Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Antara Dinas Pekerjaan Umum KIMPRASWIL Kabupaten Toba Samosir Dengan CV. Bagas Belantara (Studi Kasus Pada CV. Bagas Belantara)

(1)

TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN ANTARA DINAS PEKERJAAN UMUM KIMPRASWIL KABUPATEN TOBA SAMOSIR DENGAN CV. BAGAS BELANTARA (STUDI KASUS

PADA CV. BAGAS BELANTARA) SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

OLEH:

NIM: 060200133 SRI WINDA PASARIBU

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN ANTARA DINAS PEKERJAAN UMUM KIMPRASWIL KABUPATEN TOBA SAMOSIR DENGAN CV. BAGAS BELANTARA

(STUDI KASUS PADA CV. BAGAS BELANTARA) SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

OLEH:

SRI WINDA PASARIBU NIM: 060200133

DISETUJUI OLEH,

KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

Prof. Dr.Tan Kamello, S.H, M.S NIP. 196204211988031004

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr.Tan Kamello, S.H, M.S

2010

Zulikifli Sembiring, S.H

NIP. 196204211988031004 NIP. 196101181988031010

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah, kasih dan penyertaanNya yang selalu Penulis terima, termasuk sepanjang proses perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Antara Dinas Pekerjaan Umum KIMPRASWIL Kabupaten Toba Samosir Dengan CV. Bagas Belantara (Studi Kasus Pada CV. Bagas Belantara)”, yang disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperolah gelar sarjana dari Fakultas Hukum Sumatera Utara.

Penulis menyadari adanya keterbatasan dalam pengerjaan skripsi ini. Selama penyusunan skripsi ini, Penulis mendapatkan banyak dukungan, semangat, saran, motivasi dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, S.H,M.S selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai dosen Pembimbing I Penulis yang memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Zulkifli Sembiring, S. H, selaku dosen pembimbing II Penulis yang memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini

4. Orang tua Penulis, buat Bapak J. Pasaribu dan mama N. Panjaitan yang terus mendoakan dan memberi semangat bagi Penulis, memberikan materi


(4)

dan kasih sayang, termasuk dalam proses penyusunan/penyelesaian skripsi ini. Akhirnya, Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Medan, Maret 2010 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Kepustakaan ... 10

F. Metode Penelitian ... 13

G. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian ... 17

B. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian ... 22

C. Subjek Hukum dalam Perjanjian ... 30

D. Jenis-jenis Perjanjian ... 32

E. Berakhirnya Perjanjian ... 36

BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN PEMBORONGAN A. Pengertian Perjanjian Pemborongan ... 42

B. Pengaturan Hukum Mengenai Perjanjian Pemborongan ... 50

C. Perjanjian Pemborongan menurut Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 jo Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2005 ... 53

D. Para Pihak dalam Perjanjian Pemborongan ... 58

E. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Pemborongan ... 70

1. Hak dan Kewajiban Pihak yang Memborongkan ... 71


(6)

b.Kewajiban Pihak yang Memborongkan ... 73

2. Hak dan Kewajiban Pihak Pemborong ... 72

a. Hak Pihak Pemborong ... 72

b. Kewajiban Pihak Pemborong ... 72

F. Berakhirnya Perjanjian Pemborongan ... 74

BAB IV PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN ANTARA DINAS PEKERJAAN UMUM KIMPRASWIL KABUPATEN TOBA SAMOSIR DENGAN CV. BAGAS BELANTARA A. Proses Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan antara Dinas Pekerjaan Umum KIMPRASWIL Kabupaten Toba Samosir dengan CV. Bagas Belantara ... 78

1. Proses Pembuatan Perjanjian Pemborongan ... 78

2. Tahap Pelaksanaan Kontrak ... 88

3. Pra Kontrak ... 92

B. Tanggung Jawab Para Pihak dalam Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan ... 94

C. Penyelesaian Perselisihan yang Timbul dalam Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan ... 98

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 100

B. Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 103


(7)

ABSTRAK

Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, pemerintah berusaha menggalakkan pembangunan di segala bidang baik bidang fisik maupun non fisik Salah satu faktor yang mendukung pembangunan adalah dukungan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur yang dimaksud seperti peningkatan transportasi, telekomunikasi, irigasi, sanitasi, perbaikan jalan dan pelabuhan. Pembangunan ini tidak terlepas dari perjanjian kerja antara pemerintah dengan swasta yang akan dituangkan dalam kontrak tertulis yang telah disepakati bersama antara kedua belah pihak Permasalahan yang penulis angkat dalam skripsi ini yaitu bagaimana proses pelakasanaan perjanjian pemborongan apakah telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, tanggung jawab para pihak, dan bagaimana cara penyelesaian perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan.

Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif yang mengelola data-data sekunder dan juga melakukan survey ke lapangan untuk mendapatkan informasi yang dapat membantu dalam penulisan skripsi ini. Sumber data yang dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah bahan hukum primer yaitu Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 jo Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2005, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahan hukum sekunder yaitu penjelasan dari bahan hukum primer, serta bahan hukum tersier. Dengan menggunakan teknik pengumpulan data yaitu penelitian kepustakaan yakni mencari dan mengumpulkan sumber-sumber dan buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang diangkat dalam skripsi ini.

Dalam perjanjian pemborongan antara Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Toba Samosir dengan CV. Bagas Belantara, dapat diketahui proses pembuatan perjanjian pemborongan, pelaksanaan perjanjian yang pada akhirnya pada tahap pra kontrak serta dapat diketahui juga cara menyelesaikan perselisihan apabila terjadi perselisihan. Kesimpulan dari skripsi ini yaitu bahwa perjanjian pemborongan pekerjaan telah memenuhi ketentuan hukum ketentuan hukum yang berlaku, dimana CV. Bagas Belantara telah memenuhi kriteria yang ditentukan sebagai pihak pemborong/ rekanan. Dimana para pihak memiliki tanggung jawabnya masing-masing atas pelaksanaan perjanjian pemborongan. Pihak yang memborongkan bertanggung jawab atas penyediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan, dan perpanjangan waktu apabila terjadi force majeur, dan pihak pemborong bertanggung jawab atas pelaksanaan pemborongan dari mulai penyediaan, penggunaan, dan perawatan barang-barang yang digunakan, membayar denda apabila terjadi kelalaian, menyediakan tenaga kerja dan memberikan pengupahan yang layak. Saran dari skripsi ini adalah pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan harus memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku, melakukan pekerjaan dengan penuh tanggung jawab, dan apabila ada perselisihan yang terjadi dalam pelaksanaan pemborongan agar diselesaikan dengan secara musyawarah tanpa harus di bawa ke pengadilan.


(8)

ABSTRAK

Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, pemerintah berusaha menggalakkan pembangunan di segala bidang baik bidang fisik maupun non fisik Salah satu faktor yang mendukung pembangunan adalah dukungan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur yang dimaksud seperti peningkatan transportasi, telekomunikasi, irigasi, sanitasi, perbaikan jalan dan pelabuhan. Pembangunan ini tidak terlepas dari perjanjian kerja antara pemerintah dengan swasta yang akan dituangkan dalam kontrak tertulis yang telah disepakati bersama antara kedua belah pihak Permasalahan yang penulis angkat dalam skripsi ini yaitu bagaimana proses pelakasanaan perjanjian pemborongan apakah telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, tanggung jawab para pihak, dan bagaimana cara penyelesaian perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan.

Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif yang mengelola data-data sekunder dan juga melakukan survey ke lapangan untuk mendapatkan informasi yang dapat membantu dalam penulisan skripsi ini. Sumber data yang dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah bahan hukum primer yaitu Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 jo Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2005, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahan hukum sekunder yaitu penjelasan dari bahan hukum primer, serta bahan hukum tersier. Dengan menggunakan teknik pengumpulan data yaitu penelitian kepustakaan yakni mencari dan mengumpulkan sumber-sumber dan buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang diangkat dalam skripsi ini.

Dalam perjanjian pemborongan antara Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Toba Samosir dengan CV. Bagas Belantara, dapat diketahui proses pembuatan perjanjian pemborongan, pelaksanaan perjanjian yang pada akhirnya pada tahap pra kontrak serta dapat diketahui juga cara menyelesaikan perselisihan apabila terjadi perselisihan. Kesimpulan dari skripsi ini yaitu bahwa perjanjian pemborongan pekerjaan telah memenuhi ketentuan hukum ketentuan hukum yang berlaku, dimana CV. Bagas Belantara telah memenuhi kriteria yang ditentukan sebagai pihak pemborong/ rekanan. Dimana para pihak memiliki tanggung jawabnya masing-masing atas pelaksanaan perjanjian pemborongan. Pihak yang memborongkan bertanggung jawab atas penyediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan, dan perpanjangan waktu apabila terjadi force majeur, dan pihak pemborong bertanggung jawab atas pelaksanaan pemborongan dari mulai penyediaan, penggunaan, dan perawatan barang-barang yang digunakan, membayar denda apabila terjadi kelalaian, menyediakan tenaga kerja dan memberikan pengupahan yang layak. Saran dari skripsi ini adalah pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan harus memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku, melakukan pekerjaan dengan penuh tanggung jawab, dan apabila ada perselisihan yang terjadi dalam pelaksanaan pemborongan agar diselesaikan dengan secara musyawarah tanpa harus di bawa ke pengadilan.


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, pemerintah berusaha menggalakkan pembangunan di segala bidang baik pembangunan fisik maupaun non fisik

Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh rakyat sebagai peningkatan kesejahteraan lahir dan batin secara adil dan merata. Sebaliknya, berhasilnya pembangunan tergantung partisipasi seluruh rakyat, yang berarti pembangunan harus dilaksanakan secara merata oleh segenap lapisan masyarakat.1

Infrastruktur merupakan komponen dasar perekonomian dan merupakan aspek utama didalam pemerataan pembangunan dan kesejahteraan (Otonomi

Pembangunan di Indonesia sekarang ini menitikberatkan pada pembangunan ekonomi. Berbicara mengenai masalah pembangunan, maka pembangunan dalam suatu negara menyangkut 3 (tiga) hal, yaitu: pembangunan ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi yang menjadi target sasaran, pembangunan lingkungan dengan targetnya adalah keberlangsungan lingkungan , dan pembangunan sosial dengan target mensejahterakan masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, maka salah satu faktor yang juga berperan penting didalam menopang dan mendukung ketiga aspek pembangunan tersebut adalah dukungan infrastuktur.

1

Djumialdji, Hukum Bangunan Dasar-Dasar Hukum dan Proyek dan Sumber Daya Manusia, PT. Rineka Cipta, Yogyakarta, 1996, hal. 1.


(10)

Daerah) didalam kondisi nasional yang beragam. Keberagaman ini merupakan masalah utama yang masih akan dihadapi bangsa Indonesia.2

Langkah-langkah yang dilakukan untuk menuju reformasi dibidang infrastruktur yaitu dengan dilakukan upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan tingkat penyediaan jasa pelayanan infrastruktur itu sendiri. Upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan tingkat pelayanan infrastruktur

Pembangunan infrastruktur yang merupakan salah satu aspek penting dan vital untuk mempercepat proses pembangunan nasional dan juga sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi. Ini mengingat suatu gerak laju dan pertumbuhan ekonomi suatu negara tidak dapat dipisahkan dari ketersediaan infrastruktur seperti transportasi, telekomunikasi, irigasi, sanitasi, energi, perbaikan jalan dan pelabuhan. Oleh karena itu, pembangunan sektor ini menjadi fondasi dari pembangunan ekonomi selanjutnya.

Pembangunan infrastruktur mendapat modal dari pembiayaan infrastruktur yang dapat berasal dari perbankan, dana pensiun, dan dana dari investasi asing. Pembiayaan infrastruktur merupakan kemampuan Bank untuk mendanai proyek pembangunan yang dilakukan melalui proses tender. Menurut pemerintah, proyek-proyek infrastruktur sebagian akan dibiayai secara komersial yaitu pendanaan dari Bank dan investasi swasta. Sementara untuk proyek infrastruktur di daerah terpencil, pemerintah akan menggunakan sebagian dana Anggaran Pandapatan dan Belanja Negara (APBN)/ Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

2


(11)

menghadapi 3 (tiga) hal permasalahan. Pertama, pembangunan sarana dan prasarana tidak mudah karena mencakup penggunaan lahan yang cukup luas, pemanfaatan teknologi tinggi, perencanaan dan implementasi perlu waktu panjang untuk mencapai skala ekonomi yang tertentu. Di lain pihak, kemampuan ekonomi nasional pada saat ini sangat terbatas, baik dana yang berasal dari pemerintah maupun swasta. Kedua, pembangunan sarana dan prasarana merupakan prakondisi bagi berkembangnya kesempatan dan peluang baru diberbagai bidang, peningkatan jumlah penduduk mendorong perlunya tambahan pelayanan sarana dan prasarana. Ketiga, menghadapi persaingan global dan sekaligus memenuhi permintaan masyarakat akan jasa pelayanan sarana dan prasarana.3

Kebijakan pokok yang ditempuh dalam pembangunan infrastruktur adalah kebijakan mempertahankan tingkat jasa pelayanan infrastruktur, kebijakan peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan infrastruktur. Tujuan mempertahankan tingkat jasa pelayanan infrastruktur adalah untuk mempertahankan dan meningkatkan kondisi sarana dan prasarana yang telah ataupun sedang dibangun agar tingkat pelayanannya dapat dipertahankan dan ditingkatkan sesuai dengan kualitas yang memadai, serta tetap dapat dioperasikan dan dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam rangka menunjang sektor-sektor pruduktif. Untuk itu, diprioritaskan infrastruktur yang sudah dibangun ataupun sedang dalam proses pembangunan, diupayakan pemeliharaannya agar nilai ekonomisnya tidak menurun. Sasaran kebijakan ini adalah tersedianya pelayanan jasa infrastruktur yang mampu memenuhi kebutuhan minimum dalam pemulihan

3


(12)

ekonomi, terjaganya kondisi konstruksi maupun peralatan yang belum selesai pembangunan konstruksinya atau belum beroperasi dengan sempurna dan tersedianya data serta informasi bagi landasan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

Untuk mencapai semua sasaran dan tujuan seperti yang disebutkan diatas, maka semua dititikberatkan pada pembangunan sektor ekonomi. Kemudian untuk itu diperlukan sarana dan prasarana untuk menunjang sehingga pembangunan itu memberi hasil yang dapat dinikmati oleh seluruh rakyat sebagai peningkatan kesejahteraan. Sebaliknya, berhasil atau tidaknya pembangunan tersebut tergantung dari partisipasi seluruh rakyat. Berarti pembangunan harus dilaksanakan secara merata oleh oleh segenap lapisan masyarakat seperti yang telah disebutkan di atas kegiatan pembangunan yang dilaksanakan berupa pembangunan infrastruktur seperti pembangunan proyek-proyek sarana dan prasarana yang berwujud pembangunan dan rehabilitasi jalan-jalan , jembatan, pelabuhan, irigasi, perumahan, perkantoran dan sebagainya.4

Dalam pelaksanaan pembangunan proyek-proyek ini, maka akan melibatkan berbagai pihak seperti pemberi pekerjaan (Bouwheer), pemborong (Annemer), perencana, pengawas serta melibatkan pekerja dalam melaksanakan pekerjaan. Di samping itu dalam pelaksanaan pembangunan juga dihadapkan pada peralatan-peralatan yang dibutuhkan dalam proses pengerjaan pembangunan. Oleh karena itu, masing-masing pihak memiliki hubungan hukum yang akan dituang

4


(13)

dalam bentuk perjanjian tertulis yang dikenal dengan perjanjian pemborongan pekerjaan.

Perjanjian pemborongan pekerjaan adalah “suatu perjanjian antara seorang (pihak yang memborongkan pekerjaan) dengan seorang lain (pihak pemborong), dimana pihak pertama menghendaki sesuatu pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lawan, atas pembayaran sejumlah uang sebagai harga pemborongan”.5

Proyek pemborongan yang dilaksanakan oleh pemerintah dilaksanakan dengan cara memborongkan pekerjaan tersebut kepada pihak swasta, karena tidak dapat dilaksanakan oleh pemiliknya sendiri. Dalam rangka pemberian pekerjaan ini, diperlukan hubungan kerja yang menyangkut tentang hukum yaitu perjanjian. Perjanjian kerja erat kaitannya dengan tanggung jawab para pihak dalam pelaksanaan pekerjaan ini. Dari segi hukum perjanjian pemborongan pekerjaan harus tunduk kepada aturan-aturan hukum perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III dan peraturan-peraturan lainnya seperti Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 (Keppres No. 80/ 2003) jo Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2005 (Perpres No. 32/2005) untuk mencegah terjadinya sengketa dikemudian hari, karena adanya kesalahpahaman antara pihak pemberi pekerjaan dengan pihak yang melakukan pekerjaan. Maka kegiatan yang demikian lazimnya dituangkan dalam bentuk perjanjian pemborongan kerja, yang mana dalam hal ini Dinas Pekerjaan Umum KIMPRASWIL Kabupaten Toba Samosir (DPU KIMPRASWIL) bertindak sebagai pihak yang memborongkan

5

R. Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan Kesepuluh, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995. hal. 58.


(14)

sedangkan CV. Bagas Belantara (CV. Bagas) bertindak sebagai pihak yang menerima pemborongan kerja (Annemer) untuk pekerjaan Peningkatan Saluran Irigasi Bondar Sitoman Sosor Pandan sepanjang 75m.

Dalam pelaksanaan proyek pemborongan ini, para pihak yang terlibat tidak boleh mengabaikan akta perjanjian. Pemborong dalam melaksanakan pekerjaannya harus selalu berpatokan pada isi perjanjian yang telah disepakati bersama antara pemborong dengan yang memborongkan, karena apabila terjadi penyimpangan dapat dijadikan alasan untuk menyatakan telah terjadi wanprestasi, dan isi perjanjian harus memperhatikan asas keadilan dan keseimbangan.

Pada masa sekarang ini banyak kontrak yang bermasalah, banyak isi kontrak sifatnya hanya menguntungkan salah satu pihak tanpa memperhatikan hak pihak yang lain, sehingga asas keadilan dan keseimbangan tidak terlihat lagi sehingga hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan apa yang diharapkan kedua belah pihak. Selain itu, dalam proses pekerjaan di lapangan tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati bersama dalam perjanjian, sehingga banyak proyek itu yang berhenti sebelum selesai proses pekerjaannya.

Melihat kejadian seperti di atas, maka diadakanlah penulisan skripsi ini, karena melalui skripsi ini dapat diketahui apakah proses pelaksanaan perjanjian pemborongan perbaikan saluran irigasi bondar sitoman sosor pandan sepanjang 75m telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku atau tidak, apakah proses pelaksanaannya menyimpang dari ketentuan kontrak?. Pihak DPU KIMPRASWIL telah menentukan suatu standar dan kriteria tertentu yang harus


(15)

dipenuhi oleh CV. Bagas selaku pihak pemborong yang dituangkan dalam sebuah kontrak.

B. Perumusan Masalah

Dalam setiap penulisan skripsi tentulah ditemukan yang menjadi permasalahan yang merupakan titik tolak bagi pembahasan nantinya.

Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah proses pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan Peningkatan Saluran Irigasi Bondar Sitoman Sosor Pandan Sepanjang 75m telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku?

2. Bagaimanakah tanggung jawab para pihak dalam melaksanakan perjanjian pemborongan pekerjaan?

3. Bagaimanakah penyelesaian Perselisihan yang timbul dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui proses pelaksanaan pemborongan peningkatan saluran irigasi yang dimulai dari proses pembuatan kontrak , pelaksanaan kontrak sampai pada kontrak atau pemborongan itu selesai (pasca kontrak) dengan memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku.


(16)

b. Untuk mengetahui tanggung jawab bagi para pihak yang terikat dalam perjanjian pemborongan pekerjaan sampai pekerjaan selesai, dan risiko yang dihadapi para pihak dalam pekerjaan peningkatan saluran irigasi. c. Untuk mengetahui cara para pihak untuk menyelesaikan

masalah-masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan.

2. Manfaat Penulisan

Selain dari tujuan penulisan, adapun yang menjadi Manfaat Penulisan yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah:

a. Secara Teoretis

1) Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya.

2) Untuk mengetahui secara konkrit sejauhmana perkembangan mengenai perjanjian pemborongan pekerjaan.

b. Secara Praktis

1) Diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembaca, khususnya mengenai perjanjian pemborongan pekerjaan dan agar masyarakat mengetahui proses perjanjian pemborongan pekerjaan yang terjadi antara DPU KIMPRASWIL dengan CV. Bagas.

2) Dengan adanya penelitian ini dapat memberikan tambahan pengetahuan tentang cara membuat perjanjian pemborongan pekerjaan yang baik dan dapat mengetahui mengenai klausula pokok


(17)

dalam perjanjian pemborongan yang dilakukan oleh DPU KIMPRASWIL dengan CV. Bagas, dan proses pelaksanaan perjanjian pemborongan harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, tanggung jawab para pihak terhadap perjanjian pemborongan, serta mengetahui cara penyelesaian sengketa yang timbul dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan.

Semoga kiranya tulisan ini dapat dijadikan suatu bahan acuan, inventaris dan kepustakaan bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengadakan penulisan lebih lanjut yang lebih mendalam yang berkaitan dengan pemborongan pekerjaan.

D. Keaslian Penulisan

“ TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN ANTARA DINAS PEKERJAAN UMUM KIMPRASWIL KABUPATEN TOBA SAMOSIR DENGAN CV. BAGAS BELANTARA ( STUDI KASUS PADA CV. BAGAS BELANTARA) “.

Yang diangkat menjadi judul skripsi ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyusun melalui referensi buku-buku, media elektronik (internet) sebagai sarana penunjang informasi jaringan perpustakaan terluas, dan studi kasus pada data sekunder yaitu menelaah pada dokemen surat Perjanjian DPU KIMPRASWIL dengan CV. Bagas, dan bahkan dari berbagai pihak. Kalaupun ada judul yang serupa namun materi pembahasan yang dilakukan berbeda dan permasalahan yang diangkat juga berbeda.


(18)

E. Tinjauan Kepustakaan

Dari judul di atas dapat diambil pengertian secara etimologis. Wiryono Prodjodikoro mengemukakan:

Suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara 2 (dua) pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.6

Perjanjian, maksudnya adalah “hubungan hukum yang menyangkut hukum kekayaan antara 2 (dua) orang atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi”.

7

Dinas Pekerjaan Umum KIMPRASWIL Kabupaten Toba Samosir, maksudnya adalah pihak yang mewakili pemerintah dibidang Permukiman dan Perjanjian pemborongan pekerjaan menurut KUHPerdata Buku III Bab 7A bagian Keenam tentang perjanjian pemborongan pekerjaan adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu pemborong mengikatkan diri untuk membuat suatu karya tertentu bagi pihak lain yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu dan dimana pihak yang lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborong dengan bayaran tertentu.

Dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahwa khusus mengenai perjanjian pemborongan pekerjaan hanya diatur dalam 2 (dua) Pasal yaitu Pasal 64 dan Pasal 65 yang menyebutkan perjanjian pemborongan pekerjaan adalah perjanjian antara pemborong dengan pihak yang memborongkan pekerjaan yang memuat hak dan kewajiban para pihak. Dalam perjanjian pemborongan pekerjaan ini ada 3 (subjek) yaitu pemborong, yang memborongkan dan pekerja/ buruh yang melaksanakan pekerjaan.

6

Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Penerbit Sumur, Bandung, 1981, hal. 11.

7


(19)

Prasarana Wilayah Kabupaten Toba Samosir untuk kegiatan rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi bidang yang bertindak sebagai pemberi pekerjaan. CV. Bagas Belantara merupakan sebuah perseroan komanditer yang tidak berbentuk badan hukum yang bertindak sebagai pemborong.

CV atau yang disebut juga persekutuan komanditer menurut Pasal 19 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) adalah suatu bentuk perjanjian kerja sama untuk berusaha bersama antara orang-orang yang bersedia memimpin, mengatur perusahaan serta bertanggung jawab penuh dengan kekayaan pribadinya, dengan orang-orang yang memberikan pinjaman dan tidak bersedia memimpin perusahaan serta bertanggung jawab terbatas pada kekayaan yang diikutsertakan dalam perusahaan itu.

Persekutuan komanditer adalah “bentuk persekutuan yang didirikan oleh seseorang atau lebih sekutu yang merupakan pemberi modal dan bertanggung jawab sebesar modal penyertaannya”.8

Tanggung jawab diartikan sebagai keharusan untuk menanggung dan menjawab atau suatu keharusan untuk menanggung akibat yang ditimbulkan oleh perilaku seseorang dalam rangka menjawab suatu persoalan.9

Risiko adalah “suatu ajaran tentang siapakah yang harus menanggung ganti rugi apabila debitur tidak memenuhi prestasi dalam keadaan force majeur”.

Akibat dari suatu hal yang terjadi itu menimbulkan risiko bagi para pihak.

10

8

http: // pengertiancv. Blogspot. com / 2009/04/ pengertian. CV. Html. Jumat, 05 Maret 2010, Jam. 14.20.

9

http: // pepak. Sabda. Org/ pustaka/ 040420/, diakses tanggal 05 Maret 2010

10

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal.78.


(20)

Sri Redjeki Hartono mengemukakan bahwa:

“Risiko adalah suatu ketidakpastian di masa yang akan datang yang wajib untuk dipikul yang disebabkan suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkandalam perjanjian”.11

“Risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak”.

Selain itu beliau juga mengemukakan:

12

Force majeur atau sering diterjemahkan sebagai keadaan memaksa merupakan keadaan dimana seseorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak. Keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk (lihat Pasal 1244 KUHPerdata).

Risiko itu ada yang timbul karena ada suatu keadaan yang memaksa atau disebut Force majeur yang terjadi di luar kehendak para pihak seperti ada bencana alam, banjir, kebakaran, atau bahkan terjadi peperangan yang dapat menghambat pelaksanaan pekerjaan.

13

“Force majeur mengandung risiko yang tak terduga-duga akan terjadi”. Subanar mengemukakan bahwa

14

Setiap risiko yang terjadi harus di tanggung oleh pihak yang bersangkutan. Namun dalam pelaksanaan tanggung jawab atas risiko tersebut sering menimbulkan permasalahan karena ada pihak tertentu merasa bahwa terdapat

11

Sri Redjeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hal. 62

12

R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Bandung, 1982, hal. 59.

13

http: // www. Damandiri/ or. Id/ file/ arirahmathakimundip bab 2. Pdf, diakses tanggal 05 Maret 2010.

14


(21)

ketidakseimbangan atas pertanggungjawaban tersebut. Sehingga permasalahan tersebut mengakibatkan proses pelaksanaan pekerjaan terganggu. Dan setiap permasalahan/ perselisihan yang terjadi dituntut penyelesaiannya.

Salim HS mengemukakan :

Penyelesaian perselisihan dapat ditempuh melalui 2 (dua) cara yaitu melalui litigasi dan non litigasi. Litigasi diartikan sebagai proses administrasi dan peradilan yang memerlukan jangka waktu yang panjang. Sedangkan non litigasi adalah penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara musyawarah, mediasi, konsiliasi dan arbitrase.15

F. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, digunakan metode pengumpulan data dan bahan-bahan yang berkaitan dengan materi skripsi ini. Dengan maksud agar tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan nilai ilmiahnya, maka diusahakan memperoleh dan mengumpulkan data-data dengan mempergunakan metode sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Digunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengelola dan mempergunakan data sekunder. Namun dalam penelitian hukum deskriptif yang dimaksudkan penelitian itu juga termasuk dilakukannya survey ke lapangan untuk mendapatkan informasi yang dapat membantu.

2. Sumber data

Sumber data yang dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder meliputi:

15

Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata, Buku Dua, PT. RajaGrafindo Persada Jakarta, 2008, hal. 198.


(22)

a. Bahan hukum primer

Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan didapat dari peraturan perundang-undangan yaitu Keputusan Presiden nomor 80 Tahun 2003, Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2005, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b. Bahan hukum sekunder

Yaitu bahan dari buku hukum yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti hasil penelitian dan pendapat dari pakar hukum. c. Bahan hukum tersier

Yaitu bahan yang memberikan petunjuk, maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum.

3. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara: a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Dalam hal ini penulis mencari dan mengumpulkan serta mempelajari data dengan melakukan penelitian atas sumber-sumber atau bahan-bahan tertulis berupa buku-buku karangan pasa sarjana dan ahli hukum yang bersifat teoretis ilmiah yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini.

b. Penelitian Lapangan (Field Research) dalam bentuk studi kasus

Penulis melakukan studi kasus terhadap permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan, sebagai melengkapi bahan yang diperoleh dalam penelitian kepustakaan di atas.


(23)

G.Sistematika Penulisan

Pembahasan secara sistematis sangat diperlukan dalam penulisan karya tulis ilmiah. Untuk memudahkan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab per bab yang saling berhubungan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Berisikan pendahuluan yang merupakan suatu pengantar dari pembahasan selanjutnya yang terdiri dari 7 (tujuh) sub bab yaitu: Latar Belakang Penulisan, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJAJIAN

Sebagai dasar dari uraian yang dalam bab ini dibagi dalam 5 (lima) sub bab yaitu: Pengertian Perjanjian, Syarat-Syarat Perjanjian, Subjek Hukum dalam Perjanjian, Jenis-Jenis Perjanjian, dan Berakhirnya Perjanjian.

BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN PEMBORONGAN

Bab ini terdiri dari 6 (enam) sub bab yaitu: Pengertian Perjanjian Pemborongan, Pengaturan Hukum mengenai Perjanjian Pemborongan, Perjanjian Pemborongan Menurut Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 jo Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2005, Para Pihak dalam Perjanjian Pemborongan, Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Pemborongan, dan Berakhirnya Perjanjian Pemborongan.


(24)

BAB IV PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN ANTARA DINAS PEKERJAAN UMUM KIMPRASWIL KABUPATEN TOBA SAMOSIR DENGAN CV. BAGAS BELANTARA ( STUDI KASUS PADA CV. BAGAS BELANTARA) “.

Terdiri dari 3 (tiga) sub bab yaitu: Proses Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Peningkatan Saluran Irigasi Bondar Sitoman Sosor Pandan Sepanjang 75m, Tanggung Jawab Para Pihak dalam Melaksanakan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan, dan Penyelesaian Perselisihan yang Timbul dalam Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dan saran merupakan penutup dalam skripsi ini, dalam hal ini penulis menyimpulkan pembahasan-pembahasan sebelumnya dan dilengkapi dengan saran-saran. Bab ini terdiri dari 2 (dua) sub bab yaitu Kesimpulan dan Saran.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN.


(25)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN

Menurut kodratnya manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain, karena manusia disebut sebagai zoon politicon yang mana manusia selalu hidup bersama dan berkelompok. Dikatakan manusia sebagai makhluk sosial karena ia tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Manusia itu tidak dapat mencapai segala sesuatu yang diinginkan dengan mudah tanpa bantuan dari orang lain.

Dalam kehidupan sehari-hari, antara sesama anggota masyarakat saling mangadakan hubungan yang tidak terlepas dari perjanjian, satu dengan yang lainnya saling berjanji tentang sesuatu hal yang diatur oleh hukum. Hukum yang mengatur tentang perjanjian tersebut disebut hukum perjanjian.

A.Pengertian Perjanjian

Pada umumnya, suatu perjanjian dinamakan juga sebagai suatu persetujuan, oleh karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa antara perjanjian dan persetujuan itu adalah sama artinya. Dimana persetujuan atau yang dinamakan Overeenkomsten yaitu “suatu kata sepakat antara dua pihak atau lebih mengenai harta benda kekayaan mereka, yang bertujuan mengikat kedua belah pihak”.16

16

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Penerbit Sumur, Bandung, 1981, hal. 11


(26)

Pasal 1313 KUHPerdata mengemukakan “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.17

Suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara 2 (dua) pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.

Wiryono Prodjodikoro mengemukakan bahwa:

18

Dalam ilmu hukum sesuatu hal tersebut diberi istilah prestasi. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara 2 (dua) pihak tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara para pihak yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji, atau kesanggupan yang diucapkan maupun ditulis. Dengan hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan suatu bentuk perikatan. Pada Pasal 1233 KUHPerdata dikatakan bahwa “tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”.

19

17

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. hal. 338.

18

Ibid hal. 11.

19

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. hal. 323.

Dalam hal ini ditegaskan bahwa setiap kewajiban perdata dapat terjadi karena dikehendaki oleh pihak-pihak yang terkait dalam perikatan yang secara sengaja dibuat oleh para pihak, ataupun karena ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian berarti perikatan adalah “hubungan hukum antara 2 (dua) atau lebih orang (pihak) dalam


(27)

bidang/ lapangan harta kekayaan, yang melahirkan kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum tersebut”.20

“Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain, atau dimana 2 (dua) orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu”.

Selain Wiryono Prodjikoro, ada beberapa sarjana yang memberikan rumusan tentang defenisi perjanjian, antara lain:

Menurut R. Subekti,

21

Beliau juga mengatakan “bahwa suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena 2 (dua) pihak setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat juga dikatakan bahwa 2 perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya”.22

Adapun pengertian perjanjian menurut K. R. M. T Tirtodiningrat yang dikutip oleh Mariam Darus

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa persetujuan dan perjanjian mempunyai pengertian yang sama, yaitu sama-sama memberikan keterikatan kepada para pihak agar janji yang telah disepakati dapat dilaksanakan bagi para pihak.

23

20

Kartini Muldjadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 17.

21

R. Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit PT. Intermasa, Cetakan XII, Jakarta, 1990, hal. 29.

22

Ibid, hal. 12.

23

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 6.

, perjanjian adalah “suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara 2 (dua) orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang diperkenankan oleh undang-undang.”


(28)

Berdasarkan rumusan di atas, dapat diketahui bahwa perjanjian adalah sumber utama dan yang terpenting untuk melahirkan perikatan. Dimana terdapat berbagai unsur-unsur yang penting dari suatu perjanjian yang melahirkan perikatan, unsur-unsur tersebut adalah:

1. Adanya hubungan hukum

Hubungan hukum adalah hubungan yang terhadapnya hukum melekat hak pada satu pihak dan melekatkan kewajiban pada pihak lannya. Apabila satu pihak tidak mengindahkan ataupun melanggar hubungan tadi lalu hukum memaksakan supaya hubungan tersebut dipenuhi ataupun dipulihkan kembali. Apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, maka hukum memaksakan agar kewajiban tadi dipenuhi.

2. Kekayaan

Kriteria perikatan yang dimaksud adalah ukuran-ukuran yang dipergunakan terhadap sesuatu hubungan hukum saling hubungan hukum dapat disebutkan suatu perikatan. Dahulu yang menjadi kriteria itu adalah hubungan hukum itu, dapat dinilai dengan uang atau tidak. Apabila hubungan hukum itu dapat dinilai dengan uang, maka hubungan hukum tersebut merupakan suatu perikatan. Kriteria itu semakin lama semakin sukar untuk dipertahankan keberadaannya, karena di dalam masyarakat terdapat juga hubungan hukum yang tidak dapat dinilai dengan uang. Namun kalau terhadapnya tidak diberikan akibat hukum, rasa keadilan tidak akan dipenuhi, sehingga hal pun ini bertentangan dengan salah satu tujuan dari pada hukum yaitu mencapai keadilan. Oleh karena itu, sekarang kriteria di atas tidak lagi dipertahankan


(29)

sebagai kriteria, maka ditentukan bahwa sekalipun suatu hubungan hukum itu tidak dapat dinilai dengan uang, tetapi kalau masyarakat atau rasa keadilan menghendaki agar suatu hubungan itu diberi akibat hukum, maka hukumpun akan melekatkan akibat hukum pada hubungan tadi sebagai suatu perikatan. 3. Pihak-pihak

Hubungan hukum itu terjadi antara 2 (dua) orang atau lebih pihak yang berhak atas prestasi, pihak yang aktif adalah kreditur atau yang berpiutang dan pihak yang wajib memenuhi prestasi, pihak pasif adalah debitur atau yang berutang. Inilah yang disebut subjek perikatan.

4. Prestasi (objek hukum)

Pasal 1234 KUHPerdata:”tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.

Keempat unsur tersebut akan mewujudkan suatu perjanjian yang mewujudkan suatu perjanjian yang melahirkan perikatan, dimana terdapat hubungan-hubungan hukum yang terjadi atas diri dan harta kekayaan para pihak yang mengadakan perjanjian. Sedang disisi lain hukum meletakkan hak pada satu pihak lain dan meletakkan kewajiban pada pihak lainnya. “Apabila satu pihak tidak mengindahkan atau melanggar hubungan tadi atau dalam bahasa hukum disebut wanprestasi maka hukum memaksakan supaya hubungan tersebut dipenuhi atau dipulihkan”.24

Jadi jelasnya bahwa perjanjian itu merupakan sumber perikatan yang terpenting. Perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh dua

24


(30)

orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang dibentuk menurut undang-undang di luar kemauan para pihak yang bersangkutan. Apabila dua pihak mengadakan suatu suatu perjanjian maka mereka bermaksud supaya antara mereka berlaku suatu perhubungan hukum, yang sesungguhnya para pihak yang membuat perjanjian tersebut terikat satu sama lain karena janji-janji yang telah diberikan.

B.Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian

Suatu perjanjian dapat dikatakan mempunyai kekuatan yang mengikat maka perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian. KUHPerdata menentukan 4 (empat) syarat yang harus ada pada setiap perjanjian, sebab dengan dipenuhinya syarat-syarat inilah suatu perjanjian itu berlaku sah.

Adapun keempat syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata adalah:

1. Adanya kata sepakat dari para pihak

2. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian 3. Mengenai suatu hal yang tertentu

4. Adanya suatu sebab yang halal

Keempat syarat tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu:

a. Syarat subjektif, yaitu: syarat yang menyangkut subjek dari perjanjian itu, yang harus dipenuhi oleh para pihak yaitu apakah orang itu telah sepakat untuk membuat perjanjian atau juga cakap membuat perjanjian.


(31)

b. Syarat objektif, yaitu: syarat-syarat yang menyangkut pada objek perjanjian yang meliputi suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.25

Berikut ini dapat dijelaskan yang merupakan syarat-syarat sahnya perjanjian, yaitu sebagai berikut:

1) Adanya kata sepakat dari para pihak

Dengan diberlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut.26

Pengertian sepakat dilukiskan sebagai persyaratan kehendak yang disetujui antar para pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan sesuatu hal kepada pihak lain dinamakan tawaran. Pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi. Objek yang diperjanjiakan harus jelas baik mengenai bentuknya, tujuannya, maupun asal-usul dari objek yang diperjanjikan berasal dari suatu sebab yang sah dan tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum.27

a) Salah pengertian atau kekeliruan

Berpedoman kepada ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata yang menjelaskan: tidak dianggap sah suatu persetujuan jika izin kesepakatan tersebut diberikan karena:

b) Pemerasan, dipaksakan c) Adanya penipuan.

Persetujuan yang diberikan oleh karena salah pengertian, dan penipuan, berarti dalam persetujuan yang diberikan jelas merupakan pesetujuan

25

Wan Sadjaraddin Barus, Beberapa Sendi HukumPerikatan, Penerbit USU Press, 1992, hal. 28-29

26

Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit, hal. 73.

27


(32)

kehendak yang cacat. Terhadap persetujuan yang demikian dapat dilakukan pembatalan, tapi bukan batal dengan sendirinya.

Mengenai salah duga atau salah pengertian yang dapat dibatalkan harus mengenai objek atau prestasi yang dikehendaki. Salah pengertian mengenai orangnya tidak menyebabkan persetujuan dapat batal (Pasal 1322 KUHPerdata). Dengan demikian salah duga atau salah pengertian yang menyebabkan lenyapnya persetujuan harus mengenai:

1. Pokok atau maksud objek persetujuan

2. Kedudukan hukum subjek yang membuat persetujuan 3. Hak subjek hukum yang bersangkutan.

Mengenai paksaan yang dapat melenyapkan perizinan dalam persetujuan adalah paksaan fisik yang bersifat “vis absoluta”. Sedemikian rupa paksaan kekerasan yang diancamkan, sehingga orang yang bersangkutan tidak mempunyai pilihan lain selain melakukan perbuatan yang dipaksakan. Paksaan itu sifatnya mutlak atau absolut yang menyebabkan seseorang terpaksa mengikuti kehendak orang yang memaksakannya.

Tentang penipuan adalah apabila perizinan yang diberikannya dalam persetujuan diperoleh dengan jalan penipuan, hal itu juga mengakibatkan perizinan dalam persetujuan tersebut tidak ada. Penipuan ini harus berupa tipu muslihat, sehingga sesuatu yang tidak benar berkesan merupakan gambaran keadaan dan kejadian yang sungguh-sungguh benar tentang suatu hal. Sesuatu baru dikatakan tipu muslihat apabila:


(33)

b. Sesuai dengan taraf pendidikan kecakapan orang yang ditipu. Apabila yang ditipu seorang yang terpelajar, dengan hanya tipuan yang sangat rendah dia sudah percaya, tentu dianggap tidak ada penipuan.28

Pasal 1446 KUHPerdata yang berbunyi “semua perikatan yang dibuat oleh orang-orang belum dewasa atau orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan, adalah batal demi hukum, dan atas penuntutan yang diajukan oleh atau dari pihak mereka, haruslah dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya. Perikatan yang dibuat oleh orang-orang perempuan yang bersuami dan oleh orang-orang belum dewasa telah mendapat pernyataan persamaan dengan orang dewasa, hanyalah batal demi hukum, sekedar perikatan-perikatan tersebut melampaui kekuasaan mereka”.

2) Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

Subjek yang dianggap memiliki kecakapan memberikan persetujuan ialah orang yang mampu melakukan tindakan hukum. Menurut Pasal 1329 KUHPerdata: “setiap orang ialah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”.

Pasal 1330 KUHPerdata:

Tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah: a) Orang-orang belum dewasa

b) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan

c) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang-undang-undang telah melarang, membuat persetujuan-persetujuan tertentu.

28


(34)

Umumnya orang yang mampu melakukan tindakan hukum ialah orang dewasa yang waras akal budinya, bukan orang yang sedang berada di bawah pengampuan maupun curatele dan anak di bawah umur.

d) Semua orang yang oleh undang-undang dilarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Orang-orang dewasa atau di bawah umur hal ini dapat dilihat dalam Pasal 330 KUHPerdata “ belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur 21 tahun dan tidak lebih dahulu kawin dan apabila perkawinannya bubar sedangkan belum genap 21 tahun mereka tetap dianggap belum dewasa”. Selain dalam Pasal 330 KUHPerdata hukum adat dan juga Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 juga mengatur tentang kedewasaan. Kedewasaan menurut hukum adat didasarkan atas ukuran yang disesuaikan dengan kenyataan yaitu apabila seseorang telah berkeluarga. Jadi prinsip kedewasaan seperti hal ini lebih sesuai dengan kepatuhan karena didasarkan atas keadaan yang nyata yaitu bahwa orang itu benar-benar sudah mandiri dan dianggap mengerti atau telah cukup mempunyai kemampuan untuk mengerti konsekuensi dari perbuatannya namun dengan berpegang teguh pada patokan ini kepastian hukumnya masih kurang. Mengenai hal wanita yang telah besuami untuk mengadakan suatu perjanjian ia memerlukan bantuan atau izin dari suaminya hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 108 KUHPerdata, akan tetapi sejak keluarnya SEMA Nomor 3 Tahun 1963 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia tentang


(35)

kedudukan seorang wanita diangkat derajatnya sama dengan laki-laki sehingga untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap pengadilan ia tidak memerlukan bantuan suaminya lagi, maka dengan adanya SEMA Nomor 3 Tahun 1963 maka Pasal 108 KUHPerdata dinyatakan tidak berlaku lagi.

3) Mengenai suatu hal yang tertentu

Tentang hal ini telah dijelaskan sebelumnya, bahwa objek-objek perjanjian persetujuan harus mengenai sesuatu yang tertentu. Jadi objek atau prestasi tadi harus tertentu, sekurang-kurang jenisnya dapat ditentukan baik hal itu mengenai benda yang berwujud ataupun yang tidak berwujud, seperti yang dijumpai dalam persetujuan perburuhan, penjaminan ataupun pemberian kuasa. Objek itu dapat juga berupa benda yang sekarang ada dan nanti akan ada:

a. Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan

Pasal 1332 KUHPerdata: “hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian”.

b. Barang-barang yang dapat dipergunakan untuk kepentingan umum antara lain: seperti jalan umum, pelabuhan umum, gedung-gedung umum, dan sebagainya tidaklah dapat dijadikan objek perjanjian.

c. Dapat ditentukan jenisnya.

Pasal 1333 KUHPerdata: “suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.


(36)

Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”.

d. Barang yang akan datang

Pasal 1334 KUHPerdata:”barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun meminta diperjanjikan sesuatu hal mengenai warisan itu, sekalipun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu”.

e. Objek perjanjian.

4) Adanya suatu sebab yang halal

Suatu sebab yang halal atau kausa yang diperbolehkan ialah isi dan tujuan. Pesetujuan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kepentingan umum openbaar orde dan kesusilaan.29

29

Ibid, hal. 2.

Menurut Pasal 1336 KUHPerdata ”jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, ataupun jika ada suatu sebab yang lain, daripada yang dinyatakan, perjanjiannya namun demikian adalah sah”..

Menurut Pasal 1338 KUHPerdata, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Secara sah maksudnya berarti memenuhi syarat-syarat yang ditentukan Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata dikatakan, suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang dinyatakan oleh undang-undang.


(37)

Dalam Pasal 1337 KUHPerdata ”suatu sebab adalah terlarang, apabila berlawanan dengan undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.

Berdasarkan rumusan di atas, dapat diambil beberapa ketentuan yang penting dalam hukum perjanjian, dan hal inilah yang merupakan akibat dari perjanjian, yaitu:

1. Berlaku sebagai undang-undang

Berlaku sebagai undang berarti ketentuan-ketentuan dalam undang-undang itulah yang mengatur hubungan para pihak. Isi perjanjian ini dapat ditentukan oleh debitur sendiri atau oleh pihak ketiga untuk kepentingan debitur. Dengan demikian perjanjian ini mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang membuatnya.

Menurut Pasal 1339 KUHPerdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Dalam hal ini maksudnya adalah bahwa para pihak tidak terlepas dari tanggung jawab dan akibat yang timbul dari suatu prestasi yang dipenuhi. Juga para pihak harus memperhatikan undang-undang. Dengan perkataan lain, para pihak tidak mutlak pada ketentuan perjanjian.

Apabila terjadi perselisihan dan perselisihan itu sampai ke muka hakim dalam mengadilinya, hakim harus menyesuaikan isi perjanjian dengan ketentuan perundang-undangan, kebiasaaan dan kepatutan.


(38)

2. Tidak dapat dibatalkan secara sepihak

Sesuai dengan asas konsensualitas, bahwa perjanjian itu dibuat atas persetujuan kedua belah pihak lainnya. Namun demikian perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak apabila ada alasan-alasan yang dibenarkan undang-undang. Tentang alasan-alasan ini, dalam Pasal 1814 KUHPerdata: ”si pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya manakala itu dikehendakinya, dan jika ada alasan untuk itu, memaksa si kuasa untuk mengembalikan kuasa yang dipegangnya”.

3. Pelaksanaan dengan itikad baik

Pelaksanaan dengan itikad baik artinya kejujuran dari orang yang mengadakan perjanjian. Istilah itikad baik ada 2 (dua) macam, yaitu sebagai unsur subjektif dan sebagai unsur objektif untuk memulai pelaksanaan.30

Perjanjian timbul disebabkan oleh adanya hubungan hukum kekayaan antara 2 (dua) orang atau lebih. Pendukung hukum perjanjian sekurang-kurangnya harus ada 2 (dua) orang tertentu, misalnya orang itu menduduki tempat yang

Yang dimaksud dengan itikad baik dalam Pasal 1338 KUHPerdata bukanlah dalam arti subjektif, melainkan pelaksanaan perjanjian itu harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan norma kesusilaan, jadi yang dimaksud dengan itikad baik disini adalah ukuran objektif, perjanjian itu harus berjalan diatas jalur yang benar.

C. Subjek Hukum Dalam Perjanjian

30

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hal. 29.


(39)

berbeda, satu orang menjadi pihak kreditur, dan yang seorang lagi sebagai pihak debitur. Kreditur dan debitur itulah yang menjadi subjek perjanjian. Kreditur mempunyai hak atas prestasi dan debitur wajib memenuhi pelaksanaan prestasi.31

1. pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri

Subjek hukum dalam perjanjian adalah pihak-pihak yang telah terikat dengan diadakannya perjanjian. KUHPerdata membedakan 3 (tiga) golongan yang termasuk dalam perjanjian, yaitu:

2. para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak daripadanya 3. pihak ketiga.32

Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga. Selain itu, tidak dapat pula pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317 KUHPerdata.

Pasal 1317 KUHPerdata: lagipun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna untuk kepentingan pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya untuk orang lain, memuat suatu janji yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya”.

Subjek hukum dalam perjanjian dibagi atas manusia dan badan hukum, yang kedua-duanya merupakan penunjang hak dan kewajiban. Namun memiliki perbedaan yaitu manusia menjadi subjek hukum sejak dia dilahirkan, sedangkan

31

M. Yahya Harahap, Op. cit, hal. 15.

32


(40)

badan hukum menjadi subjek hukum pada saat benda itu telah didaftarkan dan benda tersebut tidak bernyawa seperti manusia.

D.Jenis-Jenis Perjanjian

Sebelum berbicara mengenai jenis-jenis perjanjian, akan diuraikan terlebih dahulu mengenai bentuk perjanjian, dalam perjanjian terdapat berbagai bentuk yang dipandang dari berbagai sudut. Dalam KUHPerdata perjanjian itu tidak tercakup dalam satu pasal saja, akan tetapi terdapat dalam banyak pasal. Perjanjian itu dapat dibuat secara tertulis dan secara lisan dan andaikata dibuat secara tertulis maka ini bersifat sebagai alat bukti apabila terjadi perselisihan. Hal ini dibuat berdasarkan atas kesepakatan para pihak yang saling mengikatkan diri.

Menurut Pasal 1234 KUHPerdata, perjanjian menurut sifatnya dapat dibagi atas:

a. perjanjian untuk memberikan sesuatu b. perjanjian untuk berbuat sesuatu c. perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.

Perjanjian dapat dibedakan berdasarkan jenisnya, yaitu33 1. Perjanjian Timbal Balik atau Perjanjian Sepihak

:

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban dan hak bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli dan perjanjian pemborongan. Menurut Pasal 1457 KUHPerdata, jual beli adalah suatu

33


(41)

perjanjian timbal balik dimana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Perjanjian jual beli memperlihatkan bahwa pihak yang satu disebut penjual dan pihak yang lain dinamakan pembeli. Dengan demikian mencakup 2 (dua) perbuatan timbal balik sesuai dengan namanya jual beli. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang salah satu pihak saja yang mempunyai hak, sedangkan pihak yang lain hanya mempunyai kewajiban. Misalnya hibah. Menurut Pasal 1666 KUHPerdata, hibah adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang dengan cuma-cuma tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seorang yang menerima penyerahan barang itu. Dari rumusan pasal tersebut jelaslah bahwa si pemberi hibah itu melakukan hibah tanpa mengharapkan adanya balasan prestasi.

2. Perjanjian Cuma-Cuma dan Perjanjian Atas Beban Pasal 1314 KUHPerdata:

Suatu persetujuan dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban,

suatu persetujuan cuma-cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.

Suatu persetujuan atas beban adalah suatu persetujuan yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.

Perbuatan cuma-cuma terjadi menunjukkan adanya sutu prestasi tanpa dibarengi kontra prestasi. Pihak yang memberikan prestasi tidak mengharapkan prestasi imbalan dari pihak lainnya. Misalnya hibah.


(42)

Perjanjian atas beban adalah perjanjian terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. Misalnya A berjanji akan menyanggupi memberikan sejumlah barang kepada si B dengan syarat si B bersedia memindahkan satu barang dari satu tempat ke tempat yang lain.

3. Perjanjian Bernama (benoemd overeenkomst)

Perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasaran tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUHPerdata.

4. Perjanjian Tidak Bernama (onbenoemde overeenkomst)

Di luar perjanjian bernama, tumbuh pula perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian yang tidak diatur di dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, seperti perjanjian kerja sama, perjanjian pemasaran, dan perjanjian pengelolaan. Lahirnya perjanjian ini didalam prakteknya adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak, mengadakan perjanjian atau partij otonomi.

Tentang perjanjian tidak bernama diatur dalam Pasal 1319 KUHPerdata, yaitu yang berbunyi: ”semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain”.


(43)

5. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligatoir

Perjanjian kebendaan yaitu perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban pihak itu untuk meyerahkan benda tersebut kepada pihak lain. Misalnya jual beli untuk beralihnya hak milik atas benda yang diperjualbelikan masih diperlukan adanya penyerahan.

Perjanjian obligatoir adalah perjanjian antara pihak-pihak yang sepakat, mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain. Dalam contoh diatas perjanjian jual beli itu dinamakan perjanjian obligatoir karena membebankan para pihak untuk melakukan penyerahan, sedangkan penyerahan itu adalah merupakan perjanjian kebendaan.

6. Perjanjian Konsensuil dan Perjanjian Riil

Perjanjian konsensuil adalah perjanjian diantara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Sebagai contoh, dalam jual beli, jual beli telah dianggap sejak adanya persesuaian harga (Pasal 1458 KUHPerdata).

Perjanjian riil adalah perjanjian yang dianggap mulai semenjak adanya perbuatan hukum dari apa yang diperjanjikan. Misalnya dalam perjanjian penitipan barang, perjanjian mulai mengikat semenjak mengikat seseorang menerima barang sebagai titipan dari orang lain (Pasal 1694 KUHPerdata). 7. Perjanjian yang Istimewa Sifatnya


(44)

a. Perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian yang mana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan utang (Pasal 1438 KUHPerdata)

b. Perjanjian pembuktian, yaitu para pihak yang menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara pihak-pihak tersebut.

c. Perjanjian untung-untungan, yaitu suatu perbuatan yang hasilnya mengenai untung ruginya bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak tergantung pada suatu kejadian yang belum tentu atau objeknya ditentukan kemudian (Pasal 1774 KUHPerdata).

d. Perjanjian publik, yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah, dan pihak lainnya adalah swasta. misalnya perjanjian ikatan dinas.

E. Berakhirnya Perjanjian

Hapusnya perjanjian berarti semua pernyataan kehendak atau semua hal yang diperjanjikan antara para pihak, terhapus. Dengan demikian status para pihak kembali kepada keadaan semula, keadaan sebelum para pihak mengadakan perjanjian, dimana diantara para pihak seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Hapusnya perjanjian sebagai hubungan hukum antara kreditur dan debitur dengan sendirinya akan menghapuskan seluruh perjanjian.


(45)

Banyak cara dan macam yang dapat menghapuskan perjanjian, misalnya dengan cara membayar harga barang yang dibeli ataupun dengan cara mengembalikan barang yang dipinjam.

Adapun cara-cara penghapusan perjanjian menurut Pasal 1381 KUHPerdata, adalah:

1. Karena pembayaran

Pembayaran adalah pelaksanaan atau pemenuhan perjanjian secara sukarela artinya tidak dengan paksaan.

“Dalam hal ini pembayaran yang dimaksud adalah pembayaran dalam arti luas, yang meliputi tidak saja pembayaran berupa uang, melainkan juga penyerahan barang yang dijual oleh penjual. Dengan pernyataan lain, pelaksanaan perjanjian”.34

2. Karena penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penyimpanan atau penitipan (konsignasi)

Pada dasarnya pembayaran hanya dapat dilakukan oleh yang bersangkutan saja. Namun, Pasal 1382 KUHPerdata menyebutkan bahwa pembayaran dapat dilakukan oleh orang lain. Dengan demikian undang-undang tidak mempersoalkan siapa yang harus membayar akan tetapi yang terpenting adalah utang itu harus dibayar.

Konsignasi adalah suatu cara pembayaran untuk menolong debitur dalam hal si kreditur menolak pambayaran. Penawaran pembayaran tunai terjadi

34

Hartono Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Penerbit Liberti, Yogyakarta, 1984, hal.47.


(46)

bilamana si kreditur menolak (tidak mau) menerima pembayaran, maka debitur secara langsung menawarkan konsignasi yakni dengan menitipkan uang atau barang kepada notaris atau panitera. Setelah itu notaris atau panitera membuat perincian barang-barang atau uang yang harus dibayarkan selanjutnya menjumpai kreditur untuk melakukan pembayaran. Bila kreditur menolak, maka dipersilahkan oleh notaris atau panitera untuk menandatangani berita acara. Jika kreditur menolak juga maka hal ini dicatat dalam berita acara tersebut, hal ini merupakan bukti bahwa kreditur menolak pembayaran yang ditawarkan. Dengan demikian debitur meminta kepada hakim agar konsignasi disahkan. Apabila telah disahkan, maka debitur terlepas dari kewajibannya dan perjanjian dianggap hapus.35

3. Karena pembaharuan utang

Pembaharuan utang adalah peristiwa hukum dalam suatu perikatan diganti dengan perikatan lain. Dalam hal ini para pihak mengadakan suatu perjanjian dengan jalan menghapuskan perjanjian lama dan membuat perjanjian yang baru.36

a. Novasi Objektif

Novasi dapat terjadi atas beberapa bentuk sesuai dengan pembaharuan yang dilakukan oleh:

Dalam hal ini yang diganti adalah perjanjiannya (objek) sedangkan para pihak tetap.

35

Ibid, hal. 48.

36


(47)

b. Novasi Subjektif

Dalam hal ini kebalikan dari novasi objektif, dimana objeknya tetap dan yang berubah adalah subjeknya.37

4. Karena kompensasi atau perjumpaan utang

Hal ini terjadi apabila para pihak, yaitu kreditur dan debitur, saling mempunyai utang dan piutang, maka diadakan perjumpaan utang untuk suatu jumlah yang sama. Hal ini terjadi apabila antara kelompok utang berpokok pada sejumlah uang atau sejumlah barang yang dapat dihabiskan dari jenis yang sama dan yang keduanya dapat ditetapkan serta ditagih seketika.

Undang-undang menentukan bahwa kompensasi itu terjadi demi hukum akan tetapi bila dilihat Pasal 1430, Pasal 1432 dan Pasal 1435 KUHPerdata, maka kompensasi menghendaki adanya aktivitas dari pihak-pihak yang berkepentingan.38

5. Karena percampuran utang

Percampuran utang terjadi akibat keadaan bersatunya kedudukan debitur dan kreditur pada diri seseorang. Dengan bersatunya kedudukan debitur dan kreditur pada diri seseorang dengan sendirinya menurut hukum telah terjadi percampuran utang sesuai dengan Pasal 1436 KUHPerdata.39

6. Karena pembebasan utang

Hal ini terjadi apabila kreditur dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak menghendaki lagi adanya pemenuhan prestasi oleh debitur. Apabila debitur

37

Ibid, hal. 49 .

38

Ibid, hal. 50.

39


(48)

menerima pernyataan kreditur maka berakhirlah perjanjian utang piutang diantara pihak tersebut.

Namun demikian pembebasan utang tidak dapat terjadi hanya dengan, tetapi untuk adanya kepastian hukum dan agar adanya bukti yang kuat maka pernyataan itu harus merupakan tindakan dari kreditur. Misalnya dengan mengembalikan surat piutang kepada debitur.40

7. Karena musnahnya barang yang terutang

Musnahnya barang-barang yang menjadi utang debitur diatur dalam Pasal 1444 dan Pasal 1445 KUHPerdata. Debitur wajib membuktikan bahwa musnahnya barang tersebut adalah diluar kesalahannya dan barang itu akan musnah atau hilang juga meskipun di tangan debitur. Jadi dalam hal ini si debitur telah berusaha dengan segala daya upaya untuk menjaga barang tersebut agar tetap berada dalam keadaan semula.41

8. Karena kebatalan atau pembatalan

Syarat perjanjian akan hapus apabila ada suatu pembatalan maupun dibatalkan. Pembatalan haruslah dimintakan ataupun batal demi hukum. Karena jika lihat batal demi hukum maka akibatnya perjanjian dianggap tidak pernah ada, sedangkan dalam pembatalan, perjanjian dianggap telah ada, akan tetapi karena suatu pembatalan maka perjanjian itu hapus dan para pihak kembali kepada keadaan semula.42

40

Ibid .

41

Ibid, hal. 51.

42


(49)

9. Karena berlakunya suatu syarat batal

Syarat batal yang dimaksud syarat disini adalah ketentuan isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat mana jika dipenuhi mengakibatkan perjanjian itu batal sehingga perjanjian itu menjadi lenyap.43 10.Karena lewatnya waktu

Lewatnya waktu adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal 1946 KUHPerdata).44

43

Abdul Kadir Muhammad, Op.cit, hal. 72.

44


(50)

BAB III

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN PEMBORONGAN

Dalam melaksanakan suatu pekerjaan, pada umumnya pemberi pekerjaan memborongkan pekerjaannya kepada pihak lain yang dianggap lebih mampu dan sudah merupakan pekerjaan atau bidang usahanya. Proyek pembangunan yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta biasanya dilaksanakan dengan cara memborongkan pekerjaan tersebut kepada pihak lain.

Dalam rangka pemberian pekerjaan ini, diperlukan hubungan kerja yang menyangkut tentang hukum yaitu perjanjian. Perjanjian kerja ini erat kaitannya dengan tanggung jawab para pihak dalam pelaksanaan pekerjaan ini. Dari segi hukum perjanjian pemborongan pekerjaan termasuk dalam lapangan hukum perikatan yang sudah barang tentu tunduk pada aturan-ataran hukum perjanjian yang diatur dalam hukum perdata dan peraturan perundang-undangan lainnya. Untuk menjaga terjadinya sengketa dikemudian hari karena adanya kesalah- pahaman antara pihak pemberi pekerjaan dengan pihak yang melakukan pekerjaan maka perjanjian pemborongan pekerjaan supaya dibuat dengan pihak yang melakukan pekerjaan maka perjanjian pemborongan pekerjaan dibuat dalam perjanjian tertulis yang menetapkan tentang batas yang jelas terhadap hak dan kewajiban para pihak dalam pelaksanaan perjanjian itu.


(51)

A. Pengertian Perjanjian Pemborongan

Perjanjian pemborongan pekerjaan merupakan suatu bentuk perjanjian yang diatur secara khusus dalam KUHPerdata, yang ketentuannya terdapat dalam Bab VIIA yang secara keseluruhan mengatur tentang perjanjian-perjanjian untuk melakukan pekerjaan. Perjanjian pemborongan pekerjaan diatur dalam Pasal 1601b, 1604 sampai dengan 1616 KUHPerdata.

Menurut Pasal 1601b KUHPerdata, “pemborongan pekerjaaan adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan”.

Defenisi perjanjian pemborongan disini kurang tepat, menganggap perjanjian pemborongan adalah perjanjian sepihak sebab si pemborong hanya mempunyai kewajiban saja sedangkan yang memborongkan hak saja. Sebenarnya perjanjian pemborongan adalah perjanjian timbal balik yang memiliki hak dan kewajiban.

Berikut defenisi perjanjian yang benar sebagai berikut pemborongan pekerjaan adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan, sedangkan pihak yang lain, yang memborong, mengikatkan diri untuk membayar suatu harga yang ditentukan.45

45

Djumialdji, Hukum Bangunan Dasar-Dasar Hukum dan Proyek dan Sumber Daya Manusia, PT. Rineka Cipta, Yogyakarta, 1996, hal. 4.


(52)

1. Bahwa yang mebuat perjanjian pemborongan atau dengan kata lain yang terkait dalam perjanjian pemborongan adalah 2 (dua) pihak saja, yaitu pihak kesatu disebut yang memborongkan, dan pihak kedua disebut pemborong. 2. Bahwa objek dari perjanjian pemborongan adalah pembuatan suatu karya.

KUHPerdata Bab VIIA mengatur tentang perjanjian melakukan pekerjaan, yang membagi perjanjian melakukan pekerjaan kedalam 3 (tiga) kategori, yaitu:

a. Perjanjian kerja atau perburuhan b. Perjanjian melakukan jasa-jasa tertentu c. Perjanjian pemborongan pekerjaan.

Ketiga perjanjian tersebut mempunyai persamaan yaitu bahwa pihak yang satu melakukan pekerjaan bagi pihak yang lain dengan menerima upah.

Perjanjian kerja atau perburuhan adalah perjanjian antara seseorang buruh dengan seorang majikan yang ditandai dengan ciri-ciri yaitu adanya suatu upah atau gaji tertentu, adanya hubungan di bawah perintah, dan adanya suatu jangka waktu tertentu. Jadi dalam hal ini buruh dalam melakukan pekerjaannya harus tunduk pada perintah-perintah majikan dan majikan berhak untuk memberikan perintah ataupun petunjuk-petunjuk kepada buruhnya.

Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu adalah suatu perjanjian dimana suatu pihak menghendaki pihak lainnya melakukan suatu pekerjaan untuksuatu tujuan tertentu dimana ia bersedia untuk membayar upah, sedangkan apa yang dilakukan untuk mencapai tujuan itu sama sekali terserah kepada pihak lawan itu, yang biasanya telah memasang tarif tertentu untuk jasa-jasa itu. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa ini diatur oleh ketentuan-ketentuan khusus


(53)

yang berhubungan dengan bidang masing-masing. Biasanya pihak pemborong ini adalah orang yang ahli dalam melakukan pekerjaan tersebut dan biasanya ia telah memasang tarif tertentu untuk jasa itu, yang biasa disebut honorarium.

Selain yang disebutkan dalam KUHPerdata Pasal 1601b, R.Soebekti juga mengatakan perjanjian pemborogan adalah suatu perjanjian antara seorang (pihak yang memborongkan pekerjaan), dengan seorang lain (pihak yang menerima borongan pekerjaan) dimana pihak pertama menghendaki suatu hasil pekerjaan yang disanggupi pihak lawan atas pembayaran suatu jumlah uang sebagai harga pemborongan.46

1) Perbedaan antara perjanjian pemborongan dengan perjanjian perburuhan adalah terletak pada interrelasi antara para pihak yang terkait dengan perjanjian. Pada perjanjian perburuhan terdapat hubungan vertikal antara buruh dengan majikan yang berupa hubungan atasan-bawahan. Sebaliknya dalam perjanjian pemborongan pekerjaan terdapat hubungan horizontal antara pihak pemborong dengan pihak yang memborongkan pekerjaan, dimana keduanya sama tinggi dan tidak terdapat hubungan atasan bawahan.

Di samping persamaan di atas, ketiga kategori perjanjian ini memiliki perbedaan, yaitu:

2) Perbedaan perjanjian melakukan jasa-jasa tertentu dengan perjanjian pemborongan terletak pada 2 (dua) hal, yaitu:

a) Prestasi

Dalam kontrak untuk melaksanakan suatu jasa-jasa tertentu, prestasi dari penyelenggaraan jasa adalah memberikan jasa tertentu tetapi dengan tidak membangun atau melakukan sesuatu secara fisik, sedangkan dalam

46


(54)

perjanjian pemborongan mengharuskan adanya suatu barang baru yang dihasilkan oleh pihak pemborong.

b) Fee yang dibayar oleh pemberi pekerjaan

Di dalam suatu kontrak untuk melaksanakan suatu jasa tertentu, maka fee yang diberikan kepada penyelenggara jasa tersebut terdapat dalam suatu tarif tertentu, sedangkan dalam suatu perjanjian pemborongan, fee yang dibayarkan kepada pemborong tidak dengan tarif tertentu, melainkan sejumlah uang atau sejumlah hasil tertentu yang sifatnya negosiatif atau bedasarkan tender pekerjaan.47

1. Pihak yang satu setuju untuk melaksanakan pekerjaan bagi pihak lain

Dalam hal ini pemborongan pekerjaan menghendaki adanya suatu barang yang baru sebagai prestasi dan pihak yang memberikan pekerjaan wajib membayar suatu harga tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian kerja dan atau berdasarkan penawaran yang kemudian dituangkan dalam perjanjian.

Berdasarkan defenisi perjanjian pemborongan terdapat unsur-unsur penting, yaitu:

2. Dengan pembayaran atau menerima upah.

Mengenai upah dalam perjanjian pemborongan pekerjaan tidak hanya dimaksudkan upah yang telah ditentukan terlebih dahulu tetapi bisa diartikan lebih luas yaitu upah yang dapat ditentukan dikemudian. Sedangkan bagaimana

47

Munir Fuady, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 13-14.


(55)

pemborong mengerjakan pekerjaan itu untuk pihak yang memborongkan merupakan hal yang tidak begitu dipentingkan karena yang dikehendaki adalah hasil akhir yang akan diserahkan kepada pihak yang memborongkan dalam suatu jangka waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian pemborongan pekerjaan dan hasil tersebut dalam keadaan baik.

Jadi pada perjanjian ini tidak ada hubungan di bawah perintah antara pemborong dengan pihak yang memborongkan. Pada umumnya pemborong melaksanakan pekerjaan yang diborongkan ini dengan kebijaksanaan sendiri. Hal inilah yang membedakan perjanjian pemborongan dengan perjanjian perburuhan, dimana dalam perjanjian perburuhan terdapat hubungan subordinasi antara buruh dengan majikan yaitu hubungan di bawah perintah.48

48

Soed Dirdjosaputro, Petunjuk Untuk Pemborong, Bhatara, Jakarta, 1972, hal 11-12.

Perjanjian pemborongan pekerjaan dapat dibedakan di dalam Bab VIIA KUHPerdata dalam Pasal 1601b, Pasal 1604 sampai dengan Pasal 1616 KUHPerdata dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 (UUK). Dalam UUK, terdapat 2 (dua) lembaga hukum dalam hubungan kerja, yaitu: perjanjian pemborongan kerja (outsourching) dan penyedia jasa pekerja/ buruh. Dalam Pasal 64 dan Pasal 65 dalam UU tersebut tidak ada pengertian perjanjian pemborongan pekerjaan. Namun secara umum dapat diartikan bahwa perjanjian pemborongan pekerjaan adalah perjanjian antara pihak pemborongan dengan pihak yang memborongkan pekerjaan yang memuat hak dan kewajiban para pihak.


(56)

Dalam Pasal 65 mengatur ”penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis”. Perusahaan dalam hal ini dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaannya melalui:

a. Pemborongan pekerjaan b. Penyediaan jasa pekerja.

Dalam Pasal 64 mengatur mengenai pengertian outsourching adalah “suatu perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dengan, tenaga, dimana perusahaan tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan yang dibuat secara tertulis”.49

1) Perjanjian pemborongan pekerjaan adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu, pemborong mengikatkan diri untuk membuat suatu karya tertentu bagi pihak yang lain yang memborongkan dengan membayar bayaran tertentu dan dimana pihak yang lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborong dengan bayaran tertentu. Pemborong dengan yang memborongkan tunduk pada KUHPerdata Pasal 1338 jo Pasal 1320 yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Ketentuan lain mengenai outsourching yang diatur dalam KUHPerdata buku III Bab 7A Bagian Keenam tentang perjanjian pemborongan pekerjaan yaitu:

49

Sehat damanik, Outsourching dan perjanjian Kerja Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Penerbit DSS Publising, Jakarta, 2006, hal. 3.


(57)

2) Dalam perjanjian pekerjaan tidak ada hubungan kerja antara perusahaan pemborong dengan perusahaan yang memborongkan sebab dalam perjanjian tersebut tidak ada unsur upah sebagai salah satu syarat adanya hubungan kerja. Jadi yang ada hanyalah harga borongan.

Perjanjian pemborongan yang dibuat oleh para pihak lazim dibuat dalam bentuk standar yang telah diatur oleh pemerintah. Peraturan standar ini menyangkut persyaratan teknis, juga dalam hal administratifnya. Perjanjian standar ini mulanya hanya berlaku bagi proyek pemerintah, akan tetapi kemudian dinyatakan berlaku juga bagi pemborongan bangunan yang dilaksanakan oleh pihak swasta.

Berdasarkan Pasal 1601 KUHPerdata, sebagaimana telah disebutkan diatas dapat kita lihat bahwa pesetujuan dilakukan oleh 2 (dua) pihak yaitu pemberi borongan dengan pihak lainnya yaitu pemborong. Persetujuan ini mengatur tentang kesanggupan pihak pemborong untuk menyelengarakan suatu pekerjaan tertentu yang telah disepakati oleh kedua pihak yang dituangkan dalam perjanjian kerja. Persetujuan perjanjian kerja ini berlaku sampai pekerjaan yang diperjanjikan selesai dikerjakan kecuali dalam hal tertentu persetujuan tersebut dihentikan secara sepihak oleh pemborong dan atau pihak yang memberikan pekerjaan.

Berdasarkan sudut lain perlu diketahui perjanjian pemborongan pekerjaan ini mempunyai perbedaan dengan perjanjian jual beli, karena kedua perjanjian ini hampir tidak jelas batasnya. Perbedaannya adalah sebagai berikut:


(58)

1. Pada perjanjian jual beli disyaratkan adanya saat tertentu yang mana barang objek perjanjian akan pindah menjadi milik pembeli, sedangkan dalam perjanjian pemborongan perjanjian tidak mensyaratkan demikian, melainkan memerlukan jangka waktu yang didalamnya terjadi kegiatan-kegiatan fisik. Misalnya pemasangan mesin-mesin yang belum ada sebelumnya.

2. Dalam perjanjian pemborongan dimungkinkannya ada pihak ketiga yang tidak merupakan pihak dalam perjanjian, namun mempunyai peranan penting dalam pelaksanan perjanjian. Misalnya konsultan.

3. Pada perjanjian pemborongan bangunan memungkinkan adanya seorang atau sejumlah sub kontraktor sedangkan perjanjian yang mengatur mengenai hak-hak dan kewajiban sub kontraktor, ini hanya merupakan hubungan intern antarasub kontraktor dengan kontraktor utama. Pemberi pekerjaan tidak mempunyai hubungan perjanjian dengan kontraktor.50

B. Pengaturan Hukum Mengenai Perjanjian Pemborongan Pekerjaan

Perjanjian pemborongan pekerjaan diatur dalam KUHPerdata Pasal 1601b, 1604 sampai dengan Pasal 1616 dan peraturan-peraturan khusus yang dibuat pemerintah seperti Keppres No. 80/ 2003, UUK serta dalam Algemene Voorwaarden Voorde Unitvoering Bij Aaneming Van Openbare Werken in Indonesia Tahun 1941(AV 1941) yang berarti syarat-syarat umum untuk pelaksanaan pemborongan pekerjaan umum Indonesia. Adapun peraturan ini yang

50

Soedibyo, Berbagai Jenis Kontrak Pekerjaan, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta, 1990, hal. 55.


(1)

seperti yang dimuat dalam Pasal 20 dokumen surat perjanjian dan segala biaya yang ditimbulkan dalam perkara itu merupakan tanggung jawab dari pihak pemborong.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya yang dikaitkan dengan permasalahan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Proses pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan Peningkatan Saluran Irigasi Bondar Sitoman Sosor Pandan Sepanjang 75m telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, dengan memperhatikan ketentuan Keppres No. 80 tahun 2003 jo Perpres No. 32 Tahun 2005. Tahap pembuatan kontrak CV. Bagas Belantara sebagai pemborong telah lulus menjadi rekanan dengan melalui tahap prakualifikasi, kualifikasi dan klasifikasi, yang diperoleh melalui penunjukan langsung sebagai pemenang tender. Tahap pelaksanaan kontrak para pihak menjalankan kewajibannya sesuai dengan yang telah disepakati kedua belah pihak. Dan pada tahap akhir yaitu prakontrak, yang mana pekerjaan telah selesai sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati bersama dengan dilakukannya serah terima pekerjaan dari pihak pemborong kepada pihak yang memborongkan pekerjaan sampai pada tahap pemeliharaan dengan jangka waktu 90 hari masa kerja, maka hal ini menandakan bahwa kontrak pemborongan telah berakhir.

2. Bahwa pihak yang memborongkan pekerjaan bertanggung jawab atas segala pembiayaan yang telah disepakati, menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pemborongan pekerjaan, melakukan


(3)

pengawasan ke lapangan sehingga tidak menimbukan ketidakcocokan dengan apa yang telah dikerjakan oleh pemborong. Pihak pemborong bertanggung jawab terhadap hasil pekerjaannya atau borongannya, jadi segala tindakan yang dilakukan pemborong tersebut apabila masih dalam lingkungan pekerjaannya menjadi tanggung jawab pemborong tersebut sampai pada pemeliharaan pekerjaan.

3. Perjanjian pemborongan pekerjaan antara DPU KIMPRASWIL kepada CV. Bagas belum pernah terjadi perselisihan. Namun apabila terjadi perselisihan maka akan dielesaikan secara musyawarah. Akan tetapi apabila cara ini tidak berhasil maka akan di bawa ke pengadilan untuk diselesaikan secara hukum dan segala biaya yang timbul menjadi tanggung jawab pemborong.

B. Saran

Pada kegiatan akhir pembahasan skripsi ini penulis merasa perlu untuk menuliskan saran sebagai tindak lanjut dari kesimpulan-kesimpulan diatas, yaitu: 1. Agar setiap proses pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan

memperhatikan asas keseimbangan dan keadilan agar yang diharapkan dapat terwujud dan harus memenuhi ketentuan hukum yang berlaku.

2. Agar para pihak yang terlibat dalam perjanjian pemborongan pekerjaan melaksanakan hak dan kewajibannya seperti yang disepakati bersama dan melaksanakan tanggung jawabnya masing-masing agar memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan bersama.


(4)

3. Bahwa setiap perselisihan yang timbul agar diselesaikan secara musyawarah untuk mendapatkan penyelesaian yang terbaik tanpa merugikan pihak manapun tanpa harus di bawa ke muka pengadilan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Badrulzaman, Mariam Darus, 1994, Aneka Hukum Bisnis, , Bandung: Alumni. ___________, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, , Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti.

Barus, Wan Sadjaraddin, 1992, Beberapa Sendi Hukum Perikatan, Penerbit USU Press.

Damanik, Sehat, 2006, Outsourching dan Perjanjian Kerja Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Jakarta: DSS Publising, Dirdjosaput ro, Soed, 1972, Petunjuk untuk Pemborong, Jakarta: Bhatara.

Djumialdji, F. X, 1995, Perjanjian Pemborongan, Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Djumialdji, 1996, Hukum Bangunan Dasar-Dasar Hukum dalam Proyek dan

Sumber Daya Manusia, Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Fuady, Munir, 1998, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, Bandung: PT. Citra Adytia Bakti.

Harahap, Yahya, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni. Hadisoeprapto, Hartono, 1984, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum

Jaminan, , Yogyakarta: Liberti.

Hartono, Sri Redjeki, 1995, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Jakarta: Sinar grafika.

Soedibyo, I. R, 1983, Pihak-Pihak Yang Melaksanakan Pembangunan, Jakarta: Pradnya Paramita.

Muhammad, Abdul Kadir, 1990, Hukum Perikatan, Bandung: PT. Citra Adytia Bakti.

Muljadi Kartini dan Gunawan Widjaja, 2004, Perikatan Pada Umumnya, , Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.


(6)

Salim HS, 2008, Perkembangan Hukum Kontrak Di luar KUH Perdata, Buku Dua, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, 1982, Himpunan Karya Tentang Pemborongan Bangunan, Yogyakarta: Liberty.

Subanar, Harimurti, Manajemen Usaha Kecil BPFE, Yogyakarta.

Subekti, R, 1995, Hukum Perjanjian, Cetakan XII, Jakarta: PT. Intermasa ____________, 1982, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Bandung: Intermasa. Wirjono, Prodjidikoro, S. H, 1981, Hukum Perdata Tentang

Persetujuan-Persetujuan Tertentu, ,Bandung: Penerbit Sumur. Peraturan Perundang-undangan:

1. Keputusan Presiden Nomor. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.

2. Peraturan Presiden Nomor. 32 Tahun 2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.

3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 5. Dokumen Surat Perjanjian.

Internet:

http: // www. Repository. UI. ac. id, diakses tanggal 10 Januari 2010, Jam 15.00.

http // www. hukum online.co. id, diakses tanggal 13 januari 2010, jam 10.00. http: // pengertiancv. Blogspot. com / 2009/04/ pengertian. CV. Html. Jumat, 05

Maret 2010, Jam. 14.20.

http: // pepak. Sabda. Org/ pustaka/ 040420/ http:

, diakses tanggal 05 Maret 2010.

// www. Damandiri/ or. Id/ file/ arirahmathakimundip bab 2. Pdf, diakses tanggal 05 Maret 2010.


Dokumen yang terkait

Tinjauan Hukum Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan/Konstruksi Antara Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Sumber Daya Air Dengan Perusahaan Rekanan ( Studi Di Balai Sumber Daya Air Sumatera II Propinsi Sumatera Utara)

1 67 98

Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Pembangunan Saluran Drainase Antara Dinas Bina Marga Kota Medan Dengan Cv.Teratai 26

8 122 120

Wanprestasi Dalam Perjanjian Pemborongan Kerja Milik Pemerintah Antara CV. Dina Utama Dengan Dinas Penataan Ruang Dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara

2 55 134

Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Antara PT.PLN (Persero) dengan CV.Carmel dalam Hal Penyeimbangan Beban Trafo (Studi pada PT.PLN (Persero) Area Payakumbuh)

4 40 96

Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Pemborongan Pekerjaan antara Dinas Pendidikan Kabupaten Mandailing Natal dengan CV. Bersama Kontraktor (Studi Pada CV. Bersama Kontraktor)

4 25 108

Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Pemborongan Pekerjaan antara Dinas Pendidikan Kabupaten Mandailing Natal dengan CV. Bersama Kontraktor (Studi Pada CV. Bersama Kontraktor)

0 0 9

Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Pemborongan Pekerjaan antara Dinas Pendidikan Kabupaten Mandailing Natal dengan CV. Bersama Kontraktor (Studi Pada CV. Bersama Kontraktor)

0 0 1

Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Pemborongan Pekerjaan antara Dinas Pendidikan Kabupaten Mandailing Natal dengan CV. Bersama Kontraktor (Studi Pada CV. Bersama Kontraktor)

0 0 17

Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Pemborongan Pekerjaan antara Dinas Pendidikan Kabupaten Mandailing Natal dengan CV. Bersama Kontraktor (Studi Pada CV. Bersama Kontraktor)

0 0 30

Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Pemborongan Pekerjaan antara Dinas Pendidikan Kabupaten Mandailing Natal dengan CV. Bersama Kontraktor (Studi Pada CV. Bersama Kontraktor)

0 0 3