APLIKASI MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL untuk

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian
Ketika sendi-sendi kehidupan bangsa ini digoyang oleh berbagai macam
aksi kekerasan dan kerusuhan, bahkan telah terkontaminasi “virus” disintegrasi
sosial, kesadaran nurani kita mulai tersentuh akan pentingnya makna pendidikan
hakiki. Menurut Oemar Bakrie (2008: 22), banyak kalangan mulai melihat bahwa
model pendidikan yang tidak berbasiskan kemanusiaan akan berdampak pada
munculnya potensi konflik, chaos, dan ketegangan di tengah-tengah masyarakat.
Keprihatinan akan peserta didik yang tidak memperhatikan nilai dan norma
kemanusiaan selayaknya menjadi perhatian utama pendidik pada saat ini.
Moh. Yamin (2010: 25) menyatakan pendidikan secara tegas tetap menjadi
media terpenting dan utama guna membangun potensi kemanusiaan yang
berkarakter kemanusiaan dan berperilaku santun antar sesama. Pendidikan dapat
mengembangkan jati diri kemanusiaan yang berdaulat dan bermartabat, bahkan
bisa melahirkan masyarakat yang beradab dan berbudaya ketika pendidikan betulbetul menjadi dan dijadikan tulang punggung sebuah perjalanan bangsa ke depan.
Secara jujur mesti diakui, selama bertahun-tahun, dunia pendidikan kita
terpasung di persimpangan jalan; tersisih di antara ingar-bingar ambisi penguasa
yang ingin mengejar pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Pendidikan
tidak diarahkan untuk memanusiakan manusia secara utuh lahir dan batin, tetapi


1

2

lebih diorientasikan pada hal-hal yang bersifat materialistis, ekonomis, dan
teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan budi pekerti.
Pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa
diimbangi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati, perasaan, dan
emosi. Akibatnya, apresiasi out-put pendidikan terhadap keagungan nilai
humanistik, keluhuran budi, dan budi nurani menjadi nihil.
Makna pendidikan yang hakiki merujuk pada sebuah kondisi yang mampu
memberikan ruang kesadaran kepada peserta didik untuk mengembangkan
jatidirinya melalui sebuah proses yang menyenangkan, terbuka, tidak terbelenggu
dalam suasana monoton, kaku, dan menegangkan. Diakui atau tidak, pendidikan
kita selama ini belum sanggup melahirkan generasi yang utuh jatidirinya. Mereka
memang cerdas, tetapi kehilangan sikap jujur dan rendah hati. Mereka terampil,
tetapi kurang menghargai sikap tenggang rasa dan toleransi. Imbasnya, nilai-nilai
kesalehan, baik individu maupun sosial, menjadi sirna.
Menurut Wijaya (2005: 146), pendidikan adalah proses awal usaha untuk

menumbuhkan kesadaran sosial pada setiap manusia sebagai pelaku sejarah.
Kesadaran sosial hanya akan bisa tercapai apabila seseorang telah berhasil
membaca realitas perantaraan di dunia sekitar mereka. Sebagai usaha untuk
menambahkan kesadaran sosial, maka perlu adanya perangkat analisis yang
bersumber dari kebebasan berfikir dari masing-masing individu, yang pada
akhirnya memberikan daya nalar yang kritis terhadap perkembangan sosial yang
ada. Sementara itu, Piaget (1983) mendefinisikan pendidikan sebagai penghubung

3

dua sisi. Di satu sisi, individu yang sedang tumbuh dan di sisi lain, nilai sosial,
intelektual dan moral yang menjadi tanggung jawab pendidikan untuk mendorong
individu tersebut. Individu berkembang sejak lahir dan terus berkembang.
Merujuk dari pemikiran di atas, pendidikan sesungguhnya berupaya untuk
membangun kesadaran sosial kemasyarakatan yang tinggi terhadap masyarakat
maupun pelajar agar mereka menjadi peka dan peduli terhadap realitas sosial.
Sebagaimana yang diungkapkan Yamin (2009: 16) bahwa: “Pendidikan
mengarahkan pada terbangunnya paradigma berfikir yang tidak jauh dari realitas
sosial, namun mampu bersentuhan secara konkret dan riil dengan sesuatu yang
sedang terjadi di dalam persoalan sosial kemasyarakatan”.

Dalam era globalisasi dan reformasi dewasa ini, sudah menjadi wacana
umum, bahwa dekadensi moral yang terjadi pada pelajar (peserta didik) telah
mencapai titik mengkhawatirkan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Masngudin dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Sosial pada
tahun 2004, seluruh responden yang merupakan remaja berusia 13-21 tahun
pernah melakukan kenakalan, terutama pada tingkat kenakalan biasa seperti
berbohong, pergi ke luar rumah tanpa pamit pada orang tuanya, keluyuran,
berkelahi dengan teman, membuang sampah sembarangan, berbicara dan bersikap
tidak sopan terhadap yang lebih tua, rendahnya rasa toleransi dan berterimakasih
terhadap sesama, dan jenis kenakalan biasa lainnya. Pada tingkat kenakalan yang
menjurus pada pelanggaran dan kejahatan seperti mengendarai kendaraan tanpa
SIM, kebut-kebutan, mencuri, minum-minuman keras juga cukup banyak
dilakukan oleh responden. Bahkan, pada kenakalan khusus pun banyak dilakukan

4

oleh responden seperti melakukan seks di luar nikah, menyalahgunakan narkotika,
kasus pembunuhan, pemerkosaan, serta menggugurkan kandungan walaupun kecil
presentasenya.
Djahiri (1996: 15) menyatakan bahwa Iptek dan modernisasi dan

kehidupan globalistik, adalah bingkisan kehidupan yang lebih nikmat, lebih
mudah dan padat nilai tambah, yang bila tidak diiringi dengan pendidikan NilaiMoral akan melahirkan erosi nilai moral afektual, kultural dan spiritual serta
menjadi penyebab dehumanisasi. Terjadinya pelanggaran norma-norma sosial
yang dilakukan oleh para pelajar merupakan masalah terpenting bangsa ini dalam
rangka perbaikan sumber daya manusianya. Karena, ketika sebuah etika sosial
masyarakat tidak diindahkan lagi oleh pemuda, dalam hal ini pelajar, maka laju
lokomotif perbaikan bangsa dan negara akan mengalami hambatan.
Menurut Kurikulum 2004, pengertian Ilmu Pengetahuan Sosial di sekolah
merupakan bahan kajian secara terintegrasi yang diadaptasi, disederhanakan,
diseleksi, dan dimodifikasi dari konsep-konsep dan ketrampilan sejarah, geografi,
sosiologi, antropologi dan ekonomi. Tujuan IPS adalah untuk mengembangkan
potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di
masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan
yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari, baik
yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat secara umum.
Tradisi pendidikan IPS saat ini tergelincir pada pembelajaran konsep yang
berorientasi hafalan dan belum mengusung misi pengembangan kemampuan

5


siswa dalam melihat dunia dengan visi ilmu-ilmu sosial. Banyak siswa mampu
menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap materi ajar yang diterimanya,
tetapi pada kenyataannya mereka tidak memahaminya. Mereka merasa memahami
apa yang sudah dipelajari, tetapi dua minggu kemudian ketika ulangan mereka
tidak mengingat apa yang sudah dipelajari.
Pembahasan mengenai proses pendidikan IPS di sekolah, akan selalu
terkait dengan perkembangan ilmu sosial, teori pembelajaran, dan kurikulum yang
menyertainya. Analisis terhadap pelaksanaan proses pendidikan IPS di sekolah
dapat dilakukan melalui pendekatan yang menekankan pada perkembangan dan
perubahan konsepsi dari IPS di sekolah itu sendiri yang disesuaikan dengan
perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
Merujuk kepada prinsip-prinsip yang dirumuskan National Council for
The Sosial Studies (NCSS, Myers, 2000 dalam Nursid, 2006: 6) bahwa dalam
proses

pembelajaran

Ilmu

Pengetahuan


Sosial

harus

memperhatikan

kebermaknaannya, proses pembelajaran perlu terintegrasi baik domain maupun
contents, berlandaskan nilai, menantang dan berkembang dalam suasana aktif.
Dan untuk mengembangkan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial sesuai dengan
tuntutan kurikulum perlu penyeleksian terhadap pendekatan yang sesuai dengan
hakikat Pengetahuan Sosial yang berlandaskan lima prinsip tersebut.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan guru dalam meningkatkan kualitas
belajar mengajar, terutama dalam mengembangkan kepekaan afeksinya dilihat
dari segi pandang nilai kemanusiaan dan kepedulian sosial, dan juga

6

meningkatkan kemampuan siswa dalam berfikir kritis adalah melalui pendekatan
CTL (Contextual Teaching And Learning). Dalam pendekatan CTL, guru

mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan
masyarakat (US Departement of Education, 2001). Guru lebih berurusan dengan
strategi daripada memberi informasi. Guru hanya mengelola kelas sebagai sebuah
tim yang bekerja sama untuk menemukan suatu yang baru bagi siswa. Proses
belajar mengajar lebih diwarnai Student Centered daripada Teacher Centered.
Pendekatan ini menjadi pendekatan yang sangat cocok dan menjadi keniscayaan
dalam proses pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yaitu dalam
mengembangkan nilai kemanusiaan dan kepedulian sosial, serta dalam
mengembangkan kemampuan berfikir kritisnya.
Berdasarkan penelitian pendahuluan, diketahui bahwa pembelajaran IPS
kurang mampu meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan dan kepedulian sosial, serta
kemampuan berfikir kritis pada siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Rancaekek,
indikator-indikator masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Kecenderungan dalam kegiatan belajar yang dikembangkan, hanya
mencapai sasaran pembelajaran yang baru dapat menyentuh aspek kognitif
peserta didik, sementara aspek afektif-konatif yang merupakan sasaran
pokok dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial / humaniora masih
belum terjangkau.


7

2. Guru

belum

optimal

menggunakan

berbagai

pendekatan

dalam

pembelajaran CTL. Banyak Guru, pada saat aplikasi pengajaran masih
cenderung membuat para siswa belajar konsep-konsep secara abstrak,
atau belajar konsep-konsep tanpa mengalami atau mengamati acuan

konkrit dari konsep yang ada. Sehingga kemampuan pada aspek afektif
dalam hal nilai kemanusiaan dan kepedulian sosial belum berkembang
secara optimal.
3. Siswa memahami konsep pada mata pelajaran IPS, akan tetapi tidak
mampu menerapkan konsep dalam memecahkan masalah.
4. Siswa kurang mampu mengemukakan pendapat secara sistematis, baik
lisan maupun tulisan.
5. Masih adanya pelanggaran norma sosial pada siswa kelas VIII SMPN 3
Rancaekek, diantaranya: berbohong, membolos, mangkir ke kantin saat
jam pelajaran berlangsung, berkelahi dengan teman, membuang sampah
sembarangan, berbicara dan bersikap tidak sopan terhadap yang lebih tua,
kurang menghargai pendapat orang lain, dan rendahnya rasa toleransi dan
berterimakasih terhadap sesama.
6. Guru berorientasi pada target hasil penguasaan materi, sehingga seringkali
mengabaikan proses belajar siswa menuju penguasaan materi.
Masalah tersebut diatas diduga disebabkan metode pembelajaran dengan
pendekatan pembelajaran kontekstual yang belum optimal, sehingga nilai
kemanusiaan dan kepedulian sosial serta kemampuan berfikir kritis siswa masih
rendah.


8

Berdasarkan latar belakang masalah di atas yang diangkat, peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian mengenai aplikasi model pembelajaran kontekstual
dalam mengembangkan nilai kemanusiaan dan kepedulian sosial. Untuk itu
peneliti merumuskan judul penelitian sebagai berikut:
“APLIKASI MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL DALAM
PENGEMBANGAN NILAI KEMANUSIAAN, KEPEDULIAN SOSIAL DAN
KEMAMPUAN BERFIKIR KRITIS SISWA”
(Studi tentang Pembelajaran IPS kelas VIII di SMP Negeri 3 Rancaekek )

1.2. Fokus Penelitian dan Perumusan Masalah
Berpijak dari latar belakang masalah yang telah diidentifikasi, maka fokus
penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: ”Bagaimana model pembelajaran
kontekstual dapat mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan, kepedulian sosial dan
kemampuan berfikir kritis siswa dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial pada
siswa kelas VIII di SMPN 3 Rancaekek”
Sedangkan rumusan masalah penelitian dijabarkan secara operasional
dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1) Bagaimana pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dengan menggunakan

model pembelajaran kontekstual pada pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
kelas VIII SMPN 3 Rancaekek?
2) Apakah penggunaan model controversial issues dan model pembelajaran
nilai dapat mengembangkan nilai kemanusiaan, kepedulian sosial dan

9

kemampuan berfikir kritis siswa dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan
Sosial kelas VIII SMPN 3 Rancaekek ?

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah penelitian, secara
umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penggunaan model
pembelajaran kontekstual dalam mengembangkan nilai kemanusiaan dan
kepedulian sosial dan kemampuan berfikir kritis pada pembelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial pada siswa kelas VIII SMPN 3 Rancaekek.
Selanjutnya secara rinci tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini
adalah:
1) Ingin mengetahui bagaimana aplikasi model pembelajaran kontekstual
pada pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial siswa kelas VIII SMPN 3
Rancaekek?
2) Ingin mengetahui apakah model pembelajaran kontekstual dapat
meningkatkan

rasa

kemanusiaan

dan

kepedulian

sosial

serta

kemampuan berfikir kritis siswa kelas VIII SMPN 3 Rancaekek pada
pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial?
3) Ingin mengetahui hal-hal apa saja yang menjadi kelemahan dan
keberhasilan

dalam

mengembangkan

nilai

kemanusiaan

dan

kepedulian sosial dan kemampuan berfikir kritis siswa pada pelajaran
IPS kelas VIII SMPN 3 Rancaekek?

10

Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan fikiran terutama:
1) Bagi siswa diharapkan dapat mendorong berkembangnya nilai-nilai
kemanusiaan dan kepedulian sosial melalui pengalaman belajarnya,
sehingga dapat membentuk sikap dan kepribadian sebagai bekal dalam
hidup bersama di masyarakat. Selain itu kemampuan berfikir kritis
siswa pun diharapkan meningkat.
2) Bagi Guru sebagai masukan untuk memperluas wawasan dan
meningkatkan kemampuan dalam mengembangkan pembelajaran yang
berorientasi pada penemuan atau CTL.
3) Bagi Kepala Sekolah atau pengelola satuan pendidikan temuan
penelitian ini dapat dikembangkan dalam upaya meningkatkan mutu
dan kualitas pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di Sekolah
Menengah Pertama.
4) Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah
pengetahuan yang dapat dijadikan sebagai salah satu referensi kepada
peneliti lain untuk melakukan penelitian selanjutnya, khususnya dalam
rangka pengembangan pembelajaran menggunakan pendekatan CTL.

11

Dokumen yang terkait

ANALISIS KEMAMPUAN SISWA SMP DALAM MENYELESAIKAN SOAL PISA KONTEN SHAPE AND SPACE BERDASARKAN MODEL RASCH

69 778 11

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

APLIKASI BIOTEKNOLOGI BAKTERI FOTOSINTETIK DALAM MENINGKATKAN MUTU GIZI BIJI KEDELAI

4 68 14

IbM Pemanfaatan Biopestisida untuk Mengendalikan Hama Uret (Lepidiota stigma) Pada Tanaman Tebu

8 129 1

Aplikasi forecasting untuk memprediksi kepadatan penduduk di Dinas Kependudkan dan Catatan Sipil Kabupaten Aceh Timur

9 92 261

PENGARUH KEMAMPUAN AWAL MATEMATIKADAN MOTIFBERPRESTASI TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA DALAM PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

8 74 14

PENGGUNAAN BAHAN AJAR LEAFLET DENGAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI POKOK SISTEM GERAK MANUSIA (Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas XI IPA1 SMA Negeri 1 Bukit Kemuning Semester Ganjil T

47 275 59

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TPS UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KERJASAMA DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV B DI SDN 11 METRO PUSAT TAHUN PELAJARAN 2013/2014

6 73 58

EVALUASI ATAS PENERAPAN APLIKASI e-REGISTRASION DALAM RANGKA PEMBUATAN NPWP DI KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA TANJUNG KARANG TAHUN 2012-2013

9 73 45

PENINGKATAN HASIL BELAJAR TEMA MAKANANKU SEHAT DAN BERGIZI MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE PADA SISWA KELAS IV SDN 2 LABUHAN RATU BANDAR LAMPUNG

3 72 62