Tinjauan Yuridis Tentang Kontrak Konstruksi Antaradisperindag Kab. Asahan Dengan PT. Menara Kharisma Internusa Medan (Study Pada Proyek Pembangunan Pasar Kartini Kisaran)

(1)

TINJAUAN YURIDIS TENTANG KONTRAK KONSTRUKSI ANTARADISPERINDAG KAB. ASAHAN DENGAN PT. MENARA KHARISMA INTERNUSA MEDAN

(Study Pada Proyek Pembangunan Pasar Kartini Kisaran)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

NIM : 100200328 EMMA P SIJABAT

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

TINJAUAN YURIDIS TENTANG KONTRAK KONSTRUKSI ANTARADISPERINDAG KAB. ASAHAN DENGAN PT. MENARA KHARISMA INTERNUSA MEDAN

(Study Pada Proyek Pembangunan Pasar Kartini Kisaran)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh : EMMA P SIJABAT

100200328

Mengetahui :

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum. NIP. 19660303 198508 1 001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Malem Ginting, S.H., M.Hum. Zulkifli Sembiring, S.H., M.H. NIP.19570715 198303 1 002 NIP.19610118 198803 1 001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, kasih dan penyertaaNya sehingga penulis mampu menjalani masa perkuliahan sampai tahap penyelesaian skripsi yang penuh dengan tantangan dan rintangan. Skripsi ini berjudul “Tinjauan Yuridis Tentang Kontrak Konstruksi antara DISPERINDAG Kab. Asahan dengan PT. Menara Kharisma Internusa Medan (Study Pada Proyek Pembangunan Pasar Kartini Kisaran)”, yang disusun untuk memenuhi syarat guna mencapai gelar Sarjana dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Syafruddin, S.H., M.H., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;


(4)

6. Bapak Malem Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini;

7. Bapak Zulkifli Sembiring, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini;

8. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum., selaku Dosen Penasehat Akademik (PA) penulis selama menjalani perkuliahan;

9. Kedua orang tua penulis, yaitu Bapak D. Anthon Sijabat dan Ibu Lidya br Situngkir yang luar biasa mendukung dalam doa dan perhatian, serta ketiga saudara yang terkasih Roland Sijabat, Yenni Sijabat dan Rudolf Sijabat. Mereka yang telah menjadi sumber semangat bagi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini;

10.Seluruh Dosen/Staf Pengajar dan Pegawai di Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama perkuliahan;

11.Teman KK Stephanos Giovanny J.P Purba dan adik-adik KK Christabel (Septa, Yessi, Missi, Vania, Regina) yang setia memberi dukungan dalam doa dan semangat bagi penulis dalam penyelesaian skripsi ini;

12.Teman-teman Kost Pelita Jaya yang terkasih K’Vita dan K’Juli, yang selalu mendukung dan memberi semangat kepada penulis.

13.Teman-teman seperjuangan Stambuk 2010 yang saling mendukung dalam pengerjaan skripsi ini.


(5)

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan semua masukan maupun kritik yang bersifat membangun dari para pembaca sekalian. Demikian penulis sampaikan, kiranya skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah dan memperluas cakrawala berpikir semua pihak.

Medan, April 2014 Penulis,


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 7

C. TujuanPenulisan ... 7

D. Manfaat Penulisan ... 8

E. Metode Penelitian ... 9

F. Keaslian Penulisan ... 12

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN ... 15

A. Pengertian Perjanjian ... 15

B. Asas – Asas Dalam Hukum Perjanjian ... 19

C. Syarat - Syarat Perjanjian ... 23

D. Akibat Hukum Perjanjian ... 28

E. Berakhirnya Perjanjian ... 30

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KONTRAK KONSTRUKSI ... 35

A. Pengertian KontrakKonstruksi ... 35


(7)

C. Peserta Dalam KontrakKonstruksi ... 39

D. Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam KontrakKonstruksi. 41 E. Proses Terjadinya Kontrak Konstruksi ... 44

F. Berakhirnya KontrakKonstruksi ... 51

BAB IV TINJAUAN YURIDIS TENTANG KONTRAK KONSTRUKSI ANTARA DISPERINDAG KAB.ASAHAN DENGAN PT. MENARA KHARISMA INTERNUSA MEDAN ... 55

A. Profil PT. Menara Kharisma Internusa Medan ... 55

B. Proses Pemilihan Pihak Penyedia Jasa dalam Kontrak Konstruksi ... 58

C. Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Pelaksanaan Kontrak Konstruksi ... 68

1. Tanggung Jawab Pihak Penyedia Jasa ... 71

2. Tanggung Jawab Pengguna Jasa atau PPK ... 78

D. Faktor Penghambat Dalam Pelaksanaan Kontrakdan Upaya Penyelesaiannya ... 84

1. Hambatan-hambatan dalam Pelaksanaan Kontrak ... 84

2. Upaya-upaya yang Ditempuh Para Pihak Dalam Penyelesaian Perselisihan... 87

BAB V PENUTUP ... 90

A. Kesimpulan ... 90

B. Saran ... 92


(8)

ABSTRAK

Emma P Sijabat *

Malem Ginting, S.H., M.Hum. ** Zulkifli Sembiring, S.H., M.H. ***

Pembangunan dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi penyelenggaraan Negara. Dalam melaksanakan proses pembangunan tersebut, Pemerintah sebagai pengguna jasa harus bekerja sama dalam suatu hubungan kontrsktual dengan pihak swasta sebagai kontraktor (penyedia jasa). Hubungan kerja sama tersebut dibuat dalam satu perjanjian yang disebut dengan kontrak kontruksi. Skripsi ini akan membahas: “Tinjauan Yuridis tentang Kontrak Konstruksi Antara Disperindag Kab. Asahan Dengan PT. Menara Kharisma Internusa Medan(Study pada Proyek Pembangunan Pasar Kartini Kisaran)”. Dalam skripsi ini, permasalahan yang diangkat adalah bagaimana proses pemilihan pihak penyedia jasa, tanggung jawab para pihak dan apa saja yang hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan kontrak serta bagaimana upaya penyelesaiannya.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Normatif maksudnya penelitian hukum ini dilakukan denganmenggunakan dan mengelolah data sekunder. Adapun sifat dari penulisan skripsi ini adalah deskriptif yaitu menggambarkan secara sistematis dan jelas dimana penulis akan melakukan penelitian termasuk survey ke lapangan untuk memperoleh data yang dibutuhakan dalam penulisan ini.

Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa proses pemilihan PT. Menara Kharisma Internusa Medan sebagai pihak penyedia jasa dilakukan dengan metode pemilihan langsung sesuai dan telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Mengenai tanggung jawab para pihak dilaksanakan berdasarkan hak dan kewajiban yang tertuang dalam surat perjanjian (kontrak). Dalam proyek pengembangan sarana distribusi pada Pasar Kartini Kisaran tersebut hambatan yang terjadi adalah para pedagang yang sebelumnya menempati pasar tersebut awalnya menolak untuk dipindahkan atau dialokasikan sementara sehingga proses pembangunan sedikit terlambat. Namun hal tersebut dapa segera diatasi sehingga proses pembangunan dapat dilanjutkan. Dalam hal terjadi perselisihan, para pihak berupaya untuk menyelesaikan perselisihan diantara mereka melalui musyawarah, apabila tidak tercapai kata sepakat maka para pihak akan menempuh jalur pengadilan.

Kata Kunci : Perjanjian (Kontrak), Kontrak Konstruksi * Mahasiswa Departemen Keperdataan Fakultas Hukum USU ** Dosen Pembimbing I


(9)

ABSTRAK

Emma P Sijabat *

Malem Ginting, S.H., M.Hum. ** Zulkifli Sembiring, S.H., M.H. ***

Pembangunan dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi penyelenggaraan Negara. Dalam melaksanakan proses pembangunan tersebut, Pemerintah sebagai pengguna jasa harus bekerja sama dalam suatu hubungan kontrsktual dengan pihak swasta sebagai kontraktor (penyedia jasa). Hubungan kerja sama tersebut dibuat dalam satu perjanjian yang disebut dengan kontrak kontruksi. Skripsi ini akan membahas: “Tinjauan Yuridis tentang Kontrak Konstruksi Antara Disperindag Kab. Asahan Dengan PT. Menara Kharisma Internusa Medan(Study pada Proyek Pembangunan Pasar Kartini Kisaran)”. Dalam skripsi ini, permasalahan yang diangkat adalah bagaimana proses pemilihan pihak penyedia jasa, tanggung jawab para pihak dan apa saja yang hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan kontrak serta bagaimana upaya penyelesaiannya.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Normatif maksudnya penelitian hukum ini dilakukan denganmenggunakan dan mengelolah data sekunder. Adapun sifat dari penulisan skripsi ini adalah deskriptif yaitu menggambarkan secara sistematis dan jelas dimana penulis akan melakukan penelitian termasuk survey ke lapangan untuk memperoleh data yang dibutuhakan dalam penulisan ini.

Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa proses pemilihan PT. Menara Kharisma Internusa Medan sebagai pihak penyedia jasa dilakukan dengan metode pemilihan langsung sesuai dan telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Mengenai tanggung jawab para pihak dilaksanakan berdasarkan hak dan kewajiban yang tertuang dalam surat perjanjian (kontrak). Dalam proyek pengembangan sarana distribusi pada Pasar Kartini Kisaran tersebut hambatan yang terjadi adalah para pedagang yang sebelumnya menempati pasar tersebut awalnya menolak untuk dipindahkan atau dialokasikan sementara sehingga proses pembangunan sedikit terlambat. Namun hal tersebut dapa segera diatasi sehingga proses pembangunan dapat dilanjutkan. Dalam hal terjadi perselisihan, para pihak berupaya untuk menyelesaikan perselisihan diantara mereka melalui musyawarah, apabila tidak tercapai kata sepakat maka para pihak akan menempuh jalur pengadilan.

Kata Kunci : Perjanjian (Kontrak), Kontrak Konstruksi * Mahasiswa Departemen Keperdataan Fakultas Hukum USU ** Dosen Pembimbing I


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan nasional merupakan usaha untuk meraih cita-cita perjuangan kemerdekaan Indonesia guna meningkatkan taraf kehidupan masyarakat secara keseluruhan.Dalam mengisi cita-cita perjuangan tersebut maka perlu dilakukan program yang terencana dan terarah untuk melaksanakan proses pembangunan agar tujuan nasional dapat dicapai sesuai dengan falsafah yang mendasari perjuangan tersebut yakni Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.Oleh karena itu hasil pembangunan harus dapat dinikmatiseluruh rakyat sebagai peningkatan kesejahteraan lahir dan batin secara adil danmakmur. Sebaliknya berhasilnya pembangunan tergantung partisipasi seluruhrakyat, yang berarti pembangunan harus dilaksanakan seluruh rakyat secaramerata oleh segenap lapisan masyarakat.

Pesatnya dinamika pembangunan nasional terutama dibidang fisik, harus pula didukung dengan semakin tumbuh dan berkembangnya usaha jasa konstruksi nasional yang ada dan profesional. Pengembangan usaha jasa konstruksi nasional yang semakin mantap dan profesional, diharapkan dapat menggairahkan iklim usaha yang kompetitif dan berdaya saing sekaligus juga dapat memaksimalkan penggunaan jasa produksi nasional oleh para pengguna jasa konstruksi. Dengan semakin banyaknya pengguna jasa konstruksi menggunakan usaha jasa konstruksi nasional, maka secara tidak langsung telah mendukung upaya peningkatan


(11)

penerimaan dan penghematan penggunaan devisa Negara, serta memberikan perluasan lapangan usaha dan kesempatan kerja. 1

Faktor utama dalam pengembangan jasa konstruksi adalah peningkatan kemampuan usaha, terwujudnya tertib penyelenggraan pekerjaan konstruksi, serta peningkatan peran masyarakat secara aktif dan mandiri dalam melaksanakan kedua upaya tersebut. Peningkatan kemampuan usaha ditopang oleh peningkatan profesionalisme dan peningkatan efisiensi usaha. Sedangkan terwujudnya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi dapat dicapai melalui pemenuhan hak dan kewajiban dan adanya kesetaraan kedudukan para pihak terkait. 2

Indonesia adalah Negara hukum, maka pembangunan yang sedang dilaksanakan tidaklah terlepas dari peraturan-peraturan hukum yang berkaitan dengan masalah tersebut. Lahirnya Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang UUJK, sesungguhnya dimaksudkan untuk mengembangkan iklim usaha, yang mendukung peningkatan daya saing secara optimal dalam rangka tercapainya tujuan pembangunan. Hal lain yang melatarbelakangi lahirnya UUJK, sebagaimana tercantum dalam penjelasan umumnya dikarenakan peran starategis jasa konstruksi dalam pembangunan nasional. Produk akhir jasa konstruksi yang berupa bangunan fisik, baik berupa prasarana maupun sarana mempunyai peran untuk mendukung tumbuh kembangnya berbagai industri barang dan jasa yang diperlukan dalam penyelenggaraan konstruksi.3

1

H. Mohammad Amari dan Asep Mulyana., Kontrak Kerja Konstruksi Dalam Perspektif Tindak Pidana (Semarang : Aneka Ilmu, 2010). Hal 15.

2

Ibid. Hal 16

3


(12)

Konstruksi atau kegiatan membangun sarana maupun prasarana merupakan objek dari perjanjian (kontrak) konstuksi. Kontrak konstruksi merupakan kontrak yang dikenal dalam pelaksanaan konstruksi bangunan, baik yang dilasanakan oleh pemerintah maupun swasta.4 Dalam kaitannya dengan pengadaan jasa konstruksi, sebelum istilah kontrak konstruksi lebih dulu dikenal dengan istilah perjanjian pemborongan. Namun sejak berlakunya UUJK, istilah perjanjian pemborongan ini tidak digunakan lagi. Jenis kontrak dengan objek pekerjaan jasa konstruksi adalah kontrak kerja konstruksi, dan bukan perjanjian pemborongan bangunan sebagaimana lazim digunakan sebelum lahirnya undang-undang ini.5

Dalam proyek-proyek pembangunan di Indonesia biasanya datang dari pemerintah ataupun swasta.Sedangkan pelaksanaannya hanyasebagian kecil yang ditangani pemerintah, selebihnya sangat diharapkan peranserta pihak swasta baik sebagai investor maupun sebagai kontraktor.Dalam hal ini, kontraktor bekerja dengan sistem pemborongan pekerjaan. Itulah sebabnyakontraktor disebut rekanan karena kontraktor dianggap sebagai rekan kerja.

Pembangunan dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi penyelenggaraan Negara. Dalam hal ini pemerintah melibatkan diri kedalam suatu hubungan kontraktual dengan sektor swasta yakni dengan mengikatkan diri dalam suatu pengadaan barang dan jasa. Hubungan kontraktual yang dibentuk oleh pemerintah itu juga terkait dengan kewajibannya untuk

4

Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, 2003). Hal 90.

5

Y. Sogar Simamora., Hukum Kontrak ;Kontrak Pengadaan Barang jan Jasa Pemerintah di Indonesia (Surabaya : Laksbang Justitia, 2013). Hal 214.


(13)

menyediakan, membangun dan memelihara fasilitas umum. Disatu sisi hubungan hukumnya terbentuk karena kontrak, tetapi disisi lain isinya sarat dengan aturan bagi penyedia jasa.6

Hubungan kerja sama yang terjadi antara Dinas Perindustrian dan Perdagangan dengan PT. Menara Kharisma Internusa Medan dibuat dalam satu perjanjian atau yang lebih sering disebut dengan kontrak, dimana perjanjian yang dibuat antara kedua belah pihak merupakan perjanjian konstruksi. Dalam hal ini, pekerjaan konstruksi yang dilaksanakan oleh PT. Menara Kharisma Internusa sebagai pihak penyedia jasa atau kontraktor tersebut diperoleh setelah memenangkan pelelangan yang dilakukan oleh Dinas Peindustrian dan Perdagangan sebagai pihak yang memberikan pekerjaan atau Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

Artinya dalam melaksanakan proses pebangunan Pemerintah sebagai pengguna jasa harus bekerja sama dengan pihak swasta sebagai kontraktor (penyedia jasa). Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Asahan dalam merealisasikan pembangunan juga tidak dapat melaksanakan sendiri pembangungan tersebut, melainkan dengan mengadakan kontrak kerja sama dengan penyedia jasa atau kontraktor. Salah satu perusahaan kontraktor yang mengadakan kontrak dengan Dinas Perindustrian dan PerdaganganKabupaten Asahan adalah PT. Menara Kharisma Internusa.

PT. Menara Kharisma Internusamerupakan salah satu perusahaan yangbergerak dalam bidang jasa konstruksi di kota Medan, dalam hal ini sebagaisalah satu pihak yang terkait dengan pekerjaan konstruksi dengan pihak

6


(14)

Pemerintah, dalam hal ini Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Asahan. Dengan demikian, maka akan terlihat dengan jelas adanya hubungan hukum antara PT.Menara Kharisma Internusa dengan pihak pemberi pekerjaan.

Dalam kaitannya dengan kontrak yang dibuat oleh pemerintah, keabsahan merupakan isu hukum yang sangat penting. Disamping ditentukan oleh persyaratan pelelangan (tender), keabsahan kontrak juga ditentukan oleh isinya dan terpenuhinya syarat kewenangan pada pejabat dalam membuat dan menandatangani kontrak mewakili organ publik atau lembaga pemerintahan. Demikian juga hal-hal yang menyangkut aspek pelaksanaan kontrak. Proses pengadaan jasa konstruksi, yang pada prinsipnya dilakukan dengan tender, yang kemudian diikuti dengan pembuatan dan pelaksanaan kontrak merupakan rangkaian yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Oleh sebab itu, diperlukan instrument hukum yang mengatur mengenai kontrak kerja konstruksi.

Dalam prakteknya, masalah yang sering dijumpai dalam pelaksanaan kontrak konstruksi adalah terkait dengan pelaksanaan dan kualitas dari hasil pekerjaan konstruksi. Banyak dari proyek-proyek konstruksi yang tidak mampu menciptakan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas. Artinya banyak bangunan yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang diharapkan bahkan dianggap tidak layak. Hal ini sering terlihat dalam proyek-proyek konstruksi milik pemerintah. Selain itu, masalah keterlambatan proses penyelesaian proyek yang memakan waktu lebih lama dari yang telah disepakati dalam kontrak, masalah kemanfaatan bangunan bagi masyarakat serta peran masyarakat itu sendiri dalam proses pembangunan, pihak penyedia jasa atau kontraktor yang tidak kompeten


(15)

dan ahli dibidangnya termasuk proses pemilihan pihak penyedia jasanya, bahkan hubungan antara pengguna jasa dengan penyedia jasa juga merupakan masalah-masalah yang sering terjadi dalam pelaksanaan kontrak konstruksi.

Jasa konstruksi memiliki peran penting dibidang ekonomi guna mendukung terwujudnya tujuan pembangunan nasional, khususnya meningkatkan perekonomian Negara. Dalam pengadaan jasa oleh pemerintah membutuhkan jumlah uang atau dana yang sangat besar. Oleh karena itu, dalam melaksanakan proyek pembangunan sumber pembiayaannya pada umumnya berasal dari APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) atau APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah), disamping dana yang berasal dari Pinjaman/Hibah Luar Negeri (PHLN). Namun sayangnya, dana-dana ini banyak diselewengkan dalam proyek-proyek konstruksi oleh para pihak yang terkait. Fenomena inilah yang kemudian menjadi alasan Bank Dunia dalam mendukung program pemerintah diberbagai Negara dalam memerangi korupsi. Saat ini di Indonesia banyak dijumpai adanya dugaan penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa atau proyek-proyek konstruksi oleh pemerintah. Hal inilah yang banyak mengakibatkan kerugian terhadap Keuangan Negara. Selain itu, hal ini juga akan berpengaruh terhadap kualitas hasil kerja konstruksi serta peran jasa konstruksi dalam mendukung terciptanya tujuan pembangunan nasional.7

Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk membahas lebih dalam mengenai masalah perjanjian (kontrak) konstruksi dalam bentuk penulisan skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis Tentang Kontrak Konstruksi antara

7


(16)

DISPERINDAG Kab. Asahan dengan PT. Menara Kharisma Internusa Medan (Study Pada Proyek Pembangunan Pasar Kartini Kisaran)”.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian hukum yang mengambil judul “Tinjauan Yuridis Tentang Kontrak Konstruksi Antara Disperindag Kab.Asahan Dengan PT.Menara Kharisma Internusa Dalam Proyek Pembangunan Pasar Kartini Kisaran”ini akan membahas beberapa permasalahan. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana proses pemilihan Pihak Penyedia Jasa Konstruksi dalam Perjanjian

antara Disperindag Kab. Asahan dengan PT. Menara Kharisma Internusa di tinjau dari peraturan yang berlaku ?

2. Bagaimana pengaturan tentang tanggung jawab para pihak dalam perjanjian konstruksi ?

3. Faktor penghambat dalam pelaksanaan kontrak dan upaya-upaya penyelesaiannya ?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan permasalahan dalam penulisan ini, maka tujuan dari penulisan ini yang ingin dicapai adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bagaimana proses atau mekanisme pemililan pihak penyedia jasa konstruksi dalam Kontrak Konstruksi antara Disperindag Kab. Asahan dengan PT. Menara Kharisma Internusa.


(17)

2. Untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab para pihak dalam Kontrak Konstruksi antara Disperindag Kab. Asahan dengan PT. Menara Kharisma Internusa.

3. Untuk mengetahui apasaja hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan kontrak dan untuk mengetahui cara menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara para pihak.

D. Manfaat Penulisan

Berdasarkan permasalahan tersebut, ada beberapa manfaat dalam penulisan atau penelitian hukum ini yang akan dicapai, yakni:

1. Manfaat Teoritis

Bagi akademisi penelitian hukum ini diharapkan dapat memberi manfaat secara teoritis berupasumbangan dalam pengembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya bidang hukum Perjanjian (kontrak) tentang pekerjaan konstruksi.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan danmasukan bagi semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan kontrak konstruksiserta dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk membuat penyusunan Kontrak Konstruksi sehingga dapat menghindari timbulnya permasalahan atau sengketa yang mungkin dapat terjadi dalam melakukan kerjasama dibidang pengadaan jasa konstruksi guna meningkatkan kemajuan dibidang pembangunan di Indonesia.


(18)

E. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmupengetahuan maupun teknologi. Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana(ilmiah) bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metodologipenelitian yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuanyang menjadi induknya.8

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari suatu gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisis dan memeriksa secara mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul didalam gejala yang bersangkutan.

Hal ini tidaklah selalu berarti metodologi penelitian yangdipergunakan berbagai ilmu pengetahuan pasti akan berbeda secara utuh. Akantetapi setiap ilmu pengetahuan mempunyai idealitas masing-masing, sehinggamasih akan ada perbedaan.

9

Inti dari metodologi dalam setiap penelitian hukum adalah menguraikan tentang tata cara bagaimana suatu penelitian hukum itu harus dilakukan. Dalam hal ini, peneliti menentukan metode apa yang akan diterapkan, tipe penelitian yang dilakukan, bagaimana pengumpulan data akan dilakukan serta analisis yang dipergunakan.10

Penulisan skripsi ini didasari oleh suatu penelitian yang diadakan dengan metodologi penelitian tertentu untuk menemukan ataumerumuskan, menganalisa

8

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat(Jakarta : Rajawali 1985). Hal 1

9

Ibid. Hal 43.

10


(19)

dan memecahkan permasalahan dengan benar. Dalam penelitian hukum ini penulis akan menggunakan cara-cara atau metode-metode tertentu sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Normatif maksudnya penelitian hukum ini dilakukan denganmenggunakan dan mengelolah data sekunder. Adapun sifat dari penulisan skripsi ini adalah deskriptif yaitu menggambarkan secara sistematis dan jelas dimana penulis akan melakukan penelitian termasuk survey ke lapangan untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penulisan ini.Dipilihnya metode penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran atau uraian secara rinci, sistematis dan menyeluruh serta menganalisanya mengenai pelaksanaan kontrak konstruksi menurut peraturan perundang-undangan.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunderyaitu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yang diperoleh dari:

a. Bahan hukum primer , yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat danditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yakni berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan lain-lain

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan dari buku hukum yang member penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti hasil penelitian


(20)

danpendapat dari pakar hukum. Termasuk juga semua dokumen yangmerupakan informasi atau merupakan kajian berbagai media seperti koran,majalah, artikel-artikel yang dimuat di berbagai website di internet. c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk,

maupunpenjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamushukum.

3. Teknik Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan cara :

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research) yaitu meneliti sumber sumberbacaan yang berhubungan dengan permasalahan dalam skripsi ini, sepertibuku-buku hukum, majalah hukum, artikelartikel, peraturan perundangundangan,putusan pengadilan, pendapat sarjana dan bahan-bahan lainnya.

b. Penelitian Lapangan (Field Research) yaitu penelitian yang dilakukanpada dalam bentuk studi dilapangan. Penulis melakukan studi terhadappermasalahan yang dihadapi para pihak dalam pelaksanaan kontrak konstruksi,untuk melengkapi bahan yang diperoleh dalam penelitian kepustakaan diatas.

4. Alat pengumpulan data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan atau penelitian hukum ini adalah:


(21)

a. Studi dokumen

Studi dokumen yaitu pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis yang berkaitan dengan penelitian hukum ini.

b. Wawancara

Wawancara dilakukan dengan Pihak PT. Menara Kharisma Internusa Medan dan Pihak yang mewakili DISPERINDAG Kab. Asahan untuk memperoleh data atau informasi yang dibutuhkan.

5. Analisis data

Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif,yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnyadianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akandibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi.

F. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan penulis, diketahui bahwa skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis Tentang Kontrak Konstruksi antara DISPERINDAG Kab. Asahan dengan PT. Menara Kharisma Internusa Medan (Study Pada Proyek Pembangunan Pasar Kartini Kisaran)” belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Sumatera Utara. Kalaupun ada judul yang serupa, namun permasalahan dan materi pembahasan yang diangkat juga berbeda dan bila di kemudian hari ditemukan skripsi dengan judul yang sama yang telah ada sebelumnya, maka hal tersebut menjadi tanggung jawab penulis.


(22)

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini maka diperlukan adanyasistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab dengan bab yang lainyang saling berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi iniadalah :

BAB 1 : PENDAHULUAN

Dalam bab ini dijelaskan tentang latar belakang, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN (KONTRAK)

Merupakan tinjauan umum tentang perjanjian, terdiri dari lima sub bab yang menjelaskan tentang pengertian perjanjian, asas-asas dalam hukum perjanjian, syarat-syarat sah perjanjian, akibat hukum perjanjian dan berakhirnya perjanjian.

BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG KONTRAKKONSTRUKSI

Merupakan tinjauan umum mengenai kontrak konstruksi, terdiri dari lima sub bab yang menjelaskan tentang pengertian kontrak konstruksi, pengaturan hukum tentang kontrak konstruksi, peserta dalam kontrak konstruksi, hak dan kewajiban para pihak, proses terjadinya kontrak konstruksi, dan berakhirya kontrak konstruksi.

BAB VI : TINJAUAN YURIDIS TENTANG KONSTRUKSI ANTARA DIPERINDAG KAB. ASAHAN DENGAN PT. MENARA KHARISMA INTERNUSA MEDAN


(23)

Terdiri dari empat sub bab yang menjelaskan tentang profil PT. Menara Kharisma Internusa Medan, proses pemiihan pihak penyedia jasa konstruksi, tanggung jawab para pihak dalam perjanjian, dan faktor penghambat dalam pelaksanaan kontrak serta upaya penyelesaiannya.

BAB V : PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan dan saran terhadap hasil analisis yang dilakukan.Kesimpulan merupakan intisari dari pembahasan terhadap permasalahanyang diajukan dalam skripsi ini, sedangkan saran yang ada diharapkan dapatmenambah pengetahuan bagi para pembacanya dan dapat berguna bagipihak-pihak yang terlibat dalam Kontrak Konstruksi.


(24)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN (KONTRAK)

A. Pengertian Perjanjian

Istilah perjanjian sudah lazim dipergunakan dalam lalu lintas hidup masyarakat. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Inggris , yaitu contracts. Sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut dengan overeenkomst

(perjanjian)maupun “persetujuan”.Mengenai kata perjanjian ini ada beberapa pendapat yang berbeda. WirjonoProjodikoro mengartikan perjanjian dari kata

verbintenis, sedangkan kataovereenkomst diartikan dengan kata persetujuan.11 Berdasarkan Black’s Law Dictionary : Contract diartikan sebagai suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal yang khusus. Melihat batasan dari kontrak yang diberikan ini dapat dikatakan bahwa antara perjanjian dan kontrak memunyai arti yang sama. Dari pemakaian sehari-hari apabila diperhatikan, kontrak yang dilakukan oleh seseorang biasanya dibuat secara tertulis. Dengan demikian, tampak bahwa yang dimaksudkan dengan kata kontrak adalah perjanjian tertulis.12

Pengertian perjanjian diatur dalam pasal 1313 KUH Perdata. Dalam Pasal 1313 KUH Perdata dinyatakan: “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Namun, para sarjana menyatakan bahwa rumusan Pasal 1313 KUH Perdata

11

Wirjono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu (Bandung : Sumur Bandung, 1981). Hal 11.

12


(25)

tersebut memiliki banyak kelemahan. Abdul Kadir Muhammad menyatakan kelemahan-kelemahan pasal ini adalah sebagai berikut :13

1. Hanya menyangkut sepihak saja

Hal tersebut dapat diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

2. Kata “perbuatan” mencakup juga tanpa konsensus

Pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa, tindakan melawan hukum yang tidak mengandung konsensus. Seharusnya dipakai kata persetujuan.

3. Pengertian perjanjian terlalu luas

Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut terlalu luas karena mencakup juga pelangsungan kawin, janji kawin yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. 4. Tanpa menyebut tujuan

Dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.

Menurut doktrin (teori) lama yang disebut perjanjian adalah: “Perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.Definisi ini, telah tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum (tumbuh/lenyapnya hak dan kewajiban).Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan perjanjian adalah “Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”. Teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata,

13


(26)

tetapi harus dilihat perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya.14

a. Tahap pracontractual, yaitu adanya penewaran dan penerimaan;

Salim H.S menyebutkan ada 3 tahap dalam membuat perjanjian menurut teori baru, yaitu:

b. Tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak;

c. Tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.

Pengertian yang lengkap dan sempurna mengenai pengertian dari perjanjian atau kontrak sangatlah sulit untuk didapatkan karena masing-masing sarjanamempunyai pendapat yang berbeda-beda. Salah satunya adalah pendapat Salim H.S., dalam bukunya menyebutkan bahwa kontrak atau perjanjian merupakan: “Hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain yang berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya”.15Sedangkan menurut R. Subekti, menyebutkan: “Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.16Pengertian perjanjian akan lebih baik apabila sebagai suatu perbuatanhukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.17

14

Salim H.S.Op.Cit. Hal 25.

15

Ibid. Hal 26.

16

R.Subekti (1). Hukum Perjanjian ( Jakarta:Intermasa, 1987). Hal 1. 17


(27)

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut terlihat bahwa dalam suatu perjanjian itu akan menimbulkan suatu hubungan hukum dari para pihak yang membuat perjanjian kontrak. Masing-masing pihak terikat satu sama lain dan menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak yang membuat perjanjian. Hubungan hukum antara para pihak ini tercipta karena adanya perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian. Perlu diingat bahwa perjanjian atau kontrak merupakan salah satu sumber lahirnya perikatan, sedangkan sumber lahirnya perikatan yang lain adalah undang-undang. Perjanjian atau kontrak ini tidak harus tertulis, akan tetapi bisa juga dilakukan dengan cara lisan, dimana dalam perjanjian itu adalah merupakan perkataan yang mengandung janji-janji yang diucapkan atau ditulis.18 Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut maka ada tiga komponen utama dalam suatu perjanjian (kontrak), sebagaimana dimaksud pasal 1313 KUH Perdata, yaitu:19

1) Adanya suatu perbuatan

Perbuatan yang dimaksudkan disini merupakan kehendak dari para pihak yang berjanji dalam bentuk perbuatan nyata, baik berupa ucapan maupun tindakan fisik.

2) Adanya para pihak

Perjanjian hanya dapat dilahirkan apabila adanya dua orang atau lebih yang sepakat mengikatkan dirinya dalam suatu hubungan hukum.

3) Adanya perikatan diantara para pihak

18

Ibid. Hal 333.

19


(28)

Hubungan hukum diantara dua orang atau lebih yang merupakan para pihak, senantiasa didasari oleh adanya suatu kepentingan tertentu yang dikehendaki bersama.

Dalam perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal adanya tiga unsur dalam perjanjian yang pada hakekatnya merupakan perwujudan dari asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak itu sendiri dapat dianalisis berdasarkan ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan bahwa: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Adapun ketigaunsur tersebut adalah sebagai berikut:20

a) Unsur Esensialia

Unsur esensialia merupakan unsur yang harus ada dalam suatu kontrak karena tanpa adanya kesepakatan tentang unsur esensialia ini maka tidak ada kontrak.

b) Unsur Naturalia

Unsur naturalia merupakan unsur yang telah diatur dalam undang-undang sehingga apabila tidak diatur oleh para pihak dalam kontrak, undang-undang yang mengaturnya. Dengan demikian, unsur naturalia ini merupakan unsur yang selalu dianggap ada dalam kontrak.

c) Unsur Aksidentalia

Unsur aksidentalia merupakan unsur yang nanti ada atau mengikat para pihak jika para pihak memperjanjikannya.

20

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak &Perancangan Kontrak (Jakarta: Rajawali Pers, 2011). Hal 31.


(29)

B. Asas – Asas Hukum Perjanjian

Dalam hukum kontrak atau perjanjian dikenal beberapa asas, diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari isi Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan bahwa: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.21 Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, diantaranya:22

a. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak; b. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian; c. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;

d. Bebas menentukan bentuk perjanjian;

e. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas dari sifat Buku III KUH Perdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.

2. Asas Konsensualisme

21

Salim H.S., Op.Cit. Hal 9.

22


(30)

Asas konsensualisme termuat dalam Pasal 1320 KUH Perdata dinyatakan bahwa, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

a. Kesepakatan dari mereka yang mengikatkan dirinya (de toestemming); b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid);

c. Suatu hal tertentu (een bepald onderwerp); dan d. Suatu sebab yang legal (een geoorloofde oorzaak).

Pasal tersebut menetapkan bahwa harus ada kesepakatan antara para pihak yang mengikatkan diri atau terdapat “konsensus”. Sebagaimana diketahui bahwa tidak ada suatu formalitas tertentu yang menyatakan suatu perjanjian harus tertulis atau tidak, bahkan suatu perjanjian bisa tercapai secara verbal, hanya dengan lisan saja. Asas konsensual menganut paham dasar bahwa suatu perjanjian itu sudah lahir sejak tercapainya kata sepakat. Pada detik tercapainya kesepakatan, lahirlah suatu perjanjian.23

3. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas pacta sunt servandaberkaitan dengan akibat dari perjanjian bagi para pihak yang membuatnya. Asas pacta sunt servanda ditentukan dalam Pasal 1338 KUH Perdata, dinyatakan bahwa: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Sebagai suatu perikatan yang dikehendaki oleh para pihak, berarti para pihak juga menyepakati untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang telah disanggupinya dalam suatu perjanjian. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya, maka pihak yang merasa dirugikan dapat memaksakan pelaksanaannya melalui

23


(31)

mekanisme hukum yang berlaku. Artinya, suatu kontrak mengandung janji-janji yang mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang.24

4. Asas Itikad Baik

Asas itikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, dinyatakan bahwa: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Menurut asas ini pihak kreditur dan debiturharus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.Walaupun itikad baik para pihak dalam perjanjian atau kontrak sangat ditekankan pada tahap praperjanjian, secara umum itikad baik harus selalu ada pada setiap tahap perjanjian sehingga kepentingan pihak yang satu selalu dapat diperhatikan oleh pihak lainnya.

5. Asas Kepribadian (Personalitas)

Asas kepribadian merupakan asas yang menetukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dilihat dalam Pasal 1315 KUH Perdata, dinyatakan bahwa: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”. Pada dasarnya asas ini menunjukkan bahwa suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya selaku

24


(32)

individu maupun sebagai subjek hukum pribadi (naturlijke persoon), hanya berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.25

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman di dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan pada tanggal 17-19 Desember 1985, telah berhasil merumuskan delapan asas hukum perikatan nasional. Kedelapan asas itu adalah asas kepercayaan. asas persamaan hukum, keseimbangan, kepastian hukum, asas moral, asas kepatutan, asas kebiasaan, dan asas perlindungan.26

C. Syarat – Syarat Perjanjian

Secara yuridis suatu perjanjian baru dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Adapun syarat sahnya perjanjian atau kontrak telah diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu sebagai berikut:

1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak

Syarat yang pertama sahnya suatu perjanjian atau kontrak adalah adanya kesepakatan atau konsensus para pihak. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu:27

a. Bahasa yang sempurna dan tertulis; b. Bahasa yang sempurna secara lisan;

25

Ibid. Hal 93

26

Salim, H.S., Op.Cit. Hal 13

27


(33)

c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena dalam kenyataannya sering kali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;

d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;

e. Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan

Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu kontrak. Yang dimaksud dengan sepakat adalah penyataan persesuaian kehendak antara satu orang atau lebih maupun badan hukum dengan pihak lainnya. Yang dimaksud dengan “sesuai” adalah pernyataannya, karena kehendak tidak dapat dilihat atau diketahui oleh orang lain. Sehubungan dengan adanya persesuaian antara kehendak dengan pernyataan seperti yang telah dijelaskan diatas, adakalanya pernyataan yang timbul tidak sesuai dengan kehendak yang ada dalam batin. Mengenai hal ini terdapat teori yang dijadikan pemecahannya, yaitu :28

1) Teori Kehendak (wilstheorie), bahwa perjanjian itu terjadi apabila ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan, kalau tidak maka perjanjian tidak jadi.

2) Teori Pernyataan (verklaringstheorie), kehendak merupakan proses batiniah yang tidak diketahui orang lain. Akan tetapi yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah pernyataan. Jika terjadinya perbedaan antara kehendak dan pernyataan maka perjanjian tetap terjadi.

28


(34)

3) Teori Kepercayaan (vertouwenstheorie), tidak setiap pernyataan menimbulkan perjanjian, tetapi pernyataan yang menimbulkan kepercayaan saja yang menimbulkan perjanjian

Mengenai terjadi atau timbulnya kesepakatan dalam suatu perjanjian terdapat empat teori, yaitu :29

a) Teori Pernyataan (uitingsheorie), kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menerima penawaran itu menulis surat jawaban yang menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu.

b) Teori Pengiriman (verzendtheorie), kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran mengirimkan telegram, surat, atau telex. Menurut teori ini tanggal cap pos pada saat pengiriman jawaban penerimaan dipakai sebagai pegangan kapan saat lahirnya perjanjian.

c) Teori Pengetahuan (vernemingstheorie), menurut teori ini kesepakatan terjadi apabila pihak yang menawarkan itu mengetahui adanya acceptatie, tetapi penerimaan itu belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung). d) Teori Penerimaan (ontvangstheorie), kesepakatan terjadi saat pihak yang

menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan. 2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum

Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum,

29


(35)

sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Cakap atau bekwaam menurut hukum adalah orang yang sudah dewasa, yaitu sudah berumur 21 Tahun sebagaimana dijelasakan dalam Pasal 330 KUH Perdata.30

Mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak dalam rangka perbuatan untuk kepentingan diri orang perorangan ini diatur dalam Pasal 1329 sampai dengan Pasal 1331 KUH Perdata. Pasal 1329 KUH Perdata dinyatakan bahwa: “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”. Sementara itu, dalam Pasal 1330 KUH Perdata dinyatakan bahwa, tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah:

a. Orang-orang yang belum dewasa;

b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;

c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang-undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian.

3. Suatu Hal tertentu

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan maksud suatu hal tertentu, dengan memberikan rumusan dalam Pasal 1333 KUH Perdata, dinyatakan bahwa:“Suatu perjanjian harus mempunyai sesuatu sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asa saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.Rumusan dalam pasal tersebut hendak menegaskan bahwa apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan untuk

30


(36)

memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, namun semua jenis perikatan itu pasti melibatkan keberadaan atau eksistensi dari suatu kebendaan yang tertentu.31

Dalam Pasal 1234 KUH Perdata dinyatakan bahwa: “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Adapun maksud dari rumusan pasal tersebut adalah sebagai berikut: 32 a. Memberikan sesuatu;

Pada perikatan untuk memberikan sesuatu, kebendaan yang akan diserahkan berdasarkan suatu perikatan tertentu tersebutharuslah sesuatu yang telah ditentukan secara cepat.

b. Berbuat sesuatu;

Pada perikatan untuk berbuat atau melakukan sesuatu, dalam pandangan KUH Perdata, hal yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak dalam perikatan tersebut (debitor) pastilah juga berhubungan dengan suatu kebendaan tertentu, baik itu berupa kebendaan berwujud maupun kebendaan tidak berwujud. c. Tidak berbuat sesuatu

Dalam perikatan untuk tidak melakukan atau tidak berbuat sesuatu, KUH Perdata juga menegaskan kembali bahwa apapun yang ditentukan untuk tidak dilakukan atau tidak diperbuat, pastilah merupakan kebendaan, baik yang berwujud maupun tidak berwujud yang pasti harus telah dapat ditentukan pada saat perjanjian dibuat.

4. Adanya causa/sebab yang halal

31

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian (Jakarta : RajaGrafindo, 2003). Hal 155.

32


(37)

Suatu sebab yang halal atau tidak terlarang dalam perjanjian telah ditentukan dalam Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUH Perdata. Meskipun KUH Perdata tidak memberikan definisi tentang suatu sebab, namun dari rumusan Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal, adalah: (1) bukan tanpa sebab; (2) bukan sebab yang palsu; ataupun (3) bukan sebab yang terlarang. Oleh karena itu selanjutnya dalam Pasal 1336 KUH Perdata dinyatakan lebih lanjut bahwa: “Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang tidak terlarang, atau jika ada sebab lain selain daripada yang dinyatakan itu adalah sah”. 33

Rumusan mengenai sebab yang halal menjadi hanya sebab yang tidak terlarang, Pasal 1337 KUH Perdata dinyatakan bahwa: “Suatu sebab terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Dalam rumusan yang demikianpun sesungguhnya undang-undang tidak memberikan batasan mengenai makna sebab yang tidak terlarang. Dengan demikian berarti apa yang disebut dengan sebab (yang halal) dalam Pasal 1320 j.o Pasal 1337 KUH Perdata tidak lain adalah prestasi dalam perjanjian yang melahirkan perikatan, yang wajib dilakukan atau dipenuhi oleh para pihak, yang tanpa adanya prestasi yang ditentukan tersebut, maka perjanjian tersebut tidak mungkin dan tidak akan pernah ada diantara pihak.34

D. Akibat Hukum Perjanjian

33

H. Mohammad Amari dan Asep Mulyana., Op.Cit. Hal 99.

34


(38)

Perjanjian merupakan perbuatan dengan mana satu pihak mengingatkan dirinya terhadap pihak lainnya dan perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.35

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Artinya para pihak harus mentaati perjanjian tersebut sama dengan mentaati suatu undang-undang. Pasal 1338 KUH Perdata dinyatakan bahwa:

Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Dalam ayat (2) atau alinea (2) pasal ini menetukan bahwa perjanjian tidak boleh dibatalkan secara sepihak tanpa persetujuan pihak lain. Hal ini sangat wajar, agar kepentingan pihak lain terlindungi karena ketika perjanjian dibuat adalah atas kesepakatan kedua belah pihak maka pembatalannya juga harus kesepakatan kedua belah pihak. Selain itu, pembatalan secara sepihak hanya dimungkinkan dengan alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang. Pada ayat (3) ditegaskan bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.36

Menurut Abdulkadir Muhammad, itikad baik yang dimaksud dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata artinya bahwa pelaksanaan kontrak itu harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Selain itu pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik, perlu diperhatikan juga “kebiasaan”. Hal ini ditentukan dalam Pasal 1339 KUH Perdata yang menyatakan :

35

H. Mohammad Amari dan Asep Mulyana.,Op.Cit. Hal 99

36

Ahmadi Miru & Sakka Pati, Hukum Perikatan (Jakarta:RajaGravindo Persada,2008). Hal 79.


(39)

“Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang”. Atas dasar Pasal ini, kebiasaan juga dtunjuk sebagai sumber hukum disamping undang-undang, sehingga kebiasaan itu ikut menentukan hak dan kewajiban pihak-pihak dalam perjanjian.37

Persoalan essensial lainnya sebagai akibat dari adanya perjanjian, yaitu menimbulkan hak dan keawajiban bagi para pihak yang membuatnya. Pemenuhan hak terhadap suatu pihak merupakan kewajiban (presatsi) terhadap pihak lainnya, demikian juga sebaliknya. Adapun bentuk hak dan kewajiban dari para pihak tergantung dari perjanjian yang disepakatinya, baik untuk berbuat sesuatu, memberikan sesuatu dan bahkan untuk tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata).

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, akibat yang terpenting dari tidak dipenuhinya perjanjian ialah bahwa kreditur dapat meminta ganti rugi atas ongkos, rugi dan bunga yang dideritanya. Untuk adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur, maka debitur terlebih dahulu dinyatakan berada dalam keadaan lalai. Lembaga “pernyataan lalai” ini merupakan upaya hukum untuk sampai kepada suatu fase, di mana debitur dinyatakan ingkar janji (wanprestasi). Hal ini berdasarkan Pasal 1234 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa: “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap

37


(40)

melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya dalam tenggang waktu tertentu telah dilampauinya”.38

E. Berakhirnya Perjanjian

Dalam Pasal 1381 KUH Perdata dinyatakan bahwa hapusnya perikatan dapat terjadi karena sebagai berikut:39

1. Pembayaran

Pembayaran yang dimaksud bukan pembayaran yang dipergunakan dalam pegertian sehari-hari karena pembayaran dalam pengertian sehari-hari harus dilakukan dengan menyerahkan uang sedangkan menyerahkan barang selain uang tidak disebut sebagai pembayaran, tetapi pada bagian ini yang dimaksud dengan pembayaran adalah segala bentuk pemenuhan prestasi.

2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan Apabila seorang kreditur menolak pembayaran yang dilakukan oleh debitur, debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas utangnya, dan jika kreditur masih menolak, debitur dapat menitipkan uang atau barang di pengadilan. Penawaran pembayaran yang diikuti penitipan uang atau barang dipengadilan harus dilakukan berdasarkan undang-undang, dan apa yang ditipkan itu merupakan atas tanggungan sikreditur.

3. Pembaharuan utang

Pembaruan utang atau novasi adalah salah satu bentuk hapusnya perikatan yang terwujud dalam bentuk lahirnya perikatan baru. Pasal 1413 KUH Perdata

38

Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III, Hukum Perikatan dengan Penjelasan

(Bandung: Alumni, Cetakan Kedua, 2006). Hal 23-24.

39


(41)

menyatakan bahwa ada 3 macam jalan untuk melaksanakan pembaharuan utang, yakni :

a. Apabila seorang debitur membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang mengutangkan kepadanya, yang menggantikan utang lama, yang dihapuskan karenanya;

b. Apabila seorang debitur baru ditunjuk untuk menggantikan debitur lama, yang oleh debitur dibebaskan dari perikatannya;

c. Apabila sebagai akibat suatu persetujuan baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa debitur dibebaskan dari perikatannya.

4. Perjumpaan utang atau kompensasi

Perjumpaan utang atau kompensasi ini terjadi jika antara dua pihak saling berutang antar satu dan yang lain sehingga apabila utang tersebut masing-masing diperhitungkan dan sama nilainya, kedua belah pihak akan bebas dari utangnya. Perjumpaan ini hanya terjadi jika utang tersebut berupa uang atau barang habis karena pemakaian yang sama jenisnya serta dapat ditetapkan dan jatuh tempo. 5. Pencampuran utang

Apabila kedudukan kreditur dan debitur berkumpul pada satu orang, utang tersebut hapus demi hukum. Degan demikian percampuran utang tersebut juga akan sendirinya mengahapuskan tanggung jawab penanggung utang.


(42)

Pembebasan utang bagikreditur tidak dapat dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan karena jangan sampai utang tersebut sudah cukup lama tidak ditagih, debitur menyangka bahwa terjadi pembebasan utang.

7. Musnahnya barang yang terutang

Jika suatu barang tertentu yang dijadikan objek perjanjian musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, hapuslah perikatannya, kecuali kalau hal tersebut terjadi karena kesalahan debitur telah lalai menyerahkan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

8. Kebatalan atau pembatalan

Kebatalan atau batal demi hukum suatu kontrak terjadi jika perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat objektif dari syarat sahnya kontrak yaitu “suatu hal tertentu” dan “sebab yang halal”. Jadi kalau kontrak itu objeknya tidak jelas atau bertentangan dengan undang-undang ketertiban umum atau kesusilaan, kontrak tersebut batal demi hukum.

9. Berlakunya suatu syarat batal

Yang dimaksud dengan syarat ini adalah ketentuan isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat mana jika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal (void) sehingga perikatan menjadi lenyap. Syarat yang demikian disebut syarat batal.

10.Daluarsa / lewatnya waktu

Dalam Pasal 1946 KUH Perdata, dinyatakan bahwa daluarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh


(43)

undang-undang. Dengan demikian menurut ketentuan ini, daluarsa/ lewatnya waktu tertentu seperti yang ditetapkan dalam undang-undang, dapat mengakibatkan hapusnya perikakatan.

Selain hapusnya perjanjian berdasarkan hal-hal yang dijelaskan dalam pasal 1381 KUH Perdata, dalam praktek dikenal pula cara berakhirnya perjanjian atau kontrak yaitu:40

a. Jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian telah berakhir;

b. Adanya kesepakatan/persetujuan dari kedua belah pihak untuk mengakhiri perjanjian tersebut.

c. Pemutusan kontrak secara sepihak oleh salah satu pihak dengan alasan yang cukup menurut undang-undang;

d. Adanya putusan hakim yang menyatakan bahwa perjanjian tersebut harus dibatalkan.

e. Tujuan yang dimaksud dalam perjanjian telah tercapai

KUH Perdata sangat menekankan pada arti pentingnya sutu kewajiban, prestasi atau utang yang harus dipenuhi, dilaksanakan, atau dilunasi oleh debitur, yang lahir dari suatu perikatan. Ketiadapemenuhan kewajiban/prestasi oleh debitur dalam suatu perikatan, dalam konstruksi KUH Perdata dapat menimbulkan perikatan lain, baik yang merupakan kelanjutan atau akibat dari perikatan, maupun sebagai akibat dari batalnya, berakhir atau hapusnya perikatan tersebut.41

40

Salim, H.S. Op.Cit. Hal 165.

41

Gunawan Widjaya dan Kartini Muljadi, Hapusnya Perikatan (Jakarta: RajaGravindo Persada, 2003). Hal 80.


(44)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG KONTRAK KONSTRUKSI

G. Pengertian Kontrak Konstruksi

Istilah kontrak kerja konstruksi merupakan terjemahan dari construction contract. Kontrak kerja konstruksi merupakan kontrak yang dikenal dalam pelaksanaan konstruksi bangunan, baik yang dilaksanakan oleh Pemerintah maupun pihak swasta. 42

42

Salim H.S., Op.Cit. Hal 90.

Menurut Pasal 1 Ayat (5) UUJK, Kontrak kerja kostruksi merupakan: “Keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi”.


(45)

Dalam kenyataan sehari-hari, istilah kontrak konstruksi sering juga disebut dengan perjanjian pemborongan.

Istilah pemborongan dan konstruksi mempunyai keterikatan satu sama lain. Istilah pemborongan memiliki cakupan yang lebih luas dari istilah konstruksi. Hal ini disebabkan karena istilah pemborongan dapat saja berarti bahwa yang dibangun tersebut bukan hanya konstruksinya, melainkan dapat juga berupa pengadaan barang saja, tetapi dalam teori dan praktek hukum kedua istilah tersebut dianggap sama terutama jika terkait dengan istilah hukum/kontrak konstruksi atau hukum/kontrak pemborongan. Jadi dalam hal ini istilah konstruksi dianggap sama, karena mencakup keduanya yaitu ada konstruksi (pembangunannya) dan ada pengadaan barangnya dalam pelaksanaan pembangunan.43

Menurut R. Subekti perjanjian pemborongan adalah perjanjian dimana pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diriuntuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang memborongkan denganmenerima suatu harga yang ditentukan.44

43

Munir Fuady. Kontrak Pemborongan Mega Proyek (Bandung:Citra Adtya Kartini,1998). Hal12.

Dalam KUH Perdata , perjanjian pemborongan disebut dengan istilah pemborongan pekerjaan, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1601 (b) KUH Perdata bahwa : “Perjanjian peborongan adalah perjanjian dengan mana pihak satu (sipemborong) mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak lain (pihak yang memborongkan) dengan menerima suatu harga yang ditentukan”.

44


(46)

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, dilihat dari sistem hukum maka kontrak bangunan merupakan salah satu komponen dari hukum bangunan (construction law, bouwrecht). Istilah construction law biasa dipakai dalam kepustakaan anglo saxon, sedangkan bouwrecht lazim dipergunakan dalam kepustakaan Hukum Belanda. Dengan demikian, yang dinamakan hukum bangunan adalah seluruh perangkat peraturan perundang-undangan yang bertalian dengan bangunan meliputi pendirian, perawatan, pembongkaran, penyerahan, baik bersifat perdata maupun publik/administratif.45

Dalam kontrak konstruksi, sebagaimana kontrak pada umumnya akan menimbulkan hubungan hukum maupun akibat hukum antara para pihak yang membuat perjanjian. Hubungan hukum merupakan hubungan antara pengguna jasa dan penyedia jasa yang menimbulkan akibat hukum dalam bidang konstruksi. Akibat hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban diantara para pihak. Momentum timbulnya akibat itu adalah sejak ditandatanganinya kontrak konstruksi oleh pengguna jasa dan penyedia jasa. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa unsur-unsur yang harus ada dalam kontrak konstruksi adalah:46

1. Adanya subjek, yaitu pengguna jasa dan penyedia jasa; 2. Adanya objek, yaitu konstruksi;

3. Adanya dokumen yang mengatur hubungan antara pengguna jasa dan penyedia jasa.

45

H. Mohammad Amari dan Asep Mulyana., Op.Cit. Hal 104.

46


(47)

H. Pengaturan Hukum Tentang Kontrak Konstruksi

Penyelengaraan pengadaan bidang konstruksi di Indonesia telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Dari segi substansinya, kecuali mengenai segi-segi hukum kontrak, undang-undang ini cukup lengkap mangatur pengadaan jasa konstruksi.47

Undang-undang ini dibuat pada masa reformasi. Latar belakang lahirnya undang-undang ini karena berbagai peraturan perunang-undangan yang berlaku belum berorientasi pada pengembangan jasa konstruksi yang sesuai dengan karakteristiknya. Hal ini mengakibatkan kurang berkembangnya iklim usaha yang mendukung peningkatan daya saing secara optimal maupun bagi kepentingan masyarakat. UUJK ditetapkan pada tanggal 7 Mei 1999 . ketentuan terdiri atas 12 bab dan 47 pasal.48

Pengaturan lebih lanjut dari undang-undang ini tertuang dalam tiga peraturan pemerintah yaitu : Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Serta Masyarakat Jasa Konstruksi (PP No. 28/2000) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2000 (PP No. 4/2010), Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (PP No. 29/2000) sebagaiman telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2010 (Perpres No. 59/2010), dan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi (PP No. 30/2000).49

47

Y. Sogar Simamora., Op.Cit. Hal 213.

48

Salim H.S., Op.Cit. Hal 91-92

49


(48)

Dalam kaitannya dengan pengadaan jasa konstruksi, tata cara dan prosedur pengadaan barang dan jasa untuk kepentingan instansi Pemeritah, telah diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang telah disempurnakan melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 Tahun 2010. Kemudian Perpres No. 54 Tahun 2010 diubah melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Selain itu, terkait dengan izin usaha konstruksi dalam hal ini terdapat Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan Nomor 23 Tahun 2002 dan Peraturan Daerah Kabupaten Asahan Nomor 35 Tahun 2008 tentang Retribusi Izin Usaha Jasa Konstruksi.

I. Peserta Dalam Kontrak Konstruksi

Para pihak yang terlibat dalam pelaksanaan kontrak konstruksi, adalah sebagai berikut :

1. Pihak Pengguna Jasa,

Pihak pengguna jasa sering juga disebut sebagai pemeberi tugas, yang memborongkan, pemimpin proyek, dan lain-lain. Pengguna jasa adalah pereseorangan atau badan pemberi tugas atau pemilik pekerjaan/proyek yang memerlukan layanan jasa konstruksi.50

a orang perorang;

Pengguna jasa mempunyai hubungan dengan para perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi. Yang dimaksud dengan Pengguna jasa adalah:

50


(49)

b badan usaha, baik badan hukum maupun tidak berbadan hukum; dan c badan yang bukan badan usaha tapi berbadan hukum, yaitu pemerintah dan

atau lembaga negara dimana pemerintah dan atau lembaga negara dengan menggunakan anggaran yang telah ditentukan baik dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

2. Pihak Penyedia Jasa

Pihak penyedia jasa sering juga disebut sebagai kontraktor, pemborong, rekanan, dan lain-lain. Dengan berlakunya UUJK, maka telah dirumuskan pengertian jasa konstruksi. Pengertian jasa konstruksi senagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1 Angka 1 UU Jasa Konstruksi tersebut , menunjukkan bahwa hubungan hukum yang diatur dan diakui oleh Negara ada tiga yaitu perencanaan, pelaksanaan pekerjaan, dan pengawasan.

Dalam hal kontrak pengadaan jasa konstruksi, khususnya yang dilakukan oleh Pemerintah telah diatur dalam ketentuan Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Adapun pihak-pihak atau peserta yang terlibat dalam Pengadaan Barang/Jasa oleh Pemerintah berdasarkan Pasal 7 dan 19 Perpres No. 54 Tahun 2013 adalah sebagai berikut :

a. PA/KPA

Pengguna Anggaran yang selanjutnya disebut PA adalah Pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementrian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Pejabat yang disamakan pada institusi lain Pengguna APBN/APBD. Sedangkan Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya


(50)

disebut KPAadalah Pejabat yang ditetapkan oleh PA untuk menggunakan APBN atau ditetapka oleh Kepala Daerah untuk menggunakan APBD

b. PPK

Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disebut PPK adalah pejabat yang ditetapkan PA/KPA untuk bertanggung jawab atas pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.

c. ULP/ Pejabat Pengadaan

Unit Layanan Pengadaan yang selanjutnya disebut ULP adalah unit organisasi pemerintah yang berfungi melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada. Sedangkan Pejabat Pengadaan adalah personil yang memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa yang melaksanakan pengadaan barang/jasa. d. Panitia/ Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan

Panitia/ Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan adalah panitia/pejabat yang ditetapkan oleh PA/KPA yang bertugas memeriksa dan menerima hasil pekerjaan.

e. Penyedia Barang/Jasa

Penyedia Barang/Jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang menyediakan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Konsultasi/Jasa Lainnya.

J. Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Kontrak Konstruksi

Dalam setiap perjanjian atau kontrak yang melibatkan dua pihak pastilah menimbulkan hak dan kewajiban atau tugas dan kewenangan bagi para pihak. Hak bagi satu pihak merupakan kewajiban (prestasi) yang harus dilaksanakan oleh


(51)

pihak lainnya. Demikian pula dalam kontrak kerja konstruksi terdapat dua pihak yaitu pengguna jasa dan penyedia jasa konstruksi, yang mana masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban sebagaimana telah diuraikan diatas dan merupakan prestasi yang harus dilakukan.

Hak pengguna jasa konstruksi adalah memperoleh hasil pekerjaan konstruksi, sesuai dengan klasifikasi dan kualitas yang diperjanjiakan. Dalam Pasal 18 ayat (1) UUJK, kewajiban pengguna jasa dalam suatu kontrak mencakup:

1. Menerbitkan dokumen tentang pemilihan penyedia jasa yang memuat ketentuan-ketentuan secara lengkap, jelas dan benar serta dapat dipahami; 2. Menetapkan penyedia jasa secara tertulis sebagai hasil pelaksanaan

pemilihan;

3. Memenuhi ketentuan yang diperjanjikan dalam kontrak kerja konstruksi. Adapun kewajiban dari penyedia jasa konstruksi adalah mencakup :

a. Menyusun dokumen penawaran berdasarkan prinsip keahlian untuk disampaikan kepada pengguna jasa;

b. Melaksanakan pekerjaan konstruksi sebagaimana yang telah diperjanjikan. Hak penyedia jasa konstruksi adalah memperoleh informasi dan menerima imbalan jasa dari pekerjaan konstruksi yang telah dilakukannya. Informasi yang dimaksud merupakan doumen secara lengkap dan benar yang harus disediakan oleh pengguna jasa untuk penyedia jasa konstruksi sehingga dapat melakukan sesuai dengan tugas dan kewajibannya.51

51


(52)

Dalam kontrak pengadaan barang/ jasa oleh Pemerintah, kontrak tersebut merupakan perikatan antara Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dengan penyedia barang/jasa. Jika mengacu pada rumusan ini maka pejabat yang mewakili pemerintah dan karenanya berwenang menandatangani kontrak pengadaan adalah PPK. Pejabat inilah yang bertanggung jawab atas akibat hukum dari kontrak yang ditandatangani. Dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 terdapat lampiran tentang Tata Cara Pemilihan Penyedia Pekerjaan, dimana dalam lampiran tersebut terdapat ketentuan mengenai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh PPK dan Penyedia dalam melaksanakan kontrak, meliputi:

1) Hak dan kewajiban PPK :

a) Mengawasi dan memeriksa pekerjaan yang dilaksanakan oleh penyedia; b) Meminta laporan-laporan secara periodik mengenai pelaksanaan pekerjaan

yang dilakukan oleh penyedia;

c) Membayar pekerjaan sesuai dengan harga yang tercantum dalam kontrak yang telah ditetapkan kepada penyedia;

d) Memberikan fasilitas berupa sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh penyedia untuk kelancaran pelaksanaan pekerjaan sesuai ketentuan kontrak.

2) Hak dan kewajiban Penyedia :

a) Menerima pembayaran untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan harga yang telah ditentukan dalam kontrak;

b) Berhak meminta fasilitas-fasilitas dalam bentuk sarana dan prasarana dari PPK untuk kelancaran pelaksanaan pekerjaan sesuai ketentuan kontrak;


(53)

c) Melaporkan pelaksanaan peerjaan secara periodic kepada PPK;

d) Melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan yang telah ditetapkan dalam kontrak;

e) Memberikan keterangan-keterangan yang diperlukan untuk pemeriksaan pelaksanaan pekerjaan secara periodik kepada PPK;

f) Menyerahkan hasil pekerjaan sesuai dengan jadwal penyerahan pekerjaan yang telah ditetapkan dalam kontrak;

g) Penyedia harus mengambil langkah-langkah yang cukup memadai untuk melindungi lingkungan tempat kerja dan membatasi perusakan dan gangguan kepada masyarakat maupun miliknya akibat kegiatan penyedia.

K. Proses Terjadinya Kontrak Konstruksi

Dalam proses terjadinya suatu kontrak konstruksi terdapat tahapan-tahapan yang harus dilakukan oleh para pihak. Seperti kontrak pada umumnya, tentu saja diawali dengan adanya 2 (dua) pihak atau lebih yang sepakat untuk mengadakan suatu perjanjian pengadaan pekerjaan konstruksi. Proses terjadinya kontrak konstruksi dimulai dengan proses pemilihan pihak kontraktor atau penyedia jasa oleh pihak pengguna jasa. Adapun tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam proses terjadinya kontrak kontruksi berdasarkan Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah sebagai berikut.

1. Pemberitahuan atau Pengumuman

Pada umumnya pengguna jasa akan terlebih dahulu membuat pengumuman atau pemberitahuan dengan membuka penawaran melalui suatu


(54)

pelelangan untuk mencari penyedia jasa yang sanggup untuk melaksanakan pekerjaan. Pengumuman dilakukan diumumkan paling kurang diwebsite K/L/D/I, dan papan pengumuman resmi untukmasyarakat serta Portal Pengadaan Nasional melalui LPSE,sehingga masyarakat luas dan dunia usaha yang berminat danmemenuhi kualifikasi dapat mengikutinya (Pasal 36 ayat (3) Perpres No. 54 Tahun 2010). Pelelangan biasanya dibagi 2 (dua) yakni pelelangan umum dan pelelangan terbatas. Pada prinsipnya kedua jenis pelelangan tersebut sama, perbedaannya hanya terletak pada jumlahnya saja. 52

Dalam hal ini juga dijelaskan mengenai pekerjaan yang akan dilaksanakan tempat lokasi proyek atau pekerjaan, dimana tempat pendaftaran dan batas waktu pendaftaran, dimana dan kapan saat pelelangan akan diadakan.53

Selanjutnya pejabat pemilihan penyedia jasa akan melakukan evaluasi terhadap dokumen penawaran yang masuk. Pada fase penawaran, pejabat pemilihan wajib melakukan penilaian terhadap semua penawaran yang masuk. Unsur yang dinilai meliputi segi administrasi, teknis dan harga, menagcu pada keriteria, metode dan tatacara yang telah ditetapkan dalam dokumen pemilihan penyedia jasa.

Bagi pihak penyedia jasa atau kontraktor yang berminat untuk melaksanakan pekerjaan tersebut dapat mendaftar secara tertulis dengan memasukkan dokumen penawaran sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan dalam pengumuman untu ikut sebagai peserta pelelangan (tender).

52

Ibid. Hal 140

53

Sri Soedewi Masjchun Sofwan.Hukum Bangunan. Perjanjian Pemborongan Bangunan


(55)

2. PersyaratanKualifikasi dan Klasifikasi a. Kualifikasi

Kualifikasi merupakan proses penilaian kompetensi dankemampuan usaha serta pemenuhan persyaratan tertentulainnya dari Penyedia Barang/Jasa (Pasal 56 ayat (1) Perpres 54 Tahun 2010). Dalam tahap kualifikasi ditentukan juga beberapa persyaratan bagi penyedia jasa yakni :54

1) Penyedia jasa harus memiliki surat izin usaha pada bidang usahanya (IUJK);

2) Mempunyai kapasitas menandatangani kontrak pengadaan;

3) Tidak masuk daftar hitam dan tidak dalam pengawasan pengadilan; 4) Tidak bangkrut/pailit;

5) Kegiatan usahanya tidak sedang dihentikan dan/atau direksinya tidak sedang menjalani sanksi pidana.

Kualifikasi dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu prakualifikasi atau pascakualifikasi, berikut penjelasannya :

a) Prakualifikasi

Sebelum menentukan pihak pemenang yang dipilih untuk mengerjakan pekerjaan konstruksi tersbut, terlebih dahulu dilakukan prakualifikasi terhadap calon-calon penyedia jasa yang ada. Prakualifikasi merupakan proses penilaian kualifikasi yang dilakukan sebelum pemasukan penawaran. Berdasarkan Perpre No. 54 Tahun 2010, prakualifikasi dilaksanakan untuk pengadaan sebagai berikut:

(1) Pemilihan penyedia jasa konsultasi;

54


(56)

(2) Pemilihan penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya yang bersifat kompleks melalui pelelangan umum;

(3) Pemilihan penyedia barang/pekerjaan kontruksi/jasa lainnya yang menggunakan metode penunjukan langsung, kecuali untuk penanganan darurat.

Perbuatan prakualifikasi ini dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan dasar perusahaan, baik yang berbentuk badan hukum, maupun yang tidak bentuk badan hukum dimana mereka mempunyai usaha pokok berupa pelaksanaan pekerjaan pemborongan, konsultasi, dan pengadaan barang/jasa lainnya.55

b) Pascakualifikasi

Pascakualifikasi merupakan proses penilaian kualifikasi yang dilakukan setelah pemsukan penawaran. Berdasarkan Perpres No. 54 Tahun 2010 Pasal 56 ayat (9), pascakualifikasi dilaksanakan untuk pengadaan sebagai berikut :

(1) Pelelangan Umum, kecuali Pelelangan Umum untukPekerjaan Kompleks; (2) Pelelangan Sederhana/Pemilihan Langsung; dan

(3) Pemilihan Penyedia Jasa Konsultansi Perorangan.

b. Klasifikasi

Klasifikasi adalah bagian dari kegiatan registrasi untuk menetapkan penggolongan perusahaan pemborong di bidang jasa pemborongan/konstruksi sesuai bidang dan sub bidang pekerjaan atau penggolongan profesi keterampilan

55


(57)

dan keahlian kerja orang perseorangan di bidang jasa pemborongan tersebut. Klasifikasi usaha jasa pemborongan/konstruksi terdiri dari:56

1) Klasifikasi usaha bersifat umum, diberlakukan kepada badan usaha yang mempunyai kemampuan untuk melaksanakan satu atau lebih bidang pekerjaan. Bidang usaha jasa pemborongan yang bersifat umum ini harus memenuhi kriteria mampu mengerjakan bangunan konstruksi atau bentuk fisik lain, mulai dari penyiapan lahan sampai penyerahan akhir atau berfungsinya bangunan konstruksi.

2) Klasifikasi usaha bersifat spesialis, diberlakukan kepada usaha orang perseorangan dan atau badan usaha yang mempunyai kemampuan hanya melaksanakan satu sub bidang atau satu bagian subbidang pekerjaan. Badan usaha jasa pemborongan/konstruksi yang bersifat spesialis ini harus memenuhi criteria mampu mengerjakan bagian tertentu dari bangunan konstruksi atau bentuk fisik lain.

3) Klasifikasi usaha orang perseorangan yang berketerampilan kerja tertentu, diberlakukan kepada usaha orang perseorangan yang mempunyai kemampuan hanya melaksanakan suatu keterampilan tertentu. Badan usaha jasa pemborongan ini mampu mengerjakan subbagian pekerjaan pemborongan dan bagian tertentu bangunan konstruksi dengan menggunakan teknologi sederhana.

Pelaksanaan klasifikasi dan kualifikasi usaha orang perorangan dan badan usaha dapat dilakukan oleh asosiasi perusahaan yang telah mendapat akreditasi

56


(58)

dari lembaga. Tujuan diadakannya standarisasi klasifikasi dan kualifikasi jasa pemborongan/konstruksi yaitu untuk mewujudkan standar produktivitas dan mutu hasil kerja sehingga mendorong berkembangnya tanggung jawab profesional di antara para pihak.57

3. Pelelangan dan Pelulusan.

Dalam melaksanakan pemilihan penyedia barang/jasa pemborongan, pejabat pengadaan harus terlebih dahulu menetapkan metode pemilihan penyedia barang/jasa, metode penyampaian dokumen, metode evaluasi penawaran, metode penilaian kualifikasi dan jenis kontrak yang paling sesuai dengan pengadaan barang/jasa yang bersangkutan. Untuk pengadaan pekerjaan pemborongan sendiri dapat digunakan metode pelelangan umum, pelelangan terbatas, pemilihan langsung, penunjukan langsung, atau pengadaan langsung.58

a. Pelelangan Umum adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan secara terbuka dengan pengumuman secara luas melalui media massa dan papan pengumuman resmi untuk penerangan umum sehingga masyarakat dunia usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi dapat mengikutinya.

b. Pelelangan Terbatas adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa yang diumumkan secara luas melalui media massa dan papan pengumuman resmi dengan mencantumkan penyedia barang/jasa yang telah diyakini

57

Ibid. Hal 31.

58


(59)

mampu, guna memberi kesempatan kepada penyedia barang/jasa lainnya yang memenuhi kualifikasi.

c. Pemilihan Langsung adalah pelaksanaan pengadaan barang dan jasa tanpa melalui pelelangan umum atau pelelangan terbatas yang dilakukan dengan membandingkan sebanyak-banyaknya penawaran, sekurang-kurangnya 3 (tiga) penawar dari penyedia barang/jasa yang telah lulus prakualifikasi dan langsung dilakukan negosiasi baik teknis maupun harga.

d. Penunjukan Langsung adalah metode pemilihan Penyedia Barang/Jasa dengan cara menunjuk langsung 1 (satu) Penyedia Barang/Jasa.

e. Pengadaan Langsung adalah pemilihan penyedia barang/jasa dengan penunjukan langsung terhadap 1 (satu) penyedia barang/jasa dengan cara melakukan negosiasi baik teknis maupun biaya sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan.

Ukuran untuk menentukan pelulusan adalah penawaran yang paling menguntungkan bagi Negara dan yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai calon pemenang, dengan memperlihatkan keadaan umum dan keadaan pasar, baik untuk jangka pendek atau jangka menengah. Dalam praktek pelaksanaan pelelangan, penentuan pelulusan pelelangan didasarkan atas penawaran yang terendah yang dapat dipertanggungjawabkan (the lowest responsible bid).59

4. Sanggahan dan Penunjukan Pemenang

Dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 ditentukan bahwa peserta pemilihan Penyedia atau lelang yang merasa keberatan atas penetapan pemenang lelang

59


(60)

diberikan kesempatan untuk mengajukan sanggahan secara tertulis, selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari kerja setelah pengumuman pemenang lelang (Pasal 82 ayat (1) Perpres No. 54 Tahun 2010). Dalam Pasal 81 ayat (1) ditentukan bahwa Peserta pemilihan yang merasa dirugikan dapat mengajukan surat sanggahan kepada instansi pemerintah pengguna jasa konstruksi, apabila menemukan :

a. Penyimpangan terhadap ketentuan dan prosedur yang telah diatur dalam Peraturan Presiden ini dan yang telah ditetapkan dalam dokumen Pengadaan Jasa;

b. Adanya rekayasa tertentu yang mengakibatkan terjadinya persaingan yang tidak sehat;

c. Adanya penyalahgunaan wewenang oleh ULP dan/ atau Pejabat yang berwenang lainnya.

Kemudian Pengguna Jasa akan mengeluarkan surat penunjukan penyedia barang/jasa (SPPBJ) sebagai pelaksana pekerjaan yang dilelangkan, dengan ketentuan :

1) Tidak ada sanggahan dari peserta lelang;

2) Sanggahan maupun sanggahan banding yang diterima pejabat yang berwenang terbukti tidak benar;

3) Sanggahan yang diterima melewati waktu masa sanggah atau telah berakhir.


(61)

Tahapan selanjutnya adalah pembentukan kontrak antara pihak pengguna jasa atau PPK dengan penyedia jasa yang dinyatakan sebagai pemenang. Para pihak harus segera melengkapi dokumen-dokumen yang diperlukan dalam pembuatan kontrak, setelah semua lengkap maka dikeluarkanlah surat perjanjian (kontrak). selanjutnya para pihak akan saling merevisi, melengkapi isi atau klausul dalam perjanjian tersebut. Apabila telah terjadi kesepakatan, para pihak wajib menandatangani kontrak tersebut. Selanjutnya kontrak tersebut akan menjadi acuan atau pedoman bagi para pihak untuk melaksanakan pekerjaan.

L. Berakhirnya Kontrak Konstruksi

Suatu kontrak konstruksi akan berkahir apabila terjadi hal-hal sebagai berikut:

1. Penghentian Kontrak

Penghentian kontrak terjadi apabila pekerjaan sudah selesai dan setelah masa pemeliharaan selesai atau dengan kata lain pada penyerahan kedua dan harga telah dibayar oleh pihak pengguna jasa. Didalam kontrak konstruksi dikenal adanya dua macam penyerahan yaitu:60

a. Penyerahan pertama yaitu penyerahan pekerjaan fisik setelah selesai 100%.

b. Penyerahankedua yaitu penyerahan pekerjaan setelah masa pemeliharaan selesai.

Dengan berakhirnya kontrak dalam hal ini, maka pengguna jasa wajib membayar kepada Penyedia sesuai dengan prestasi pekerjaan yang telah dicapai.

60


(1)

pekerjaan yang tidak kompleks dan nilai kontrak ini senilai Rp. 4.491.082.000,- (Empat Milyar Empat Ratus Sembilan Puluh Satu Juta Delapan Puluh Dua Ribu Rupiah). Hal ini berdasarkan Pasal 37 Perpres No. 70 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa pengadaan pekerjaan yang tidak kompleks dan bernilai paling tinggi Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dapat dilakukan dengan pemilihan langsung untuk pengadaan pekerjaan konstruksi. Dalam pelaksanaan kontrak juga terlihat bahwa kontrak tersebut berjalan dengan baik dan proyek pembangunan selesai pada waktu yang telah ditentukan dan hasilnya sesuai dengan perjanjian.

2. Pihak penyedia atau kontraktor bertanggung jawab untuk menyelesaikan pembangunan proyek sesuai dengan persyaratan baik dari segi teknis, bahan, mutu dan waktu yang telah ditetapkan dalam kontrak yang telah disetujui dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. Apabila pihak penyedia melakukan wanprestasi, maka pihak pemberi tugas atau PPK dapat mengajukan tuntutan agar pekerjaan tetap dilanjutkan, agar pekerjaan dihentikan, ganti kerugian yang timbul akibat wanprestasi yang dilakukan oleh pihak penyedia atau kontarktor. Demikian juga dengan pihak pemeberi tugas atau PPK bertanggung jawab untuk melakukan kewajiban pembayaran kepada pihak penyedia sesuai dengan jumlah dan waktu yang telah ditetapkan dalam kontrak.

3. Dalam pelaksanaan kontrak antara DISPERINDAG Kab. Asahan dengan PT. Menara Kharisma Internusa Medan dalam proyek pembangunan Pasar Kartini


(2)

menolak untuk dialokasikan sementara dan masalah pembebasan lahan, sehingga proses pembangunan sedikit terlambat. Namun masalah tersebut dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat sehingga proyek pembangunan dapat terus dilanjutkan. Mengenai terjadinya peselisihan antara para pihak, dalam prakteknya penyelesaian perselisihan tersebut lebih dulu dilakukan dengan cara musyawarah atau damai. Jika dengan jalan musyawarah tidak tercapai kata sepakat maka dapat diselesaikan dengan membentuk panitia Arbitrase hingga kemudian akan diteruskan melalui pengadilan, apabila melalui cara tersebut diatas tidak tercapai penyelesaian.

B. Saran

1. Dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi sangat di perlukan kerjasama atau koordinasi yang baik antara pemeberi tugas, perencana konstruksi, pelaksana konstruksi maupun pengawas konstruksi sehingga pelaksanaan pekerjaan dapat berjalan dengan baik, efektif, efisien dan terencana.

2. Apabila dalam proses pembangunan proyek ditemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati dalam kontrak, maka pihak pemeberi tugas harus segera memberikan peringatan kepada pihak penyedia atau kontraktor agar segera memperbaiki pekerjaannya. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya kerugian yang lebih besar.


(3)

3. Dalam proses pembangunan proyek, pengawas harus lebih memperhatikan mutu dari bahan-bahan yang digunakan dalam proyek pembangunan, hal ini terkait dengan kualitas hasil bangunan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Amari, H. Mohammad dan Asep Mulyana. 2010.Kontrak Kerja Konstruksi Dalam Perspektif Tindak Pidana. Aneka Ilmu,Semarang.

Badrulzaman, Mariam Darus. 2006. KUH Perdata Buku III, Hukum Perikatan dengan Penjelasan. Cetakan Kedua. Alumni, Bandung.

Djumialdji.1996. Hukum Bagunan.Rineka Cipta, Jakarta.

Fuady, Munir. 1998. Kontrak Pemborongan Mega Proyek.Citra DityaBakti,Bandung.

HS, Salim. 2003. Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, 2003. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian. RajaGrafindo,Jakarta.

Muhammad, Abdul Kadir. 1992. Hukum Perikatan. Citra Aditya, Bandung.

Miru, Ahmadi dan Sakka Pati, 2008. Hukum Perikatan. RajaGravindo Persada, Jakarta.

Miru, Ahmadi. 2011. Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak.Rajawali Pers, Jakarta.


(5)

Projodikoro, Wiryono. 1981. Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu.Sumur Bandung, Bandung.

Satrio, J. 1992. Hukum Perjanjian. Citra Aditya, Bandung.

Setiawan, R. 1987. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Bina Cipta Bandung, Bandung.

Simamora, Y. Sogar. 2013. Hukum Kontrak (Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia ).Laksbang Justitia,Surabaya.

Soekanto, Soerjonno. 1985. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Rajawali, Jakarta.

Soedewi, Sri & Masjchun Sofwan. 1982. Hukum Bangunan Perjanjian Pemborongan. Liberty, Yogyakarta.

Subekti, R (1). 1987. Hukum Perjanjian. Intermasa,Jakarta.

(2).1985. Aneka Perjanjian. Alumni,Bandung.

Waluyo, Bambang.2008.Penelitian Hukum Dalam Praktek. Sinar Grafika,Jakarta.

Widjaya, I.GRai. 2008.Merancang Suatu Kontrak. Kesaint Blanc,Jakarta.

Widjaya, Gunawan dan Kartini Muljadi. 2003. Hapusnya Perikatan. RajaGravindo Persada, Jakarta.


(6)

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

1. Undang- Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (UUJK) 2. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah dan perubahannya.

3. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah.

4. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Cetakan ke-34) 5. Dokumen Kontrak.