BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah - Budaya Organisasi pada BSA Owner Motorcycle’ Siantar di Kota Pematangsiantar

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Semua manusia menginginkan kehidupan aman, tenteram dan lepas dari

  gangguan yang memusnahkan harkat manusia. Kala itu orang-orang yang mendambakan ketentraman menuju bukit dan membangun benteng, serta mereka berkumpul disana menjadi kelompok. Kelompok inilah yang oleh Socrates dinamakan polis (satu kota saja). Organisasi yang mengatur hubungan-hubungan antara orang-orang yang di dalam polis itu tidak hanya mempersoalkan organisasinya saja, tapi juga kepribadian orang-orang disekitarnya. Socrates menganggap polis identik dengan masyarakat dan masyarakat identik dengan negara. Sistem pemerintahan negara bersifat demokratis yang langsung. Rakyat ikut secara langsung menentukan kebijaksanaan pemerintahan negara (Busroh, 2010).

  Indonesia menurut situs resmi pemerintah Republik Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara, terletak di garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, karena letaknya yang berada di antara dua benua, dan dua samudra, ia disebut juga sebagai Nusantara (Kepulauan Antara). Terdiri dari 17.508 pulau, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Menurut Montesquieu dalam Busroh 2010, negara memiliki tiga fungsi yaitu, fungsi legislatif (membuat undang- undang), fungsi eksekutif (melaksanakan undang-undang), dan yang terakhir fungsi yudikatif (mengawasi agar semua peraturan ditaati). Pada kenyataannya

  1 ketiga fungsi tersebut masih belum bisa bejalan secara baik, masih banyak kasus penyalahgunaan wewenang pada masing-masing fungsi, baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Berbagai macam permasalahan yang terjadi, mulai dari tidak efektifnya undang-undang terhadap suatu permasalahan maupun KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) pada jajaran pemerintahan (Surat kabar digital Berita Satu, edisi 19 Februari 2014)

  Berbicara mengenai tidak efektifnya undang-undang yang dirancang oleh para legislator, dapat kita ambil contoh kasus rencana pemerintah kota Pematangsiantar terhadap peremajaan unit becak siantar, yang berakibat langsung pada penghapusan motor penarik becak siantar yang bermesin BSA ( Birmingham

  Small Arm ) yaitu motor produksi Inggris pada masa 1938 – 1956, pada masa itu

  digunakan sebagai kendaraan perang pasukan sekutu dengan motor produksi Jepang yang modern. Padahal jika kita melihat Undang-Undang nomor 11 tahun 2010 tentang cagar budaya, Becak Siantar seharusnya sudah dapat dijadikan salah satu situs purbakala/cagar budaya dan resmi dimasukkan dalam Peraturan Daerah (Perda) agar dilarang keluar dari kota Pematangsiantar, disebut setiap benda peninggalan sejarah diatas usia 50 tahun dapat dinyatakan cagar budaya dan wajib dilindungi pemerintah. Menurut pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010, benda cagar budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tuidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia (Undang Undang Nomor 11 tahun 2010).

  Sikap pemerintah kota Pematangsiantar tersebut dapat menimbulkan kemiskinan dikalangan penarik becak siantar dikota Pematangsiantar, hal itu dikarenakan penggantian tipe motor pada becak siantar ke tipe motor bermesin Jepang sudah pasti tidak efektif jika kita lihat dari kapasitas mesin Jepang yang hanya seratus sampai seratus lima puluh cc dan mesin BSA yang berkapasitas tiga ratus lima puluh sampai lima ratus cc. Hal ini nantinya akan mengakibatkan biaya perawatan yang lebih besar. Pearce dalam Siagian 2012, mengatakan kemiskinan merupakan produk dari interaksi teknologi, sumber daya alam dan modal, dengan sumber daya manusia serta kelembagaan. Analisis kemiskinan seperti ini didasarkan pada hipotesis bahwa berbagai unsur yang menjadi elemen suatu ekosistem senantiasa terlibat dalam suatu interaksi. Dalam hal ini kemiskinan itu merupakan suatu produk dari proses interaksi yang tidak seimbang atau interaksi yang bersifat timpang diantara berbagai elemen yang ada didalam suatu ekosistem, sehingga pada gilirannya berdampak negatif terhadap kehidupan manusia. Teori ini sejalan dengan rencana pemerintah Kota Pematangsiantar saat ingin menghapuskan becak siantar bermesin BSA, yang berdampak pada semakin besarnya biaya perawatan becak dan hilangnya nilai sejarah serta budaya dari becak tersebut sehingga pengguna jasa dari becak Siantar berkurang..

  Keberadaan becak siantar telah melegenda di Sumatera Utara, Indonesia, bahkan dunia. Hal tersebut dikarenakan Pematangsiantar merupakan satu-satunya kota di dunia yang menggunakan sepeda motor gede merk BSA secara massal sebagai alat transportasi umum. Hal tersebut berbanding terbalik dengan negara tetangga kita Singapura, seperti yang diungkapkan Ramle Ismael (46 tahun) yang merupakan biker sekaligus pendiri Rider Aid Singapore (Wadah organasisasi motor eropa di Singapura yang juga mengkampanyekan pelestarian becak siantar di Singapura) sebagai berikut : “Satu unit motor BSA harganya lima ratus sampai enam ratus jutaan rupiah sekarang di Singapura, heran juga saya di Siantar bisa dijadikan becak, barang antik...” . (Wawancara personal, 22 Februari 2014)

  Perjalanan waktu sejak zaman penjajahan telah membuktikan kehandalan dan ketangguhan mesin sepeda motor BSA yang bermesin besar melewati rute naik turun, ciri tipologi kota Pematangsiantar yang berbukit-bukit, tentu tidak dapat ditandingi oleh sepeda motor bermesin kecil buatan Jepang berplat hitam yang kini keberadaan mulai banyak di kota Siantar. Becak Siantar unik karena digerakkan oleh mesin sepeda motor merek BSA (Birmingham Small Arm) buatan kota Birmingham, Inggris, yang kini tidak ada lagi pabriknya dan sudah tidak di produksi. Umumnya sepeda motor BSA yang digunakan tipe M 20 buatan tahun 1938 – 1948 berkapasitas mesin 500 cc, dan tipe ZB 31 buatan tahun 1950 – 1956 berkapasitas mesin 350 cc.

  Becak Siantar, selain menjadi kendaraan angkutan umum, dapat diandalkan menjadi sumber tambahan pemasukan devisa negara dan pemerintah daerah sebagai obyek wisata sejarah, karena keunikannya sekaligus menambah pendapatan ekstra bagi masyarakat yang berprofesi sebagai penarik Becak BSA, dengan konsep memasukkannya dalam Peraturan Daerah sebagai kendaraan angkutan pariwisata resmi satu-satunya. Sehingga bagi para wisatawan domestik maupun mancanegara yang singgah di kota Pematangsiantar, diwajibkan menggunakan becak BSA untuk trip wisata kota yang teknisnya dapat diatur sedemikian rupa.

  BSA dan becaknya sudah menjadi public domain/ milik masyarakat kota Pematangsiantar, hal ini dikarenakan keberadaan becak siantar yang sudah berpuluh-puluh tahun beroperasi di kota Pematangsiantar sehingga menjadi ciri khas dari kota Pematangsiantar, bahkan masyarakat kota Pematangsiantar menyebut BSA sebagai Becak Siantar Asli bukan Birmingham Small Arm yang merupakan kepanjangan dari BSA itu sendiri.

  Pada pertengahan bulan Mei 2006, oknum DPRD Pematangsiantar berencana untuk meremajakan Becak BSA dengan becak motor bermesin Jepang.

  Hal ini ditentang oleh masyarakat kota Pematangsiantar baik abang becak BSA, tokoh agama, pemuda dan elemen masyarakat lainnya, namun hal itu tidak dihiraukan semua dianggap angin lalu. Dalam situasi atmosfir konfrontasi ditengah pesimistis masyarakat Siantar untuk mempertahankan becak BSA, lahirlah organisasi BOM’S (BSA Owner Motorcycle’ Siantar) sebagai jawaban. Terdiri dari para bikers dan penarik becak BSA, bersatu padu menentang keras kebijakan penghapusan tersebut dan menuntut agar segera menghentikan keinginan kaum penguasa menghilangkan bukti bisu sejarah kota Siantar (Becak BSA), akhirnya keputusan penghapusan itu gagal total dan dapat dihentikan oleh organisasi BOM’S, melalui perjuangan panjang yang tak kenal lelah dengan tekad “ Maju bersama sampai tetes darah terakhir!”.

  Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan adanya wahana perjuangan dan pergerakan yang kuat, mampu menyalurkan aspirasi dan menyatukan saluruh potensi pengguna, pemilik, penggemar dan pecinta motor tua bermerk BSA dikota Pematangsiantar dengan suatu cita-cita dapat melestarikan becak BSA dan menjadikannya sebagai situs cagar budaya serta ikon kota Pematangsiantar. Maka komunitas, dan perkumpulan pengguna, pemilik, penggemar, dan pecinta motor BSA mendirikan sebuah wadah organisasi sosial yang berangkat dari kesamaan cita-cita dengan nama BSA Owner Motorcycle’ Siantar (BOM’S). Menurut Oliver Sheldon (1923) : Organisasi adalah proses penggabungan pekerjaaan yang para individu atau kelompok-kelompok harus melakukan dengan bakat-bakat yang diperlukan untuk melakukan tugas-tugas, sedemikian rupa, memberikan saluran terbaik untuk pemakaian yang efesien, sistematis, positif, dan terkoordinasi dari usaha yang tersedia.

  BOM’S didirikan pada 25 Juni 2006, di Kota Pematangsiantar, Provinsi Sumatera Utara, untuk waktu yang tidak terbatas. Sifat dan bentuk BOM’S yang tertuang dalam AD/ART pasal 3 (sifat dan bentuk), merupakan Organisasi otomotif motor tua roda dua dan roda tiga (becak) khususnya merk BSA yang bersifat terbuka untuk semua warga negara Republik Indonesia, tanpa membedakan suku bangsa, ras, profesi, jenis kelamin, agama, dan kepercayaan terhadap terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

  Dalam menyikapi hal ini idealnya Pemerintah Kota Pematangsiantar dan BOM’S sebagai dua organisasi yang paling bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup dari becak BSA dan penariknya harusnya mampu menciptakan program-program yang dapat memaksimalkan potensi dari becak BSA di kota Pematangsiantar. BOM’S sebagai organisasi yang mewadahi becak BSA di kota Pematangsiantar sebenarnya memiliki program yang baik untuk kelestarian becak siantar, namun banyak dari program-program tersebut tidak dapat berjalan sesuai harapan. Seperti yang diungkapkan oleh beberapa anggota BOM’S bahwa program yang tidak berjalan disebabkan oleh kurangnya kesadaran anggota yang lain untuk berpartisipasi aktif dalam menyukseskan program yang telah direncanakan.

  “banyak anggota mau haknya aja bang, kalau udah udah kewajiban susah kali, padahal banyaknya manfaat BOM’S ini buat parbecak siantar ...” . (Wawancara personal, 21 Februari 2014) “program BOM’S ini udah banyak bang, buat bikers buat abang becak, tapi banyak anggota cuma ngomong aja gak ada kerjanya...” . (Wawancara personal, 21 Februari 2014)

  Kondisi diatas menunjukkan kesenjangan antara nilai yang dipahami tiap- tiap anggota didalam BOM’S. Andrew Pettigrew, Vijai Sathe (1983) menekankan pentingnya shared meanings untuk memahami budaya organisasi dimana hal ini memiliki pengaruh besar terhadap kinerja organisasi. Pentingnya budaya organisasi untuk pencapaian kinerja organisasi yang optimal juga tercermin dari sejumlah penelitian yang menemukan bahwa budaya organisasi dapat membantu meningkatkan performa organisasi (Ojo, 2010 ; Imam, Abbasi, Muneer & Qadri, 2013). Dalam hal ini Sathe mengartikan budaya organisasi sebagai satu set asumsi yang dianggap sangat penting (meski kadang tidak tertulis) yang di shared oleh para anggota organisasi. Asumsi dalam hal ini berarti suatu anggapan mendasar/sentral yang berdampak luas bagi kehidupan organisasi dibandingkan suatu anggapan yang lain. Padahal BOM’S merupakan satu-satunya organisasi yang mewadahi becak BSA, jika tujuan dan program BOM’S tidak dapat berjalan sesuai rencana maka dampaknya akan berpengaruh besar terhadap kelestarian becak BSA di kota Pematangsiantar. Berdasarkan hal inilah peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian terhadap organisasi BOM’S yang merupakan satu- satunya organisasi yang mewadahi dan melestarikan benda cagar budaya Pematangsiantar yaitu becak siantar kedalam tesis yang berjudul “ Budaya Organisasi Pada BSA Owner Motorcycle’ Siantar (BOM’S) di kota Pematangsiantar “.

  1.2 Perumusan Masalah

  Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan diatas maka rumusan masalah penelitian ini adalah , bagaimana budaya organisasi ( pola prilaku interaksi anggota, norma-norma kelompok, prinsip atau nilai-nilai, kebijakan umum atau keahlian khusus, dan kepemimpinan) pada BSA Owner Motorcycle Siantar (BOM’S) di kota Pematangsiantar?

  1.3. Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana budaya organisasi ( pola prilaku interaksi anggota, norma-norma kelompok, prinsip atau nilai-nilai, kebijakan umum atau keahlian khusus, dan kepemimpinan) pada BSA Owner Motorcycle Siantar (BOM’S).

  1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis, antara lain:

  1. Dapat memberikan masukan dan sumber informasi bagi disiplin ilmu sosial terutama pada bidang Studi Pembangunan, mengenai budaya organisasi ( pola prilaku interaksi anggota, norma-norma kelompok, prinsip atau nilai-nilai, kebijakan umum atau keahlian khusus, dan kepemimpinan) BOM’S di kota Pematangsiantar.

  2. Dapat menjadi masukan bagi para peneliti lain yang tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai budaya organisasi dan organisasi BOM’S.

1.4.2 Manfaat Praktis

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis, antara lain:

  1. Memberikan masukan dan sumber informasi bagi para anggota maupun simpatisan organisasi BSA Owner Motorcycle Siantar (BOM’S).

  2. Memberikan masukan dan sumber informasi bagi pembaca, pengamat sosial, dan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam penelitian ini mengenai budaya organisasi pada BSA Owner Motorcycle Siantar (BOM’S).