BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Umum - Kajian Sistem Jaringan Drainase Guna Menanggulangi Genangan Air Hujan di Kawasan Pasar Glugur Kota Rantauprapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Umum

  Drainase berasal dari bahasa inggris yaitu drainage yang artinya mengalirkan, menguras, membuang atau mengalihkan air. Dalam bidang Teknik Sipil, drainase secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan teknis untuk mengurangi kelebihan air, baik yang berasal dari air hujan, rembesan maupun kelebihan air irigasi dari suatu kawasan/lahan, sehingga fungsi kawasan/lahan tidak terganggu (Suripin, 2004).

  Kelebihan air pada suatu kawasan perkotaan akibat air hujan dan air limbah rumah dialirkan melalui suatu bangunan drainase perkotaan ke badan air.

  Untuk dapat menjalankan fungsinya drainase terdiri dari beberapa elemen bangunan yang direncanakan secara sistimatis sesuai dengan fungsi masing- masing sehingga membentuk suatu sistem drainase, sehingga sistem drainase dapat didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi dan atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan atau lahan sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal (Suripin, 2004) yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat.

2.1.1 Sistem Drainase

  Secara umum sistem drainase dapat didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi dan/atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan/lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal. Bangunan sistem drainase secara berurutan mulai dari hulu terdiri dari saluran

     

     

  penerima (interceptor drain), saluran pengumpul (collector drain), saluran pembawa (conveyor drain), saluran induk (main drain), dan badan air penerima (receiving waters). Di sepanjang sistem sering dijumpai bangunan lainnya, seperti gorong-gorong, jembatan-jembatan, talang dan saluran miring/got miring (Suripin, 2004).

  Sesuai dengan cara kerjanya, jenis saluran drainase buatan dapat dibedakan menjadi: a.

  Saluran Interceptor (Saluran Penerima) Berfungsi sebagai pencegah terjadinya pembebanan aliran dari suatu daerah terhadap daerah lain di bawahnya. Saluran ini biasanya dibangun dan diletakkan pada bagian yang relatif sejajar dengan garis kontur. Outlet dari saluran ini biasanya terdapat di saluran collector atau

  conveyor atau langsung di natural drainage/sungai alam.

  b.

  Saluran Collector (Saluran Pengumpul) Berfungsi sebagai pengumpul debit yang diperoleh dari saluran drainase yang lebih kecil dan akhirnya akan dibuang ke saluran conveyor

  (pembawa).

  c.

  Saluran Conveyor (Saluran Pembawa) Berfungsi sebagai pembawa air buangan dari suatu daerah ke lokasi pembuangan tanpa harus membahayakan daerah yang dilalui.

  Menurut keberadaannya, sistem jaringan drainase dapat dibedakan menjadi 2, yaitu: a.

  Natural Drainage (Drainase Alamiah) Terbentuk melalui proses alamiah yang terbentuk sejak bertahun- tahun mengikuti hukum alam yang berlaku. Dalam kenyataannya sistem ini berupa sungai beserta anak-anak sungainya yang membentuk suatu jaringan alur aliran.

  b.

  Artifical Drainage (Drainase Buatan) Dibuat oleh manusia, dimaksudkan sebagai upaya penyempurnaan atau melengkapi kekurangan-kekurangan sistem drainase alamiah dalam fungsinya membuang kelebihan air yang mengganggu. Jika ditinjau dari sistem jaringan drainase, kedua sistem tersebut harus merupakan kesatuan tinjauan yang berfungsi secara bersama. Menurut konstruksinya, saluran drainase dapat dibedakan menjadi: a.

  Drainase saluran terbuka Saluran drainase primer biasanya berupa saluran terbuka, baik berupa saluran dari tanah, pasangan batu kali atau beton.

  b.

  Drainase saluran tertutup Pada kawasan perkotaan yang padat, saluran drainase biasanya berupa saluran tertutup. Saluran dapat berupa buis beton yang dilengkapi dengan bak pengontrol, atau saluran pasangan batu kali/beton yang diberi plat tutup dari beton bertulang. Karena tertutup, maka perubahan penampang saluran akibat sedimentasi, sampah dan lain-lain tidak dapat terlihat dengan mudah (Suripin, 2004).

  Menurut fungsinya, saluran drainase dapat dibedakan menjadi: a.

  Single purpose, yaitu saluran hanya berfungsi mengalirkan satu jenis air buangan saja.

  b.

  Multi purpose, yaitu saluran yang berfungsi mengalirkan beberapa jenis air

      buangan, baik secara tercampur maupun secara bergantian. Menurut konsepnya, sistem jaringan drainase dapat dibedakan menjadi 2, yaitu: a.

  Drainase konvensional Drainase konvensional adalah upaya membuang atau mengalirkan air kelebihan secepatnya ke sungai terdekat. Dalam konsep drainase konvensional, seluruh air hujan yang jatuh di suatu wilayah harus secepatnya dibuang ke sungai dan seterusnya mengalir ke laut. Jika hal ini dilakukan pada semua kawasan, akan memunculkan berbagai masalah, baik di daerah hulu, tengah, maupun hilir.

  Dampak dari pemakaian konsep drainase konvensional tersebut dapat kita lihat sekarang ini, yaitu kekeringan yang terjadi di mana-mana, juga banjir, longsor, dan pelumpuran. Kesalahan konsep drainase konvensional yang paling pokok adalah filosofi membuang air genangan secepatnya ke sungai. Demikian juga mengalirkan air secepatnya berarti menurunkan kesempatan bagi air untuk meresap ke dalam tanah. Dengan demikian, cadangan air tanah akan berkurang kekeringan di musim kemarau akan terjadi. Sehingga banjir dan kekeringan merupakan dua fenomena yang saling memperparah dan terjadi susul-menyusul.

  b.

  Drainase Ramah Lingkungan Drainase ramah lingkungan didefinisikan sebagai upaya mengelola air kelebihan dengan cara sebanyak-banyaknya meresapkan air ke dalam tanah secara alamiah atau mengalirkan ke sungai dengan tanpa melampaui kapasitas sungai sebelumnya. Dalam drainase ramah lingkungan, justru air

      kelebihan pada musim hujan harus dikelola sedemikian rupa sehingga tidak mengalir secepatnya ke sungai. Namun diusahakan meresap ke dalam tanah, guna meningkatkan kandungan air tanah untuk cadangan pada musim kemarau.

  Beberapa metode drainase ramah lingkungan yang dapat dipakai diantaranya adalah metode kolam konservasi, metode sumur resapan, metode river side polder, dan metode pengembangan areal perlindungan air tanah.

2.1.2 Pola Jaringan Drainase

  Pola jaringan drainase adalah perpaduan antara satu saluran dengan saluran lainnya baik yang fungsinya sama maupun berbeda dalam suatu kawasan tertentu. Beberapa contoh model pola jaringan yang dapat diterapkan dalam perencanaan jaringan drainase meliputi:

1. Pola Siku Dibuat pada daerah yang mempunyai sedikit lebih tinggi dari pada sungai.

  Sungai sebagai saluran saluran pembuang akhir berada di tengah kota.

Gambar 2.1 Pola jaringan siku

     

2. Pola Paralel

  Saluran utama terletak sejajar dengan saluran cabang. Dengan saluran cabang (sekunder) yang cukup banyak dan pendek-pendek, apabila terjadi perkembangan kota, saluran saluran akan dapat menyesuaikan diri.

Gambar 2.1 Pola jaringan paralel 3.

  Pola Grid Iron Untuk daerah dimana sungainya terletak di pinggir kota, sehingga saluran cabang dapat dikumpulkan dulu pada saluran pengumpul

  

Gambar2.3 Pola jaringan grid iron

   

4. Pola Alamiah Sama seperti pola siku hanya beban sungai pada pola alamiah lebih besar.

  Gambar2.4 pola jaringan alamiah 5.

  Pola Radial Pada daerah berbukit, sehingga pola saluran memencar ke segala arah.

  Gambar2.5 Pola jaringan Radial 6.

  Pola Jaring-Jaring

  Untuk mencegah terjadinya pembebanan aliran dari suatu daerah terhadap daerah lainnya, maka dapat dibuat beberapa interceptor drain yang kemudian ditampung ke dalam saluran collector dan selanjutnya dialirkan menuju saluran conveyor.

     

  

Gambar2.6 Pola jaringan Jaring jaring

2.2 Analisis Hidrologi

  Hidrologi adalah ilmu yang mempelajari seluk beluk air, kejadian dan distribusinya, sifat alami dan sifat kimianya, serta reaksinya terhadap kebutuhan manusia.

  Pengumpulan data dan informasi, terutama data untuk perhitungan hidrologi sangat diperlukan dalam analisa penentuan debit banjir rancangan yang selanjutnya dipergunakan sebagai dasar rancangan suatu bangunan air. Semakin banyak data yang terkumpul berarti semakin menghemat biaya dan waktu, sehingga kegiatan analisis dapat berjalan lebih cepat, selain itu akan didapatkan hasil perhitungan yang lebih akurat. Secara keseluruhan pengumpulan data hidrologi ini dapat dilakukan dengan tahapan-tahapan pengumpulan data dasar dan pengujian (kalibrasi) data-data yang terkumpul.

     

2.2.1 Siklus Hidrologi

  Siklus hidrologi merupakan serangkaian proses gerakan/perpindahan air di alam yang berlangsung secara terus menerus. Gerakan air ke udara, air kemudian jatuh kepermukaan laut/tanah, air mengalir di permukaan/dalam tanah kembali ke laut atau langsung menguap ke udara merupakan proses sederhana dari siklus.

  Rangkaian proses dalam siklus hidrologi tersebut merupakan hal penting yang harus dimengerti oleh para ahli teknik keairan.

  Ada empat macam proses penting dari siklus hidrologi yang harus dipahami yang berkaitan dengan perencanaan bangunan air yaitu: a.

  Presipitasi adalah uap air di atmosfir terkondensasi dan jatuh ke permukaan bumi dalam berbagi bentuk (hujan, salju, kabut, embun); b.

  Evaporasi adalah penguapan air dari permukaan badan air (sungai, danau, waduk) c.

  Infiltrasi adalah air yang jatuh ke permukaan menyerap kedalam tanah; d. Limpasan permukaan (surface run off) dan limpasan air tanah (subsurface runoff ).

  Konsep sederhana dari siklus yang menunjukkan masing-masing proses digambarkan secara skematik seperti pada Gambar 2.7

Gambar 2.7 Siklus hidrologi

      Proses penting yang berkaitan dengan drainase adalah presipitasi dan limpasan permukaan. Proses yang dapat dikelola oleh para ahli teknik adalah limpasan permukaan.

  Karakteristik presipitasi (hujan) yang perlu dipelajari dalam analisis dan perencanaan prasarana yang berhubungan dengan hujan seperti drainase adalah: a.

  Intensitas hujan (I) adalah laju hujan atau tinggi genangan air hujan persatuan waktu (mm/menit, mm/jam, atau mm/hr); b.

  Lama waktu hujan (durasi, t) adalah rentang waktu kejadian hujan (menit atau jam); c.

  Tinggi hujan d, adalah kedalaman/ketebalan air hujan diatas permukaan datar selama durasi hujan (mm); d.

  Frekuensi terjadinya hujan (T) adalah frekwensi kejadian hujan dengan intensitas tertentu yang biasanya dinyatakan dengan kala ulang (return

  period ) T (tahun); e.

  Luas hujan adalah luas geografis daerah sebaran hujan.

2.2.2 Curah Hujan Kawasan

  Data hujan yang diperoleh oleh suatu alat penakar hujan hanya merupakan hujan yang terjadi pada suatu tempat atau titik dimana alat penakar hujan ditempatkan (point rainfall). Kejadian hujan sangat bervariasi pada suatu area, terutama pada area pengamatan yang luas, satu titik pengamatan tidak mencukupi untuk dapat menggambarkan kejadian hujan pada wilayah tertentu. Cara untuk menentukan harga rata-rata curah hujan pada beberapa stasiun penakar hujan dapat dilakukan dengan beberapa metode. Pemilihan metode mana yang cocok

     

     

  dipergunakan pada suatu DAS dapat ditentukan dengan mempertimbangkan tiga faktor seperti pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Tabel Pemilihan metode analisis sesuai dengan kondisi DAS No.

  Kondisi DAS

  Metode

  1. Jaring-Jaring Pos Penakar Hujan Jumlah pos penakar hujan cukup Jumlah pos penakar hujan terbatas Jumlah pos penakar hujan tunggal

  Metode isohyet, Thiessen, atau Rata-Rata Aljabar Thiessen, atau Rata-Rata Aljabar Metode Hujan Titik

    2.

  Luas DAS

  DAS besar (>5000 km2) DAS sedang (500 s/d 5000 km2) DAS kecil ( < 500 km2

  Metode Isohyet Metode Thiessen Metode Rata-Rata Aljabar

  3. Tofografi DAS Pegunungan Dataran Berbukit dan tidak beraturan

  Metode Rata-Rata Aljabar Metode Thiessen , Metode Rata- Rata Aljabar Metode Isohyet

  Sumber : Suripin, 2004   a. Cara Tinggi Rata-Rata (Arithmatic Mean)

  Cara mencari tinggi rata-rata curah hujan di dalam suatu daerah aliran dengan cara arithmatic mean merupakan salah satu cara yang sangat sederhana. Biasanya cara ini dipakai pada daerah yang datar dan banyak stasiun curah hujannya, dengan anggapan bahwa di daerah tersebut sifat curah hujannya adalah sama rata (uniform distribution). Tinggi rata-rata curah hujan didapatkan dengan mengambil nilai rata-rata pengukuran hujan di pos penakar hujan di dalam areal tersebut. Cara perhitungannya adalah sebagai berikut:

  n ddd  ....  d d

  1

  2 3 n

  1 d  

  ......................................................... (1)

   n n i

1 Dimana:

  d = tinggi curah hujan rata-rata (mm) d

  1 , d 2 , d

3 ,...d n = tinggi curah hujan di stasiun 1,2,3,...,n (mm)

  n = banyaknya stasiun penakar hujan

Gambar 2.8 DAS dengan Tinggi rata-rata

  Cara ini akan memberikan hasil yang dapat dipercaya jika stasiun- stasiun penakarnya ditempatkan secara merta di areal tersebut, dan hasil penakaran masing-masing penakar tidak menyimpang jauh dari nilai rata- rata seluruh stasiun di seluruh areal.

     

  b. Metode Poligon Thiessen

  Cara ini diperoleh dengan membuat poligon yang memotong tegak lurus pada tengah-tengah garis penghubung dua stasiun hujan. Dengan demikian tiap stasiun penakar R n akan terletak pada suatu poligon tertentu A n . Dengan menghitung perbandingan luas untuk setiap stasiun yang besarnya

  A n

  = , dimana A adalah luas daerah penampungan atau jumlah luas seluruh

  A

  areal yang dicari tinggi curah hujannya. Curah hujan rata-rata diperoleh dengan cara menjumlahkan pada masing-masing penakar yang mempunyai daerah pengaruh yang dibentuk dengan menggambarkan garis-garis sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung antara dua pos penakar. Cara perhitungannya adalah sebagai berikut:

  A . d i i .  .  .  .....

  A d A d A d A d1 1 2 2 3 3 n n = ) 

  2

  d   .......................................... (               

  A A

  Keterangan:

  2 A = Luas areal (km )

  d = Tinggi curah hujan rata-rata areal d , d , d ,...d = Tinggi curah hujan di pos 1, 2, 3,...n

  1

  2 3 n

  A

  1 , A 2 , A 3 ,...A n = Luas daerah pengaruh pos 1, 2, 3,...n    

         

    Gambar 2.9 DAS dengan Perhitungan Curah Hujan Poligon Thiessen.

     

  c. Metode Isohyet

  Metode ini memperhitungkan secara aktual pengaruh tiap-tiap pos penakar hujan. Metode ini cocok untuk daerah berbukit dan tidak teratur

  

2

  dengan luas lebih dari 5000 km . Hujan rerata daerah dihitung dengan persamaan berikut (Suripin, 2004). Dalam metode ini harus digambarkan dahulu kontur dengan tinggi hujan yang sama (isohyet). Kemudian luas bagian di antara isohyet-isohyet yang berdekatan diukur, dan harga rata- ratanya dihitung sebagai harga rata-rata timbang dari nilai kontur, dengan persamaan sebagai berikut : 1

   dd A dd dd 1 1 2 2 n

A A  ... A

n

  2

  2

  2 d  .................................. (3) A A ... A 1 1   n 2

   d id i A i

  

  2

  d  ................................................................... (4) A i

  Dimana:

  

2

A = Luas areal (km )

  D = Tinggi curah hujan rata-rata areal D , d

  1 , d 2 ,...d n = Tinggi curah hujan di pos 0, 1, 2,...n

  A

  1 , A 2 , A 3 ,...A n = Luas bagian areal yang dibatasi oleh isohyet-isohyet

  yang bersangkutan

       

Gambar 2.10 Hitungan dengan Metode Isohyet

  Ini adalah cara yang paling teliti untuk mendapatkan hujan areal rata-rata, tetapi memerlukan jaringan stasiun penakar yang relatif lebih padat yang memungkinkan untuk membuat garis-garis Isohyet. Pada waktu menggambar garis-garis Isohyet sebaiknya juga memperhatikan pengaruh bukit atau gunung terhadap distribusi hujan.

2.2.3 Distribusi Frekuensi Curah Hujan

  Curah hujan maksimum adalah curah hujan terbesar tahunan dengan suatu kemungkinan terjadi yang tertentu, atau hujan dengan suatu kemungkinan periode ulang tertentu. Metode analisis hujan rancangan tersebut pemilihannya sangat bergantung dari kesesuaian parameter statistik dari data yang bersangkutan, atau dipilih berdasarkan pertimbangan-pertim bangan teknis lainnya. Beberapa metode perhitungan menggunakan persamaan berikut :

a. Distribusi Gumbel

  Menurut Gumbel (1941) dalam buku Suripin (2004), persoalan tertua adalah berhubungan dengan nilai-nilai ekstrem datang dari persoalan banjir.

  Tujuan teori statistik nilai-nilai ekstrem adalah untuk menganalisis hasil pengamatan nilai-nilai ekstrem tersebut untuk memperkirakan nilai-nilai ekstrem berikutnya.

  Gumbel menggunakan teori nilai ekstrem untuk menunjukkan bahwa dalam deret nilai-nilai ekstrem X , X , X , ......., X , dengan sampel-sampel yang

  1

  2 3 n

  sama besar, dan X merupakan variabel berdistribusi eksponensial, maka

      probabilitas kumulatifnya P, pada sebarang nilai di antara n buah nilai X n akan lebih kecil dari nilai X tertentu (dengan waktu balik T ), mendekati

  r  a ( xb )

   e P ( X )  e

  ............................................................................................ (5) Jika diambil Y = a(X-b), maka dapat menjadi Y

   e P (

X )  e .......................................................................................................... (6)

  Dengan ; e = bilangan alam = 2.7182818 Y = reduced variate Jika diambil nilai logaritmanya dua kali berurutan dengan bilangan dasar e terhadap rumus (6) didapat

  1 Xab  ln  ln P (

  X ) ................................................................................... (7)     a

  Waktu balik merupakan nilai rat-rat banyaknya tahun (karena X n merupakan data debit maksimum dalam tahun), dengan suatu variate disamai atau dilampaui oleh suatu nilai, sebanyak satu kali. Jika interval antara 2 buah pengamatan konstan, maka waktu baliknya dapat dinyatakan sebagai berikut :

1 T

  X

  ( )  .................................................................................................. (8)

  r P

  X

  1  ( ) Ahli-ahli teknik sangat berkepentingan dengan persoalan-persoalan pengendalian banjir sehingga lebih mementingkan waktu balik T r (X) dari pada probabilitas P(X), untuk itu rumus (7) diubah menjadi :

     

   T X   1 ( ) r

  1 X b ............................................................................. (9) r r   ln  ln   a T

  X r ( )  

  Atau

   T Xr ( ) 

  1 Y   ln  ln .................................................................................... (10) r   T ( r X )

   

  Chow menyarankan agar variate X yang menggambarkan deret hidrologi acak dapat dinyatakan dengan rumus berikut ini

  X     . K ..................................................................................................... (11)

  Dengan  = Nilai tengah (mean) populasi

   = Standard deviasi populasi

  K = Factor frekwensi Rumus (11) dapat diketahui dengan

    ....................................................................................................... (12)

  X X sK

  Dengan

  X = nilai tengah sampel

  s = Standard deviasi sampel Faktor frekwensi K untuk nilai-nilai ekstrim Gumbel ditulis dengan rumus berikut ini :

  

  Y Y T s

  K  ....................................................................................................... (13) S n

      Y ln ln  ( T Tr r 1 ) / T

  ................................................................................ (14) Dengan Y = Reduced variate

  T

  Y = Reduced mean yang tergantung dari besarnya sampel n n S n = Reduced Standard deviation yang tergantung dari besarnya sampel n

     

     

  Dari rumus (12) dan (13)

  X .

  

S

Y s

S Y s

  

n

T

n n

  =

    

  T

  X X n T n

  s S Y Y

   Sumber :Suripin,2004

  T r = periode ulang (return period). Periode ulang untuk debit rencana saluran berdasarkan besar kota dapat ditentukan berdasarkan Tabel 2.2

  1-2 1-2 1-2 1-2

  4. Sistem Drainase (Catchment Area <10 ha) Metropolitan (P >2.000.000) Besar (500.000 <P<2.000.000) Sedang (200.000 <P<500.000) Kecil (P<200.000)

  2-5 2-5 2-5 1-2

  3. Sistem Drainase Tertier (Catchment Area 10 - 100 ha) Metropolitan (P >2.000.000) Besar (500.000 <P<2.000.000) Sedang (200.000 <P<500.000) Kecil (P<200.000)

  5 - 10 2-5 2-5 1-2

  2. Sistem Drainase Sekunder (Catchment Area 100 - 500 ha) Metropolitan (P >2.000.000) Besar (500.000 <P<2.000.000) Sedang (200.000 <P<500.000) Kecil (P<200.000)

  10 -25 5 – 15 5 – 10 2-5

  1. Sistem Drainase Primer (Catchment Area > 500 ha) Metropolitan (P >2.000.000) Besar (500.000<P<2.000.000) Sedang (200.000 <P<500.000) Kecil (P<200.000)

Tabel 2.2 Rencana periode ulang sistem drainase No. Uraian Berdasarkan Jumlah Penduduk (P) Periode Ulang Desain (Tr)

  .  

  S Y . s n n

  Jika dimasukkan  dan a

  X   b , maka s s

  1 XbY .................................................................................................... (15) T T a Dengan X = debit banjir waktu balik T tahun

  T

  Y T = Reduced varíate

b. Distribusi Log Pearson Type III

  Parameter-parameter statistic yang diperlukan oleh distribusi Pearson Type III adalah:

  Nilai tengah

   Standard deviasi

   Koefisien skewness

   Untuk menghitung banjir perencanaan dalam praktek, the Hydrology

  

Committee of the Water Resources Council, USA , menganjurkan, pertama kali

  mentransformasikan data ke nilai-nilai logaritma kemudian menghitung parameter-parameter statistiknya. Karena transformasi tersebut, maka cara ini disebut log Pearson type III.

  Dalam pemakaian Log Pearson Type III, kita harus mengkonversi rangkaian datanya menjadi logaritma. Rumus untuk metode Log Pearson : n

  LogX ii 1

  Log X r = .......................................................................................... (16)

  n

  Dengan: X r = nilai rerata curah hujan X i = curah hujan ke-I (mm) n = banyaknya data pengamatan

     

  n

  2

  ( LogXLogX ) i r

   i

  1 S x = ............................................................................. (17) n

  1 dengan: S x = Standard deviasi Nilai

  X T bagi setiap probabilitas dihitung dari persamaan yang telah dimodifikasikan : Log X T = log X r + K. log S x .............................................................................. (18) dengan : X = besarnya curah hujan rancangan untuk periode ulang pada T tahun

  T

  K = faktor freluensi yang merupakan fungsi dari periode ulang dan tipe distribusi frekuensi.

  c. Distribusi Normal

  Untuk analisis frekuensi curah hujan menggunakan metode distribusi Normal, dengan persamaan sebagai berikut :

  . ................................................................................................. (19) Dengan :

  XT = Variate yang diekstrapolasikan, yaitu besarnya curah hujan rencana untuk periode ulang T tahun.

  

  = Harga rata – rata dari data = S x = Standard Deviasi K = Variabel reduksi Gauss

  d. Distribusi Log-Normal

  Untuk analisis frekuensi curah hujan menggunakan metode distribusi Log Normal, dengan persamaan sebagai berikut :

  Dengan

     

  µ µ =½ ) ................................................................................................. (21)

  ln (

  µ µ

  = ln ( ) .................................................................................................. (22)

  µ

  Besarnya asimetri adalah γ = 3 ..................................................................................................... (23) dengan

  0,5

  ....................................................................................... (24)

  1

  µ

  kurtosis k =

  6

  15 16 3 ................................................................ (25) Dengan persamaan (25), dapat didekati dengan nilai asimetri 3 dan selalu bertanda positif. Atau nilai ‘skewness’ C s kira-kira sama dengan tiga kali nilai koefisien variasi C v .

   

  2.2.4 Uji Kesesuaian Pemilihan Distribusi

  Untuk mengetahui apakah pemilihan distribusi yang digunakan dalam perhitungan curah hujan rancangan diterima atau ditolak, maka perlu dilakukan uji kesesuaian distribusi. Uji ini digunakan untuk menguji simpangan secara vertikal apakah distribusi pengamatan dapat diterima secara teoritis. Uji Chi- Square menguji penyimpangan distribusi data pengamatan dengan mengukur secara metematis kedekatan antara data pengamatan dan seluruh bagian garis persamaan distribusi teoritisnya. Uji Chi-Square dapat diturunkan menjadi persamaan sebagai berikut (Suripin, 2004):

     

  ……………………………………………….(26) Dengan :

2 X = Chi-Square.

  Ef = frekuensi (banyaknya pengamatan) yang diharapkan Of = frekuensi yang terbaca pada kelas yang sama.

  2

  2 Nilai X yang terhitung ini harus lebih kecil dari harga X cr (yang didapat dari tabel Chi-Square).

  Derajat kebebasan ini secara umum dapat dihitung dengan : DK = K – (P + 1)……………………………………………………(27)

  Dengan : DK = derajat kebebasan. K = banyaknya kelas. P = banyaknya keterikatan atau sama dengan banyaknya parameter, yang untuk sebaran Chi-Square adalah sama dengan 2 (dua).

  Berdasarkan literatur di atas, pada uji Chi-Square menguji penyimpangan distribusi data pengamatan dengan mengukur secara metematis kedekatan antara data pengamatan dan seluruh bagian garis persamaan distribusi teoritisnya dengan

  2

  2 niliai X cr . Nilai X cr untuk uji Chi Square dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut ini.

     

     

Tabel 2.3 Nilai X

  2 cr untuk uji Chi-Square

  Dk a derajat kepercayaan 0.995 0.99 0.975 0.95 0.05 0.025 0.01 0.005 1 0.0000393 0.000157 0.000982 0.00393 3.841 5.024 6.635 7.879

  2 0.01 0.0201 0.0506 0.103 5.991 7.378 9.21 10.597 3 0.0717 0.115 0.216 0.352 7.815 9.348 11.345 12.838 4 0.207 0.297 0.484 0.711 9.488 11.143 13.277

  14.86 5 0.412 0.554 0.831 1.145 11.07 12.832 15.086

  16.75 6 0.676 0.872 1.237 1.635 12.592 14.449 16.812 18.548 7 0.898 1.239 1.69 2.167 14.067 16.013 18.472 20.278 8 1.344 1.646 2.18 2.733 15.507 17.535

  20.09 21.955 9 1.735 2.088 2.7 3.325 16.919 19.023 21.666 23.589 10 2.156 2.558 3.247 3.94 18.307 20.483 23.209 25.188 11 2.603 3.053 3.816 4.575 19.675 21.92 24.725 26.757 12 3.074 3.571 4.404 5.226 21.026 23.337 26.712

  28.3 13 3.565 4.107 5.009 5.892 22.362 24.736 27.688 29.819 14 4.075 4.66 5.629 6.571 23.685 26.119 29.141 31.319 15 4.601 5.229 6.262 7.261 24.996 27.488 30.578 32.801 16 5.142 5.812 6.908 7.962 26.296 28.845 32 34.267 17 5.697 6.408 7.564 8.672 27.587 30.191 33.409 35.718 18 6.265 7.015 8.231 9.39 28.869 31.526 34.805 37.156 19 6.844 7.633 8.907 10.117 30.144 32.852 36.191 38.582 20 7.434 8.26 9.591 10.851 31.41 34.17 37.566 39.997

  Sumber: Suripin (2004)

2.2.5 Distribusi Hujan Jam-jaman

     

  t

  ................................................................................................... (30)

  5 t R

    2 / 1 65 .

  dipengaruhi oleh koefisien pengaliran. Rumus koefisien pengaliran sebagai berikut: f = 1 -

  24 Hidrograf banjir dipengaruhi oleh hujan efektifnya. Sedang hujan efektif

  )-0=0,585R

  2/3

  ( 5 )

  24

  ) –R ( t – 1 ) . (t – 1) = 1.(

  2/3

  )

  5

  (

  Distribusi hujan jam-jaman dihitung untuk mendapatkan hidrograf banjir rancangan dengan cara unit hidrograf, untuk mendapatkan curah hujan jam-jaman dihitung Rational Method dianggap hujan terpusat selama 5 jam setiap hari dengan rumus sebagai berikut: a.

  5 24 R

  : intensitas hujan selama (t- 1) jam. Dengan masukkan harga t = 1 sampai t = 5, maka pola pembagian hujan. t = 1. R ( 1 ) = t(

  ( t – 1 )

  T : lamanya hujan (jam); R

  R t = t . R t – (t – 1) .R ( t – 1 ) ................................................................... (29) dimana: R T : curah hujan pada jam ke t (mm); R t : intensitas hujan selama t jam;

  efektif b. Curah hujan jam ke t ialah

  5 R 24 R 24 : hujan harian

  ................................................................................... (28 ) dimana : R t : intensitas hujan selama t jam (mm/jam); t : lama hujan (jam). R o : hujan harian rerata (mm) :

  5 ) 2/3.

  ( t

  o

  = R

  t

  Rerata hujan sampai jam ke T maka: R

5 R

  dimana: f : koefisien pengaliran; Rt : kemungkinan hujan harian maksimum (mm). Sedangkan rumus untuk menentukan hujan efektif adalah sebagai berikut: Re (hujan efektif) = f. Rt .................................................................................. (31) dimasukkan harga curah hujan rancangan, hujan efektif akan didapatkan.

2.2.6 Intensitas Curah Hujan Rencana Intensitas hujan didefinisikan sebagai tinggi curah hujan persatuan waktu.

  Untuk mentransformasikan tinggi hujan rencana menjadi debit banjir rancangan diperlukan curah hujan jam-jaman. Pada umumnya data hujan yang tersedia pada stasiun meteorologi adalah data hujan harian, artinya data yang tercatat secara kumulatif selama 24 jam.

  Jika data hujan jam-jaman tidak ter-sedia, maka pola distribusi hujan jam- jaman dapat dilakukan dengan menggu-nakan pendekatan sebaran dan nisbah hujan jam-jaman dengan menggunakan Rumus Mononobe sebagai berikut : 2/3 ........................................................................................................................................

  R 24 T

  I = ( ) x ( ) (32)

  t T c

  Dengan : I = intensitas hujan rata-rata dalam t jam (mm/jam) R

  

24 = curah hujan efektif dalam satu hari (mm);

  t = lama waktu hujan (jam); T = waktu mulai hujan (jam); T c = waktu konsentrasi hujan (jam). , 77

   Ls

  T  , 0195 menit .........................................................(33) c

   

  s

    dengan L = panjang saluran (m); S = kemiringan rerata saluran.

     

  2.2.7 Koefisien Limpasan (run off)

  Koefisien limpasan adalah suatu variabel yang didasarkan pada kondisi daerah pengaliran dan karakteristik hujan yang jatuh di daerah tersebut. Adapun kondisi dan karakteristik yang dimaksud adalah : 1.

  Keadaan hujan 2. Luas dan bentuk daerah aliran 3. Kemiringan daerah aliran dan kemi-ringan dasar sungai 4. Daya infiltrasi dan perkolasi tanah 5. Kelembaban tanah 6. Suhu udara dan angin serta evaporasi 7. Tata guna tanah

  Faktor-faktor yang mempengaruhi limpasan adalah:

  a. Faktor meteorologi yang meliputi intensitas curah hujan, durasi curah hujan dan distribusi curah hujan;

   

  b. Karakteristik daerah aliran yang meliputi luas dan bentuk daerah aliran, tofografi dan tata guna lahan.

  Salah satu metoda untuk memperkirakan koefisien aliran permukaan (C) adalah metoda rasional USSCS (1973). Berdasarkan metoda ini, faktor utama yang mempengaruhi nilai C adalah laju infiltrasi tanah atau persentase lahan kedap air, kemiringan lahan, vegetasi, sifat dan kondisi tanah dan intensitas hujan.

  2.2.8 Analisa Debit Banjir Rancangan

  Untuk menentukan kapasitas saluran drainase harus dihitung dahulu jumlah air hujan dan jumlah air buangan rumah tangga yang akan melewati

      saluran drainase utama di dalam daerah studi. Debit banjir rancangan (Q r ) adalah debit air hujan (Q ) ditambah dengan debit air kotor (Q ). Bentuk perumusan

  ah ak

  dari debit banjir rancangan tersebut sebagai berikut : Q = Q + Q .................................................................................................... (34)

  r ah ak

  dengan :

  3 Q r = debit banjir rancangan (m /detik)

  3 Q ah = debit air hujan (m /detik)

  3 Q = debit air kotor (m /detik) ak

  2.2.8.1 Debit Air Hujan

  Metode yang digunakan untuk menghitung debit air hujan pada saluran- saluran drainase dalam studi ini adalah metode rasional USSCS (1973). Rumus ini banyak digunakan untuk sungai-sungai biasa dengan daerah pengaliran yang luas dan juga untuk perencanaan drainase daerah pengaliran yang sempit.Pada 1889, Kuichling (USA) memperkenalkan bentuk umum persamaan metrik sebagai berikut (Subarkah, 1980) :

  2 mm

  Q ah = I( ).A(km )

  jam3

  2 10 m

  = ( )(1000000m )

  3600 s

  3

  = 0,2778 m /det Q ah = 0,2778 C I A ............................................................................................. (35)

  3 Dimana: Q = debit banjir rencana (m /det),

  C = koefisien run off, I = intensitas hujan untuk waktu konstan (mm/jam)

  2 A = luas catchment area (km ).

  2.2.8.2 Debit Air Kotor

  Debit air kotor adalah debit yang berasal dari buangan rumah tangga, bangunan gedung, instansi dan sebagainya. Besarnya dipengaruhi oleh banyaknya

     

  • 6

  1 ................................................................................... (38)

   

  faktor debit puncak untuk peroide ulang 5 (lima) tahun

   

  Dimana : =

  adalah ................................................ (39)

  2

  Dengan demikian jumlah air kotor yang dibuang pada suatu daerah setiap km

  = jumlah penduduk periode n tahun n = periode pertambahan penduduk (tahun) m = laju pertumbuhan penduduk

  = jumlah penduduk tahun 2011 P n

  Dimana: P o

  Menghitung jumlah penduduk periode 5 (lima) tahun dalam daerah pengaliran:

     

  A = Luas Daerah Pengaliran .............................................................. (37) 2.

  x A ............................................................................................ (36) Dimana : S p = Kepadatan Penduduk

  p

  = S

  o

  1. Menghitung jumlah penduduk dalam daerah pengaliran: P

  Untuk menghitung debit air kotor diperlukan data luas daerah pengaliran, kepadatan penduduknya, peningkatan penduduk setiap tahunnya dan rata-rata buangan air limbah penduduk perhari.

  3 /det/orang

  m

  250 x 70% = 175 liter/orang/hari = 2,025 x 10

  jumlah penduduk dan kebutuhan air rata-rata penduduk. Adapun besarnya kebutuhan air penduduk rata-rata adalah 250 liter/orang/hari. Sedangkan debit kotor yang harus dibuang di dalam saluran adalah 70% dari kebutuhan air bersih sehingga besarnya air buangan adalah (Wesli:2003) :

  adalah 4,5

2.3 Analisis Sistem Drainase

  Analisis sistem drainase dilakukan untuk mengetahui apakah secara teknis sistem drainase direncanakan sesuai dengan persyaratan teknis. Analisis sistem drainase diantaranya adalah perhitungan kapasitas saluran, penentuan tinggi jagaan, penentuan daerah sempadan, perhitungan kepadatan drainase, dan bagunan-bangunan yang dibutuhkan dalam sistem drainase.

  Dalam kaitannya dengan pekerjaan pengendalian banjir, analisis sistem drainase digunakan untuk mengetahui profil muka air, baik kondisi yang ada (eksisting) maupun kondisi perencanaan. Untuk mendukung analisa hitungan guna memperoleh parameterisasi desain yang handal, dibutuhkan validasi data dan metode hitungan yang representatif. Analisis untuk drainase dapat dijelaskan sebagai berikut:

2.3.1 Kapasitas Saluran

  Kapasitas rencana dari setiap komponen sistem drainase dihitung berdasarkan rumus Manning: Q sal = V sal x A sal .................................................................................................. (40)

  2/3 1/2

  1 V sal = R S ............................................................................................... (41) n 2/3 1/2 .....................................................................................................................................

1 Q = .R S .A

  (42)

  sal sal n

  Dimana: V = kecepatan aliran rata-rata dalam saluran (m/det),

  sal

  3 Q sal = debit aliran dalam saluran (m /det),

  n = koefisien kekasaran Manning,

  A

  R = jari jari hidraulik (m), R = dimana

  P

  2 A sal = luas penampang saluran (m ) P = keliling basah (m).

     

  a. nampang T Trapesium (G Gambar 2.1 1 ).

  Pe

  Gam mbar 2.11 Penampang g ekonomis trapezium

  Da alam hal ini maka digun nakan persa amaan:

  2/3 1/2

  1 V = R S S ............. ................... ................... ................... .................. . (43) h n Q

  A c = ......... .................. ................... ................... ................... .................. . (44)

  V An ngka kekasa aran ditentuk ukan berdasa arkan jenis b bahan yang g digunakan .

  Ke emiringan d dasar salur ran (S) dit tentukan be erdasarkan topografi (atau dis sebut S = 0, 0006).

  Ke emiringan d dinding salur uran berdasa arkan bahan yang digun nakan

  2/3 1/2

  1 Lu uas Penampa ang : A= (b b + mh)h

  V V = R S S ............ .................. . (45)

  n 2/3 1/2

  2

  1 Ke eliling Basah h : P = b + + 2h

  1  m m V = R S . ... .................. . (46)

  n 2/3 1/2

  

1

Jar ri jari hidrol lis : R h = A/P P V = R S ..... ................... .................. . (47)

n

     

  Tin nggi jagaan : FB =

  2 25 %

  Dim mana :

  2 A = Luas s penampan ng saluran (m m )

  R = Jari- -jari Hidroli is (m) S = Kem miringan salu luran n = Koe fisien kekas saran Mann ning B = Leba ar dasar salu uran (m) m = Kem miringan talu ud y = keda alaman salu uran (m) P = kelil ling basah s saluran (m)

  b. nampang P ersegi Pe

  Pa ada penamp ang melinta ang saluran n berbentuk persegi den ngan lebar dasar B dan kedala aman air h, luas penam mpang basa ah A = B x x h dan ke eliling ba sah P. Mak ka bentuk p penampang g persegi pa aling ekono omis adalah h jika ked dalaman se etengah dar ri lebar das sar saluran atau jari-j jari hidraul iknya set tengah dari kedalaman air.

Gambar 2.1 G

  12 Penampa ang Saluran n Persegi

  Un ntuk bentuk penampang g persegi ya ang ekonom mis :

  A h ............... ................... ................... ................... .................. . (48)

   B.h

  P  B  2h .......... ................... ................... ................... .................. . (49)    

  B

  ................................................................... (50)

  B  2h atau h =

2 A

  Jari-jari hidroulik R :R = ....................................................... (51)

  P

Tabel 2.4 Nilai Koefisien Kekasaran Manning (n)

  

Tipe saluran dan diskripsinya Minimum Normal Maksimum

   

      Sumber :Chow, 1959

  2.3.2 Tinggi Jagaan (freeboard) Saluran, dilapis atau dipoles

  1. Logam

  a. Baja dengan permukaan licin Tidak dicat Dicat

  b. Baja dengan permukaan bergelombang

  2. Bukan logam

  a. Semen Acian Adukan

  b. Kayu Diserut, tidak diawetkan Diserut , diawetkan dengan creosoted Tidak diserut Papan Dilapis dengan kertas kedap air

  c. Beton Dipoles dengan sendok kayu Dipoles sedikit Dipoles Tidak dipoles Adukan semprot, penampang rata Adukan semprot, penampang bergelombang Pada galian batu yang teratur Pada galian batu yang tak teratur d. Dasar beton dipoles sedikit dengan tebing dari

  Batu teratur dalam adukan Batu tak teratur dalam adukan Adukan batu, semen, diplester Adukan batu dan semen e. Batu kosong atau rip-rap

  f. Dasar kerikil dengan tebing dari Beton acuan Batu tak teratur dalam adukan Batu kosong atau rip-rap g. Bata Diglasir

  Dalam adukan semen

  h. Pasangan batu Batu pecah disemen Batu kosong i. Batu potong, diatur j. Aspal Halus