ALAM DAN PERADABAN dan keb
Resensi Buku
KOMPAS, MINGGU 27 APRIL2014
ALAM DAN PERADABAN
Sejak awal dalam pranata budaya dan agama, nenek moyang kita menempatkan matahari pada
posisi yang sakral. Persoalannya, bergantung kepada matahari apakah suatu berkah atau
kutukan?
Masyarakat Mesir kuno memuja matahari sebagai dewa tertinggi sekaligus pencipta, begitu pun
Papua, Sangiran, dan Polinesia. Bahkan masyarakat Inca, Hindu, Budha, Islam dan Kristen,
mengidentikan matahari sebagai pusat kehidupan. Mataharilah sang dewa sejati.
Ruddy Agusyanto, lewat Budaya Sontoloyo: Matahari itu Berkah atau Kutukan? Memaparkan
adanya adanya faktor determinasi matahari bagi seluruh kehidupan di bumi. Wilayah-wilayah
tropis, yang mendapat sinar matahari memadai, umumnya menyediakan sumber kehidupan
berlimpah untuk pemenuhan kebutuhan biologis manusia. Berbeda dengan daerah-daerah empat
musim, daerah beriklim sedang atau pun ekstrem dingin yang kekurangan sinar matahari –
semuanya diidentikkan sebagai wilayah nontropis – ketersediaan sumber kehidupan sangat
langka. Setiap yang mendiaminya perlu bekerja lebih keras untuk bertahan hidup.
Pusat Peradaban
Perbedaan penerimaan sinar matahari tidak sekedar berimplikasi pada pemenuhan kebutuhan
biologis. Lebih jauh, perbedaan tersebut bisa memengaruhi cara bertahan hidup dan bagaimana
beradaptasi dengan lingkungan. Dalam arti, manusia menyesuaikan diri dengan alam yang
nantinya memengaruhi kebiasaaan juga pembentukan kebudayaan. Meskipun kebutuhan biologis
bukan unsure kebudayaan, cara mengolah, dan menyimpannya adalah bagian dalam
pembentukan kebudayaan (hal 64).
Manusia yang tinggal di wilayah tropis akan mengembangkan pola hidup berbeda dengan
masyarakat di belahan bumi nontropis. Di wilayah tropis, pola pemenuhan kebutuhan cenderung
berpangkal pada prinsip kerja sama (kooperatif), sebab ketersediaan sumber daya yang
dibutuhkan sangat mencukupi, bahkan berlebih. Semua anggota masyarakatnya tidak perlu harus
saling bersaing dan berebut.
Corak produksi pun biasanya bergantung pada sumber yang ada. Mereka hanya memproduksi
apa yang dibutuhkan, tidak kurang dan tidak lebih. Cenderung tidak berbicara untung dan rugi,
tapi bagaimana sumber daya tetap terjaga dan tersedia jika diperlukan. Pola inilah yang selalu
memengaruhi kebudayaan masyarakat tropis yang bersifat egaliter.
Sementara bagi orang-orang yang mendiami wilayah nontropis, dengan sumber daya yang
terbatas, prinsip kerja sama yang dibangun ialan persaingan (kompetitif). Perebutan sumber daya
merupakan hal yang wajar. Kerja sama yang dikembangkan umumnya untuk membangun
kelompok dalam rangka menghadapi kelompok lain demi mempertahankan dan memperebutkan
sumber daya. Oleh sebab itu pula, budaya perang sangat mewarnai budaya nontropis (hal 92).
Bahkan, sampai hari ini di wilayah nontropis, sejumlah negara – bentuk lebih luas dan kompleks
dari kelompok – memperkuat militer atau sekadar pamer kecanggihan peralatan perang untuk
saling gertak agar tidak diserang Negara lain.
Bagaimanapun, bentuk penguasaan wilayah dan persenjataan tetap tak mampu mengubah iklim
serta melimpahkan sumber daya. Dari sisi ini, orang-orang iklim nontropis membutuhkan orangorang tropis untuk menjamin stabilitas ketersediaan sumber daya bagi kelangsungan hidup
mereka.
Konsekuensinya, mereka harus bisa berhubungan dengan wilayah tropis. Begitulah, maka
kebudayaan nontropis seakan tidak menciptakan kreativitas dalam pengolahan, tapi lebih
mengembangkan alat transportasi, komunikasi, persenjataan, dan juga teknologi pengawetan
bahan mentah (hal 150). Sebab, kunci sukses manusia nontropis untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya lebih ditentukan oleh kemampuan adaptasi budaya dalam hal
membangun akses atau pun hubungan dengan masyarakat tropis, secara langsung ataupun tidak
(hal 266).
Matahari dan Kolonisasi
Manusia iklim nontropis akan terus mempererat hubungan dengan masyarakat tropis, entah lewat
perdagangan, pasar, ataukah menciptakan world system agar kedua wilayah tetap berada dalam
kondisi keterikatan dan ketergantungan satu sama lain. Lewat pasar, mereka menciptakan alat
tukar sebagai pengganti sumber daya. Sementara melalui world system, mereka membangun
kelompok-kelompok social seideologi, bahkan sampai pada pembentukan Negara di wilayah
tropis.
Bilakah, manusia nontropis mempertimbangkan cara mereka menawarkan system
persemakmuran – yang hari ini diidentikan dengan budaya modern – malah menjadi awal dari
ketidakmakmuran manusia tropis, bahkan hingga hari ini?
Prinsip hidup kompetitif dan perebutan sumber daya model nontropis juga tengah mewarnai
budaya tropis, bahkan melahirkan ketidakadilan dimana-mana. Melalui kelompok sosial
seideologi, masyarakat tropis seakan menerima begitu saja model-model kebudayaan nontropis,
malah cenderung meninggalkan kebudayaan mereka sendiri yang dibangun dengan asas
kooperatif.
Catatan Ruddy yang mendalam dan sistematis memaparkan satu model pemikiran berbeda untuk
melihat kebijakan-kebijakan internasional, mulai dari kolonisasi sampai imperialisasi, yang
dilancarkan masyarakat nontropis hingga hari ini. Pemenuhan kebutuhan merupakan faktor
determinan yang dapat mengubah gerak peradaban. Lewat pemenuhan yang setara dan adil,
bentuk monopoli bisa saja diminimalisir, bahkan dihilangkan.
Namun, melihat kenyataan hari ini – yang tidak disampaikan Ruddy dalam bukunya – membawa
pada pertanyaan mendasar: apakah kita masih bisa memimpikan keadilan yang setara, dan jika di
wilayah tropis pun kini orang-orang saling berebut dan memupuk kekayaan alam untuk
kepentingan pribadi? Manusia tropis kini telah menjadi nontropis dalam ideologi. Sementara,
seperti yang terpampang, ketersediaan sumber daya semakin berkurang dan penduduk terus
bertambah.
Makki Riaja
Direktur Forum Lagaligologi
Data Buku:
Judul: Budaya Sontoloyo: Matahari Itu Berkah atau Kutukan?
Penulis: Ruddy Agusyanto
Penerbit: Institut Antropologi Indonesia
Cetakan: 2013
Tebal: xvi + 328 halaman
ISBN: 978-602-97274-5-6
Bisa diperoleh di:
- Gramedia (jabodetabek)
- Cak Tarno, Kober – Depok (08174967203
atau
Contact persons (SMS):
Emond: 0818773245
Reza: 08561454435
Ochi: 082110200099
KOMPAS, MINGGU 27 APRIL2014
ALAM DAN PERADABAN
Sejak awal dalam pranata budaya dan agama, nenek moyang kita menempatkan matahari pada
posisi yang sakral. Persoalannya, bergantung kepada matahari apakah suatu berkah atau
kutukan?
Masyarakat Mesir kuno memuja matahari sebagai dewa tertinggi sekaligus pencipta, begitu pun
Papua, Sangiran, dan Polinesia. Bahkan masyarakat Inca, Hindu, Budha, Islam dan Kristen,
mengidentikan matahari sebagai pusat kehidupan. Mataharilah sang dewa sejati.
Ruddy Agusyanto, lewat Budaya Sontoloyo: Matahari itu Berkah atau Kutukan? Memaparkan
adanya adanya faktor determinasi matahari bagi seluruh kehidupan di bumi. Wilayah-wilayah
tropis, yang mendapat sinar matahari memadai, umumnya menyediakan sumber kehidupan
berlimpah untuk pemenuhan kebutuhan biologis manusia. Berbeda dengan daerah-daerah empat
musim, daerah beriklim sedang atau pun ekstrem dingin yang kekurangan sinar matahari –
semuanya diidentikkan sebagai wilayah nontropis – ketersediaan sumber kehidupan sangat
langka. Setiap yang mendiaminya perlu bekerja lebih keras untuk bertahan hidup.
Pusat Peradaban
Perbedaan penerimaan sinar matahari tidak sekedar berimplikasi pada pemenuhan kebutuhan
biologis. Lebih jauh, perbedaan tersebut bisa memengaruhi cara bertahan hidup dan bagaimana
beradaptasi dengan lingkungan. Dalam arti, manusia menyesuaikan diri dengan alam yang
nantinya memengaruhi kebiasaaan juga pembentukan kebudayaan. Meskipun kebutuhan biologis
bukan unsure kebudayaan, cara mengolah, dan menyimpannya adalah bagian dalam
pembentukan kebudayaan (hal 64).
Manusia yang tinggal di wilayah tropis akan mengembangkan pola hidup berbeda dengan
masyarakat di belahan bumi nontropis. Di wilayah tropis, pola pemenuhan kebutuhan cenderung
berpangkal pada prinsip kerja sama (kooperatif), sebab ketersediaan sumber daya yang
dibutuhkan sangat mencukupi, bahkan berlebih. Semua anggota masyarakatnya tidak perlu harus
saling bersaing dan berebut.
Corak produksi pun biasanya bergantung pada sumber yang ada. Mereka hanya memproduksi
apa yang dibutuhkan, tidak kurang dan tidak lebih. Cenderung tidak berbicara untung dan rugi,
tapi bagaimana sumber daya tetap terjaga dan tersedia jika diperlukan. Pola inilah yang selalu
memengaruhi kebudayaan masyarakat tropis yang bersifat egaliter.
Sementara bagi orang-orang yang mendiami wilayah nontropis, dengan sumber daya yang
terbatas, prinsip kerja sama yang dibangun ialan persaingan (kompetitif). Perebutan sumber daya
merupakan hal yang wajar. Kerja sama yang dikembangkan umumnya untuk membangun
kelompok dalam rangka menghadapi kelompok lain demi mempertahankan dan memperebutkan
sumber daya. Oleh sebab itu pula, budaya perang sangat mewarnai budaya nontropis (hal 92).
Bahkan, sampai hari ini di wilayah nontropis, sejumlah negara – bentuk lebih luas dan kompleks
dari kelompok – memperkuat militer atau sekadar pamer kecanggihan peralatan perang untuk
saling gertak agar tidak diserang Negara lain.
Bagaimanapun, bentuk penguasaan wilayah dan persenjataan tetap tak mampu mengubah iklim
serta melimpahkan sumber daya. Dari sisi ini, orang-orang iklim nontropis membutuhkan orangorang tropis untuk menjamin stabilitas ketersediaan sumber daya bagi kelangsungan hidup
mereka.
Konsekuensinya, mereka harus bisa berhubungan dengan wilayah tropis. Begitulah, maka
kebudayaan nontropis seakan tidak menciptakan kreativitas dalam pengolahan, tapi lebih
mengembangkan alat transportasi, komunikasi, persenjataan, dan juga teknologi pengawetan
bahan mentah (hal 150). Sebab, kunci sukses manusia nontropis untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya lebih ditentukan oleh kemampuan adaptasi budaya dalam hal
membangun akses atau pun hubungan dengan masyarakat tropis, secara langsung ataupun tidak
(hal 266).
Matahari dan Kolonisasi
Manusia iklim nontropis akan terus mempererat hubungan dengan masyarakat tropis, entah lewat
perdagangan, pasar, ataukah menciptakan world system agar kedua wilayah tetap berada dalam
kondisi keterikatan dan ketergantungan satu sama lain. Lewat pasar, mereka menciptakan alat
tukar sebagai pengganti sumber daya. Sementara melalui world system, mereka membangun
kelompok-kelompok social seideologi, bahkan sampai pada pembentukan Negara di wilayah
tropis.
Bilakah, manusia nontropis mempertimbangkan cara mereka menawarkan system
persemakmuran – yang hari ini diidentikan dengan budaya modern – malah menjadi awal dari
ketidakmakmuran manusia tropis, bahkan hingga hari ini?
Prinsip hidup kompetitif dan perebutan sumber daya model nontropis juga tengah mewarnai
budaya tropis, bahkan melahirkan ketidakadilan dimana-mana. Melalui kelompok sosial
seideologi, masyarakat tropis seakan menerima begitu saja model-model kebudayaan nontropis,
malah cenderung meninggalkan kebudayaan mereka sendiri yang dibangun dengan asas
kooperatif.
Catatan Ruddy yang mendalam dan sistematis memaparkan satu model pemikiran berbeda untuk
melihat kebijakan-kebijakan internasional, mulai dari kolonisasi sampai imperialisasi, yang
dilancarkan masyarakat nontropis hingga hari ini. Pemenuhan kebutuhan merupakan faktor
determinan yang dapat mengubah gerak peradaban. Lewat pemenuhan yang setara dan adil,
bentuk monopoli bisa saja diminimalisir, bahkan dihilangkan.
Namun, melihat kenyataan hari ini – yang tidak disampaikan Ruddy dalam bukunya – membawa
pada pertanyaan mendasar: apakah kita masih bisa memimpikan keadilan yang setara, dan jika di
wilayah tropis pun kini orang-orang saling berebut dan memupuk kekayaan alam untuk
kepentingan pribadi? Manusia tropis kini telah menjadi nontropis dalam ideologi. Sementara,
seperti yang terpampang, ketersediaan sumber daya semakin berkurang dan penduduk terus
bertambah.
Makki Riaja
Direktur Forum Lagaligologi
Data Buku:
Judul: Budaya Sontoloyo: Matahari Itu Berkah atau Kutukan?
Penulis: Ruddy Agusyanto
Penerbit: Institut Antropologi Indonesia
Cetakan: 2013
Tebal: xvi + 328 halaman
ISBN: 978-602-97274-5-6
Bisa diperoleh di:
- Gramedia (jabodetabek)
- Cak Tarno, Kober – Depok (08174967203
atau
Contact persons (SMS):
Emond: 0818773245
Reza: 08561454435
Ochi: 082110200099