a) tidak mengembalikan atau menyampaikan SPOP kepada
Direktorat Jenderal Pajak;
b) menyampaikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau tidak
lengkap dan/ atau melampirkan keterangan yang tidak
benar;
13
c) memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau
dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah
benar;
d) tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan surat atau
dokumen lainnya;
e) tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan
keterangan yang diperlukan; sehingga menimbulkan
kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda setinggitingginya sebesar 5 (lima) kali
2. Surat Pemberitahuan Terutang (SPPT)
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) adalah Surat
Keputusan Kepala KPP mengenai pajak terutang yang harus dibayar
dalam 1 (satu) tahun pajak.12
Hak Wajib Pajak
a. Menerima SPPT PBB untuk setiap tahun pajak.
b. Mendapatkan penjelasan berkaitan dengan ketetapan PBB dalam
hal Wajib Pajak meminta.
c. Mengajukan keberatan dan/atau pengurangan.
d. Mendapatkan Surat Tanda Terima Setoran (STTS) PBB dari
Bank/Kantor Pos dan Giro Tempat Pembayaran PBB yang
tercantum pada SPPT, atau
e. Mendapatkan Resi/struk ATM/bukti pembayaran PBB lainnya
(sebagai bukti pelunasan pembayaran PBB yang sah sebagai
pengganti STTS) dalam hal pembayaran PBB dilakukan melalui
fasilitas ATM/fasilitas perbankan elektronik lainnya, atau
f. Mendapatkan Tanda Terima Sementara (TTS) dari petugas
pemungut PBB Kelurahan/Desa yang ditunjuk resmi dalam hal
pembayaran PBB dilakukan melalui petugas pemungut PBB.
12
Ibid
14
Kewajiban Wajib Pajak
a. Mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) dengan jelas,
benar dan lengkap, dan menyampaikan ke KPP Pratama/KP2KP
setempat, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal
diterimanya SPOP oleh subjek pajak.
b. Menandatangani bukti tanda terima SPPT dan mengirimkannya
kembali
kepada
Daerah/KP2KP
Lurah/Kepala
untuk
diteruskan
Desa/Dinas
ke
KPP
Pendapatan
Pratama
yang
menerbitkan SPPT.
c. Melunasi PBB pada Tempat Pembayaran PBB yang telah
ditentukan.
Cara Mendapatkan SPPT
a. Mengambil sendiri di Kantor Kelurahan/Kepala Desa atau di KPP
Pratama/ KPPBB tempat Objek Pajak terdaftar atau tempat lain
yang ditunjuk.
b. Dalam rangka pelayanan, SPPT dapat dikirim melalui Kantor Pos
dan Giro atau diantarkan oleh aparat Kelurahan/Desa.
c. Wajib Pajak dapat menggunakan fasilitas Kring Pajak (500-200)
yang merupakan layanan pulsa lokal dari Fixed Phone/PSTN.
3. Surat Ketetapan Pajak (SKP)
Surat Ketetapan Pajak (SKP) adalah Surat Keputusan Kepala
Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang memberitahukan besarnya pajak
yang terutang termasuk denda administrasi, kepada Wajib Pajak (WP).
Dasar Penerbitan SKP
SKP diterbitkan apabila :
a. Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) :
1) tidak diisi dengan jelas, benar dan lengkap serta tidak
ditandatangani oleh WP;
15
2) tidak disampaikan kembali dalam jangka waktu 30 hari dan
setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana
ditentukan dalam Surat Teguran;
b. berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah
pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung
berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh WP;
Jumlah Pajak Terutang Dalam SKP
a. Jumlah pajak yang terutang dalam SKP yang disebabkan SPOP
tidak diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta tidak
ditandatangani oleh WP atau pengembalian SPOP lewat 30 hari
setelah diterima WP, adalah sebesar pokok pajak ditambah dengan
denda administrasi sebesar 25% dihitung dari pokok pajak.
b. Jumlah pajak yang terutang dalam SKP yang didasarkan atas hasil
pemeriksaan atau keterangan lain adalah selisih pajak yang terutang
berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak
terutang yang dihitung berdasarkan SPOP ditambah denda
administrasi sebesar 25 % dari selisih pajak yang terutang.
Cara Penyampaian SKP
SKP disampaikan kepada WP melalui :
a. Kantor
Pelayanan
Pajak
Pratama
atau
Kantor
Pelayanan
Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan.
b. Kantor Pos.
c. Pemerintah Daerah (dalam hal ini Aparat Desa atau Kelurahan).
Batas Waktu Pelunasan SKP
SKP harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak SKP
diterima oleh WP.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pajak Bumi dan Bangunan Menurut Syariah
PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak
terutang ditentukan oleh keadaan objek, yaitu bumi/tanah dan/atau bangunan.
Keadaan subjek (siapa yang membayar ) tidak ikut menentukan besarnya
pajak.13
Sedangkan objek PBB adalah “Bumi dan /atau Bangunan”
Bumi: Permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi yang ada
dibawahnya. Contoh: sawah, ladang, kebun, tanah pekarangan, tambang, dan
lain-lain.
Bangunan: Kontruksi teknik yang dinamakan atau diletakan secara tetap
pada tanah dan/atau perairan di wilayah, republik Indonesia. Contoh rumah
tempat
tinggal,
bangunan
tempat
usaha,
gedung bertingkat,
pusat
perbelanjaan, jalan tol, kolam renang, anjungan minyak lepas pantai dan lainlain.
Objek yang dikecualikan adalah objek yang;
1. Digunakan untuk semata-mata melayani kepentingan umum dibidang
ibadah sosial, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak
dimaksudkan memperoleh keuntungan seperti masjid, gereja, rumah
sakit, pemerintah, sekolah, panti asuhan, candi dan lain-lain.
2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala.
3. Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata taman nasional dan
lain-lain.
4. Dimiliki oleh perwakilan diplomatik bersaarkan asas timbal balik dan
organisasi internsional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata:
1. Mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau
13
Gushfahmi. 2007.Pajak Menurut Syriah.jakarta: Rajawali Pers.
16
17
2.
Memeperoleh manfaat atas bumi, dan atau
3.
Memiliki, menguasai atas bangunan dan atau
4.
Memeperoleh manfaat atas bangunann
Jika dilihat dari sisi subjeknya, PBB yang dianut oleh Negara Indonesia
ini jelas bertentangan dengan syariat, karena kaum muslimin ikut dibebankan
atas tanah dan atau bangunan yang mereka miliki, tempati, atau manfaatkan.
Kalau diidentikan dengan kharj, maka indonesia bukan lah tanah kharajjiyah,
yang dilakukan dengan peperangan, sehingga warga muslim atas tanah itu
tidak wajib membayar kharaj. Khalifah Umar Ibn khatab pun pernah
melarang pengenaan kharaj terhadap kaum mulsim, dan memasukkan
penerimaan hsil tanah sebgai zakat.
Dengan kata lain tidak ditemukan suatu dalil yang bisa dijadikan
rujukan, mengapa kaum Muslim diwajibkan membayar pajak atas tanah dan/
bangunan yang merka miliki, tempati atau manfaatkan. Semua potensi pajak
yang ada pada tanah dan atau bangunan sudah tercakup dalam zakat, baik
hasil berupa mareri berupa bauahnya, maupun berupa jasa hasil penyewaan
lahan.
B. Tinjauan Ekonomi Islam Terhadap Pajak Bumi Dan Bangunan Di
Indonesia
1.
Konsep kepemilikan Tanah (Bumi) dalam Ekonomi Islam
Persoalan kepemilikan dalam ekonomi Islam didasari atas konsep
tauhid Allah SWT sebagimana Maha Pencipta adalah sebagai pemilik
mutlak segala sesuatu yang ada di alam semesta seperti yang tertera dalam
Q.S Ibrahim (14) ayat 32.
18
Artinya:
Allah-lah yang Telah menciptakan langit dan bumi dan
menurunkan air hujan dari langit, Kemudian dia mengeluarkan
dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki
untukmu; dan dia Telah menundukkan bahtera bagimu supaya
bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan dia
Telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. (Q.S Ibrahim :
ayat 32)
Seluruh isi alam semesta ini adalah milik Allah SWT dan manusia
dapat memanfaatkan yang ada di alam ini untuk memenuhi kelangsunga
hidup mereka Islam menganggap hak kepemilikan adalah pembemberian
Allah SWT yang bertujuan untuk kemaslahatan seluruh umat. Kekausaan
manusia untuk memikul suatu tanggung jawab berasal dari perannya
sebagai kahalifah di muka bumi. Sebagaimana firkman Allah dalam Q.S
Al-baqarah ayat 30 yang berbunyi:
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui." (QS Al-baqarah: 30)
Allah telah menyediakan semua yang dibutuhkan manusa sehingga
sebagai khalifah, manusia bertugas mengelola apa yang telah Allah
sediakan di muka bumi. Semua yang halal dapat menjadi hak milik
manuisa yang akan dipergunakan uantuk menyejahterahkan kehidupan
mereka. Dan dalam mempergunakan hak miliknya tentu tidak boleh
bertentangan dengan syariat yang ada. dalam kamus besar Bahasa
Indonesia, yang dimaksud dengan hak milik adalah hak untuk
19
menggunakan atau mengambil keuntungan dari suatu badan yang berada
dlam kekusaan tanpa merugikan orang lain.
Berikut adalah pemaparan mengenai konsep kepemilikan dalam ekonomi
Islam:
a.
Kepemilikian Pribadi (Private Ownership)
Setiap individu memiliki hak untuk menikmati hak miliknya,
menggunkan secara Produktif, memindahkannya dan melindunginya
dari pemborosan. Tetapi, haknya itu dibatasi oleh sejumlah batasan.
Ia tidak boleh menggunakannya secara berhambur-hambur, juga
tidak bolehmenggunakannya semena-mena (dengan buruk) dan
dilarang untuk tujuan bermewah-mewahan. Salin itu, setiap individu
tidak
boleh
menggunakan
hak
miliknya,
yang biasa
bisa
menimbulkan kerugian bagi orang lain.
b.
Kepemilikan Publik (public ownership)
Kepemilikan publik atau disebut juga hak milik sosial baisanya
diperlukan untuk kepentingan sosial. Contohnya dari pemilikan
bersama adalah anugrah alam. Seperti air, rumput dan api, yang
secara khusus disebut dalam hadis Rosulullah SAW. Semua itu
pemberian dari Allah SWT dan manusia tidak meimiliki kesulitan
apapun
untuk
menggunakannya.
Jika
ada
individu
yang
menguasannya dan memilikinya secara pribadi, hal itu bisa
mengakibatkan kesulitan dan kesusahan bagi masyarakat. Menurut
Ibnu Taimiyah, air, rumput dan api hanya contoh kecil saja, akan
tetapi masih banyak objek yang lain yang meimiliki kesamaan
karakteristik dengannya. Ia manganjurkan seluruh bahan mineral
yang dihasilkan oleh tanah bebas (tanah negara) menjadi milik
kolektif, seperti emas, perak, minyak dan sebagainya.
c.
Kepemilikan Negara (State Ownership)
Negara
membutuhkan
hak
milik
untuk
memperoleh
pendapatan, sumber-sumber penghasilan dan kekuasaan untuk
melaksanakan
kewajiban-kewajibannya.
Misanlnya
untuk
20
menyelenggarakan
pendidikan,
regenerasi
moral,
memelihara
keadailan, dan secara umum melindungi seluruh kepentingan rakyat.
Menurut Ibnu Taimiyah, sumber utama kekayaan negara adalah
zakat, dan ghanimah. Selain itu, negara juga bisa meningkatkan
sumber
penghasilannya
dengan
mengenakan
pajak,
ketika
dibutuhkan atau saat kebutuhannya meningkat. Kekayaan negara
secara aktual merupakan kekayaan publik (umum). Kepala negara
hanya sebagai pemegang amanah, sehingga merupakan kewajiban
negara untuk mengeluarkannya guna kepentingan publik. Dalam
kehidupan ekonomi dewasa ini terdapat perbedaan sudut pandang
dan ideologis antara kapitalisme, sosialisme dan sistem ekonomi
Islam dalam hal kepemilikan.
Konsep kepemilikan dalam ekonomi Islam berbeda dengan
konsep pada sistem kapitalisme maupun sosialisme. Sistem
kapitalisme mengedepankan individualisme sehingga memberikan
kebebasan sepenuhnya kepada individu untuk memiliki apa saja
yang
diingankan.
Sedangkan
sistem
sosialisme
sebaliknya,
mengedepankan kolektivisme. Dimana individu secara langsung
tidak memiliki hak kepemilikan karena seluruh alat-alat produksi
dimiliki dan dikuasai oleh negera.
Kedua sistem ekonomi di atas berbeda dengan sistem ekonomi
Islam dalam hal konsep kepemilikan Islam memandang bahwa setiap
orang mempunyai hak penuh untuk dapat memiliki harta kekayaan.
Hak milik merupakan salah satu hak primer dalam kehidupan setiap
individu agar dapat hidup layak dalam kehidupannya sehari-hari.
Dengan memiliki harta mendorong adanya aktivitas ekonomi dalam
masyarakat sehingga keinginan untuk memiliki harta merupakan
fitrah manusia.
Namun dalam ekonomi Islam hak individu terhadap harta
dibatasi oleh hak masyarakat. Artinya dalam harta individu terdapat
21
hak milik masyarakat terutama masyarakat yang tidak mampu.
Sebagaimana yang terdapat dalam QS. Az-Zariyat : 19
Artinya: Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin
yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.
(QS. Az-Zariyat : 19)
Kepemilikan tanah adalah salah satu perkara sosial yang
memainkan peranan penting dalam pemikiran manusia, yang
menjadi fenomena penting dalam kehidupan manusia sejak ribuan
tahun lalu. Pada dasarnya tanah adalah milik negara dalam Islam.
Seorang individu mendapatkan hak kepemilikan atas sebidang tanah
kecuali berdasarkan usaha yang ia curahkan dalam mengharap dan
mengeksplorasinya. Apabila seseorang menghidupkan sebidang
tanah mati maka ia akan memiliki hak atas tanah tersebut.
Pendapat lain mengatakan, Islam tidak memiliki kepemilikan
pribadi atas tanah kecuali bila individu telah memiliki sebidang
tanah sejak sebelum tanah tersebut masuk kepangkuan Islam secara
sukarela
atau
melalui
perjanjian.
Menurut
Ibnu
Taimiyah,
penggunaan hak milik itu dimungkinkan sejauh tak bertentangan
dengan prinsip-prinsip syariat. Hak kepemilikan pribadi atas tanah
bukanlah hak absolut atas tanah tersebut. Mereka terikat dengan
kewajiban untuk terus menggarap dan menyuburkan tanah mereka
guna memberikan kontribusi bagi kemajuan masyarakat Islam.
Dalam buku Iqtishaduna karya Muhammad Baqir Ash-Shadr
dijelaskan bahwa ada berbagai keadaan yang mendasari status
kepemilikan tanah berdasarkan kategorinya, antara lain:
1) Tanah yang masuk wilayah Islam melalui penaklukan (fath)
Tanah taklukan adalah tanah yang jatuh ke pangkuan negara
Islam melalui jihad demi misi Islam, seperti tanah Irak, Mesir,
Iran, Suriyah dan banyak belahan lain dunia Islam. Saat
22
penaklukan Islam, keadaan tanah-tanah tersebut tidak sama
sehingga status kepemilikannya menjadi berbeda, yaitu:
a) Tanah yang digarap oleh tangan manusia pada saat
penaklukan. Tanah tersebu menjadi milik bersama kaum
muslim, baik generasi muslim saat penaklukan maupun
generasi muslim di masa mendatang.
b) Tanah mati pada saat penaklukan, tanah yang tidak tergarap
oleh tangan manusia pada saat penaklukan maka tanah ini
akan menjadi milik imam (negara).
c) Tanah yang subur secara alam pada saat penaklukan, hutan
dan tanah subur secara alami mendapat status kepemilikan
bersama kaum muslim.
2) Tanah yang Masuk Wilayah Islam Melalui Dakwah
Tanah yang masuk wilayah Islam melalui dakwah adalah
setiap tanah yang penduduknya menyambut panggilan Islam
tanpa menimbulkan konflik bersenjata, seperti kota Madinah,
Indonesia, dan sejumlah wilayah lainnya.
Tanah-tanah hasil dakwah dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a) Tanah yang digarap oleh para penduduknya dan mereka
masuk Islam secara sukarela.
b) Tanah yang subur secara alami seperti hutan serta berupa
tanah mati. Tanah yang subur alami menjadi milik negara
dan individu boleh mengambil manfaat darinya tetapi tidak
dapat menguasainya. Tanah mati juga menjadi milik negara.
Akan tetapi apabila ada individu yang menghidupkan
(menggarap) maka tanah mati tersebut menjadi miliknya.
3) Tanah yang Masuk Wilayah Islam Melalui Perjanjian (Sulh)
Tanah ini disebut dengan tanah perjanjian, dimana mereka
tetap memeluk agama mereka serta hidup damai dan aman
dibawah naungan negara Islam. Tanah ini tetap menjadi milik
mereka. Namun, jika didalam perjanjian dinyatakan bahwa tanah
23
tersebut menjadi milik masyarakat muslim, maka tanah ini
menjadi subjek prinsip kepemilikan bersama.
2.
Pemungutan Pajak Tanah (Bumi) dalam Ekonomi Islam
Secara sederhana, kharaj berarti pajak tanah. Arti kharaj menurut
bahasa dia ambil dari kata “kharaja”, yang artinya mengeluarkan dari
tempatnya. Kharaj adalah apa yang dikeluarkan, lawan dari upaya untuk
mengeluarkan. Kharaj dapat diartiakan harta yang dikeluarkan oleh
pemilik tanah untuk diberikan kepada negara. Ada yang memeberikan
pengertian lain, kharaj adalah apa yang dibayarkan untuk pajak tanah
pertanian atau pajak hasil buminya. Beberapa analisis yang lain
beranggapan bahwa kharaj adalah 3 macam dari bentuk perpajakan; yaitu
pajak bumi, jizyah dan ’Usyr .
Pada masa rosullulah saw, jumlah kharaj yang dibayarkan masih
sangat terbatas sehingga tidak diperlukan suaru sistem administrasi yang
terperinci. Selama pemerintahan khalifah Umar, wilayah kekuasaan islam
semakin luas seiring dengan banyaknya daerah-daerah yang berhasil
ditaklukan, baik melalui peperangan maupun secara damai. Sehingga
dibutuhkan kebijakan baru untuk diterapkan negara terhadap kepemilikan
tanah-tanah yang berhasil ditaklukan tersebut.
Dimasa Umar Bin
Khatab, kaum muslimin mendapatkan
kemenangan atas Syam, Irak, Dan Mesir serta memperoleh harta
rampasan yang sangat banyak. Para pasukan islam meminta agar harta
rampasan tersebut dibagi-bagikan. Merujuk pada dasar umum yang
ditetapkan rasulullah saw atas tanah Khaibar, Umar membagikan harta
yang berupa barang saja sedangakan tanah tidak dibagikan dan
menjadikannya sebagai milik umum umat islam dan diambil kharaj
darinya.
Sistem pemungutan kharaj (assesment of kheraj) ada dua macam
sistem
yaitu
(proporsional).
sistem
wazifah
(tetap)
dan
sistem
muqasamah
24
Cara pemungutan kharaj yang pertama adalah kharaj tetap
(waziyah), yaitu beban pada tanah sebanyak hasil alam atau uang
persatuan lahan yang dibayarkan wajib setelah lampau satu tahun. Sistem
ini berlaku mulai dari halifah Umar bin Khattab sampai pada amasa
daulah Abbasiyah dibwah pemerintahan al-Mahdi. Metode perhitungan
wazifah didasaekan pada pengukuran tanah, tanpa memperhitungkan
tingkat kesuburan tanah, sistem irigasi dan jenis tanaman.
Metode ini mulai berubah pada masa daulah Bani Abbasiayah. Abu
yusuf berpandangan bahwa sistem misaha atau wazifah ini tidak lagi
efesien untuk diterapkan. Dia merujuk pada asaar Umar nin Khattab
menerapkan metode ini hanya sebagian besar tanah yang dapat diolah
sedangakan
seabgian
lainnya
menganggur.
Area
yang
diolah
diklasifikasikan dalam satu kategori dan kharaj juga dikumpulkan dari
tanah yang tidak diolah. Atas dasar pertimbangan optimalisasi pemsukan
bagi negara dan keadilan sosion ekonomi, maka Abu Yusuf
menyampaikan gagasan kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk
mengubah sistem Wazifah dengan muqasamah.
Dan yang kedua adalah kharaj perbandingan ( muqasamah) yang
ditetapkan berdasarkan porsi hail seperti ½,1/3, 1/5 dari total hasil yang
panen yang dipunyit pada setiap kali panen. Abu Ubaid adalah orang
yang menemukan sistem baru ini dan kemudian Abu Yusuf mendukung
serta menerapkan sistem baru ini. Pada masa daulah abbasiyah, pajak
atas tanah mengalami perubahan dari tarif tetap menjadi proporsional,
dengan pertimbangan persentase yang ditetepkan oleh negara tidak
terlalu tinggi. Abu yusuf merekomendasikan adaptasi dari sistem
muqasamah denganmengenakan presentase dari produksi panen. Yang
sudah ada
Penetapan kharaj (pajak tanah) harus memperhatikan betul
kemampuan kandungan tanah, sebab ada tiga hal berbeda yang sangat
berpengaruh, yaitu:
25
a.
Jenis tanah : karena kandungan tanah bagus, maka tanaman akan
subur dan hasilnya lebih baik dari tanah yang buruk.
b.
Jenis tanaman : ada yang harganya tinggi dan juga ada yang
rendah.
c.
Pengelolaan tanah : biaya pengelolaan yang tinggi, maka pajak
tanah tidak sebesar pajak tanah yang disiram dengan air hujan
(biaya rendah).
Kharaj yang ada pada masa pemerintahan Islam, secara umum
sesuai dengan ukuran dan nilai-nilai ilmu modern terhadap sumber
pemasukan umum. Jadi Kharaj telah memenuhi syarat-syarat yang urgen
dalam ilmu ekonomi untuk mencapai devisa yang bagus. Kharaj adalah
pajak yang memperhatikan keadilan dalam penetapannya, demikian juga
dalam pengambilannya.
C. Analisa Ekonomi Islam terhadap Pajak Bumi dan Bangunan di
Indonesia
1.
Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan ditinjau dari Ekonomi Islam
Dalam ekonomi Islam memang tidak ada rujukan secara ekplisit
tentang PBB, yang ada hanya pajak bumi yang dikenal dengan kharaj.
Dilihat dari objeknya, baik itu PBB maupun kharaj memiliki objek yang
sama, yaitu tanah. Namun, pada PBB objeknya ditambah dengan
bangunan. PBB dikenakan kepada seluruh masyarakat yang memilih
tanah dan atau bangunan, lain halnya dengan Dihadapi. Oleh karena itu,
kondisi objektif mempengaruhi penentuan kebijakan yang harus
dijalankan
Dalam memformasikan kebijakan-kebijakan bagi negara-negara
muslim menurut kerangka syariat, tidak mungkin dan tidak perlu harus
menemukan contoh masing-masing pada masa lalu. Kebijakan yang
relavan bagi kehidupan modern adalah adanya hak negara Islam untuk
mengenakan pajak dengan keadilan. Adalah pendapat yang tidak realistis
bila perpajakan negara-negara muslim harus terbatas hanya pada lahan
26
pajak yang telah dibahas oleh para fuqaha. Situasi telah berubah dan
perlu melengkapi sistem pajak dengan menyertakan realitas perubahan
terhadap kebutuhan negara berkembang dan perekonomian modern.
Pada masa-masa penaklukan Islam awal, kas negara dapat
tercukupi dari seperlima ghanimah (rampasan perang), kharaj, dan lainlain. adapun pada zaman sekarang sumber pendapatan itu telah tiada.
Maka untuk dapat membiayai keperluan umum itu tidak ada jalan lain
kecuali mengenakan pajak. Sebagaimana kaidah “sesuatu yang menjadi
syarat bagi yang wajib adalah wajib.”
Menurut para pemikir ekonom Islam kontemporer, negara-negara
Muslim saat ini harus menutup defisit dengan pajak, yaitu mereformasi
sistem perpajakan dan program pengeluaran negera. Selaiin dengan
meningkatkan pajak bisa juga melalui ekspansi moneter dan meminjam.
Namun dengan melakukan pinjaman kepada negara asing dan lembaga
keuangan internasional akan berpotensi membawa kepada riba dan hanya
menangguhkan beban sementara waktu yang pada akhirnya akan
membebani generasi mendatang karena diwariskan hutang yang
berbunga-bunga sehingga meningkatkan pembayaran pajak lebih dipilih
dari pada ekspansi moneter.
Menurut Yusuf Qardhawi dalam pemungutan pajak harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
a. Benar-benar harta (dana) itu dibutuhkan dna tidak ada sumber lain.
b. Pembagian beban pajak yang adil
c. Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan umat
bukan untuk maksiat dan hawa nafsu
d. Persetujuan para ahli dan para cendikia
Dalam menentukan suatu kebijakan, pemerintah selalu meminta
pandangan dan pemikiran para ahli. Begitupun dalam menentukan
kebijakan. Sebagaimana QS. An-Nisa: 59 yang artinya:
27
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
(An-Nisa: 59)
Hasil dari pemungutuan PBB disatukan dengan sumber penerimaan
negara lainnya kebijakan di bidang PBB juga diarahkan untuk
meningkatkan produktivitas tanah dan bangunan. Tanah dan bangunan
yang tidak produktif akan berkurang nilai ekonomisnya dibandingkan
tanah dan bangunan yang digunakan untuk kegiatan produktif. Kegiatan
yang menghasilkan pendapatan tentu akan memberikan keuntungan bagi
pemiliknya sehingga ketika dikenakan PBB tidak mengurangi nilai
ekonomis tanah tersebut. Dengan demikian secara tidak langsung PBB
mendorong masyarakat untuk memproduktifkan tanah dan bangunan
yang mereka miliki.
2.
Objek Pajak Bumi dan Bangunan sebagai alat Distribusi Kekayaan
Secara umum asas kebijakan ekonomi Islam adalah menyangkut
distribusi kekayaan. Tujuan Islam dalam bidang ekonomi dan sosial ialah
menghindarkan terkumpulnya kekayaan umat ditangan segelintir anggota
masyarakat. Oleh Karena itu, Islam mendistribusikan kekayaan itu dan
berusaha menghilangkan perbedaan yang menyolok dan pemeretaan
kepada seluruh anggota masyarakat.
Islam
memberi
hak
intervensi
kepada
negara
untuk
mengaplikasikan konsep distribusi kekayaan, agar tidak terjadi
28
penyimpangan dalam distribusi. Hak intervensi itu harus sesuai dengan
gagasan keadilan sosial Islam bagi segala zaman dan tempat. Dengan
adanya konsep distribusi harta kekayaan yang baik, maka tidak akan
ditemui sebuah perbedaaan tingkat ekonomi, ataupun kesenjangan sosial
yang mendalam di antara anggota masyarakat.
Teori distribusi diharapkan dapat mengatasi masalah distribusi
pendapatan antara berbagai kelas dalam masyarakat. M. Anas Zarqa
mengemukakan beberapa prinsip distribusi dalam ekonomi Islam, yaitu :
a.
Pemenuhan kebutuhan bagi semua makhluk hidup.
b.
Menimbulkan efek positif bagi pemberi itu sendiri, misalnya zakat,
selain dapat membersihkan diri dan harta muzakki juga
meningkatkan keimanan dan menumbuhkan kebiasaan berbagi
dengan orang lain.
c.
Menciptkan kebaikan antara yang kaya dan yang miskin.
d.
Mengurangi kesenjangan pendapatan dan kekayaan.
e.
Pemanfaatan lebih baik terhadap sumber daya alam dan aset tetap.
f.
Memberikan harapan pada orang lain melalui pemberian
Pajak merupakan salah satu alat redistribusi kekayaan dalam
ekonomi Islam selain zakat, sedekah, wakaf, wasiat dan warisan.
Distribusi
kekayaan
dilakukan
sebagai
usaha
untuk
mencegah
konsentrasi kekayaan agar tidak beredar pada orang kaya saja.
Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr Ayat 7
�
Serta Tinjauannya Berdasarkan Ekonomi Islam
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Perpajakan
Dosen Pengampu:
Neneng Hartati. S.E., M.M
Disusun Oleh:
Kelompok 8
Muamalah/VI/HPS-B
Idah Nurnaeni
1133020091
Imas Nurul Fuadiah
1133020096
Ismat Fauzi
1133020
PROGRAM STUDI MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2016 M / 1437 H
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat
beserta salam semoga tercurah limpahkan kepada baginda alam yakni Nabi Besar
Muhammad SAW. Tak lupa juga kepada para thabi’in yang senantiasa mengikuti
ajaran-Nya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam pembelajaran
mata kuliah perpajakan pada jurusan Muamalah Universitas Islam Negeri Sunan
Gunung Djati Bandung.
Kami selaku penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini
masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan dalam penyajian materi-materi
pembahasan, seperti kata pepatah “tak ada gading yang tak retak”. Oleh karena
itu, kritik dan saran pembaca yang bersifat membangun sangat penulis harapkan
dalam penyempurnaan penulisan karya tulis ini di masa yang akan datang.
Bandung, Mei 2016
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN ...................................................................................1
A. Latar Belakang .............................................................................................1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................1
A. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan ........................................................1
B. Objek Pajak Bumi dan Bangunan ...............................................................1
C. Subjek dan Wajib Pajak ..............................................................................4
D. Tarif Pajak ....................................................................................................5
E. Dasar Pengenaan Pajak ...............................................................................6
F. Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan ...................................................7
G. Dasar Perhitungan Pajak ..............................................................................8
H. Cara Menghitung Pajak ...............................................................................9
I. Rumusan Perhitungan Pajak .....................................................................10
J. Tahun pajak, saat, dan tempat yang menentukan pajak terutang ...............10
K. Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP), Surat Pemberitahuan Pajak
Terutang (SPPT), dan Surat Ketetapan Pajak (SKP) .................................10
BAB III PEMBAHASAN ...................................................................................16
A. Pajak Bumi dan Bangunan Menurut Syariah ............................................16
B. Tinjauan Ekonomi Islam terhadap Pajak Bumi dan Bangunan
di Indonesia ................................................................................................17
C. Analisis Ekonomi Islam Terhadap Pajak Bumi dan Banguna
di Indonesia ................................................................................................25
BAB IV PENUTUP ..............................................................................................32
A. Simpulan ....................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................33
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pajak merupakan suatu iuran wajib bagi wajib pajak yang dipungut oleh
pemerintah berdasarkan Undang-undang. Adanya pajak dapat diharapkan mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pajak ini sifatnya tidak dapat dirasakan
langsung oleh masyarakat. Dalam hubungannya dengan adanya suatu wilayah
dipermukaan bumi dan segala sesuatu yang bernilai diatasnya, dalam pelaksanaan
pemungutan pajak harus memiliki aturan yang jelas. Peraturan yang berkaitan
dengan pajak ini diatur dalam Undang-undang No.12 tahun 1985 yang telah
diubah dengan adanya undang-undang No.12 tahun 1994. Dengan adanya
peraturan ini diharapkan adanya pemungutan pajak yang berkaitan dengan bumi
dan bangunan dapat dilakukan sesuai dengan asas-asas yang ada.
Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak yang dipungut atas tanah
dan bangunan karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi
yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau
memperoleh manfaat dari padanya. Dasar pengenaan pajak dalam PBB adalah
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP ditentukan berdasarkan harga pasar per
wilayah dan ditetapkan setiap tahun oleh menteri keuangan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pelaksanaan Pajak Bumi dan Bangunan yang di anut di
Indonesia?
2. Bagaimana Tinjauan Ekonomi Islam Terhadap Pajak Bumi Dan
Bangunan Di Indonesia?
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan
Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya.
Permukaan meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa,
tambak, perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia.1
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan
secara tetap pada tanah dan atau perairan.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak negara yang dikenakan
terhadap bumi dan atau bangunan berdasarkan undang-undang No.12 tahun
1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No.12 tahun 1994. PBB adalah pajak yang bersifat
kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek
yaitu bumi atau tanah dan atau bangunan. Sementara itu keadaan Subjek
(siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.
Asas Pajak Bumi dan Bangunan:
1.
Memberikan kemudahan dan kesederhanaan
2.
Adanya kepastian hukum
3.
Mudah dimengerti dan adil
4.
Menghindari pajak berganda
B. Objek Pajak Bumi dan Bangunan
1. Yang menjadi objek pajak adalah bumi dan atau bangunan
2. Yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah
pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan
sebagai pedoman, serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang
terutang.
Termasuk dalam pengertian bangunan adalah:
1
Mardiasmo, Perpajakan, Yogyakarta : CV Andi Offset, 2013. Hlm. 331
2
3
a. Jalan lingkunan dalam satu kesatuan dengan kompleks bangunan.
b. Jalan tol.
c. Kolam Renang.
d. Pagar Mewah.
e. Tempat olah raga.
f. Galangan Kapal, dermaga
g. Taman mewah
h. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak.
i. Fasilitas lain yang memberikan manfaat
PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak
terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan.
Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya
pajak.2
Adakalanya orang atau badan memiliki rumah yang ada di atas tanah
orang lain, sehingga pemillik rumah terpisah dari pemilik tanah. Undangundang PBB memungkinkan orang yang memiliki rumah diatas tanah orang
lain dikenakan pajak tersendeiri terlepas dari pajak yang dikenakan dianut
asas pemisahan horisontal (horizontale sheiding) antara pemilik tanah dan
pemilik rumah yang ada diats tanah yang bersangkutan. Asas ini seberya
tidak sama dengan undang-undang Pokok Agraria maka ada baiknya bahwa
hal ini ditegaskan dalam undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan. Masalah
ini menjadi aktuil pada masa bertingkat yang masing-masing terikat dimiliki
oleh orang lain.3
Objek pajak yang tidak dikenakan PBB, pasal 3 UU PBB menentukan
bahwa tidak dikenakan pajak adalah :
a. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dan ridak
untuk keuntungan antara lain,
b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan pubakala, atau yang sejenis
dengan itu.
2
3
http://www.pajak.go.id/content/seri-pbb-ketentuan-umum-pajak-bumi-dan-bangunan-pbb
Wahyudi triyono. 2003.Perpajakan indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
4
c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata taman
nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai desa dan tanah negara
yang belum dibebani suatu hak
d. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsultan berdasarkan asas
perlakuan timbal balik
e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang
ditentukan oleh menteri keuangan.
Objek pajak yang digunakan untuk kepentingan negara diatur lebih
lanjut oleh peraturan pemerintah. Objek pajak tersebut dimiliki atau dikuasai
atau digunakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam
menyelenggarakan pemerintahan. Pajak bumi dan bangunan adalah pajak
negara yang sebagian besar penerimaan merupakan pendapatan daerah yang
antara lain digunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga diminati oleh
pemerintah pusat ikut membiayai fasilitas tersebut dengan membayar Pajak
Bumi dan Bangunan.
Besarnya nilai jual Objek Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan
untuk masing-masing kabupaten/kota dengan besar setinggi-tingginya Rp
12.000.000.00 untuk setiap wajib pajak. Apabila seorang wajib pajak
mempunyai beberapa objek pajak, maka yang diberikan NJOPTKP hanya
salah satu objek pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi
NJOPTKP.4
C. Subjek pajak
1. Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata
mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau memperoleh manfaat atas
bumi, dan atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas
bangunan. Dengan demikian tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan
merupakan bukti pemilikan hak.
2. Subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no.1 yang dikenakan
kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak.
4
Trisni Suryani dan Tarsis Tarmudji.2012.pajak di indonesia. Semarang: GRAHA ILMU
5
3. Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya,
Direktur Jendral Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana
dimaksud dalam no.1 sebagai wajib pajak.
Hal ini berarti memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk
menentukan subjek wajib pajak, apabila suatu objek pajak belum jelas
wajib pajaknya.
4. Subjek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam no.3 dapat
memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktur Jendral Pajak
bahwa ia bukan wajib pajak terhadap objek pajak dimaksud.
5. Bila keterangan yang diajukan oleh wajib dalam no.4 disetujui, maka
Direktur Jendral Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib pajak
sebagaimana dalam no.3 dalam jangka waktu satu bulan sejak
diterimanya surat keterangan dimaksud.
6. Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur Jendral
Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasanalasannya.
7. Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya
keterangan sebagaimana dalam no.4 Direktur Jendral Pajak tidak
memberikan keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap
disetujui.
Apabila Direktur Jendral Pajak tidak memberikan keputusan dalam
waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya keterangan dari wajib
pajak, maka ketetapan sebagai wajib pajak gugur dengan sendirinya dan
berhak mendapatkan keputusan pencabutan penetapan sebagai wajib
pajak.5
D. Tarif pajak
Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5%.6 Tarif
PBB untuk pedesaan dan perkotaan diturunkan dari 0,5% terhadap nilai jual
objek pajak (NJOP) menjadi paling tinggi 0,3% dari NJOP. Perubahan tarif
5
6
Mardiasmo, Perpajakan, Yogyakarta : CV Andi Offset, 2013. Hlm. 336
Ibid. Hllm. 337
6
PBB pedesaan dan perkotaan itu ditetapkan dalam UU No.28 tahun 2009
tentang pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) yang selesai diamandemen
pada tanggal 15 September 2009.
Langkah ini diharapkan dapat memperluas basis pemungutan PBB
kepada pemerintah kabupaten atau kota setelah 31 Desember 2013.7
1.
Tahun Pajak, Saat, Dan Tempat Yang Menentukan Pajak Terutang
a. Tahun pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun takwim. Jangka
waktu satu tahun takwim adalah dari 1 Januari sampai dengan 31
Desember.
b. Saat yang menentukan pajak yang terutang adalah menurut keadaan
objek pajak pada tanggal 1 Januari.
Contoh :
a.
Objek pajak pada tanggal 1 Januari 2005 berupa tanah dan
bangunan. Pada tanggal 10 Januari 2005 bangunannya terbakar,
maka pajak yang terutang tetap berdasarkan keadaan objek pajak
pada tanggal 1 Januari 2005, yaitu keadaan sebelum keadaan
terbakar.
b.
Objek pajak pada tanggal 1 Januari 2005 berupa sebidang tanah
tanpa bangunan diatasnya. Pada tanggal 20 Agustus 2005
dilakukan pendataan, ternyata diatas tanah tersebut telah berdiri
suatu bangunan, maka pajak yang terutang untuk tahun 2005 tetap
dikenakan berdasarkan keadaan pada tanggal 1 Januari 2005.
Sedangkan bangunannya baru akan dikenakan pada tahun 2006.
2.
Tempat pajak yang terutang :
a. Untuk daerah Jakarta, di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
b. Untuk daerah lainnya, di wilayah Kabupaten atau Kota. Tempat
pajak yang terutang untuk Batam, di wilayah Provinsi Riau
E. Dasar Pengenaan Pajak
1. Dasar pengenalan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
7
Trisni Suryani dan Tarsis Tarmudji.2012.pajak di indonesia. Semarang: GRAHA ILMU
7
2. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) ditetapkan setiap tiga tahun
oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak atas nama
Menteri
Keuangan
dengan
mempertimbangkan
pendapat
Gubernur/Bupati/Walikota (pemerintah daerah) setempat.
3. Dasar penghitungan pajak adalah yang ditetapkan serendah-rendahnya
20% dan setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
4. Besarnya persentase ditetapkan dengan peraturan pemerintah dengan
memperhatikan kondisi ekonomi nasional.
Pada dasarnya penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah
tiga tahun sekali. Namun demikian untuk daerah tertentu yang karena
perkembangan pembangunan mengakibatkan kenaikan NJOP cukup
besar, maka penetapan nilai jual ditetapkan setahun sekali.
Dalam menetapkan nilai jual, Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jendral Pajak atas nama menteri keuangan dengan mempertimbangkan
pendapat Gubernur/Bupati/Walikota (pemerintah daerah) setempat
serta memperhatikan asas self assessment. Yang dimaksud adalah nilai
jual yang dipergunakan sebagai dasar penghitungan pajak, yaitu suatu
persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya.8
Contoh :
a. Nilai jual suatu objek pajak sebesar Rp2.000.000,00. Persentase
misalnya 20%, maka besarnya= 20% x Rp2.000.000,00 =
Rp.400.000,00.
b. Nilai jual suatu objek pajak sebesar Rp2.000.000.000,00.
Persentase
misalnya
40%,
maka
besarnya
40%
x
Rp2.000.000.000,00 = Rp800.000.000,00.
Untuk perekonomian sekarang ini, terutama untuk tidak terlalu
membebani wajib pajak di daerah pesesaan, tetapi dengan tetap
memperhatikan penerimaan, khususnya bagi Pemerintahan Daerah, makan
telah ditetapkan besarnya persentase untuk menentukan besarnya NJKP,
yaitu:
8
Ibid
8
a.
Sebesar 40% (empat puluh persen) dari NJOP untuk:
1) Objek Pajak perkebunan.
2) Objek Pajak kehutanan.
3) Objek Pajak lainnya, yang wajib pajaknya perorangan dengan
NJOP atas bumi dan bangunan sama atau lebih besar dari
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
b.
Sebesar 20% (dua puluh persen) dari NJOP untuk :
1) Objek Pajak pertambangan.
2) Objek
Pajak
lainnya
yang
NJOP-nya
kurang
dari
Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
F. Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan
UU No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU
No. 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
1. KMK No.201/KMK.04/2000 Tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual
Objek Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi
dan Bangunan.
2. KMK No. 523/KMK.04/1998 Tentang Penentuan Klasifikasi dan
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi
dan Bangunan.
3. KMK No. 1004/KMK.04/1985 Tentang Penentuan Badan atau
Perwakilan Organisasi Internasional yang Menggunakan Objek Pajak
Bumi dan Bangunan Yang Tidak Dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.
4. Kep Dirjen Pajak Nomor: KEP-251/PJ./2000 Tentang Tata Cara
Penetapan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai
Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan.
5. Kep Dirjen Pajak Nomor: KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan Pajak
Bumi dan Bangunan.Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-43/PJ.6/2003
Tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak
6. Kena Pajak (NJOPTKP) PBB dan Perubahan Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) BPHTB Untuk Tahun Pajak 2004.
9
g. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-57/PJ.6/1994 Tentang Penegasan
dan Penjelasan Pembebasan PBB atas Fasilitas Umum dan Sarana Sosial
Untuk Kawasan Industri dan Real Estate.
G. Dasar perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan
Dasar perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan adalah Nilai Jual Kena
Pajak (NJKP). Besarnya NJKP adalah9 :
1. Objek pajak perkebunan adalah 40%
2. Objek pajak kehutanan adalah 40%
3. Objek pajak pertambangan adalah 20%
4. Apabila NJOPnya < Rp. 1000.000.000,- adalah 40%
5. Apabila NJOPnya > Rp. 1000.000.000,- adalah 20%
H. Cara Menghitung Pajak
Untuk menghitungbesarnya pajak bumi dn Bangunan (PBB) Yang
harus dibayar maka harus diketahui lebih dahulu kelas dari tanah (bumi)
dan/atau bangunan yang menjadi obyek PBB sehigga bisa dihitung NJOP
PBB. Penentuan klasifikasi dari bumi dan bangunan didasakan pada
keputusan Menteri keuangan dan untuk peraturan yang terbari adalah
peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010 tentang klasifikasi
dan penetapan Nilai Jual Obyek Pajak sebagaimana Dasar Pengenaan Pajak
Bumi dan Bangunan, yang menggantikan keputusan Menteri Kuangan Nomor
523/KMK.04/1998.10
Contoh :
Wajib Pajak A mempunyai sebidang tanah dan bangunan yang NJOPnya Rp20.000.000,00 dan NJOPTKP untuk daerah tersebut Rp12.000.000,00,
maka besarnya pajak yang terutang adalah :
PBB
= 0,5% x 20% x (Rp20.000.000,00 - Rp12.000.000,00)
= 0,001 x Rp8.000.000,00
9
http://www.pajak.go.id/sites/default/files/BookletPBB.pdf
10
Trisni Suryani dan Tarsis Tarmudji.2012.pajak di indonesia. Semarang: GRAHA ILMU
10
= Rp8.000,00
I. Rumus Perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan
Rumus perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan = Tarif x NJKP
a. Jika NJKP = 40% x (NJOP – NJOPTKP) maka besarnya Pajak Bumi
dan Bangunan
= 0,5% x 40% x (NJOP – NJOPTKP)
= 0,2% x (NJOP – NJOPTKP)
b. Jika NJKP = 20% x (NJOP – NJOPTKP) maka besarnya Pajak Bumi
dan Bangunan
= 0,5% x 20% x (NJOP – NJOPTKP)
= 0,1% x (NJOP – NJOPTKP)
J. Tahun pajak, saat, dan tempat yang menentukan pajak terutang
1. Tahun pajak adalah jangka waktu satu tahun takwim. Jangka waktu
satu tahun takwim adalah dari 1 januari sampai dengan 31 desember.
2. Saat menentukan pajak yang terutang adalah menurut keadaan objek
pajak pada tanggal 1 januari.
3. Tempat pajak yang terutang:
a. Untuk daerah Jakarata, di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
b. Untuk daerah lainnya, di Wilayah Kabupaten atau Kota.
Tempat pajak yang terutang untuk Batam, di Wilayah Propinsi
Riau.
K. Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP), Surat Pemberitahuan Pajak
Terutang (SPPT), dan Surat Ketetapan Pajak (SKP)
1. Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP)
Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) adalah sarana bagi Wajib
Pajak (WP) untuk mendaftarkan Objek Pajak yang akan dipakai sebagai
11
dasar untuk menghitung Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang
terutang.11
Hak Wajib Pajak
a. Memperoleh formulir SPOP secara gratis pada Kantor Pelayanan
Pajak (KPP), Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi
Perpajakan (KP2KP) atau tempat lain yang ditunjuk.
b. Memperoleh penjelasan, keterangan tentang tata cara pengisian
maupun penyampaian kembali SPOP pada KPP atau KP2KP.
c. Memperoleh tanda terima pengembalian SPOP dari KPP, atau
KP2KP.
d. Memperbaiki/mengisi ulang SPOP apabila terjadi kesalahan dalam
pengisian dengan melampirkan foto kopi bukti yang sah (sertifikat
tanah, akta jual beli tanah, dan lain-lain).
e. Menunjuk orang/pihak lain selain pegawai Direktorat Jenderal
Pajak dengan surat kuasa khusus bermeterai, sebagai kuasa Wajib
Pajak untuk mengisi dan menandatangani SPOP.
f. Mengajukan
permohonan
tertulis
mengenai
penundaan
penyampaian SPOP sebelum batas waktu dilampaui dengan
menyebutkan alasan-alasan yang sah.
Kewajiban Wajib Pajak
a. Mendaftarkan Objek Pajak dengan cara mengisi SPOP.
b. Mengisi SPOP dengan jelas, benar, dan lengkap:
1) Jelas berarti dapat dibaca sehingga tidak menimbulkan salah
tafsir;
2) Benar berarti data yang diisi sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya;
3) Lengkap berarti terisi semua dan ditandatangani serta dilampiri
surat kuasa khusus bagi yang dikuasakan.
11
Ketentuan umum seri PBB, Http://www.pajak.go.id/sites/default/files/BookletPBB.pdf
12
c. Menyampaikan kembali SPOP yang telah diisi WP ke KPP
Pratama atau KP2KP setempat selambat-lambatnya 30 hari setelah
formulir SPOP diterima.
d. Melaporkan perubahan data Objek Pajak/WP ke KPP Pratama atau
KP2KP
setempat
dengan
cara
mengisi
SPOP
sebagai
perbaikan/pembetulan SPOP sebelumnya.
Sanksi
a. Sanksi Administrasi
1) Dalam hal WP tidak menyampaikan kembali SPOP pada
waktunya dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan
sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran, maka akan
diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dengan sanksi berupa
denda administrasi sebesar 25% dari PBB yang terutang.
2) Apabila pengisian SPOP setelah diteliti atau diperiksa ternyata
tidak benar (lebih kecil), maka akan diterbitkan SKP dengan
sanksi berupa denda administrasi sebesar 25% dari selisih
besarnya PBB yang terutang.
b. Sanksi Pidana
1) Barang siapa karena kealpaannya tidak mengembalikan SPOP
atau mengembalikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau tidak
lengkap dan atau melampirkan keterangan yang tidak benar
sehingga menimbulkan kerugian bagi negara, dipidana dengan
pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda
setinggi-tingginya 2 (dua) kali lipat pajak yang terutang;
2) Barang siapa karena dengan sengaja:
a) tidak mengembalikan atau menyampaikan SPOP kepada
Direktorat Jenderal Pajak;
b) menyampaikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau tidak
lengkap dan/ atau melampirkan keterangan yang tidak
benar;
13
c) memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau
dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah
benar;
d) tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan surat atau
dokumen lainnya;
e) tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan
keterangan yang diperlukan; sehingga menimbulkan
kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda setinggitingginya sebesar 5 (lima) kali
2. Surat Pemberitahuan Terutang (SPPT)
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) adalah Surat
Keputusan Kepala KPP mengenai pajak terutang yang harus dibayar
dalam 1 (satu) tahun pajak.12
Hak Wajib Pajak
a. Menerima SPPT PBB untuk setiap tahun pajak.
b. Mendapatkan penjelasan berkaitan dengan ketetapan PBB dalam
hal Wajib Pajak meminta.
c. Mengajukan keberatan dan/atau pengurangan.
d. Mendapatkan Surat Tanda Terima Setoran (STTS) PBB dari
Bank/Kantor Pos dan Giro Tempat Pembayaran PBB yang
tercantum pada SPPT, atau
e. Mendapatkan Resi/struk ATM/bukti pembayaran PBB lainnya
(sebagai bukti pelunasan pembayaran PBB yang sah sebagai
pengganti STTS) dalam hal pembayaran PBB dilakukan melalui
fasilitas ATM/fasilitas perbankan elektronik lainnya, atau
f. Mendapatkan Tanda Terima Sementara (TTS) dari petugas
pemungut PBB Kelurahan/Desa yang ditunjuk resmi dalam hal
pembayaran PBB dilakukan melalui petugas pemungut PBB.
12
Ibid
14
Kewajiban Wajib Pajak
a. Mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) dengan jelas,
benar dan lengkap, dan menyampaikan ke KPP Pratama/KP2KP
setempat, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal
diterimanya SPOP oleh subjek pajak.
b. Menandatangani bukti tanda terima SPPT dan mengirimkannya
kembali
kepada
Daerah/KP2KP
Lurah/Kepala
untuk
diteruskan
Desa/Dinas
ke
KPP
Pendapatan
Pratama
yang
menerbitkan SPPT.
c. Melunasi PBB pada Tempat Pembayaran PBB yang telah
ditentukan.
Cara Mendapatkan SPPT
a. Mengambil sendiri di Kantor Kelurahan/Kepala Desa atau di KPP
Pratama/ KPPBB tempat Objek Pajak terdaftar atau tempat lain
yang ditunjuk.
b. Dalam rangka pelayanan, SPPT dapat dikirim melalui Kantor Pos
dan Giro atau diantarkan oleh aparat Kelurahan/Desa.
c. Wajib Pajak dapat menggunakan fasilitas Kring Pajak (500-200)
yang merupakan layanan pulsa lokal dari Fixed Phone/PSTN.
3. Surat Ketetapan Pajak (SKP)
Surat Ketetapan Pajak (SKP) adalah Surat Keputusan Kepala
Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang memberitahukan besarnya pajak
yang terutang termasuk denda administrasi, kepada Wajib Pajak (WP).
Dasar Penerbitan SKP
SKP diterbitkan apabila :
a. Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) :
1) tidak diisi dengan jelas, benar dan lengkap serta tidak
ditandatangani oleh WP;
15
2) tidak disampaikan kembali dalam jangka waktu 30 hari dan
setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana
ditentukan dalam Surat Teguran;
b. berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah
pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung
berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh WP;
Jumlah Pajak Terutang Dalam SKP
a. Jumlah pajak yang terutang dalam SKP yang disebabkan SPOP
tidak diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta tidak
ditandatangani oleh WP atau pengembalian SPOP lewat 30 hari
setelah diterima WP, adalah sebesar pokok pajak ditambah dengan
denda administrasi sebesar 25% dihitung dari pokok pajak.
b. Jumlah pajak yang terutang dalam SKP yang didasarkan atas hasil
pemeriksaan atau keterangan lain adalah selisih pajak yang terutang
berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak
terutang yang dihitung berdasarkan SPOP ditambah denda
administrasi sebesar 25 % dari selisih pajak yang terutang.
Cara Penyampaian SKP
SKP disampaikan kepada WP melalui :
a. Kantor
Pelayanan
Pajak
Pratama
atau
Kantor
Pelayanan
Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan.
b. Kantor Pos.
c. Pemerintah Daerah (dalam hal ini Aparat Desa atau Kelurahan).
Batas Waktu Pelunasan SKP
SKP harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak SKP
diterima oleh WP.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pajak Bumi dan Bangunan Menurut Syariah
PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak
terutang ditentukan oleh keadaan objek, yaitu bumi/tanah dan/atau bangunan.
Keadaan subjek (siapa yang membayar ) tidak ikut menentukan besarnya
pajak.13
Sedangkan objek PBB adalah “Bumi dan /atau Bangunan”
Bumi: Permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi yang ada
dibawahnya. Contoh: sawah, ladang, kebun, tanah pekarangan, tambang, dan
lain-lain.
Bangunan: Kontruksi teknik yang dinamakan atau diletakan secara tetap
pada tanah dan/atau perairan di wilayah, republik Indonesia. Contoh rumah
tempat
tinggal,
bangunan
tempat
usaha,
gedung bertingkat,
pusat
perbelanjaan, jalan tol, kolam renang, anjungan minyak lepas pantai dan lainlain.
Objek yang dikecualikan adalah objek yang;
1. Digunakan untuk semata-mata melayani kepentingan umum dibidang
ibadah sosial, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak
dimaksudkan memperoleh keuntungan seperti masjid, gereja, rumah
sakit, pemerintah, sekolah, panti asuhan, candi dan lain-lain.
2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala.
3. Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata taman nasional dan
lain-lain.
4. Dimiliki oleh perwakilan diplomatik bersaarkan asas timbal balik dan
organisasi internsional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata:
1. Mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau
13
Gushfahmi. 2007.Pajak Menurut Syriah.jakarta: Rajawali Pers.
16
17
2.
Memeperoleh manfaat atas bumi, dan atau
3.
Memiliki, menguasai atas bangunan dan atau
4.
Memeperoleh manfaat atas bangunann
Jika dilihat dari sisi subjeknya, PBB yang dianut oleh Negara Indonesia
ini jelas bertentangan dengan syariat, karena kaum muslimin ikut dibebankan
atas tanah dan atau bangunan yang mereka miliki, tempati, atau manfaatkan.
Kalau diidentikan dengan kharj, maka indonesia bukan lah tanah kharajjiyah,
yang dilakukan dengan peperangan, sehingga warga muslim atas tanah itu
tidak wajib membayar kharaj. Khalifah Umar Ibn khatab pun pernah
melarang pengenaan kharaj terhadap kaum mulsim, dan memasukkan
penerimaan hsil tanah sebgai zakat.
Dengan kata lain tidak ditemukan suatu dalil yang bisa dijadikan
rujukan, mengapa kaum Muslim diwajibkan membayar pajak atas tanah dan/
bangunan yang merka miliki, tempati atau manfaatkan. Semua potensi pajak
yang ada pada tanah dan atau bangunan sudah tercakup dalam zakat, baik
hasil berupa mareri berupa bauahnya, maupun berupa jasa hasil penyewaan
lahan.
B. Tinjauan Ekonomi Islam Terhadap Pajak Bumi Dan Bangunan Di
Indonesia
1.
Konsep kepemilikan Tanah (Bumi) dalam Ekonomi Islam
Persoalan kepemilikan dalam ekonomi Islam didasari atas konsep
tauhid Allah SWT sebagimana Maha Pencipta adalah sebagai pemilik
mutlak segala sesuatu yang ada di alam semesta seperti yang tertera dalam
Q.S Ibrahim (14) ayat 32.
18
Artinya:
Allah-lah yang Telah menciptakan langit dan bumi dan
menurunkan air hujan dari langit, Kemudian dia mengeluarkan
dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki
untukmu; dan dia Telah menundukkan bahtera bagimu supaya
bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan dia
Telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. (Q.S Ibrahim :
ayat 32)
Seluruh isi alam semesta ini adalah milik Allah SWT dan manusia
dapat memanfaatkan yang ada di alam ini untuk memenuhi kelangsunga
hidup mereka Islam menganggap hak kepemilikan adalah pembemberian
Allah SWT yang bertujuan untuk kemaslahatan seluruh umat. Kekausaan
manusia untuk memikul suatu tanggung jawab berasal dari perannya
sebagai kahalifah di muka bumi. Sebagaimana firkman Allah dalam Q.S
Al-baqarah ayat 30 yang berbunyi:
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui." (QS Al-baqarah: 30)
Allah telah menyediakan semua yang dibutuhkan manusa sehingga
sebagai khalifah, manusia bertugas mengelola apa yang telah Allah
sediakan di muka bumi. Semua yang halal dapat menjadi hak milik
manuisa yang akan dipergunakan uantuk menyejahterahkan kehidupan
mereka. Dan dalam mempergunakan hak miliknya tentu tidak boleh
bertentangan dengan syariat yang ada. dalam kamus besar Bahasa
Indonesia, yang dimaksud dengan hak milik adalah hak untuk
19
menggunakan atau mengambil keuntungan dari suatu badan yang berada
dlam kekusaan tanpa merugikan orang lain.
Berikut adalah pemaparan mengenai konsep kepemilikan dalam ekonomi
Islam:
a.
Kepemilikian Pribadi (Private Ownership)
Setiap individu memiliki hak untuk menikmati hak miliknya,
menggunkan secara Produktif, memindahkannya dan melindunginya
dari pemborosan. Tetapi, haknya itu dibatasi oleh sejumlah batasan.
Ia tidak boleh menggunakannya secara berhambur-hambur, juga
tidak bolehmenggunakannya semena-mena (dengan buruk) dan
dilarang untuk tujuan bermewah-mewahan. Salin itu, setiap individu
tidak
boleh
menggunakan
hak
miliknya,
yang biasa
bisa
menimbulkan kerugian bagi orang lain.
b.
Kepemilikan Publik (public ownership)
Kepemilikan publik atau disebut juga hak milik sosial baisanya
diperlukan untuk kepentingan sosial. Contohnya dari pemilikan
bersama adalah anugrah alam. Seperti air, rumput dan api, yang
secara khusus disebut dalam hadis Rosulullah SAW. Semua itu
pemberian dari Allah SWT dan manusia tidak meimiliki kesulitan
apapun
untuk
menggunakannya.
Jika
ada
individu
yang
menguasannya dan memilikinya secara pribadi, hal itu bisa
mengakibatkan kesulitan dan kesusahan bagi masyarakat. Menurut
Ibnu Taimiyah, air, rumput dan api hanya contoh kecil saja, akan
tetapi masih banyak objek yang lain yang meimiliki kesamaan
karakteristik dengannya. Ia manganjurkan seluruh bahan mineral
yang dihasilkan oleh tanah bebas (tanah negara) menjadi milik
kolektif, seperti emas, perak, minyak dan sebagainya.
c.
Kepemilikan Negara (State Ownership)
Negara
membutuhkan
hak
milik
untuk
memperoleh
pendapatan, sumber-sumber penghasilan dan kekuasaan untuk
melaksanakan
kewajiban-kewajibannya.
Misanlnya
untuk
20
menyelenggarakan
pendidikan,
regenerasi
moral,
memelihara
keadailan, dan secara umum melindungi seluruh kepentingan rakyat.
Menurut Ibnu Taimiyah, sumber utama kekayaan negara adalah
zakat, dan ghanimah. Selain itu, negara juga bisa meningkatkan
sumber
penghasilannya
dengan
mengenakan
pajak,
ketika
dibutuhkan atau saat kebutuhannya meningkat. Kekayaan negara
secara aktual merupakan kekayaan publik (umum). Kepala negara
hanya sebagai pemegang amanah, sehingga merupakan kewajiban
negara untuk mengeluarkannya guna kepentingan publik. Dalam
kehidupan ekonomi dewasa ini terdapat perbedaan sudut pandang
dan ideologis antara kapitalisme, sosialisme dan sistem ekonomi
Islam dalam hal kepemilikan.
Konsep kepemilikan dalam ekonomi Islam berbeda dengan
konsep pada sistem kapitalisme maupun sosialisme. Sistem
kapitalisme mengedepankan individualisme sehingga memberikan
kebebasan sepenuhnya kepada individu untuk memiliki apa saja
yang
diingankan.
Sedangkan
sistem
sosialisme
sebaliknya,
mengedepankan kolektivisme. Dimana individu secara langsung
tidak memiliki hak kepemilikan karena seluruh alat-alat produksi
dimiliki dan dikuasai oleh negera.
Kedua sistem ekonomi di atas berbeda dengan sistem ekonomi
Islam dalam hal konsep kepemilikan Islam memandang bahwa setiap
orang mempunyai hak penuh untuk dapat memiliki harta kekayaan.
Hak milik merupakan salah satu hak primer dalam kehidupan setiap
individu agar dapat hidup layak dalam kehidupannya sehari-hari.
Dengan memiliki harta mendorong adanya aktivitas ekonomi dalam
masyarakat sehingga keinginan untuk memiliki harta merupakan
fitrah manusia.
Namun dalam ekonomi Islam hak individu terhadap harta
dibatasi oleh hak masyarakat. Artinya dalam harta individu terdapat
21
hak milik masyarakat terutama masyarakat yang tidak mampu.
Sebagaimana yang terdapat dalam QS. Az-Zariyat : 19
Artinya: Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin
yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.
(QS. Az-Zariyat : 19)
Kepemilikan tanah adalah salah satu perkara sosial yang
memainkan peranan penting dalam pemikiran manusia, yang
menjadi fenomena penting dalam kehidupan manusia sejak ribuan
tahun lalu. Pada dasarnya tanah adalah milik negara dalam Islam.
Seorang individu mendapatkan hak kepemilikan atas sebidang tanah
kecuali berdasarkan usaha yang ia curahkan dalam mengharap dan
mengeksplorasinya. Apabila seseorang menghidupkan sebidang
tanah mati maka ia akan memiliki hak atas tanah tersebut.
Pendapat lain mengatakan, Islam tidak memiliki kepemilikan
pribadi atas tanah kecuali bila individu telah memiliki sebidang
tanah sejak sebelum tanah tersebut masuk kepangkuan Islam secara
sukarela
atau
melalui
perjanjian.
Menurut
Ibnu
Taimiyah,
penggunaan hak milik itu dimungkinkan sejauh tak bertentangan
dengan prinsip-prinsip syariat. Hak kepemilikan pribadi atas tanah
bukanlah hak absolut atas tanah tersebut. Mereka terikat dengan
kewajiban untuk terus menggarap dan menyuburkan tanah mereka
guna memberikan kontribusi bagi kemajuan masyarakat Islam.
Dalam buku Iqtishaduna karya Muhammad Baqir Ash-Shadr
dijelaskan bahwa ada berbagai keadaan yang mendasari status
kepemilikan tanah berdasarkan kategorinya, antara lain:
1) Tanah yang masuk wilayah Islam melalui penaklukan (fath)
Tanah taklukan adalah tanah yang jatuh ke pangkuan negara
Islam melalui jihad demi misi Islam, seperti tanah Irak, Mesir,
Iran, Suriyah dan banyak belahan lain dunia Islam. Saat
22
penaklukan Islam, keadaan tanah-tanah tersebut tidak sama
sehingga status kepemilikannya menjadi berbeda, yaitu:
a) Tanah yang digarap oleh tangan manusia pada saat
penaklukan. Tanah tersebu menjadi milik bersama kaum
muslim, baik generasi muslim saat penaklukan maupun
generasi muslim di masa mendatang.
b) Tanah mati pada saat penaklukan, tanah yang tidak tergarap
oleh tangan manusia pada saat penaklukan maka tanah ini
akan menjadi milik imam (negara).
c) Tanah yang subur secara alam pada saat penaklukan, hutan
dan tanah subur secara alami mendapat status kepemilikan
bersama kaum muslim.
2) Tanah yang Masuk Wilayah Islam Melalui Dakwah
Tanah yang masuk wilayah Islam melalui dakwah adalah
setiap tanah yang penduduknya menyambut panggilan Islam
tanpa menimbulkan konflik bersenjata, seperti kota Madinah,
Indonesia, dan sejumlah wilayah lainnya.
Tanah-tanah hasil dakwah dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a) Tanah yang digarap oleh para penduduknya dan mereka
masuk Islam secara sukarela.
b) Tanah yang subur secara alami seperti hutan serta berupa
tanah mati. Tanah yang subur alami menjadi milik negara
dan individu boleh mengambil manfaat darinya tetapi tidak
dapat menguasainya. Tanah mati juga menjadi milik negara.
Akan tetapi apabila ada individu yang menghidupkan
(menggarap) maka tanah mati tersebut menjadi miliknya.
3) Tanah yang Masuk Wilayah Islam Melalui Perjanjian (Sulh)
Tanah ini disebut dengan tanah perjanjian, dimana mereka
tetap memeluk agama mereka serta hidup damai dan aman
dibawah naungan negara Islam. Tanah ini tetap menjadi milik
mereka. Namun, jika didalam perjanjian dinyatakan bahwa tanah
23
tersebut menjadi milik masyarakat muslim, maka tanah ini
menjadi subjek prinsip kepemilikan bersama.
2.
Pemungutan Pajak Tanah (Bumi) dalam Ekonomi Islam
Secara sederhana, kharaj berarti pajak tanah. Arti kharaj menurut
bahasa dia ambil dari kata “kharaja”, yang artinya mengeluarkan dari
tempatnya. Kharaj adalah apa yang dikeluarkan, lawan dari upaya untuk
mengeluarkan. Kharaj dapat diartiakan harta yang dikeluarkan oleh
pemilik tanah untuk diberikan kepada negara. Ada yang memeberikan
pengertian lain, kharaj adalah apa yang dibayarkan untuk pajak tanah
pertanian atau pajak hasil buminya. Beberapa analisis yang lain
beranggapan bahwa kharaj adalah 3 macam dari bentuk perpajakan; yaitu
pajak bumi, jizyah dan ’Usyr .
Pada masa rosullulah saw, jumlah kharaj yang dibayarkan masih
sangat terbatas sehingga tidak diperlukan suaru sistem administrasi yang
terperinci. Selama pemerintahan khalifah Umar, wilayah kekuasaan islam
semakin luas seiring dengan banyaknya daerah-daerah yang berhasil
ditaklukan, baik melalui peperangan maupun secara damai. Sehingga
dibutuhkan kebijakan baru untuk diterapkan negara terhadap kepemilikan
tanah-tanah yang berhasil ditaklukan tersebut.
Dimasa Umar Bin
Khatab, kaum muslimin mendapatkan
kemenangan atas Syam, Irak, Dan Mesir serta memperoleh harta
rampasan yang sangat banyak. Para pasukan islam meminta agar harta
rampasan tersebut dibagi-bagikan. Merujuk pada dasar umum yang
ditetapkan rasulullah saw atas tanah Khaibar, Umar membagikan harta
yang berupa barang saja sedangakan tanah tidak dibagikan dan
menjadikannya sebagai milik umum umat islam dan diambil kharaj
darinya.
Sistem pemungutan kharaj (assesment of kheraj) ada dua macam
sistem
yaitu
(proporsional).
sistem
wazifah
(tetap)
dan
sistem
muqasamah
24
Cara pemungutan kharaj yang pertama adalah kharaj tetap
(waziyah), yaitu beban pada tanah sebanyak hasil alam atau uang
persatuan lahan yang dibayarkan wajib setelah lampau satu tahun. Sistem
ini berlaku mulai dari halifah Umar bin Khattab sampai pada amasa
daulah Abbasiyah dibwah pemerintahan al-Mahdi. Metode perhitungan
wazifah didasaekan pada pengukuran tanah, tanpa memperhitungkan
tingkat kesuburan tanah, sistem irigasi dan jenis tanaman.
Metode ini mulai berubah pada masa daulah Bani Abbasiayah. Abu
yusuf berpandangan bahwa sistem misaha atau wazifah ini tidak lagi
efesien untuk diterapkan. Dia merujuk pada asaar Umar nin Khattab
menerapkan metode ini hanya sebagian besar tanah yang dapat diolah
sedangakan
seabgian
lainnya
menganggur.
Area
yang
diolah
diklasifikasikan dalam satu kategori dan kharaj juga dikumpulkan dari
tanah yang tidak diolah. Atas dasar pertimbangan optimalisasi pemsukan
bagi negara dan keadilan sosion ekonomi, maka Abu Yusuf
menyampaikan gagasan kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk
mengubah sistem Wazifah dengan muqasamah.
Dan yang kedua adalah kharaj perbandingan ( muqasamah) yang
ditetapkan berdasarkan porsi hail seperti ½,1/3, 1/5 dari total hasil yang
panen yang dipunyit pada setiap kali panen. Abu Ubaid adalah orang
yang menemukan sistem baru ini dan kemudian Abu Yusuf mendukung
serta menerapkan sistem baru ini. Pada masa daulah abbasiyah, pajak
atas tanah mengalami perubahan dari tarif tetap menjadi proporsional,
dengan pertimbangan persentase yang ditetepkan oleh negara tidak
terlalu tinggi. Abu yusuf merekomendasikan adaptasi dari sistem
muqasamah denganmengenakan presentase dari produksi panen. Yang
sudah ada
Penetapan kharaj (pajak tanah) harus memperhatikan betul
kemampuan kandungan tanah, sebab ada tiga hal berbeda yang sangat
berpengaruh, yaitu:
25
a.
Jenis tanah : karena kandungan tanah bagus, maka tanaman akan
subur dan hasilnya lebih baik dari tanah yang buruk.
b.
Jenis tanaman : ada yang harganya tinggi dan juga ada yang
rendah.
c.
Pengelolaan tanah : biaya pengelolaan yang tinggi, maka pajak
tanah tidak sebesar pajak tanah yang disiram dengan air hujan
(biaya rendah).
Kharaj yang ada pada masa pemerintahan Islam, secara umum
sesuai dengan ukuran dan nilai-nilai ilmu modern terhadap sumber
pemasukan umum. Jadi Kharaj telah memenuhi syarat-syarat yang urgen
dalam ilmu ekonomi untuk mencapai devisa yang bagus. Kharaj adalah
pajak yang memperhatikan keadilan dalam penetapannya, demikian juga
dalam pengambilannya.
C. Analisa Ekonomi Islam terhadap Pajak Bumi dan Bangunan di
Indonesia
1.
Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan ditinjau dari Ekonomi Islam
Dalam ekonomi Islam memang tidak ada rujukan secara ekplisit
tentang PBB, yang ada hanya pajak bumi yang dikenal dengan kharaj.
Dilihat dari objeknya, baik itu PBB maupun kharaj memiliki objek yang
sama, yaitu tanah. Namun, pada PBB objeknya ditambah dengan
bangunan. PBB dikenakan kepada seluruh masyarakat yang memilih
tanah dan atau bangunan, lain halnya dengan Dihadapi. Oleh karena itu,
kondisi objektif mempengaruhi penentuan kebijakan yang harus
dijalankan
Dalam memformasikan kebijakan-kebijakan bagi negara-negara
muslim menurut kerangka syariat, tidak mungkin dan tidak perlu harus
menemukan contoh masing-masing pada masa lalu. Kebijakan yang
relavan bagi kehidupan modern adalah adanya hak negara Islam untuk
mengenakan pajak dengan keadilan. Adalah pendapat yang tidak realistis
bila perpajakan negara-negara muslim harus terbatas hanya pada lahan
26
pajak yang telah dibahas oleh para fuqaha. Situasi telah berubah dan
perlu melengkapi sistem pajak dengan menyertakan realitas perubahan
terhadap kebutuhan negara berkembang dan perekonomian modern.
Pada masa-masa penaklukan Islam awal, kas negara dapat
tercukupi dari seperlima ghanimah (rampasan perang), kharaj, dan lainlain. adapun pada zaman sekarang sumber pendapatan itu telah tiada.
Maka untuk dapat membiayai keperluan umum itu tidak ada jalan lain
kecuali mengenakan pajak. Sebagaimana kaidah “sesuatu yang menjadi
syarat bagi yang wajib adalah wajib.”
Menurut para pemikir ekonom Islam kontemporer, negara-negara
Muslim saat ini harus menutup defisit dengan pajak, yaitu mereformasi
sistem perpajakan dan program pengeluaran negera. Selaiin dengan
meningkatkan pajak bisa juga melalui ekspansi moneter dan meminjam.
Namun dengan melakukan pinjaman kepada negara asing dan lembaga
keuangan internasional akan berpotensi membawa kepada riba dan hanya
menangguhkan beban sementara waktu yang pada akhirnya akan
membebani generasi mendatang karena diwariskan hutang yang
berbunga-bunga sehingga meningkatkan pembayaran pajak lebih dipilih
dari pada ekspansi moneter.
Menurut Yusuf Qardhawi dalam pemungutan pajak harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
a. Benar-benar harta (dana) itu dibutuhkan dna tidak ada sumber lain.
b. Pembagian beban pajak yang adil
c. Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan umat
bukan untuk maksiat dan hawa nafsu
d. Persetujuan para ahli dan para cendikia
Dalam menentukan suatu kebijakan, pemerintah selalu meminta
pandangan dan pemikiran para ahli. Begitupun dalam menentukan
kebijakan. Sebagaimana QS. An-Nisa: 59 yang artinya:
27
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
(An-Nisa: 59)
Hasil dari pemungutuan PBB disatukan dengan sumber penerimaan
negara lainnya kebijakan di bidang PBB juga diarahkan untuk
meningkatkan produktivitas tanah dan bangunan. Tanah dan bangunan
yang tidak produktif akan berkurang nilai ekonomisnya dibandingkan
tanah dan bangunan yang digunakan untuk kegiatan produktif. Kegiatan
yang menghasilkan pendapatan tentu akan memberikan keuntungan bagi
pemiliknya sehingga ketika dikenakan PBB tidak mengurangi nilai
ekonomis tanah tersebut. Dengan demikian secara tidak langsung PBB
mendorong masyarakat untuk memproduktifkan tanah dan bangunan
yang mereka miliki.
2.
Objek Pajak Bumi dan Bangunan sebagai alat Distribusi Kekayaan
Secara umum asas kebijakan ekonomi Islam adalah menyangkut
distribusi kekayaan. Tujuan Islam dalam bidang ekonomi dan sosial ialah
menghindarkan terkumpulnya kekayaan umat ditangan segelintir anggota
masyarakat. Oleh Karena itu, Islam mendistribusikan kekayaan itu dan
berusaha menghilangkan perbedaan yang menyolok dan pemeretaan
kepada seluruh anggota masyarakat.
Islam
memberi
hak
intervensi
kepada
negara
untuk
mengaplikasikan konsep distribusi kekayaan, agar tidak terjadi
28
penyimpangan dalam distribusi. Hak intervensi itu harus sesuai dengan
gagasan keadilan sosial Islam bagi segala zaman dan tempat. Dengan
adanya konsep distribusi harta kekayaan yang baik, maka tidak akan
ditemui sebuah perbedaaan tingkat ekonomi, ataupun kesenjangan sosial
yang mendalam di antara anggota masyarakat.
Teori distribusi diharapkan dapat mengatasi masalah distribusi
pendapatan antara berbagai kelas dalam masyarakat. M. Anas Zarqa
mengemukakan beberapa prinsip distribusi dalam ekonomi Islam, yaitu :
a.
Pemenuhan kebutuhan bagi semua makhluk hidup.
b.
Menimbulkan efek positif bagi pemberi itu sendiri, misalnya zakat,
selain dapat membersihkan diri dan harta muzakki juga
meningkatkan keimanan dan menumbuhkan kebiasaan berbagi
dengan orang lain.
c.
Menciptkan kebaikan antara yang kaya dan yang miskin.
d.
Mengurangi kesenjangan pendapatan dan kekayaan.
e.
Pemanfaatan lebih baik terhadap sumber daya alam dan aset tetap.
f.
Memberikan harapan pada orang lain melalui pemberian
Pajak merupakan salah satu alat redistribusi kekayaan dalam
ekonomi Islam selain zakat, sedekah, wakaf, wasiat dan warisan.
Distribusi
kekayaan
dilakukan
sebagai
usaha
untuk
mencegah
konsentrasi kekayaan agar tidak beredar pada orang kaya saja.
Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr Ayat 7
�