Tinjauan Yuridis tentang Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan (Kontrak) Antara Dinas Penataan Ruang dan Pemukiman Provinsi Sumatera Utara Dengan CV. Rymandho Medan

(1)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

NIDEA HUTABARAT NIM: 100200330

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

TINJAUAN YURIDIS TENTANG SURAT PERJANJIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN (KONTRAK) ANTARA DINAS PENATAAN RUANG DAN

PEMUKIMAN PROVINSI SUMATERA UTARA DENGAN CV. RYMANDHO MEDAN

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

NIDEA HUTABARAT NIM: 100200330

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

Ketua Departemen

Dr. H. Hasim Purba SH. M.Hum NIP: 196603031985081001

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Malem Ginting SH,M.Hum Rabiatul Syahriah SH. M.Hum


(3)

selama Penulis menuntut ilmu dan menyelesaikan Skripsi ini. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi syarat menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun yang Penulis pilih sebagai judul Skripsi adalah “TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERJANJIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN (KONTRAK) ANTARA

DINAS PENATAAN RUANG DAN PEMUKIMAN PROVINSI

SUMATERA UTARA DENGAN CV. RYMANDHO MEDAN”.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, dikarenakan berbagai keterbatasan Penulis, baik keterbatasan pengetahuan, pengalaman Penulis dalam menulis karya ilmiah, maupun segi ketersediaan literatur. Oleh karena itu, Penulis dengan besar hati mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca sekalian.

Pada kesempatan ini Penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuannya secara moril maupun materil dalam proses penyelesaian skripsi ini kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, SH, MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

3. Bapak Syafrudin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. O.K. Saidin, SH, M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak M. Husni, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis. 6. Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Malem Ginting, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing I, terimakasih atas segala dukungan, bimbingan, dan nasihat yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Ibu Rabiatul Syahriah, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, terimakasih atas nasihat, motivasi, bimbingan, dan nasihat yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing Penulis selama masa perkuliahan.

10.Direktur CV.Rymandho, Ir.Henri Situmorang yang juga abang sepupu dari penulis, yang telah membantu penulis mendapatkan segala informasi dalam penyelesaian skripsi ini.

11.Seluruh civitas Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, staf administrasi dan seluruh pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

12.Orang tua Penulis papa T. Sudung Hutabarat, SH dan mama Asina Marbun, SE yang selalu memberi dukungan dan motivasi serta doa buat penulis hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.


(5)

13.Kakak Penulis Finita Serena Hutabarat, SH dan adik Penulis Jenrico Louis Hutabarat yang selalu menjadi semangat bagi Penulis.

14.Laurentia Ayu Kartika Putri, SH. , Devi Silvia Hutapea, SH. , Anastasya Mariska Silitonga, SH. , Marwah Effendi Nasution, SH. , Anggie Sere Noveline Sitompul, SH. , Gilbert Sinaga, SH. , Andreas Gayus Sinulingga, SH. , Theopilus Sembiring terimakasih atas segala semangat, motivasi, bantuan, dan selalu setia menemani Penulis dalam suka duka.

15.Chintami Sihombing, SH. , Rosianna Tampubolon, Amd. , Novi Tambun, SH. , Ria Tampubolon , Christ Siahaan , Naomi S Purba , sahabat yang selalu setia menemani Penulis dalam suka duka, terimakasih atas segala dukungan, bantuan, semangat, dan doa yang telah diberikan kepada Penulis.

16.Seluruh teman-teman Grup E, terimakasih atas semua memori selama Penulis menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum USU.

17.Semua pihak yang telah membantu Penulis baik secara moril maupun materil yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.

Demikian yang dapat Penulis sampaikan, semoga kita semua selalu diberkati oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Medan, Oktober 2014 Penulis,


(6)

ABSTRAK Nidea Hutabarat * Malem Ginting, SH, M.Hum ** Rabiatul Syahriah, SH, M.Hum ***

Pembangunan drainase atau yang sering dikenal gorong-gorong adalah salah satu prasarana fisik yang penting untuk menunjang aktivitas manusia. Banyaknya daerah tempat tinggal yang belum mempunyai saluran drainase atau gorong-gorong dan adanya gorong-gorong yang rusak di berbagai daerah di Indonesia membuat pemerintah harus bekerja keras untuk mengadakan perbaikan dengan cara melakukan perbaikan saluran drainase. Dalam rangka pembuatan saluran drainase di desa Patumbak Kec. Patumbak Kab. Deli Serdang, pemerintah dalam hal ini Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara mengadakan kerjasama dengan kontraktor yang bergerak dalam bidang penyedia barang/jasa yaitu CV. Rymandho. Adapun permasalahan yang dibahas adalah bagaimanakah proses pelaksanaan pekerjaan (kontrak) antara Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara dengan CV. Rymandho, bagaimanakah pengaturan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian antar Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara dengan CV. Rymandho dan apa hal upaya yang dilakukan para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dalam pelaksaan pekerjaan tersebut.

Metode penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Data yang digunakan adalah data sekunder serta data yang diperoleh setelah diadakannya survey ke lapangan yang kemudian disusun secara sistematis untuk menggambarkan secara jelas hal-hal yang dipersoalkan dalam skripsi ini.

Adapun kesimpulan dari skripsi ini adalah perjanjian pelaksanaan pekerjaan antara Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara dengan CV. Rymandho telah sesuai ketentuan berlaku, dimana dilakukan dengan adanya pengumuman di koran, lalu dilakukan metode pelelangan umum dengan proses pasca kualifikasi, menggunakan kontrak harga satuan. Baik Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara maupun CV. Rymandho telah memenuhi hak dan kewajiban mereka seperti yang telah tertuang dalam kontrak serta tidak ada ditemukan kendala dalam proses perjanjian pelaksanaan pekerjaan tersebut.

Kata kunci : Perjanjian, Pemborongan, Kontrak Kerja. *

Mahasiswa Departemen Hukum Perdata BW Fakultas Hukum USU **

Dosen Pembimbing I ***


(7)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar... i

Abstrak... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Permasalahan... 7

C. Tujuan Penulisan... `... 8

D. Manfaat Penulisan ... 8

E. Metode Penelitian... 9

F. Keaslian Penulisan... 12

G. Sistematika Penulisan... 13

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian... 15

B. Syarat Sahnya Perjanjian... 19

C. Jenis-Jenis Perjanjian... 22

D. Prinsip Hukum Perjanjian... 26

E. Berakhirnya Perjanjian... 30

F. Wanprestasi dan Akibat Hukumnya... 33

BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN (KONTRAK) PEMBORONGAN A. Pengertian Perjanjian Pemborongan... 37

B. Jenis-Jenis Perjanjian Pemborongan... 42

C. Para Pihak dalam Perjanjian Pemborongan... 44

D. Prosedur Perjanjian Pemborongan... 52

E. Berakhirnya Perjanjian Pemborongan... 60

BAB IV TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERJANJIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN (KONTRAK) ANTARA DINAS PENATAAN RUANG DAN PERMUKIMAN PROVINSI SUMATERA UTARA DENGAN CV. RYMANDHO A.Profil Umum Tentang CV.Rymandho Medan... 64

B.Proses Pelaksanaan Pekerjaan (kontrak) antar Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara dengan CV. Rymandho dalam Pembangunan Drainase di Desa Patumbak Kab. Deli Serdang... 69

C.Pengaturan Hak dan Kewajiban dalam Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan Antara Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara dengan CV.Rymandho... 80

D.Kendala dan Upaya yang dilakukan Para Pihak untuk Menyelesaikan Sengketa yang Timbul dalam Pelaksaan Pekerjaan... 85


(8)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan... 88

B. Saran... 90

DAFTAR PUSTAKA... 91


(9)

ABSTRAK Nidea Hutabarat * Malem Ginting, SH, M.Hum ** Rabiatul Syahriah, SH, M.Hum ***

Pembangunan drainase atau yang sering dikenal gorong-gorong adalah salah satu prasarana fisik yang penting untuk menunjang aktivitas manusia. Banyaknya daerah tempat tinggal yang belum mempunyai saluran drainase atau gorong-gorong dan adanya gorong-gorong yang rusak di berbagai daerah di Indonesia membuat pemerintah harus bekerja keras untuk mengadakan perbaikan dengan cara melakukan perbaikan saluran drainase. Dalam rangka pembuatan saluran drainase di desa Patumbak Kec. Patumbak Kab. Deli Serdang, pemerintah dalam hal ini Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara mengadakan kerjasama dengan kontraktor yang bergerak dalam bidang penyedia barang/jasa yaitu CV. Rymandho. Adapun permasalahan yang dibahas adalah bagaimanakah proses pelaksanaan pekerjaan (kontrak) antara Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara dengan CV. Rymandho, bagaimanakah pengaturan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian antar Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara dengan CV. Rymandho dan apa hal upaya yang dilakukan para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dalam pelaksaan pekerjaan tersebut.

Metode penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Data yang digunakan adalah data sekunder serta data yang diperoleh setelah diadakannya survey ke lapangan yang kemudian disusun secara sistematis untuk menggambarkan secara jelas hal-hal yang dipersoalkan dalam skripsi ini.

Adapun kesimpulan dari skripsi ini adalah perjanjian pelaksanaan pekerjaan antara Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara dengan CV. Rymandho telah sesuai ketentuan berlaku, dimana dilakukan dengan adanya pengumuman di koran, lalu dilakukan metode pelelangan umum dengan proses pasca kualifikasi, menggunakan kontrak harga satuan. Baik Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara maupun CV. Rymandho telah memenuhi hak dan kewajiban mereka seperti yang telah tertuang dalam kontrak serta tidak ada ditemukan kendala dalam proses perjanjian pelaksanaan pekerjaan tersebut.

Kata kunci : Perjanjian, Pemborongan, Kontrak Kerja. *

Mahasiswa Departemen Hukum Perdata BW Fakultas Hukum USU **

Dosen Pembimbing I ***


(10)

A. Latar Belakang

Undang-undang membagi perjanjian untuk melakukan pekerjaan dalam tiga macam, yaitu :1

1. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu; 2. Perjanjian kerja/perburuhan; dan

3. Perjanjian pemborongan pekerjaan.

Dalam peraturan perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan di Indonesia tidak diatur pengertian atau definisi dari pemborongan pekerjaan. Pemborongan pekerjaan diatur di dalam Pasal 64 dan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Selanjutnya disebut UU No.13/2003). Dalam Pasal 64 Undang-undang Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Syarat pekerjaan yang boleh diserahkan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan, antara lain (Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan):2

1. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

1

R. Subekti, Aneka Perjanjian, Cet. Kesebelas, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995). hal. 50

2 “Definisi

Pemborongan Pekerjaan dan Pekerja Borongan”, http:/www.hukumonline.co m/, diakses pada tanggal 14 Mei 2014.


(11)

2. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;

3. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan 4 Tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Perjanjian pemborongan pekerjaan adalah suatu perjanjian antara seorang (pihak yang memborongkan pekerjaan) dengan seorang lain (pihak pemborong), dimana pihak pertama menghendaki sesuatu pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lawan, atas pembayaran sejumlah uang sebagai harga pemborongan.3

Perjanjian pemborongan pekerjaan dibagi dua macam, yaitu :4

1. Dimana pihak pemborong diwajibkan memberikan bahannya untuk pekerjaan tersebut, dan

2. Dimana si pemborong hanya akan melakukan pekerjaannya saja. Dalam halnya si pemborong diwajibkan memberikan bahannya, dan pekerjaannya dengan cara bagaimanapun musnah sebelumnya diserahkan kepada pihak yang memborongkan, maka segala kerugian adalah atas tanggungan si pemborong, kecuali apabila pihak yang memborongkan telah lalai untuk menerima hasil pekerjaan itu. Jika si pemborong hanya wajib melakukan pekerjaan saja, dan pekerjaannya musnah, maka ia hanya bertanggung jawab untuk kesalahannya (Pasal 1605 dan Pasal 1606 KUHPerdata). Ketentuan ini mengandung bahwa akibat suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak,

3

Op.Cit, hal. 58. 4


(12)

yang menimbulkan bahan-bahan yang telah disediakan oleh para pihak yang memborongkan, dipikulkan pada pundaknya pihak yang memborongkan ini.5

Negara Indonesia adalah negara yang berkembang dengan adanya banyak pembangunan dalam segala bidang di seluruh kota di Indonesia. Pembangunan itu sendiri dilakukan untuk menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat serta masyarakat sekitar dimana terjadi pembangunan tersebut. Proyek pemborongan yang dilaksanakan oleh negara atau pemerintah, dilaksanakan dengan cara memborongkan pekerjaan tersebut kepada pihak swasta, karena tidak dapat dilaksanakan oleh pemiliknya sendiri. Namun, pembangunan yang telah dicanangkan selama ini oleh pemerintah hanya akan dapat berjalan apabila mendapat tanggapan yang positif dari masyarakat. Adapun peran pemerintah dalam proses pembangunan adalah sebagai perencana, pelaksana ataupun sebagai pengawas. Sedangkan peran masyarakat adalah turut aktif dalam mengisi dan melaksanakan pembangunan. Pembangunan dapat dilakukan dalam dua aspek yaitu pembangunan secara fisik maupun non fisik. Pembangunan fisik dapat diartikan sebagai alat atau fasilitas yang dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat. Pembangunan sarana dan prasarana fisik seperti dimaksud, berupa:6

1. Prasarana perhubungan yaitu: jalan, jembatan, 2. Prasarana pemasaran yaitu: gedung, pasar, mall

3. Prasarana sosial yaitu: gedung sekolah, rumah-rumah ibadah, puskesmas

5

Loc.Cit. 6

Sri Winda Pasaribu (Skripsi): Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan antara Dinas Pekerjaan Umum KIMPRASWIL Kab Toba Samosir dengan CV.Bagas Belantara, (Medan; Fakultas Hukum USU, 2010), hal. 5.


(13)

4. Prasarana produksi saluran air.

Sedangkan pembangunan non fisik adalah pembangunan yang tidak terwujud, namun dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Pembangunan ini sering disebut juga dengan pembangunan masyarakat, yang dapat berupa:

1. Pembangunan bidang keagamaan

2. Pembangunan bidang kesehatan dan keluarga berencana 3. Pembangunan bidang keamanan dan ketertiban

4. Pelayanan terhadap urusan masyarakat seperti pembuatan KTP, Pembuatan kartu keluarga, pembuatan surat kelahiran

5. Pembuatan surat keterangan berdomisili

Berkenaan dengan pemberian pekerjaan ini, diperlukan hubungan kerja yang menyangkut tentang hukum yaitu perjanjian. Perjanjian kerja erat hubungannya dengan tanggung jawab para pihak dalam pelaksanaan pekerjaan. Dalam akta perjanjian pelaksanaan pekerjaan borongan bangunan, biasanya telah ditentukan segala sesuatu yang menyangkut dengan objek perjanjian tersebut seperti: harga, tim pengawas, jangka waktu pekerjaan, penyerahan pekerjaan, keadaan memaksa, penyelesaian perselisihan, dan lain-lain. Kebebasan berkontrak bukan berarti para pihak bebas dengan sebebas-bebasnya dalam membuat kontrak (perjanjian) melainkan dimaksudkan disini adalah para pihak bebas untuk mengadakan perjanjian apa saja dengan bentuk yang bagaimana, dengan


(14)

ketentuan kontrak yang dibuat pihak-pihak tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.7

Dari segi hukum perjanjian, pemborongan pekerjaan harus tunduk kepada aturan-aturan hukum perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III dan peraturan-peraturan lainnya seperti Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 (Selanjutnya disebut Keppres No. 80/2003) jo Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2005 (Selanjutnya disebut Perpres No. 32/2005) jo Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 (Selanjutnya disebut Perpres No. 8/2006) jo Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 (Selanjutnya disebut Perpres No. 54/2010) jo Peraturan Presiden Nomor 35 tahun 2011 (Selanjutnya disebut Perpres No. 35/2011) untuk mencegah terjadinya sengketa dikemudian hari, karena adanya kesalahpahaman antara pihak pemberi pekerjaan dengan pihak yang melakukan pekerjaan. Aturan mengenai hak dan kewajiban serta hubungan pihak-pihak lain tersebut juga diatur dalam kontrak kerja atau surat perjanjian tersebut. Adanya surat perjanjian atau kontrak kerja tersebut masing-masing pihak harus menjaga keseimbangan hak dan kewajibannya.

Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara sebagai salah satu Dinas Provinsi Sumatera Utara dimana berperan untuk melakukan pembangunan dalam bidang pekerjaan umum seperti pembangunan saluran drainase atau yang sering dikenal oleh masyarakat pembuatan gorong-gorong di Desa Patumbak, Kec. Patumbak, Kab. Deli Serdang. Pembangunan saluran drainase yang terdapat di Desa Patumbak ini merupakan salah satu wujud

7

Margareth B E Sirait (Skripsi): Aspek Hukum Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan Borongan Proyek Bangunan Yang Dilakukan Oleh PT.Riau Adi Sakti dengan PT.Citraciti Pasifik, (Medan; Fakultas Hukum USU, 2003), Hal. 1.


(15)

pembangunan di bidang fisik yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam hal ini Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara. Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara ini tidak dapat secara langsung melakukan pembangunan saluran drainase tersebut, sehingga perlu untuk mengadakan kontrak dengan kontraktor yang persyaratannya sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Salah satu perusahaan kontraktor yang mengadakan kontrak dengan Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara adalah CV.Rymandho Hubungan kerjasama antara Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara dengan CV.Rymandho disebut dengan perjanjian atau sering dikenal dengan kontrak. CV.Rymandho dipercaya untuk menangani pembangunan saluran drainase dari hasil pemenangan suatu lelang yang dilakukan oleh Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara.

Dalam pelaksanaan proyek pemborongan ini, para pihak yang terlibat tidak boleh mengabaikan akta perjanjian. Pemborong dalam melaksanakan pekerjaannya harus selalu berpatokan pada isi perjanjian yang telah disepakati bersama antara pemborong dengan yang memborongkan, karena apabila terjadi penyimpangan dapat dijadikan alasan untuk menyatakan telah terjadi wanprestasi, dan isi perjanjian harus memperhatikan asas keadilan dan keseimbangan.

Pada masa sekarang ini banyak kontrak yang bermasalah, banyak isi kontrak yang sifatnya hanya menguntungkan salah satu pihak tanpa memperhatikan pihak lain, sehingga asas keadilan dan keseimbangan tidak terlihat lagi sehingga tidak sesuai dengan apa yang diharapkan kedua belah pihak. Selain


(16)

itu, dalam proses pekerjaan di lapangan tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati bersama dalam perjanjian, sehingga banyak proyek itu yang berhenti sebelum selesai proses pekerjaannya.

Melihat kejadian seperti di atas, maka diadakanlah penulisan skripsi ini, karena melalui skripsi ini dapat diketahui apakah proses pelaksanaan perjanjian pemborongan pembangunan saluran drainase di Desa Patumbak telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku atau tidak. Oleh sebab itulah penulis tertarik mebuat skripsi tentang perjanjian pemborongan dengan judul “Tinjauan Yuridis Tentang Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan (Kontrak) Antara Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara dengan CV.Rymandho Medan”.

B. Permasalahan

Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah proses pelaksanaan pekerjaan (Kontrak) antara Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara dengan CV.Rymandho ?

2. Bagaimana pengaturan hak dan kewajibannya dalam perjanjian antara Dinas Penataan dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara dengan CV.Rymandho tersebut?


(17)

3. Apa kendala dan upaya yang dilakukan para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dalam pelaksanaan pekerjaan (pemborongan pekerjaan) tersebut?

C. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui proses pelaksanaan pekerjaan (kontrak) antara Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara dengan CV.Rymandho.

2. Untuk mengetahui pengaturan hak dan kewajiban dalam perjanjian antara Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara dengan CV.Rymandho.

3. Untuk mengetahui upaya dan kendala yang akan dilakukan para pihak dalam menyelesaikan sengketa yang timbul dalam pelaksanaan pekerjaan (pemborongan pekerjaan) tersebut.

D. Manfaat Penulisan

Selain dari tujuan penelitian, adapun manfaat yang terdapat dalam penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Secara Teoretis:

Penulisan skripsi ini diharapkan bermanfaat bagi dunia pendidikan pada umumnya serta dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan


(18)

perjanjian pemborongan pada khususnya. Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis dalam pembuatan karya ilmiah dan sebagai sarana untuk menerapkan ilmu pengetahuan di bidang hukum yang pernah penulis dapatkan selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Secara Praktis

Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan masukan bagi masyarakat yang masih awam mengenai perjanjian pemborongan serta dapat memberikan tambahan bagi instansi pemerintah tentang cara membuat perjanjian pemborongan yang baik dan melaksanakannya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengakui masih banyak kekurangan-kekurangan yang diakibatkan keterbatasan kemampuan. Namun kiranya tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang membacanya.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara alamiah untuk memperoleh data dengan kegunaan dan tujuan tertentu. Jadi setiap penelitian yang dilakukan itu memiliki kegunaan serta tujuan tertentu.8 Dalam penulisan skripsi ini, digunakan metode pengumpulan data dan bahan-bahan yang berkaitan dengan materi skripsi ini. Dengan maksud agar tulisan ini dapat dipertanggung jawabkan nilai ilmiahnya, maka diusahakan memperoleh dan mengumpulkan data-data dengan mempergunakan metode sebagai berikut :

8“Definisi Metode P

enelitian”, http://koffieenco.blogspot.com/, diakses pada tanggal 15 Mei 2014.


(19)

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris yang bersifat deskriptif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengelola dan mempergunakan data-data sekunder. Penelitian hukum yang bersifat deskriptif yaitu, penelitian yang menggambarkan serta menjelaskan suatu keadaan yang diperoleh melalui penelitian yang dilakukan ke lapangan yang dapat mendukung teori yang sudah ada.9

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder yang diperoleh disusun secara sistematis dan kemudian dianalisis secara yuridis untuk memperoleh gambaran tentang pokok permasalahan. Adapun data sekunder adalah data yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat atau yang membuat orang taat pada hukum (bersifat mengikat) dan disahkan oleh pihak yang berwenang seperti peraturan perundang–undangan, dan putusan hakim. Bahan hukum primer yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini yakni: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 jo. Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012.

9


(20)

b. Bahan hukum sekunder, diartikan sebagai bahan hukum yang tidak mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar atau ahli yang mempelajari suatu bidang tertentu secara khusus yang akan memberikan petunjuk kemana peneliti akan mengarah. Bahan sekunder disini yang dimaksud oleh penulis adalah doktrin-doktrin yang ada didalam buku, jurnal hukum dan internet.10

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan informasi hukum yang baik dan terdokumentasi maupun tersaji melalui media, yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum), ensiklopedia, majalah, surat kabar, dan sebagainya. Selanjutnya data primer yang diperoleh langsung dari sumbernya yaitu perjanjian (kontrak) antara Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara dengan CV.Rymandho.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara: a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Dalam hal ini penulis mencari dan mengumpulkan data serta mempelajari data dengan melakukan penelitian atas sumber-sumber atau bahan-bahan tertulis berupa buku-buku karangan para sarjana dan ahli hukum yang bersifat teoritis ilmiah yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini.

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

10“Metode

Penelitian Hukum Normatif”, http://lawmetha.wordpress.com/2011/05/19/met ode- penelitian-hukum-normatif/, diakses pada tanggal 15 Mei 2014.


(21)

Penelitian yang dilakukan dalam bentuk studi kasus. Penulis melakukan studi kasus terhadap permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan, sebagai melengkapi bahan yang diperoleh dalam penelitian kepustakaan di atas.

F. Keaslian Penulisan

Penulisan Skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis Surat Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan (Kontrak) Antara Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara dengan CV.Rymandho”.

Judul skripsi ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyusun melalui media referensi buku-buku, media elektronik (internet) sebagai sarana penunjang informasi jaringan perpustakaan terluas, dan studi kasus pada data sekunder yaitu menelaah pada dokumen Surat Perjanjian (kontrak) antara Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara dengan CV. Rymandho. Dalam proses pengajuan skripsi ini harus didaftarkan terlebih dahulu ke perpustakaan dan disahkan oleh Ketua Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Kalaupun ada judul yang serupa namun materi pembahasan yang dilakukan berbeda dari permasalahan yang diangkat juga berbeda. Penulisan skripsi ini merupakan penulisan yang pertama dan asli adanya.


(22)

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi, pembahasan secara sistematis sangat diperlukan untuk memudahkan dalam membaca, memahami maupun memperoleh manfaat dari skripsi tersebut. Untuk memudahkan hal tersebut, maka penulisan skripsi ini disusun secara menyeluruh mengikat kerangka dasar yang terbagi dalam bab per bab yang saling berhubungan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I : Bab I ini akan membahas mengenai latar belakang penulisan skripsi, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan dan diakhiri dengan sistematika penulisan skripsi.

BAB II : Bab ini merupakan bab yang memberikan penjelasan tinjauan umum mengenai perjanjian. Pada bab ini penulis menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan pengertian perjanjian, syarat sahnya perjanjian, jenis-jenis perjanjian, prinsip hukum perjanjian, berakhirnya perjanjian dan wanprestasi dan akibat hukumnya.

BAB III : Bab ini merupakan bab yang memberikan penjelasan mengenai pengertian perjanjian pemborongan, jenis-jenis perjanjian pemborongan, para pihak dalam perjanjian pemborongan, prosedur perjanjian pemborongan, dan berakhirnya perjanjian pemborongan.


(23)

BAB IV : Bab ini merupakan bab yang menguraikan tentang profil umum CV.Rymandho, proses pelaksanaan pemborongan pekerjaan antara Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara dengan CV.Rymandho dalam pekerjaan pembangunan saluran drainase desa patumbak kec.patumbak Kab.Deli Serdang, pengaturan hak dan kewajibannya dalam perjanjian pelaksanaan pekerjaan antara Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara dengan CV.Rymandho serta kendala dan upaya hukum yang dilakukan para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dalam pelaksanaan pekerjaan (pemborongan pekerjaan).

BAB V : Bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan skripsi ini. Di mana Bab ini berisi kesimpulan dan saran terhadap hasil analisa dari bab-bab sebelumnya.


(24)

A. Pengertian Perjanjian

Perjanjian merupakan suatu “perbuatan” yaitu perbuatan hukum, perbuatan yang mempunyai akibat hukum. Seperti dalam Pasal 1313 KUHPerdata memuat pengertian yuridis perjanjian, yaitu “Suatu perbuatan dengan mana seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang atau lebih.”11 Perjanjian juga bisa dibilang sebagai perbuatan untuk memperoleh seperangkat hak dan kewajiban, yaitu akibat-akibat hukum yang merupakan konsekuensinya.12 Dalam lintas hukum, istilah perjanjian merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu “overeenskomst”. Overeenskomst biasanya diterjemahkan dengan perjanjian dan atau persetujuan. Kata perjanjian menunjukkan adanya makna, bahwa para pihak dalam perjanjian yang akan diadakan telah sepakat tentang apa yang mereka sepakati berupa janji-janji yang diperjanjikan. Sementara itu, kata persetujuan menunjukan makna bahwa para pihak dalam suatu perjanjian tersebut juga sama-sama setuju tentang segala sesuatu yang diperjanjikan.13

Hal ini secara jelas dapat disimak juga dari judul Buku III title Kedua tentang “Perikatan-Perikatan yang Lahir dari Kontrak atau Perjanjian” yang dalam bahasa aslinya (bahasa Belanda), yaitu: “Van verbintenissen die uit contract of overeenkomst geboren worden”. Pengertian ini juga didukung pendapat banyak

11

Muhammad, Syaifuddin Hukum Kontrak, (Bandung, Mandar Maju, 2012). hal. 20.

12“Pengertian P

erjanjian”, http://www.legalakses.com/perjanjian/, diakses pada tanggal 06 Juni 2014.

13 “Pengertian P

erjanjian”, http://harrytyajaya.blogspot.com/, diakses pada tanggal 06 Juni 2014.


(25)

sarjana, antara lain: Jacob Hans Niewenhuis, Hofmann, J.Satrio, Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Mariam Darus Badrulzaman, Purwahid Patrik, dan Tirtodiningrat yang menggunakan istilah kontrak dan perjanjian dalam pengertian yang sama.14

Pengertian perjanjian atau kontrak diatur Pasal 1313 KUHPerdata. Pasal 1313 KUHPerdata berbunyi: “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Subekti memberikan definisi perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji pada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Sedangkan KRMT Tirtodiningrat memberikan definisi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang-undang.15 Namun, definisi perjanjian dari Pasal 1313 KUHPerdata ini belum lengkap karena hanya mencakup kontrak atau perjanjian sepihak, yaitu satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih, sedangkan satu orang lainnya atau lebih itu tidak diharuskan mengikatkan diri kepada pihak pertama. Definisi Pasal 1313 BW tersebut mengalami perubahan dalam Nieuw Burgerlijk Wetboek (NBW), sebagaimana diatur dalam Buku 6 Bab 5 Pasal 6: 213, yaitu: “A contract in the sense of this title is a multilateral juridical act where by one or more parties assume an obligation towards one or more other parties.” Menurut NBW kontrak merupakan perbuatan hukum yang

14

Hernoko, A. Yudha. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2010). hal 13.

15


(26)

bertimbal balik, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.

Buku III BW tentang Perikatan (van Verbintenis) tidak memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan perikatan itu. Namun justru diawali dengan Pasal 1233 BW mengenai sumber perikatan, yaitu kontrak atau perjanjian dan undang-undang. Dengan demikian, kontrak atau perjanjian merupakan salah satu dari dua dasar hukum yang ada selain dari undang-undang yang dapat menimbulkan perikatan. Bahkan apabila diperhatikan dalam praktik di masyarakat, perikatan yang bersumber dari kontrak atau perjanjian begitu mendominasi. 16 Adapun unsur-unsur yang tercantum dalam hukum perjanjian/kontrak dapat dikemukakan sebagai berikut:17

1. Adanya kaidah hukum

Kaidah dalam hukum perjanjian dapat terbagi menjadi dua macam, yakni tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum dalam perjanjian tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum perjanjian tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat, seperti: jual beli lepas, jual beli tahunan, dan lain sebagainya. Konsep-konsep hukum ini berasal dari hukum adat.

2. Subyek hukum

Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtperson. Rechtperson diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Dalam hal ini yang menjadi subyek

16

Hernoko, A. Yudha. Ibid, hal. 19. 17

Salim H. S. Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. II. (Jakarta, Sinar Grafika, 2004). hal. 4.


(27)

hukum dalam hukum kontrak adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang berpiutang sedangkan debitur adalah orang yang berutang.

3. Adanya prestasi

Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur. Suatu prestasi umumnya terdiri dari beberapa hal sebagai berkut: memberikan sesuatu; berbuat sesuatu; tidak berbuat sesuatu.

4. Kata sepakat

Dalam Pasal 1320 KUHPerdata ditentukan empat syarat sahnya perjanjian seperti dimaksud di atas, dimana salah satunya adalah kata sepakat (konsensus). Kesepakatan ialah persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak.

5. Akibat hukum

Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban.

Dengan demikian suatu perikatan belum tentu merupakan perjanjian sedangkan perjanjian merupakan perikatan. Atau dengan kalimat lain, bila definisi dari Pasal 1313 KUHPerdata tersebut dihubungkan dengan maksud dari Pasal 1233 KUHPerdata, maka dapat terlihat pengertian dari perikatan, karena perikatan tersebut dapat lahir dari perjanjian itu sendiri.

Satu hal yang kurang dalam berbagai definisi kontrak yang dipaparkan di atas, yaitu bahwa para pihak dalam kontrak semata-mata hanya orang-perorang. Akan tetapi dalam praktiknya, bukan hanya orang-perorangan yang membuat


(28)

kontrak, termasuk juga badan hukum yang merupakan subjek hukum. Dengan demikian, definisi itu, perlu dilengkapi dan disempurnakan.

B. Syarat Sahnya Perjanjian

Ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, mensyaratkan adanya 4 (empat) hal yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu :18

1. Kesepakatan

Pengertian sepakat dilukiskan sebagai persyaratan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar para pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte) dan pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).19

Sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dan asas konsesualitas, maka para pihak dapat membuat perjanjian apa saja yang diinginkannya sepanjang telah terjadi kesepakatan (consensus) diantara para pihak itu. Tentu saja substansi dari kesepakatan yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan sebagaimana dimaksud Pasal 1337 KUHPerdata. Sesuai dengan kedua asas tersebut, kesepakatan yang telah dibuat oleh para pihak dianggap telah terjadi pada saat dibuatnya perjanjian. Akan tetapi menurut Pasal 1321 KUHPerdata, perjanjian itu dapat dibatalkan apabila perjanjian itu diberikan karena suatu kekhilafan, paksaan ataupun karena penipuan. Selanjutnya dalam Pasal 1449 KUHPerdata disebutkan bahwa:

18

Mohammad Amari, dan Asep N. Mulyana. Kontrak Kerja Konstruksi Dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi, (Semarang, Aneka Ilmu, 2010). hal. 96.

19

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Cet Kedua, (Bandung, Alumni, 2005), hal. 24.


(29)

“Perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan atau penipuan, menimbulkan tuntutan untuk membatalkannya.”

2. Kecakapan (lack of capacity)

Mengenai kecakapan untuk membuat suatu perikatan, Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa: “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap.”

Selanjutnya Pasal 1330 KUHPerdata menentukan secara limitasi orang-orang yang dinyatakan tidak cakap membuat perjanjian, yaitu :20

a. Anak yang belum dewasa

Menurut Pasal 330 KUHPerdata, pengertian belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur dua puluh satu tahun dan belum terikat dalam suatu perkawinan.

b. Orang yang berada di bawah pengampuan

Istilah pengampuan sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 433 KUHPerdata, yaitu : setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap, harus ditaruh di bawah pengampuan, walaupun bila ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya.

c. Perempuan yang telah kawin

Pada dasarnya, perempuan yang terikat dalam suatu perkawinan tidak dapat melakukan perjanjian dengan pihak lain, kecuali atas izin suaminya. Tetapi tidak berlaku lagi setelah keluarnya SEMA dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.s

20


(30)

3. Suatu pokok persoalan tertentu

Mengenai syarat objektif telah dinyatakan dalam Pasal 1332 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata. Di dalam Pasal 1333 KUHPerdata, menentukan: “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan, yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.”

Dalam ketentuan Pasal 1333 KUHPerdata itu, menjadi jelas bahwa apapun bentuk perjanjiannya (memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu) senantiasa mengenai eksistensi dari suatu pokok persoalan tertentu.

4. Suatu sebab yang tidak terlarang

Suatu sebab tidak terlarang sebagai syarat objektif dalam perjanjian telah ditentukan dalam Pasal 1335 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata. Meskipun KUHPerdata tidak memberikan definisi tentang “suatu sebab”, namun dari rumusan Pasal 1335 KUHPerdata disebutkan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal, yaitu: “Bukan tanpa sebab, bukan sebab yang palsu ataupun bukan sebab yang terlarang.” Oleh karena itu, Pasal 1336 KUHPerdata menyatakan: “Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang tidak terlarang, atau jika ada sebab lain selain daripada yang dinyatakan itu, perjanjian itu adalah sah.”


(31)

Dua syarat di atas yang pertama, dinamakan syarat-syarat subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri oleh objek dari perbuatan hukum yang dilakukan.21 Dalam hal ini juga harus dibedakan antara syarat subjektif dengan syarat objektif. Dalam hal syarat objektif, kalau syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian itu batal demi hukum. Artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum, adalah gagal. Dengan demikian, maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan Hakim. Dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu Null and Void.22

C. Jenis-Jenis Perjanjian

Perjanjian atau kontrak ini dapat dibedakan menurut berbagai aspek (tinjauan), sehingga timbullah berbagai jenis perjanjian.

Jenis-jenis perjanjian ini secara umum dikelompokkan menjadi 5, yaitu:23 1. Perjanjian Konsensuil, Perjanjian Formil dan Perjanjian Riil (Perjanjian

menurut Persyaratan Terjadi/Terbentuknya) a. Perjanjian Konsensual

21

Mohammad Amari dan Asep N. Mulyana, Op.Cit, hal. 17. 22

Ibid, hal. 20. 23

Jenis-Jenis Perjanjian”, http://berbagitentanghukum.blogspot.com/, diakses pada tanggal 18 Juni 2014.


(32)

Perjanjian konsensuil ini adalah perjanjian yang dianggap sah kalau sudah ada consensus diantara para pihak yang membuat. Perjanjian semacam ini untuk sahnya tidak memerlukan bentuk tertentu. Misalnya, perjanjian jual-beli menurut Pasal 1457 KUHPerdata terjadi sepakat mengenai barang dan harganya.

b. Perjanjian Formil

Suatu perjanjian yang harus diadakan dengan bentuk tertentu, seperti harus dibuat dengan akta notariil. Jadi perjanjian semacam ini baru dianggap sah jika dibuat dengan akta notaris dan tanpa itu maka perjanjian dianggap tidak pernah ada.

c. Perjanjian Riil

Perjanjian riil, yaitu perjanjian yang memerlukan kata sepakat, tetapi barangnyapun harus diserahkan. Misalnya, perjanjian penitipan barang menurut Pasal 1741 KUHPerdata dan perjanjian pinjam mengganti menurut Pasal 1754 KUHPerdata.

2. Perjanjian Sepihak dan Perjanjian Timbal Balik (Perjanjian menurut Hak dan Kewajiban para pihak yang membuatnya)

a. Perjanjian Sepihak

Suatu perjanjian dengan mana hak dan kewajiban hanya ada pada salah satu pihak saja. Misalnya : perjanjian hibah/pemberian menurut Pasal 1666 KUHPerdata, maka dalam hal itu yang dibebani kewajiban hanya salah satu pihak, yaitu pihak yang memberi, dan pihak yang diberi tidak dibebani kewajiban untuk berprestasi kepada pihak yang memberi.


(33)

b. Perjanjian Timbal Balik

Suatu perjanjian yang membebankan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Contoh dari perjanjian timbal balik ini adalah perjanjian jual beli.

3. Perjanjian Obligatoir dan Perjanjian Kebendaan (Perjanjian menurut Sifat dan Akibat Hukumnya)

a. Perjanjian Obligatoir (Obligatoire Overeenkomst)

Suatu perjanjian yang hanya membebankan kewajiban bagi para pihak, sehingga dengan perjanjian disitu baru menimbulkan perikatan. Perjanjian Obligatoir ini juga menurut Pasal 1313 Jo. Pasal 1349 KUHPerdata, adalah perjanjian yang timbul karena kesepakatan kedua belah pihak atau lebih dengan tujuan timbulnya suatu perikatan untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain. Misalkan: perjanjian jual beli, maka dengan sahnya perjanjian jual beli itu belum akan menyebabkan beralihnya benda yang dijual. Tetapi dari perjanjian itu menimbulkan perikatan, yaitu bahwa pihak penjual diwajibkan menyerahkan barang dan pihak pembeli diwajibkan membayar sesuai dengan harganya. Selanjutnya untuk beralihnya suatu benda secara nyata harus ada levering/penyerahan, baik secara yuridis maupun empiris.

b. Perjanjian Kebendaan (Zakelijke Overeenkomst)

Perjanjian penyerahan benda atau levering yang menyebabkan seorang yang memperoleh itu menjadi mempunyai hak milik atas benda yang bersangkutan. Jadi perjanjian itu tidak menimbulkan perikatan, dan justru perjanjian itu sendiri yang menyebabkan beralihnya hak milik atas benda.


(34)

4. Perjanjian Pokok dan Perjanjian Accessoir a. Perjanjian Pokok

Suatu perjanjian yang dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada perjanjian yang lainnya.

b. Perjanjian Accessoir

Suatu perjanjian yang keberadaannya tergantung pada perjanjian pokok. Dengan demikian perjanjian accessoir tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya perjanjian pokok. Misalnya : perjanjian hak tanggungan, perjanjian pendidikan dan perjanjian penjaminan.

5. Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama (Perjanjian menurut Penamaan dan Sifat Pengaturan Hukumnya)

a. Perjanjian Bernama (BenoemdeContract atau NominaatContract) Perjanjian-perjanjian yang disebut serta diatur dalam buku III KUHPerdata atau di dalam KUHD, seperti : perjanjian jual-beli, perjanjian pemberian kuasa, perjanjian kredit, perjanjian asuransi, dan lain-lain. Perjanjian bernama ini juga mempunyai nama sendiri yang telah diatur secara khusus dalam KUHPerdata bab V sampai dengan Bab XVIII.

b. Perjanjian Tidak Bernama

Perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata dan KUHD, dan yang tidak diatur secara khusus dalam KUH Pedata, tetapi timbul dan berkembang di masyarakat berdasarkan atas kebebasan membuat kontrak menurut Pasal 1338 KUHPerdata, antara lain perjanjian penyerahan hak milik sebagai jaminan dan perjanjian jual-beli dengan angsuran/cicilan.


(35)

Kedua perjanjian tersebut tunduk pada ketentuan yang terdapat dalam Bab I, Bab II, dan Bab IV buku III KUHPerdata Pasal 1319.

- Bab I: mengatur ketentuan-ketentuan tentang perikatan-perikatan pada umumnya.

- Bab II: mengatur ketentuan-ketentuan tentang perjanjian sebagai sumber daripada perikatan.

- Bab IV: mengatur ketentuan-ketentuan tentang hapusnya perikatan.

Bab I, Bab II, dan Bab IV dalam hukum perdata disebut sebagai ajaran umum daripada perikatan.

D. Prinsip Hukum Perjanjian

Pelaksanaan perjanjian atau kontrak pada dasarnya merupakan pelaksanaan kewajiban kontraktual. Pada sisi pengguna barang/jasa, kewajiban utama adalah melakukan pembayaran, sedangkan pemenuhan kewajiban kontraktual oleh penyedia barang/jasa bergantung pada jenis kontraknya: pengadaan barang, jasa konsultasi atau pemborongan. Dalam beberapa jenis perjanjian, juga terdapat kewajiban lain yang harus ditaati, diantaranya yang perlu perhatian adalah kewajiban untuk menjaga kerahasiaan informasi yang terdapat dalam perjanjian, karena sekalipun transparan merupakan prinsip utama dalam pengadaan barang oleh pemerintah, dalam situasi tertentu prinsip confidentiality merupakan pembatas penerapan transparansi.24 Perbedaan-perbedaan prinsip antar sistem hukum semakin menipis dan justru yang banyak terbentuk adalah prinsip

24

Y. Sogar, Simamora. Hukum Kontrak (Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia), Kantor Hukum “Wins & Partners”, Cet kedua, Surabaya, 2013. hal. 247.


(36)

hukum perjanjian/kontrak yang telah menjadi ius commune. Negara-negara dengan sistem common law banyak mengadopsi prinsip yang secara tradisional melekat pada sistem civil law, misalnya prinsip itikad baik (goodfaith).

Prinsip ini secara gradual telah diterapkan di sejumlah pengadilan negara-negara dengan sistem common law. Sebaliknya negara dengan sistem civil law juga menerima pengaruh dari tradisi common law.25 Indonesia secara tradisi jelas masuk ke dalam kelompok civil law karena BW Indonesia pada dasarnya sama dengan BW Belanda. Dalam perjalanan waktu hal ini tidak mutlak sebab praktek-praktek bisnis sangat mempengaruhi perkembangan hukum nasional, terutama bidang hukum kontrak.

Prinsip hukum dalam suatu perjanjian ada dikenal 4, yaitu :26 1. Prinsip Kebebasan Berkontrak

Prinsip kebebasan berkontrak dikenal dengan istilah Partij OtonomiePrinsip atau Freedom of Contract atau Liberty of Contract. Istilah yang kedua lebih umum digunakan daripada istilah yang pertama dan ketiga. Prinsip kebebasan berkontrak ini adalah prinsip yang universal, artinya dianut oleh hukum kontrak di semua negara pada umumnya.27 Prinsip ini merupakan topik dalam setiap kajian hukum yang berkaitan dengan kontrak. Prinsip ini menjadi domain terpenting dalam kontrak tetapi dalam perkembangannya mengalami pasang surut. Tidak seperti prinsip itikad baik yang menunjukkan fungsi yang lebih menguat, kebebasan berkontrak justru mengalami penurunan secara fungsional karena kuatnya intervensi negara dalam membatasi individu dalam

25

Ibid, hal 27. 26

Ibid, hal 30.

27


(37)

menciptakan dan mengatur hubungan berkontraktual.kebebasan berkontrak menjadi penting dalam mendukung kepentingan para pelaku ekonomi. Prinsip efisiensi dalam ekonomi menemukan justifikasinya dalam model kontrak klasik. Kebebasan inilah yang pada akhirnya melahirkan kontrak adhesi. Kontrak yang mengandung sifat adhesi merupakan implikasi yang jelas dan hal ini merupakan kelaziman dalam kontrak yang dibuat oleh pemerintah.

2. Prinsip Itikad Baik (goodfaith)

Prinsip ini mempunyai fungsi sangat penting dalam konstelasi hukum Kontrak. Batasan tentang itikad baik memang sulit ditentukan. Tetapi pada umumnya dipahami bahwa itikad baik merupakan bagian dari kewajiban kontraktual. Dalam sistem kita, prinsip ini tertuang dalam Pasal 1338 (3) BW yang menekankan adanya keharusan bagi para pihak untuk melaksanakan kontrak dengan itikad baik. Terdapat dua makna itikad baik. Pertama dalam kaitannya dengan pelaksanaan kontrak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1338 (3) BW. Dalam kaitan ini, itikad baik atau bona fides diartikan perilaku yang layak dan patut antar kedua belah pihak (redlijkbeid en billijkbeid). Kedua, itikad baik juga diartikan sebagai keadaan tidak mengetahui adanya cacat, seperti misalnya pembayaran dengan itikad baik sebagaimana diatur dalam Pasal 1386 BW.28

3. Prinsip Konsesualisme

Asas konsesualisme berasal dari kata latin consensus yang artinya sepakat. Sepakat itu adalah penyesuaian paham dan kehendak antara para pihak yang membuat kontrak. Dalam membuat kontrak disyaratkan adanya konsensus,

28


(38)

yaitu para pihak sepakat atau setuju mengenai prestasi yang dijanjikan. Suatu kontrak sudah sah dan mengikat ketika tercapai kata sepakat, selama syarat-syarat lainnya sudah terpenuhi. Asas konsensualisme ini merupakan salah satu syarat untuk sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Tanpa adanya kesepakatan ini, perjanjian tersebut batal demi hukum. kesepakatan maksudnya adalah seiya-sekata tentang apa yang diperjanjikan. Kesepakatan ini dicapai dengan penuh kesadaran, tanpa paksaan dan tekanan salah satu pihak.29 Prinsip konsensualisme juga terkandung dalam Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata yang memuat ketentuan imperatif, yaitu kontrak yang telah dibuat secara sah tidak dapat ditarik kembali (diputuskan) secara sepihak, selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan undang-undang.30

4. Prinsip Kekuatan Mengikat Kontrak

Prinsip kekuatan mengikat kontrak ini mengharuskan para pihak memenuhi apa yang telah merupakan ikatan mereka satu sama lain dalam kontrak yang mereka buat. Prinsip hukum ini disebut juga prinsip pacta sunt servanda, yang secara konkrit dapat dicermati dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang memuat ketentuan imperatif, yaitu “Semua kontrak yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Adagium pacta sunt servanda (yang terkandung dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata) diakui sebagai aturan yang menetapkan bahhwa semua kontrak yang dibuat manusia satu sama lain, mengingat kekuatan hukum yang terkandung

29

Prinsip-Prinsip Hukum Kontrak”, http://www.audrytimisela.wordpress.com/, diakses tgl 17 September 2014.

30


(39)

di dalamnya, dimaksudkan untuk dilaksanakan dan pada akhirnya dapat dipaksakan penataannya.31 Kekuatan mengikat kontrak mempunyai daya kerja (strekking) sebatas para pihak yang membuat kontrak, menunjukkan bahwa hak yang lahir merupakan hak perorangan (persoonlijk recht) dan bersifat relatif.32

E. Berakhirnya Perjanjian

Perjanjian yang telah dibuat dan dilaksanakan oleh para pihak dapat berakhir atau hapus. Ada logika hukum tentang ini, bahwa jika perjanjian berakhir atau hapus, maka perikatan yang bersumber dari kontrak itu juga menjadi berakhir atau hapus. Sebaliknya, jika perikatan yang bersumber dari kontrak berakhir atau hapus, maka kontraknya juga berakhir atau hapus. Dalam kaitannya juga dengan pelaksanaan kontrak pengadaan di Indonesia, ketentuan mengenai pemutusan kontrak dapat dijumpai dalam Pasal 93 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah (selanjutnya disebut Perpres No.54/2010), sedangkan untuk penghentian kontrak diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah (selanjutnya disebut Perpres No.54/2010), melainkan dituangkan dalam Perka LKPP No.6/2012 tentang Petunjuk Teknis Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 (Selanjutnya disebut Perpres No.70/2012) tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 (Selanjutnya disebut Perpres

31

Herlien Budiono. Asas keseimbangan bagi hukum perjanjian Indonesia:hukum perjanjian berlandaskan asas-asa wigati Indonesia, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2006). hal 91

32

M. Isnaeni, Hipotek Pesawat Udara di Indonesia, (Surabaya, Dharma Muda, 1996), hal. 32.


(40)

No.54/2010) tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.33 Penghentian kontrak dikaitkan dengan terjadinya keadaan memaksa/keadaan kahar (force majeur), sedangkan pemutusan dilakukan jika penyedia barang/jasa dinilai gagal melaksanakan kewajibannya. Aturan hukum mengenai keadaan memaksa secara fragmentaris tertuang dalam BW, yakni Pasal 1235, 1244, 1245 dan 1444. Namun demikian BW tidak merumuskan batasan keadaan memaksa ini. Penilaian ada tidaknya keadaan memaksa dengan demikian, diserahkan kepada kedua belah pihak. Jika kemudian terjadi sengketa mengenai hal ini, maka pengadilan hanya akan menilai terjadinya keadaan memaksa bertitik tolak dari jenis-jenis peristiwa yang telah ditetapkan di kontrak. Penghentian kontrak juga dapat dilakukan karena pekerjaan telah selesai. Suatu kontrak dapat terhapus atau berakhir juga, karena 34:

1. Para pihak menentukan berlakunya kontrak untuk jangka waktu tertentu; 2. Undang-undang menentukan batas waktu berlakunya kontrak;

3. Salah satu pihak meninggal dunia, misalnya dalam kontrak pemberian kuasa, kontrak perburuhan, dan kontrak perseroan;

4. Satu pihak atau kedua belah pihak menyatakan menghentikan kontrak, misalnya dalam kontrak kerja atau kontrak sewa menyewa;

5. Karena putusan hakim; 6. Tujuan kontrak telah tercapai; 7. Dengan persetujuan para pihak.

33

Y. Sogar, Simamora. Op.Cit, hal 281 34


(41)

Sementara itu, pemutusan kontrak lazimnya dikaitkan dengan kegagalan penyedia barang/jasa dalam memenuhi kewajiban kontraktualnya. Dalam Peraturan Presiden No.54/2010 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah, pemutusan kontrak juga dapat dilakukan jika penyedia barang/jasa terbukti melakukan KKN, kecurangan dan/atau pemalsuan baik dalam proses pemilihan maupun dalam pelaksanaan pekerjaan. Pemutusan kontrak dapat pula disertai sanksi berupa:35

1. Jaminan pelaksanaan dicairkan

2. Sisa uang muka harus dilunasi oleh penyedia barang/jasa atau jaminan uang muka dicairkan

3. Penyedia barang /jasa membayar denda keterlambatan 4. Penyedia barang/jasa dimasukkan dalam daftar hitam

Sanksi tersebut bersifat kumulatif. Tetapi bertitik dari prinsip Proporsionalitas, seharusnya sanksi-sanksi ini bersifat fakultatif bukan kumulatif. Akibat hukum atas penghentian dan pemutusan kontrak juga merupakan hal penting untuk diperhatikan. Jika kontrak dihentikan karena terjadinya keadaan memaksa maka pengadaan barang/jasa sesuai dengan jasa wajib membayar kepada penyedia barang/jasa sesuai dengan prestasi atau kemajuan pelaksaan proyek yang telah dicapai. Jika telah terdapat prestasi yang telah dipertukarkan, harus saling dikembalikan. Tetapi ada juga dalam banyak situasi akibat pembubaran, dilihat dari isi kontrak. Ini adalah konsekuensi pemutusan dan pembubaran.

35 Pasal 93 ayat (2) Perpres No.54/2010


(42)

F. Wanprestasi dan Akibat Hukumnya

Dalam suatu kontrak baku sering dijumpai ketentuan bahwa para pihak telah bersepakat menyimpang atau melepaskan Pasal 1266 KUHPerdata. Menurut kamus hukum, wanprestasi berarti “kelalaian, kealpaan, cidera janji, tidak menepati kewajibannya dalam kontrak.36 Jadi wanprestasi adalah suatu keadaan dalam mana seorang debitur (berutang) tidak melaksanakan prestasi yang diwajibkan dalam suatu kontrak, yang dapat timbul karena kesengajaan atau kelalaian debitur itu sendiri dan adanya keadaan memaksa (overmacht).37 Seorang debitur atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak, yang dapat dinyatakan telah melakukan wanprestasi ada 4 (empat) macam wujudnya, yaitu:

1. Tidak melaksanakan prestasi sama sekali;

2. Melaksanakan prestasi, tetapi tidak sebagaimana mestinya; 3. Melaksanakan prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya; 4. Melaksanakan perbuatan yang dilarang dalam kontrak. Tindakan wanprestasi dapat terjadi karena:38

1. Kesengajaan; 2. Kelalaian;

3. Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian)

36

R. Subekti dan R. Tjitrosoedibyo, Kamus Hukum, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1996), hal. 110.

37

P. N. H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta, Djambatan, 2007). hal. 340.

38


(43)

Akibat wanprestasi yang dilakukan debitur atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak, dapat menimbulkan kerugian bagi debitur atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi. Akibat hukum bagi debitur atau pihak yang melakukan wanprestasi, yaitu:39

1. Dia harus membayar ganti kerugian yang diderita oleh kreditur atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi;

2. Dia harus menerima pemutusan kontrak disertai dengan pembayaran ganti kerugian;

3. Dia harus menerima peralihan risiko sejak saat terjadinya wanprestasi; 4. Dia harus membayar biaya perkara jika diperkarakan di pengadilan.

Kewajiban membayar ganti kerugian bagi debitur atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak tetapi melakukan wanprestasi baru dapat dilaksanakan jika telah memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu:

1. Dia memang telah lalai melakukan wanprestasi; 2. Dia tidak berada dalam keadaan memaksa;

3. Dia tidak melakukan pembelaan untuk melawan tuntutan ganti kerugian; 4. Dia telah menerima pernyataan lalai atau somasi.

Seorang debitur yang dituduh lalai dan dituntut supaya dihukum atas kelalaiannya, dapat mengajukan pembelaan yang disertai dengan alasan, yaitu: mendalilkan adanya keadaan memaksa (overmacht), mendalilkan bahwa kreditur telah lalai, dan mendalilkan bahwa kreditur telah melepaskan haknya. Akibat hukumnya jika terjadi wanprestasi, maka perjanjian tersebut tidak perlu

39


(44)

dimintakan pembatalan kepada hakim, tetapi dengan sendirinya sudah batal demi hukum. Dalam hal ini wanprestasi merupakan syarat batal. Akan tetapi, beberapa ahli hukum berpendapat sebaliknya, bahwa dalam hal terjadi wanprestasi perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi harus dimintakan pembatalan kepada hakim dengan alasan antara lain bahwa sekalipun debitur sudah wanprestasi hakim masih berwenang untuk memberi kesempatan kepadanya untuk memenuhi perjanjian. Akibat hukum suatu perikatan terdiri dari 2, yaitu :40

1. Akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari perjanjian

Akibat hukum ini memang dikehendaki oleh para pihak, karena memang perjanjian didasarkan atas kesepakatan yaitu penyesuaian kehendak antara pihak yang membuat perjanjian.

2. Akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari undang-undang

Akibat hukum ini tidak dikehendaki oleh para pihak, tetapi hubungan hukum dan akibat hukumnya ditentukan oleh undang-undang.

Akibat hukum juga bagi debitur atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak tetapi melakukan wanprestasi, yaitu :41

a. Dia harus membayar ganti kerugian yang diderita oleh kreditur atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi (Pasal 1243 KUHPerdata) b. Dia harus menerima pemutusan kontrak disertai dengan pembayaran

ganti kerugian (Pasal 1267 KUHPerdata)

c. Dia harus menerima peralihan risiko sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata)

40

Suharnoko. Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2004), hal. 117.


(45)

d. Dia harus membayar biaya perkara jika diperkarakan di pengadilan (Pasal 181 ayat (1) HIR)

Selain itu, menurut Pasal 1266 KUHPerdata, dalam kontrak timbal balik, wanprestasi dari satu pihak memberikan hak kepada pihak lainnya untuk memutuskan kontrak di pengadilan, walaupun syarat putus mengenai tidak terpenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam kontrak.


(46)

A. Pengertian Perjanjian Pemborongan

Dalam penulisan skripsi ini digunakan secara bersama-sama atau secara berganti-ganti masing-masing istilah “konstruksi” dan “pemborongan”. Sungguhpun barangkali jika dikaji-kaji ada perbedaan di antara kedua istilah tersebut. Tetapi dalam teori dan praktek hukum, kedua istilah tersebut dianggap sama, terutama jika dikaitkan dengan istilah “hukum/kontrak konstruksi” atau “hukum/kontrak pemborongan”. Karena itu, dalam tulisan ini, kedua istilah tersebut digunakan untuk arti yang sama. Walaupun begitu, sebenarnya istilah “pemborongan” mempunyai cakupan yang lebih luas dengan istilah “konstruksi”. Sebab, dengan istilah “pemborongan” dapat saja berarti bahwa yang diborong tersebut bukan hanya konstruksinya (pembangunannya), melainkan dapat juga berupa “pengadaan” barang saja (procurement).

KUHPerdata vide Pasal 1601 b memberi arti pada kontrak pemborongan sebagai suatu perjanjian dengan mana pihak pertama, yaitu kontraktor mengikatkan dirinya untuk menyelesaikan suatu pekerjaan untuk pihak lain yaitu bouwheer, dengan harga yang telah ditentukan. Dari definisi itu terlihat bahwa KUHPerdata keliru memandang kontrak konstruksi atau kontrak pemborongan sebagai suatu jenis kontrak unilateral, dimana seolah-olah hanya pihak kontraktor yang mengikatkan diri dan harus berprestasi. Padahal dalam perkembangannya


(47)

saat ini, baik pihak kontraktor maupun pihak bouwheer saling mengikatkan diri, dengan masing-masing mempunyai hak dan kewajibannya sendiri-sendiri.42

KUHPerdata Indonesia tidak banyak mengatur tentang perjanjian pemborongan pekerjaan ini, yaitu hanya terdapat dalam 14 Pasal saja, mulai dari Pasal 1601b dan Pasal 1604 sampai dengan Pasal 1617. Namun demikian, sungguhpun singkat dan kelihatan sederhana sekali, tentunya KUHPerdata tersebut berlaku sebagai hukum positif di lndonesia.43 Perlu ditegaskan bahwa ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan di dalam KUHPerdata berlaku baik bagi perjanjian pemborongan pada proyek swasta maupun pada proyek-proyek pemerintah.

Perjanjian pemborongan pada KUHPerdata itu bersifat pelengkap artinya ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan dalam KUHPerdata dapat digunakan oleh para pihak dalam perjanjian pemborongan atau para pihak dalam perjanjian pemborongan dapat membuat sendiri ketentuan- ketentuan perjanjian pemborongan asal tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.44

Menurut Wikipedia ensiklopedia , konstruksi diartikan sebagai suatu kegiatan membangun sarana maupun prasarana. Dalam sebuah bidang arsitektur atau teknik sipil, sebuah konstruksi juga dikenal sebagai sebuah bangunan atau satuan infrastrukstur pada sebuah area atau pada beberapa area. Walaupun kegiatan konstruksi dikenal sebagai suatu pekerjaan, tetapi dalam kenyataannya

42

Munir, Fuady. Kontrak Pemborongan Mega Proyek, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 12.

43

Ibid, hal. 26 44


(48)

konstruksi merupakan suatu kegiatan yang terdiri dari beberapa pekerjaan lain yang berbeda.45 Kontrak kerja konstruksi atau kontrak pemborongan meliputi tiga bidang pekerjaan, yaitu perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Pada prinsipnya, pelaksanaan masing-masing jenis pekerjaan ini harus dilakukan oleh penyedia jasa secara terpisah dalam suatu pekerjaan konstruksi/pemborongan. Tujuannya adalah untuk menghindari konflik kepentingan. Dengan demikian tidak dibenarkan adanya perangkapan fungsi, misalnya pelaksana konstruksi merangkap konsultan pengawas atau konsultan perencana merangkap pengawas. Pengecualian terhadap prinsip ini dimungkinkan untuk pekerjaan yang bersifat kompleks, memerlukan teknologi canggih serta mengandung risiko besar, seperti pembangunan kilang minyak, pembangkit tenaga listrik dan reaktor nuklir.46

Pesatnya dinamika pembangunan nasional terutama di bidang fisik, harus pula didukung dengan semakin tumbuh dan berkembangnya usaha jasa konstruksi nasional yang handal dan profesional, diharapkan dapat menggairahkan iklim usaha yang kompetitif dan berdaya saing sekaligus juga dapat memaksimalkan penggunaan jasa produksi nasional oleh para pengguna jasa konstruksi. Dengan semakin banyak pengguna jasa konstruksi menggunakan usaha jasa konstruksi nasional, maa secara tidak langsung telah mendukung upaya peningkatan penerimaan dan penghematan usaha devisa negara, serta memberikan lapangan usaha dan kesempatan kerja.

Ketentuan dalam KUHPerdata yang menyangkut perjanjian melakukan pekerjaan, khususnya mengenai pemborongan bangunan itu hanya memuat

45

Mohammad Amari dan Asep N. Mulyana. Op. Cit, hal. 15. 46


(49)

beberapa ketentuan saja mengenai hak-hak dan kewajiban para pihak dalam pemborongan, maka banyak hal yang menyangkut pelaksanaan pekerjaan pemborongan lalu diatur dalam peraturan standar sebagaimana yang tercantum dalam AV (Algemene Voorwaarden voor de uitvoering bij anneming van openbare werkwen in Indonesia) Tahun 1941 tentang syarat-syarat umum untuk pelaksanaan pemborongan pekerjaan di Indonesia. Kemudian hal ini diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang kemudian dicabut dan digantikan dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 dan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012. Lahirnya undang-undang ini sesungguhnya dimaksudkan untuk mengembangkan iklim usaha, yang mendukung peningkatan daya saing secara optimal dalam rangka tercapainya pembangunan nasional. Dalam peraturan ini, perjanjian pemborongan disebut dengan istilah “kontrak pengadaan barang/jasa “

Didalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 terdapat asas-asas pengaturan jasa konstruksi atau pemborongan, yaitu:

1. Asas kemitraan, yang mengandung pengertian bahwa sesuatu yang diharapkan dapat diwujudkan dengan keterkaitan yang makin erat dalam satu kesatuan baik, antara pengguna jasa dengan penyedia jasa ataupun sebaliknya.


(50)

2. Asas kejujuran dan keadilan, yang mengandung pengertian kesadaran akan fungsinya dalam penyelenggaraan tertib jasa konstruksi serta bertanggung jawab memenuhi berbagai kewajiban guna memperoleh haknya.

3. Asas manfaat, yang mengandung pengertian bahwa segala kegiatan jasa konstruksi harus dilaksanakan berlandaskan prinsip-prinsip profesionalitas dalam kemampuan dan tanggung jawab, efisiensi dan efektifitas yang dapat menjamin terwujudnya nilai tambah yang optimal bagi para pihak dalam penyelenggaraan jasa konstruksi dan bagi kepentingan nasional. 4. Asas keserasian, yang mengandung pengertian bahwa penyelenggaraan

pekerjaan pemborongan harus berlandaskan pada prinsip yang menjamin terwujudnya keseimbangan antara kemampuan penyedia jasa dan beban kerjanya. Pengguna jasa dalam menetapkan jasa wajib memenuhi asas ini, untuk menjamin terpilihnya penyedia jasa yang paling sesuai, dan di sisi lain dapat memberikan peluang pemerataan yang proporsional dalam kesempatan kerja pada penyedia jasa.

5. Asas kemandirian, yang mengandung pengertian tumbuh dan berkembangnya daya saing jasa konstruksi nasional.

6. Asas keterbukaan, yang mengandung pengertian ketersediaan informasi yang dapat diakses sehingga memberikan peluang bagi para pihak, terwujudnya transparansi dalam penyelenggaraan jasa konstruksi yang memungkinkan para pihak dapat melaksanakan kewajibannya secara optimal dan kepastian akan hak dan untuk memperolehnya serta


(51)

memungkinkan adanya koreksi sehingga dapat dihindari adanya berbagai kekurangan dan penyimpangan.

7. Asas keamanan dan keselamatan, yang mengandung pengertian terpenuhinya tertib penyelenggaraan jasa konstruksi, keamanan lingkungan dan keselamatan kerja serta pemanfaatan hasil pekerjaan konstruksi dengan tetap memperhatikan kepentingan umum.

B. Jenis-Jenis Perjanjian Pemborongan

Berdasarkan Pasal 50 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang kontrak pengadaan barang/jasa atau disebut juga dengan perjanjian pemborongan dibagi atas beberapa jenis. Dilihat dari bentuk imbalannya, maka kontrak pengadaan barang/jasa dapat dibedakan dalam 5 (lima) jenis, yaitu:47

1. Lump sum, yaitu kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu, dengan jumlah harga yang pasti dan tetap, dan semua risiko yang mungkin terjadi dalam proses penyelesaian pekerjaan sepenuhnya ditanggung oleh penyedia barang/jasa.

2. Harga satuan, yaitu kontrak pengadaan barang/jasa atas seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu, berdasarkan harga satuan yang pasti dan tetap untuk setiap satuan/unsur pekerjaan dengan spesifikasi teknis tertentu, yang volume pekerjaannya masih bersifat perkiraan sementara, sedangkan pembayarannya didasarkan pada hasil pengukuran bersama atas volume pekerjaan yang benar-benar telah dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa.

47


(52)

3. Gabungan Lump sum dan harga satuan, yaitu kontrak yang merupakan gabungan Lump sum dan harga satuan dalam satu pekerjaan yang diperjanjikan.

4. Terima jadi (turn key) adalah kontrak pengadaan barang/jasa pemborongan atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu dengan jumlah harga pasti dan tetap sampai seluruh bangunan/kontruksi, peralatan dan jaringan utama maupun penunjangnya dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan kriteria kinerja yang telah ditetapkan.

5. Persentase, yaitu kontrak pelaksanaan jasa konsultasi dibidang konstruksi atau pekerjaan pemborongan tertentu, dimana konsultan yang bersangkutan menerima imbalan jasa berdasarkan persentase tertentu dari nilai pekerjaan fisik konstruksi/pemborongan tersebut.

Sedangkan ditinjau dari jangka waktu pelaksanaannya, maka kontrak pengadaan barang/jasa dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :

1. Tahun tunggal, yaitu kontrak pelaksanaan pekerjaan yang mengikat dana anggaran untuk masa 1(satu) tahun anggaran.

2. Tahun jamak, yaitu kontrak pelaksanaan pekerjaan yang mengikat dana anggaran untuk masa lebih dari 1(satu) tahun anggaran yang dilakukan atas persetujuan oleh:

a. Menteri Keuangan untuk pengadaan yang dibiayai APBN, b. Gubernur untuk pengadaan yang dibiayai APBD Provinsi,


(53)

c. Bupati/Walikota untuk pengadaan yang dibiayai APBD Kabupaten/Kota.

Ditinjau dari jumlah pengguna barang/jasa, maka dapat dibedakan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu :

1. Kontrak pengadaan tunggal, yaitu kontrak antara satu unit kerja atau satu proyek dengan penyedia barang/jasa tertentu untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu dalam waktu tertentu.

2. Kontrak Pengadaan bersama, yaitu kontrak antara beberapa unit kerja atau beberapa proyek dengan penyedia barang/jasa tertentu untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu dalam waktu tertentu sesuai dengan kegiatan bersama yang jelas dari masing-masing unit kerja dan pendanaan bersama yang dituangkan dalam kesepakatan bersama.

C. Para Pihak dalam Perjanjian Pemborongan

Mariam Darus Badrulzaman mengartikan perjanjian pemborongan bangunan merupakan suatu perjanjian dimana pihak yang satu (kontraktor) mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak lain, yang memborongkan (aanbesteder, pemberi tugas) dengan menerima suatu harga yang ditentukan. Dalam pemborongan bangunan, di samping pihak yang memborongkan/pemberi tugas (bouwheer, principal) dan pihak pemborong (kontraktor, aanmener), dapat juga turut serta pihak-pihak lain seperti tenaga ahli


(54)

(arsitek), yaitu perancang, perencana, penaksir biaya, pekerja bangunan, dan pengawas pekerja bangunan.48

Berbeda dengan perjanjian-perjanjian khusus lainnya perjanjian pemborongan bangunan mengenal selera para pihak dalam perjanjian, juga mengenal personalia/peserta perjanjian yang tidak merupakan pihak dalam perjanjian pemborongan namun mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan perjanjian.49 Mengenai pihak-pihak yang langsung terkait dalam perjanjian pemborongan itu disebut peserta dalam perjanjian pemborongan yang terdiri dari unsur-unsur :

1. Yang memborongkan (bouwheer/aanbesteder/kepala kantor/satuan kerja/pemimpin proyek/pemberi tugas).

2. Pemborong (rekanan, aannemer, contractor). 3. Perencana (arsitek).

4. Pengawas (direksi).

1.Yang memborongkan (bouwheer/aanbesteder/kepala kantor/satuan kerja/pemimpin proyek/pemberi tugas).

Pemberi tugas dapat berupa perorangan, badan hukum, instansi pemerintah ataupun swasta. Sipemberi tugaslah yang mempunyai prakarsa memborongkan bangunan sesuai dengan kontrak dan apa yang tercantum dalam bestek dan syarat-syarat. Dalam pemborongan pekerjaan umum dilakukan oleh

48

Ibid, hal. 104. 49

Sri Soedewi Masjchun Sofwan. Hukum Bangunan Perjanjian Pemborongan Pembangunan, Cet.1.(Yogyakarta, Liberty, 1982). hal. 65.


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab terdahulu, maka penulis dapat mengambil kesimpulan:

1. Perjanjian pekerjaan pembuatan drainase merupakan perjanjian/kontrak yang dibuat antara Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara dengan CV.Rymandho. Perjanjian ini dibuat setelah melalui beberapa tahapan yang dimulai dari pengumuman pelelangan oleh Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara pada beberapa surat kabar lokal. Adapun pemilihan atau penyaringan pemborong dalam proyek pembuatan drainase ini dilakukan dengan metode pelelangan umum dengan proses pasca kualifikasi. Kontrak pembuatan drainase ini termasuk dalam kontrak harga satuan dimana penyelesaian seluruh pekerjaan dilaksanakan dalam batas waktu tertentu berdasarkan harga satuan untuk setiap satuan/unsur pekerjaan dengan spesifikasi teknis tertentu, yang kuantitas pekerjaannya masih bersifat perkiraan sementara, sedangkan pembayarannya didasarkan pada hasil pengukuran bersama atas kuantitas pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh penyedia jasa.

2. Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian pemborongan:

a. Pihak pengguna jasa/si pemberi tugas mempunyai hak dan kewajiban untuk mengawasi dan memeriksa pekerjaan yang dilaksanakan


(2)

oleh penyedia jasa; meminta laporan-laporan secara periodik mengenai pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh penyedia jasa; membayar uang muka, hasil pekerjaan, dan uang retensi; membayar ganti rugi, melindungi dan membela penyedia jasa terhadap semua tuntutan hukum, tuntutan lainnya, tanggungan yang timbul karena kesalahan, kecerobohan, dan pelanggaran kontrak yang dilakukan oleh Pejabat Pembuat Komitmen.

b. Pihak penyedia jasa/si pemborong mempunyai hak dan kewajiban untuk menerima pembayaran uang muka, hasil pekerjaan dan uang retensi; melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan jadwal pelaksanaan pekerjaan yang telah ditetapan dalam kontrak; menyerahkan hasil pekerjaan sesuai dengan jadwal penyerahan pekerjaan yang talah ditetapkan dalam kontrak; mengadakan usaha-usaha untuk menjamin keselamatan dan keamanan para pekerja; harus menyediakan segala peralatan/alat berat yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pekerjaan dilapangan secara mandiri atau dengan menyewa dari pihak luar.

3. Upaya penyelesaian sengketa dalam kontrak pemborongan dapat dilakukan melalui jalur pengadilan dan jalur non-pengadilan mediasi, konsiliasi dan melalui lembaga arbitrase ad hoc. Dalam perjanjian pekerjaan pembuatan drainase ini belum pernah terjadi peselisihan. Namun apabila terjadi perselisihan maka akan diselesaikan dengan secara musyawarah. Dan jika cara musyawarah ini tidak berhasil, maka kasus ini akan dibawa ke Pengadilan Negeri Medan.


(3)

90

B. Saran

1. Mengingat bahwa permasalahan terhadap drainase di Indonesia seakan tidak pernah ada habis-habisnya, maka diperlukan perhatian khusus dari pemerintah dengan cara melakukan pengawasan secara ketat dan intensif agar proyek pembuatan drainase di seluruh Indonesia dapat berjalan sesuai dengan kontrak yang telah dibuat sehingga masyarakat tidak lagi mengalami banjir di daerahnya dengan adanya drainase yang bagus dan bermutu baik demi tercapainya masyarakat adil dan makmur.

2. Dalam pembuatan suatu surat perjanjian (kontrak) pemborongan, kontrak yang dibuat tersebut haruslah berisikan klausul-klausul yang jelas dan seimbang agar tidak ada pihak yang dirugikan terutama jika ada salah satu pihak melakukan wanprestasi.

3. Sebagian besar masyarakat Indonesia mengetahui bahwa hampir seluruh proyek pemborongan pemerintah didasarkan atas praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Oleh sebab itu disarankan pada waktu proses pengadaan barang/jasa, panitia lelang harus menerapkan prinsip keadilan, keterbukaan, tidak memihak serta harus objektif untuk menghindari terjadinya KKN di dalam setiap pelaksanaan perjanjian pemborongan tersebut.


(4)

Dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi, Aneka Ilmu, Semarang.

Badrulzaman, Mariam Darus, 2005, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Cetakan Kedua, Bandung.

Budiono, Herlien, 2006, Asas keseimbangan bagi hukum perjanjian Indonesia:hukum perjanjian berlandaskan asas-asa wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Djumialdji, 1991, Perjanjian Pemborongan, Rineka Cipta, Jakarta. Fuady, Munir, 2001, Hukum kontrak, Citra Aditya Bakti, Bandung.

___________, 1998, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, Citra Aditya Bakti, Bandung.

H. S. Salim, 2004, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. II. Sinar Grafika, Jakarta.

Hernoko, A. Yudha. 2010, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Isnaeni, M, 1996, Hipotek Pesawat Udara di Indonesia, Dharma Muda, Surabaya. Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995, cet. 4, Balai Pustaka, Jakarta.

Mukumoko, J.A, 1986, Dasar Penyusunan Anggaran Biaya Bangunan, Gaya Media Pratama, Jakarta.

Nazarkhan Yasin, 2004, Klaim Konstruksi dan Penyelesaian Sengketa Konstruksi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Setiawan, R, 1979, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung.

Simanjuntak, P. N. H, 2007, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta.

Simamora, Y. Sogar, 2013, Hukum Kontrak (Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia), Kantor Hukum “Wins & Partners”, Cetakan kedua, Surabaya.


(5)

92

Subekti, R, dan R. Tjitrosoedibio, 2000, Kamus Hukum. Cet. Ke 13, Pradnya Paramita, Jakarta.

___________, 1996, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta.

Subekti, R, 1995, Aneka Perjanjian, Cetakan kesebelas, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Soekanto, Soerjono, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, UI PRESS, Jakarta. Sofwan, Sri Soedewi Masjchun, 1982, Hukum Bangunan Perjanjian

Pemborongan Pembangunan, Cet.1. Liberty, Yogyakarta.

Suharnoko, 2004, Teori dan Analisa Kasus, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Surat Perjanjian Pemborongan Nomor 600/695/KPA.UPT.BPW-I.II/2010 Syaifuddin, Muhammad, 2012, Hukum Kontrak, Mandar Maju, Bandung.

Toelle, Marthen H, 2011, Disharmoni Pengaturan Pengadaan Jasa Konstruksi Pemerintah di Indonesia, Griya Media, Salatiga.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi

Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pekerjaan Konstruksi

Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2005 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah


(6)

C. Skripsi

Pasaribu, Sri Winda, (Skripsi), 2010, Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan antara Dinas Pekerjaan Umum KIMPRASWIL Kab Toba Samosir dengan CV. Bagas Belantara, (Medan, Fakultas Hukum USU). Sirait B.E, Margareth, (Skripsi), 2003, Aspek Hukum Perjanjian Pelaksanaan

Pekerjaan Borongan Proyek Bangunan Yang Dilakukan Oleh PT.Riau Adi Sakti dengan PT.Citraciti Pasifik, (Medan, Fakultas Hukum USU).

D.Internet

“Definisi Metode Penelitian”, http://koffieenco.blogspot.com/, diakses pada tanggal 15 Mei 2014.

“Definisi Pemborongan Pekerjaan dan Pekerja Borongan”,http:/www.hukumonlin e.com/, diakses pada tanggal 14 Mei 2014.

“Jenis-Jenis Perjanjian”, http://berbagitentanghukum.blogspot.com/, diakses pada tanggal 18 Juni 2014.

“Metode Penelitian Hukum Normatif”, http://lawmetha.wordpress.com/20 11/05/19/metode- penelitian-hukum-normatif/, diakses pada tanggal 15 Mei 2014.

“Pengertian Perjanjian”, http://harrytyajaya.blogspot.com/, diakses pada tanggal 06 Juni 2014.

“Pengertian Perjanjian”, http://www.legalakses.com/perjanjian/, diakses pada tanggal 06 Juni 2014.

Prinsip-Prinsip Hukum Kontrak”, http://www.audrytimisela.wordpress.com/, diakses tgl 17 September 2014.

“Jasa kontraktor”, http://njkontraktor.com/dunia-konstruksi/jasa-kontraktor/, diakses pada tanggal 06 November 2014.

“Pengertian serta cara pendirian PT dan CV,

http://duniaombayu.blogspot.com/2013/02/pengertian-dan-cara-pendirian-cv-pt.html, diakses pada tanggal 05 November 2014.


Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Tentang Pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi Proyek Pembangunan Jalan (Studi Pada Dinas TaTa Ruang dan Pemukiman Kabupaten Toba Samosir Dengan CV. Ventus)

6 138 95

Tinjauan Yuridis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Pembangunan Saluran Drainase Antara Dinas Bina Marga Kota Medan Dengan Cv.Teratai 26

8 122 120

Tinjauan Yuridis Perjanjian Sewa Menyewa Gedung Antara Dinas Pendapatan Daerah Dengan Plaza Medan Fair

0 47 118

Wanprestasi Dalam Perjanjian Pemborongan Kerja Milik Pemerintah Antara CV. Dina Utama Dengan Dinas Penataan Ruang Dan Permukiman Provinsi Sumatera Utara

2 55 134

Tinjauan Yuridis Mengenai Penggunaan Perjanjian Standar Dalam Kontrak Bisnis Waralaba Local (Analisa Terhadap Kontrak PT. Ultra Disc Prima Internasional)

2 43 119

Tinjauan Yuridis tentang Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan (Kontrak) Antara Dinas Penataan Ruang dan Pemukiman Provinsi Sumatera Utara Dengan CV. Rymandho Medan

0 0 8

Tinjauan Yuridis tentang Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan (Kontrak) Antara Dinas Penataan Ruang dan Pemukiman Provinsi Sumatera Utara Dengan CV. Rymandho Medan

0 0 1

Tinjauan Yuridis tentang Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan (Kontrak) Antara Dinas Penataan Ruang dan Pemukiman Provinsi Sumatera Utara Dengan CV. Rymandho Medan

0 0 14

Tinjauan Yuridis tentang Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan (Kontrak) Antara Dinas Penataan Ruang dan Pemukiman Provinsi Sumatera Utara Dengan CV. Rymandho Medan

0 0 22

Tinjauan Yuridis tentang Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan (Kontrak) Antara Dinas Penataan Ruang dan Pemukiman Provinsi Sumatera Utara Dengan CV. Rymandho Medan

0 0 3