BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Perencanaan Sistem Drainase Pada Rencana Kawasan Industri Deli Serdang di Kecamatan Medan Amplas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Data Umum

  Drainase merupakan sebuah system yang dibuat untuk menangani persoalan kelebihan air baik kelebihan air yang berada di atas permukaan tanah maupun air yang berada dibawah permukaan tanah. Kelebihan air dapat disebabkan oleh intensitas hujan yang tinggi atau akibat dari durasi hujan yang lama. Secara umum drainase didefenisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang usaha untuk mengalirkan air yang berlebihan pada suatu kawasan (Suripin 2004).

  Drainase perkotaan adalah ilmu drainase yang khusus mengkaji kawasan perkotaan yang erat kaitanny dengan kondisi lingkungan fisik dan lingkungan social budaya yang ada dikawasan kota tersebut. Drainase perkotaan juga merupakan system pengeringan dan pengaliran air dari wilayah perkotaan yang meliputi kawaan permukiman, industry dan perdagangan, sekolah, rumah sakit, lapangan olah raga, dan lain-lain.

2.1.1 Sistem Drainase

  Secara umum sistem drainase dapat didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi dan/atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan/lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal. Bangunan sistem drainase secara berurutan mulai dari hulu terdiri dari saluran penerima (interceptor drain), saluran pengumpul (collector drain), saluran pembawa (conveyor drain), saluran induk (main drain), dan badan air penerima

  (receiving waters). Di sepanjang sistem sering dijumpai bangunan lainnya, seperti gorong-gorong, jembatan-jembatan, talang dan saluran miring/got miring (Suripin, 2004).

  Sesuai dengan cara kerjanya, jenis saluran drainase buatan dapat dibedakan menjadi: a.

  Saluran Interceptor (Saluran Penerima) Berfungsi sebagai pencegah terjadinya pembebanan aliran dari suatu daerah terhadap daerah lain di bawahnya. Saluran ini biasanya dibangun dan diletakkan pada bagian yang relatif sejajar dengan garis kontur. Outlet dari saluran ini biasanya terdapat di saluran collector atau conveyor atau langsung di natural drainage/sungai alam.

  b.

  Saluran Collector (Saluran Pengumpul) Berfungsi sebagai pengumpul debit yang diperoleh dari saluran drainase yang lebih kecil dan akhirnya akan dibuang ke saluran conveyor

  (pembawa).

  c.

  Saluran Conveyor (Saluran Pembawa) Berfungsi sebagai pembawa air buangan dari suatu daerah ke lokasi pembuangan tanpa harus membahayakan daerah yang dilalui.

  Menurut keberadaannya, sistem jaringan drainase dapat dibedakan menjadi 2, yaitu: a.

  Natural Drainage (Drainase Alamiah) Terbentuk melalui proses alamiah yang terbentuk sejak bertahun- tahun mengikuti hukum alam yang berlaku. Dalam kenyataannya sistem ini berupa sungai beserta anak-anak sungainya yang membentuk suatu jaringan alur aliran.

  b.

  Artifical Drainage (Drainase Buatan) Dibuat oleh manusia, dimaksudkan sebagai upaya penyempurnaan atau melengkapi kekurangan-kekurangan sistem drainase alamiah dalam fungsinya membuang kelebihan air yang mengganggu. Jika ditinjau dari sistem jaringan drainase, kedua sistem tersebut harus merupakan kesatuan tinjauan yang berfungsi secara bersama. Menurut konstruksinya, saluran drainase dapat dibedakan menjadi: a.

  Drainase saluran terbuka Saluran drainase primer biasanya berupa saluran terbuka, baik berupa saluran dari tanah, pasangan batu kali atau beton.

  b.

  Drainase saluran tertutup Pada kawasan perkotaan yang padat, saluran drainase biasanya berupa saluran tertutup. Saluran dapat berupa buis beton yang dilengkapi dengan bak pengontrol, atau saluran pasangan batu kali/beton yang diberi plat tutup dari beton bertulang. Karena tertutup, maka perubahan penampang saluran akibat sedimentasi, sampah dan lain-lain tidak dapat terlihat dengan mudah (Suripin, 2004).

  Menurut fungsinya, saluran drainase dapat dibedakan menjadi: a.

  Single purpose, yaitu saluran hanya berfungsi mengalirkan satu jenis air buangan saja.

  b.

  Multi purpose, yaitu saluran yang berfungsi mengalirkan beberapa jenis air buangan, baik secara tercampur maupun secara bergantian.

  Menurut konsepnya, sistem jaringan drainase dapat dibedakan menjadi 2, yaitu: a.

  Drainase konvensional Drainase konvensional adalah upaya membuang atau mengalirkan air kelebihan secepatnya ke sungai terdekat. Dalam konsep drainase konvensional, seluruh air hujan yang jatuh di suatu wilayah harus secepatnya dibuang ke sungai dan seterusnya mengalir ke laut. Jika hal ini dilakukan pada semua kawasan, akan memunculkan berbagai masalah, baik di daerah hulu, tengah, maupun hilir.

  Dampak dari pemakaian konsep drainase konvensional tersebut dapat kita lihat sekarang ini, yaitu kekeringan yang terjadi di mana-mana, juga banjir, longsor, dan pelumpuran. Kesalahan konsep drainase konvensional yang paling pokok adalah filosofi membuang air genangan secepatnya ke sungai. Demikian juga mengalirkan air secepatnya berarti menurunkan kesempatan bagi air untuk meresap ke dalam tanah. Dengan demikian, cadangan air tanah akan berkurang kekeringan di musim kemarau akan terjadi. Sehingga banjir dan kekeringan merupakan dua fenomena yang saling memperparah dan terjadi susul-menyusul.

  b.

  Drainase Ramah Lingkungan Drainase ramah lingkungan didefinisikan sebagai upaya mengelola air kelebihan dengan cara sebanyak-banyaknya meresapkan air ke dalam tanah secara alamiah atau mengalirkan ke sungai dengan tanpa melampaui kapasitas sungai sebelumnya. Dalam drainase ramah lingkungan, justru air kelebihan pada musim hujan harus dikelola sedemikian rupa sehingga tidak mengalir secepatnya ke sungai. Namun diusahakan meresap ke dalam tanah, guna meningkatkan kandungan air tanah untuk cadangan pada musim kemarau.

  Beberapa metode drainase ramah lingkungan yang dapat dipakai diantaranya adalah metode kolam konservasi, metode sumur resapan, metode river side polder, dan metode pengembangan areal perlindungan air tanah.

2.2 Analisa Hidrologi

  Hidrologi adalah ilmu yang mempelajari seluk beluk air, kejadian dan distribusinya, sifat alami dan sifat kimianya, serta reaksinya terhadap kebutuhan manusia.

  Pengumpulan data dan informasi, terutama data untuk perhitungan hidrologi sangat diperlukan dalam analisa penentuan debit banjir rancangan yang selanjutnya dipergunakan sebagai dasar rancangan suatu bangunan air. Semakin banyak data yang terkumpul berarti semakin menghemat biaya dan waktu, sehingga kegiatan analisis dapat berjalan lebih cepat, selain itu akan didapatkan hasil perhitungan yang lebih akurat. Secara keseluruhan pengumpulan data hidrologi ini dapat dilakukan dengan tahapan-tahapan pengumpulan data dasar dan pengujian (kalibrasi) data-data yang terkumpul.

2.2.1 Siklus Hidrologi

  Secara keseluruhan jumlah air di planet bumi ini relative tetap dari masa ke masa. Air di bumi mengalami suatu siklus melalui serangkaian peristiwa yang berlangsung terus-menerus, dimana kita tidak tahu kapan dan dari mana berawalnya dan kapan pula akan berakhir. Serangkaian peristiwa tersebut dinamakan siklus hidrologi (hydrologic cycle) (gambar 2.1).

  Ada empat macam proses penting dari siklus hidrologi yang harus dipahami yang berkaitan dengan perencanaan bangunan air yaitu: a.

  Presipitasi adalah uap air di atmosfir terkondensasi dan jatuh ke permukaan bumi dalam berbagi bentuk (hujan, salju, kabut, embun); b.

  Evaporasi adalah penguapan air dari permukaan badan air (sungai, danau, waduk) c.

  Infiltrasi adalah air yang jatuh ke permukaan menyerap kedalam tanah; d. Limpasan permukaan (surface run off) dan limpasan air tanah (subsurface runoff ).

  Konsep sederhana dari siklus yang menunjukkan masing-masing proses digambarkan secara skematik seperti pada Gambar 2.1

Gambar 2.1 Siklus Hidrologi

  Proses penting yang berkaitan dengan drainase adalah presipitasi dan limpasan permukaan. Proses yang dapat dikelola oleh para ahli teknik adalah limpasan permukaan.

  Karakteristik presipitasi (hujan) yang perlu dipelajari dalam analisis dan perencanaan prasarana yang berhubungan dengan hujan seperti drainase adalah: a.

  Intensitas hujan (I) adalah laju hujan atau tinggi genangan air hujan persatuan waktu (mm/menit, mm/jam, atau mm/hr); b.

  Lama waktu hujan (durasi, t) adalah rentang waktu kejadian hujan (menit atau jam); c.

  Tinggi hujan d, adalah kedalaman/ketebalan air hujan diatas permukaan datar selama durasi hujan (mm); d.

  Frekuensi terjadinya hujan (T) adalah frekwensi kejadian hujan dengan intensitas tertentu yang biasanya dinyatakan dengan kala ulang (return

  period ) T (tahun); e.

  Luas hujan adalah luas geografis daerah sebaran hujan.

  2.2.2 Analisis Curah Hujan

  Data curah hujan yang tercatat diproses berdasarkan areal yang mendapatkan hujan sehingga didapat tinggi curah hujan rata-rata dan kemudian diramalkan besarnya curah hujan pada periode tertentu. Berikut dijabarkan tentang cara menentukan tinggi curah hujan areal.

  2.2.2 Daerah Aliran Sungai (DAS)

  Data hujan yang diperoleh dari alat penakar hujan merupakan hujan yang terjadi hanya pada satu tempat atau titik saja (point rainfall).

  Mengingat hujan sangat bervariasi terhadap tempat (space), maka untuk kawasan yang luas, satu alat penakar hujan belum dapat menggambarkan hujan wilayah tersebut. Cara untuk menentukan harga rata-rata curah hujan pada beberapa stasiun penakar hujan dapat dilakukan dengan beberapa metode. Pemilihan metode mana yang cocok dipergunakan pada suatu DAS dapat ditentukan dengan mempertimbangkan tiga faktor seperti pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Tabel Pemilihan metode analisis sesuai dengan kondisi DAS No Kondisi DAS Metode

  1 Jaring-jaring pos penakar hujan Jumlah pos penakar hujan cukup Metode Isohyet, Thiessen, atau Rata-Rata Aljabar Jumlah pos penakar hujan terbatas Thiessen, atau Rata-Rata Aljabar Jumlah pos penakar hujan tunggal Metode Hujan Titik

  2 Luas DAS DAS Besar (>5000 km2) Metode Isohyet DAS Sedang (500 s/d 5000 km2) Metode Thiessen DAS Kecil (<500 km2) Metode Rata-Rata Aljabar

  3 Tofografi DAS Pegunungan Metode Rata-Rata Aljabar Dataran

  Metode Thiessen, atau Rata-Rata Aljabar

  Berbukit dan tidak beraturan Metode Isohyet

  Sumber : Suripin, 2004

  Ada tiga macam cara yang umum dipakai dalam menghitung hujan rata-rata kawasan:

1. Rata-rata aljabar Merupakan metode yang paling sederhana dalam perhitungan hujan kawasan.

  Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa semua penakar hujan mempunyai pengaruh yang setara. Tinggi rata-rata curah hujan didapatkan dengan mengambil nilai rata-rata hitung (arithmatic mean) pengukuran hujan di pos penakar-penakar hujan di dalam areal studi.

  Hujan kawasan diperoleh dari persamaan.

  (2.1) di mana P = tinggi curah hujan rata-rata, P

  1 , P 2 . . . P n = tinggi curah hujan pada pos penakar 1, 2, . . . , n, dan n = banyak pos penakaran.

2. Metode Poligon Thiessen

  Metode ini dikenal juga sebagai metode rata-rata timbang (weighted mean). Cara ini memberikan proporsi luasan daerah pengaruh pos penakar hujan untuk mengakomodasi ketidakseragaman jarak. Daerah pengaruh dibentuk dengan menggambarkan garis-garis sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung antara dua pos penakar terdekat. Gambar 2.3 menunjukkan contoh posisi stasiun 1, 2, dan 3 dari skema poligon Thiessen dalam Daerah Aliran Sungai (DAS).

Gambar 2.2 Poligon Thiessen pada DAS

  Diasumsikan bahwa variasi hujan antara pos yang satu dengan yang lainnya adalah linier dan bahwa sembarang pos dianggap dapat mewakili kawaan terdekat.

  Hasil metode polygon Thiessen lebih akurat dibandingkan dengan metode rata- rata aljabar. Cara ini cocok untuk daerah datar dengan luas 500-5.000 , dan jumlah pos penakar hujan terbatas dibandingkan luasny. Hujan rata-rata DAS dapat dihitung dengan persamaan berikut:

  (2.2) di mana P = tinggi curah hujan rata-rata daerah, = curah hujan yang tercatat di pos penakar hujan. = luas daerah pengaruh pos penakar hujan, dan n = banyaknya pos penakar hujan.

3. Metode Isohyet

  Metode ini merupakan metode yang paling akurat untuk menentukanhujan rata- rata, namu diperlukan keahlian dan pengalaman. Cara ini memperhitungkan secara actual pengaruh tiap-tiap pos penakar hujan. Dengan kata lain, asumsi metode Thiessen yang secara membabi buta menganggap bahwa tiap-tiap pos penakar mencatat kedalaman yang sama untuk daerah sekitarnya dapat dikoreksi.

Gambar 2.3 Peta Isohyet

  Kemudian luas bagian di antara isohyet-isohyet yeng berdekatan diukur, dan nilai rata-ratanya dihitung sebagai berikut: 1 1 2 n − 1 n

  • d d A d d d d n
  • A A ... A

  2

  2

  2 = d 1 2 n A A ...A

  (2.3) (2.4) di mana d = tinggi curah hujan rata-rata areal, A = luas areal total = A

  1 + A 2 + A

  3 + ...+ A , dan d d ..., d = curah hujan pada isohyet 0, 1, 2, ..., n. n 0, 1, n

2.2.3 Distribusi Frekuensi Curah Hujan

  Untuk menganalisis probabilitas banjir biasanya dipakai beberapa macam distribusi frekuensi curah hujan antara lain yaitu: A. Normal

  B. Log Normal

  C. Gumbel

  D. Log Pearson Type III

  A. Distribusi Normal Distribusi normal atau kurva normal disebut pula distribusi Gauss. Untuk analisa frekuensi curah hujan menggunakan metode distribusi Normal, dengan persamaan sebagai berikut:

  X T = X + k.Sx (2.5)

  Dimana:

  X T : Variate yang diekstrapolasikan, yaitu besarnya curah hujan rencana untuk periode ulang T tahun. n

  X i1 X : Harga rata–rata dari data = n

  K : Variabel reduksi Sx : Standard Deviasi

Tabel 2.2 Nilai Variabel Reduksi Gauss

  No. Periode ulang, T (tahun) Peluang K T 1 1,001 0,999 -3,05 2 1,005 0,995 -2,58 3 1,010 0,990 -2,33 4 1,050 0,950 -1,64 5 1,110 0,900 -1,28 6 1,250 0,800 -0,84 7 1,330 0,750 -0,67 8 1,430 0,700 -0,52 9 1,670 0,600 -0,25

  10 2,000 0,500 11 2,500 0,400 0,25 12 3,300 0,300 0,52 13 4,000 0,250 0,67 14 5,000 0,200 0,84 15 10,000 0,100 1,28 16 20,000 0,050 1,64 17 50,000 0,020 2,05 18 100,000 0,010 2,33 19 200,000 0,005 2,58 20 500,000 0,002 2,88 21 1000,000 0,001 3,09

  (Suripin, 2003, Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan : 37)

  B. Distribusi Log Normal Untuk analisa frekuensi curah hujan menggunakan metode distribusi Log

  Normal, dengan persamaan sebagai berikut: Log X T = Log X + k.Sx Log X (2.6)

  Dimana: Log X : Variate yang diekstrapolasikan, yaitu besarnya curah hujan

  T rancangan untuk periode ulang T tahun. n log (X ) i

  

1

Log X : Harga rata – rata dari data = n n 2 n (LogX Log X ) i i

  ∑ ∑ 1 1 SxLog X : Standard Deviasi = n

  1 −

  K : Variabel reduksi

Tabel 2.3 Nilai K untuk Distribusi Log Normal

  No. Periode ulang, T (tahun) Peluang K T 1 1,001 0,999 -3,05 2 1,005 0,995 -2,58 3 1,010 0,990 -2,33 4 1,050 0,950 -1,64 5 1,110 0,900 -1,28 6 1,250 0,800 -0,84 7 1,330 0,750 -0,67 8 1,430 0,700 -0,52 9 1,670 0,600 -0,25

  10 2,000 0,500 11 2,500 0,400 0,25 12 3,300 0,300 0,52 13 4,000 0,250 0,67 14 5,000 0,200 0,84 15 10,000 0,100 1,28 16 20,000 0,050 1,64 17 50,000 0,020 2,05 18 100,000 0,010 2,33 19 200,000 0,005 2,58 20 500,000 0,002 2,88 21 1000,000 0,001 3,09

  (Suripin, 2003, Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan : 37)

C. Distribusi Gumbel

  Untuk analisa frekuensi curah hujan menggunakan metode E.J. Gumbel, dengan persamaan sebagai berikut:

  X T = X + K.Sx (2.7)

  Dimana:

  X T : Variate yang diekstrapolasikan, yaitu besarnya curah hujan rencana untuk periode ulang T (tahun). n

  X

i

1 X : Harga rata – rata dari data = n n 2 n

  X X i i − ∑ ∑ 1 1 Sx : Standard Deviasi = n −

  1 K : Variabel reduksi. Untuk menghitung variabel reduksi E.J. Gumbel mengambil harga: K n T n

  S Y Y −

  Reduced variate, Y Tr Periode ulang,

  9

10 0,9496 0,9676 0,9883 0,9971 1,0095 1,0206 1,0316 1,0411 1,0493 1,0565

20 1,0628 1,0696 1,0754 1,0811 1,0864 1,0915 1,0961 1,1004 1,1047 1,1080

30 1,1124 1,1159 1,1193 1,1226 1,1255 1,1285 1,1313 1,1339 1,1363 1,1388

40 1,1413 1,1436 1,1458 1,1480 1,1499 1,1519 1,1538 1,1557 1,1547 1,1590

50 1,1607 1,1623 1,1638 1,1658 1,1667 1,1681 1,1696 1,1708 1,1721 1,1734

60 1,1747 1,1759 1,1770 1,1782 1,1793 1,1803 1,1814 1,1824 1,1834 1,1844

70 1,1854 1,1863 1,1873 1,1881 1,1890 1,1898 1,1906 1,1915 1,1923 1,1930

80 1,1938 1,1945 1,1953 1,1959 1,1967 1,1973 1,1980 1,1987 1,1994 1,2001

90 1,2007 1,2013 1,2020 1,2026 1,2032 1,2038 1,2044 1,2049 1,2055 1,2060

  8

  7

  6

  5

  4

  3

  2

  1

  N

Tabel 2.6 Reduksi Standard Deviasi (Sn) untuk Distribusi Gumbel

  (Suripin, 2003, Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan : 52)

  2 0,3668 100 4,6012 5 1,5004 200 5,2969 10 2,2510 250 5,5206 20 2,9709 500 6,2149 25 3,1993 1000 6,9087 50 3,9028 5000 8,5188 75 4,3117 10000 9,2121

  T r (tahun) Reduced variate, Y Tr

  Periode ulang, T r (tahun)

  = (2.8)

  4

  Dimana: Y T : Reduced variate sebagai fungsi dari periode ulang T Yn : Reduced mean sebagai fungsi dari banyak data (N) Sn : Reduced standard deviation sebagai fungsi dari banyak data N

Tabel 2.4 Standar Deviasi (Yn) untuk Distribusi Gumbel

  N

  1

  2

  3

  5

Tabel 2.5 Reduksi Variat (YTR) sebagai fungsi periode ulang Gumbel

  6

  7

  8

  9

10 0,4952 0,4996 0,5035 0,5070 0,5100 0,5128 0,5157 0,5181 0,5202 0,5520

20 0,5236 0,5252 0,5268 0,5283 0,5296 0,5309 0,5320 0,5332 0,5343 0,5353

30 0,5362 0,5371 0,5380 0,5388 0,5396 0,5403 0,5410 0,5418 0,5424 0,5436

40 0,5436 0,5442 0,5448 0,5453 0,5458 0,5463 0,5468 0,5473 0,5477 0,5481

50 0,5485 0,5489 0,5493 0,5497 0,5501 0,5504 0,5508 0,5511 0,5515 0,5518

60 0,5521 0,5524 0,5527 0,5530 0,5533 0,5535 0,5538 0,5540 0,5543 0,5545

70 0,5548 0,5550 0,5552 0,5555 0,5557 0,5559 0,5561 0,5563 0,5565 0,5567

80 0,5569 0,5570 0,5572 0,5574 0,5576 0,5578 0,5580 0,5581 0,5583 0,5585

90 0,5586 0,5587 0,5589 0,5591 0,5592 0,5593 0,5595 0,5596 0,5598 0,5599

  

100 0,5600 0,5602 0,5603 0,5604 0,5606 0,5607 0,5608 0,5609 0,5610 0,5611

  (Suripin, 2003, Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan : 51)

  

100 1,2065 1,2069 1,2073 1,2077 1,2081 1,2084 1,2087 1,2090 1,2093 1,2096

D. Distribusi Log Person III

  3,152 3,144 3,071 3,023 2,970

  99

  80

  50

  20

  10

  4

  2

  1 3,0 2,8 2,6 2,4 2,2

  0,420 0,460 0,499 0,537 0,574

  1,180 1,120 1,238 1,262 1,284

  2,278 2,275 2,267 2,256 2,240

  4,051 3,973 2,889 3,800 3,705

  10

  2,0 1,8 1,6 1,4 1,2

  0,609 0,643 0,675 0,705 0,732

  1,302 1,318 1,329 1,337 1,340

  2,219 2,193 2,163 2,218 2,087

  2,192 2,848 2,780 2,076 2,626

  3,605 3,449 3,388 3,271 3,149

  1,0 0,8 0,6 0,4 0,2

  0,758 0,780 0,800 0,516 0,830

  1,340 1,336 1,328 1,317 1,301

  2,043 1,993 1,939 1,880 1,818

  2,542 2,453 2,359 2,261 2,159

  3,022 2,891 2,755 2,615 2,472

  25 50 100 Persentase peluang terlampaui (Percent chance of being exceeded)

  5

  (Suripin, 2003, Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan : 52)

  X Log n 1 i 2 i − −

  Untuk analisa frekuensi curah hujan menggunakan metode Log Person Type III, dengan persamaan sebagai berikut:

  Log X T =

  X Log + Ktr. S1 (2.9)

  Dimana: Log X T : Variate diekstrapolasikan, yaitu besarnya curah hujan rancangan untuk periode ulang T tahun.

  Log X : Harga rata – rata dari data,

  

X Log

n

  X Log n 1 i i

  = =

  S

  1 : Standard Deviasi, S 1 = ( )

  1 n

  X Log

  ∑ =

  2

  Ktr : Koefisien frekuensi, didapat berdasarkan hubungan nilai Cs dengan periode ulang T.

  ( ) 3 i n 1 i 3 i

  S . ) ( 2 n )

  ( 1 n

  X Log

  X Log . n Cs

  − − −

  =

  ∑ =

Tabel 2.7 Nilai K untuk distribusi Log Pearson III

  Interval kejadian (Recurrence interval), tahun (periode ulang) Koef. G

  1,0101 1,2500

  • 0,667
  • 0,714
  • 0,769
  • 0,832
  • 0>0,636
  • 0,666
  • 0,696
  • 0,725
  • 0
  • 0,396
  • 0,384
  • 0,368
  • 0,351
  • 0,330
  • >0,990
  • 1,087
  • 1,197
  • 1,318
  • 1>0,777
  • 0,799
  • 0,817
  • 0,832
  • 0
  • 0,307
  • 0,282
  • 0,254
  • 0,225
  • 0,195
  • >1,558
  • 1,733
  • 1,880
  • 2,029
  • 2>0,852
  • 0,856
  • 0,857
  • 0,855
  • 0
  • 0,164
  • 0,132
  • 0,099
  • 0,066
  • 0,033

  • 2,326
  • 2,472
  • 2,615
  • 2,755
  • 2
  • 0,842
  • 0,830
  • 0,816
  • 0,800
  • 0,780
  • >0,2
  • 0,4
  • 0,6
  • 1,0
  • 1,2
  • 1,4
  • 1,6
  • 3,022
  • 2,149
  • 2,271
  • 2,238
  • 3
  • 0,758
  • 0,732
  • 0,705
  • 0,675
  • 0,643

  • 2,0
  • 2,2
  • 2,4
  • 2,6
  • 2,8
  • 3,605
  • 3,705
  • 3,800
  • 3,889
  • 3,973
  • 7
  • 0,609
  • 0,574
  • 0,532
  • 0,490
  • 0,469
  • 0,420

  dari tabel Chi-Square).

  2 cr (yang didapat

  yang terhitung ini harus lebih kecil dari harga X

  2

  Nilai X

  Ef = frekuensi (banyaknya pengamatan) yang diharapkan Of = frekuensi yang terbaca pada kelas yang sama.

  2 = Chi-Square.

  X

  2.10) Dengan :

  Untuk mengetahui apakah pemilihan distribusi yang digunakan dalam perhitungan curah hujan rancangan diterima atau ditolak, maka perlu dilakukan uji kesesuaian distribusi. Uji ini digunakan untuk menguji simpangan secara vertikal apakah distribusi pengamatan dapat diterima secara teoritis. Uji Chi- Square menguji penyimpangan distribusi data pengamatan dengan mengukur secara metematis kedekatan antara data pengamatan dan seluruh bagian garis persamaan distribusi teoritisnya. Uji Chi-Square dapat diturunkan menjadi persamaan sebagai berikut (Suripin, 2004):

  (Suripin, 2003, Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan : 37)

  0,990 0,905 0,832 0,796 0,714 0,667

  0,980 0,900 0,823 0,768 0,714 0,666

  0,959 0,888 0,823 0,764 0,712 0,666

  0,777 0,752 0,725 0,696 0,666 0,636

  0,895 0,844 0,795 0,747 0,702 0,660

  0,307 0,330 0,351 0,368 0,384 0,396

  1,588 1,449 1,318 1,197 1,087

  1,492 1,379 1,270 1,166 1,069

  1,366 1,282 1,198 1,116 1,035

  1,128 1,086 1,041 0,994 0,945

  0,852 0,844 0,832 0,817 0,799

  0,164 0,195 0,225 0,254 0,282

  2,236 2,178 2,028 1,880 1,733

  2,051 1,945 1,834 1,720 1,606

  1,715 1,680 1,606 1,528 1,448

  1,282 1,258 1,231 1,200 1,166

  0,842 0,850 0,855 0,857 0,856

  0,000 0,033 0,066 0,099 0,132

  0,0

2.2.4 Uji Kesesuaian Pemilihan Distribusi

  Derajat kebebasan ini secara umum dapat dihitung dengan : DK = K – (P + 1) (2.11)

  Dengan : DK = derajat kebebasan. K = banyaknya kelas. P = banyaknya keterikatan atau sama dengan banyaknya parameter, yang untuk sebaran Chi-Square adalah sama dengan 2 (dua).

  Berdasarkan literatur di atas, pada uji Chi-Square menguji penyimpangan distribusi data pengamatan dengan mengukur secara metematis kedekatan antara data pengamatan dan seluruh bagian garis persamaan distribusi teoritisnya dengan niliai X

  2 cr . Nilai X 2 cr untuk uji Chi Square dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut ini.

Tabel 2.8 Nilai X

  2 cr untuk uji Chi-Square dk α derajat kepercayaan

  0,995 0,99 0,975 0,95 0,05 0,025 0,01 0,005 1 0,0000393 0,000157 0,000982 0,00393 3,841 5,024 6,635 7,879

2 0,0100 0,0201 0,0506 0,103 5,991 6,783 9,210 10,597

3 0,0717 0,115 0,216 0,352 7,815 9,348 11,345 12,838

4 0,207 0,297 0,484 0,711 9,488 11,143 13,277 14,860

5 0,412 0,554 0,831 1,145 11,070 12,832 15,086 16,750

6 0,676 0,872 1,237 1,635 12,592 14,449 16,812 18,548

7 0,989 1,239 1,690 2,167 14,067 16,013 18,475 20,278

8 1,344 1,646 2,180 2,733 15,507 17,535 20,090 24,955

9 1,735 2,088 2,700 3,325 16,919 19,023 21,666 23,589

  10 2,156 2,558 3,247 3,940 18,307 20,483 23,209 25,188 11 2,603 3,053 3,816 4,575 19,675 21,920 24,725 26,757 12 3,074 3,571 4,404 5,226 21,026 23,337 26,217 28,300 13 3,565 4,107 5,009 5,892 22,362 24,736 27,688 29,819 14 4,075 4,660 5,629 6,571 23,685 26,119 29,141 31,319 15 4,601 5,229 6,262 7,261 24,996 27,488 30,578 32,801 16 5,142 5,812 6,908 7,962 26,296 28,845 32,000 34,267 17 5,697 6,408 7,564 8,672 27,587 30,191 33,409 35,718 18 6,265 7,015 8,231 9,390 28,869 31,526 34,805 37,156 19 6,884 7,633 8,907 10,117 30,144 32,852 36,191 38,582 20 7,434 8,260 9,591 10,851 34,410 34,170 37,566 39,997

  21 8,034 8,897 10,283 11,591 32,671 35,479 38,932 41,401 22 8,643 9,542 10,982 12,338 33,924 36,781 40,289 42,796 23 9,260 10,196 11,689 13,091 36,172 38,076 41,638 44,181 24 9,886 10,856 12,401 13,848 36,415 39,364 42,980 45,558 25 10,520 11,524 13,120 14,611 37,652 40,646 44,314 46,928 26 11,160 12,198 13,844 15,379 38,885 41,923 45,642 48,920 27 11,808 12,879 14,573 16,151 40,113 43,194 46,963 49,645 28 12,461 13,565 15,308 16,928 41,337 44,461 48,278 50,993 29 13,121 14,256 16,047 17,708 42,557 45,722 49,588 52,336 30 13,787 14,953 16,791 18,493 43,773 46,979 50,892 53,672

  (Suripin, 2003, Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan : 372)

Tabel 2.9 Nilai kritis D o untuk uji Smirnov-Kolmogorov

  Derajad kepercayaan, α

  N 0,20 0,10 0,05 0,01 5 0,45 0,51 0,56 0,67

  10 0,32 0,37 0,41 0,49 15 0,27 0,30 0,34 0,40 20 0,23 0,26 0,29 0,36 25 0,21 0,24 0,27 0,32 30 0,19 0,22 0,24 0,29 35 0,18 0,20 0,23 0,27 40 0,17 0,19 0,21 0,25 45 0,16 0,18 0,20 0,24 50 0,15 0,17 0,19 0,23

  0,5 0,5 0,5 0,5

  N>50 1,07/N 1,22/N 1,36/N 1,63/N (Sumber : Bonnier, 1980)

2.2.5 Intensitas Curah Hujan Rencana Intensitas hujan didefinisikan sebagai tinggi curah hujan persatuan waktu.

  Untuk mentransformasikan tinggi hujan rencana menjadi debit banjir rancangan diperlukan curah hujan jam-jaman. Pada umumnya data hujan yang tersedia pada stasiun meteorologi adalah data hujan harian, artinya data yang tercatat secara kumulatif selama 24 jam.

  Jika data hujan jam-jaman tidak ter-sedia, maka pola distribusi hujan jam- jaman dapat dilakukan dengan menggu-nakan pendekatan sebaran dan nisbah hujan jam-jaman dengan menggunakan Rumus Mononobe sebagai berikut : 2/3

  R T 24 I = ( ) x ( ) (2.12) t T c

  Dengan : I = intensitas hujan rata-rata dalam t jam (mm/jam) R

  

24 = curah hujan efektif dalam satu hari (mm);

  t = lama waktu hujan (jam); T = waktu mulai hujan (jam); T c = waktu konsentrasi hujan (jam).

2.2.7 Waktu Konsentrasi

  Waktu konsentrasi pada daerah pengaliran adalah waktu yang dibutuhkan air untuk mengalir dari daerah yang terjauh ke suatu pembuang (outlet) tertentu, yang diasumsikan bahwa lamanya hujan sama dengan waktu konsentrasi pada semua bagian daerah pengaliran dimana air hujan berkumpul bersama-sama untuk mendapatkan suatu debit yang maksimum pada outlet. Waktu konsentasi terdiri dari 2 (dua) bagian: a.

  Waktu pemasukan (inlet time) atau time of entry yaitu waktu yang dibutuhkan oleh aliran permukaan untuk masuk ke saluran.

  b.

  Waktu pengaliran (conduit time) yaitu waktu yang diperlukan oleh air untuk mengalir di sepanjang saluran sampai titik kontrol yang ditentukan di bagian hilir.pada saluran.

Gambar 2.4 Contoh Saluran A – B pada suatu daerah pengaliran (Suyono, 1976)

  Pada Gambar 2.5, terlihat sebuah saluran drainase melintasi diagonal A- B pada sebuah daerah pengaliran. Bila hujan jatuh pada titik A maka hujan tersebut akan segera mengalirkan ke titik B dan seterusnya, demikian juga halnya air hujan yang jatuh di sekitar titik A akan masuk ke saluran dan seterusnya sampai di titik B.

  Dari gambaran ini dapat dijelaskan adalah waktu pemasukan adalah waktu yang dibutuhkan air hujan dari titik terjauh masuk ke titik pengaliran misalnya titik A, sedangkan waktu pengaliran adalah waktu yang dibutuhkan oleh air dalam perjalanan dari titik A ke B.

  Waktu pemasukan (inlet time) dipengaruhi oleh: 1.

  Kekasaran permukaan daerah pengaliran.

  2. Kejenuhan daerah pengaliran.

  3. Kemiringan daerah pengaliran.

  4. Sisi dari bagian daerah atau jarak areal pembagi ke saluran.

  5. Susunan atap/ perumahan yang ada pada daerah tersebut. Dalam hal ini untuk curah hujan yang berasal dari atap, perkerasan halaman ataupun jalan yang langsung masuk kesaluran, waktu pemasukannya tidak lebih dari 5 menit. Pada daerah komersial yang relatif datar, waktu pemasukan yang dibutuhkan sekitar 10 samapi 15 menit, dan pada daerah pemukiman penduduk yang relatif datar waktu yang dibutuhkan sekitar 20 sampai 30 menit.

  Waktu pengaliran (time of flow) tergantung pada perbandingan panjang saluran dan kecepatan aliran. Menurut rumus empiris dari Kirpich yang diasumsikan dari rumus Manning untuk koefisien kekasaran rata-rata dan jari-jari hidraulis yang berlaku umum adalah sebagai berikut:

  (2.13) di mana: = waktu pengaliran (menit), L = panjang saluran yang ditinjau dari inlet (pemasukan) sampai ke tampang yang ditinjau (m), s = slope (kemiringan daerah pengaliran).

  Maka waktu konsentrasi = waktu pemasukan + waktu pengaliran atau: (2.14)

2.2.8 Koefisien Limpasan (run off)

  Koefisien limpasan adalah suatu variabel yang didasarkan pada kondisi daerah pengaliran dan karakteristik hujan yang jatuh di daerah tersebut. Adapun kondisi dan karakteristik yang dimaksud adalah : 1.

  Keadaan hujan 2. Luas dan bentuk daerah aliran 3. Kemiringan daerah aliran dan kemi-ringan dasar sungai 4. Daya infiltrasi dan perkolasi tanah 5. Kelembaban tanah 6. Suhu udara dan angin serta evaporasi 7. Tata guna tanah

  Faktor-faktor yang mempengaruhi limpasan adalah: a. Faktor meteorologi yang meliputi intensitas curah hujan, durasi curah hujan dan distribusi curah hujan; b. Karakteristik daerah aliran yang meliputi luas dan bentuk daerah aliran, tofografi dan tata guna lahan.

  Salah satu metoda untuk memperkirakan koefisien aliran permukaan (C) adalah metoda rasional USSCS (1973). Berdasarkan metoda ini, faktor utama yang mempengaruhi nilai C adalah laju infiltrasi tanah atau persentase lahan kedap air, kemiringan lahan, vegetasi, sifat dan kondisi tanah dan intensitas hujan.

2.2.9 Analisa Debit Banjir Rancangan

  Untuk menentukan kapasitas saluran drainase harus dihitung dahulu jumlah air hujan dan jumlah air buangan rumah tangga yang akan melewati saluran drainase utama di dalam daerah studi. Debit banjir rancangan (Q r ) adalah debit air hujan (Q ah ) ditambah dengan debit air kotor (Q ak ). Bentuk perumusan dari debit banjir rancangan tersebut sebagai berikut : Q r = Q ah + Q ak (2.15) dengan :

  3 Q r = debit banjir rancangan (m /detik)

  3 Q ah = debit air hujan (m /detik)

  3 Q ak = debit air kotor (m /detik)

2.3 Perencanaan Debit Banjir

  Perencana debit banjir tidak boleh kita tetapkan terlalu kecil agar jangan terlalu sering terjadi ancaman pengrusakan bangunan atau daerah di sekitarnya.

  Tetapi juga tidak boleh terlalu besar sehingga ukuran bangunan tidak ekonomis. Jatuhnya hujan terjadi menurut suatu pola dan suatu siklus tertentu.

  Ada dua macam metode yang umum dipakai dalam menghitung debit banjir:

  1. Metode Rasional Metode ini digunakan untuk memperkirakan laju aliran permukaan puncak. Metode ini sering dipakai untuk perencanaan, cuman penggunaanya terbatas untuk DAS – DAS dengan ukuran yang kecil. Persamaan matematik metode Rasional ini dinyatakan dalam bentuk:

  (2.16) Dimana:

  3

  : Debit maksimum (m /detik) C : Koefisien run-off (0 C 1, dari table atau dengan rumus) I : Intensitas hujan dalam (mm/jam)

2 A : Luas daerah aliran (km )

  2. Metode Hidrograf Hidrogaf dapat didefenisikan sebagai hubungan antara salah satu unsur aliran terhadap waktu. Berdasarkan defenisi tersebut dikenal ada dua macam hidrogaf, yaitu hidrogaf muka air dan hidrogaf debit. Hidrogaf muka air tidak lain adalah data atau grafik hasil rekaman AWLR (Automatic Water Level Recorder).

  Sedangkan hidrogaf debit, yang dalam pengertian sehari-hari disebut hidrogaf, diperoleh dari hidrogaf muka air dan lengkung debit.

2.4 Analisa Sistem Drainase

  Analisis sistem drainase dilakukan untuk mengetahui apakah secara teknis sistem drainase direncanakan sesuai dengan persyaratan teknis. Analisis sistem drainase diantaranya adalah perhitungan kapasitas saluran, penentuan tinggi jagaan, penentuan daerah sempadan, perhitungan kepadatan drainase, dan bagunan-bangunan yang dibutuhkan dalam sistem drainase.

  Dalam kaitannya dengan pekerjaan pengendalian banjir, analisis sistem drainase digunakan untuk mengetahui profil muka air, baik kondisi yang ada (eksisting) maupun kondisi perencanaan. Untuk mendukung analisa hitungan guna memperoleh parameterisasi desain yang handal, dibutuhkan validasi data dan metode hitungan yang representatif. Analisis untuk drainase dapat dijelaskan sebagai berikut:

2.4.1 Kapasitas Saluran

  Kapasitas rencana dari setiap komponen sistem drainase dihitung berdasarkan rumus Manning: Q sal = V sal x A sal (2.17)

  2/3 1/2

  1 V sal = R S (2.18) n

  2/3 1/2

  1 Q sal = .R S .A sal

  (2.19)

  n

  Dimana: V sal = kecepatan aliran rata-rata dalam saluran (m/det),

  3 Q sal = debit aliran dalam saluran (m /det),

  n = koefisien kekasaran Manning,

  A

  R = jari jari hidraulik (m), R = dimana

  P

  2 A = luas penampang saluran (m ) sal

  P = keliling basah (m). a.

  Penampang Trapesium (Gambar 2.2 ).

Gambar 2.5 Penampang ekonomis trapezium

  Dalam hal ini maka digunakan persamaan:

  2/3 1/2

1 V = R S (2.20)

  h n Q

  A c = (2.21)

  V Angka kekasaran ditentukan berdasarkan jenis bahan yang digunakan.

  Kemiringan dasar saluran (S) ditentukan berdasarkan topografi (atau disebut S = 0,0006).

  Kemiringan dinding saluran berdasarkan bahan yang digunakan

  2/3 1/2

  1 Luas Penampang : A= (b + mh)h V = R S (2.22) n

  1

  1 m Keliling Basah : P = b + 2h V = R S . (2.23)

  • 2 2/3 1/2

  n 2/3 1/2

  1 Jari jari hidrolis : R h = A/P V = R S (2.24) n

  Tinggi jagaan : FB = 25 % Dimana :

  2 A = Luas penampang saluran (m )

  R = Jari-jari Hidrolis (m)

  S = Kemiringan saluran n = Koefisien kekasaran Manning B = Lebar dasar saluran (m) m = Kemiringan talud y = kedalaman saluran (m) P = keliling basah saluran (m) b.

  Penampang Persegi Pada penampang melintang saluran berbentuk persegi dengan lebar dasar B dan kedalaman air h, luas penampang basah A = B x h dan keliling basah P. Maka bentuk penampang persegi paling ekonomis adalah jika kedalaman setengah dari lebar dasar saluran atau jari-jari hidrauliknya setengah dari kedalaman air.

Gambar 2.6 Penampang Saluran Persegi

  Untuk bentuk penampang persegi yang ekonomis :

  A = B.h (2.25) P = B + 2h (2.26) B

  B (2.27)

  = 2h atau h =

2 A

  Jari-jari hidroulik R :R = (2.27)

  P

Tabel 2.9 Nilai Koefisien Kekasaran Manning (n) JENIS SALURAN NORMAL MAX.

  Saluran tanah dengan permukaan bersih 0,018 0,020 Saluran tanah yang bersih setelah hujan 0,022 0,025 Saluran tanah yang berkerikil dan bersih 0,025 0,030 Saluran tanah yang ditumbuhi rumput pendek 0,027 0,030 Saluran dengan lining beton 0,013 0,015 Gorong-gorong dalam keadaan baik 0,011 0,013 Gorong-gorong yang mengalami belokan 0,013 0,014

  Sumber : (Suripin, 2004)

2.5 Kondisi Ekstrim

  Jika permasalahan drainase tidak biasa terjadi, seperti meluapnya sungai akibat intensitas hujan terlalu tinggi atau faktor alam yang tidak terduga, maka dapat dipertimbangkan untuk menggunakan sistem Polder dan Sumur Resapan pada suatu kawasan tertentu.

2.5.1 Sistem Polder

  Sistem Polder adalah sistem penanganan drainase perkotaan dengan cara mengisolasi daerah yang dilayani (catchment area) terhadap masuknya air dari laut sistem baik berupa limpasan (overflow) maupun aliran di bawah permukaan tanah (gorong-gorong dan rembesan), serta mengendalikan ketinggian muka air banjir di dalam sistem sesuai dengan rencana kebutuhan. (Al falah,2008).

Gambar 2.7 Komponen Sistem Polder

  Keterangan: 1.

  Pintu Air 2. Tanggul 3. Stasiun Pompa 4. Kolam Retensi 5. Jaringan saluran drainase 6. Saluran kolektor

2.5.2 Sumur Resapan

  Sumur resapan merupakan sumur atau lubang pada permukaan tanah yang dibuat untuk menampung air hujan agar dapat meresap ke dalam tanah. Sumur resapan ini kebalikan dari sumur air minum. Sumur resapan merupakan lubang untuk memasukkan air ke dalam tanah, sedangkan sumur air minum berfungsi untuk menaikkan air tanah ke permukaan. Dengan demikian, konstruksi dan kedalamannya berbeda. Sumur resapan digali dengan kedalaman di atas muka air tanah, sedangkan sumur air minum digali lebih dalam lagi atau di bawah muka air tanah.

  Penerapan sumur resapan sangat dianjurkan dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa fungsi sumur resapan bagi kehidupan manusia adalah sebacial pengendali banjir, melindungi dan memperbaiki (konservasi) air tanah, serta menekan laju erosi.

  Sumur resapan dapat dikatakan sebagai suatu rekayasa teknik konservasi air, berupa bangunan yang dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk sumur galian dengan kedalaman tertentu. Fungsi utama dari sumur resapan ini adalah sebagai tempat menampung air hujan dan meresapkannya ke dalam tanah.

  Sementara itu, manfaat yang dapat diperoleh dari pembuatan sumur resapan air di antaranya adalah :

  1. mengurangi aliran permukaan dan mencegah terjadinya genangan air sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya banjir dan erosi,

  2. mempertahankan tinggi muka air tanah dan menambah persediaan air tanah,

  3. mengurangi atau menahan terjadinya kenaikan air laut bagi daerah yang berdekatan dengan wilayah pantai,

  4. mencegah penurunan atau amblasan lahan sebagai akibat pengambilan air tanah yang berlebihan, dan

  5. mengurangi konsentrasi pencemaran air tanah.

Gambar 2.8 Sumur Resapan

2.5.2.1 Pengisian Air Tanah (gorund Water Recharge)

  Untuk menanggulangi defisit air tanah, telah banyak pemikir yang mengajukan konsep pengisian buatan (artificial recharge), misalnya dengan genangan buatan dengan sumber air dari sungai (Tood, 1980); membuat kolam- kolam di sekitar rumah (Searun, 1970); pemanfaatan pipa jarring-jaring drainase yang porus guna meresapkan air hujan di sekitar rumah (Dune dan Leopold, 1978); dan menyebarkan air pada lahan yang luas yang sekaligus untuk mengairi daerah pertanian (Mac Donald, 1969 dalam sunjoto 1988), Cara yang erakir ini telah lama dipraktikan di jawa dan bali yaitu pada lahan pertanian basah (padi sawah).

  Pengisian air tanah buatan ke dalam waduk bawah tanah mempunyai kegunaan sebagai berikut :

1. Menyimpan kelebihan air permukaan di dalam waduk bawah tanah.

  2. Memperbaiki kualitas air tanah local melalui percampuran dengan pengisian air tanah yang berasal dari air hujan.

  3. Pembentukan tabir tekanan ( pressure barriers) untuk mencegah intrusi air asin.

  4. Meningkatkan produksi air tanah, baik untuk air minum maupun unuk keperluan lainnya.

  5. Pengurangan biaya operasi pompa dengan meninggiinya muka air tanah.

  6. Mencegah terjadinya penurunan muka tanah (land subsidence).

2.5.2.2 Sumur Resapan Dangkal

  Sumur resapan, sebenarnya telah banyak digunakan oleh nenek moyang kita, yaitu dengan membuat lubang-lubang galian di kebun halaman serta memanfaatkan sumur-sumur yang tidak terpakai sebagai penampung air hujan.

  Konsep dasar sumur resapan pada hakekatnya adalah member kesempatan dan jalan pada air hujan yang jatuh di atap atau lahan yang kedap air untuk meresap kedalam tanah dengan cara konvensional dimana air hujan dibuang ke sungai diteruskan ke laut, dengan caara seperti air dapat mengalirkan air hujan kedalam sumur-sumur resapan ini merupakan sumur kosong dengan kapasitas tampingan yang cukup sebelum air meresap ke dalam tanah.

  Berdasarkan konsep tersebut, maka ukuran atau dimensi sumur yang diperlukan untuk suatu lahan atau kapling sangat bergantung dari beberapa factor berikut: 1.

  Luas permukaan penutupan, yaiu lahan yang airnya akan ditampung dalam sumur resapan, meliputi luas atap lapangan parker dan perkerasan- perkerasan lain.

  2. Karakteristik hujan, meliputi intensitas hujan, lama hujan, selang waktu hujan. Secara umum dapat dikatakan bahwa makin tinggi hujan, makin lama berlangsungnya hujan memerlukan volume sumur resapan yang semakin besar. Sementara selang waktu hujan yang besar dapat mengurangi volume sumur yang diperlukan.

  3. Koefisien permeabilitas tanah, yaitu kemampuan tanah dalam melewatkan air per satuan waktu. Tanah berpasir mempunyai koefisien permeabilitas lebih tinggi dibandingkan tanah berlempung.

  4. Tinggi muka air tanah,. Pada kondisi muka air tanah yang dalam, sumur resapan perlu dibuat secara besar-besaran karena tanah benar-benar memerlukan pengisian air melalui sumur-sumur resapan. Sebaliknaya pada lahan yang muka airnya dangkal, pembuatan sumur resapan kurang efektif, terutama pada daerah pasang surut atau daerah rawa dimana air tanahnya sangat dangkal.

  Ada beberapa metode untuk pendimensian sumur resapan, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut: 1)

  Sunjoto (1988) Secara teoritis, volume dan efisiensi sumur resapan dapat dihitung berdasarkan keseimbangan air yang masuk ke dalam sumur dan air yang meresap ke dalam tanah (Sunjoto, 1988) dan dapat dituliskan sebagai berikut: Dimana: H = tinggi muka air dalam sumur (m) F = adalah factor geometric (m) Q = debit air masuk (m

  3

  /dt) T = waktu pengaliran (detik) K = koefisien permeabilitas tanah (m/dt) R = jari-jari sumur (m)

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air - Analisis Cemaran NitratDan Nitrit Pada Air Sungai Deli Secara Spektrofotometri Visibel

0 0 18

BAB II GAMBARAN UMUM OBJEK LOKASI PKLM - Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan Pajak Hiburan Dalam Rangka Meningkatkan Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kota Binjai

0 0 24

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan Pajak Hiburan Dalam Rangka Meningkatkan Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kota Binjai

0 0 16

BAB II PRINSIP KEHATI – HATIAN DALAM PERATURAN PENGADAAN BARANG DAN JASA DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA III (PERSERO) A. Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum 1. Kedudukan PT Sebagai Badan Hukum Mandiri - Tinjauan Yuridis Terhadap Prinsip Kehati-hatian Direk

0 0 66

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang - Tinjauan Yuridis Terhadap Prinsip Kehati-hatian Direksi Dalam Perjanjian Kerja Sama Untuk Proses Pengadaan Barang Dan Jasa (Studi Penelitian PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) Medan)

0 1 31

BAB II PENGERTIAN PERKAWINAN DAN PERANAN WALI DALAM PERKAWINAN DAN WALI ADHAL A. Pengertian Perkawinan dan Ketentuan Hukumnya - Penyelesaian Sengketawali Adhal Dan Kaitannya Dengan Keabsahan Perkawinan (Studi Terhadap Penetapan No. 215/PDT.P/2011/P.A.Jaka

0 0 33

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penyelesaian Sengketawali Adhal Dan Kaitannya Dengan Keabsahan Perkawinan (Studi Terhadap Penetapan No. 215/PDT.P/2011/P.A.Jakarta Selatan)

0 0 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan - Corporate Social Responsibility (CSR) - Praktik Tanggung Jawab Sosial Dan Pemberdayaan Usaha Kecil Menengah Studi Pada PT Perkebunan Nusantara IV Unit Usaha Kebun Adolina, Kabupaten Deli Serd

0 0 21

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Praktik Tanggung Jawab Sosial Dan Pemberdayaan Usaha Kecil Menengah Studi Pada PT Perkebunan Nusantara IV Unit Usaha Kebun Adolina, Kabupaten Deli Serdang

0 1 10

Praktik Tanggung Jawab Sosial Dan Pemberdayaan Usaha Kecil Menengah Studi Pada PT Perkebunan Nusantara IV Unit Usaha Kebun Adolina, Kabupaten Deli Serdang

0 0 15