BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Perhitungan Debit dan Luas Genangan Banjir Sungai Babura

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 SIKLUS DAN PROSES HIDROLOGI

  Kajian Siklus Hidrologi sangat bermanfaat dalam memahami konsep keseimbangan air dalam skala global hingga daerah aliran sungai (DAS) atau bahkan dalam skala lahan. Dalam sub bagian ini akan dijelaskan definisi dan ilustrasi dari siklus hidrologi, kemudian akan dilanjutkan hingga pembahasan proses yang terjadi selama siklus tersebut berlangsung. Tujuan dari kajian ini adalah memberikan pemahaman kualitatif dari proses hidrologi fisis yang terjadi pada sistem global hingga terutama DAS. Metode kuantitatif dan teknik matematik yang terkait dengan pengumpulan, penggunaan data yang benar dan interpretasi data klimatologi dan hidrologi akan dijelaskan lebih jauh pada sub bagian selanjutnya.

2.1.1 SIKLUS HIDROLOGI

  Siklus Hidrologi adalah konsep dasar dalam kajian hidrologi dan merupakan konsep keseimbangan atau neraca air. Konsep ini mengenal empat fase perubahan zat cair, yaitu penguapan, pencairan, pembekuan, dan penyubliman atau dalam istilah hidrologi mencakup evaporasi dan transpirasi, presipitasi, salju, dan lelehan salju atau kristal es. Tenaga yang digunakan untuk berubah dari fase cair ke gas (evaporasi) dan menggerakkannya ke atmosfer adalah energi radiasi surya.

  Proses berikutnya adalah pendinginan, kondensasi dan presipitasi; selanjutnya akan diikuti oleh infiltrasi, limpasan permukaan, perkolasi dan kembali ke laut atau badan air yang lain. Proses sirkulasi dan perubahan fase zat cair tersebut dikenal sebagai Siklus Hidrologi.

  Selama siklus atau sub siklus hidrologi (Gambar 2.1) maka air akan

  mempengaruhi kondisi lingkungan baik secara fisik, kimia ataupun biologi. Efek fisik akan terlihat selama proses gerakan air sehingga menimbulkan erosi pada bagian hulu dan sedimentasi pada bagian hilir. Efek kimia terlihat setelah proses kimiawi antara air yang mengandung bahan larutan tertentu dengan kimia batuan sehingga batuan tersebut terlapukkan, sedangkan efek biologi terutama sebagai media transport bagi perpindahan binatang karang serta media bagi pertumbuhan tanaman.

  Gambar.2.1 Proses Siklus Hidrologi

2.2 Sungai 2.2.1. Pengertian Sungai.

  Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2011, sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi garis sempadan di sisi kiri dan kanannya. Sungai dapat didefinisikan sebagai saluran di permukaan bumi yang terbentuk secara alamiah yang melalui saluran air dari darat mengalir ke laut. Di dalam Bahasa Indonesia, kita hanya mengenal satu kata “sungai”.

  Sedangkan di dalam Bahasa Inggris dikenal kata “stream” dan “river”. Kata “stream” dipergunakan untuk menyebutkan sungai kecil, sedangkan “river” untuk menyebutkan sungai besar. Permukaan bumi secara alami mengalami erosi begitu muncul ke permukaan. Salah satu faktor penting penyebab erosi yang bekerja secara terus menerus untuk mengikis permukaan bumi, hingga sama dengan permukaan laut adalah air. Air adalah benda cair yang senantiasa bergerak ke arah tempat yang lebih rendah yang dipengaruhi oleh gradien sungai dan gaya gravitasi bumi. Menurut Sandy (1985), dalam pergerakannya air selain melarutkan sesuatu juga mengikis bumi sehingga akhirnya terbentuklah cekungan dimana air tertampung melalui saluran kecil atau besar yang disebut dengan istilah alur sungai.

  Sebagian besar air hujan yang turun ke permukaan tanah mengalir ke tempat tempat yang lebih rendah. Setelah mengalami bermacam macam perlawanan akibat gaya berat, air hujan akhirnya melimpah ke danau atau ke laut. Suatu alur yang panjang di atas permukaan bumi tempat mengalirnya air yang berasal dari hujan disebut alur sungai. Dan perpaduan antara alur sungai dan aliran air didalamnya disebut sungai. Suatu kesatuan wilayah tata air yang terbentuk secara alamiah, dimana air akan mengalir melalui sungai dan anak sungai disebut daerah aliran sungai (DAS). Dalam istilah bahasa inggris disebut Catchment Area, Watershed, atau River Basin.

  Fungsi pokok sungai adalah untuk mengalirkan kelebihan air dari permukaan tanah, sedangkan fungsi lainnya adalah dapat digunakan untuk kesejahteraan manusia, seperti sumber air minum, PLTA, pengairan, transportasi air, untuk meninggikan tanah yang rendah dan mengatur suhu tanah. Menurut peraturan perundangan yang ada, fungsi sungai adalah:

  

a. Sungai sebagai sumber air yang merupakan salah satu sumber daya alam

yang mempunyai fungsi serba guna bagi kehidupan manusia.

  

b. Sungai harus dilindungi dan dijaga kelestariannya, ditingkatkan fungsi dan

pemanfaatannya, dan dikendalikan daya rusaknya terhadap lingkungan.

2.2.2 Bentuk bentuk Daerah Aliran Sungai

  Bentuk bentuk DAS dapat dibagi dalam empat, antara lain:

  A. Bentuk memanjang/ bulu burung

  B. Bentuk radial

  C. Bentuk paralel

  D. Bentuk komplek

A. Bentuk memanjang/ bulu burung

  Biasanya induk sungainya akan memanjang dengan anak anak sungai langsung mengalir ke induk sungai. Kadang kadang berbentuk seperti bulu burung. Bentuk ini biasanya akan menyebabkan besar aliran banjir relatif lebih kecil karena perjalanan banjir dari anak sungai itu berbeda beda, dan banjir berlangsung agak lama. Bentuk dari DAS ini ditunjukkan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 DAS bentuk memanjang

B. Bentuk radial

  Bentuk DAS ini seolah olah memusat pada satu titik sehingga menggambarkan adanya bentuk radial, kadang kadang gambaran tersebut memberi bentuk kipas atau lingkaran. Sebagai akibat dari bentuk tersebut maka waktu yang diperlukan aliran yang datang dari segala penjuru anak sungai memerlukan waktu yang hampir bersamaan. Sebagai contoh DAS Bengawan Solo seperti pada gambar 2.3.

Gambar 2.3 DAS bentuk radial

  C. Bentuk paralel

  DAS ini dibentuk oleh dua jalur DAS yang bersatu dibagian hilir. Apabila terjadi banjir di daerah hilir biasanya terjadi setelah dibawah titik pertemuan.

  Sebagai contoh adalah banjir di Batang Hari dibawah pertemuan Batang Tembesi seperti pada ganbar 2.4.

Gambar 2.4 DAS bentuk parallel

  D. Bentuk komplek DAS Bentuk komplek merupakan bentuk kejadian gabungan dari

  beberapa bentuk DAS yang dijelaskan diatas, sebagai contoh pada Gambar 2.5

Gambar 2.5 DAS bentuk komplek

2.3 Daerah Aliran Sungai (DAS)

2.3.1 Pengertian DAS

  Daerah aliran sungai (DAS) adalah daerah tangkapan air yang dihulu dibatasi oleh punggung–punggung gunung atau bukit, dimana air hujan yang jatuh di daerah tersebut dan air tanahnya akan mengalir menuju sungai utama pada suatu titik/stasiun yang ditinjau (Triatmodjo,2008). Undang-undang No.7 tahun 2004 pasal 1 menyatakan bahwa DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

  DAS biasanya dibagi menjadi tiga bagian yaitu daerah hulu, tengah, dan hilir. Fungsi suatu DAS merupakan suatu respon gabungan yang dilakukan oleh seluruh faktor alamiah dan buatan manusia dan yang ada pada DAS tersebut. Sebuah DAS yang besar dapat dibagi menjadi SubDAS-SubDAS yang lebih kecil. Unit spasial yang lebih kecil dapat dibentuk pada SubDAS untuk melakukan analisa spasial yang lebih akurat berdasarkan jenis tanah dan penggunaan lahannya.

  Faktor utama kerusakan DAS ditandai dengan menurunnya kemampuan penyimpanan yang menyebabkan tingginya laju erosi dan debit banjir sungai.

  Faktor utama penyebab adalah: 1) hilang/rusaknya penutupan vegetasi permanen/hutan,

  2) penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya, dan 3) penerapan teknologi pengelolaan lahan/pengelolaan DAS yang tidak tepat (Sinukaban, 2007).

2.4 Banjir

2.4.1 Pengertian Banjir

  Dalam ilmu geografi istilah “banjir”tidak dapat di definisikan dengan memuaskan. Ada suatu pengertian tentang banjir yang berarti peristiwa meluapnya air sungai melampaui tanggulnya sehingga menggenangi daratan disampingnya. Pengertian ini tidak mempersalahkan apakah banjir adalah suatu bencana atau bukan. Pengertian ini memandang “banjir” sebagai suatau istilah yang bermakna sosial-budaya, karena suatu tempat dikatakan dilanda banjir jika tempat itu adalah daerah budi daya manusia yang tidak semestinya dilanda banjir, jika tempat itu adalah suatu hutan atau suatu permukiman yang terdiri atas rumah- rumah panggung yang dibuat untuk menghindari naiknya permukaan setiap musim, maka itu tidak dikatakan banjir oleh mereka. Berdasarkan uraian tersebut dapat dipahami bahwa istilah banjir itu tidak dipakai secara konsisten. Terkadang disamakan dengan “genangan”. Padahal tidak semua genangan disebabkan oleh meluapnya sungai, misalnya genangan di ruas jalan yang cekung. Namun yang jelas kata “banjir” akan memunculkan kesan”genangan” dipikiran kita.

  

Banjir adalah setiap aliran yang relatif tinggi yang melampaui tanggul

  sungai sehingga aliran air menyebar ke dataran sungai dan menimbulkan masalah pada manusia (Chow, 1970). Definisi di atas menjelaskan bahwa banjir terjadi apabila kapasitas alir sungai telah terlampaui dan air telah menyebar ke dataran banjir, bahkan lebih jauh yang mengakibatkan terjadinya genangan. Genangan air tidak dikatakan banjir apabila tidak menimbulkan masalah bagi manusia yang tinggal pada daerah genangan tersebut. Menurut Hasibuan (2004), banjir adalah jumlah debit air yang melebihi kapasitas pengaliran air tertentu, ataupun meluapnya aliran air pada palung sungai atau saluran sehingga air melimpah dari kiri kanan tanggul sungai atau saluran.

  Dalam kepentingan yang lebih teknis, banjir dapat di sebut sebagai genangan air yang terjadi di suatu lokasi yang diakibatkan oleh : (1) Perubahan tata guna lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS); (2) Pembuangan sampah; (3) Erosi dan sedimentasi; (4) Kawasan kumuh sepanjang jalur drainase; (5) Perencanaan sistem pengendalian banjir yang tidak tepat; (6) Curah hujan yang tinggi; (7) Pengaruh fisiografi/geofisik sungai; (8) Kapasitas sungai dan drainase yang tidak memadai; (9) Pengaruh air pasang; (10) Penurunan tanah dan rob (genangan akibat pasang surut air laut); (11) Drainase lahan; (12) Bendung dan bangunan air; dan (13) Kerusakan bangunan pengendali banjir. (Kodoatie, 2002),

  Banjir merupakan fenomena alam yang biasa terjadi di suatu kawasan yang banyak dialiri oleh aliran sungai. Secara sederhana banjir dapat didefinisikan sebagainya hadirnya air di suatu kawasan luas sehingga menutupi permukaan bumi kawasan tersebut.

2.4.2 Daerah Rawan Banjir

  Untuk mereduksi kerugian akibat banjir, maka lebih dulu harus diketahui secara pasti daerah rawan banjir. Daerah rawan banjir dapat dikenali berdasarkan karakter wilayah banjir yang dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1) limpasan dari tepi sungai,

  2) wilayah cekungan, 3) banjir akibat pasang surut

  Menurut Peraturan Menteri PU No. 63/PRT/1993 tentang garis sempadan sungai, daerah manfaat sungai, daerah penguasaan sungai dan bekas sungai, daerah penguasaan sungai adalah dataran banjir, daerah retensi, bantaran atau daerah sempadan. Elevasi dan debit banjir daerah rawan banjir sekurang- kurangnya ditentukan berdasarkan analisis perioda ulang 50 tahunan.

  Tingkat resiko di daerah rawan banjir bervariasi tergantung ketinggian permukaan tanah setempat. Dengan menggunakan peta kontur ketinggian permukaan tanah serta melalui analisis hidrologi dan hidrolika dapat ditentukan pembagian dataran banjir menurut tingkat resiko terhadap banjir. Pembagian daerah rawan banjir digunakan sebagai bahan acuan penataan ruang wilayah perkotaan sehingga diketahui resiko banjir yang akan terjadi. Dengan mengikuti pemetaan daerah rawan banjir yang telah diperbaiki maka resiko terjadi bencana/kerusakan/kerugian akibat genangan banjir yang diderita oleh masyarakat menjadi minimal.

2.4.3 Tingkat Bahaya Banjir

  Banjir terjadi disepanjang sungai dan anak-anak sungainya mampu membanjiri wilayah luas dan mendorong peluapan air di dataran banjirnya (Flood

  

plain ). Dataran banjir merupakan daerah rawan banjir yang dapat diklarifikasi

  berdasarkan kala ulang banjirnya. Dataran banjir disekitar bantaran sungai yang masuk dalam daerah genangan pada debit banjir tahunan Q

  1 merupakan daerah

  rawan banjir sangat tinggi. Tabel 2.1 menjelaskan klasifikasi ini yang akan diadopsi dalam studi ini.

Tabel 2.1 Tingkat Bahaya Banjir

  Kelas Kala Ulang Daerah Rawan Banjir Debit Banjir

  1 Q

  50 – Q 100 Rendah

  2 Q

  30 – Q

  50 Sedang

  3 Q

  10 – Q

  30 Tinggi

  4 Q

  1 – Q

  10 Sangat Tinggi

Sumber: Pedoman Konstruksi dan Bangunan, Dep. PU dalam Direktorat Pengairan dan Irigasi

Bappenas 2006

2.5 Analisis Curah Hujan Kawasan

2.5.1 Metode Aritmatik ( Aljabar)

  Metode ini merupakan perhitungan curah hujan wilayah dengan rata-rata aljabar curah hujan di dalam dan sekitar wilayah yang bersangkutan (2.1) dimana, R: Curah hujan rata-rata wilayah atau daerah, R i : Curah hujan di stasiun

  .

  pengamatan ke-i dan n: Jumlah stasiun pengamatan Hasil perhitungan yang diperoleh dengan cara aritmatik ini hampir sama dengan cara lain apabila jumlah stasiun pengamatan cukup banyak dan tersebar merata di seluruh wilayah seperti ditunjukkan pada Gambar 2.6. Keuntungan perhitungan dengan cara ini adalah lebih objektif.

Gambar 2.6 Aljabar

2.5.2 Metode Thiessen

  Jika titik-titik di daerah pengamatan di dalam daerah itu tidak tersebar merata, seperti contoh pada Gambar 2.7 maka cara perhitungan curah hujan dilakukan dengan memperhitungkan daerah pengaruh tiap titik pengamatan.

   (2.2)

  dimana, R: Curah hujan daerah, R n : Curah hujan di setiap stasiun pengamatan dan A n : Luas daerah yang mewakili tiap stasiun pengamatan.

Gambar 2.7 Polygon Thiessen

2.5.3 Metode Isohyet

  Peta isohyet digambar pada peta topografi dengan perbedaan 10 mm – 20 mm berdasarkan data curah hujan pada stasiun pengamatan di dalam dan di luar daerah yang dimaksud. Luas bagian antara dua garis isohyet yang berdekatan diukur dengan Planimeter seperti pada Gambar 2.8. Curah hujan daerah itu dapat dihitung menurut persamaan:

  (2.3) Ini adalah cara yang paling teliti untuk mendapatkan hujan areal rata-rata, tetapi memerlukan jaringan pos penakar yang relatif lebih padat yang memungkinkan untuk membuat isohyet.

Gambar 2.8 Metode Isohyet

2.6 Analisis Frekuensi

  Analisis frekuensi adalah prosedur memperkirakan frekuensi suatu kejadian pada masa lalu atau masa yang akan datang. Prosedur tersebut dapat digunakan menentukan hujan rancangan dalam berbagai kala ulang berdasarkan distribusi yang paling sesuai antara distribusi hujan secara teoritik dengan distribusi hujan secara empirik. Hujan rancangan ini digunakan untuk menentukan intensitas hujan yang diperlukan dalam perhitungan debit banjir menggunakan metode rasional. Dalam penelitian ini dihitung hujan harian rancangan dengan kala ulang 2, 3, 5, 10, 25, 50, dan 100 tahun Dalam ilmu statistik dikenal beberapa macam distribusi frekuensi metode yang dipakai dalam analisis frekuensi data curah hujan harian maksimum adalah sebagai berikut:

  1. Distribusi Gumbel

  3. Distribusi Normal

  2. Distribusi Log Pearson Tipe III

  4. Dostribusi Log Normal Pemilihan metode perhitungan hujan rancangan ditetapkan berdasarkan parameter dasar statistiknya. Berikut merupakan rumus-rumus yang dipakai dalam perhitungan parameter dasar statistik tersebut :

  Nilai Rata – rata n

  X ii = 1 X = n

  dimana :

  X

  = nilai rata-rata Xi = nilai varian ke i n = banyaknya data

  Standar Deviasi n 2 i = l

  X X   i

  • Sd = 1 - n

  dimana : Sd = standar deviasi X = nilai rata-rata

  Xi = nilai varian ke i n = banyaknya data

  2.6.1 Distribusi Gumbel

  Menurut Gumbel curah hujan untuk periode ulang tertentu (PUH) tertentu (Tr) dihitung berdasarkan persamaan berikut:

   X = + S Tr

  (2.4)

   Y = -L Tr n

  (2.5) n = ∑ ( ) (2.6)

   S

  dimana, Y : Reduced variate, S: Standar deviasi data hujan, S : Reduced standar

  Tr n deviation yang juga tergantung pada jumlah sampel/data, T r : Fungsi waktu balik (tahun) dan Y n : Reduced mean yang tergantung jumlah sampel/data n.

  2.6.2 Distribusi Log Pearson Tipe III

  Metode ini telah mengembangkan serangkaian fungsi probabilitas yang dapat dipakai untuk hampir semua distribusi probabilitas empiris. Tiga parameter penting dalam Metode Log Pearson Tipe III, yaitu :

  1. Harga rata-rata (R)

  2. Simpangan baku (S)

  3. Koefisien kemencengan (G)

   = Log R (2.7) ∑

  Log =

  (2.8)

  ( ) ∑

  S =

  (2.9)

  ( ) ∑

   G =

  (2.10)

  ( ) ( ) ( ) Log = Log + KS T

  (2.11) dimana, R: Curah hujan rencana (mm), G: Koefisien kemencengan, S: Simpangan baku dan K: Variabel standar untuk R yang besarnya tergantung dari nilai G.

  2.6.3 Distribusi Normal

  Distribusi normal disebut juga distribusi Gauss. Dalam pemakaian praktis umumnya digunakan persamaan sebagai berikut:

   T = + K T S (2.12)

  (2.13)

   K T =

  dimana, T : Perkiraan nilai yang diharapkan akan terjadi dengan periode ulang T

  • – tahunan, : Nilai rata-rata hitung sampel, dan K T : Faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau yang digunakan periode ulang dan tipe model matematik distribusi peluang yang digunakan untuk analisis peluang.

  2.6.4 Metode Distribusi Log Normal

Logn x T  x k n (2.14)

  dimana, T : Intensitas curah hujan dengan periode ulang T tahun,:  x = Harga rata rata dari populasi x, K: Faktor frekuensi dan n= Standar deviasi dari populasi x.

  

2.7 Uji kecocokan ( Goodnes of fittest test)

  

Diperlukan penguji parameter untuk menguji kecocokan (the goodness of

fittest test ) distribusi frekuensi sampel data terhadap fungsi distribusi peluang

  yang diperkirakan dapat menggambarkan atau mewakili distribusi frekuensi tersebut. Di dalam penelitian ini digunakan Metode Smirnov-Kolmogorof (secara analitis). Pengujian distribusi probablitas dengan Metode Smirnov-Kolmograf dilakukan dengan langkah-langkah perhitungan sebagai berikut:

  1. Urutkan data (X i ) dari besar ke kecil atau sebaliknya

  2. Tentukan peluang empiris masing-masing data yang sudah diurut tersebut (X i ) dengan rumus tertentu, rumus Weibull misalnya,

  ( ) =

  (2.15) dimana, n: Jumlah data dan i: Nomor urut data setelah diurut dari besar ke kecil atau sebaliknya.

  3. Tentukan peluang teoritis masing-masing data yang sudah di urut tersebut

  

P’(X i ) berdasarkan persamaan distribusi probablitas yang dipilih (Gumbel,

Normal, dan sebagainya).

  4. Hitung selisih ( i ) antara peluang empiris dan teoritis untuk setiap data yang ∆P sudah diurut:

  = ( ) ( ) (2.16)

  ∆ −

  5. Tentukan apakah i < ∆P ∆P kritis, jika “tidak” artinya Distribusi Probablitas yang dipilih tidak dapat dierima, demikian sebaliknya.

  6.

  ∆P kritis lihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Tabel Nilai

  0,51 0,37 0,30 0,26 0,24 0,22 0,20 0,19 0,18 0,17

  (2.17)

  =

  Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu dimana air tersebut terkonsentrasi, Loebis (1992). Dalam penelitian ini intensitas hujan diturunkan dari data curah hujan harian. Menurut Loebis (1992) intensitas hujan (mm/jam) dapat diturunkan dari data curah hujan harian (mm) empirik menggunakan metode mononobe sebagai berikut:

  1,63 .

  1,36 .

  

1,22

.

  N > 50 107 .

  0,67 0,49 0,40 0,36 0,32 0,29 0,27 0,25 0,24 0,23

  0,56 0,41 0,34 0,29 0,27 0,24 0,23 0,21 0,20 0,19

  50 0,45 0,32 0,27 0,23 0,21 0,19 0,18 0,17 0,16 0,15

  ∆ Kritis Smirnov-Kolmogrov (Kamiana, 2011)

  45

  40

  35

  30

  25

  20

  15

  10

  5

  N (derajat kepercayaan) 0,20 0,10 0,05 0,01

2.8 Intensitas Curah Hujan

  dimana, I: Intensitas curah hujan (mm/jam, t: Lamanya curah hujan (jam) dan R24 : Curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm).

2.9 Waktu Konsentrasi

  Waktu konsentrasi suatu DAS adalah waktu yang diperlukan oleh air hujan yang jatuh untuk mengalir dari titik terjauh sampai ketempat keluar DAS (Titik Kontrol) setelah tanah menjadi jenuh dan depresi-depresi kecil terpenuhi. Salah satu rumus untuk memperkirakan waktu konsentrasi (t ) adalah rumus yang

  c dikembangkan oleh Kirpich (1940), yang dapat ditulis sebagai berikut. t = 0,87 x L 21000 x S x 0,385 c

  (2.18) dimana, L: Panjang saluran utama dari hulu sampai penguras dalam km dan

  S :Kemiringan rata-rata saluran utama dalam m/m.

  Waktu konsentrasi dapat juga dihitung dengan membedakan menjadi dua komponen, yaitu:

  1. Inlet time (t ) yakni waktu yang diperlukan air untuk mengalir di permukaan lahan sampai saluran terdekat.

  2. Conduit time (t d ) yakni waktu perjalanan dari pertama masuk sampai titik keluaran.

   t = t + t c d (2.19)

  dimana, t = 23 x 3,28 x L x nS (menit) dan t d = L s

   60 V (menit), n: Angka kekasaran Manning, L s :Panjang lintasan aliran di dalam salura/sungai (m).

2.10 Analisis Debit Banjir

  2.10.1 Debit Banjir

  Daerah dataran banjir diprediksi berdasarkan debit banjir dengan kala

  100

  ulang tertentu. Debit banjir dengan kala ulang 100 tahun Q bermakna banjir yang memiliki probabilitas kejadian 0.01 dalam setahun yang akan menggenangi

  100

  daerah dataran banjir. Daerah dataran banjir Q tentu jauh lebih besar dari

  10

  daerah dataran banjir Q . Mengingat banyak sungai di Indonesia yang tidak dilengkapi dengan alat pengukur debit, maka debit banjir biasanya dihitung berdasarkan curah hujan dengan menggunakan metode Gumbel, metode Log Pearson III, ataupun metode Haspers, untuk pemodelan steady flow. Dan dengan metode hidrograf sintetis (Nakayasu, Snyder, dll) untuk pemodelan unsteady

  flow .

  2.10.2 Metode Perhitungan Debit Banjir

   Metode Rasional Besarnya debit rencana dihitung dengan memakai metode Rasional kalau daerah alirannya kurang dari 80 Ha. Untuk daerah yang alirannya lebih luas sampai dengan 5000 Ha, dapat digunakan metode rasional yang diubah. Untuk luas daerah yang lebih dari 5000 Ha, digunakan hidrograf satuan atau metode rasional yang diubah. Rumus metode rasional:

  Q = f x C x I x A (2.20)

  dimana, C: Koefisien pengaliran, I: Intensitas hujan selama waktu konsentrasi (mm/jam),

2 A : Luas daerah aliran (km ) dan f: Faktor konversi = 0,278.

   Metode Hidrograf Banjir Kebanyakan daerah aliran sungai sebagian besar curah hujan akan menjadi limpasan langsung. Aliran semacam ini dapat menghasilkan puncak banjir yang tinggi. Air yang membentuk aliran sungai dapat mencapai saluran pengaliran melalui berbagai cara, di mulai dari titik dimana air jatuh ke bumi sebagai hujan. Sebagian air tersebut mengalir diatas permukaan tanah, dan mencapai sungai tak lama setelah kejadiannya sebagai hujan. Sebagian lain meresap melalui permukaan tanah dan mengalir dibawah permukaan tanah menuju sungai. Dalam penelitian hidologi yang melibatkan besarnya laju aliran pada sungai, perlu dibedakan antara komponen-komponen ini dengan aliran totalnya Dari sudut limpasan langsung semua hujan yang tidak memberikan sumbangan terhadap terjadinya banjir dipandang sebagai kehilangan. Kehilangan tersebut terdiri atas:

  1. Air hujan yang tersangkut didahan pohon dan tumbuhan (interception)

  2. Tampungan di cekungan (depression storage)

  3. Pengisian lengas tanah (replenisment of soil moisture)

  4. Pengisian air tanah (recharge) dan

  5. Evapotranspirasi Jadi hidrograf tersebut didefinisikan sebagai hubungan antara salah satu unsur aliran terhadap waktu. Berdasarkan definisi tersebut dikenal ada 2 macam hidrograf, yaitu hidrograf muka air dan hidrograf debit. Hidrograf muka air tidak lain adalah data atau garafik hasil rekaman AWLR (Automatic Water Level

  

Recorder ). Sedangkan hidrograf debit, yang dalam pengertian sehari hari disebut

  hidrograf, diperoleh dari hidrograf muka air dan lengkung debit. Hidrograf tersusun atas dua komponen, yaitu aliran permukaan, yang berasal dari aliran langsung air hujan, dan aliran dasar (base flow). Aliran dasar berasal dari air tanah yang pada umumnya tidak memberikan respon yang cepat terhadap hujan.

  A. Hidrograf Satuan

  Hidrograf satuan adalah hidrograf limpasan langsung yang terjadi merata diseluruh DAS dan dengan intensitas tetap selama satu satuan waktu yang ditetapkan, yang disebut hujan satuan. Hujan satuan adalah curah hujan yang lamanya sedimikian rupa sehingga lamanya limpasan permukaan tidak menjadi pendek, meskipun curah hujan itu menjadi pendek. Jadi hujan satuan yang dipilih adalah yang lamanya sama atau lebih pendek dari periode naik hidrograf (waktu dari titik permulaan aliran permukaan sampai puncak). Periode limpasan dari hujan satuan semuanya adalah kira kira sama dan tidak ada sangkut pautnya dengan intensitas hujan.

  B. Hidrograf satuan sintetik

  Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa untuk menurunkan hidrograf satuan diperlukan rekaman data limpasan dan data hujan, padahal sering kita jumpai ada beberapa DAS tidak memiliki sama sekali catatan limpasan. Dalam kasus ini, hidrograf satuan diturunkan berdasarkan data-data dari sungai pada DAS yang sama atau DAS terdekat yang mempunyai karakteristik yang sama. Karakteristik atau parameter daerah pengaliran tersebut terlebih dahulu perlu dicari waktu, lebar dasar, luas, kemiringan, panjang, koefisien limpasan dan lain sebagainya. Hasil dari penurunan hidrograf satuan ini dinamakan hidrograf satuan sintetik (HSS). Ada tiga jenis hidrograf satuan sintetis, yaitu:

  1. Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu

  2. Hidrograf Satuan Sintetik Snyder

  3. Hidrograf Satuan Sintetik Gama I

  4. Hidrograf Satuan Sintetik SCS Dalam Penelitian ini hanya akan dibahas mengenai Hidrograf Satuan

  Sintetik Nakayasu. Hidrograf tersebut penulis rasa cocok dengan kedaan lokasi studi yaitu DAS Deli dan DAS Belawan khususnya untuk sungai-sungai utama pada kedua DAS tersebut yaitu Sungai Deli dan Sungai Belawan

C. Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu

  Stasiun pengukur debit dan tinggi muka air sungai (stasiun hidrometri) pada umumnya hanya dipasang di tempat tempat tertentu yang dipandang oleh pengelolanya mempunyai arti yang cukup penting. Hal tersebut disebabkan karena tidak mungkin memasang stasiun hidrometri disembarang tempat dan biaya pemasangannya juga tidak murah. Namun masalah yang banyak timbul adalah ketidak-cocokan antara rencana pengembangan jaringan stasiun hidrometri. Pengembangan suatu daerah sering tidak dapat diketahui sebelumnya, atau kalau rencana itu diketahui tidak selekasnya diikuti dengan keiatan pengumpulan data. Hingga pada saat dibutuhkan untuk analisis data tidak tersedia, atau tersedia dalam jangka waktu yang sangat pendek.

  Untuk mengatasi hal ini sebenarnya di Indonesia telah dikenal dan banyak digunakan cara cara untuk memperkirakan banjir rancangan yang didasarkan atas persamaan rasional. Cara ini mengandalkan data curah hujan sebagai dasar hitungan. Namun dari penelitian terbukti bahwa cara cara seperti Melchior, Der Weduwen dan Haspers mempunyai penyimpangan yang berkisar antara 2% - 80%, dengan penyimpangan rata rata berturut turut sebesar 89%, 85% dan 56%.

  Selain itu tercatat pula bahwa 77% dari kasus yang ditinjau emnunjukkan perkiraan lebih (overestimated). Cara- cara rasional untuk memperkirakan banjir yang mendapatkan kritikan tajam, karena pemakaian koefisien limpasan (runoff

  

coefficient) mengundang subjektivitas yang sangat besar dan merupakan salah

  satu faktor penyebab penyimpangannya. Penyebab lainnya adalah koefisien reduksi (reduction coefficient). Persamaan rasional hanya dianjurkan untuk DAS kecil kurang dari 80 hektar atau untuk DAS yang memiliki unsur unsur penyusun yang seragam.

  Dalam perancangan diharapkan perkiraan banjir rancangan yang menyimpang sekecil mungkin. Sudah barang tentu perkiraan yang tepat tidak akan dapat diharapkan, karena proses pengalihragaman hujan menjadi banjir merupakan proses alam yang sangat kompleks yang tidak dapat diungkapkan dengan persamaan matematik secara tuntas. Cara cara lain yang lebih baik hampir seluruhnya menuntut ketersediaan data pengukuran sungai yang memadai.

  Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu ini merupakan salah satu upaya untuk mengatasi kesulitan kesulitan tersebut. Cara ini dapat digunakan disembarang lokasi yang dikehendaki dalam suatu DAS tanpa tergantung ada atau tidaknya data pengukuran sungai. Akan tetapi, perlu ditegaskan bahwa kegiatan hidrometrik masih tetap merupakan pilihan utama, sehingga walaupun telah ditemukan cara pendekatan yang akan banyak mengatasi masalah kelangkaan data, namun prioritas pengukuran sungai ditempat mutlak masih diperlukan. Hidrograf satuan ini secara sederhana dapat disajikan sebagai berikut ini (Gambar 2.9)

Gambar 2.9 Kurva Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu

  Nakayasu (1950) telah menyelidiki hidrograf satuan di Jepang dan memberikan seperangkat persamaan untuk membentuk suatu hidrograf satuan sebagai berikut:

  1. Waktu kelambatan (t g ), rumusnya:

  untuk L > 15 : = 0,4 + 0, 058

   (2.21)

  , untuk L < 15 : = 0,21 (2.22)

  2. Waktu pucak dan debit puncak hidrograf satuan sintetis dirumuskan sebagai berikut:

  • = 0,8

   (2.23)

  3. Waktu saat debit sama dengan 0,3 kali debit puncak:

  = ,

  (2.24)

  4. Waktu puncak

   tp = + 0,8

  (2.25)

  5. Debit puncak hidrograf satuan sintetis dirumuskan sebagai berikut:

  = (2.26)

, ( , )

,

  6. Bagian lengkung naik (0 < t < tp)

  , = (2.27)

  7. Bagian lengkung turun  Jika < < , ,

  = 0,3 (2.28) > >

   Jika , ,

, ,

,

  = 0,3 (2.29)

   Jika > 1,5

  ,

, ,

,

  (2.30)

  = 0,3 .

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Tentang Harga 2.1.1Pengertian Harga - Pengaruh faktor harga, rasa dan kemasansusu Bear Brand terhadap loyalitas konsumen pada mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

0 0 21

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh faktor harga, rasa dan kemasansusu Bear Brand terhadap loyalitas konsumen pada mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

0 1 9

Pengaruh faktor harga, rasa dan kemasansusu Bear Brand terhadap loyalitas konsumen pada mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

0 0 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lateks Alam 2.1.1 Tanaman Karet Alam - Pengaruh Penambahan Nanokristal Selulosa Dari Tandan Kosong Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jack) Terhadap Produk Karet Nanokomposit Dengan Teknik Pencelupan

0 0 16

BAB II Kerangka Teori - Analisis Budaya Organisasi Pada Pegawai Samsat Medan

0 1 20

BAB II KERANGKA TEORI 2.1 Kualitas Produk 2.1.1 Definisi Kualitas - Pengaruh Kualitas Produk Dan Citra Merek Terhadap Keputusan Pembelian Smartphone Samsung Di Medan

0 1 26

Analisis Finansial Pemanfaatan dan Pengolahan Daun Jeruju (Acanthus ilicifolius L) Menjadi Berbagai Produk Olahan

0 1 14

Analisis Finansial Pemanfaatan dan Pengolahan Daun Jeruju (Acanthus ilicifolius L) Menjadi Berbagai Produk Olahan

0 0 12

BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Jenis Penelitian - Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Mahasiswa Asing Di Universitas Sumatera Utara

0 0 26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Konsumsi Beberapa teori konsumsi menurut para ahli ekonomi : 2.1.1. Teori Konsumsi Mankiw - Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konsumsi Mahasiswa Asing Di Universitas Sumatera Utara

1 1 34