BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kinerja 2.1.1. Definisi Kinerja - Determinan Kinerja Petugas Kesehatan Ibu Dan Anak (KIA) Di Puskesmas Kota MedanTahun 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kinerja

2.1.1. Definisi Kinerja

  Ilyas (2002) mendefinisikan kinerja sebagai penampilan hasil karya personil baik kuantitas maupun kualitas dalam suatu organisasi. Kinerja dapat merupakan penampilan individu maupun kelompok kerja personil. Penampilan hasil karya tidak terbatas kepada personil yang memangku jabatan fungsional maupun struktural, tetapi juga kepada keseluruhan jajaran personil di dalam organisasi. Menurut As‟ad (2003) kinerja (job performance) adalah hasil yang dicapai oleh seseorang menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan.

  Menurut Darokah dalam Ilyas (2002) kinerja adalah suatu catatan keluaran hasil pada suatu fungsi jabatan kerja oleh seluruh aktivitas kerja dalam periode waktu tertentu. Kopelman (1998) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan kinerja (Performance=P) adalah hasil interaksi antara motivasi (M) dan kemampuan (Ability = A), yang dalam teori atribusi dirumuskan dengan P = f (M x A).

  Dalam penelitian ini pengertian kinerja yang dipakai adalah definisi kinerja menurut Ilyas (2002) yaitu penampilan hasil karya personil baik kuantitas maupun kualitas dalam suatu organisasi.Selanjutnya Gibson dalam Ilyas (2002) kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorangdalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

2.1.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja

  Menurut Darma (2005) bahwa faktor-faktor tingkat kinerja staf meliputi: mutu pekerjaan, jumlah pekerjaan, efektifitas biaya dan inisiatif. Sementara karakteristik individu yang mempengaruhi kinerja meliputi: umur, jenis kelamin, pendidikan, lama kerja, penempatan kerja dan lingkungan kerja (rekan kerja, atasan, organisasi, penghargaan dan imbalan).

  Gibson dalam (Ilyas 2002) menyatakan terdapat tiga kelompok variabel yang mempengaruhi kinerja dan perilaku yaitu: (1) variabel individu, yang meliputi kemampuan dan ketrampilan, fisik maupun mental, latar belakang, pengalaman dan demografi, umur dan jenis kelamin, asal usul dan sebagainya.

  Kemampuan dan ketrampilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi kinerja individu, sedangkan demografi mempunyai hubungan tidak langsung pada perilaku dan kinerja, (2) variabel organisasi, yakni sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan, (3) variabel psikologis, yakni persepsi, sikap, kepribadian, belajar, kepuasan kerja dan motivasi. Persepsi, sikap, kepribadian dan belajar merupakan hal yang komplek dan sulit diukur serta kesempatan tentang pengertiannya sukar dicapai, karena seseorang individu masuk dan bergabung ke dalam suatu organisasi kerja pada usia, etnis, latar

  Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2006) faktor-faktor yang memengaruhi kinerja individu tenaga kerja, yaitu: 1.Kemampuan mereka,

  2.Motivasi, 3.Dukungan yang diterima, 4.Keberadaan pekerjaan yang mereka lakukan, dan 5.Hubungan mereka dengan organisasi. Berdasarkaan pengertian di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa kinerja merupakan kualitas dan kuantitas dari suatu hasil kerja (output) individu maupun kelompok dalam suatu aktivitas tertentu yang diakibatkan oleh kemampuan alami atau kemampuan yang diperoleh dari proses belajar serta keinginan untuk berprestasi.

  Menurut Mangkunegara (2005) menyatakan bahwa faktor yang memengaruhi kinerja antara lain : a. Faktor kemampuan Secara psikologis kemampuan (ability) pegawai terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan realita (pendidikan). Oleh karena itu pegawai perlu dtempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan keahlihannya. b. Faktor motivasi Motivasi terbentuk dari sikap (attiude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi (situasion) kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri pegawai terarah untuk mencapai tujuan kerja. Sikap mental merupakan kondisi mental yang mendorong seseorang untuk berusaha mencapai potensi kerja secara maksimal.

  David C. Mc Cleland (1997) seperti dikutip Mangkunegara (2005), berpendapat bahwa “Ada hubungan yang positif antara motif berprestasi dengan pencapaian kerja”. Motif berprestasi dengan pencapaian kerja. Motif berprestasi dengan predikat terpuji. Selanjutnya Mc. Clelland, mengemukakan 6 karakteristik dari seseorang yang memiliki motif yang tinggi yaitu : 1) Memiliki tanggung jawab yang tinggi 2) Berani mengambil risiko 3) Memiliki tujuan yang realistis 4) Memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk merealisasi tujuan.

  5) Memanfaatkan umpan balik yang kongkrit dalam seluruh kegiatan kerja yang dilakukan 6) Mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana yang telah diprogamkan.

  Hall TL dan Meija (1987) dalam Ilyas (2002) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi kinerja adalah: faktor internal individu yang terdiri dari: (1) karakteristik individu seperti umur, pendapatan, status perkawinan, pengalaman kerja dan masa kerja. (2). Sikap terhadap tugas yang terdiri persepsi, pengetahuan, motivasi, tanggung-jawab dan kebutuhan terhadap imbalan, sedang faktor eksternal meliputi sosial ekonomi, demografi, geografi, lingkungan kerja, aseptabilitas, aksesabilitas, pengawasan, koordinasi, fasilitas, beban kerja dan organisasi yang terdiri pembinaan.

  Beban kerja adalah tanggungan kewajiban yang harus dilaksanakan karena pekerjaan tertentu dan juga sebagai tanggung jawab (Simamora, 2001). Secara umum, istilah beban kerja mengacu pada jumlah pekerjaan yang dialokasikan kepada karyawan untuk melakukan (Wefald et al, 2008). Sementara Grounewegen dalam Gunawan (2007) mendefinisikan beban kerja sebagai jumlah pekerjaan yang harus diselesaikan oleh sekelompok atau seseorang dalam waktu tertentu. tugas terlalu banyak atau sedikit, sedangkan beban kerja kualitatif jika pekerja merasa tidak mampu melakukan tugas atau tugas tidak menggunakan ketrampilan atau potensi dari pekerja (Munandar, 2001)

2.1.3. Pengukuran Kinerja

  Penilaian kinerja adalah proses menilai hasil karya personel dalam suatu organisasi melalui instrumen penilaian kinerja. Penilaian kinerja meru pakan proses yang berkelanjutan untuk menilai kualitas kerja personel dan usaha untuk mempertinggi kerja personel dalam organisasi. Penilaian kinerja adalah proses penelusuran kegiatan pribadi personel pada masa tertentu yang menilai hasil karya yang ditampilkan terhadap pencapaian sasaran sistem manajemen (Prihadi, 2004).

  Bellows (1961) dalam As‟ad (2003) menyebutkan bahwa syarat kriteria kinerja yang baik ialah apabila lebih reliabel, realistis, representatif dan bisa predictable. Sedangkan Maier (1965) d alam As‟ad (2003) mengatakan bahwa yang umum dianggap sebagai kriteria kinerja antara lain ialah: kualitas, kuantitas, waktu yang dipakai, jabatan yang dipegang, absensi, dan keselamatan dalam menjalankan tugas pekerjaan. Dikatakan selanjutnya bahwa dimensi mana yang penting adalah berbeda antara pekerjaan yang satu dengan lainnya.

  Pada dasarnya ada dua model penilaian kinerja: a.

  Penilaian sendiri (Self Assesment).

  Penilaian sendiri adalah pendekatan yang paling umum digunakan untuk peran sentral dari penilaian sendiri dalam memahami perilaku individu. Teori tersebut adalah teori kontrol dan interaksi simbolik.

  Menurut teori kontrol yang dijelaskan oleh Carver dan Scheier (1981) yang dikutip oleh Ilyas (2001), individu harus menyelesaikan tiga tugas untuk mencapai tujuan mereka. Mereka harus (1) menetapkan standar untuk perilaku mereka, (2) mendeteksi perbedaan antara perilaku mereka dan standarnya (umpan balik), dan (3) berperilaku yang sesuai dan layak untuk mengurangi perbedaan ini. Selanjutnya, disarankan agar individu perlu melihat dimana dan bagaimana mereka mencapai tujuan mereka. Dengan pengenalan terhadap kesalahan yang dilakukan, mereka mempunyai kesempatan melakukan perbaikan dalam melaksanakan tugas untuk mencapai tujuan mereka.

  Inti dari teori interaksi simbolik adalah preposisi yaitu kita mengembangkan konsep sendiri dan membuat penilaian sendiri berdasarkan pada kepercayaan kita tentang bagaimana orang memahami dan mengevaluasi kita. Teori ini menegaskan pentingnya memahami pendapat orang lain disekitar mereka terhadap perilaku mereka. Interaksi simbolik juga memberikan peran sentral bagi interpretasi individu tentang dunia sekitarnya. Jadi individu tidak memberikan respon secara langsung dan naluriah terhadap kejadian, tetapi memberikan interpretasi terhadap kejadian tersebut Preposisi ini penting sebagai pedoman interpretasi tentang penilaian sendiri yang digunakan dalam mengukur atau menilai kinerja personel dalam organisasi. organisasi. Penilaian sendiri ditentukan oleh sejumlah faktor kepribadian, pengalaman, dan pengetahuan, serta sosio-demografis seperti suku dan pendidikan. Dengan demikian, tingkat kematangan personel dalam menilai hasil karya sendiri menjadi hal yang patut dipertimbangkan (Ilyas, 2001).

  b. Penilaian 360 derajat (360 Degree Assessment).

  Teknik ini akan memberikan data yang lebih baik dan dapat dipercaya karena dilakukan penilaian silang oleh bawahan, mitra dan atasan personel. Data penilaian merupakan nilai kumulatif dari penilaian ketiga penilai. Hasil penilaian silang diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terjadi kerancuan, bila penilaian kinerja hanya dilakukan oleh personel sendiri saja (Ilyas, 2001).

  Penilaian atasan, pada organisasi dengan tingkat manajemen majemuk, personel biasanya dinilai oleh manajer yang tingkatnya lebih tinggi. Penilaian ini termasuk yang dilakukan oleh penyelia atau atasan langsung yang kepadanya laporan kerja personel disampaikan. Penilaian ini dapat juga melibatkan manajer lini unit lain. Sebaiknya penggunaan penilaian atasan dari bagian lain dibatasi, hanya pada situasi kerja kelompok dimana individu sering melakukan interaksi.

  Penilaian mitra, biasanya penilaian mitra lebih cocok digunakan pada kelompok kerja yang mempunyai otonomi yang cukup tinggi, dimana wewenang pengambilan keputusan pada tingkat tertentu telah didelegasikan oleh manajemen kepada anggota kelompok kerja. Penilaian mitra dilakukan oleh seluruh anggota untuk pengembangan personel dibandingkan untuk evaluasi. Yang perlu diperhatikan pada penilaian mitra adalah kerahasiaan penilaian untuk mencegah reaksi negatif dari personel yang dinilai.

  Penilaian bawahan, terhadap kinerja personel dilakukan dengan tujuan untuk pengembangan dan umpan balik personel. Program ini meminta kapada manajer untuk dapat menerima penilaian bawahan sebagai umpan balik atas kemampuan manajemen mereka. Umpan balik bawahan berdasarkan kriteria sebagai berikut: pencapaian perencanaan kinerja strategik, pencapaian komitmen personel, dokumentasi kinerja personel, umpan balik dan pelatihan personel, pelaksanaan penilaian kinerja, dan imbalan kinerja. Manajer diharapkan mengubah perilaku manajemen sesuai dengan harapan bawahan.

2.2. Puskesmas

2.2.1. Defenisi Puskesmas

  Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di wilayah kerja (Depkes RI, 2004).

  Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah tercapainya kecamatan sehat menuju terwujudnya Indonesia sehat. Kecamatan sehat adalah gambaran masyarakat kecamatan masa depan yang ingin dicapai melalui penbangunan kesehatan, yakni masyarakat yang hidup didalam pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi

  • – tingginya (Depkes RI, 2004). Misi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan puskesmas adalah mendukung tercapainya misi pembangunan kesehatan nasional, yaitu : 1.

  Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya.

  2. Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di wilayah kerjanya.

  3. Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan puskesmas.

  4. Memelihara dan meningkatkan kesehatan per orangan, keluarga, dan masyarakat, serta lingkungannya (Depkes RI, 2004).

  2.2.2. Tujuan Puskesmas

  Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional, yakni meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi orang yang bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dalam rangka mewujudkan Indonesia Sehat (Depkes RI, 2004).

  2.2.3. Fungsi Puskesmas 1. Pusat Penggerak Pembangunan Berwawasan Kesehatan.

  Berupaya menggerakkan lintas sektor dan dunia usaha di wilayah kerjanya memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari penyelenggaraan setiap program pembangunan di wilayah kerjanya.

  2. Pusat Pemberdayaan Masyarakat: Berupaya agar perorangan terutama pemuka masyarakat, keluarga dan masyarakat memiliki kesadaran, kemauan dan kemampuan melayani diri sendiri dan masyarakat untuk hidup sehat Berperan aktif dalam memperjuangkan kepentingan kesehatan termasuk pembiayaan, serta ikut menetapkan, menyelenggarakan, dan memantau pelaksanaan program kesehatan.

  3. Pusat Pelayanan Kesehatan Strata Pertama Menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat pertama (primer) secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (kontinyu) meliputi :

  Pelayanan kesehatan perorangan Pelayanan kesehatan masyarakat (Depkes RI, 2004).

2.2.4. Upaya penyelenggaraan

  Untuk tercapainya visi pembangunan kesehatan melalui puskesmas yakni terwujudnya kecamatan sehat menuju Indonesia sehat, puskesmas bertanggung jawab menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat, yang keduanya jika ditinjau dari kesehatan nasional merupakan pelayanan kesehatan tingkat pertama. Upaya kesehatan tersebut dikelompokkan menjadi dua yakni upaya kesehatan wajib dan upaya kesehatan pengembang

  Upaya kesehatan wajib puskesmas adalah upaya yang ditetapkan berdasarkan komitmen nasional, regional dan global serta yang mempunyai daya ungkit tinggi untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Upaya kesehatan wajib ini harus diselenggarakan oleh setiap puskesmas yang ada di wilayah Indonesia. Upaya kesehatan wajib tersebut adalah upaya promosi kesehatan, upaya kesehatan lingkungan, upaya kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana, upaya perbaikan gizi masyarakat, upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular serta upaya pengobatan (Depkes RI, 2004).

  Sedangkan upaya kesehatan pengembangan puskesmas adalah upaya yang ditetapkan berdasarkan permasalahan kesehatan yang ditemukan di masyarakat serta disesuaikan dengan kemampuan puskesmas. Upaya kesehatan pengembangan dipilih dari daftar upaya kesehatan pokok puskesmas yang telah ada yaitu upaya kesehatan sekolah, upaya kesehatran oleh raga, upaya perawatan kesehatan masyarakat, upaya kesehatan kerja, upaya kesehatan gigi dan mulut, upaya kesehatan jiwa, upaya kesehatan mata, upaya kesehatan usia lanjut dan upaya pembinaan pengobatan tradisional (Depkes RI, 2004).

2.3 Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)

2.3.1 Pengertian Program KIA

  Upaya Kesehatan ibu dan anak adalah upaya dibidang kesehatan yang menyangkut pelayanan dan pemeliharaan ibu hamil, ibu bersalin, ibu meneteki,

  Tujuan Program Kesehatan Ibu dan anak (KIA) adalah tercapainya kemampuan hidup sehat melalui peningkatan derajat kesehatan yang optimal, bagi ibu dan keluarganya untuk menuju Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) serta meningkatnya derajat kesehatan anak untuk menjamin proses tumbuh kembang optimal yang merupakan landasan bagi peningkatan kualitas manusia seutuhnya (Depkes RI, 2008). Sedangkan tujuan khusus program KIA adalah : a.

  Meningkatnya kemampuan ibu (pengetahuan, sikap, dan perilaku), dalam mengatasi kesehatan diri dan keluarganya dengan menggunakan teknologi tepat guna dalam upaya pembinaan kesehatan keluarga,paguyuban 10 keluarga, Posyandu dan sebagainya.

  b.

  Meningkatnya upaya pembinaan kesehatan balita dan anak prasekolah secara mandiri di dalam lingkungan keluarga, paguyuban 10 keluarga, Posyandu, dan Karang Balita serta di sekolah Taman Kanak-Kanak atau TK.

  c. Meningkatnya jangkauan pelayanan kesehatan bayi, anak balita, ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, dan ibu meneteki d.

  Meningkatnya mutu pelayanan kesehatan ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, ibu meneteki, bayi dan anak balita.

  e.

  Meningkatnya kemampuan dan peran serta masyarakat , keluarga dan seluruh anggotanya untuk mengatasi masalah kesehatan ibu, balita, anak prasekolah, terutama melalui peningkatan peran ibu dan keluarganya (Depkes RI, 2008). A. Pelayanan Antenatal Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk ibu selama masa kehamilannya, dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan antenatal yang ditetapkan dalam Standar Pelayanan Kebidanan. Pelayanan antenatal sesuai standar meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik (umum dan kebidanan), pemeriksaan laboratorium rutin dan khusus, serta intervensi umum dan khusus (sesuai risiko yang ditemukan dalam pemeriksaan). Dalam penerapannya terdiri atas: 1.

  Timbang berat badan dan ukur tinggi badan.

  2. Ukur tekanan darah.

  3. Nilai Status Gizi (ukur lingkar lengan atas).

  4. Ukur tinggi fundus uteri.

  5. Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ).

  6. Skrining status imunisasi Tetanus dan berikan imunisasi Tetanus Toksoid (TT) bila diperlukan.

  7. Pemberian Tablet zat besi minimal 90 tablet selama kehamilan.

  Dengan demikian maka secara operasional, pelayanan antenatal disebut lengkap apabila dilakukan oleh tenaga kesehatan serta memenuhi standar tersebut.

  Ditetapkan pula bahwa frekuensi pelayanan antenatal adalah minimal 4 kali selama kehamilan. Tenaga kesehatan yang berkompeten memberikan pelayanan antenatal kepada Ibu hamil adalah : dokter spesialis kebidanan, dokter, bidan dan

  Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan adalah pelayanan persalinan yang aman yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten. Pada kenyataan di lapangan, masih terdapat penolong persalinan yang bukan tenaga kesehatan dan dilakukan di luar fasilitas pelayanan kesehatan. Oleh karena itu secara bertahap seluruh persalinan akan ditolong oleh tenaga kesehatan kompeten dan diarahkan ke fasilitas pelayanan kesehatan. Tenaga kesehatan yang berkompeten memberikan pelayanan pertolongan persalinan adalah : dokter spesialis kebidanan, dokter dan bidan.

  C. Pelayanan Kesehatan Ibu Nifas Pelayanan kesehatan ibu nifas adalah pelayanan kesehatan sesuai standar pada ibu mulai 6 jam sampai 42 hari pasca bersalin oleh tenaga kesehatan. Untuk deteksi dini komplikasi pada ibu nifas diperlukan pemantauan pemeriksaan terhadap ibu nifas dan meningkatkan cakupan KB Pasca Persalinan dengan melakukan kunjungan nifas minimal sebanyak 3 kali. Pelayanan yang diberikan adalah : 1.

  Pemeriksaan tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu.

  2. Pemeriksaan tinggi fundus uteri (involusi uterus).

  3. Pemeriksaan lokhia dan pengeluaran per vaginam lainnya.

  4. Pemeriksaan payudara dan anjuran ASI eksklusif 6 bulan.

  5. Pemberian kapsul Vitamin A 200.000 IU sebanyak dua kali , pertama segera setelah melahirkan, kedua diberikan setelah 24 jam pemberian

  6. Pelayanan KB pasca salin adalah pelayanan yang diberikan kepada Ibu yang mulai menggunakan alat kontrasepsi langsung sesudah melahirkan (sampai dengan 42 hari sesudah melahirkan). Tenaga kesehatan yang dapat memberikan pelayanan kesehatan ibu nifas adalah : dokter spesialis kebidanan, dokter, bidan dan perawat.

  D. Pelayanan Kesehatan Neonatus Pelayanan kesehatan neonatus adalah pelayanan kesehatan sesuai standar yang diberikan oleh tenaga kesehatan yang kompeten kepada neonatus sedikitnya 3 kali, selama periode 0 sampai dengan 28 hari setelah lahir, baik di fasilitas kesehatan maupun melalui kunjungan rumah.

  Pelaksanaan pelayanan kesehatan neonatus : 1.

  Kunjungan Neonatal ke-1 (KN 1) dilakukan pada kurun waktu 6 - 48 Jam setelah lahir.

  2. Kunjungan Neonatal ke-2 (KN 2) dilakukan pada kurun waktu hari ke 3 sampai dengan hari ke 7 setelah lahir.

  3. Kunjungan Neonatal ke-3 (KN 3) dilakukan pada kurun waktu hari ke 8 sampai dengan hari ke 28 setelah lahir.

  Kunjungan neonatal bertujuan untuk meningkatkan akses neonatus terhadap pelayanan kesehatan dasar, mengetahui sedini mungkin bila terdapat kelainan/masalah kesehatan pada neonatus. Risiko terbesar kematian neonatus terjadi pada 24 jam pertama kehidupan, minggu pertama dan bulan pertama Kesehatan Neonatal dasar dilakukan secara komprehensif dengan melakukan pemeriksaan dan perawatan Bayi baru Lahir dan pemeriksaan menggunakan pendekatan Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM) untuk memastikan bayi dalam keadaan sehat.

  E.

  Deteksi Dini Faktor Risiko dan Komplikasi Kebidanan dan Neonatus Oleh Tenaga Kesehatan Maupun Masyarakat.

  Deteksi dini kehamilan dengan faktor risiko adalah kegiatan yang dilakukan untuk menemukan ibu hamil yang mempunyai faktor risiko dan komplikasi kebidanan. Kehamilan merupakan proses reproduksi yang normal , tetapi tetap mempunyai risiko untuk terjadinya komplikasi. Oleh karenanya deteksi dini oleh tenaga kesehatan dan masyarakat tentang adanya faktor risiko dan komplikasi, serta penanganan yang adekuat sedini mungkin, merupakan kunci keberhasilan dalam penurunan angka kematian ibu dan bayi yang dilahirkannya (Kemenkes RI, 2010).

2.3.2.2 Indikator KIA

  A. Akses Pelayanan Antenatal (cakupan K1) Adalah cakupan ibu hamil yang pertama kali mendapat pelayanan antenatal oleh tenaga kesehatan di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.

  Indikator akses ini digunakan untuk mengetahui jangkauan pelayanan antena tal serta kemampuan program dalam menggerakkan masyarakat.

  Adalah cakupan ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal sesuai dengan standar, paling sedikit empat kali dengan distribusi waktu 1 kali pada trimester ke-1, 1 kali pada trimester ke-2 dan 2 kali pada trimester ke-3 disuatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.

  Dengan indikator ini dapat diketahui cakupan pelayanan antenatal secara lengkap (memenuhi standar pelayanan dan menepati waktu yang ditetapkan), yang menggambarkan tingkat perlindungan ibu hamil di suatu wilayah, di samping menggambarkan kemampuan manajemen ataupun kelangsungan program KIA.

  C. Cakupan Persalinan oleh tenaga kesehatan Adalah cakupan ibu bersalin yang mendapat pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan, di suatu wilayah kerja dalam kurun waktu tertentu.

  Dengan indikator ini dapat diperkirakan proporsi persalinan yang ditangani oleh tenaga kesehatan dan ini menggambarkan kemampuan mana jemen program KIA dalam pertolongan persalinan sesuai standar.

  D. Cakupan pelayanan nifas oleh tenaga kesehatan (KF3) Adalah cakupan pelayanan kepada ibu pada masa 6 jam sampai dengan 42 hari pasca bersalin sesuai standar paling sedikit 3 kali dengan distribusi waktu 6 jam s/d hari ke-3 (KF1), hari ke-4 s/d hari ke-28 (KF2) dan hari ke-29 s/d hari ke- 42 (KF3) setelah bersalin di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. untuk menjaring KB Pasca Persalinan), yang menggambarkan jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan ibu nifas, Keluarga Berencana di samping menggambarkan kemampuan manajemen ataupun kelangsungan program KIA.

  E. Cakupan Pelayanan Neonatus Pertama (KN 1) Adalah cakupan neonatus yang mendapatkan pelayanan sesuai standar pada 6 - 48 jam setelah lahir di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.

  Dengan indikator ini dapat diketahui akses/jangkauan pelayanan kesehatan neonatal.

  F. Cakupan Pelayanan Kesehatan Neonatus 0 - 28 hari (KN Lengkap).

  Adalah cakupan neonatus yang mendapatkan pelayanan sesuai standar paling sedikit tiga kali dengan distribusi waktu 1 kali pada 6 - 48 jam, 1 kali pada hari ke 3 hari ke 7 dan 1 kali pada hari ke 8 hari ke 28 setelah lahir disuatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.

  Dengan indikator ini dapat diketahui efektifitas dan kualitas pelayanan kesehatan neonatal (Kemenkes RI, 2010).

2.4 Kerangka Konsep

  Berdasarkan latar belakang permasalahan dan tujuan penelitian maka dapat digambarkan kerangka konsep penelitian sebagai berikut Variabel Independen Variabel Dependen Faktor Individu : a.

  Umur b. Masa Kerja c. Kemampuan

  Kinerja Petugas KIA Faktor Psikologis :

  Dalam Pelayanan Sikap

  Kesehatan Ibu Beban Kerja

Dokumen yang terkait

Determinan Kinerja Petugas Kesehatan Ibu Dan Anak (KIA) Di Puskesmas Kota MedanTahun 2014

0 59 100

Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Petugas Kesehatan Ibu Dan Anak (KIA) Dalam Pengelolaan Data Di Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang

1 38 202

Pengaruh Sumber Daya Organisasi Puskesmas Terhadap Kinerja Petugas Surveilans Epidemiologi Dalam Pelaporan Kesehatan Ibu Dan Anak (KIA) Di Kabupaten Bireuen

7 93 148

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Menstruasi 2.1.1. Definisi Menstruasi - Gambaran Pola Menstruasi pada Siswi SMA As-Syafi’iyah Medan Tahun 2014

0 0 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori tentang Kinerja Keuangan 2.1.1. Pengertian Kinerja Keuangan - Analisis Pengaruh Kinerja Keuangan dan Risiko Sistematis Terhadap Harga Saham Perbankan Di Bursa Efek Indonesia

0 0 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kinerja 2.1.1. Pengertian Kinerja - Hubungan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Petugas KIA di Puskesmas Kota Binjai Tahun 2015

0 0 25

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) - Determinan Pemanfaatan Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) pada Ibu Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Balige Kabupaten Toba Samosir Tahun 2013

0 3 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kinerja Karyawan 2.1.1.Pengertian Kinerja Karyawan - Pengaruh Stress Kerja dan Motivasi Kerja terhadap Kinerja Karyawan PT. SMART Tbk

0 12 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Implementasi Kebijakan 2.1.1. Definisi Implementasi Kebijakan - Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (Jkn) Di Puskesmas Tanjung Tiram Kabupaten Batu Bara Tahun 2014

0 0 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tuberkulosis 2.1.1. Definisi Tuberkulosis - Gambaran Peran Serta Petugas Kesehatan Terhadap Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di Kelurahan Gambir Baru Kecamatan Kisaran Timur Tahun 2014

0 0 27