BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Non Voting Behavior (Perilaku Tidak Memilih) Pada Pemilukada kota Pematang Siantar 2010 (Studi Kasus : Perilaku Tidak Memilih Masyarakat di Kecamatan Siantar Selatan pada Pemilukada Kota Pematangsiantar 2010)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

  Berawal dari usaha pemerintah untuk merevisi UU No. 5/1974 di bawah kepemimpinan Presiden B.J Habibie, maka tercetuslah ide dengan menerbitkan UU No. 22/1999 sebagai landasan hukum pemerintahan daerah. UU ini tercipta dilatarbelakangi oleh ketidakadilan dan ketimpangan hubungan yang terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan terciptanya UU No. 22/1999 diharapkan dapat mengakomodasi perubahan paradigma pemerintahan dan dapat mengedepankan prinsip – prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, memperhatikan perbedaan potensi dan keanekaragaman, serta dapat

  

mencegah terjadinya disintegrasi bangsa.

  Adapun tujuan lain dari lahirnya undang – undang pemerintahan daerah adalah sebagai antisipasi pembaharuan dan sebagai penyempurnaan dari beberapa aturan yang melandasi pelaksanaan pemerintahan daerah yang sudah tidak efektif dalam perkembangan yang ada saat ini. Di satu sisi, undang – undang ini juga sebagai implementasi dari beberapa aturan mendasar, dengan tegas dan jelas memberikan batasan – batasan, beberapa pengertian sebagai acuan atau dasar dari pelaksanaan pemerintahan di daerah: diantaranya memisahkan secara tegas fungsi dan peran pemerintahan daerah dan DPRD, yang disatu sisi menempatkan kepala daerah beserta perangkat daerah otonom sebagai badan eksekutif dan di sisi lainnya, DPRD sebagai badan legisliatif daerah.

1 Dr. Agussalim Andi Gadjong, SH, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum. Bogor : Ghalia

  Indonesia, 2007, Hal. 161

  Pada tahap selanjutnya, di bawah kepemimpinan Presiden Megawati yang telah melakukan evaluasi yang mendasar, maka lahirlah UU No. 32/2004 sebagai landasan hukum pemerintahan daerah yang menggantikan UU No. 22/1999 yang

   dianggap tidak lagi sesuai setelah amandemen UUD 1945.

  Tahun 2005, merupakan awal perubahan besar terjadi, dimana untuk pertamakalinya Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dipilih secara langsung oleh rakyat. Peristiwa ini menandai babakan baru dalam sejarah politik daerah di Indonesia. Adapun pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung diatur dalam UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal

  56. Dalam Pasal 56 ayai (1) dikatakan : “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.”

  Demokrasi di tingkat lokal mulai mekar, dimana pada tahun 2005 untuk pertama kalinya dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia digelar perhelatan akbar “Pemilihan Umum Kepala Daerah Langsung”, baik gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati maupun walikota dan wakil walikota. Pemilukada langsung merupakan hasil kerja keras dalam perwujudan demokrasi, walaupun banyak hal yang menjadi konsekuensinya seperti biaya yang besar, energi, waktu, pikiran dan lain sebagainya. Namun, keberhasilan pemilukada untuk melahirkan kepemimpinan daerah yang murni secara demokratis, sesuai kehendak dan tuntutan rakyat sangat tergantung pada sikap kritisme dan

   rasionalitas rakyat sendiri.

  Berdasarkan UU No. 22/2007, pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (pemilukada) juga dimasukkan sebagai bagian dari kategori pemilu. Pemilihan umum Kepala Daerah langsung merupakan suatu capaian yang 2 baik dalam proses demokrasi di Indonesia. Melalui pemilihan umum Kepala 3 Ibid Hal. 167 Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung. Yogyakarta ; Pustaka Pelajar, 2005, Hal. 3 Daerah langsung berarti mengembalikan hak – hak masyarakat di daerah untuk berpartisipasi dalam proses politik dalam rangka rekrutmen politik lokal secara

  

  demokrasi. Sehingga hal ini semakin memajukan demokrasi ditingkat lokal karena masyarakat lokal akan memilih sendiri siapakah calon pemimpinnya atau yang mewakilinya di daerah.

  Adapun pemilukada terkait dengan kedaulatan rakyat, mencakup hal – hal sebagai berikut :

  • Rakyat secara langsung dapat menggunakan hak – haknya secara utuh.

  Menjadi kewajiban Negara memberikan perlindungan terhadap hak pilih rakyat. Salah satu hak politik rakyat tersebut adalah hak memilih calon pemimpin. Penundaan atau peniadaan hak pilih tidak hanya mengurangi secara signifikansi nilai – nilai demokrasi dalam pemilukada langsung namun bahkan setiap saat mengancam legitimasi pemimpin pemerintahan daerah.

  • Wujud nyata asas pertanggungjawaban dan akuntabilitas. Hal ini merupakan suatu landasan yang sangat penting guna menjaga kelangsungan sebuah kepemimpinan politik. Melalui pemilukada langsung, maka seorang Kepala Daerah harus dapat mempertanggungjawabkan kepemimpinan kepada rakyat yang memilih. Tingkat penerimaan rakyat terhadap Kepala Daerah merupakan jaminan bagi peningkatan partisipasi politik rakyat yang akan menjaga kelanggengan sebuah kepemimpinan. Kepala Daerah yang tidak dapat memenuhi pertanggungjawaban dan akuntabilitasnya akan ditinggalkan oleh rakyat, bahkan rakyat akan memberikan sangsi dengan jalan tidak akan memilih kandidat tersebut pada pemilukada berikutnya. Karena itu dalam beberapa system pemilihan, calon Kepala Daerah harus memiliki trade merk, yaitu ciri khas dan prioritas program kerja, yang dapat dipertanggungjawabkan.

4 Ibid., Hal.21

  • Menciptakan suasana kondusif bagi terciptanya hubungan sinergis antara pemerintahan dan rakyat. Pemerintahan akan melaksanakan kehendaknya sesuai dengan kehendak rakyat. Keserasian dan keseimbangan hubungan antara keduanya akan membawa pengaruh yang sangat menguntungkan bagi tegaknya suatu pemerintahan yang demokratis. Oleh sebab itu, bilamana sebuah pemerintahan telah “ditinggalkan” rakyatnya, maka ambruknya pemerintahan tersebut tinggal menunggu waktu dalam hitungan yang tak

   lama.

  Perilaku pemilih masyarakat adalah aspek penting yang menunjang keberhasilan suatu pelaksanaan pemilukada. Dan perilaku pemilih yang dimaksud disini adalah antara lain pemberian suara atau proses voting, partai politik dan tidak memberikan suara atau non voting. Dimana pada kesempatan ini yang menjadi titik fokus adalah adanya perilaku tidak memilih atau non voting.

  Perilaku tidak memilih atau non voting menurut Arbi Sanit adalah mereka secara sadar yang tidak puas dengan keadaan sekarang, karena aturan main demokrasi diinjak-injak partai politik dan juga tidak berfungsinya lembaga demokrasi (parpol) sebagaimana kehendak rakyat dalam sistem demokrasi. Perilaku tidak memilih atau non voting merupakan suatu tindakan dimana masyarakat yang namanya terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) secara sengaja maupun tidak sengaja tidak mau memberikan hak suaranya pada saat pemilu ataupun pemilukada yang dilatarbelakangi oleh suatu alasan tertentu. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk tidak memberikan suaranya saat pemilu ataupun pemilukada antara lain; faktor ekonomi, faktor pendidikan dan faktor kebudayaan.

  Tingginya angka non voting pada setiap pemilu maupun pemilukada setidaknya akan berpengaruh terhadap validitas suara yang diberikan oleh 5 masyarakat. Validitas suara adalah keabsahan atau keaslian suara yang diberikan

  Ali Maksyur Musa, “Pilpres Langsung”, Sinar Harapan, 30 Januari 2003 oleh seluruh masyarakat yang dapat menggambarkan pilihan masyarakat secara menyeluruh. Sehingga apabila banyak masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya akan menyebabkan suara yang terkumpul itu tidak murni keputusan masyarakat, sebab suara yang dihasilkan hanyalah suara sekelompok masyarakat yang menggunakan hak pilihnya, sementara yang tidak menggunakan hak pilihnya tidak memiliki keterkaitan terhadap hasil pemilu ataupun pemilukada yang ada. Sehingga hasil pemilu ataupun pemilukada yang memiliki kecenderungan masyarakat tidak memilih yang tinggi akan mempengaruhi tingkat validitas suara yang diberikan masyarakat.

  Salah satu yang menjadi indikator terpenting dalam pemilihan yang berkualitas yaitu dilaksanakannya pemungutan suara oleh rakyat yang memiliki tingkat validitas suara yang tinggi, sebab benar – benar mencerminkan implementasi asas – asas pemilukada langsung, yakni ; langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pemungutan suara adalah proses pencurahan pikiran dan pertimbangan warga untuk memilih calon berdasarkan informasi dan data yang diperoleh pada masa kampanye. Bagi pemilih, pemberian suara atau voting ini merupakan seleksi akhir dalam pemilihan, yang dikenal dengan seleksi politis. Tetapi bagi pemilih yang tidak memberikan hak suaranya dalam seleksi politis atau pada masa pemilihan, merupakan suatu tindakan yang kurang atau tidak mendukung terwujudnya pemilihan umum Kepala Daerah langsung yang benar – benar berkualitas.

  Perilaku pemilih dalam pemilukada itu sangat penting. Karena di dalam menentukan apakah pemilukada itu berhasil, maka perilaku pemilih masyarakatnya akan menjadi faktor penentu yang penting pula. Apabila dalam pelaksanaan pemilukada ternyata dapat dilihat bahwa masyarakat tidak terlalu ikut ambil bagian di dalamnya, misalnya dapat kita perhatikan dengan tingginya angka DPT yang tidak menggunakan hak pilihnya atau sering disebut dengan golput atau non voting, berarti pemilukada tersebut kurang berhasil pelaksanaannya. Yang terbukti dari kurangnya perhatian yang diberikan oleh masyarakat pada pesta demokrasi lokal tersebut. Karena guna menghindari semakin maraknya perilaku tidak memilih pada setiap pemilu maupun pemilukada, maka perlu diadakan kajian intensif terhadap perilaku tidak memilih, guna dapat mewujudkan cita – cita bersama yaitu pemilukada langsung yang benar – benar berkualitas.

  Apabila kita amati, hingga saat ini belum terlalu banyak kalangan pemerhati politik Indonesia yang melakukan kajian intensif terhadap perilaku politik tidak memilih. Kebanyakan dari mereka hanya terfokus pada bagaimana proses pelaksanaan pemilukadanya, karakteristik pendukung, strategi pemenangan, serta faktor faktor apa yang membuat salah satu kandidat atau partai politik dapat memenangkan sebuah pemilukada. Padahal, tanpa kita sadari kajian tentang perilaku tidak memilih juga tidak kalah pentingnya dalam pemilukada, sebab saat ini hampir di semua daerah di Indonesia tercatat sangat tinggi angka DPT yang tidak menggunakan hak pilihnya.

  Pemilukada merupakan salah satu bagian dari pemilihan umum, dimana pemilukada masih tergolong hal baru bagi masyarakat kita, sebab baru setidaknya dua kali diadakan pemilukada diseluruh daerah di Indonesia. Adapun alasan saya mengkaji perilaku tidak memilih dalam pemilukada dan bukan dalam pemilu adalah karena penulis ingin mengetahui apakah yang mendasari masyarakat tidak mau berpartisipasi dalam pesta demokrasi daerah, padahal kegiatan tersebut menjadi penentu nasib tiap – tiap daerah untuk lima tahun kedepan. Sebab, melalui pesta demokrasi daerah atau sering disebut pemilukada terpilihlah orang nomor satu di daerah kita nantinya yang akan mengatur segala bentuk kegiatan yang ada di masing – masing daerah selama periode tertentu.

  Oleh sebab itu, menyadari akan kurangnya penelitian yang dilakukan tentang perilaku tidak memilih atau sering disebut non voting pada pemilukada, maka di dalam proposal penelitian ini saya akan menjelaskan dan meneliti tentang perilaku tidak memilih masyarakat yang terdapat di Kecamatan Siantar Selatan, Kota Pematangsiantar. Kecamatan Siantar Selatan merupakan sebuah kawasan pertokoan dan pemukiman padat penduduk dan bersifat heterogen. Maka tentu saja terdapat variasi alasan masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilukada Kota Pematangsiantar Juni 2010 lalu.

  Keterlibatan masyarakat Kecamatan Siantar Selatan dalam pemilukada perlu mendapat apresiasi yang positif, sebab mereka mau berpartisipasi dalam pesta demokrasi lokal yang merupakan suatu kegiatan terpenting di tiap – tiap daerah. Namun banyak juga terdapat kejanggalan, dimana kurang lebih 30% masyarakat Kecamatan Siantar Selatan tidak menggunakan hak pilihnya

  Adapun terdapat sebuah fenomena yang cukup menarik di Kecamatan Siantar Selatan sehingga saya ingin melakukan penelitian di Kecamatan Siantar Selatan, yaitu : bahwa jumlah DPT Kecamatan Siantar Selatan tidaklah terbesar di Kota Pematangsiantar, tetapi angka non voting di kecamatan ini termasuk yang paling besar, selain itu komposisi masyarakat Siantar Selatan rata – rata tergolong dalam kelas menengah dan berpendidikan, sehingga menjadi penulis merasa perlu mengetahui apa alasan dari mereka untuk tidak memilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Kota Pematangsiantar Juni 2010 lalu.

  Maka berdasarkan hal – hal diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Perilaku Tidak Memilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Kota Pematangsiantar juni 2010 di Kecamatan Siantar Selatan, Kota Pematangsiantar.

1.2 Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang diatas maka masalah yang ingin peneliti rumuskan adalah:

  1. Mengapa masyarakat di Kecamatan Siantar Selatan yang sudah terdaftar sebagai Daftar Pemilih tetap (DPT), tidak menggunakan hak pilihnya pada Pemilukada Kota Pematangsiantar pada Juni 2010.

2. Hal – hal apa yang mempengaruhi masyarakat di Kecamatan Siantar

  Selatan untuk tidak memilih pada Pemilikada Kota Pematangsiantar pada Juni 2010.

  1. 3 Tujuan Penelitian

  Adapun yang menjadi tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

  1 Untuk mengetahui alasan pemilih terdaftar mengapa tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilukada Kota Pematang Siantar 2010.

  2 Untuk mengetahui penyebab pemilih di Kecamatan Siantar Selatan tidak menggunakan hak pilihnya.

  3 Untuk membuat klasifikasi pemilih terdaftar yang tidak menggunakan hak pilihnya berdasarkan jenis kelamin dan tingkat pendidikannya.

1.4. Manfaat Penelitian

  1 Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan berfikir secara sistematis dalam melihat fenomena politik yang terjadi di masyarakat.

  2 Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan studi perilaku politik yang ada di Indonesia pada saat ini.

  3 Secara akademis penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya kajian ilmu politik dan refrensi dalam konteks ilmu politik di Indonesia.

  4 Hasil penelitian ini kiranya dapat bermanfaat bagi lembaga / instansi pemerintahan seperti Pemerintahan Daerah, KPU dalam kaitannya dengan perilaku tidak memilih dan

  5 Bagi masyarakat penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sarana pendidikan politik.

1.5 Kerangka Teori

  Guna mempermudah seorang peneliti dalam sebuah penelitian maka diperlukan sebuah pedoman sebagai landasan berpikir yaitu sebuah kerangka teori. Sebelum melakukan penelitian yang lebih lanjut, seorang peneliti perlu menyusun kerangka teori untuk dapat menggambarkan dari sudut mana peneliti

   menyoroti masalah yang telah ditiliti.

  Kerangka teori merupakan landasan untuk melakukan penelitian dan teori dipergunakan untuk menjelaskan fenomena sosial yang menjadi objek penelitian. Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, kontrak, defenisi dan proporsi yang menerangkan sesuatu fenomena sosial secara sistematik dengan cara merumuskan hubungan antara konsep.

1.5.1 Teori Perilaku Politik

  Teori perilaku politik secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan yang berkenaan dengan segala bentuk aktivitas atau proses pembuatan dan pelaksanaan pengambilan keputusan politik dan keikutsertaan seluruh elemen masyarakat.

  Perilaku politik dapat diartikan sebagai keseluruhan tingkah laku aktor politik dan warga Negara yang telah saling memiliki hubungan antara pemerintah dan masyarakat, antara lembaga – lembaga pemerintah dan antara kelompok masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan

   6 keputusan politik. 7 Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 1998, Hal. 37 Sudijono Sastroatmojo. Perilaku Politik. Semarang. IKIP Semarang Press. 1995 Hal 2 Perilaku politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Yang melakukan kegiatan adalah pemerintah dan masyarakat, kegiatan yang dilakukan pada dasarnya dibagi menjadi dua, yaitu fungsi – fungsi pemerintahan yang dipegang oleh pemerintah dan fungsi – fungsi politik yang dipegang oleh masyarakat.

   1.

1.5.1.1 Defenisi Perilaku Politik

  Ramlan surbakti mengatakan bahwa perilaku politik dirumuskan “sebagai suatu kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik, keikutsertaan seseorang baik warga Negara biasa maupun sebagai pengambil keputusan.”

  Berikut adalah beberapa pendapat para ahli berkenaan dengan perilaku politik :

   2.

  Eulau mengatakan bahwa perilaku politik adalah “kegiatan yang secara aktual dilakukan oleh setiap individu dengan pola – pola pemikiran tertentu.”

   3.

  Jack C. Plano dalam Moh. Ridwan mengatakan bahwa perilaku politik adalah :

  “Pikiran dan tindakan manusia yang berkaitan dengan proses memerintah. Yang termasuk perilaku politik adalah tanggapan – tanggapan internal (pikiran, persepsi, sikap dan keyakinan) dan juga tindakan – tindakan yang Nampak (pemungutan suara, gerak protes, lobbying, kaukus, kampanye dan demostrasi)”

   4.

  Antonius Sitepu mengatakan bahwa perilaku politik dirumuskan sebagai “kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan 8 Michael Rush dan Phillip Althoff. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta:CV, Rajawali. 2001. Hal 147 9 Ramlan Surbakti. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta; PT Gramedia, Hal. 131 10 Ibid hal 131 11 Ridwan, Moh. 1997. Perilaku Politik NU Pasca Pernyataan Kembali ke Khittah 1926. Skripsi keputusan politik dan yang melakukan kegiatan politik tersebut adalah

  

  pemerintahan dan masyarakat.” 5. David E Apter dalam Krishno Hadi dkk mengatakan perilaku politik adalah : “Perilaku politik adalah hubungan antara pengetahuan politik dan tindakan politik, termasuk bagaimana proses pembentukan pendapat politik, bagaimana kecakapan politik diperoleh, dan bagaimana cara orang

  

  menyadari peristiwa – peristiwa politik.” 6. Almond dan Verba dalam Krishno Hadi dkk mengasumsikan perilaku politik adalah :

  “perilaku politik merupakan suatu budaya politik yaitu bagaimana seseorang memiliki orientasi, sikap, dan nilai – nilai politik. Hal ini menunjuk kepada suatu sikap orientasi yang khas dari warga Negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya serta sikap terhadap peranan

   warga Negara di dalam sistem itu”

  Interaksi antara pemerintah dengan masyarakat, antar lembaga pemerintah dan antar kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, penegakan keputusan politik pada dasarnya merupakan perilaku politik. Pada dasarnya, manusia yang melakukan kegiatan politik dibagi menjadi dua, yakni warga Negara yang memiliki fungsi pemerintahan (pejabat pemerintahan), dan warga Negara biasa yang tidak memiliki fungsi pemerintahan tetapi memiliki hak untuk mempengaruhi orang yang memiliki fungsi pemerintahan. Suatu tindakan dan keputusan politik tidak hanya ditentukan oleh tugas dan wewenang yang melekat pada lembaga yang mengeluarkan keputusan, tetapi juga dipengaruhi oleh kepribadian individu yang membuat keputusan tersebut.

  12 13 Sitepu, Antonius. Teori Teori Politik, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2011, Hal 88 14 Hadi, Krishno dkk, Perilaku Partai Politik, Malang : UMM Press, 2006, Hal 8 Ibid hal 10

  Perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan yang berkaitan dengan sikap politik, yakni yang berkaitan dengan kesiapan bereaksi terhadap objek lingkungan tertentu yang merupakan suatu penghayatan terhadap objek tersebut.

  

  Perilaku politik tidaklah sesuatu yang dapat berdiri sendiri, tetapi perilaku politik mengandung keterkaitan dengan hal yang lain. Salah satu siakp yang penting adalah sikap politik. Dimana antara sikap dengan perilaku memiliki tingkat keeratan yang sangat tinggi, namun keduanya dibedakan. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek lingkungan tertentu. Sikap belum merupakan tindakan tetapi masih berupa suatu kecenderungan.

1.5.1.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Politik

  Adapun faktor – faktor yang mempengaruhi perilaku politik adalah:

  • Pertama, faktor kondisi historis. Dimana setiap sikap dan perilaku politik masyarakat dipengaruhi oleh proses – proses dan peristiwa historis masa lalu. Hal ini disebabkan budaya politik tidak merupakan kenyataan yang statis melainkan berubah dan berkembang sepanjang masa.
  • Kedua, faktor kondisi geografis memberikan pengaruh dalam perilaku politik masyarakat sebagai kawasan geostrategi, walaupun kemajemukan budaya Indonesia merupakan hal yang rawan bagi terciptanya disintegrasi. Kondisi ini mempegaruhi perbedaan tingkat partisipasi politik masyarakat, kesenjangan pemerataan pembangunan, kesenjangan informasi, komunikasi, teknologi mempengaruhi proses sosialisasi politik.
  • Ketiga, faktor budaya politik memiliki pengaruh dalam perilaku politik masyarakat. Berfungsinya budaya politik ditentukan oleh tingkat keserasian antara tingkat kebudayaan bangsa dan struktur politiknya. Kemajuan budaya Indonesia mempengaruhi budaya budi bangsa. Berbagai budaya daerah pada masyarakat Indonesia berimplikasi pada terciptanya sebuah bentuk perilaku
  • 15 Sudijono, Sastroatmodjo, Op. Cit., Hal.4
politik dengan memahami budaya politik masyarakat yang dipandang penting untuk memahami perilaku politik.

  • Keempat, perilaku politik masyarakat dipengaruhi oleh agama dan keyakinan.

  Agama telah memberikan nilai etika dan moral politik yang memberikan pengaruh bagi masyarakat dalam perilaku politiknya. Keyakinan merupakan acuan yang penuh dengan norma – norma dan kaidah yang dapat mendorong dan mengarahkan perilaku politik sesuai dengan agama dan keyakinannya, proses politik dan partisipasi warga Negara paling tidak dapat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pemahaman agama seseorang.

  • Kelima, faktor pendidikan dan komunikasi juga mempengaruhi perilaku politik seseorang. Semakin tinggi pendidikan masyarakat maka semakin tinggi tingkat kesadaran politiknya. Komunikasi yang intens akan mempengaruhi perilaku politik seseorang dalam kegiatan politiknya.
  • Keenam, faktor kepribadian juga mempengaruhi perilaku politik.
  • Ketujuh, faktor lingkungan sosial politik mempengaruhi actor politik secara langsung seperti keadaan keluarga. Lingkungan sosial politik saling mempengaruhi dan berhubungan satu dengan yang lain dan bukannya sebagai

   faktor yang berdiri sendiri.

  Selain faktor – faktor diatas, ada beberapa faktor lain yang juga memainkan peranan penting dalam menentukan pilihan rakyat, yaitu; standar kehidupan, faktor penghasilan atau gaji, kelompok umur, dan jenis kelamin.

  1.5.1.3 Bentuk – Bentuk Perilaku Politik Perilaku politik dilihat sebagai sebuah alat analisis untuk melihat bagaimana masyarakat ikut berpartisipasi di dalam pemilihan umum, baik itu 16 melalui pemberian suara (voting) maupun tidak memberikan suara (non voting).

  

Asep Ridwan, Memahami Perilaku Memilih Pada Pemilu 2004, Jurnal Demokrasi dan HAM. Jakarta : The

Habibie Center, 2000, Hal.25

1. Perilaku Pemilih

  Perilaku pemilih dapat didefenisikan sebagai suatu studi yang memusatkan diri pada bidang yang menggeluti kebiasaan atau kecenderungan pilihan rakyat dalam pemilihan umum, serta latar belakang mengapa mereka melakukan

   pemilihan itu.

  Secara teoritis ada dua penjelasan teori mengapa seseorang tidak ikut memilih dalam pemilihan. Penjelasan pertama bersumber dari teori – teori mengenai perilaku memilih (Vote behavior). Penjelasan ini memusatkan perhatian pada individu. Besar kecilnya partisipasi pemilih (Voting turnout) dilacak pada sebab – sebab dari individu memilih.

  Secara umum analisa – analisa mengenai “Voting Behaviour” atau perilaku pemilih didasarkan pada empat pendekatan model yaitu;

a. Pendekatan Sosiologis

  Pendekatan sosiologis berasal dari Eropa Barat yang dikembangkan oleh ahli ilmu politik dan sosiologi. Mereka memandang bahwa masyarakat sebagai sesuatu yang bersifat hierarkis terutama berdasarkan status, karena masyarakat secara keseluruhan merupakan kelompok yang mempunyai kesadaran status yang kuat. Para pendukung mazhab ini percaya bahwa masyarakat telah tersusun sedemikian rupa sesuai dengan latar belakang dan karakteristik sosial tersebut merupakan sesuatu yang penting dalam memahami perilaku individu.

  Pendekatan sosiologis, yang sering disebut Mazhab Columbia (The

  

Columbia School Of Elektoral Behaviour ), merupakan pendekatan yang

  menekankan pada peran faktor – faktor sosiologis dalam membentuk perilaku politik seseorang. Pendekatan ini menjelaskan bahwa karakteristik social dan 17 pengelompokan – pengelompokan social seperti umur (tua/muda), jenis kelamin

  Jack C. Plano, Robert E. Ringga dan Helenan S. Robin. Kamus Analisa Politik. Jakarta. C.V. Rajawali Press. 1985. Hal. 280

  (pria/wanita), agama dan semacamnya dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk perilaku pemilih.

  Dari berbagai ragam perbedaan dalam struktur sosial, faktor sosial merupakan unsur yang juga berpengaruh terhadap pemilih politik seseorang, terutama dihampir semua negara – negara industri. Di Eropa, kelompok berpenghasilan rendah dan kelas pekerja cenderung memberikan suara kepada partai sosialis atau komunis, sedangkan kelas menengah dan atas biasanya menjadi pendukung partai konservatif.

b. Pendekatan Psikologis

  Munculnya pendekatan psikologis merupakan sebuah reaksi terhadap ketidakpuasan terhadap pendekatan sosiologis. Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologis terutama konsep sikap dan sosialisasi untuk menjelaskan prilaku pemilih. Pendekatan ini menjelaskan bahwa sikap seseorang merupakan sebagai refleksi dari kepribadian seseorang yang merupakan variable yang menentukan dalam mempengaruhi prilaku politiknya.

  Pendekatan psikologis, yang sering disebut Mazhab Michigan (The

  

Michigan Survey Reseach Center ) lebih menekankan pada faktor psikologis

  seseorang dalam menentukan perilaku atau pilihan politik. Menurut penganut pendekatan psikologis, secara metodologis pendekatan sosiologis dianggap sulit diukur, seperti bagaimana mengukur secara tepat sejumlah indicator kelas sosial, tingkat pendidikan, agama, dan sebagainya.

  Pendekatan psikologis ini mengembangkan konsep Psikologis, khususnya konsep sikap dan sosialisasi dalam menjelaskan perilaku seseorang. Konsep sikap merupakan variable sentral dalam menjelaskan perilaku pemilih karena menurut Greenstein ada tiga fungsi sikap yakni ; pertama, sikap merupakan fungsi penting. Artinya, penilaian terhadap suatu obyek diberikan berdasarkan motivasi, minat dan kepentingan orang tersebut. Kedua, sikap merupakan penyesuaian diri. Artinya seseorang bersikap tertentu sesuai dengan keinginan orang itu untuk sama atau tidak sama dengan tokoh atau kelompok yang dikaguminya. Ketiga, sikap merupakan sikap eksternalisasi dan pertahanan diri. Artinya, sikap seseorang itu merupakan upaya untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis, yang mungkin berujud mekanisme pertahanan (Defensce Mechanisme)

  Dalam pendekatan ini juga terdapat tiga faktor yang berpengaruh terhadap perilaku pemilih. Tiga faktor itu adalah ; identifikasi partai, orientasi isu atau tema, dan orientasi kandidat. Identifikasi partai dalam hal ini bukan sekedar partai apa yang dipilih tetapi juga tingkat identifikasi individu terhadap partai politik tersebut. Kemudian yang dimaksud dengan orientasi isu atau tema adalah tema atau isu apa saja yang diangkat dan dijadikan acuan bagi partai politik atau kandidat tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan orientasi kandidat siapa

  

yang akan mewakili partai politik tersebut.

  Dengan demikian, konsep identifikasi partai merupakan variable sentral dalam menjelaskan perilaku pemilih dalam penekatan psikologis ini. Dalam hal ini, hubungan pengaruh antara identifikasi partai dengan perilaku pemilih sudah menjadi aksioma.

c. Pendekatan Rasional

  Munculnya pendekatan rasional disebabkan karena dua pendekatan terdahulu hanya menempatkan pemilih pada ruang dan waktu yang kosong baik secara eksplisit maupun implicit. Dalam hal ini pemilih diibaratkan sebagai wayang yang tidak mempunyai kehendak bebas kecuali atas perintah atau kendali dalangnya. Dimana karakteristik sosiologis, latar belakang keluarga, pembelahan kultural atau identifikasi partai dan pengalaman hidup pada karakteristik psikologis, merupakan variabel yang dengan sendirinya maupun komplomenter 18 mempengaruhi perilaku atau pilihan politik seseorang.

  David Marsh, Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik. Nusa Media; Bandung, 2002. Hal.76

  Dalam teori rasional (Rational Choise Theory) bahwa ketika seseorang dhadapkan pada beberapa jenis tindakan, maka orang biasanya akan melakukan apa yang mereka yakini berkemungkinan memberikan hasil yang terbaik. Pilihan

  

  rasional muncul sebagai revolusi pendekatan dalam ilmu politik. Dengan kemunculan teori rasional ini, maka ada sebagian pemilih yang mengubah pilihan politiknya. Hal ini disebabkan oleh adanya ketergantungan pada peristiwa politik tertentu yang bisa saja mengubah preferensi pilihan politik seseorang.

  Dalam pendekatan rasional terdapat dua orientasi yang menjadi daya tarik pemilih, yaitu; orientasi isu dan orientasi kandidat. Dimana orientasi isu fokus pada pertanyaan : apa yang seharusnya dilakukan dalam memecahkan persoalan – persoalan yang dihadapi masyarakat, bangsa, dan negara. Sementara orientasi kandidat berpusat kepada sikap pemilih terhadap pribadi kandidat tanpa memperdulikan label partainya. Him Melweit mengatakan bahwa perilaku pemilih merupakan pengambilan keputusan cepat dan pengambilan keputusan tersebut tergantung pada situasi sosial politik tertentu yang tidak beda dengan pengambilan keputusan lainnya.

  Dan pada akhirnya pendekatan rasional mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa para pemilih benar – benar rasional. Para pemilih melakukan penilaian yang valid terhadap visi, misi, program kerja pasangan calon atau kandidat dan partai politik. Pemilih rasional memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan dan informasi yang cukup. Perbedaan antara pendekatan rasional dengan lainnya bahwa pemilih rasional adalah pemberi suara yang responsitif dan

   tidak permanen.

d. Pendekatan Kepercayaan Politik

  Penggunaan variabel kepercayaan politik untuk menjelaskan perilaku 19 politik nonvoting, sebenarnya diadopsi dari variabel kepercayaan untuk 20 Ibid. Hal.77 Chaniago Andrinaf A, “Pemilu 2004 dan Konsultasi kita”. Jurnal Ilmu Politik Volume 4. No 1. 2004 menjelaskan keaktifan atau ketidak aktifan seseorang dalam kegiatan politik. Ketidak aktifan dalam konsep ketidak percayaan politik sendiri selalu mengandung pengertian ganda. Pertama, ketidak aktifan dapat diinterpretasikan sebagai ekspresi atas kepercayaan yang rendah terhadap sistem politik atau sebagai suatu ekspresi atas perasaan keterasingan (alienasi). Kedua, ketidak aktifan juga dapat diinterpretasikan sebagai ekspresi kepercayaan yang tinggi, di mana ketidak aktifan seseorang dalam bilik suara menandakan bahwa mereka puas terhadap sistem politik yang ada, atau tidak khawatir dengan keadaan politik

   yang ada.

2. Pemberian Suara (Voting)

  Richard G. Niemi dan Herbrt F.Weisberg yang dikutip dalam komunitas embun pagi, berpendapat bahwa, “faktor sosialisasilah sebenarnya yang

  

  menentukan perilaku memilih seseorang, bukan karena karakteristik sosiologis.” Pendekatan ini menggunakan dan mengembangkan konsep psikologis (terutama konsep sosialisasi dan sikap) untuk menjelaskan perilaku seseorang. Pendekatan ini berkeyakinan bahwa pemilih menentukan pilihannya karena pengaruh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sebagai produk dari sosialisasi yang mereka terima. Maka dalam hal ini diperlukan “kurikulum sosialisasi politik”. Ini penting terutama bagi pemilih pemula yang cenderung belum pernah memilih. Harus dilakukan sosialisasi yang sistematis agar pemilih pemula ini dapat mengerti dan tidak menunjukkan karakter yang apatis (tidak adanya minat terhadap persoalan – persoalan politik), anomi (perasaan tidak berguna)

  Maka kesadaran politik warga Negara menjadi faktor determinan dalam partisipasi politik masyarakat, artinya berbagai hal yang berhubungan dengan 21 pengetahuan dan kesadaran akan hak dan kewajiban yang berkaitan dengan 22 Asfar Muhammad, Presiden Golput, Surabaya : Jawa Pos Press 2004, Hal.41 – 45 Richard G. Niemi dan Herbrt F.Weisberg. Controversier of Voting Behaviour yang dikutip di dalam

  komunitas embun pagi lingkungan masyarakat dan kegiatan politik menjadi tolok ukur seseorang terlibat dalam proses partisipasi politik.

  3. Tidak Memberikan Suara (Non Voting)

  Tidak memberikan suara (non voting) atau sering juga disebut golput. Arbi Sanit (1992) mengidentifikasi bahwa non voting atau golput adalah mereka secara sadar yang tidak puas dengan keadaan sekarang, karena aturan main demokrasi diinjak-injak partai politik dan juga tidak berfungsinya lembaga demokrasi (parpol) sebagaimana kehendak rakyat dalam sistem demokrasi.

  Sedangkan “Riswandha Imawan menilai,” non voting adalah keputusan rasional untuk memperlihatkan adanya ketidaksesuaian antara preferensi kelompok elit politik dengan publiknya di bawah. Pilihan untuk menekan golput berada di tangan para elit dengan kesadaran mereka untuk mendeteksi dan mengakomodasikan keinginan yang tumbuh di lapisan sebab dasar dalam politik

  

  adalah kepercayaan.”

  “Louis Desipio, Natalie Masuoka dan Christopher Stout (2007) mengkategorikan Non–Voter tersebut menjadi tiga ketegori yakni ; (a) Registered Not Voted ; yaitu kalangan warga negara yang memiliki hak pilih dan telah terdaftar namun tidak menggunakan hak pilih, (b) Citizen not Registered ; yaitu kalangan warga negara yang memiliki hak pilih namun tidak terdaftar sehingga tidak memiliki hak pilih dan (c) Non Citizen ; mereka yang dianggap bukan warga negara (penduduk suatu daerah) sehingga

  

tidak memiliki hak pilih.”

  Menurut KPU sejumlah faktor yang menyebabkan tingginya jumlah pemilih terdaftar yang tidak menggunakan haknya faktor-faktor itu adalah :

  1. Adanya pemilih yang terdaftar lebih dari sekali di tempat yang berbeda, 23 terdaftar lebih dari sekali di tempat yang sama, 24 Kompas, 19 Juni 2005 Golput Dalam Pilkada, kajian bulanan Edisi 05 september 2007. Lingkaran Survei Indonesia (LSI)

  Compaign. Political and Business Consultan. Lebih lanjut lihat(diakses 25 februari 2012)

  2. Adanya kartu pemilih yang tidak dapat dibagikan karena pemiliknya tidak dikenali

3. Adanya warga yang belum berhak memilih tetapi diberi kartu pemilih 4.

  Adanya pemilih yang meninggal dunia 5. Adanya pemilih terdaftar yang tidak menerima kartu pemilih 6. Tidak datang ke tempat pemungutan suara (TPS) 7. Serta pemilih yang memang sengaja tidak menggunakan haknya.

   Dalam konteks pilkada di beberapa daerah, kemungkinan tidak memberikan suara

  disebabkan oleh: 1.

  Banyaknya perantau yang tidak bisa pulang di berbagai daerah ketika ada jadwal pemilu dilakukan, sehingga banyak dari warga yang bekerja di luar kota malas untuk meninggalkan pekerjaannya.

  2. Kejenuhan dari rutinitas mencoblos dalam pemilu, kecenderungan terjadinya penggelembungan pemilih golput bisa terkondisikan mengingat rangkaian acara politik terlalu padat sepanjang tahun. Situasi ini membuat publik jenuh dan memilih melakukan aktivitas rutinnya.

  3. Tidak mau menggunakan hak pilihnya, warga yang secara sadar tidak mau menggunakan hak pilihnya memang tidak bisa dikaji secara kualitatif, namun secara riil mereka tidak menggunakan haknya.

   Faktor lokal lain seperti mobilitas masyarakat di kota besar dan buruknya

  cuaca pada sejumlah tempat, juga sempat disebut sebagai penyebab penurunan tingkat partisipasi itu. Di samping itu, ketidakpedulian masyarakat terhadap keberlangsungan pemilu ditenggarai sebagai salah satu faktor signifikan dalam

  25 26 Suara Merdeka, 16 Juni 2005

  pemilukada. Bisa juga disebabkan oleh sosialisasi yang tidak tuntas atau

   mengenai sasaran.

4. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Untuk Tidak Memilih.

  a. Faktor Ekonomi

  Perekonomian merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi setiap pergerakan kehidupan setiap orang, kondisi ekonomi seseorang sangat mempengaruhi tingkat kebutuhannya. Artinya terdapat perbedaan tingkat kebutuhan orang yang memerlukan kebutuhan tinggi (kaya) dengan orang yang tingkat ekonomi rendah (miskin). Dimana orang kaya cenderung lebih banyak kebetuhannya dari orang miskin, misalnya dalam hal melengkapi kebutuhan keluarganya.

  Kebutuhan manusia relatif tidak terbatas, tetapi disisi lain jumlah alat pemuas kebutuhan itu terbatas. Apabila relasinya mencukupi, dalam hal ini ilmu ekonomi mengajarkan bagaimana manusia atau sekelompok manusia mampu membuat pilihan – pilihannya dengan baik sebagaimana di kemukakan Paul Samuelson bahwa studi mengenai bagaimana orang dan masyarakat memilih dengan tanpa menggunakan uang untuk mendapatkan sumber – sumber daya produktif yang langka demi memproduksi berbagai komoditi dari waktu ke waktu

   dan mendistribusikannya untuk dikonsumsi.

  b. Faktor Psikologis

  Adapun penjelasan tentang tidak memilih dari faktor psikologis pada dasarnya dikelompokkan dalam dua katagori, Pertama, berkaitan dengan ciri – ciri kepribadian seseorang. Dimana bahwa perilaku tidak memilih disebabkan 27 oleh kepribadian yang tidak toleran, otoriter, tak acuh, perasaan tidak aman, 28 Kompas, 10 Mei 2004 Deliarnov, Ekonomi Politik, Jakarta : Erlangga 2006 perasaan khawatir, kurang mempunyai tanggungjawab secara pribadi dan semacamnya. Dimana orang yang memiliki kepribadian tidak toleran cenderung tidak akan memilih karena hal tersebut menurutnya tidak berhubungan dengan kepentingannya. Kedua, berkaitan dengan orientasi kepribadian seseorang. Dimana perilaku tidak memilih disebabkan oleh orientasi kepribadian seseorang, yang secara konseptual dapat menunjukkan karakteristik apatis, anomi, dan alienasi. Apatis merupakan jelmaan atau pengembangan lebih jauh dari kepribadian otoriter, ditandai dengan tidak adanya minat terhadap persoalan – persoalan politik. Hal tersebut dapat disebabkan oleh rendahnya sosialisasi politik maupun rendahnya proses transformasi budaya politik dari generasi sebelumnya serta adanya anggapan bahwa aktifitas politik itu merupakan kegiatan tidak berguna dan cenderung sia – sia. Anomi merupakan suatu sikap tidak mampu menerima keputusan – keputusan yang dapat diantisipasi. Dimana setiap individu mengakui kegiatan politik sebagai kegiatan yang berguna, namun ia merasa benar

  • – benar tidak dapat mempengaruhi peristiwa – peristiwa dan kekuatan – kekuatan politik sehingga hal tersebut menimbulkan rasa tidak peduli terhadap kegiatan politik yang pada akhirnya menyebabkan ia tidak mau ikut berpartisipasi dalam kegiatan politik. Sedangkan alienasi adalah perasaan keterasingan secara aktif dan merupakan perasaan tidak percaya terhadap pemerintah. Dimana seseorang merasa bahwa dirinya tidak terlibat dalam urusan politik, dan pemerintah dianggap tidak memiliki pengaruh baik terhadap kehidupan seseorang.

c. Faktor Pendidikan

  Tinggi rendahnya tingkat pendidikan seseorang akan banyak mempengaruhi keinginan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. R. Hayar mengatakan bahwa pendidikan itu adalah suatu usaha yang dilakukan untuk membentuk seseorang menjadi partisipan yang bertanggungjawab dalam politik dan kekuasaan. Dalam hal ini, politik dapat diartikan sebagai aktifitas, perilaku atau proses yang menggunakan kekuasaan untuk menegakkan peraturan – peraturan dan keputusan yang sah yang berlaku ditengah – tengah masyarakat. Pendidikan politik merupakan suatu proses yang mempengaruhi setiap individu agar dapat memperoleh informasi lebih lengkap, wawasan yang lebih luas dan

   keterampilan yang baik.

  Dimana secara umum adanya terlihat hubungan yang cukup erat antara perilaku nonvoting dengan tingkat pendidikan seseorang. Seseorang yang tingkat pendidikannya tinggi cenderung aktif berpolitik, cenderung pula hadir dalam pemilu. Begitu pula sebaliknya, dimana seseorang yang tingkat pendidikannya rendah, cenderung tidak aktif berpolitik, maka cenderung pula tidak hadir dalam

  

  pemilu. Pendapat ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan terhadap responden yang terlibat aktif dalam berbagai kegiatan politik, dimana hasilnya menunjukkan responden yang menempuh pendidikan 13 tahun ke atas 70 persen diantarnya ikut hadir dalam memberikan suara, sementara responden yang hanya menempuh pendidikan 8 tahun ke bawah hanya 29 persen yang hadir dalam

   memberikan suara.

d. Faktor Sistem Politik

  Dalam hal ini, sistem yang dimaksudkan bukan sekedar prosedur dan aturan semata, tetapi lebih terfokus kepada kebijakan pemerintah dan kinerjanya didalam mengimplementasikan setiap kebijakan yang ada. Salah satunya adalah sistem politik yang saat ini sedang dikembangkan oleh rezim penguasa yang dinilai tidak berhasil membangun demokrasi yang sehat, baik ditingkat elite maupun massa. Ketidakpercayaan pada sistem politik yang ada setidaknya dapat mempengaruhi tingginya angka ketidakhadiran pada saat pemilu maupun pemilukada merupakan pertanda rendahnya kepercayaan pada sistem politik. Adapun faktor yang mempengaruhi atau penyebab rendahnya kepercayaan politik 29 ialah : Pertama, kurang maksimalnya fungsi yang dijalankan lembaga perwakilan 30 DR. Kartini Kartono, Pendidikan Politik, Bandung : LIPI 2006. Hal. 64 – 67 31 Asfar Muhammad, Op. Cit, Hal.260 Warren E. Miller “The Puzzle Tranformed : Explaning Declining Turnot”, dalam Political Behavior,

  Vol.14, No1, 1992, Hal. 1 – 40 rakyat. Kedua, lembaga peradilan yang tidak dapat berfungsi secara maksimal,

  

Ketiga, tingginya angka praktek – praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang

  dilakukan oleh pemerintah. Kelima, banyaknya kebijakan politik pemerintah yang tidak kondusif dan kurang membangun dan lain – lain.

  e. Faktor Sistem Pemilihan Umum

  Keputusan seseorang untuk tidak memilih dapat juga dipengaruhi oleh persepsi dan evaluasi terhadap sistem dan penyelenggaraan pemilu ataupun pemilukada. Dengan sistem pemilu ataupun pemilukada yang dinilai tidak jelas dan tidak akan menjanjikan perubahan apapun. Pemilu maupun pemilukada hanyalah sebagai simbol demokrasi semata, namun pemilu maupun pemilukada itu sendiri tidak dijalankan dengan semangat dan cara – cara demokratis. Dimana pada saat ini fungsi pemilu maupun pemilukada cenderung sebagai alat yang memproduksi kekuasaan dari pada implementasi kehidupan berdemokrasi. Yang dapat diartikan bahwa pemilu maupun pemilukada lebih dimaknai sebagai sarana untuk mempertahankan status quo penguasa dibandimgkan sebagai sarana untuk

   melakukan perubahan maupun perbaikan politik.

  f. Faktor Budaya

  Almond dan Verba mendefenisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas dari setiap warga Negara terhadap system politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga Negara yang ada didalam

  

  sistem itu. Budaya politik merupakan system nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya seperti masyarakat umum dan para elit. Indonesia adalah sebuah Negara yang multi etnis dan multi agama dengan penduduk kurang lebih 250 juta orang, dimana kelompok etnis terbesar adalah suku jawa yang jumlahnya hampir 32 mendekati 50% dari jumlah penduduk keseluruhan. Kehidupan manusia didalam 33 Muhammad Asfar, Op. Cit, Hal.42 Leo Suryadinata, Golkar dan Militer, Study tentang Ilmu Politik, Jakarta : LP3ES. 1992, Hal. 4 - 5 masyarakat memiliki peranan penting dalam system politik suatu Negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lain untuk berinteraksi dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya.

  Selain faktor – faktor diatas, Lipset membagi faktor – faktor yang mempengaruhi kehadiran dan ketidakhadiran pemilih ke dalam empat katagori, yaitu : 1.

  Berkaitan dengan kebijakan pemerintah Kelompok yang mempunyai kepentingan secara langsung dengan kebijakan pemerintah, seperti pegawai negeri, para pensiunan, petani dan semacamnya, menunjukkan tingkat kehadiran yang lebih tinggi dibandingkan kelompok yang tidak mempunyai kepentingan secara langsung dengan kebijakan pemerintah, seperti kaum buruh, buruh tani, buruh bangunan dan lain – lain.

  2. Akses terhadap informasi Seseorang yang mempunyai akses terhadap informasi yang lebih lengkap akan cenderung tinggi tingkat kehadirannya. Akses informasi ini biasanya berkaitan dengan tingkat pendidikan, disamping keterlibatannya dalam organisasi – organisasi sosial kemasyarakatan.

  3. Berkaitan dengan tekanan kelompok tertentu Jika tekanan yang berasal dari kelompok tertentu untuk tidak memilih begitu kuat dan calon pemilih terpengaruh, maka hal ini akan disikapi dengan tidak hadir dalam pemilu maupun pemilukada.

  4. Berkaitan dengan adanya tekanan menyilang (cross pressure)

Dokumen yang terkait

Non Voting Behavior (Perilaku Tidak Memilih) Pada Pemilukada kota Pematang Siantar 2010 (Studi Kasus : Perilaku Tidak Memilih Masyarakat di Kecamatan Siantar Selatan pada Pemilukada Kota Pematangsiantar 2010)

1 114 127

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh Kualitas Pelayanan Dan Hubungan Emosional Terhadap Loyalitas Nasabah Pada Pt. Bank Muamalat Indonesia, Tbk Cabang Pematang Siantar

1 5 10

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah - Budaya Organisasi pada BSA Owner Motorcycle’ Siantar di Kota Pematangsiantar

0 0 9

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Tradisi Masyarakat Desa Janji Mauli Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan (1900-1980)

0 0 13

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Strategi Buruh Dalam Mempertahankan Hidup (Studi kasus di PT.Putra Mandiri Kelurahan Bukit Sofa Kecamatan Siantar Sitalasari Kota Pematang Siantar)

0 0 11

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah - Peranan Aparatur Pemerintah Kota Pematang Siantar Dalam Pelayanan Pengurusan Kartu Tanda Penduduk Elektronik Studi Pada Kecamatan Siantar Timur Kota Pematangsiantar

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Batombe(Tradisi Masyarakat di Daerah Abai, Kecamatan Sangir Batang Hari, Kabupaten Solok Selatan

0 0 19

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah - Preferensi Politik Buruh Tebu dalam Pemilukada 2010 Kota Binjai (Studi Kasus Perilaku Buruh Tebu PTPN 2 Kebun Sei Semayang dalam Pemilihan Walikota Binjai Tahun 2010)

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Gambaran Perilaku Tenaga Kesehatan Terhadap Pelayanan Prima di Puskesmas Tomuan Kecamatan Siantar Timur Kota Pematangsiantar Tahun 2012

0 0 11

BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 2.1 Sejarah Kecamatan Siantar Selatan - Non Voting Behavior (Perilaku Tidak Memilih) Pada Pemilukada kota Pematang Siantar 2010 (Studi Kasus : Perilaku Tidak Memilih Masyarakat di Kecamatan Siantar Selatan pada Pemilukad

0 0 15