BAB II TINJAUAN MENGENAI KONTRAK SECARA UMUM A. Pengertian kontrak - Tinjauan Yuridis Tentang Pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi Proyek Pembangunan Jalan (Studi Pada Dinas TaTa Ruang dan Pemukiman Kabupaten Toba Samosir Dengan CV. Ventus)

BAB II TINJAUAN MENGENAI KONTRAK SECARA UMUM A. Pengertian kontrak Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, yakni “contract” yang

  bermakna perjanjian. Dalam bahasan belanda kontrak dikenal dengan kata

  

“overeenkomst” (persetujuan) juga bermakna sama dengan kontrak yaitu

  perjanjian. Secara etimologis, perjanjian dapat diartikan dimana seorang atau

  13

  lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang atau lebih, sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat

  14 akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.

  Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan suatu kontrak atau perjanjian dapat diartikan sebagai “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

  Menurut para sarjana rumusan Pasal 1313KUHPerdata di atasmemiliki

banyak kelemahan. Abdul Kadir Muhammad menyatakan kelemahan-

kelemahanPasal 1313 KUH Perdata adalah sebagai berikut : 1.

  Hanya menyangkut sepihak saja Hal tersebut dapat diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Kata “mengikatkan” sifatnya hanya 13 14 Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Aneka, Semarang, 1977, Hal. 248.

  W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Jakarta, 2004, Hal. 402.

  

datang dari satu pihak saja, tidak dari dua pihak. Seharusnya dirumuskan “saling

mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara pihak-pihak.

  2. Kata “perbuatan” mencakup juga tanpa konsensus

Pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpakuasa,

tindakan melawan hukum yang tidak mengandung konsensus. Seharusnya dipakai kata persetujuan.

  3. Pengertian perjanjian terlalu luas

Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut terlalu luas karena mencakup juga

pelangsungan kawin, janji kawin yang diatur dalam lapangan hukum keluarga.

  4. Tanpa menyebut tujuan

Dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan

perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.

  15 R. Setiawan berpendapat bahwa definisi perjanjian dalam Pasal 1313

KUHPerdata tersebut selain belum lengkap juga terlalu luas. Belum lengkapnya

definisi tersebut karena hanya menyebutkan perjanjian sepihak saja, terlalu luas

karena dipergunakan kata “perbuatan” yang juga mencakup perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, maka definisi perjanjian perlu diperbaiki menjadi perbuatan tersebut harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum, dan menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 KUHPerdata.

  16 Pengertian yang lengkap dan sempurna mengenai pengertian atau definisidari

perjanjian sangatlah sulit untuk kita dapatkan karena masing-masing sarjana

mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Untuk mempermudah dan

  15 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, Hal. 78. 16 R.Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 2003, Hal.49. mengetahuipengertian perjanjian maka para sarjana mengemukakan pendapat sebagai berikut:

  Menurut R. Subekti,“Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanjikepada orang lain, atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk

  17 melaksanakan sesuatu”.

  Menurut Sudikno Mertokusumo,“Perjanjian adalah sebagai hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat 18 hukum”.

  Wirdjono Prodjodikoromengartikan perjanjian sebagai suatu hubunganhukum mengenai harta benda antar kedua belah pihak, dalam mana suatu pihakberjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal,

  19 sedangkan pihaklain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.

  Menurut K.R.M.T Tirtodiningrat yang dikutip oleh Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian adalah “suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum

  20

  yang diperkenankan oleh undang-undang.” Berdasarkan beberapa rumusan di atas, dapat diketahui bahwa perjanjian adalah sumber utama dan yang terpenting untuk melahirkan perikatan. Dimana terdapat berbagai unsur-unsur yang penting dari suatu perjanjian yang melahirkan perikatan, unsur-unsur tersebut adalah: 17 R. Subekti (1), Hukum Perjanjian, Intermassa, Jakarta, 1990, Hal. 29. 18 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996, Hal. 96.

  19Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2011, Hal. 9. 20 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, Hal. 6.

  1. Adanya hubungan hukum Hubungan hukum adalah hubungan yang terhadapnya hukum melekatkan hak pada satu pihak dan melekatkan kewajiban pada pihak lannya. Apabila satu pihak tidak mengindahkan ataupun melanggar hubungan tersebuit dan salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, maka hukum memaksakan agar kewajiban tadi dipenuhi.

  2. Kekayaan Kriteria yang dimaksud adalah ukuran-ukuran yang dipergunakan terhadap suatu hubungan hukum, dapat dinilai dengan uang atau tidak. Apabila hubungan hukum itu dapat dinilai dengan uang, maka hubungan hukum tersebut merupakan suatu perikatan. Kriteria itu semakin lama semakin sukar untuk dipertahankan keberadaannya, karena di dalam masyarakat terdapat juga hubungan hukum yang tidak dapat dinilai dengan uang. Namun kalau terhadapnya tidak diberikan akibat hukum, rasa keadilan tidak akan dipenuhi, sehingga hal pun ini bertentangan dengan salah satu tujuan dari pada hukum yaitu mencapai keadilan. Oleh karena itu, sekarang kriteria di atas tidak lagi dipertahankan sebagai kriteria, maka ditentukan bahwa sekalipun suatu hubungan hukum itu tidak dapat dinilai dengan uang, tetapi kalau masyarakat atau rasa keadilan menghendaki agar suatu hubungan itu diberi akibat hukum, maka hukumpun akan melekatkan akibat hukum pada hubungan tadi sebagai

  21 suatu perikatan.

  3. Pihak-pihak Hubungan hukum itu terjadi antara dua orang atau lebih pihak yang berhak atas prestasi, pihak yang aktif adalah kreditur atau yang berpiutang dan pihak yang wajib memenuhi prestasi, pihak pasif adalah debitur atau yang berutang. Inilah yang disebut subjek perikatan.

  4. Prestasi (objek hukum)

  Pasal 1234 KUHPerdata:”tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Keempat unsur tersebut akan mewujudkan suatu perjanjian yang mewujudkan suatu perjanjian yang melahirkan perikatan, dimana terdapat hubungan- hubungan hukum yang terjadi atas diri dan harta kekayaan para pihak yang mengadakan perjanjian. Jadi jelasnya bahwa perjanjian itu merupakan sumber perikatan yang terpenting. Perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang dibentuk menurut undang-undang di luar kemauan para pihak yang bersangkutan. Apabila dua pihak mengadakan suatu suatu perjanjian maka mereka bermaksud supaya antara mereka berlaku suatu perhubungan hukum, yang sesungguhnya para 21 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, Hal. 27. pihak yang membuat perjanjian tersebut terikat satu sama lain karena janji- janji yang telah diberikan.

B. Syarat sahnya kontrak

  Secara umum, kontrak lahir pada saat tercapainya kesepakatan diantara para pihak mengenai hal pokok atau unsur esensial dari kontrak tersebut.

  Meskipun suatu kontrak lahir pada saat terjadinya kesepakatan mengenai hal pokok dalam kontrak tersebut, akan tetapi agar suatu kontrak dianggap sah oleh hukum sehingga mengikat kedua belah pihak maka kontrak tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu.

  Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya perjanjian harus memenuhi empat syarat, yaitu :

1. Adanya kata sepakat dari para pihak 2.

  Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian 3. Mengenai suatu hal yang tertentu 4. Adanya suatu sebab yang halal

  Syarat tersebutadalah esensi dari suatu perjanjian yang berarti tanpa syarat- syarat tersebut, perjanjian atau kontrak dianggap tidak pernah ada.

  Keempat syarat itu dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu syarat subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektif merupakansyarat yang menyangkut subjek dari perjanjian itu, yang harus dipenuhi oleh para pihak yaitu apakah orang itu telah sepakat untuk membuat perjanjian dan atau juga cakap membuat perjanjian.Syarat objektif merupakansyarat-syarat yang menyangkut pada objek perjanjian yang meliputi suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.

  Berikut ini dapat dijelaskan syarat-syarat sahnya perjanjian, yaitu sebagai berikut: a.

  Adanya kata sepakat dari para pihak.

  Dengan diberlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya cacat bagi

  22

  perwujudan kehendak tersebut. Suatu kesepakatan atas suatu hal diawali dengan adanya unsur penawaran penerimaan atau offer-acceptance antara pihak-pihak dan akhirnya terjadilah suatu kesepakatan. Antara pihak yang mengadakan suatu kontrak atau perjanjian harus ada kesepakatan artinya bahwa kedua belah pihak harus menyetujui tentang prestasi dan benda yang menjadi objek perjanjian atau kontrak dan tentang syarat-syarat yang berlaku bagi kontrak tersebut. Adapun yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih maupun badan hukum dengan pihak lainnya dan yang dimaksud “sesuai” tersebut adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat atau diketahui oleh orang lain.

  Berpedoman kepada ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata yang menjelaskan tidak dianggap sah suatu persetujuan jika izin kesepakatan tersebut diberikan karena kekhilafan, diperoleh dengan paksaan atau 22 Ibid. , Hal. 73. penipuan. Mengenai kekhilafan, yang dapat dibatalkan harus mengenai objek atau prestasi yang dikehendaki. Salah pengertian mengenai orangnya tidak menyebabkan persetujuan dapat batal (Pasal 1322 KUHPerdata). Mengenai paksaan yang dapat melenyapkan perizinan dalam persetujuan adalah paksaan fisik yang bersifat “vis absoluta”. Paksaan itu sifatnya mutlak atau absolut yang menyebabkan seseorang terpaksa mengikuti kehendak orang yang memaksakannya. Paksaan mengakibatkan batalnya persetujuan juga bila paksaan tersebut dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam persetujuan (Pasal 1324 KUHPerdata). Tentang penipuan adalah apabila perizinan yang diberikannya dalam persetujuan diperoleh dengan jalan penipuan, hal itu juga mengakibatkan perizinan dalam persetujuan tersebut tidak ada. Penipuan ini harus berupa tipu muslihat (Pasal 1328 KUHPerdata).

  Konsekuensi hukum jika syarat kesepakatan kehendak ini tidak terpenuhi akan mengakibatkan bahwa kontrak bersangkutan “dapat

  23

  dibatalkan” bukan “batal demi hukum” (nietige, null and void). Suatu perikatan dapat batal demi hukum diatur dengan Pasal 1446 KUHPerdata yang berbunyi “semua perikatan yang dibuat oleh orang-orang belum dewasa atau orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan, adalah batal demi hukum, dan atas penuntutan yang diajukan oleh atau dari pihak mereka, haruslah dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya. Perikatan yang dibuat oleh orang-orang perempuan yang 23 Munir Faudy, Op.Cit., Hal. 35. bersuami dan oleh orang-orang belum dewasa telah mendapat pernyataan persamaan dengan orang dewasa, hanyalah batal demi hukum, sekedar perikatan-perikatan tersebut melampaui kekuasaan mereka”.

  b.

  Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.

  Kecapakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Subjek yang dianggap memiliki kecakapan memberikan persetujuan ialah orang yang mampu melakukan tindakan hukum. Menurut Pasal 1329 KUHPerdata: “setiap orang ialah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”.

  Pasal 1330 KUHPerdata: Tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah: 1)

  Orang-orang belum dewasa 2)

  Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan 3)

  Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang- undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang, membuat persetujuan-persetujuan tertentu.Umumnya orang yang mampu melakukan tindakan hukum ialah orang dewasa yang waras akal budinya, bukan orang yang sedang berada di bawah pengampuan maupun curatele dan anak di bawah umur.

  Orang-orang dewasa atau di bawah umur hal ini dapat dilihat dalam

  Pasal 330 KUHPerdata “ belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur 21 tahun dan tidak lebih dahulu kawin dan apabila perkawinannya bubar sedangkan belum genap 21 tahun mereka tetap dianggap belum dewasa”. Selain dalam Pasal 330 KUHPerdata hukum adat dan juga Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga mengatur tentang kedewasaan. Kedewasaan menurut hukum adat didasarkan atas ukuran yang disesuaikan dengan kenyataan yaitu apabila seseorang telah berkeluarga. Jadi prinsip kedewasaan seperti hal ini lebih sesuai dengan kepatuhan karena didasarkan atas keadaan yang nyata yaitu bahwa orang itu benar-benar sudah mandiri dan dianggap mengerti atau telah cukup mempunyai kemampuan untuk mengerti konsekuensi dari perbuatannya namun dengan berpegang teguh pada patokan ini kepastian hukumnya masih kurang.

  Pengampuan adalah suatu keadaan dimana orang dewasa yang oleh karena sifat-sifat pribadinya, dianggap tidak cakap untuk bertindak sendiri dalam lalu lintas hukum (Pasal 433 KUHPerdata).Macam-macam pengampuan dalam Pasal 433 KUHPerdata terdiri dari: imbisil (tolol, dungu, bodoh), lemah daya atau lemah piker, sakit otak/sakit ingatan atau mata gelap, pemboros (berperilaku buruk).

  Mengenai hal wanita yang telah bersuami untuk mengadakan suatu perjanjian ia memerlukan bantuan atau izin dari suaminya hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 108 KUHPerdata, akan tetapi sejak keluarnya SEMA Nomor 3 Tahun 1963 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia tentang kedudukan seorang wanita diangkat derajatnya sama dengan laki-laki sehingga untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap pengadilan ia tidak memerlukan bantuan suaminya lagi, maka dengan adanya SEMA Nomor 3 Tahun 1963 maka Pasal 108 KUHPerdata dinyatakan tidak berlaku lagi.

  c.

  Mengenai suatu hal yang tertentu.

  Objek perjanjian haruslah tertentu sebab apabila tidak tertentu, yaitu tidak jelas jenisnya dan tidak tentu jumlahnya, perjanjian yang demikian adalah

  24

  tidak sah. Oleh karena itu masalah jumlah atau quantity barang yang

  25

  diperjanjikan dianggap penting untuk dicermati. Untuk menentukan barang yang menjadi objek perjanjian, dapat dipergunakan berbagai cara seperti menghitung, menimbang, mengukur atau menakar. Jadi objek tersebut harus tertentu, sekurang-kurang jenisnya dapat ditentukan baik hal itu mengenai benda yang berwujud ataupun yang tidak berwujud, seperti yang dijumpai dalam persetujuan perburuhan, penjaminan ataupun pemberian kuasa. Objek itu dapat juga berupa:

  1) Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan

  Pasal 1332 KUHPerdata: “hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian” 2)

  Barang-barang yang dapat dipergunakan untuk kepentingan umum antara lain: seperti jalan umum, pelabuhan umum, gedung-gedung 24 umum, dan sebagainya tidaklah dapat dijadikan objek perjanjian.

  Ray I.G Wijaya, Merancang Suatu Kontrak : Contract Drafting, Kesaint Blanc, Jakarta, 2008, Hal. 49. 25 Suharnoko,Hukum Perjanjian : Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Jakarta, 2004, Hal.

  17.

  3) Dapat ditentukan jenisnya.

  Pasal 1333 KUHPerdata: “suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”.

  4) Barang yang akan datang.

  Pasal 1334 KUHPerdata:”barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun meminta diperjanjikan sesuatu hal mengenai warisan itu, sekalipun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu”.

  d.

  Adanya suatu sebab yang halal.

  Sebab atau kausa yang dimaksudkan disini menunjuk pada adanya hubungan tujuan, yaitu apa yang menjadi tujuan para pihak untuk menutup kontrak, atau apa yang hendak dicapai para pihak pada saat penutupan

  26

  kontrak. Suatu perjanjian harus memuat suatu kausa yang diperbolehkan atau legal (geoorloofde oorzak). Suatu sebab yang halal atau kausa yang diperbolehkan ialah isi dan tujuan. Pesetujuan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kepentingan umum dan kesusilaan. 26 Agus Yudha Harnoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana, Jakarta, 2010, Hal. 194.

  Menurut Pasal 1335 KUHPerdata dikatakan suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan. Dan suatu sebab adalah terlarang jika sebab itu dilarang oleh undang-undang dan bertentangan dengan ketertiban umum dan atau kesusilaan (Pasal 1337 KUHPerdata). Konsekuensi yuridis apabila syarat sebab yang legal dalam suatu kontrak sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 1320 KUHPerdata tidak dipenuhi, konsekuensi hukumnya adalah bahwa kontrak yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum, dengan perkataan lain, suatu kontrak tanpa suatu kausa yang legal akan merupakan kontrak yang batal demi hukum.

C. Subjek hukum dalam kontrak

  Perjanjian timbul disebabkan oleh adanya hubungan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih. Pendukung hukum perjanjian sekurang-kurangnya harus ada dua orang tertentu, misalnya orang itu menduduki tempat yang berbeda, satu orang menjadi pihak kreditur, dan yang seorang lagi sebagai pihak debitur.

  Kreditur dan debitur itulah yang menjadi subjek perjanjian. Kreditur mempunyai

  27 hak atas prestasi dan debitur wajib memenuhi pelaksanaan prestasi.

  Subjek hukum dalam perjanjian adalah pihak-pihak yang telah terikat dengan diadakannya perjanjian. Pasal 1315 KUHPerdata mengatakan pada umummnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri. KUHPerdata 27 J. Satrio, Op.Cit.,Hal. 2. membedakan tiga golongan subjek perjanjian (pihak-pihak yang terkait dengan diadakannya perjanjian) yaitu:

1. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri; 2.

  Para hali waris dan mereka yang mendapatkan hak padanya; 3. Pihak ketiga.

  28 Dalam Pasal 1340 dikatakan persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang

  membuatnya dan persetujuan-persetujuan itu tidak dapat membawa rugi kepada pihak ketiga dan tidak dapat memberi keuntungan kepada pihak ketiga, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317 KUHPerdata. Pasal 1317 KUHPerdata menyatakan diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna untuk kepentingan pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian untuk orang lain, memuat syarat yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya.

  Subyek hukum berasal dari terjemahan rechtsubject atau law of subject. Pada umumnya kedua istilah ini dirtikan sebagai pendukung/pengemban hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum.Subjek hukum dalam perjanjian adalah manusia(natuurlijk persoon) dan badan hokum(rechts persoon).Keduanya memiliki perbedaan yaitu manusia menjadi subjek hukum sejak dia dilahirkan, sedangkan badan hukum menjadi subjek hukum pada saat benda itu telah didaftarkan dan benda tersebut tidak bernyawa seperti manusia. 28 Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, Hal. 70.

D. Jenis-jenis kontrak

  Sebelum berbicara mengenai jenis-jenis kontrak, akan diuraikan terlebih dahulu mengenai bentuk kontrak. Dalam KUHPerdata perjanjian itu tidak tercakup dalam satu pasal saja, akan tetapi terdapat dalam banyak pasal. Kontrak dapat dibuat secara tertulis dan secara lisan dan jika dibuat secara tertulis maka ini bersifat sebagai alat bukti apabila terjadi perselisihan. Hal ini dibuat berdasarkan atas kesepakatan para pihak yang saling mengikatkan diri. Menurut Pasal 1234 KUHPerdata, perjanjian menurut sifatnya dapat dibagi atas:

  a. perjanjian untuk memberikan sesuatu

  b. perjanjian untuk berbuat sesuatu c. perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.

  Berdasarkan jenisnya, kontrak dapat dibedakan dalam beberapa jenis, yaitu: 1. Perjanjian timbal balik atau perjanjian sepihak.

  Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban dan hak bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli dan perjanjian pemborongan. Dibedakan menjadi dua macam yaitu perjanjian timbal balik sempurna dan perjanjian sepihak. Perjanjian timbal balik sempurna menimbulkan kewajiban pokok bagi satu pihak sedangkan lainnya wajib melakukan sesuatu. Sedangkan perjanjian sepihak merupakan perjanjian yang

  29 selalu menimbulkan kewajiban hanya bagi satu pihak.

  2. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban.

  Penggolongan ini didasarkan pada keuntungan salah satu pihak dan adanya

  30 prestasi dari pihak lainnya.

  Pasal 1314 KUHPerdata: Suatu persetujuan dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban, suatu persetujuan cuma-cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Perbuatan cuma-cuma terjadi menunjukkan adanya sutu prestasi tanpa dibarengi kontra prestasi. Pihak yang memberikan prestasi tidak mengharapkan prestasi imbalan dari pihak lainnya. Misalnya hibah.

  Perjanjian atas beban adalah perjanjian terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. Misalnya A berjanji akan menyanggupi memberikan sejumlah barang kepada si B dengan syarat si B bersedia memindahkan satu barang dari satu tempat ke tempat yang lain.

  3. Perjanjian bernama (benoemd overeenkomst).

  Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUHPerdata. 29 Salim, HS (1),Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, Hal. 20. 30 Ibid.

4. Perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomst).

  Di luar perjanjian bernama, terdapat juga perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian yang tidak diatur di dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, seperti perjanjian kerja sama, perjanjian pemasaran, dan perjanjian pengelolaan. Lahirnya perjanjian ini didalam prakteknya adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak, mengadakan perjanjian atau partij otonomi. Tentang perjanjian tidak bernama diatur dalam Pasal 1319 KUHPerdata, yaitu yang berbunyi semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain.

5. Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligatoir.

  Perjanjian kebendaan yaitu perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban pihak itu untuk meyerahkan benda tersebut kepada pihak lain. Misalnya jual beli untuk beralihnya hak milik atas benda yang diperjualbelikan diperlukan adanya penyerahan. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian antara pihak- pihak yang sepakat, mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain. Dalam contoh diatas perjanjian jual beli itu dinamakan perjanjian obligatoir karena membebankan para pihak untuk melakukan penyerahan, sedangkan penyerahan itu adalah merupakan perjanjian kebendaan.

6. Perjanjian konsensuil dan perjanjian riil.

  Perjanjian konsensuil adalah perjanjian diantara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Sebagai contoh, dalam jual beli, jual beli dianggap telah terjadi sejak adanya persesuaian harga (Pasal 1458 KUHPerdata).

  Perjanjian riil adalah perjanjian yang dianggap mulai semenjak adanya perbuatan hukum dari apa yang diperjanjikan. Misalnya dalam perjanjian penitipan barang, perjanjian mulai mengikat semenjak seseorang menerima barang sebagai titipan dari orang lain (Pasal 1694 KUHPerdata).

7. Perjanjian yang sifatnya istimewa.

  Perjanjian yang sifatnyaistimewa ada empat macam, yaitu: 1)

  Perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian yang mana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan utang (Pasal 1438 KUHPerdata). 2)

  Perjanjian pembuktian, yaitu para pihak yang menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara pihak-pihak tersebut. 3)

  Perjanjian untung-untungan, yaitu suatu perbuatan yang hasilnya mengenai untung ruginya bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak tergantung pada suatu kejadian yang belum tentu atau objeknya ditentukan kemudian (Pasal 1774 KUHPerdata). 4)

  Perjanjian publik, yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah, dan pihak lainnya adalah swasta. Misalnya perjanjian ikatan

  31 dinas.

E. Berakhirnya kontrak

  Berakhirnya kontrak merupakan selesai atau hapusnya sebuah kontrak yang dibuat antara dua pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur tentang suatu hal. 31 Salim H.S (2), Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata , Raja Grafindo, Jakarta , 2006, Hal. 258. Hapusnya perjanjian berarti semua pernyataan kehendak atau semua hal yang diperjanjikan antara para pihak terhapus. Dengan demikian status para pihak kembali kepada keadaan semula, keadaan sebelum para pihak mengadakan perjanjian, dimana diantara para pihak seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.

  Hapusnya perjanjian sebagai hubungan hukum antara kreditur dan debitur dengan sendirinya akan menghapuskan seluruh perjanjian.

  Adapun cara-cara penghapusan perjanjian menurut Pasal 1381 KUHPerdata, adalah: 1.

  Karena pembayaran.

  Pembayaran adalah pelaksanaan atau pemenuhan perjanjian secara sukarela artinya tidak dengan paksaan. “Dalam hal ini pembayaran yang dimaksud adalah pembayaran dalam arti luas, yang meliputi tidak saja pembayaran berupa uang, melainkan juga penyerahan barang yang dijual oleh penjual. Dengan pernyataan lain, pelaksanaan perjanjian”.

  32 Pada dasarnya pembayaran hanya dapat dilakukan oleh yang

  bersangkutan saja. Namun, Pasal 1382 KUHPerdata menyebutkan bahwa pembayaran dapat dilakukan oleh orang lain. Dengan demikian undang- undang tidak mempersoalkan siapa yang harus membayar akan tetapi yang terpenting adalah utang itu harus dibayar.

  2. Karena penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penyimpanan atau penitipan (konsignasi).

  32 Salim, H.S (3), Hukum Kontrak:Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, Hal. 165.

  Konsignasi adalah suatu cara pembayaran untuk menolong debitur

  dalam hal si kreditur menolak pembayaran. Penawaran pembayaran tunai terjadi bilamana si kreditur menolak pembayaran, maka debitur secara langsung menawarkan konsignasi yakni dengan menitipkan uang atau barang kepada notaris atau panitera. Setelah itu notaris atau panitera membuat perincian barang-barang atau uang yang harus dibayarkan selanjutnya menjumpai kreditur untuk melakukan pembayaran. Jika kreditur menolak maka hal ini dicatat dalam berita acara yang merupakan bukti bahwa kreditur menolak pembayaran yang ditawarkan. Dengan demikian debitur meminta kepada hakim agar konsignasidisahkan. Apabila telah disahkan, maka debitur

  33 terlepas dari kewajibannya dan perjanjian dianggap hapus.

3. Karena pembaharuan utang (novasi).

  Pembaharuan utang adalah peristiwa hukum dalam suatu perikatan diganti dengan perikatan lain. Dalam hal ini para pihak mengadakan suatu perjanjian dengan jalan menghapuskan perjanjian lama dan membuat

  34 perjanjian yang baru.

  Novasi dapat terjadi atas beberapa bentuk sesuai dengan pembaharuan yang dilakukan oleh: a.

  Novasi Objektif Dalam hal ini yang diganti adalah perjanjiannya (objek) sedangkan para pihak tetap.

  b. 33 Novasi Subjektif

  Hartono Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan Dan Hukum Jaminan, Liberti, Yogyakarta, 2001, Hal. 47. 34 Salim, H.S (3), Op.Cit., Hal.166. Dalam hal ini kebalikan dari novasi objektif, dimana objeknya tetap dan yang berubah adalah subjeknya.

  4. Karena kompensasi atau perjumpaan utang.

  Hal ini terjadi apabila para pihak, yaitu kreditur dan debitur saling mempunyai utang dan piutang, maka diadakan perjumpaan utang untuk suatu jumlah yang sama. Hal ini terjadi apabila antara kelompok utang berpokok pada sejumlah uang atau sejumlah barang yang dapat dihabiskan dari jenis yang sama dan yang keduanya dapat ditetapkan serta ditagih seketika. Undang-undang menentukan bahwa kompensasi itu terjadi demi hukum akan tetapi bila dilihat Pasal 1430, Pasal 1432 dan Pasal 1435 KUHPerdata, maka kompensasi menghendaki adanya aktivitas dari pihak-pihak yang berkepentingan.

  5. Karena percampuran utang.

  Percampuran utang terjadi akibat keadaan bersatunya kedudukan debitur dan kreditur pada diri seseorang. Dengan bersatunya kedudukan debitur dan kreditur pada diri seseorang dengan sendirinya menurut hukum telah terjadi percampuran utang sesuai dengan Pasal 1436 KUHPerdata.

  6. Karena pembebasan utang.

  Hal ini terjadi apabila kreditur dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak menghendaki lagi adanya pemenuhan prestasi oleh debitur. Apabila debitur menerima pernyataan kreditur maka berakhirlah perjanjian utang piutang diantara pihak tersebut. Namun demikian pembebasan utang tidak dapat terjadi hanya dengan pernyataan, tetapi untuk adanya kepastian hukum dan agar adanya bukti yang kuat maka pernyataan itu harus merupakan tindakan dari kreditur. Misalnya dengan mengembalikan surat piutang kepada debitur.

  7. Karena musnahnya barang yang terutang.

  Musnahnya barang-barang yang menjadi utang debitur diatur dalam

  Pasal 1444 dan Pasal 1445 KUHPerdata. Debitur wajib membuktikan bahwa musnahnya barang tersebut adalah diluar kesalahannya dan barang itu akan musnah atau hilang juga meskipun di tangan debitur. Jadi dalam hal ini si debitur telah berusaha dengan segala daya upaya untuk menjaga barang tersebut agar tetap berada dalam keadaan semula.

  8. Karena kebatalan atau pembatalan Syarat perjanjian akan hapus apabila ada suatu pembatalan maupun dibatalkan. Pembatalan haruslah dimintakan ataupun batal demi hukum. Karena jika batal demi hukum maka akibatnya perjanjian dianggap tidak pernah ada, sedangkan dalam pembatalan, perjanjian dianggap telah ada, tetapi karena suatu pembatalan maka perjanjian itu hapus dan para pihak

  35 kembali kepada keadaan semula.

  9. Karena berlakunya suatu syarat batal.

  Syarat batal yang dimaksud syarat disini adalah ketentuan isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat mana jika dipenuhi

  36 mengakibatkan perjanjian itu batal sehingga perjanjian itu menjadi lenyap.

  10. Karena lewatnya waktu.

  35 36 Salim,H.S (3), Op.Cit,. Hal. 169.

  Abdul Kadir Muhammad, Op.Cit.,, Hal. 27.

  Lewatnya waktu adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal 1946 KUHPerdata).

  Kesepuluh cara berakhirnya kontrak tersebut tidak disebutkan mana kontrak yang berakhir karena perjanjian maupun karena undang-undang. Berdasarkan hasil kajian terhadap pasal-pasal yang mengatur tentang berakhirnya kontrak, maka kesepuluh cara itu dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu berakhirnya kontrak karena perjanjian dan undang-undang. Yang termasuk ke dalam berakhirnya kontrak karena undang-undang adalah konsignasi, musnahnya barang terutang, dan lewatnya waktu. Sedangkan berakhirnya kontrak karena perjanjian dibagi menjadi tujuh macam, yaitu pembayaran, novasi (pembaruan utang), kompensasi, percampuran utang, pembebasan

  37 utang, kebatalan atau pembatalan dan berlakunya syarat batal.

  Berakhirnya kontrak di dalam pelaksanaannya tidak selamanya selalu berakhir sesuai dengan apa yang telah ditentukan dalam Pasal 1381 KUHPerdata, tetapi juga ditemukan cara-cara lain yang terjadi di dalam praktiknya. Adapun cara berakhirnya kontrak diluar Pasal 1381 KUHPerdata, seperti : 1. Jangka waktu kontrak telah berakhir 2. Dilaksanakan objek perjanjian.

  3. Kesepakatan kedua belah pihak. 37 Salim, H.S (3), Op.Cit., Hal. 165.

  4. Pemutusan kontrak secara sepihak oleh salah satu pihak, dan 5.

  Adanya putusan pengadilan.

  Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berakhirnya kontrak dapat digolongkan menjadi dua belasa macam, yaitu:

  1. Pembayaran, 2.

  Novasi (pembaruan utang), 3. Kompensasi, 4. Pencampuran utang, 5. Pembebasan utang, 6. Kebatalan atau pembatalan, 7. Berlaku syarat batal, 8. Jangka waktu kontrak telah berakhir, 9. Dilaksanakan objek perjanjian, 10.

  Kesepakatan kedua belah pihak, 11. Pemutusan kontrak secara sepihak oleh salah satu pihak, dan 12. Adanya putusan pengadilan.

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Tentang Pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi Proyek Pembangunan Jalan (Studi Pada Dinas TaTa Ruang dan Pemukiman Kabupaten Toba Samosir Dengan CV. Ventus)

6 138 95

Tinjauan Yuridis Tentang Kontrak Konstruksi Antaradisperindag Kab. Asahan Dengan PT. Menara Kharisma Internusa Medan (Study Pada Proyek Pembangunan Pasar Kartini Kisaran)

17 148 105

Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Antara Dinas Pekerjaan Umum KIMPRASWIL Kabupaten Toba Samosir Dengan CV. Bagas Belantara (Studi Kasus Pada CV. Bagas Belantara)

3 106 112

Tinjauan Yuridis tentang Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan (Kontrak) Antara Dinas Penataan Ruang dan Pemukiman Provinsi Sumatera Utara Dengan CV. Rymandho Medan

0 40 102

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONTRAK A. Pengertian Hukum Kontrak - Tinjauan Yuridis Kontrak Penjualan Plywood Antara PT. Mujur Timber Sibolga Dengan Sustainable Timber Direct (Studi Pada PT. Mujur Timber)

0 0 46

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKOPERASIAN DI INDONESIA A. Pengertian Koperasi - Tinjauan Yuridis Tentang Pelaksanaan Bagi Hasil pada Koperasi Pegawai Negeri Kencana II Medan

0 0 50

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian - Tinjauan Hukum Pelaksanaan Perjanjian Jual Beli Tanaman Bibit Karet Antara Cv.Saputro Jaya Agrindo Dengan Masyarakat Petani Di Kabupaten Simalungun

0 0 44

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERUSAHAAN ASURANSI A. Pengertian Perusahaan Asuransi - Tinjauan Yuridis Terhadap Perusahaanasuransi Atas Jaminan Dalam Perjanjian Pemborongan (Studi Penelitian Pada Perusahaan Asuransi Intra Asia Medan)

0 2 31

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKUTAN BARANG A. Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Hukum Pengangkutan A.1. Pengertian Pengangkutan Secara Umum - Pelaksanaan Angkutan Barang Dengan Peti Kemas Ditinjau Dari Aspek Yuridis (Studi pada PT Masaji Tatanan

0 0 26

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONTRAK A. Pengertian dan Asas Hukum Kontrak - Analisis Hukum Terhadap Kontrak Pengadaan Alat-alat Kesehatan Pada Dinas Kesehatan Kota Tanjungbalai

0 0 19