Hancurkan Diskriminasi Dan Politisi Dala

Hancurkan Diskriminasi Dan Politisi Dalam Pendidikan
Mengintip pada selembaran kertas yang di terbitkan disalah satu postingan Koran
harian pada 22 Oktober 2013 silam, Setelah salah seorang dosen yang sangat kami hormati
memberi tugas untuk meneliti lagi apa yang telah ditulis oleh salah seorang pemerhati
pendidikan ‘Doni Koesumo’, disalah satu lembaran Koran harian tersebut. kami baru faham
dan menyadari bahwa ternyata ada ketimpangan yang sangat kronis dan fatal dalam sistem
dunia pendidikan di nusantara tercinta ini. Sangat disanyangkan memang namun itulah
realitanya. Ketimpangan dalam dunia pendidikan, salah satunya disebabkan karena metode
evaluasi pendidikan, yang dipergunakan dalam proses belajar para peserta didik. Tentu
sebagian besar dari kita tau bahwa sistem UN lah yang digunakan dalam menilai,
memperhatikan, dan mengukur kemampuan siswa dalam dekade jenjang pendidikanpendidikan tertentu yakni mulai dari sekolah dasar, menengah pertama, hingga menengah
atas. selama 10 tahun pelaksanaan UN , ternyata masih kita saksikan berbagai macam
kebobrokan sana-sini diantarnya kebobrokan intelektual, moral dan spiritual pada anak-anak
bangsa. Hal Ini memang bukan semata-mata kesalah UN, namun setidaknya UN lah yang
menjadi patokan dan kritikan pada hal ini. Karena memang yang berpengaruh besar pada
bagian kualitas hidup seorang adalah pada proses dan evaluasi pendidikanyalah yang menjadi
barometer kualitas hidup seorang individu.
Kesalahan UN, Perlu menjadi perhatian dalam pelaksanaan UN sebagai hasil evaluasi
pendidikan dalam negeri ini, dalam sitemnya UN menggunakan program tes sumatif yang
bersifat cara penilaian dengan mengukur sejauh mana peserta didik menguasai materi yang
telah diajarkan oleh perserta didik dalam proses belajar pada kurun waktu tertentu lantas

dibandingkan dengan peserta yang lain. Walaupun menurut MENDIKBUD bukan ini lah
yang diterapkan pada UN, namun kami lebih fokuskan permaslahan ini pada tuliasan Doni
Koesumo . Karena itulah muncul hirarki-hirarki antar siswa, antar sekolah, antar kabupaten,
dan antar propinsi dinegara kita. Tanpa memperhatikan kajian psikomotorik yang dapat
merusak psikologi, pedagogis, maupun kultural

peserta didik, karena memang pada

hakikatnya setiap tes memiliki konstruk yang berbeda-beda sesuai dengan tujuanya. namun
UN hanya menitik beratkan pada hasil nilai 10 yang diperoleh oleh peserta didik tanpa
mempertimbangkan banyak hal yang lainya, UN juga dianggap sebagai kanibalisasi evaluasi
pendidikan karena terjadi proses “siswa dijadikan korban” dengan dipaksa mendapat nilai
yang tinggi agar kualitas guru, sekolah, daerah atau propinsi-propinsi tertentu agar tetap
dalam status hirarki tertinggi dibandingkan dengan guru-guru, sekolah-sekolah, daerah-

daerah, atau propinsi yang lainya. Seakan-akan dalam pelaksanaan UN semua bergembira
kecuali siswa. Karena dalam hal ini siswa seakan-akan telah dikebiri oleh beberapa politisi
baik itu individu maupun istansi. Belum lagi permasalahan yang terjadi saat UN dilaksanakan
adanya praktek-praktek pembelian lembar jawaban, atau bisa dikatakan dengan istilah “Ingin
Tau Sebelum Waktunya” yang dilakukan oleh beberapa lembaga-lembaga pendidikan

tertentu. Ini jelas tidak mencerminkan adanya proses pembelajaran dan pendidikan secara
pragmatis didalam dunia pendidikan kita ini. Tentu itu akan memberikan dampak yang sangat
buruk bagi dunia pendidikan khusunya di nusantara. Dan jika ruh-ruh pendidikan sudah
ditiadakan jelas akan mengakibatkan ketimpangan-ketimpangan dan anomali-anomali dalam
dunia pendidikan kita. Ada pepatah yang mengatakan ”Guru Kencing Berdiri Murid Kencing
Berlari” setidaknya peribahasa ini bisa kita relevansikan dengan realita saat ini yang terjadi
pada dunia pendidikan kita, la wong para gurunya saja sudah seperti itu apalagi muridnya,
jadi teringat dengan tontonan masa usia knak-kanak ketika itu, ada salah satu film di
Indonesia yang didalamnya sering disebutkan kata “Gurunya Gendeng, Muridnya Sableng”,
gurunya gila muridnya pasti tidak waras. Seperti inilah sedikit potret yang terjadi pada dunia
pendidikan di nusantara ini. Mungkin dari sinilah Doni Koesumo memberikan istilah dengan
sebutan Kanibalisasi Evaluasi Pendidikan. Salah satu negara maju seperti Firlandia juga
tidak menerapkan UN untuk proses evaluasi dalam dunia pembelajaran karena memang
dirasa metode ini kurang efektif dan evisien dalam pencapaian tujuan pembelajaran.
Menelapak pada kasus ini, maka

perlu juga untuk mengamandemen sistem evaluasi

sebelumnya yaitu tes sumatif dengan evaluasi yang lebih berkualitas, evektif dan evisien
untuk mencapai proses pembelajaran yang ideal, mungkin salah satunya dengan evaluasi

formatif , pada tes sumatif dilakukan penekanan terhadap penilaian sejauh mana anak itu
mampu menguasai materi dan dibandingkan dengan peserta didik lainya, tanpa mampu
mengetahuai ada perkembangan secara psikologis pada peserta didik, atau terlebih lagi ada
dan tidak adanya peningkatan nilai-nilai intektual, emosional, dan spiritual. Evaluasi ini lebih
dalam menitik beratkan pada proses setelah peserta didik mengikuti proses pembelajaran
dalam masa jenjang-jenjang tertentu agar nampak adanya keberhasilan dalam proses
pembelajaran pada lembega pendidikanya saja. Namun lain halnya dengan system evaluasi
formatif, pada evaluasi ini menganggap penilaian pendidikan itu bagian dari pembelajaran itu
sendiri sehingga hasil evaluasi itu dapat digunakan untuk menetukan kemajuan, kelemahan,
dan kekuatan experiment belajar peserta didik. Dengan berlandaskan aliran paragmatisme,
dan tentu yang dapat melakukan evaluasi hanyalah pendidik dalam hal ini adalah guru dari

siswa itu sendiri bukan yang lainya, karena memang gurunyalah yang selalu berkomunikasi
dan berinteraksi dengan siswa tersebut sehingga ia tau apa masalah yang terjadi dan solusi
yang diberikan kepada siswa tersebut. Evaluasi formatif membandingkan kemajuan siswa
dengan tingkat kompetensi sebelumnya. Tidak memperbandingkan antar peserta didik yang
satu dengan yang lainya.

Harapan Pada Internal Pendidikan
Dirasa perlu untuk melakukan revolusi system evaluasi pendidikan di negara tercinta

ini demi terciptanya individu-individu yang berkualitas “insane kamil”, atau masyarakat
yang madani sejahtera, adil dan bermartabat. Biasa istilah ini sering digunakan oleh
Muhammadiyah dengan kalimat “Baldatun at thayibatun wa ar rabun al ghafuur” . dengan
kata lain kita harus merubah evaluasi yang asalnya menggunakan tes sumatif bisa kita kritisi
dan kita rubah dengan evaluasi formatif salah satunya, dan juga ditekankan akan pendidikan
karakter dan perbaikan sistem di negeri tercinta ini demi tercapainya tujuan kehidupan yang
makmur dan sejahtera bersama. Oleh sebab itu mari kita Bersama-Sama Menghancurkan
Diskriminasi Dan Politisi Dalam Pendidikan Sebelum Ia Menghancurkan Kita Dan AnakAnak Bangsa .