BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Reaksi Pewarnaan AgNOR pada Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Mukosa rongga mulut normal dilapisi oleh lapisan epitel skuamosa dan

  memiliki perbedaan topografi yang berhubungan dengan karateristik fisik. Mukosa rongga mulut dapat dibagi atas tiga jenis, yaitu mukosa pengunyahan, mukosa lining dan mukosa khusus. Mukosa pengunyahan terdiri dari sel epitel yang berkeratinisasi dan ditemukan pada bagian gingiva, dorsum lidah dan palatal keras. Mukosa lining terdapat pada bagian dasar mulut, palatal lunak dan sisi ventral/lateral lidah yang epitelnya adalah tidak berkeratin. Lidah mempunyai mukosa khusus dimana terdiri dari papila-papila yang berfungsi dalam pengecapan. Mukosa rongga mulut akan mengalami perubahan seperti hiperplasia atau hiperkeratosis apabila terpapar dengan bahan-bahan iritan tertentu, dan bila perubahan ini bersifat irreversibel, akan

  1,20 terjadinya karsinoma.

2.1 KSS Rongga Mulut

  KSS rongga mulut merupakan suatu keganasan yang berasal dari epitel, baik berasal dari mukosa pada dinding rongga mulut, organ dalam mulut atau kelenjar

  2

  saliva. Sebanyak 95% dari seluruh kanker di rongga mulut adalah karsinoma sel skuamosa rongga mulut. Tingkat prevalensi kanker mulut kebanyakannya ditemukan di negara seperti India karena penggunaan produk tembakau yang berlebihan. Bagian rongga mulut yang paling dampak terkena kanker mulut adalah lidah, bibir inferior dan dasar mulut. Kanker mulut dapat timbul secara denovo atau dari daerah yang sebelumnya memiliki lesi atau kondisi prekanker, yaitu lesi prakanker yang paling

  21,22

  umum adalah leukoplakia dan kondisi prekanker adalah lichen planus erosif. KSS rongga mulut merupakan bagian dari kanker di daerah kepala dan leher yang menempati peringkat keenam kanker terbanyak di dunia dengan distribusi geografis

  23 yang luas dan secara signifikan menyebabkan morbiditas maupun mortalitas.

  Di Indonesia, kanker telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang besar.

  3,4

  Frekuensi relatif kanker mulut di Indonesia diperkirakan 3-5%. Menurut hasil penelitian, lebih dari 90% kanker mulut adalah karsinoma epidermoid atau karsinoma sel skuamosa. Diseluruh dunia diperkirakan 378.000 kasus baru kanker mulut yang didiagnosa pertahun. Dinegara tertentu, seperti Sri Lanka, India, Pakistan dan Bangladesh kanker mulut merupakan kanker yang paling sering. Di India kanker mulut dapat mencapai lebih dari 50% dari semua jenis kanker. Pria mempunyai tingkatan kanker mulut yang lebih tinggi daripada wanita di dunia yaitu pada laki-laki 4% dan wanita 2%. Di Singapura, insiden kanker rongga mulut tertinggi pada wanita sebesar 5.8 per 100.000 populasi, sedangkan pada laki-laki yang tertinggi berada di

  24 Perancis yaitu 17.9 per 100.000 populasi.

   2.1.1 Gambaran Histopatologi Sel Skuamosa Rongga Mulut

Menurut World Health Organization (WHO), kode klasifikasi histologi tumor

  pada kavitas rongga mulut dan oro-faring pada tahun 2005 dibagi seperti tabel bawah:

  25 Tabel 1. Klasifikasi WHO tumor pada kavitas rongga mulut.

  Malignant epithelial tumours Kode Squamous cell carcinoma 8070/3 Verrucous carcinoma 8051/3

  Basaloid squamous cell carcinoma 8083/3 Papilarry squamous cell carcinoma 8052/3 Spindle cell carcinoma 8074/3 Acantholytic squamous cell carcinoma 8075/3

  8560/3

  Adenosquamous carcinoma Carcinoma cuniculatum 8051/3 Lymphoepiteal carcinoma 8082/3 Menurut kode morfologi dari International Classification of Diseases for

  

Oncology (ICD-O) (821) dan Systematized Nomenclature of Medicine dimana

  jenisnya diberi kode /0 untuk tumor jinak, /3 untuk tumor ganas dan /1 untuk kasus

  

borderline atau ragu-ragu. KSS rongga mulut secara umum mempunyai gambaran

  histopatologi yang tidak berbeda dari KSS kulit maupun organ tubuh lainnya. KSS rongga mulut ada yang berdiferensiasi baik dimana menyerupai epitel skuamosa berlapis normal dan menghasilkan keratin dan ada juga KSS rongga mulut yang

  25 berdiferensiasi buruk.

  Berdasarkan derajat diferensiasi KSS rongga mulut, dapat dibagi kepada tiga, yaitu diferensiasi baik, sedang dan buruk. Gambaran KSS yang berdiferensiasi baik adalah mengandung sel berkeratin, gambaran keratin seperti tanduk mutiara (pearl

  

horn formation ) dengan ukuran yang bervariasi, pertumbuhan yang lambat, tidak

  cepat bermetastase dan mempunyai prognosa yang baik. Pada lesi tipikal, kelompok sel ganas ini dapat ditemukan secara aktif menginvasi jaringan konektif dengan

  21,25 bentuk yang tidak teratur (Gambar 1).

   A B

  Gambar 1. Gambaran histopatologi KSS berdiferensiasi baik dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) (x100).

  25 Anak panah: A. Mutiara keratin B. Nukleus sel. Gambaran KSS untuk yang diferensiasi sedang, berbeda dari satu dengan yang lainnya, dimana tersusun secara tipikal, sehingga epitel skuamosa juga kurang jelas. Laju pertumbuhan sel individu lebih cepat dengan pembelahan mitosis yang lebih

  21,25 meningkat dan bahkan ukuran bentuknya yang lebih bervariasi (Gambar 2).

  A

  Gambar 2. Gambaran histopatologi KSS berdiferensiasi sedang dengan pewarnaan HE (x400). A. Nukleus sel

  25 (anak panah merah).

  Untuk gambaran KSS yang berdiferensiasi buruk, sering sekali menghasilkan petunjuk sel-sel yang tidak jelas sehingga menimbulkan kesulitan dalam mendiagnosis. Sel-sel ini menunjukkan kurangnya daya kohesif yang sangat tidak teratur, pembentukan sel tumor raksasa, adanya anaplasia, peningkatan mitosis, serta

  21,25 tidak adanya pembentukan keratin (Gambar 3).

  A

  Gambar 3. Gambaran histopatologi KSS berdiferensiasi buruk dengan pewarnaan HE (x400). A. Nukleus sel

  25 (anak panah merah).

  KSS rongga mulut memiliki kecenderungan besar untuk menghasilkan metastasis pada kelenjar getah bening. Pada praktek klinis, rencana pengobatan dan prognosis KSS rongga mulut terutama didasarkan pada tumor primer, metastasis kelenjar getah bening regional dan sistem pementasan metastasis (TNM). Namun, sistem ini tidak menyediakan informasi tentang karakteristik biologi dan tingkat keagresifan klinis tumor yang jelas, dan ini telah menimbulkan suatu sistem penilaian keganasan KSS rongga mulut yang multifaktorial dikembangkan. Sistem penilaian pertama KSS rongga mulut telah dikembangkan oleh Broder pada tahun 1927 dan yang baru-baru ini merupakan sistem penilaian Bryne (1989). Berdasarkan sistem penilaian Bryne (Tabel 2), terdapat empat parameter yang diperlihatkan untuk menilai derajat diferensiasi KSS rongga mulut, yaitu derajat keratinisasi, pleomorphism inti, infiltrasi limfosit dan bentuk invasi tumor. Derajat diferensiasi KSS rongga mulut akan dinilai dengan memperhitungkan skor dari empat parameter tersebut, yaitu skor 4-8 (diferensiasi baik), skor 9-12 (diferensiasi sedang), dan skor 13-16 (diferensiasi

  21 buruk). Tabel 2. Sistem penilaian derajat diferensiasi KSS rongga mulut dengan parameter

21 Bryne.

  Skor Parameter morfologi

  1

  

2

  3

  4 Derajat >50% 20-50% 5-20% 0-5% keratinisasi

  berkeratinisasi berkeratinisasi berkeratinisasi berkeratinisasi

  Pleomorphisme

  Sangat Sedikit Sedang Banyak

  inti

  banyak Kumpulan

  Kumpulan Berinfiltrasi, sel-sel kecil

  Mendorong, sel-sel kecil

  Bentuk invasi

  bentuk tersebar luas berbatas tegas yang benang padat dan berinfiltrasi berinfiltrasi

  Infiltrasi limphoplas-

  Berat Sedang Ringan Tidak ada

  masistik

2.1.2 Etiologi

  Penyebab karsinoma sel skuamosa yang pasti belum diketahui. Penyebabnya diduga berhubungan dengan bahan karsinogen dan faktor predisposisi. Kanker rongga mulut memiliki penyebab yang multifaktorial dan suatu proses yang terdiri dari beberapa langkah yang melibatkan inisiasi, promosi dan perkembangan tumor. Faktor-faktor etiologi tersebut tidak bekerja secara terpisah, kombinasi dari berbagai faktor sering ditemukan bersama-sama. Secara garis besar, etiologi kanker rongga

  2,5 mulut dapat dikelompokkan atas faktor lokal, faktor luar, dan faktor pejamu (host).

  Faktor lokal seperti iritasi kronis umumnya dapat menyebabkan kanker seperti trauma mekanis dari gigitiruan yang tidak pas, restorasi yang tidak tepat, oral hygiene yang buruk dan tepi-tepi gigi yang tajam. Faktor luar meliputi kebiasaan merokok dan minum alkohol. Asap rokok mengandung bahan karsinogen (nitrosamine) dan alkohol menyebabkan rasa panas yang mempengaruhi selaput lendir mulut.

  Terjadinya rangsangan menahun menyebabkan kerusakan jaringan berulang-ulang sehingga mengganggu keseimbangan sel dan terjadinya displasia. Selain itu, sinar ultraviolet (UV) seringkali dianggap sebagai faktor penting yang dapat menyebabkan mutasi gen jika terpapar untuk jangka waktu yang panjang. Infeksi virus dan jamur yang tidak sembuh-sembuh meskipun telah diobati juga dapat menyebabkan kanker apabila infeksi tersebut berkelanjutan dalam jangka waktu yang panjang sehingga memicu terjadinya karsinoma. Faktor host seperti nutrisi yang dikonsumsi dapat mempengaruhi terjadinya kanker seperti kekurangan zat anti-oksidan seperti Vitamin A, C dan E. Selain itu, unsur lain seperti usia, jenis kelamin, imunologi dan genetik

  2,5 seseorang dapat juga meningkatkan risiko terjadinya kanker.

2.1.3 Patogenesis dan Siklus Sel

  KSS muncul sebagai akibat dari berbagai kejadian molekular yang menyebabkan kerusakan genetik yang mempengaruhi kromosom dan gen, yang akhirnya menuju kepada perubahan DNA. Akumulasi perubahan tersebut memicu terjadinya disregulasi sel pada batas dimana terjadinya pertumbuhan otonom dan perkembangan yang invasif. Proses neoplastik mula-mula bermanifestasi secara intraepitel dekat membran dasar sebagai suatu hal yang fokal, kemudian terjadi pertumbuhan klonal keratinosit sel yang berubah secara berlebihan, menggantikan epitelium normal. Setelah beberapa waktu atau beberapa tahun, terjadi invasi

  5,26 membran dasar jaringan epitel menandakan awal kanker invasif.

  Karsinogenesis merupakan proses genetik yang memicu perubahan morfologi dan tingkah laku seluler. Analisis perubahan di tingkat molekuler dapat menjadi alat diagnosis utama dan pemandu untuk melakukan perawatan, karena perubahan morfologis terjadi setelah adanya perubahan genetik. Kanker dan lesi prekanker rongga mulut berkembang sebagai akibat dari siklus sel yang tidak terkontrol dikarenakan multiple mutations. Proto-onkogen, Tumor supresor gen (TSG), dan molekul gatekeeper (cyclins dan CDK) merupakan kelompok gen DNA perbaikan

  25 yang dapat bermutasi di karsinoma sel skuamosa. Siklus sel normal dikendalikan oleh suatu kelompok protein yang secara umum disebut cyclin. Siklus berlangsung melalui fase mitosis (M), gap-1 (G1), sintesis DNA (fase S), gap-2 (G2), mitosis (M) dan seterusnya. Sel anak hasil mitosis secara teratur masuk ke siklus dalam fase G1, sebagian sel anak masuk ke fase istirahat (G0). Sel pada fase G0 dapat aktif kembali masuk ke fase G1 siklus sel. Masuknya kelompok sel ke fase istirahat, kemudian aktif kembali menyebabkan proses regenerasi tubuh

  27 berlangsung cepat.

  Masing-masing fase memiliki fungsi untuk mengaktivasi dan melengkapi fase sebelumnya, dan siklus sel akan berhenti jika fungsinya sudah terganggu. Diantara

  

G1/S terdapat checkpoint untuk memonitor DNA sebelum replikasi dan G2/M untuk

  memonitor DNA setelah replikasi. Checkpoint dilakukan oleh Tumor supresor gen

  

(TSG) salah satunya gen p53 atau dikenal sebagai master guardian of the genome dan

  merupakan unsur utama dalam memelihara keseimbangan genetik. Fungsi gen p53 mendeteksi sintesis DNA yang salah atau kerusakan DNA kemudian menginduksi gen

  

27

reparasi DNA serta menginduksi apoptosis.

  27 Gambar 4. Skema ilustrasi p53 checkpoint Pada gambar di atas (Gambar 4) menunjukkan internal control (checkpoint). Terdapat dua checkpoint inti, satu terdapat pada masa transisi antara G1/S checkpoint dan G2/M checkpoint yang berfungsi untuk memeriksa kerusakan DNA, jika ditemukan adanya kerusakan, maka sirkulasi sel akan melambat, waktu ini akan digunakan untuk memperbaiki DNA yang rusak, jika tidak dapat diperbaiki maka jalan untuk terjadinya apoptosis akan aktif dan DNA yang rusak akan dihancurkan. Gen p53 seharusnya merangsang p21 menekan semua cyclin dependent kinase agar

  

cyclin tidak bekerja, sehingga siklus sel akan terhenti. Pada saat terhentinya siklus sel

  akan memberikan waktu terjadinya perbaikan DNA sehingga dapat dihindari

  27 terbentuknya sel yang mengandung defek DNA.

2.2 Onkogen

  Onkogen merupakan gen pengatur pertumbuhan yang mengalami perubahan dalam pengaturan jalur transduksi sinyal-sinyal sel. Mutasi gen ini mengakibatkan terjadinya peningkatan produksi atau fungsi protein dalam sel. Onkogen berperan penting dalam proses karsinogenesis, tetapi tidak cukup untuk mengubah sel-sel

  7 epitel.

  Beberapa onkogen mempunyai implikasi dalam karsinogenesis rongga mulut. Penyimpangan reseptor faktor pertumbuhan epidermal proto-onkogen (EGFR / c-erb

  

1 ), gen anggota keluarga ras, c-myc, int-2, hst-1, PRAD -1, dan bcl-1 diyakini

  7 berkontribusi terhadap perkembangan kanker.

  Deregulasi faktor pertumbuhan terjadi selama karsinogenesis rongga mulut, melalui peningkatan produksi dan stimulasi autokrin. Penyimpangan ekspresi dari

  T

ransforming growth factor α (TGF-α) dilaporkan terjadi pada awal karsinogenesis

  rongga mulut. Penyimpangan ini terjadi pertama kali pada epitel hiperplastik dan kemudian pada infiltrasi sel-sel radang karsinoma. TGF-

  α merangsang proliferasi sel 7,26 dengan mengikat EGFR secara autokrin dan parakrin.

2.2.1 Gen Penekan Tumor Onkogen saja tidak cukup sebagai inisiator proses karsinogenesis.

  Transformasi sel premalignan menjadi sel ganas terjadi akibat inaktivasi gen penekan tumor, dan dianggap sebagai penyebab utama dalam perkembangan keganasan. Gen penekan tumor paling sering diinaktivasi melalui mutasi titik, penghapusan, dan

  7,26 penyusunan ulang salinan gen.

  Salah satu gen penekan kanker adalah gen p53 yang merupakan pelindung siklus sel. Gen p53 berperan dalam pengaturan siklus sel dengan mengontrol sejumlah gen termasuk gen apoptosis jika kerusakannya berat. Rekonstitusi jalur apoptosis oleh p53 dapat terjadi dengan mentransfer gen p53 wild type rekombinan pada sel kanker yang mengekspresi p53 null atau mutan. Bila sel terluka, p53 dalam inti memicu sel untuk melakukan “arrest” pada perbatasan G1/S dengan menginduksi penghambat CDK (cyclin D kinase) dan sistem perbaikan DNA terlebih dahulu menghilangkan luka tersebut sebelum sel memasuki fase S tanpa adanya DNA yang rusak. Program “arrest” dan apoptosis ini tergantung pada lingkungan fisiologik ataupun jenis sel. Oleh karena itu kehilangan fungsi gen p53 ini merupakan penyebab munculnya malignansi. Inaktivasi gen p53 ini biasanya terjadi dalam dua tahap yakni inaktivasi pada satu alel oleh mutasi titik atau delesi kecil dan berikutnya adalah kehilangan alel normal oleh delesi segmen kromosom. Inaktivasi alel pertama dapat terjadi pada sel somatik maupun sel germ. Gen ini juga disebut “guardian of the cell”. Sel yang tidak memiliki p53 menunjukkan ketidakstabilan genom dan memperbesar

  7 karsinogenesis.

2.3 Nukleus

  Nukleus (Gambar 5) sering dikenal sebagai inti sel. Nukleus pertama kali dikenalkan oleh Brown pada tahun 1831 yang mengamati sel-sel tumbuhan. Struktur nukleus sel tumbuhan (eukariot) mempunyai inti sel yang jelas ketika diamati, karena bahan-bahan inti yang ada di dalam nukleus dibatasi oleh membran nukleus (karyotheca), yaitu struktur membran fosfolipid bilayer mirip dengan

  28 struktur membran plasma. Nukleus memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan sebuah sel. Peranan nukleus dalam hal ini adalah untuk mengatur dan mengontrol segala aktifitas kehidupan sel serta membawa informasi genetik yang diturunkan ke generasi berikutnya. Informasi genetik ini disimpan dalam suatu molekul polinukleutida yang disebut DNA (Deoxyribonucleic acid). DNA pada umumnya tersebar di dalam nukleus sebagai matriks seperti benang yang disebut kromatin. Ketika sel akan memulai membelah, kromatin akan berkondensasi membentuk struktur yang lebih padat dan memendek yang selanjutnya disebut kromosom. Kromosom tersusun atas molekul DNA dan protein histon. Struktur di dalam nukleus yang merupakan tempat berkonsentrasinya molekul DNA adalah nukleolus (anak inti.). Nukleolus berperan sebagai tempat terjadinya sintesis molekul RNA (Ribonucleic acid) dan ribosom. RNA merupakan hasil salinan DNA yang akan ditransfer ke sitoplasma untuk

  28 diterjemahkan menjadi rantai asam amino yang disebut protein.

  27 Gambar 5. Bentuk nukleus

2.3.1 Nukleolus

  Struktur nukleolus (anak inti) pada pengamatan mikroskop elektron terlihat sebagai sebuah atau lebih bangunan basofil yang berukuran lebih besar dari ukuran

  28 butir-butir kromatin.

  Nukleolus merupakan tempat berlangsungnya transkripsi gen, dimana molekul

  

rRNA diproses. rRNA adalah salah satu jenis RNA yang merupakan materi penyusun

  ribosom. Molekul rRNA yang baru terbentuk, akan segera dikemas bersama protein ribosom untuk dikeluarkan dari inti sel. Transkripsi molekul rRNA di dalam nukleolus menjamin pembentukan molekul ribosom pada sitoplasm. Di dalam nukleolus, terdapat sejumlah potongan-potongan DNA (rDNA) yang ditranskripsi menjadi rRNA secara berulang-ulang, dan berlangsung cepat dengan bantuan enzim RNA polymerase I. Potongan-potongan DNA tersebut dinamakan nucleolar

  

organizer . Kandungan RNA dalam nukleolus jika dibanding dengan bagian lain dari

28,29 inti sel adalah tidak tetap, yaitu diperkirakan 5%-20%.

  2.3.2 Nucleolar Organizing Region (NOR) Nucleolus organizer region (NOR) atau nucleolar organizer merupakan bagian

  14

  kromosom dimana sekitarnya terjadi pembentukan nukleolus. Nukleolus organizer

  regions (NORs) adalah segmen kromosom dienkripsi untuk RNA ribosom (rRNA)

  yang hadir pada loop spesifik DNA. NOR telah menerima banyak perhatian baru-baru ini karena dari pengamatan didapati bahwa frekuensi NOR dalam inti secara signifikan lebih tinggi dalam sel-sel ganas berbanding sel normal, sel reaktif atau sel neoplastik jinak sehingga merupakan nilai diagnostik dalam karakterisasi invasi pada karsinoma. NOR juga berperan dalam estimasi aktivitas selular yang diterapkan pada

  30

  berbagai lesi neoplastik atau hiperplastik. Daerah ini merupakan bagian tertentu dari kromosom yang berhubungan dengan nukleolus setelah nukleus membagi dan berisi beberapa salinan tandem gen DNA ribosom. Pada manusia, NOR mengandung gen

5.8S, 18S, 28S rRNA yang berkerumun di lengan pendek kromosom 13, 14, 15, 21

  14,30

  dan 22 (kromosom akrosentrik). NOR adalah gen yang mengkode prekursor dari tiga ribosomal RNA terbesar (18S, 5.8S dan 25S pada tanaman). NOR termasuk gen aktif rRNA, yang menimbulkan konstriksi sekunder kromosom metafase. Pada metafase, sisa protein dari nukleolus sering terkait dengan konstriksi sekunder. Setiap gen rRNA pada NOR hampir identik secara berurutan, meskipun bervariasi dalam ukuran karena perbedaan jumlah elemen DNA ulangan dalam bagian ruangan

  32 intergenik umum.

  Dalam komplemen kromosom lengkap selalu ada enam kromosom dengan terminal nucleolus organizing region (NOR). Dalam kebanyakan kasus, bagian dari

  

NOR adalah decondensed, dan dari beberapa bagian decondensed ini dibentuk

  bersama-sama menjadi nukleolus besar. Nukleolus besar ini mudah terlihat dalam fase kontras bahkan tanpa pra-perawatan karena struktur khusus dan ukuran besarnya. Bentuk nukleolus berkisar dari membulat ke irregular. Selain pembentukan nukleolus dari enam NOR ini, ada juga beberapa nukleolus yang lebih kecil terdiri dari NOR

  30,33

  hanya dua sampai lima nucleolus organizing kromosom. Nucleolus organizer

  

region (NOR) dapat diidentifikasi melalui teknik argyrofilik (AgNOR) melalui proses

  14 rutin fiksasi formalin parafin.

  NORs juga mengandung zat asam, dan protein non-histon yang mengikat ion perak dan dapat dilihat secara selektif dengan metode perak pada sampel sito- histologi. NORs yang dihubungkan dengan protein argyrofilik apabila diwarnakan dengan perak disebut sebagai “AgNOR”. Sifat biokimia yang tepat dari protein ini belum didefinisikan, tetapi telah diketahui sebagai B 23, C 23 dan RNA polymerase

  30

  dan dikaitkan dengan asam, unsur non-histon. Pada mikroskop cahaya, protein

  14,30 AgNOR dapat terlihat sebagai titik-titik hitam yang terletak di dalam nukleolus.

  

NORs banyak menarik perhatian karena frekuensi muncul pada sel ganas lebih tinggi

  31 daripada sel normal, reaktif atau sel neoplastik jinak.

2.3.3 Nucleophosmin dan Alternative Reading Frame (ARF)

  Nucleophosmin (NPM) atau B23 merupakan sebuah fosfoprotein nukleolar dalam pengolahan rRNA dan juga merupakan salah satu protein argyrofilik dari

  

AgNORs . NPM terlibat dalam mengendalikan pertumbuhan sel, diferensiasi sel dan

  merupakan program kematian sel. NPM yang berlebihan ekspresi dapat berkontribusi dalam timbulnya kanker. NPM berperan dalam biogenesis ribosom, dimana fosforilasi dan modifikasi NPM oleh cyclin E - CDK2 holoenzyme diperlukan untuk duplikasi sentrosom dan replikasi DNA. NPM merupakan onkogen kuat dan

  12,13 menyebabkan translokasi kromosom pada leukemia myeloid akut.

  ARF merupakan protein yang berperan sebagai gen penekan tumor dalam nukleolar. Laporan terbaru dari Sherr, Roussel dan Yanping Zhang menunjukkan bahwa NPM dan ARF berinteraksi secara langsung dalam nukleolus. Laporan data juga menunjukkan NPM nucleocytoplasmic merupakan kunci utama dalam mempromosi proliferasi sel. Pengolahan rRNA dipengaruhi oleh pembentukan kompleks ARF - NPM dalam nukleolus. ARF berinteraksi dengan protein argyrofilik

  

nucleolar untuk mencegah produksi ribosom dan tumorigenesis, serta

  12 menggarisbawahi potensi onkogenik pada nukleolus.

  Protein shuttling di antara nukleus dan sitoplasma merupakan kunci mekanisme dalam memastikan perkembangan siklus sel yang tepat. Dalam penelitian sebelumnya, NPM telah diidentifikasi sebagai target p53-independen novel oleh protein penekan tumor ARF. Dalam menanggapi sinyal hiperproliferatif karena NPM, nukleolar ARF mengikat NPM secara efektif dalam menghambat shuttling

  13

nucleocytoplasmic NPM . Tanpa sebuah checkpoint ARF utuh, protein nukleolus

  seperti NPM dapat berubah dan menyebabkan tumorigenesis melalui berbagai fungsi

  12 nukleolarnya.

2.3.4 Perwarnaan AgNOR

  Pemeriksaan kanker pada saat ini banyak dilakukan dengan mengamati proliferasi dan apoptosis sel. Proliferasi sel dapat dipelajari secara baik dengan metode “flow-sitometri” atau pelabelan radioisotop dengan Ki-67, PCNA (Proliferating Cell Nuclear Antigen) dan teknik pewarnaan seperti AgNORs. Metode

  AgNOR ini dapat digunakan dalam mengevaluasi morfologi dan kinetika sel, dan

  merupakan parameter yang digunakan dalam menilai respon radiasi melalui hasil

  31 histopatologi. Pewarnaan AgNOR (prosedurnya dirujuk pada muka surat 32) ini dengan mudah dapat dilakukan pada jaringan yang difiksasi dengan formalin, dan digunakan untuk mengevaluasi morfologi dan kinetika sel dalam biopsi dengan ukuran yang

  16

  kecil. Marker kanker AgNORs dapat digunakan untuk melakukan pemeriksaan proliferasi melalui bercak AgNORs pada daerah inti atau “Nucleolar Organizer

  

Regions ” (NORs) lengkung DNA ribosom yang ditranskripsikan menjadi RNA

  

31

ribosomal dengan bantuan RNA polymerase.

  Pengamatan sejumlah parameter AgNOR (jumlah, ukuran dan distibusi) dapat digunakan dalam patologi sel kanker untuk kepentingan diagnostik maupun prognostik. Jumlah, ukuran dan distribusi AgNOR dalam nukleus dapat digunakan untuk memdeteksi dan memprediksi prognosis sejumlah neoplasia, seperti kandung

  16,31

  kemih, karsinoma faring, dan lesi pada kulit. AgNOR diamati dengan mikroskop cahaya sebagai titik-titik hitam. Pengamatan AgNOR secara kuantifikasi dan kualitatif lebih tepat dengan menggunakan metode morfometrik, dimana AgNORnya diperbesarkan dengan skala geometrik tertentu sehingga gambarannya kelihatan lebih

  19 jelas.

  Penelitian menunjukkan AgNOR dapat digunakan untuk menunjukkan adanya aktifitas biologis pada karsinoma sel skuamosa. AgNOR juga digunakan pada oral submukus fibrosis untuk memperkirakan perilaku biologis oral submukus fibrosis, yang dapat dihubungkan dengan gradasi histologi klinis. Ketertarikan para ahli pada protein AgNOR meningkat sekitar tahun 1980-an diikuti dengan observasi bahwa sel ganas memiliki jumlah AgNOR yang lebih tinggi dibandingkan dengan sel yang jinak

  34

  atau sel normal. Pada penelitian Salehinejad, dkk. (2007), sel ganas menunjukkan jumlah AgNOR yang lebih banyak dan bentuk tidak beraturan, sedangkan sel jinak

  35

  memiliki AgNOR yang lebih sedikit dengan bentuk yang teratur. Pada sel normal, hanya satu atau dua titik AgNOR yang dilihat sebagai titik-titik yang padat. Bagi sel- sel normal (Gambar 6) yang semakin bergerak menuju ke sel displastik dan sel-sel ganas, jumlah DNA semakin meningkat berserta dengan peningkatan jumlah titik

  

AgNOR . Sel-sel ganas mempunyai derajat diferensiasi yang berlainan yang dimana

  mempunyai nilai AgNOR yang berbeda. AgNOR yang ditemukan pada sel ganas diferensiasi baik (Gambar 7) mempunyai nilai AgNOR yang rendah dibanding dengan sel ganas yang diferensiasinya sedang (Gambar 8), buruk (Gambar 9) atau

  

undifferentiated (Gambar 10). Ini karena derajat diferensiasi secara umum

  berhubungan dengan tingkat keganasan dan proliferasi sel, sehingga tumor yang derajat diferensiasinya buruk akan mempunyai tingkat proliferasi yang lebih tinggi

  36,37,38

  yang tercermin dari nilai AgNOR yang lebih tinggi. Saat ini, berbagai studi dilakukan untuk mengetahui kemungkinan menemukan penanda keganasan dari titik- titik AgNOR. Hal ini dilakukan karena teknik ini mudah dilakukan, murah, cepat dan

  35 menghasilkan informasi yang akurat tentang perkembangan keganasan.

  Gambar 6. Gambaran mikroskopis mukosa normal rongga mulut dengan pewarnaan AgNOR (100X). Anak panah

  38 biru menunjukkan titik hitam AgNOR. Gambar 7. Gambaran mikroskopis karsinoma sel skuamous (KSS) rongga mulut berdiferensiasi baik dengan NORs yang sedikit terdapat pada inti (1000X). Anak

  38 panah biru menunjukkan titik hitam AgNOR.

  Gambar 8. Gambaran mikroskopis karsinoma sel skuamousa (KSS) rongga mulut berdiferensiasi sedang dengan sebagian ukuran NORs pada inti yang beragam (1000X). Anak

  38 panah biru menunjukkan titik hitam AgNOR. Gambar 9. Gambaran mikroskopis karsinoma sel skuamous (KSS) rongga mulut berdiferensiasi buruk dengan jumlah NORs yang banyak dan beragam pada inti (1000X).

  38 Anak panah biru menunjukkan titik hitam AgNOR.

  Gambar 10. Gambaran mikroskopis karsinoma sel skuamous (KSS) rongga mulut tidak berdiferensiasi (undifferentiated) dengan jumlah NORs yang banyak dan berkelompok pada inti (1000X). Anak panah biru menunjukkan titik

  38 hitam AgNOR.

  2.4 Kerangka Teori

  Sel epitel rongga mulut

  Nukleus

  Nukleolus Nucleolus Organizer Region (NOR) NOR associated protein (NORAPs) yang bersifat asam berhubungan dengan transkripsi RNA normal dan Nucleophosmin

  ARF dalam keadaan terkontrol

  Sel Normal Bahan iritan / karsinogenik Faktor lokal p53 terhambat sehingga perbaikan

  Perbaikan Faktor luar

  DNA terhambat

  DNA berhasil (reversible)

  Mutasi gen

  Proliferasi Apoptosis (-)

  Displasia Perbaikan DNA yang terhambat semakin banyak

  Karsinoma rongga mulut ARF terhambat masuk ke nukleoplasma

  Ekspresi Nucleophosmin berlebihan dan mencegah agregasi NOR yang terjadi secara menetap (ireversibel)

  Pewarnaan AgNOR dan pengamatan titik-titik hitam dibawah mikroskop cahaya

2.5 Kerangka Konsep

  Perbaikan DNA berhasil (reversible)

  

Sel epitel rongga mulut

  Nukleus

  

Nukleolus

Nucleolus Organizer Region (NOR)

p53 terhambat sehingga perbaikan

  

DNA terhambat

NOR associated protein (NORAPs) yang bersifat asam berhubungan dengan transkripsi RNA

  

Mutasi gen

ARF normal dan Nucleophosmin

dalam keadaan terkontrol

  

Displasia

Karsinoma rongga mulut

  Pewarnaan AgNOR dan pengamatan titik-titik hitam dibawah mikroskop cahaya

  

Sel Normal

  Proliferasi Apoptosis (-)

  Bahan iritan / karsinogenik Faktor lokal Faktor luar

  Data distribusi frekuensi AgNOR untuk masing-masing tipe diferensiasi KSS.