Serapan Cairan dan Kelarutan Elemen-elemen Bahan Restorasi Resin Komposit Mikrohibrid dan Nanohibrid Setelah Direndam di Dalam Saliva Buatan (In Vitro)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pemakaian semen silikat pada akhir 1800-an sebagai bahan tambalan
memiliki kekurangan yaitu mudah larut di dalam cairan mulut sehingga cepat rusak.
Kemudian dikembangkanlah resin akrilik self curing unfilled sekitar tahun 1950-an.
Bahan ini lebih tahan terhadap kelarutan serta memiliki warna yang lebih stabil
dibandingkan silikat. Bahan ini mudah digunakan, dapat dipoles, dan memiliki estetis
yang baik. Tetapi bahan ini memiliki permasalahan dengan polimerisasi shrinkage
yang tinggi setelah pengerasan, perubahan dimensi akibat panas yang tinggi, kadangkadang mengalami diskolorisasi dan memiliki keausan yang tinggi karena pemakaian.
Kemudian sekitar tahun 1960-an resin komposit diperkenalkan oleh Bowen sebagai
bahan restorasi dengan mencampurkan oligomer bis-phenol-A-glycidilmethacrylate
(bis-GMA) atau urethanedimethacrylate (UDMA) dengan bahan pengisi inorganik.
Penemuan resin komposit pada tahun 1960-an dengan cepat menggantikan semen
silikat dan resin akrilik (O’Brien, 2002; Anusavice, 2008; Powers, 2006).
Penggunaan bahan restorasi estetik, terutama resin komposit, mengalami
peningkatan yang cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir karena meningkatnya
tuntutan pasien dalam hal estetis. Resin komposit digunakan untuk menggantikan
struktur gigi yang hilang dengan memodifikasi warna dan kontur gigi yang
mendukung nilai estetis (Powers, 2008; Gladwin, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.1 Resin Komposit
Resin komposit adalah penggabungan dari dua bahan yang menghasilkan
suatu bahan dengan sifat-sifat yang lebih baik dibandingkan jika bahan tersebut
berdiri sendiri. Resin komposit merupakan suatu bahan hasil penggabungan 3 bahan
yang berbeda yaitu matriks resin, bahan pengisi (filler), bahan pengikat (coupling
agent). Selain itu, beberapa bahan lain juga ditambahkan seperti sistem inisiator atau
aktivator, inhibitor, stabilisator, UV absorber dan bahan pigmen (O’Brien, 2002;
Anusavice, 2008; Gladwin, 2009; Powers, 2006; Powers, 2008; Sakaguchi, 2012).
2.1.1 Komposisi resin komposit
2.1.1.1 Matriks resin
Matriks polimer organik merupakan bahan aromatik atau urethane diacrylate
oligomer.
Oligomer
yang
paling
umum
digunakan
adalah
bisphenol-A-
glycidylmethacrylate (Bis-GMA). Monomer lain yang sering digunakan pada matriks
resin komposit adalah urethanedimethacrylate (UDMA). Monomer ini diperkenalkan
pada tahun 1974 dan merupakan bahan yang mudah pecah (brittle) dengan viskositas
yang tinggi. Kedua monomer ini mengandung ikatan karbon ganda yang reaktif yang
dapat mengalami polimerisasi adisi. Setiap gugus karbon ganda akan turut di dalam
pembentukan rantai polimer, oligomer ini disebut bifungsional. Monomer yang
bifungsional dan oligomer akan menghasilkan cross-linking dan meningkatkan
kekuatan polimer. Bis-GMA merupakan bahan yang hidrofilik, sehingga resin
Universitas Sumatera Utara
komposit memiliki kecendrungan menyerap air (O’Brien, 2002; Floyd, 2005; Powers,
2006; Anusavice, 2008; Powers, 2008; Van Noort, 2008).
Bis-GMA merupakan monomer yang memiliki viskositas yang tinggi
sehingga
dibutuhkan
penggunaan
monomer
pengencer
(diluent).
Triethyleneglicoldimetacrylate (TEGDMA) merupakan monomer pengencer yang
sering digunakan (Powers, 2006; Anusavice, 2008; Gladwin, 2009). Gambar 2.1
menunjukkan struktur kimia dari monomer pembentuk matriks resin komposit.
Gambar 2.1 Struktur Monomer Bis-GMA, UDMA, dan TEGDMA (Floyd, 2005)
Universitas Sumatera Utara
2.1.1.2 Bahan pengisi (filler)
Persentase filler sangat penting dalam menentukan sifat fisis resin komposit.
Jika kandungan filler meningkat maka kandungan resin akan berkurang. Sehingga
polymerization shrinkage menurun, dan koefisien termal ekspansi mendekati struktur
gigi, kekerasan dan ketahanan abrasi meningkat dengan baik. Persentase kandungan
bahan pengisi pada resin komposit dapat berupa berat atau volume. Persentase
kandungan bahan pengisi lebih baik dalam ukuran volume karena sifat mekanis resin
komposit ditentukan oleh volume fraksi filler. Ukuran partikel filler juga menentukan
besarnya penyerapan cairan yang terjadi pada bahan resin komposit. Partikel filler
yang berukuran lebih besar akan lebih banyak menyerap cairan dibandingkan partikel
filler yang berukuran kecil (Anusavice, 2008; Gladwin, 2009).
Partikel
filler dikembangkan untuk mendapatkan filler yang mempunyai
kekuatan dan ketahanan terhadap abrasi yang besar. Partikel yang lebih lunak lebih
sering mengalami keausan dan terlepas dari restorasi ketika terjadi abrasi. Jika
partikel terlepas, permukaan resin yang lunak akan cepat mengalami keausan
(Powers, 2006; Sakaguchi, 2012).
Partikel filler yang digunakan bervariasi pada tiap bahan, dapat berupa silika
koloidal, silikat barium, glass strontium/borosilikat, quartz, zink silikat atau lithium
aluminium silikat. Tiap-tiap bahan ini memiliki karakteristik masing-masing. Partikel
koloidal silika memiliki diameter kurang dari 0,1 mikron, inert, memiliki koefisien
termal ekspansi yang rendah, dan dapat dipadatkan serta dipoles. Quartz sangat stabil
tetapi susah untuk dipoles dan dapat menyebabkan abrasi pada gigi yang berlawanan.
Universitas Sumatera Utara
Bahan pengisi yang paling banyak digunakan sejak tahun 1970 adalah quartz karena
sifat kimiawinya yang inert, kuat, keras, memiliki indeks refraktif yang tinggi dan
stabil secara kimia di lingkungan rongga mulut. Tetapi bahan ini memiliki kerugian
berupa kurang radiopak, koefisien termal ekspansi yang tinggi dan abrasif (O’Brien,
2002; Powers, 2006).
Sekarang ini, dikembangkan bahan glass untuk mendapatkan kekuatan,
kekerasan, dan sifat kimia serta sifat optis yang lebih baik untuk digunakan pada resin
komposit. Glass yang mengandung logam berat memberikan efek radiopak terhadap
resin komposit dan memiliki indeks refraktif 1,5. Contohnya adalah barium,
zirkonium dan strontium glass. Yang paling sering digunakan adalah barium glass.
Bahan ini bukan merupakan bahan yang inert seperti quartz (Powers, 2006).
2.1.1.3 Bahan pengikat (coupling agent)
Tujuan utama pemakaian coupling agent adalah untuk mengikatkan partikel
bahan pengisi ke matriks resin organik melalui bahan silane untuk meningkatkan
sifat fisis resin komposit dan mencegah air berpenetrasi ke interface filler-resin
(Gladwin, 2009; Powers, 2006; Manapalill, 2003). Pengikatan partikel filler ke
matriks resin berguna juga sebagai penghantar tekanan kepada partikel filler yang
lebih kaku dan keras melalui matriks resin, sehingga kekuatan resin komposit lebih
baik. Bahan silane harus kompatibel secara kimia baik dengan matriks dan filler.
Ikatan antara silane dan partikel filler dapat larut dalam lingkungan rongga mulut.
Jika ikatan rusak, partikel filler terlepas dari matriks resin dan akan menurunkan
Universitas Sumatera Utara
kekerasan resin komposit yang menyebabkan kerusakan (O’Brien, 2002; Powers,
2006; Powers, 2008; Gladwin, 2009).
Bahan silane yang banyak dipakai sebagai coupling agent adalah
organosilane
yaitu
gamma-methacryloxypropylmethoxysilane.
Bahan
silane
merupakan molekul yang memiliki dua gugus fungsional. Gugus silane berikatan
dengan gugus hidroksil pada partikel filler melalui reaksi kondensasi dan
menghasilkan ikatan siloksan dan gugus metakrilat berikatan dengan matriks resin
melalui proses polimerisasi adisi yang dapat diaktivasi secara sinar atau kimia. Bahan
silane tidak menutup partikel filler secara homogen. Pada Gambar 2.2 ditunjukkan
struktur
kimia
dari
bahan
organosilane
yaitu
gamma-
methacryloxypropylmethoxysilane (O’Brien, 2002; Powers, 2006; Powers, 2008; Van
Noort, 2008; Gladwin, 2009).
O
OCH3
CH2=C-C-O-CH2CH2CH2-Si-OCH3
CH3
OCH3
Gambar 2.2 Rumus Bangun Coupling Agent
2.1.1.4 Inisiator dan akselerator
Resin komposit polimerisasi sinar mengandung fotoinisiator berupa
camphorquinone (0,25%) dan tertiari amin. Camphorquinone memiliki spektrum
penyerapan sinar dengan panjang gelombang 450-500 nm, dengan puncak gelombang
yang dapat diserap adalah 470 nm. Ketika terekspos sinar, camphorquinone berubah
Universitas Sumatera Utara
menjadi bentuk triplet yang aktif. Dalam keadaan ini, camphorquinone akan
berbenturan dengan molekul amin yang berkonjugasi dengan tertiary aliphatic amine,
seperti 4-N,Ndimethylaminophenythyl alcohol yang menarik elektron dari amin dan
merubah dirinya dan amin menjadi radikal bebas. Hal ini kemudian akan menginisiasi
proses polimerisasi. Tertiari amin diketahui sebagai ko-inisiator yang tidak dapat
menyerap air tetapi dapat bereaksi dengan fotoinitiator yang diaktivasi untuk
menghasilkan radikal bebas yang aktif. Inhibitor juga ditambahkan untuk
mempertinggi kestabilan terhadap sinar di sekelilingnya. Pada resin komposit yang
diaktivasi
sinar,
fotoaktivator
yang
digunakan
adalah
diketone,
seperti
champorquinone. Kadar camphorquinone yang ditambahkan sebesar 0,2%-1,0%.
Reaksi ini dipercepat oleh adanya organik amin yang mengandung ikatan karbon
ganda. Amin dan camphorquinone di dalam oligomer stabil pada suhu kamar, selama
belum terpapar oleh sinar yang dapat mengaktivasi polimerisasi (Powers, 2006;
Gladwin, 2009).
2.1.1.5 Inhibitor
Monomer dimethacrylate dapat berpolimerisasi secara spontan ketika
disimpan oleh karena itu ditambahkan inhibitor berupa monomethyl ether of
hydroquinone ke dalam resin komposit untuk mencegah polimerisasi dini. Inhibitor
lain dapat berupa monomethyl ether hydroquinone dan butylated hydroxytoluene
(Powers, 2006; Gladwin, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.1.1.6 UV absorber
UV
absorber
ditambahkan
pada
komposisi
resin
komposit
untuk
meningkatkan stabilitas warna dengan menyerap radiasi elektromagnetik yang dapat
menyebabkan diskolorasi. UV absorber yang paling banyak digunakan adalah 2hydroxy-4-methoxy benzophene (Powers, 2006).
2.1.1.7 Bahan pigmen
Oksida inorganik biasanya ditambahkan dalam jumlah kecil untuk
memberikan warna yang cocok dengan warna gigi pada umumnya. Warna dari resin
komposit berkisar antara warna yang sangat terang (very light shades) sampai kuning
dan abu-abu (Powers, 2006; Gladwin, 2009).
2.1.2 Klasifikasi resin komposit
Resin komposit dapat diklasifikasikan dalam beberapa metode klasifikasi,
tergantung dari komposisinya, sehingga dapat memudahkan dokter gigi mengenalnya
agar penggunaannya sesuai dengan tujuan pengobatan. Klasifikasi yang paling sering
digunakan adalah klasifikasi resin komposit berdasarkan ukuran partikel filler oleh
Lutz dan Phillips (1983) (Lang,1992).
2.1.2.1 Resin komposit macrofiller
Jenis resin komposit yang pertama kali dikembangkan pada tahun 1960 adalah
resin komposit macrofiller. Resin komposit macrofiller memiliki ukuran partikel
filler 20-50 µm. Ukuran rata-rata partikel filler-nya adalah 8-12 µm dengan ukuran
Universitas Sumatera Utara
terbesar 50-100 µm. Jumlah filler di dalam resin komposit berkisar 70-80%
berdasarkan berat dan 60-80% berdasarkan volume. Filler yang banyak digunakan
adalah butiran quartz (Gladwin, 2009).
2.1.2.2 Resin komposit microfiller
Resin komposit microfiller memiliki filler berupa koloida silika, dengan
ukuran partikel 0,01-0,12 µm. Kandungan partikel filler dalam resin komposit
sebanyak 35-60% ukuran berat (O’Brien, 2002). Gambar 2.3 menunjukkan gambaran
mikrostruktur resin komposit microfiller
Gambar 2.3. Mikrostruktur Resin Komposit
Microfiller (O’Brien, 2002)
2.1.2.3 Resin komposit hibrid
Resin komposit hibrid mengandung kumpulan partikel filler dengan ukuran
yang heterogen dengan ukuran partikel terkecil 0,04 µm dan terbesar 1-5 µm.
Kandungan filler di dalam resin komposit sebanyak 70-80% ukuran berat (Sensi,
2007). Gambar 2.4 menunjukkan gambaran mikrostruktur resin komposit hibrid.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4. Mikrostruktur Resin Komposit
Hibrid (Spiller, 2000)
2.1.2.4 Resin komposit mikrohibrid
Setelah perkembangan resin komposit hibrid, dikembangkanlah resin
komposit mikrohibrid. Resin komposit mikrohibrid memiliki beberapa jenis ukuran
partikel filler dengan bentuk yang irreguler. Partikel filler dapat berupa glass atau
quartz dengan ukuran 0,2-3 µm ditambah 5-15% partikel microfine berukuran 0,04
µm (Craig, 2002). Dapat dilihat pada Gambar 2.5 gambaran mikrostruktur resin
komposit mikrohibrid.
Gambar 2.5 Mikrostruktur Resin Komposit
Mikrohibrid (Spiller, 2000)
Universitas Sumatera Utara
2.1.2.5 Resin komposit nanofiller
Perkembangan nanoteknologi menciptakan jenis baru bahan restorasi resin
komposit, yaitu nanokomposit dan nanohibrid. Nanokomposit menggunakan partikel
filler yang berukuran nanometer, sedangkan nanohibrid merupakan kombinasi
partikel filler berukuran nanometer dengan filler berukuran konvensional.
Nanokomposit mengandung partikel filler berupa zirkonium atau silika berukuran
±25 nm dan kumpulan nano partikel berukuran ±75 nm. Distribusi partikel filler nano
di dalam resin komposit sekitar 79,5% (Gladwin, 2009; Kaur, 2011).
2.1.3 Polimerisasi resin komposit
Polimerisasi resin komposit merupakan hal yang sangat penting di dalam
mendapatkan hasil tambalan yang memiliki sifat fisik dan mekanis yang baik.
Polimerisasi adalah proses pengerasan polimer dengan membentuk ikatan antara
monomer-monomer menjadi rantai polimer yang panjang dengan suatu aktivasi
tertentu. Ada 3 macam aktivasi polimerisasi bahan restorasi resin komposit, yaitu
aktivasi kimia, aktivasi sinar dan aktivasi kimia-sinar (O’Brien, 2002; Powers, 2006;
Anusavice, 2008; Powers, 2008; Van Noort, 2008; Gladwin, 2009).
Polimerisasi resin komposit yang diaktivasi sinar merupakan jenis
polimerisasi adisi radikal bebas. Ada 3 tahapan, yaitu inisiasi, popagasi dan terminasi.
Reaksi polimerisasi dimulai dengan tahap inisiasi yaitu terbentuknya radikal bebas
dari reaksi kimia bahan akselerator, seperti tertiary amine atau asam sulfinik dengan
peroksida organik. Kemudian pada tahap propagasi terjadi penggabungan monomer
Universitas Sumatera Utara
melalui pembentukan ikatan antar monomer untuk membentuk rantai polimer dengan
adanya radikal bebas. Pada reaksi terminasi telah terbentuk polimer resin komposit
dengan sempurna karena semua radikal bebas telah bereaksi dengan monomer
membentuk polimer (Anusavice, 2008; Gladwin, 2009; O’Brien, 2002; Powers,
2006).
Polimerisasi resin komposit aktivasi sinar dipengaruhi oleh intensitas sinar,
ketebalan bahan, jarak penyinaran dan lama penyinaran. Intensitas sinar pada
permukaan dan waktu penyinaran merupakan hal yang sangat penting. Ujung sumber
sinar sebaiknya diletakkan pada jarak 3 sampai 4 mm dari permukaan dengan
kedalaman restorasi 2 sampai 2,5 mm dan waktu penyinaran standar adalah 40 detik
(O’Brien, 2002; Powers, 2006; Anusavice, 2008; Gladwin, 2009).
2.1.4 Sifat resin komposit
Resin komposit memiliki sifat fisik dan mekanis. Sifat fisiknya antara lain:
polymerization shrinkage, sifat termal, penyerapan air, kelarutan dan kestabilan
warna. Sedangkan sifat mekanisnya adalah kekuatan, elastic modulus dan kekerasan
permukaan (Powers, 2006). Dalam tulisan ini, penulis hanya membahas sifat
penyerapan air dan kelarutan resin komposit.
2.1.4.1 Penyerapan air
Matriks resin komposit memiliki kemampuan untuk menyerap air, yang akan
diikuti oleh proses swelling pada resin komposit (O’Brien, 2002; Toledanu, 2003).
Penyerapan air oleh resin dapat meningkat melalui penggunaan monomer yang
Universitas Sumatera Utara
memiliki sifat hidrofilik. Polimer dengan gugus polar akan menyerap sejumlah air
berkisar 1-2 %. Penyerapan air akan terjadi setelah resin mengeras dan memerlukan
waktu untuk mencapai keseimbangan karena proses difusi air ke dalam resin
merupakan proses yang lambat (Toledanu, 2003). Penyerapan air terjadi melalui
proses difusi terkontrol (Darvell, 2000). Air dapat memasuki polimer melalui porositi
dan ruang intermolekuler. Kecepatan dan luasnya penyerapan air tergantung dari
kepadatan polimer dan kemampuan ikatan hidrogen dan interaksi polar (Ferracane,
2006).
Penyerapan air dipengaruhi oleh jenis filler dan metode polimerisasi (Prati,
1991). Resin komposit dengan ukuran partikel filler yang lebih besar akan menyerap
air lebih banyak dibandingkan resin komposit dengan ukuran partikel filler yang lebih
kecil. Hal ini disebabkan volume pecahan partikel filler di dalam resin komposit lebih
sedikit pada resin komposit dengan partikel yang besar. Kualitas dan kestabilan silane
sebagai coupling agent juga penting untuk meminimalisasi kerusakan ikatan antara
filler dengan polimer dan jumlah air yang diserap ( Musanje, 2001; O’Brien, 2002;
Powers, 2006).
Resin komposit macrofiller memiliki nilai penyerapan air 0,5-0,7 mg/cm2.
Resin komposit microfiller mudah mengalami penyerapan air karena partikel fillernya hanya mengisi 35-60% ukuran berat (O’Brien, 2002; Sensi, 2007; Gladwin,
2009).
Universitas Sumatera Utara
2.1.4.2 Kelarutan
Apabila resin komposit disimpan di dalam air akan menyebabkan pelepasan
ion inorganik dan monomer sisa. Kelarutan resin komposit di dalam air bervariasi
mulai dari 0,25 sampai 2,5 mg/mm3 atau 1,5-2,0 % berat. Silikon merupakan ion yang
terbanyak keluar selama 30 hari pertama perendaman dan akan berkurang seiring
bertambahnya waktu perendaman. Boron, barium dan strontium juga dapat keluar
dari resin komposit yang direndam di dalam air. Komponen lain yang dapat terlarut
adalah monomer sisa. Monomer sisa adalah monomer resin yang tidak bereaksi
polimerisasi terjadi (O’brien, 2002; Powers, 2006).
Pelepasan monomer sisa dari bahan restorasi resin komposit dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu kimiawi komposit (terutama kelarutan dan
molekul dari
monomer yang digunakan), derajat konversi, derajat cross-linking jaringan polimer,
perlakuan permukaan dari partikel filler dan sifat pelarut (Ferracane, 2006).
2.2 Saliva dan Saliva Buatan
Saliva yang disebut juga dengan cairan mulut adalah suatu cairan yang
dikeluarkan kelenjar ludah di dalam rongga mulut. Saliva merupakan sekresi
campuran yang diproduksi oleh kelenjar parotis sebanyak ± 90%, submandibula,
sublingual, dan kelenjar aksesoris pada palatum lunak dan pada permukaan dalam
bibir dan pipi. Saliva memiliki berbagai fungsi, diantaranya:
Universitas Sumatera Utara
1. Perlindungan, saliva memberikan perlindungan dengan membuat
pembasahan yang baik pada permukaan jaringan lunak dari kerusakan fisis yang
disebabkan oleh tekstur makanan yang kasar atau temperatur tinggi.
2. Perbaikan, adanya lapisan protein dan glikoprotein yang kaya akan
kalsium dan fosfat pada permukaan enamel, dipercaya dapat memberikan efek
remineralisasi pada karies dini.
3. Pencernaan, pelumasan dengan saliva membantu melunakkan makanan
dan membentuk makanan menjadi bolus agar mudah untuk ditelan. Adanya enzim di
dalam saliva juga membantu menguraikan makanan.
4. Pengatur keseimbangan air, ketika tubuh mengalami dehidrasi
aliran
saliva menjadi berkurang sehingga menimbulkan perasaan haus.
5. Pengucapan, adanya pembasahan pada lidah dan bibir memudahkan
proses pengucapan.
Saliva mengandung 94,0-99,5% air. Komponen-komponen ludah dapat
dibedakan menjadi komponen anorganik dan (bio)organik. Komponen anorganik
adalah elektrolit berbentuk ion, seperti Na+, K+, Ca2+, Mg2+, Cl-, HCO3-, NH4+, F-,
SN- dan fosfat. Komponen bioorganik terutama adalah protein dengan jumlah
0,15-
0,25 gr per 100 ml, musin, sejumlah kecil lipida, asam lemak dan ureum.
Glikoprotein bertanggungjawab menjaga viskositas dan fungsi pelumasan pada
saliva. Komponen protein lainnya dapat berupa enzim α-amilase, lisozim, kalikrein,
laktoperoksidase, protein kaya prolin, musin, imunoglobulin, laktoferin dan gustin.
Selain komponen-komponen tersebut masih banyak lagi enzim lain. Sistem buffer
Universitas Sumatera Utara
pada saliva terjadi apabila pH saliva dibawah nilai 5 dan keefektifan pH dan sifat
buffer saliva tergantung kepada kandungan bikarbonat pada saliva (Cole, 1988; Van
Nieuw, 1991).
Kelenjar
saliva dapat mengalami disfungsi sehingga jumlah dan kualitas
saliva dapat berubah. Untuk menstimulasi fungsi kelenjar saliva digunakan saliva
buatan. Saliva buatan menggantikan fungsi saliva asli dalam hal perlindungan,
perbaikan, pengucapan dan pengatur keseimbangan air. Selain memiliki manfaat
seperti yang disebutkan di atas, saliva buatan juga digunakan pada uji laboratorium
yang membutuhkan kondisi kimia yang sama seperti saliva asli di dalam rongga
mulut. Penggunaan saliva buatan untuk penelitian di bidang kedokteran gigi telah
ditemukan sejak tahun 1931, ketika Souder dan Sweeney meneliti tentang keracunan
penggunaan restorasi amalgam. Saliva buatan mengandung komponen yang sama
dengan saliva asli, tetapi tidak mengandung enzim. Saliva buatan dapat dibuat dengan
berbagai macam metode pencampuran komposisi. Salah satu metodenya adalah
dengan mencampurkan berbagai komposisi sebagai berikut NaCl, KCl,KSCN,
KH2PO4, Urea, Na2SO4. 10H2O, NH4Cl, CaCl2. 2H2O, NaHCO3 (Preetha, 2005).
2.3 Alat Uji
2.3.1 Mikroskop mikrograf (micrograph microscope)
Mikroskop mikrograf merupakan fotograf atau gambaran digital yang diambil
melalui mikoskop atau alat yang sama untuk menunjukkan pembesaran gambar.
Mikroskop ini menggunakan optik dan kamera charge-coupled device untuk
Universitas Sumatera Utara
menampilkan gambaran digital ke monitor. Mikroskop mikrograf biasanya memiliki
pengukur mikron atau pembesaran. Pembesaran merupakan rasio antara ukuran objek
pada gambar dengan ukuran sebenarnya. Akan tetapi, pembesaran merupakan suatu
parameter yang kurang dapat dipercaya. Untuk itu digunakan skala bar atau mikron
bar yang dapat menampilkan panjang objek sebenarnya pada gambar (Wikipedia,
2012). Gambar 2.6 menunjukkan gambar mikroskop mikrograf (Carl Zeiss
Microscopy, 2011).
Gambar 2.6 Mikroskop Mikrograf
2.3.2 Scanning electron microscope (SEM)
Scanning electron microscope (SEM) adalah jenis mikroskop elektron yang
menggambarkan permukaan sampel dengan memindainya menggunakan pancaran
elektron berenergi tinggi yang membentuk pola pindaian. Elektron akan berinteraksi
dengan atom pada sampel dan menghasilkan sinyal yang mengandung informasi
tentang topografi permukaan sampel, komposisi dan sifat lainnya seperti
konduktifitas listrik. Spesimen yang akan digambar oleh SEM harus dapat
Universitas Sumatera Utara
mengalirkan listrik (electrically conductive). Spesimen yang terbuat dari metal hanya
memerlukan sedikit tindakan preparasi untuk digambar oleh SEM. Tetapi bagi
spesimen yang tidak dapat mengantarkan listrik harus dilapisi (coating) dengan suatu
zat yang bersifat sebagai konduktor. Pelapis yang biasa digunakan adalah emas, aloi
emas/paladium, platinum, osmium, iridium,tungsten,chromium dan graphite (Lawes,
1987; REM, 2010).
Pembesaran pada SEM dapat dikendalikan mulai dari 10 sampai 500.000 kali.
SEM memiliki kondenser dan lensa objektif yang berfungsi memfokuskan sinar
kepada suatu tempat dan bukan menggambar keseluruhan spesimen (Lawes, 1987).
Jenis sinyal yang dihasilkan oleh SEM mencakup elektron sekunder
(secondary electrons), elektron yang memencar (back-scattered electrons (BSE)),
sinar X, cahaya (cathodoluminescence), elektron pada spesimen dan elektron yang
ditransmisikan. Sinyal dihasilkan dari interaksi benturan elektron dengan atom pada
atau didekat permukaan sampel. SEM dapat menghasilkan gambaran permukaan
sampel dengan resolusi yang sangat tinggi dan dapat mengungkapkan detail
berukuran kurang dari 1 nm. Gambaran sampel diambil (captured) secara digital dan
akan ditampilkan pada layar monitor dan disimpan di dalam komputer. Pada Gambar
2.7 ditampilkan skema cara kerja SEM.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.7 Cara Kerja SEM
(REM Purdue University, 2010)
Sinar elektron dihasilkan pada bagian atas mikroskop oleh electron gun.
Elektron akan mengikuti jalur vertikal melalui mikroskop, yang tetap dalam keadaan
vakum. Sinar melewati area elektromagnetik dan lensa, yang memfokuskan sinar
turun ke arah sampel. Ketika sinar mengenai sampel, elektron dan sinar x akan
dikeluarkan dari sampel. Detektor akan mengumpulkan sinar x, backscattered
electron, dan elektron sekunder. Detektor akan merubahnya menjadi sinyal yang
menghasilkan gambaran dan selanjutnya ditampilkan pada
layar monitor
(Lawes, 1987; REM Purdue University, 2010).
Universitas Sumatera Utara
2.3.3 Energy dispersive x-ray (EDX)
Energy dispersive x-ray (EDX) adalah teknik mikroanalisis kimia yang
digabungkan dengan Scanning Electron Microscope (SEM). EDX merupakan suatu
alat yang dapat mendeteksi sinar x yang keluar dari sampel selama pemaparan
pancaran elektron untuk mengkarakteristikkan komposisi kimia dari sampel yang
dianalisa. Sistem ini terdiri dari 3 (tiga) komponen utama, yaitu detektor sinar x yang
dipisahkan dari ruang SEM dengan jendela polimer yang sangat tipis, untaian
pengolahan getaran yang menentukan energi sinar x yang dideteksi, dan peralatan
analisa yang menginterpretasikan data sinar x dan menampilkannya pada layar
komputer (Materials Evaluation and Engineering Inc, 2009).
Gambar 2.8 Alat SEM-EDX
Informasi analisa yang dapat diperoleh adalah analisa kualitatif, analisa
kuantitatif, pemetaan elemen dan analisa profil garis (Materials Evaluation and
Engineering Inc, 2009). Untuk analisa kualitatif, nilai energi sinar x sampel dari
spektrum EDS dibandingkan dengan karakteristik energi sinar x yang sudah diketahui
Universitas Sumatera Utara
untuk mendapatkan elemen yang terdapat pada sampel. Hasil kuantitatif dapat
diperoleh dari hitungan sinar x relatif pada karakteristik tingkat energi dari komponen
sampel (Materials Evaluation and Engineering Inc, 2009).
Spektrum EDX ditampilkan secara digital membentuk sumbu x yang
menggambarkan energi sinar x dan sumbu y menggambarkan intensitas seperti yang
ditampilkan pada Gambar 2.9 (Russ, 1984).
Gambar 2.9 Spektrum EDX yang Menunjukkan
Puncak dari K dan Ba
2.4 Landasan Teori
Penggunaan bahan restorasi resin komposit cukup diminati oleh para dokter
gigi untuk menggantikan struktur gigi yang hilang dan juga memiliki nilai estetis
yang lebih tinggi. Warna resin komposit dapat menyerupai warna gigi dan tahan
lama. Mikrohibrid dan nanohibrid adalah jenis resin komposit yang cukup sering
digunakan oleh dokter gigi. Kedua jenis resin ini memiliki kemampuan untuk dipoles
sehingga akan memberikan kepuasan pasien dalam hal estetis.
Universitas Sumatera Utara
Resin komposit mikrohibrid dan nanohibrid memiliki perbedaan ukuran
partikel filler. Resin komposit mikrohibrid memiliki dua jenis ukuran partikel filler
yaitu 0,2-3 µm dan ukuran partikel microfine 0,04 µm. Resin komposit nanohibrid
mengandung partikel filler berukuran nano dan partikel filler berukuran 0,2-3 µm.
Resin komposit merupakan bahan hasil gabungan matriks resin, bahan pengisi
(filler) dan bahan pengikat (coupling agent). Matriks resin dapat berupa monomer
bisphenol-A-glycidil methacrylate (bis-GMA) dan urethanedimethacrylate (UDMA).
Kedua monomer ini memiliki viskositas yang tinggi, sehingga ditambahkan monomer
diluent untuk mengurangi viskositasnya. Monomer diluent yang ditambahkan adalah
triethylene glycol dimethacrylate (TEGDMA). Filler dapat berupa silika atau quartz.
Jumlah filler yang terkandung di dalam resin komposit menentukan sifat fisis dan
mekanis bahan tersebut. Untuk menyatukan matriks organik dengan filler digunakan
silane sebagai coupling agent. Organosilane (3-methacriloxiprophyltrimethoxysilane)
adalah bahan coupling agent yang dipakai. Bahan silane ini mengandung dua gugus,
yaitu gugus yang berikatan dengan gugus hidroksil pada filler dan gugus metakrilat
yang berikatan dengan matriks resin. Selain ketiga bahan utama tersebut, resin
komposit juga mengandung inisiator, akselerator, inhibitor, bahan pigmen dan UV
absorber.
Pemakaian resin komposit di dalam mulut tentunya akan berkontak dengan
saliva, minuman dan makanan yang dikonsumsi. Resin komposit dapat menyerap
cairan mulut karena resin komposit memiliki sifat dapat menyerap air. Hal ini
disebabkan resin komposit bersifat hidrofilik. Penyerapan air dipengaruhi oleh ukuran
Universitas Sumatera Utara
filler yang terkandung dan metode polimerisasi. Resin komposit dengan ukuran
partikel filler yang lebih besar akan menyerap air lebih banyak dibandingkan dengan
resin komposit yang memiliki ukuran partikel filler yang lebih kecil.
Penyerapan cairan pada resin komposit akan diikuti kelarutan beberapa
elemen resin komposit. Pada beberapa penelitian monomer sisa merupakan
komponen terlarut paling banyak yang dapat dideteksi di air. Selain monomer sisa,
elemen lain yang dapat terlarut adalah silika, boron, metakrilat, asam benzoat dan
formaldehid.
Universitas Sumatera Utara
2.5 Kerangka Konsep Penelitian
Resin Komposit
Mikrohibrid
Perendaman
Nanohibrid
- Lama penyinaran
- Jarak penyinaran
Penyerapan Cairan
- Nilai serapan cairan (%)
- Kedalaman penyerapan (µm)
- Kecepatan penyerapan
(µm/jam)
Kelarutan
- Perubahan komposisi
- Gambaran
mikrostruktur
2.6 Hipotesis Penelitian
Hipotesis Umum :
Tidak ada penyerapan cairan dan kelarutan elemen pada bahan restorasi resin
komposit mikrohibrid dan nanohibrid setelah direndam di dalam saliva buatan selama
2, 4, 6, dan 8 jam.
Hipotesis Khusus :
1. Tidak ada cairan yang terserap pada bahan restorasi resin komposit
mikrohibrid dan nanohibrid setelah direndam di dalam saliva buatan selama 2, 4, 6
dan 8 jam.
Universitas Sumatera Utara
2. Tidak ada perbedaan nilai serapan cairan antara bahan restorasi resin
komposit mikrohibrid dengan nanohibrid setelah direndam di dalam saliva buatan
selama 2,4,6 dan 8 jam.
3. Tidak ada kedalaman penyerapan cairan pada bahan restorasi resin
komposit mikrohibrid dan nanohibrid setelah direndam di dalam saliva buatan selama
2, 4, 6 dan 8 jam.
4. Tidak ada perbedaan kedalaman penyerapan cairan antara bahan restorasi
resin komposit mikrohibrid dengan nanohibrid setelah direndam di dalam saliva
buatan selama 2, 4, 6,dan 8 jam.
5. Tidak ada kecepatan penyerapan cairan pada bahan restorasi resin
komposit mikrohibrid dan nanohibrid setelah direndam di dalam saliva buatan selama
2, 4, 6 dan 8 jam.
6. Tidak ada perbedaan kecepatan penyerapan cairan antara bahan restorasi
resin komposit mikrohibrid dengan nanohibrid setelah direndam di dalam saliva
buatan selama 2, 4, 6,dan 8 jam.
7. Tidak ada perubahan komposisi elemen bahan restorasi resin komposit
mikrohibrid dan nanohibrid setelah direndam di dalam saliva buatan selama 2, 4, 6,
dan 8 jam.
8. Tidak ada perbedaan perubahan komposisi elemen antara bahan restorasi
resin komposit mikrohibrid dengan nanohibrid setelah direndam di dalam saliva
buatan selama 2, 4, 6 dan 8 jam.
Universitas Sumatera Utara
9. Tidak ada perbedaan gambaran morfologi permukaan pada bahan
restorasi resin komposit mikrohibrid dan nanohibrid sebelum dan setelah direndam di
dalam saliva buatan selama 2, 4, 6, dan 8 jam.
10. Tidak ada perbedaan gambaran morfologi permukaan antara bahan
restorasi resin komposit mikrohibrid dengan nanohibrid sebelum dan setelah di
rendam di dalam saliva buatan selama 2, 4, 6 dan 8 jam.
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
Pemakaian semen silikat pada akhir 1800-an sebagai bahan tambalan
memiliki kekurangan yaitu mudah larut di dalam cairan mulut sehingga cepat rusak.
Kemudian dikembangkanlah resin akrilik self curing unfilled sekitar tahun 1950-an.
Bahan ini lebih tahan terhadap kelarutan serta memiliki warna yang lebih stabil
dibandingkan silikat. Bahan ini mudah digunakan, dapat dipoles, dan memiliki estetis
yang baik. Tetapi bahan ini memiliki permasalahan dengan polimerisasi shrinkage
yang tinggi setelah pengerasan, perubahan dimensi akibat panas yang tinggi, kadangkadang mengalami diskolorisasi dan memiliki keausan yang tinggi karena pemakaian.
Kemudian sekitar tahun 1960-an resin komposit diperkenalkan oleh Bowen sebagai
bahan restorasi dengan mencampurkan oligomer bis-phenol-A-glycidilmethacrylate
(bis-GMA) atau urethanedimethacrylate (UDMA) dengan bahan pengisi inorganik.
Penemuan resin komposit pada tahun 1960-an dengan cepat menggantikan semen
silikat dan resin akrilik (O’Brien, 2002; Anusavice, 2008; Powers, 2006).
Penggunaan bahan restorasi estetik, terutama resin komposit, mengalami
peningkatan yang cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir karena meningkatnya
tuntutan pasien dalam hal estetis. Resin komposit digunakan untuk menggantikan
struktur gigi yang hilang dengan memodifikasi warna dan kontur gigi yang
mendukung nilai estetis (Powers, 2008; Gladwin, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.1 Resin Komposit
Resin komposit adalah penggabungan dari dua bahan yang menghasilkan
suatu bahan dengan sifat-sifat yang lebih baik dibandingkan jika bahan tersebut
berdiri sendiri. Resin komposit merupakan suatu bahan hasil penggabungan 3 bahan
yang berbeda yaitu matriks resin, bahan pengisi (filler), bahan pengikat (coupling
agent). Selain itu, beberapa bahan lain juga ditambahkan seperti sistem inisiator atau
aktivator, inhibitor, stabilisator, UV absorber dan bahan pigmen (O’Brien, 2002;
Anusavice, 2008; Gladwin, 2009; Powers, 2006; Powers, 2008; Sakaguchi, 2012).
2.1.1 Komposisi resin komposit
2.1.1.1 Matriks resin
Matriks polimer organik merupakan bahan aromatik atau urethane diacrylate
oligomer.
Oligomer
yang
paling
umum
digunakan
adalah
bisphenol-A-
glycidylmethacrylate (Bis-GMA). Monomer lain yang sering digunakan pada matriks
resin komposit adalah urethanedimethacrylate (UDMA). Monomer ini diperkenalkan
pada tahun 1974 dan merupakan bahan yang mudah pecah (brittle) dengan viskositas
yang tinggi. Kedua monomer ini mengandung ikatan karbon ganda yang reaktif yang
dapat mengalami polimerisasi adisi. Setiap gugus karbon ganda akan turut di dalam
pembentukan rantai polimer, oligomer ini disebut bifungsional. Monomer yang
bifungsional dan oligomer akan menghasilkan cross-linking dan meningkatkan
kekuatan polimer. Bis-GMA merupakan bahan yang hidrofilik, sehingga resin
Universitas Sumatera Utara
komposit memiliki kecendrungan menyerap air (O’Brien, 2002; Floyd, 2005; Powers,
2006; Anusavice, 2008; Powers, 2008; Van Noort, 2008).
Bis-GMA merupakan monomer yang memiliki viskositas yang tinggi
sehingga
dibutuhkan
penggunaan
monomer
pengencer
(diluent).
Triethyleneglicoldimetacrylate (TEGDMA) merupakan monomer pengencer yang
sering digunakan (Powers, 2006; Anusavice, 2008; Gladwin, 2009). Gambar 2.1
menunjukkan struktur kimia dari monomer pembentuk matriks resin komposit.
Gambar 2.1 Struktur Monomer Bis-GMA, UDMA, dan TEGDMA (Floyd, 2005)
Universitas Sumatera Utara
2.1.1.2 Bahan pengisi (filler)
Persentase filler sangat penting dalam menentukan sifat fisis resin komposit.
Jika kandungan filler meningkat maka kandungan resin akan berkurang. Sehingga
polymerization shrinkage menurun, dan koefisien termal ekspansi mendekati struktur
gigi, kekerasan dan ketahanan abrasi meningkat dengan baik. Persentase kandungan
bahan pengisi pada resin komposit dapat berupa berat atau volume. Persentase
kandungan bahan pengisi lebih baik dalam ukuran volume karena sifat mekanis resin
komposit ditentukan oleh volume fraksi filler. Ukuran partikel filler juga menentukan
besarnya penyerapan cairan yang terjadi pada bahan resin komposit. Partikel filler
yang berukuran lebih besar akan lebih banyak menyerap cairan dibandingkan partikel
filler yang berukuran kecil (Anusavice, 2008; Gladwin, 2009).
Partikel
filler dikembangkan untuk mendapatkan filler yang mempunyai
kekuatan dan ketahanan terhadap abrasi yang besar. Partikel yang lebih lunak lebih
sering mengalami keausan dan terlepas dari restorasi ketika terjadi abrasi. Jika
partikel terlepas, permukaan resin yang lunak akan cepat mengalami keausan
(Powers, 2006; Sakaguchi, 2012).
Partikel filler yang digunakan bervariasi pada tiap bahan, dapat berupa silika
koloidal, silikat barium, glass strontium/borosilikat, quartz, zink silikat atau lithium
aluminium silikat. Tiap-tiap bahan ini memiliki karakteristik masing-masing. Partikel
koloidal silika memiliki diameter kurang dari 0,1 mikron, inert, memiliki koefisien
termal ekspansi yang rendah, dan dapat dipadatkan serta dipoles. Quartz sangat stabil
tetapi susah untuk dipoles dan dapat menyebabkan abrasi pada gigi yang berlawanan.
Universitas Sumatera Utara
Bahan pengisi yang paling banyak digunakan sejak tahun 1970 adalah quartz karena
sifat kimiawinya yang inert, kuat, keras, memiliki indeks refraktif yang tinggi dan
stabil secara kimia di lingkungan rongga mulut. Tetapi bahan ini memiliki kerugian
berupa kurang radiopak, koefisien termal ekspansi yang tinggi dan abrasif (O’Brien,
2002; Powers, 2006).
Sekarang ini, dikembangkan bahan glass untuk mendapatkan kekuatan,
kekerasan, dan sifat kimia serta sifat optis yang lebih baik untuk digunakan pada resin
komposit. Glass yang mengandung logam berat memberikan efek radiopak terhadap
resin komposit dan memiliki indeks refraktif 1,5. Contohnya adalah barium,
zirkonium dan strontium glass. Yang paling sering digunakan adalah barium glass.
Bahan ini bukan merupakan bahan yang inert seperti quartz (Powers, 2006).
2.1.1.3 Bahan pengikat (coupling agent)
Tujuan utama pemakaian coupling agent adalah untuk mengikatkan partikel
bahan pengisi ke matriks resin organik melalui bahan silane untuk meningkatkan
sifat fisis resin komposit dan mencegah air berpenetrasi ke interface filler-resin
(Gladwin, 2009; Powers, 2006; Manapalill, 2003). Pengikatan partikel filler ke
matriks resin berguna juga sebagai penghantar tekanan kepada partikel filler yang
lebih kaku dan keras melalui matriks resin, sehingga kekuatan resin komposit lebih
baik. Bahan silane harus kompatibel secara kimia baik dengan matriks dan filler.
Ikatan antara silane dan partikel filler dapat larut dalam lingkungan rongga mulut.
Jika ikatan rusak, partikel filler terlepas dari matriks resin dan akan menurunkan
Universitas Sumatera Utara
kekerasan resin komposit yang menyebabkan kerusakan (O’Brien, 2002; Powers,
2006; Powers, 2008; Gladwin, 2009).
Bahan silane yang banyak dipakai sebagai coupling agent adalah
organosilane
yaitu
gamma-methacryloxypropylmethoxysilane.
Bahan
silane
merupakan molekul yang memiliki dua gugus fungsional. Gugus silane berikatan
dengan gugus hidroksil pada partikel filler melalui reaksi kondensasi dan
menghasilkan ikatan siloksan dan gugus metakrilat berikatan dengan matriks resin
melalui proses polimerisasi adisi yang dapat diaktivasi secara sinar atau kimia. Bahan
silane tidak menutup partikel filler secara homogen. Pada Gambar 2.2 ditunjukkan
struktur
kimia
dari
bahan
organosilane
yaitu
gamma-
methacryloxypropylmethoxysilane (O’Brien, 2002; Powers, 2006; Powers, 2008; Van
Noort, 2008; Gladwin, 2009).
O
OCH3
CH2=C-C-O-CH2CH2CH2-Si-OCH3
CH3
OCH3
Gambar 2.2 Rumus Bangun Coupling Agent
2.1.1.4 Inisiator dan akselerator
Resin komposit polimerisasi sinar mengandung fotoinisiator berupa
camphorquinone (0,25%) dan tertiari amin. Camphorquinone memiliki spektrum
penyerapan sinar dengan panjang gelombang 450-500 nm, dengan puncak gelombang
yang dapat diserap adalah 470 nm. Ketika terekspos sinar, camphorquinone berubah
Universitas Sumatera Utara
menjadi bentuk triplet yang aktif. Dalam keadaan ini, camphorquinone akan
berbenturan dengan molekul amin yang berkonjugasi dengan tertiary aliphatic amine,
seperti 4-N,Ndimethylaminophenythyl alcohol yang menarik elektron dari amin dan
merubah dirinya dan amin menjadi radikal bebas. Hal ini kemudian akan menginisiasi
proses polimerisasi. Tertiari amin diketahui sebagai ko-inisiator yang tidak dapat
menyerap air tetapi dapat bereaksi dengan fotoinitiator yang diaktivasi untuk
menghasilkan radikal bebas yang aktif. Inhibitor juga ditambahkan untuk
mempertinggi kestabilan terhadap sinar di sekelilingnya. Pada resin komposit yang
diaktivasi
sinar,
fotoaktivator
yang
digunakan
adalah
diketone,
seperti
champorquinone. Kadar camphorquinone yang ditambahkan sebesar 0,2%-1,0%.
Reaksi ini dipercepat oleh adanya organik amin yang mengandung ikatan karbon
ganda. Amin dan camphorquinone di dalam oligomer stabil pada suhu kamar, selama
belum terpapar oleh sinar yang dapat mengaktivasi polimerisasi (Powers, 2006;
Gladwin, 2009).
2.1.1.5 Inhibitor
Monomer dimethacrylate dapat berpolimerisasi secara spontan ketika
disimpan oleh karena itu ditambahkan inhibitor berupa monomethyl ether of
hydroquinone ke dalam resin komposit untuk mencegah polimerisasi dini. Inhibitor
lain dapat berupa monomethyl ether hydroquinone dan butylated hydroxytoluene
(Powers, 2006; Gladwin, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.1.1.6 UV absorber
UV
absorber
ditambahkan
pada
komposisi
resin
komposit
untuk
meningkatkan stabilitas warna dengan menyerap radiasi elektromagnetik yang dapat
menyebabkan diskolorasi. UV absorber yang paling banyak digunakan adalah 2hydroxy-4-methoxy benzophene (Powers, 2006).
2.1.1.7 Bahan pigmen
Oksida inorganik biasanya ditambahkan dalam jumlah kecil untuk
memberikan warna yang cocok dengan warna gigi pada umumnya. Warna dari resin
komposit berkisar antara warna yang sangat terang (very light shades) sampai kuning
dan abu-abu (Powers, 2006; Gladwin, 2009).
2.1.2 Klasifikasi resin komposit
Resin komposit dapat diklasifikasikan dalam beberapa metode klasifikasi,
tergantung dari komposisinya, sehingga dapat memudahkan dokter gigi mengenalnya
agar penggunaannya sesuai dengan tujuan pengobatan. Klasifikasi yang paling sering
digunakan adalah klasifikasi resin komposit berdasarkan ukuran partikel filler oleh
Lutz dan Phillips (1983) (Lang,1992).
2.1.2.1 Resin komposit macrofiller
Jenis resin komposit yang pertama kali dikembangkan pada tahun 1960 adalah
resin komposit macrofiller. Resin komposit macrofiller memiliki ukuran partikel
filler 20-50 µm. Ukuran rata-rata partikel filler-nya adalah 8-12 µm dengan ukuran
Universitas Sumatera Utara
terbesar 50-100 µm. Jumlah filler di dalam resin komposit berkisar 70-80%
berdasarkan berat dan 60-80% berdasarkan volume. Filler yang banyak digunakan
adalah butiran quartz (Gladwin, 2009).
2.1.2.2 Resin komposit microfiller
Resin komposit microfiller memiliki filler berupa koloida silika, dengan
ukuran partikel 0,01-0,12 µm. Kandungan partikel filler dalam resin komposit
sebanyak 35-60% ukuran berat (O’Brien, 2002). Gambar 2.3 menunjukkan gambaran
mikrostruktur resin komposit microfiller
Gambar 2.3. Mikrostruktur Resin Komposit
Microfiller (O’Brien, 2002)
2.1.2.3 Resin komposit hibrid
Resin komposit hibrid mengandung kumpulan partikel filler dengan ukuran
yang heterogen dengan ukuran partikel terkecil 0,04 µm dan terbesar 1-5 µm.
Kandungan filler di dalam resin komposit sebanyak 70-80% ukuran berat (Sensi,
2007). Gambar 2.4 menunjukkan gambaran mikrostruktur resin komposit hibrid.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4. Mikrostruktur Resin Komposit
Hibrid (Spiller, 2000)
2.1.2.4 Resin komposit mikrohibrid
Setelah perkembangan resin komposit hibrid, dikembangkanlah resin
komposit mikrohibrid. Resin komposit mikrohibrid memiliki beberapa jenis ukuran
partikel filler dengan bentuk yang irreguler. Partikel filler dapat berupa glass atau
quartz dengan ukuran 0,2-3 µm ditambah 5-15% partikel microfine berukuran 0,04
µm (Craig, 2002). Dapat dilihat pada Gambar 2.5 gambaran mikrostruktur resin
komposit mikrohibrid.
Gambar 2.5 Mikrostruktur Resin Komposit
Mikrohibrid (Spiller, 2000)
Universitas Sumatera Utara
2.1.2.5 Resin komposit nanofiller
Perkembangan nanoteknologi menciptakan jenis baru bahan restorasi resin
komposit, yaitu nanokomposit dan nanohibrid. Nanokomposit menggunakan partikel
filler yang berukuran nanometer, sedangkan nanohibrid merupakan kombinasi
partikel filler berukuran nanometer dengan filler berukuran konvensional.
Nanokomposit mengandung partikel filler berupa zirkonium atau silika berukuran
±25 nm dan kumpulan nano partikel berukuran ±75 nm. Distribusi partikel filler nano
di dalam resin komposit sekitar 79,5% (Gladwin, 2009; Kaur, 2011).
2.1.3 Polimerisasi resin komposit
Polimerisasi resin komposit merupakan hal yang sangat penting di dalam
mendapatkan hasil tambalan yang memiliki sifat fisik dan mekanis yang baik.
Polimerisasi adalah proses pengerasan polimer dengan membentuk ikatan antara
monomer-monomer menjadi rantai polimer yang panjang dengan suatu aktivasi
tertentu. Ada 3 macam aktivasi polimerisasi bahan restorasi resin komposit, yaitu
aktivasi kimia, aktivasi sinar dan aktivasi kimia-sinar (O’Brien, 2002; Powers, 2006;
Anusavice, 2008; Powers, 2008; Van Noort, 2008; Gladwin, 2009).
Polimerisasi resin komposit yang diaktivasi sinar merupakan jenis
polimerisasi adisi radikal bebas. Ada 3 tahapan, yaitu inisiasi, popagasi dan terminasi.
Reaksi polimerisasi dimulai dengan tahap inisiasi yaitu terbentuknya radikal bebas
dari reaksi kimia bahan akselerator, seperti tertiary amine atau asam sulfinik dengan
peroksida organik. Kemudian pada tahap propagasi terjadi penggabungan monomer
Universitas Sumatera Utara
melalui pembentukan ikatan antar monomer untuk membentuk rantai polimer dengan
adanya radikal bebas. Pada reaksi terminasi telah terbentuk polimer resin komposit
dengan sempurna karena semua radikal bebas telah bereaksi dengan monomer
membentuk polimer (Anusavice, 2008; Gladwin, 2009; O’Brien, 2002; Powers,
2006).
Polimerisasi resin komposit aktivasi sinar dipengaruhi oleh intensitas sinar,
ketebalan bahan, jarak penyinaran dan lama penyinaran. Intensitas sinar pada
permukaan dan waktu penyinaran merupakan hal yang sangat penting. Ujung sumber
sinar sebaiknya diletakkan pada jarak 3 sampai 4 mm dari permukaan dengan
kedalaman restorasi 2 sampai 2,5 mm dan waktu penyinaran standar adalah 40 detik
(O’Brien, 2002; Powers, 2006; Anusavice, 2008; Gladwin, 2009).
2.1.4 Sifat resin komposit
Resin komposit memiliki sifat fisik dan mekanis. Sifat fisiknya antara lain:
polymerization shrinkage, sifat termal, penyerapan air, kelarutan dan kestabilan
warna. Sedangkan sifat mekanisnya adalah kekuatan, elastic modulus dan kekerasan
permukaan (Powers, 2006). Dalam tulisan ini, penulis hanya membahas sifat
penyerapan air dan kelarutan resin komposit.
2.1.4.1 Penyerapan air
Matriks resin komposit memiliki kemampuan untuk menyerap air, yang akan
diikuti oleh proses swelling pada resin komposit (O’Brien, 2002; Toledanu, 2003).
Penyerapan air oleh resin dapat meningkat melalui penggunaan monomer yang
Universitas Sumatera Utara
memiliki sifat hidrofilik. Polimer dengan gugus polar akan menyerap sejumlah air
berkisar 1-2 %. Penyerapan air akan terjadi setelah resin mengeras dan memerlukan
waktu untuk mencapai keseimbangan karena proses difusi air ke dalam resin
merupakan proses yang lambat (Toledanu, 2003). Penyerapan air terjadi melalui
proses difusi terkontrol (Darvell, 2000). Air dapat memasuki polimer melalui porositi
dan ruang intermolekuler. Kecepatan dan luasnya penyerapan air tergantung dari
kepadatan polimer dan kemampuan ikatan hidrogen dan interaksi polar (Ferracane,
2006).
Penyerapan air dipengaruhi oleh jenis filler dan metode polimerisasi (Prati,
1991). Resin komposit dengan ukuran partikel filler yang lebih besar akan menyerap
air lebih banyak dibandingkan resin komposit dengan ukuran partikel filler yang lebih
kecil. Hal ini disebabkan volume pecahan partikel filler di dalam resin komposit lebih
sedikit pada resin komposit dengan partikel yang besar. Kualitas dan kestabilan silane
sebagai coupling agent juga penting untuk meminimalisasi kerusakan ikatan antara
filler dengan polimer dan jumlah air yang diserap ( Musanje, 2001; O’Brien, 2002;
Powers, 2006).
Resin komposit macrofiller memiliki nilai penyerapan air 0,5-0,7 mg/cm2.
Resin komposit microfiller mudah mengalami penyerapan air karena partikel fillernya hanya mengisi 35-60% ukuran berat (O’Brien, 2002; Sensi, 2007; Gladwin,
2009).
Universitas Sumatera Utara
2.1.4.2 Kelarutan
Apabila resin komposit disimpan di dalam air akan menyebabkan pelepasan
ion inorganik dan monomer sisa. Kelarutan resin komposit di dalam air bervariasi
mulai dari 0,25 sampai 2,5 mg/mm3 atau 1,5-2,0 % berat. Silikon merupakan ion yang
terbanyak keluar selama 30 hari pertama perendaman dan akan berkurang seiring
bertambahnya waktu perendaman. Boron, barium dan strontium juga dapat keluar
dari resin komposit yang direndam di dalam air. Komponen lain yang dapat terlarut
adalah monomer sisa. Monomer sisa adalah monomer resin yang tidak bereaksi
polimerisasi terjadi (O’brien, 2002; Powers, 2006).
Pelepasan monomer sisa dari bahan restorasi resin komposit dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu kimiawi komposit (terutama kelarutan dan
molekul dari
monomer yang digunakan), derajat konversi, derajat cross-linking jaringan polimer,
perlakuan permukaan dari partikel filler dan sifat pelarut (Ferracane, 2006).
2.2 Saliva dan Saliva Buatan
Saliva yang disebut juga dengan cairan mulut adalah suatu cairan yang
dikeluarkan kelenjar ludah di dalam rongga mulut. Saliva merupakan sekresi
campuran yang diproduksi oleh kelenjar parotis sebanyak ± 90%, submandibula,
sublingual, dan kelenjar aksesoris pada palatum lunak dan pada permukaan dalam
bibir dan pipi. Saliva memiliki berbagai fungsi, diantaranya:
Universitas Sumatera Utara
1. Perlindungan, saliva memberikan perlindungan dengan membuat
pembasahan yang baik pada permukaan jaringan lunak dari kerusakan fisis yang
disebabkan oleh tekstur makanan yang kasar atau temperatur tinggi.
2. Perbaikan, adanya lapisan protein dan glikoprotein yang kaya akan
kalsium dan fosfat pada permukaan enamel, dipercaya dapat memberikan efek
remineralisasi pada karies dini.
3. Pencernaan, pelumasan dengan saliva membantu melunakkan makanan
dan membentuk makanan menjadi bolus agar mudah untuk ditelan. Adanya enzim di
dalam saliva juga membantu menguraikan makanan.
4. Pengatur keseimbangan air, ketika tubuh mengalami dehidrasi
aliran
saliva menjadi berkurang sehingga menimbulkan perasaan haus.
5. Pengucapan, adanya pembasahan pada lidah dan bibir memudahkan
proses pengucapan.
Saliva mengandung 94,0-99,5% air. Komponen-komponen ludah dapat
dibedakan menjadi komponen anorganik dan (bio)organik. Komponen anorganik
adalah elektrolit berbentuk ion, seperti Na+, K+, Ca2+, Mg2+, Cl-, HCO3-, NH4+, F-,
SN- dan fosfat. Komponen bioorganik terutama adalah protein dengan jumlah
0,15-
0,25 gr per 100 ml, musin, sejumlah kecil lipida, asam lemak dan ureum.
Glikoprotein bertanggungjawab menjaga viskositas dan fungsi pelumasan pada
saliva. Komponen protein lainnya dapat berupa enzim α-amilase, lisozim, kalikrein,
laktoperoksidase, protein kaya prolin, musin, imunoglobulin, laktoferin dan gustin.
Selain komponen-komponen tersebut masih banyak lagi enzim lain. Sistem buffer
Universitas Sumatera Utara
pada saliva terjadi apabila pH saliva dibawah nilai 5 dan keefektifan pH dan sifat
buffer saliva tergantung kepada kandungan bikarbonat pada saliva (Cole, 1988; Van
Nieuw, 1991).
Kelenjar
saliva dapat mengalami disfungsi sehingga jumlah dan kualitas
saliva dapat berubah. Untuk menstimulasi fungsi kelenjar saliva digunakan saliva
buatan. Saliva buatan menggantikan fungsi saliva asli dalam hal perlindungan,
perbaikan, pengucapan dan pengatur keseimbangan air. Selain memiliki manfaat
seperti yang disebutkan di atas, saliva buatan juga digunakan pada uji laboratorium
yang membutuhkan kondisi kimia yang sama seperti saliva asli di dalam rongga
mulut. Penggunaan saliva buatan untuk penelitian di bidang kedokteran gigi telah
ditemukan sejak tahun 1931, ketika Souder dan Sweeney meneliti tentang keracunan
penggunaan restorasi amalgam. Saliva buatan mengandung komponen yang sama
dengan saliva asli, tetapi tidak mengandung enzim. Saliva buatan dapat dibuat dengan
berbagai macam metode pencampuran komposisi. Salah satu metodenya adalah
dengan mencampurkan berbagai komposisi sebagai berikut NaCl, KCl,KSCN,
KH2PO4, Urea, Na2SO4. 10H2O, NH4Cl, CaCl2. 2H2O, NaHCO3 (Preetha, 2005).
2.3 Alat Uji
2.3.1 Mikroskop mikrograf (micrograph microscope)
Mikroskop mikrograf merupakan fotograf atau gambaran digital yang diambil
melalui mikoskop atau alat yang sama untuk menunjukkan pembesaran gambar.
Mikroskop ini menggunakan optik dan kamera charge-coupled device untuk
Universitas Sumatera Utara
menampilkan gambaran digital ke monitor. Mikroskop mikrograf biasanya memiliki
pengukur mikron atau pembesaran. Pembesaran merupakan rasio antara ukuran objek
pada gambar dengan ukuran sebenarnya. Akan tetapi, pembesaran merupakan suatu
parameter yang kurang dapat dipercaya. Untuk itu digunakan skala bar atau mikron
bar yang dapat menampilkan panjang objek sebenarnya pada gambar (Wikipedia,
2012). Gambar 2.6 menunjukkan gambar mikroskop mikrograf (Carl Zeiss
Microscopy, 2011).
Gambar 2.6 Mikroskop Mikrograf
2.3.2 Scanning electron microscope (SEM)
Scanning electron microscope (SEM) adalah jenis mikroskop elektron yang
menggambarkan permukaan sampel dengan memindainya menggunakan pancaran
elektron berenergi tinggi yang membentuk pola pindaian. Elektron akan berinteraksi
dengan atom pada sampel dan menghasilkan sinyal yang mengandung informasi
tentang topografi permukaan sampel, komposisi dan sifat lainnya seperti
konduktifitas listrik. Spesimen yang akan digambar oleh SEM harus dapat
Universitas Sumatera Utara
mengalirkan listrik (electrically conductive). Spesimen yang terbuat dari metal hanya
memerlukan sedikit tindakan preparasi untuk digambar oleh SEM. Tetapi bagi
spesimen yang tidak dapat mengantarkan listrik harus dilapisi (coating) dengan suatu
zat yang bersifat sebagai konduktor. Pelapis yang biasa digunakan adalah emas, aloi
emas/paladium, platinum, osmium, iridium,tungsten,chromium dan graphite (Lawes,
1987; REM, 2010).
Pembesaran pada SEM dapat dikendalikan mulai dari 10 sampai 500.000 kali.
SEM memiliki kondenser dan lensa objektif yang berfungsi memfokuskan sinar
kepada suatu tempat dan bukan menggambar keseluruhan spesimen (Lawes, 1987).
Jenis sinyal yang dihasilkan oleh SEM mencakup elektron sekunder
(secondary electrons), elektron yang memencar (back-scattered electrons (BSE)),
sinar X, cahaya (cathodoluminescence), elektron pada spesimen dan elektron yang
ditransmisikan. Sinyal dihasilkan dari interaksi benturan elektron dengan atom pada
atau didekat permukaan sampel. SEM dapat menghasilkan gambaran permukaan
sampel dengan resolusi yang sangat tinggi dan dapat mengungkapkan detail
berukuran kurang dari 1 nm. Gambaran sampel diambil (captured) secara digital dan
akan ditampilkan pada layar monitor dan disimpan di dalam komputer. Pada Gambar
2.7 ditampilkan skema cara kerja SEM.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.7 Cara Kerja SEM
(REM Purdue University, 2010)
Sinar elektron dihasilkan pada bagian atas mikroskop oleh electron gun.
Elektron akan mengikuti jalur vertikal melalui mikroskop, yang tetap dalam keadaan
vakum. Sinar melewati area elektromagnetik dan lensa, yang memfokuskan sinar
turun ke arah sampel. Ketika sinar mengenai sampel, elektron dan sinar x akan
dikeluarkan dari sampel. Detektor akan mengumpulkan sinar x, backscattered
electron, dan elektron sekunder. Detektor akan merubahnya menjadi sinyal yang
menghasilkan gambaran dan selanjutnya ditampilkan pada
layar monitor
(Lawes, 1987; REM Purdue University, 2010).
Universitas Sumatera Utara
2.3.3 Energy dispersive x-ray (EDX)
Energy dispersive x-ray (EDX) adalah teknik mikroanalisis kimia yang
digabungkan dengan Scanning Electron Microscope (SEM). EDX merupakan suatu
alat yang dapat mendeteksi sinar x yang keluar dari sampel selama pemaparan
pancaran elektron untuk mengkarakteristikkan komposisi kimia dari sampel yang
dianalisa. Sistem ini terdiri dari 3 (tiga) komponen utama, yaitu detektor sinar x yang
dipisahkan dari ruang SEM dengan jendela polimer yang sangat tipis, untaian
pengolahan getaran yang menentukan energi sinar x yang dideteksi, dan peralatan
analisa yang menginterpretasikan data sinar x dan menampilkannya pada layar
komputer (Materials Evaluation and Engineering Inc, 2009).
Gambar 2.8 Alat SEM-EDX
Informasi analisa yang dapat diperoleh adalah analisa kualitatif, analisa
kuantitatif, pemetaan elemen dan analisa profil garis (Materials Evaluation and
Engineering Inc, 2009). Untuk analisa kualitatif, nilai energi sinar x sampel dari
spektrum EDS dibandingkan dengan karakteristik energi sinar x yang sudah diketahui
Universitas Sumatera Utara
untuk mendapatkan elemen yang terdapat pada sampel. Hasil kuantitatif dapat
diperoleh dari hitungan sinar x relatif pada karakteristik tingkat energi dari komponen
sampel (Materials Evaluation and Engineering Inc, 2009).
Spektrum EDX ditampilkan secara digital membentuk sumbu x yang
menggambarkan energi sinar x dan sumbu y menggambarkan intensitas seperti yang
ditampilkan pada Gambar 2.9 (Russ, 1984).
Gambar 2.9 Spektrum EDX yang Menunjukkan
Puncak dari K dan Ba
2.4 Landasan Teori
Penggunaan bahan restorasi resin komposit cukup diminati oleh para dokter
gigi untuk menggantikan struktur gigi yang hilang dan juga memiliki nilai estetis
yang lebih tinggi. Warna resin komposit dapat menyerupai warna gigi dan tahan
lama. Mikrohibrid dan nanohibrid adalah jenis resin komposit yang cukup sering
digunakan oleh dokter gigi. Kedua jenis resin ini memiliki kemampuan untuk dipoles
sehingga akan memberikan kepuasan pasien dalam hal estetis.
Universitas Sumatera Utara
Resin komposit mikrohibrid dan nanohibrid memiliki perbedaan ukuran
partikel filler. Resin komposit mikrohibrid memiliki dua jenis ukuran partikel filler
yaitu 0,2-3 µm dan ukuran partikel microfine 0,04 µm. Resin komposit nanohibrid
mengandung partikel filler berukuran nano dan partikel filler berukuran 0,2-3 µm.
Resin komposit merupakan bahan hasil gabungan matriks resin, bahan pengisi
(filler) dan bahan pengikat (coupling agent). Matriks resin dapat berupa monomer
bisphenol-A-glycidil methacrylate (bis-GMA) dan urethanedimethacrylate (UDMA).
Kedua monomer ini memiliki viskositas yang tinggi, sehingga ditambahkan monomer
diluent untuk mengurangi viskositasnya. Monomer diluent yang ditambahkan adalah
triethylene glycol dimethacrylate (TEGDMA). Filler dapat berupa silika atau quartz.
Jumlah filler yang terkandung di dalam resin komposit menentukan sifat fisis dan
mekanis bahan tersebut. Untuk menyatukan matriks organik dengan filler digunakan
silane sebagai coupling agent. Organosilane (3-methacriloxiprophyltrimethoxysilane)
adalah bahan coupling agent yang dipakai. Bahan silane ini mengandung dua gugus,
yaitu gugus yang berikatan dengan gugus hidroksil pada filler dan gugus metakrilat
yang berikatan dengan matriks resin. Selain ketiga bahan utama tersebut, resin
komposit juga mengandung inisiator, akselerator, inhibitor, bahan pigmen dan UV
absorber.
Pemakaian resin komposit di dalam mulut tentunya akan berkontak dengan
saliva, minuman dan makanan yang dikonsumsi. Resin komposit dapat menyerap
cairan mulut karena resin komposit memiliki sifat dapat menyerap air. Hal ini
disebabkan resin komposit bersifat hidrofilik. Penyerapan air dipengaruhi oleh ukuran
Universitas Sumatera Utara
filler yang terkandung dan metode polimerisasi. Resin komposit dengan ukuran
partikel filler yang lebih besar akan menyerap air lebih banyak dibandingkan dengan
resin komposit yang memiliki ukuran partikel filler yang lebih kecil.
Penyerapan cairan pada resin komposit akan diikuti kelarutan beberapa
elemen resin komposit. Pada beberapa penelitian monomer sisa merupakan
komponen terlarut paling banyak yang dapat dideteksi di air. Selain monomer sisa,
elemen lain yang dapat terlarut adalah silika, boron, metakrilat, asam benzoat dan
formaldehid.
Universitas Sumatera Utara
2.5 Kerangka Konsep Penelitian
Resin Komposit
Mikrohibrid
Perendaman
Nanohibrid
- Lama penyinaran
- Jarak penyinaran
Penyerapan Cairan
- Nilai serapan cairan (%)
- Kedalaman penyerapan (µm)
- Kecepatan penyerapan
(µm/jam)
Kelarutan
- Perubahan komposisi
- Gambaran
mikrostruktur
2.6 Hipotesis Penelitian
Hipotesis Umum :
Tidak ada penyerapan cairan dan kelarutan elemen pada bahan restorasi resin
komposit mikrohibrid dan nanohibrid setelah direndam di dalam saliva buatan selama
2, 4, 6, dan 8 jam.
Hipotesis Khusus :
1. Tidak ada cairan yang terserap pada bahan restorasi resin komposit
mikrohibrid dan nanohibrid setelah direndam di dalam saliva buatan selama 2, 4, 6
dan 8 jam.
Universitas Sumatera Utara
2. Tidak ada perbedaan nilai serapan cairan antara bahan restorasi resin
komposit mikrohibrid dengan nanohibrid setelah direndam di dalam saliva buatan
selama 2,4,6 dan 8 jam.
3. Tidak ada kedalaman penyerapan cairan pada bahan restorasi resin
komposit mikrohibrid dan nanohibrid setelah direndam di dalam saliva buatan selama
2, 4, 6 dan 8 jam.
4. Tidak ada perbedaan kedalaman penyerapan cairan antara bahan restorasi
resin komposit mikrohibrid dengan nanohibrid setelah direndam di dalam saliva
buatan selama 2, 4, 6,dan 8 jam.
5. Tidak ada kecepatan penyerapan cairan pada bahan restorasi resin
komposit mikrohibrid dan nanohibrid setelah direndam di dalam saliva buatan selama
2, 4, 6 dan 8 jam.
6. Tidak ada perbedaan kecepatan penyerapan cairan antara bahan restorasi
resin komposit mikrohibrid dengan nanohibrid setelah direndam di dalam saliva
buatan selama 2, 4, 6,dan 8 jam.
7. Tidak ada perubahan komposisi elemen bahan restorasi resin komposit
mikrohibrid dan nanohibrid setelah direndam di dalam saliva buatan selama 2, 4, 6,
dan 8 jam.
8. Tidak ada perbedaan perubahan komposisi elemen antara bahan restorasi
resin komposit mikrohibrid dengan nanohibrid setelah direndam di dalam saliva
buatan selama 2, 4, 6 dan 8 jam.
Universitas Sumatera Utara
9. Tidak ada perbedaan gambaran morfologi permukaan pada bahan
restorasi resin komposit mikrohibrid dan nanohibrid sebelum dan setelah direndam di
dalam saliva buatan selama 2, 4, 6, dan 8 jam.
10. Tidak ada perbedaan gambaran morfologi permukaan antara bahan
restorasi resin komposit mikrohibrid dengan nanohibrid sebelum dan setelah di
rendam di dalam saliva buatan selama 2, 4, 6 dan 8 jam.
Universitas Sumatera Utara