Tampilan p63 pada Papilloma Sinonasal untuk Memprediksi Transformasi Maligna Menjadi Karsinoma Sel Skuamosa
untuk Memprediksi Transformasi Maligna
Menjadi Karsinoma Sel Skuamosa
Tesis
Oleh :
Ina Farida Rangkuti
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS DEPARTEMEN PATOLOGI ANATOMI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2013
(2)
(3)
Judul Penelitian : Tampilan p63 pada Papilloma Sinonasal untuk Memprediksi Transformasi Maligna Menjadi Karsinoma Sel Skuamosa
Akan diuji pada
Hari/Tanggal : Rabu, 6 Nopember 2013
Pembimbing : 1. Prof. dr. H. M. Nadjib Dahlan Lubis, Sp.PA.(K) 2. dr. T. Ibnu Alferraly, M.Ked.(PA), Sp.PA, D.Bioet
Penguji : 1. dr. H. Joko S. Lukito, Sp.PA.(K) 2. dr. H. Soekimin, Sp.PA.(K)
(4)
PERNYATAAN
Tampilan p63 pada Papilloma Sinonasal untuk Memprediksi Transformasi Maligna Menjadi Karsinoma Sel Skuamosa
Hasil Penelitian
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam usulan penelitian ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruaan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat orang lain yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam rujukan ini.
Peneliti,
dr. Ina Farida Rangkuti,M.Ked.(PA) NIM : 097108001
(5)
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmatNya, serta salawat dan salam kepada junjungan Rasulullah Muhammmad saw, sehingga Penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul “Tampilan p63 pada Papilloma Sinonasal untuk Memprediksi Transformasi Maligna Menjadi Karsinoma Sel Skuamosa”.
Tesis ini adalah salah satu syarat yang harus dilaksanakan penulis dalam rangka memenuhi persyaratan untuk meraih gelar Spesialis Patologi Anatomi dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Patologi Anatomi pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dengan selesainya tesis ini, ijinkan penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A.(K) dan seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Patologi Anatomi pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar A. Siregar, Sp.PD.(KGEH), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk menyelesaikan pendidikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Patologi Anatomi pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Prof. dr. H. M. Nadjib Dahlan Lubis, Sp.PA.(K) (Pembimbing I) dan dr. T. Ibnu Alferraly, M.Ked.(PA), Sp.PA, D.Bioet (Pembimbing II) yang penuh perhatian dan kesabaran telah mengorbankan waktu untuk memberikan dorongan, bimbingan, bantuan serta saran-saran yang bermanfaat kepada penulis mulai dari persiapan penelitian sampai pada penyelesaian tesis ini.
Terima kasih kepada dr. H. Joko S. Lukito, Sp.PA.(K) dan dr. H. Soekimin, Sp.PA.(K), yang telah bersedia untuk menguji, mengoreksi dan memberikan
(6)
saran-Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan yang telah memberikan tempat dan mengizinkan penulis untuk mengambil sampel data penelitian ini.
Terima kasih kepada dr. T. Ibnu Alferraly, M.Ked.(PA), Sp.PA, D.Bioet selaku Ketua Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan dr. H. Delyuzar, M.Ked.(PA), Sp.PA.(K), selaku Ketua Program Studi Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara sekaligus pembimbing akademik penulis, atas segala bantuannya selama penulis menjalankan pendidikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Patologi Anatomi pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Rasa hormat dan terima kasih penulis sampaikan kepada dewan guru lainnya yakni Prof. dr. Gani W Tambunan, Sp.PA.(K), dr. Betty, M.Ked.(PA), Sp.PA, dr. Lidya Imelda Laksmi, M.Ked.(PA), Sp.PA, dr. Jessy Chrestella, M.Ked.(PA), Sp.PA, dan dr. Hj. Kemala Intan, M.Pd.
Persembahan terima kasih tulus tak terhingga, rasa hormat dan sembah sujud kepada kedua orang tua, ibunda tercinta Hj.Husnidar Matondang (Almh) dan ayahanda tercinta H.Tarzan Rangkuti (Alm), yang telah membesarkan, mendidik dengan susah payah, namun penuh kasih sayang tulus dan doa. Juga tak terlupakan yang selalu turut memberikan dorongan dan doa Hj. Rahmiwati Lubis, Dra. R. Adawiyah Matondang, Hj.Aisyah Jamisah Matondang, Syamsidar Matondang (Almh), Dra. Hj.Yunidiar, MSc, dan H. Yusmi.
Kepada suami tercinta Dedi Harianto,ST dan buah hati bunda Rafif Adinata Ramadhan, tiada kata setara yang dapat diucapkan untuk mengutarakan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas cinta, kasih sayang, pengertian, pengorbanan, kesabaran, serta doa yang tulus yang diberikan kepada penulis. Dan kepada seluruh keluarga besarku, abang-abang, kakak-kakak, adik-adik, kemanakan-kemanakan yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, saya ucapkan terima kasih atas dorongan moral, materi, dan doa yang selalu menyemangati penulis untuk dapat menjalani pendidikan dengan baik.
(7)
seluruh pegawai di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Akhirnya penulis menyadari bahwa isi hasil penelitian ini masih perlu mendapat koreksi dan masukan untuk kesempurnaan. Oleh karena itu penulis berharap adanya kritik dan saran untuk penyempurnaan tulisan ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Penulis,
Ina Farida Rangkuti NIM : 097108001
(8)
Halaman
Lembaran Persetujuan………..………... i
Lembaran Panitia Ujian……….………... ii
Lembaran Surat Pernyataan Bebas Plagiarisme... iii
Ucapan Terima Kasih... iv
Daftar Isi….………... vii
Daftar Singkatan………... x
Daftar Gambar…….………. xi
Daftar Tabel …….……… xii
Abstrak... xiii
BAB 1 Pendahuluan………....
1.1 Latar Belakang………..………... 1.2 Perumusan Masalah………... 1.3 Hipotesis... 1.4 Tujuan Penelitian………... 1.5 Manfaat Penelitian………...
1 1 6 7 7 7 BAB 2 Tinjauan Pustaka……….……….………..
2.1 Anatomi ...………... 2.2 Histologi………... 2.3 Epidemiologi…...………... 2.4 Etiologi dan Patogenesis.………...
8 8 9 10 13
(9)
2.7 Pemeriksaan Patologi………..………... 2.7.1 Papilloma Sinonasal (SchneiderianPapilloma)...……... 2.7.2 Karsinoma Sel Skuamosa………... 2.8 Penatalaksanaan …...………... 2.9 Prognosis...………...…………... 2.10 Gen p63... 2.11 Kerangka Teori……….……...……….. 2.12 Kerangka Konsepsional...
17 17 22 26 26 27 34 35 BAB 3 Bahan dan Metoda………..………...
3.1 Rancangan Penelitian……..………..………... 3.2 Tempat dan waktu penelitian……..………... 3.2.1 Tempat Penelitian…...………...…... 3.2.2 Waktu Penelitian…...………... 3.3 Subjek penelitian………...………... γ.γ.1 Populasi…….………... 3.3.2 Sampel..…...………... 3.3.3 Besar Sampel……..………...………... 3.3.4 Pengambilan Sampel... 3.4 Kriteria Penelitian ...………...………... 3.4.1 Kriteia Inklusi... 3.4.2 Kriteria Eksklusi...
36 36 36 36 36 37 37 37 37 38 38 38 38
(10)
3.6 Defenisi operasional…..….………... 3.7 Cara Kerja ………...
3.7.1 Pembuatan Sediaan Mikroskopis... 3.7.2 Prosedur Sebelum Pulasan Antibodi Primer... 3.7.3 Protokol Pemulasan p63 dengan Menggunakan Metode REAL Envision... 3.8 Alat dan Bahan Penelitian... 3.8.1 Alat-Alat Penelitian... 3.8.2 Bahan Penelitian... 3.9 Instrumen Penelitian... 3.10 Teknik Analisa Data...
39 41 42 43 43 44 44 44 46 46 BAB 4 Hasil dan Pembahasan ………..………...
4.1 Hasil Penelitian……..………..………... 4.2 Pembahasan……..………...
47 47 51 BAB 5 Kesimpulan dan Saran………..…………..…………...
5.1 Kesimpulan……..………..………...……... 5.2 Saran…..………...
59 59 60 Daftar Rujukan... 61 Lampiran 1. Master Data
Lampiran 2. Surat Persetujuan Komisi Etik
Lampiran 3. Gambar Tampilan Papilloma Sinonasal dengan HE dan Imunohistokimia p63
(11)
WHO : Word Health Organization
HPV : Human Papilloma Virus
EBV : Epstein-Barr Virus
EGFR : Epidermal Growth Factor Reseptor TGF-alpha : Transforming Growth Factor-Alpha
CT : Computed Tomography
MRI : Magnetic Resonance Imaging PET : Positron Emission Tomography KSS : Karsinoma Sel Skuamosa TNM : Tumor, Nodul, Metastasis
TAp63 : protein p63 dengan transactivation domain ΔNp6γ. : protein p63 tanpa transactivation domain
DBD : DNA-binding
OD : Oligomerisasi
TAD : Transactivation Domain SAM : Sterile Alpha Motif PID : Post-Inhibitory
(12)
Halaman
Gambar 2.1 Inverted Papilloma.... 20
Gambar 2.2 Oncocytic Papilloma... 21
Gambar 2.3 Exophytic Papilloma... 22
Gambar 2.4 Biopsi aspirasi jarum halus pada KSS... 24
Gambar 2.5 Histopatologi KSS Berkeratin ... 24
Gambar 2.6 Histopatologi KSS Nonkeratin ...... 25
Gambar 2.7 Struktur gen p63... 28
Gambar 2.8 Tampilan p63 pada jaringan normal... 33
(13)
Tabel 2.1 Distribusi frekuensi varian papilloma sinonasal... 11
Tabel 2.2 Perbandingan ketiga varian papilloma sinonasal... 22
Tabel 2.3 Ekspresi p63 pada beberapa lokasi jaringan/organ... 30
Tabel 3.1 Waktu Pelaksanaan Penelitian... 36
Tabel 4.1 Distribusi frekuensi varian papilloma sinonasal... 47
Tabel 4.2 Distribusi frekuensi papilloma sinonasal berdasarkan kelompok umur... 48
Tabel 4.3 Distribusi frekuensi papilloma sinonasal berdasarkan jenis kelamin... 48
Tabel 4.4 Skor distribusi tampilan p63 pada inverted papilloma dan oncocytic papilloma... 49
Tabel 4.5 Skor intensitas tampilan p63 pada inverted papilloma dan oncocytic papilloma... 50
Tabel 4.4 Skor imunoreaktif tampilan p63 pada inverted papilloma dan oncocytic papilloma... 50
(14)
Ina Farida Rangkuti, M.Nadjib Dahlan Lubis, T.Ibnu Alferraly
Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Abstrak
Latar Belakang: Papilloma sinonasal adalah tumor jinak epitel traktus sinonasal yang tumbuh eksofitik atau endofitik, dengan atipia ringan sampai sedang, namun tanpa invasi stroma. Tumor ini terdiri atas varian inverted papilloma, exophytic papilloma, dan oncocytic papilloma. Meskipun jinak tumor ini bersifat agresif lokal, rekurensi, dan berpotensi transformasi maligna, paling sering menjadi karsinoma sel skuamosa. Gen p63 semakin dikenal sebagai protein penting yang turut berperan dalam perkembangan tumor. Ekspresi p63 pada karsinoma sel skuamosa menunjukkan bahwa p63 berperan sebagai onkogen.
Tujuan : Untuk mengetahui pola tampilan p63 pada berbagai varian papilloma sinonasal untuk memprediksi transformasi maligna menjadi karsinoma sel skuamosa.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang. Sampel penelitian diambil dari arsip blok parafin dan preparat histopatologik papilloma sinonasal mulai 1 Januari 2009 sampai 30 Juni 2013; dan 31 kasus dikumpulkan terdiri atas inverted papilloma
(19) dan oncocytic papilloma (12). Dilakukan pemotongan ulang blok sampel dan dipulas dengan imunohistokimia p63, lalu dianalisa perbedaan tampilan pada kedua varian.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan skor imunoreaktif tampilan p63 dengan skor imunoreaktif 0-6 (low expression), yaitu inverted papilloma 73,68% (14 dari 19 kasus) dan oncocytic papilloma 75% (9 dari 12 kasus); skor imunoreaktif 7-9 (high expression), yaitu inverted papilloma 26,32% (5 dari 19 kasus) dan oncocytic papilloma 25% (3 dari 12 kasus); p value > 0,05 (Fisher’s Exact Test).
Kesimpulan: Pada penelitian ini didapatkan distribusi dan intensitas tampilan p63 yang beragam pada inverted papilloma dan oncocytic papilloma, namun menurut perhitungan statistik tidak bermakna, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini antibody p63 tidak dapat digunakan untuk memprediksi transformasi maligna pada papilloma sinonasal menjadi karsinoma sel skuamosa.
Kata Kunci: papilloma sinonasal, inverted papilloma, oncocytic papilloma, tampilan p63.
(15)
composed of an exophytic or endophytic epithelial cells proliferation, with mild to moderate atypia and without stromal invasion. There are three variants – inverted papilloma, exophytic papilloma, and oncocytic papilloma. Although a benign pathology it is associated with locally aggressive, recurrence, and malignancy, especially into squamous cell carcinoma. The p63 gene is becoming increasingly recognized as an important player in human tumorigenesis. Overexpression of p63 in many squamous cell carcinoma suggests that it could act as an oncogene.
Objective : The aim of this study is to clarify the expression pattern of p63 in sinonasal papilloma variant to predict malignant transformation into squamous cell carcinoma.
Methods : This cross-sectional study was performed on 31 paraffins and slides of patients with sinonasal papillomas, which consist of inverted papillomas (19 cases) and oncocytic papillomas (12 cases), who were diagnosed between January, 1st 2009 to June, 30th 2013. Immunostaining were performed to determine the expression pattern of p63 between inverted papillomas and oncocyticpapillomas.
Results : In this study, immunoreactivity of p63 with low expression (0-6) was in inverted papilloma 73,68% (14 from 19 cases), and oncocytic papilloma 75% (9 from 12 cases), with high expression (7-9) was in inverted papilloma 26,32% (5 from 19 cases), and oncocytic papilloma 25% (3 from 12 cases). The relationship between p63 expression in inverted papilloma and oncocytic papilloma by using Fisher's exact test showed p-value > 0.05.
Conclusion: This study showed varying distribution and intensity of p63 expression in inverted papilloma and oncocytic papilloma, althought statistically there was not difference, so it can be concluded that the p63 antibody in this study can not be used to predict malignant transformation in sinonasal papilloma into squamous cell carcinoma.
Key words: sinonasal papilloma, inverted papilloma, oncocytic papilloma, p63 expression.
(16)
Ina Farida Rangkuti, M.Nadjib Dahlan Lubis, T.Ibnu Alferraly
Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Abstrak
Latar Belakang: Papilloma sinonasal adalah tumor jinak epitel traktus sinonasal yang tumbuh eksofitik atau endofitik, dengan atipia ringan sampai sedang, namun tanpa invasi stroma. Tumor ini terdiri atas varian inverted papilloma, exophytic papilloma, dan oncocytic papilloma. Meskipun jinak tumor ini bersifat agresif lokal, rekurensi, dan berpotensi transformasi maligna, paling sering menjadi karsinoma sel skuamosa. Gen p63 semakin dikenal sebagai protein penting yang turut berperan dalam perkembangan tumor. Ekspresi p63 pada karsinoma sel skuamosa menunjukkan bahwa p63 berperan sebagai onkogen.
Tujuan : Untuk mengetahui pola tampilan p63 pada berbagai varian papilloma sinonasal untuk memprediksi transformasi maligna menjadi karsinoma sel skuamosa.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang. Sampel penelitian diambil dari arsip blok parafin dan preparat histopatologik papilloma sinonasal mulai 1 Januari 2009 sampai 30 Juni 2013; dan 31 kasus dikumpulkan terdiri atas inverted papilloma
(19) dan oncocytic papilloma (12). Dilakukan pemotongan ulang blok sampel dan dipulas dengan imunohistokimia p63, lalu dianalisa perbedaan tampilan pada kedua varian.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan skor imunoreaktif tampilan p63 dengan skor imunoreaktif 0-6 (low expression), yaitu inverted papilloma 73,68% (14 dari 19 kasus) dan oncocytic papilloma 75% (9 dari 12 kasus); skor imunoreaktif 7-9 (high expression), yaitu inverted papilloma 26,32% (5 dari 19 kasus) dan oncocytic papilloma 25% (3 dari 12 kasus); p value > 0,05 (Fisher’s Exact Test).
Kesimpulan: Pada penelitian ini didapatkan distribusi dan intensitas tampilan p63 yang beragam pada inverted papilloma dan oncocytic papilloma, namun menurut perhitungan statistik tidak bermakna, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini antibody p63 tidak dapat digunakan untuk memprediksi transformasi maligna pada papilloma sinonasal menjadi karsinoma sel skuamosa.
Kata Kunci: papilloma sinonasal, inverted papilloma, oncocytic papilloma, tampilan p63.
(17)
composed of an exophytic or endophytic epithelial cells proliferation, with mild to moderate atypia and without stromal invasion. There are three variants – inverted papilloma, exophytic papilloma, and oncocytic papilloma. Although a benign pathology it is associated with locally aggressive, recurrence, and malignancy, especially into squamous cell carcinoma. The p63 gene is becoming increasingly recognized as an important player in human tumorigenesis. Overexpression of p63 in many squamous cell carcinoma suggests that it could act as an oncogene.
Objective : The aim of this study is to clarify the expression pattern of p63 in sinonasal papilloma variant to predict malignant transformation into squamous cell carcinoma.
Methods : This cross-sectional study was performed on 31 paraffins and slides of patients with sinonasal papillomas, which consist of inverted papillomas (19 cases) and oncocytic papillomas (12 cases), who were diagnosed between January, 1st 2009 to June, 30th 2013. Immunostaining were performed to determine the expression pattern of p63 between inverted papillomas and oncocyticpapillomas.
Results : In this study, immunoreactivity of p63 with low expression (0-6) was in inverted papilloma 73,68% (14 from 19 cases), and oncocytic papilloma 75% (9 from 12 cases), with high expression (7-9) was in inverted papilloma 26,32% (5 from 19 cases), and oncocytic papilloma 25% (3 from 12 cases). The relationship between p63 expression in inverted papilloma and oncocytic papilloma by using Fisher's exact test showed p-value > 0.05.
Conclusion: This study showed varying distribution and intensity of p63 expression in inverted papilloma and oncocytic papilloma, althought statistically there was not difference, so it can be concluded that the p63 antibody in this study can not be used to predict malignant transformation in sinonasal papilloma into squamous cell carcinoma.
Key words: sinonasal papilloma, inverted papilloma, oncocytic papilloma, p63 expression.
(18)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Tumor rongga hidung dan sinus paranasal atau disebut juga tumor sinonasal adalah tumor yang dimulai dari dalam rongga hidung atau sinus paranasal di sekitar hidung. Rongga hidung dikelilingi oleh sinus paranasal yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan posterior, frontal dan sfenoid. Umumnya sinus-sinus ini bermuara ke meatus medius rongga hidung. Oleh sebab itu pembicaraan mengenai tumor rongga hidung tidak dapat dipisahkan dari tumor sinus paranasal karena keduanya saling mempengaruhi kecuali jika ditemukan masing-masing dalam keadaan dini. 1,2,3
Tumor sinonasal jarang ditemukan, baik yang jinak maupun yang ganas. Tumor jinak yang paling sering pada sinonasal adalah papilloma sinonasal, sedangkan tumor ganas yang paling sering adalah karsinoma sel skuamosa. Papilloma sinonasal diperkenalkan oleh Ward sejak tahun 1854, hanya mewakili 0,4-4,7% dari semua tumor sinonasal. Papilloma sinonasal bersifat jinak, agresif lokal, dapat kambuh kembali, dan dapat mengalami transformasi maligna. Syrjanen pada suatu studi meta-analitik melaporkan dari data yang dikumpulkan antara tahun 1972-1992, dijumpai 1325 kasus papilloma sinonasal, menunjukkan laki-laki lebih sering dibandingkan perempuan dengan rasio 3:1, dengan usia rata-rata 53 tahun, namun dijumpai juga terjadi pada anak-anak.3,4,5,6,7,8,9
Mukosa respiratori bersilia (epitel kolumnar pseudostratified bersilia) merupakan derivat ektoderm yang melapisi rongga hidung dan sinus paranasal
(19)
disebut juga dengan membran Schneiderian, yang menghasilkan tiga tipe histologi papilloma yang berbeda (klasifikasi Hyams, 1971), diantaranya exophytic (fungiform) papilloma,inverted (endophytic) papilloma dan oncocytic (cylindrical cells) papilloma, secara keseluruhan disebut juga dengan schneiderian papilloma atau papilloma sinonasal. Maithani et al. pada studi retrospektif klinikopatologi papilloma sinonasal menjelaskan bahwa tumor ini adalah tumor jinak epitel mukosa sinonasal yang terdiri dari proliferasi sel kolumnar dan atau sel skuamosa yang tumbuh eksofitik atau endofitik, dengan atipia ringan sampai sedang, namun tanpa invasi stroma.3,4,7,10,11,12
Papilloma sinonasal menunjukkan langkah-langkah perubahan histologi dimana epitel kolumnar pseudostratified bersilia digantikan secara perlahan dengan epitel transisional dan diikuti dengan metaplasia skuamosa dan akhirnya menjadi epitel skuamosa. Displasia dapat berkembang setelah itu pada area metaplasia skuamosa dan/atau epitel skuamosa, kemudian dapat berlanjut menjadi karsinoma in situ dan karsinoma sel skuamosa invasif.13
Sandison et al. pada suatu studi retrospektif melaporkan bahwa tingkat kekambuhan rata-rata dari semua tipe papilloma sinonasal cukup tinggi, mulai dari 6 – 33%, namun kekambuhan ini bergantung pada lokasi tumor (tumor pada dinding lateral rongga hidung dan sinus paranasal memiliki tingkat kekambuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tumor pada septum rongga hidung) dan prosedur pembedahan (reseksi terbatas seperti pembedahan endoskopi memiliki tingkat kekambuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan prosedur radikal).14
Potensi perubahan papilloma sinonasal menjadi suatu keganasan telah dilaporkan pada beberapa literatur, penelitian dan laporan kasus. Inverted
(20)
papilloma merupakan varian yang paling sering dilaporkan mengalami transformasi maligna menjadi karsinoma sel skuamosa. Beberapa kasus yang melaporkan transformasi maligna yang berasal dari oncocytic papilloma, dan hanya satu literatur yang melaporkan transformasi maligna yang berasal dari exophytic papilloma.15,16,17,18
Maithani et al. pada suatu studi melaporkan bahwa transformasi maligna papilloma sinonasal dapat dilihat pada inverted papillomas (5-10%) dan oncocytic papillomas (10-17%), sedangkan exophytic papillomas belum terbukti berpotensi berubah menjadi suatu keganasan. Karsinoma sel skuamosa merupakan keganasan yang paling sering terjadi pada inverted papillomas dan oncocytic papillomas. Wassef et al. menyatakan pada suatu review article bahwa potensi transformasi maligna dari ketiga varian papilloma sinonasal yaitu exophytic papilloma 35%, inverted papilloma 3-24%, dan oncocytic papilloma 14-19%.7,19
Buchwald et al. menyatakan bahwa insiden transformasi maligna pada inverted papilloma sekitar 10%, sangat jarang pada oncocytic papilloma, dan belum ada laporan terjadi pada exophytic papilloma. Begitu juga Cheng et al. menyatakan pada suatu laporan kasus bahwa insiden transformasi maligna pada inverted papilloma 5-10%, oncocytic papilloma 14-19%, dan belum ada bukti dijumpai pada exophytic papilloma.9,20
Transformasi maligna ini dapat dibedakan antara : (1) metachronous, yaitu tumor invasif yang sebelumnya adalah papilloma, dan (2) synchronous, yaitu dimana dijumpai karsinoma sel skumosa bersamaan dengan papilloma. Studi terdahulu tentang inverted paillomas salah satunya dilakukan oleh Mirza et al. menjelaskan bahwa karsinoma synchronous dijumpai 7,1% dan karsinoma
(21)
metachronous dijumpai sebesar 3,6%. Waktu yang diperlukan inverted papilloma berubah menjadi suatu keganasan adalah antara 6 - 180 bulan (rata-rata 52 bulan).4,7,14,19
Beberapa studi lain juga berusaha untuk menentukan parameter histologis yang bisa memprediksi tingkat kekambuhan dan transformasi maligna. Eggers et al. melaporkan studi retrospektif dari 93 kasus dan Katori et al. mengnalisis 39 kasus inverted papilloma untuk menetapkan parameter histologis yang bisa memprediksi kekambuhan dan trasnformasi maligna. Beberapa kekambuhan tanpa keganasan berkaitan dengan lokasi tumor pada sinus frontalis, hiperkeratosis, hiperplasia epitel skuamosa, dan peningkatan indeks mitosis, sedangkan keganasan berkaitan dengan kehadiran invasi tulang, adanya polip inflamasi, banyaknya epitel neoplastik yang tumbuh ke stroma, hiperkeratosis meningkat dan eosinofil menurun.8,21
Diagnosis keganasan pada sinonasal sering meragukan, karena kadang kala sulit dibedakan dari tumor sinonasal jinak. Gejala klinis yang hampir bersamaan pada gejala awal menyebabkan penundaan diagnosis suatu keganasan. Diperkirakan diperlukan rentang waktu 6 - 8 bulan dari gejala awal sampai diagnosis bisa ditegakkan. Indikator keganasan seperti neuropati kranial dan proptosis jarang terjadi pada gejala awal, ini menandakan penyakit lanjut. Kecurigaan juga harus diterapkan pada pasien yang tidak respon terhadap terapi gejala klinis sinonasal.22,23
Banyak faktor yang berperan dalam transformasi maligna pada sinonasal, salah satunya adalah gangguan pada berbagai protein intraseluler yang meregulasi siklus sel dan apoptosis. Gen p63 merupakan anggota kelompok gen penekan
(22)
tumor p53, terletak pada kromosom 3q27-29, saat ini semakin dikenal sebagai protein penting yang turut berperan dalam perkembangan tumor. Baru-baru ini kloning faktor transkripsi p63 merupakan penanda lain yang menjanjikan untuk menunjukkan diferensiasi karsinoma sel skuamosa. Gen p63 mengkodekan beberapa isotipe dengan kemampuan berbeda untuk transaktifasi gen p53 yang melaporkan dan menginduksi apoptosis. Ekspresinya meningkat pada jaringan yang ganas dibandingkan dengan jaringan normal, dan juga meningkat pada karsinoma dengan diferensiasi yang buruk dibandingkan dengan yang berdiferensiasi baik. Ekspresi p63 yang berlebihan pada keganasan sinonasal ini disebabkan oleh amplifikasi dari gen p63. Sementara itu pada jaringan normal, p63 terdeteksi pada sel basal epitel skuamosa (termasuk epidermis dan folikel rambut), pada sel basal urotelial, dan sel basal epitel kelenjar payudara dan prostat.24,25,26,27
Oncel et al. meneliti pola ekspresi p53, p63, p21, p27 pada regulasi siklus sel dan Ki-67 sebagai penanda proliferasi pada 22 kasus inverted papilloma dan 9 kasus KSS sinonasal. Ditemukan peningkatan ekspresi p53, p63 dan KI-67 yang signifikan pada KSS sinonasal dibandingkan inverted papilloma, namun tidak ditemukan perbedaan ekspresi dari p21 dan p27.8
Sniezek et al. menemukan overekspresi p63 pada KSS kepala dan leher bila dibandingkan dengan spesimen kontrol jaringan normal. Hal ini menunjukkan bahwa p63 berperan penting terhadap diferensiasi dan anti apoptotik pada epitel mukosa daerah kepala dan leher, yang menjadi penyebab terjadinya pembentukan tumor. Hagiwara et al. dan Osada et al. menganalisis urutan p63 yang diisolasi dari berbagai tumor manusia. Studi ini menunjukkan bahwa p63 tidak berfungsi
(23)
sebagai penekan tumor melainkan sebagai onkogen. Diprediksi peran p63 adalah untuk melawan aktivitas p53.8
Tonon et al. menemukan bahwa genom p63 diamplifikasi secara konsisten pada karsinoma sel skuamosa, menunjukkan bahwa p63 berkontribusi pada pertumbuhan tumor. Massion et al. menemukan peningkatan yang signifikan gen p63 pada lesi preinvasif yang dinilai sebagai displasia. Data pada studi ini menunjukkan bahwa ada amplifikasi genom p63 dalam perkembangan karsinoma skuamosa paru-paru, maka disimpulkan bahwa p63 berperan pada pertumbuhan tumor paru dan layak menjadi evaluasi tambahan sebagai biomarker untuk perkembangan kanker paru-paru. Dalam penelitian oncel et al. ekspresi p63 menunjukkan perbedaan yang signifikan antara inverted papilloma dan karsinoma sel skuamosa. Ekspresi p63 yang berlebihan pada karsinoma sel skuamosa menunjukkan kemungkinan bahwa p63 berperan sebagai onkogen.8
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas peneliti ingin melihat pola distribusi dan intensitas tampilan p63 pada berbagai varian papilloma sinonasal yang sering dilaporkan dapat mengalami transformasi maligna, serta mencoba untuk menganalisa apakah pewarnaan p63 ini dapat menjadi parameter untuk memprediksi transformasi maligna tersebut.
1.2Perumusan Masalah
Perumusan masalah pada penelitian ini yaitu bagaimanakah pola distribusi dan intensitas tampilan p63 pada berbagai varian papilloma sinonasal untuk memprediksi transformasi maligna menjadi suatu karsinoma sel skuamosa.
(24)
1.3Hipotesis
Ada perbedaan distribusi dan intensitas tampilan p63 pada berbagai varian papilloma sinonasal untuk memprediksi transformasi maligna menjadi karsinoma sel skuamosa.
1.4Tujuan Penelitian
1. Mengetahui gambaran karakteristik penderita papilloma sinonasal berdasarkan umur dan jenis kelamin.
2. Mengetahui pola distribusi dan intensitas tampilan p63 pada berbagai varian papilloma sinonasal untuk memprediksi transformasi maligna menjadi karsinoma sel skuamosa.
3. Mengetahui varian papilloma sinonasal mana yang lebih berpotensi mengalami transformasi maligna menjadi karsinoma sel skuamosa.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Diharapkan p63 dapat menjadi penunjang diagnostik yang lebih akurat untuk memprediksi transformasi maligna suatu papilloma sinonasal menjadi karsinoma sel skuamosa.
2. Sebagai dasar penelitian berikutnya dalam mencari mekanisme perubahan keganasan pada tumor epitel sinonasal.
(25)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Rongga hidung (kavum nasi) berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Septum nasi dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan pada bagian luar dilapisi oleh mukosa hidung. Bagian tulang dari septum terdiri dari kartilago septum (kuadrangularis) di sebelah anterior, lamina perpendikularis tulang etmoid di sebelah atas, vomer dan rostrum sfenoid di posterior dan krista (maksila dan palatina) di sebelah bawah.2,3,28,29
Lubang hidung bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang berhubungan dengan nasofaring. Selanjutnya, pada dinding lateral rongga hidung terdapat konka dengan rongga udara yang tidak teratur, yaitu meatus superior, media dan inferior. Duktus nasolakrimalis bermuara pada meatus inferior di bagian anterior. Hiatus semilunaris dari meatus media merupakan muara sinus frontal, etmoid anterior dan sinus maksila. Sinus etmoid posterior bermuara pada meatus superior, sedangkan sinus sfenoid bermuara pada resesus sfenoetmoid.1,2,3, 24
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang terletak di sekitar nasal dan mempunyai hubungan dengan rongga hidung melalui ostiumnya. Terdapat empat pasang sinus paranasal, yaitu sinus frontal dan etmoid (di atas dan di antara mata), sinus maksila (pada pipi), dan sinus sfenoid (di belakang etmoid). Perkembangan sinus paranasal dimulai pada fetus yang berusia 3-4 bulan (kecuali sinus frontal dan sinus sfenoid), berupa invaginasi dari mukosa
(26)
rongga hidung. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada pada waktu anak lahir, dan hanya sinus ini yang dapat terkena infeksi pada anak. Sinus frontal mulai berkembang dari sinus etmoid anterior pada usia kurang lebih 8 tahun. Pseumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.2,3,11,29
Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi, bersilia, mampu menghasilkan mukus, dan sekret disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat sinus terutama berisi udara.2,3,29,30
2.2 Histologi
Sebagian besar saluran sinonasal dilapisi epitel saluran pernafasan, yaitu epitel kolumnar bersilia pseudostratified disertai sel goblet. Dengan menggunakan mikroskop elektron dapat dilihat ada lima jenis sel epitel saluran pernafasan yaitu sel kolumnar bersilia, sel goblet, brush cells, sel basal, dan sel granul kecil.2,3,29,30
Rongga hidung terdiri atas vestibulum dan fosa nasalis. Pada vestibulum di sekitar nares terdapat kelenjar sebasea dan vibrisa (bulu hidung). Epitel di dalam vestibulum merupakan epitel respirasi sebelum memasuki fosa nasalis. Pada fosa nasalis (rongga hidung) yang dibagi dua oleh septum nasi pada garis medial, terdapat konka (superior, media, inferior) pada masing-masing dinding lateralnya. Konka media dan inferior ditutupi oleh epitel respirasi, sedangkan konka superior ditutupi oleh epitel olfaktorius yang khusus untuk fungsi menghidu/membaui. Epitel olfaktorius tersebut terdiri atas sel penyokong/sel sustentakuler, sel olfaktorius (neuron bipolar dengan dendrit yang melebar di
(27)
permukaan epitel olfaktorius dan bersilia, berfungsi sebagai reseptor dan memiliki akson yang bersinaps dengan neuron olfaktorius otak), sel basal (berbentuk piramid) dan kelenjar Bowman pada lamina propria. Kelenjar Bowman menghasilkan sekret yang membersihkan silia sel olfaktorius sehingga memudahkan akses neuron untuk membaui zat-zat. Adanya vibrisa, konka dan vaskularisasi yang khas pada rongga hidung membuat setiap udara yang masuk mengalami pembersihan, pelembapan dan penghangatan sebelum masuk lebih jauh.3,29,30
Sinus paranasal terdiri atas sinus frontal, sinus maksila, sinus ethmoid dan sinus sphenoid, semuanya berhubungan langsung dengan rongga hidung. Sinus-sinus tersebut dilapisi oleh epitel respirasi yang lebih tipis dan mengandung sel goblet yang lebih sedikit serta lamina propria yang mengandung sedikit kelenjar kecil penghasil mukus yang menyatu dengan periosteum. Aktivitas silia mendorong mukus ke rongga hidung.3,29,30
2.3 Epidemiologi
Tumor sinonasal jarang ditemukan, baik yang jinak maupun yang ganas. Tumor jinak yang paling sering pada sinonasal adalah papilloma sinonasal, sedangkan tumor ganas yang paling sering adalah karsinoma sel skuamosa. Papilloma sinonasal hanya mewakili 0,4-4,7% dari semua tumor sinonasal, namun tumor ini adalah tumor jinak yang paling sering pada sinonasal.3,4,6
Barnes et al. mengumpulkan distribusi frekuensi varian papilloma sinonasal dari beberapa penelitian. Ternyata masing-masing menunjukkan angka yang bervariasi, namun jika dijumlahkan seluruh total kasus, maka didapatkan
(28)
masing-masing insiden inverted papilloma 62%, oncocytic papilloma 6% dan exophytic papilloma 32%.
Tabel 2.1 Distribusi frekuensi varian papilloma sinonasal.3,6,11
Peneliti Total Kasus Inverted Papilloma Oncocytic Papilloma Exophytic Papilloma Hyams
Michaels and Young Buchwald et al. Sarkar et al. Weiner et al.
315 191 82 35 105 149 139 58 24 82 10 16 5 9 2 156 36 19 2 21
Total 728(100%) 452(62%) 42(6%) 234(32%)
Maithani et al. pada suatu studi retrospektif melaporkan bahwa tingkat kekambuhan rata-rata dari semua tipe papilloma sinonasal cukup tinggi, mulai dari 6 – 33%. Pada studi ini juga dilaporkan transformasi maligna papilloma sinonasal dapat dilihat pada inverted papillomas (5-10%) dan oncocytic papillomas (10-17%), sedangkan exophytic papillomas belum terbukti berpotensi berubah menjadi suatu keganasan.7,15,16,17,18
Buchwald et al. menyatakan bahwa insiden transformasi maligna pada inverted papilloma sekitar 10%, sangat jarang pada oncocytic papilloma, dan belum ada laporan terjadi pada exophytic papilloma. Begitu juga Cheng et al. menyatakan pada suatu laporan kasus bahwa insiden transformasi maligna pada inverted papilloma 5-10%, oncocytic papilloma 14-19%, dan belum ada bukti dijumpai pada exophytic papilloma.9,19
(29)
Mirza et al. menjelaskan bahwa karsinoma synchronous dijumpai 7,1% dan karsinoma metachronous dijumpai sebesar 3,6%. Waktu yang diperlukan inverted papilloma berubah menjadi suatu keganasan adalah antara 6 - 180 bulan (rata-rata 52 bulan).4,7,19,20
Keganasan pada sinonasal termasuk jarang, hanya 3% dari keganasan di kepala dan leher dan hanya sekitar 1% dari keganasan di seluruh tubuh. Insiden keganasan sinonasal lebih umum terjadi di Asia dan Afrika daripada di Amerika Serikat. Di Asia, keganasan sinonasal menempati peringkat kedua yang paling sering dari keganasan di kepala dan leher, setelah karsinoma nasofaring. Rifki mengemukakan data yang dikumpulkannya dari rumah sakit umum di 10 kota besar di Indonesia bahwa frekuensi tumor sinonasal adalah 9,3-25,3% dari keganasan THT dan berada di peringkat kedua setelah tumor ganas nasofaring.3,13
Keganasan pada sinonasal dapat menyebabkan terjadinya kerusakan dan morbiditas yang signifikan, sukar diobati secara tuntas dan angka kesembuhannya masih sangat rendah. Insiden keganasan pada sinonasal tergolong rendah pada kebanyakan populasi (<1.5/100,000 pada pria dan <1.0/100,000 pada wanita). Insiden tertinggi ditemukan di Jepang, yaitu 2-3,9/100.000 penduduk, juga pada beberapa tempat di Cina dan India.3,13
Keganasan tersering pada sinonasal adalah karsinoma sel skuamosa (70%), dan selanjutnya adenokarsinoma (10-20%). Dengan predileksi tersering pada sinus maksila (60%), diikuti oleh rongga hidung (20-30%), sinus etmoid (10-15%), dan ada sedangkan sinus frontal dan sphenoid jarang dijumpai (kurang dari 1%). Sekitar 80% ditemukan pada usia 45-85 tahun dan insiden pada pria dua kali lebih sering dibandingkan pada wanita.3,13
(30)
2.4 Etiologi dan Patofisiologi
Etiologi tumor sinonasal belum dapat diketahui secara pasti, namun beberapa studi epidemiologi terdahulu dari berbagai negara menunjukkan adanya hubungan dengan paparan zat kimia atau bahan industri antara lain nikel, debu kayu, kulit, mebel, tekstil, formaldehid, kromium, isopropyl oil dan lain-lain. Alkohol, asap rokok, makanan yang diasin atau diasap juga diduga meningkatkan terjadinya keganasan sinonasal terutama jenis karsinoma sel skuamosa.1,3,24,29
Ukuran partikel debu juga penting diketahui karena jika lebih kecil dari 5µm dapat mencapai saluran pernapasan bagian bawah, sedangkan partikel yang lebih besar dari 5µm diakumulasi di mukosa hidung. Namun karsinogen ini belum dapat diidentifikasi secara jelas. Efek paparan ini mulai timbul setelah 40 tahun atau lebih sejak pertama kali terpapar dan menetap setelah penghentian paparan. Paparan terhadap thorotrast, agen kontras radioaktif juga menjadi faktor resiko tambahan. Karsinogen di tempat kerja tidak menyebabkan gambaran histopatologi kanker yang khusus, demikian juga dengan keganasan rongga hidung yang secara histopatologik tumor epitel yang terbanyak adalah karsinoma sel skuamosa.1,3,12,29
Jadi dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa tumor ini merupakan penyakit yang berhubungan dengan lingkungan. Namun pernah dilaporkan juga bahwa tumor sinonasal dapat muncul sporadis, tanpa berhubungan dengan paparan. Oleh karena itu riwayat sosial dan pekerjaan harus ditanyakan pada pasien-pasien yang mempunyai gejala yang mengarah ke keganasan pada sinonasal.1,3,12,29
Infeksi virus dan hubungannya terhadap keganasan merupakan hal yang menarik dan tetapi belum cukup diteliti. Studi pendahuluan memperlihatkan
(31)
bahwa peningkatan ekspresi dari epidermal growth factor reseptor (EGFR) dan transforming growth factor-alpha (TGF-alpha) mungkin berhubungan dengan paparan awal karsinogen yang menyebabkan inverted papilloma. Infeksi Human papilloma virus (HPV) mungkin juga merupakan awal dari proses panjang yang menyebabkan perubahan inverted papilloma menjadi ganas.3,23,30,31
Telah lama dicurigai bahwa virus merupakan penyebab terjadinya papilloma sinonasal. Barnes melaporkan bahwa 131 (38%) dari 341 kasus papilloma sinonasal yang dilakukan analisis biologi molekular (hibridisasi in situ atau polymerase chain reaction) menunjukkan hasil positif terhadap Human Papilloma Virus (HPV), terutama HPV 6 dan 11, beberapa HPV 16 dan 18, dan sangat jarang tipe lainnya (misalnya HPV 57). Namun belum diketahui secara pasti apakah ada hubungan sebab-akibat antara kehadiran HPV dengan perkembangan tumor ini.3,10,23,30,31
2.5 Gambaran Klinis
Gejala awal cenderung tidak spesifik dan bervariasi, mulai dari obstruksi hidung unilateral, diikuti dengan rhinorrhea jernih encer, serosanguinosa, purulen, sampai epistaksis. Pada keadaan lanjut, tumor tumbuh besar sampai ke pipi, dapat menginvasi ke orbita, pterygopalatine, fossa infratemporal, kavitas pada kranial, dan dapat menimbulkan rasa nyeri terutama di malam hari atau saat berbaring, gangguan neurologi (parastesia, anastesia sampai paralisis saraf-saraf otak), dan gangguan visual dan exoftalmus. Pada beberapa kasus ditemukan tanpa gejala awal sehingga diagnosis sering terlambat dan pasien datang dengan penyakit telah memasuki stadium lanjut.1,12,29
(32)
Gambaran klinis dapat juga bergantung pada lokasi primer dan arah perluasan penyebaran. Tumor rongga hidung muncul dengan gejala pada hidung berupa obstruksi hidung unilateral dan rhinorrhea. Sekretnya sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor yang ganas sekret berbau karena mengandung jaringan nekrotik. Tumor etmoid juga muncul dengan gejala pada hidung, namun juga bisa memiliki gejala pada orbita seperti proptosis, epifora, exoptalmus, diplopia, hingga terjadi penyumbatan sakus lakrimalis. Tumor sinus frontalis cenderung muncul hanya berupa gejala orbita. Tumor sinus sfenoid umumnya muncul terlambat pada spesialis neurologi dengan gejala neurologis.1,9,19,29
Invasi ke rongga hidung menyebabkan obstruksi hidung dan epistaksis dan tumor umumnya terlihat jelas. Sebagai catatan bahwa epistaksis pada pasien dewasa yang tidak hipertensi membutuhkan investigasi radiologis. Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan gejala oral berupa penonjolan atau ulkus di palatum atau di prosessus alveolaris. Pasien mengeluh gigi palsunya tidak pas lagi atau gigi geligi goyang. Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi, tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut. Perluasan tumor ke depan akan menyebabkan gejala fasial berupa pembengkakan pada wajah disertai nyeri, anastesia atau parastesia jika mengenai nervus trigeminus. Perluasan tumor ke intrakranial menyebabkan gejala intrakranial berupa sakit kepala hebat, oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat di sertai likourea, yaitu cairan otak yang keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka saraf-saraf kranial lainnya yang terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus
(33)
akibat terkenanya muskulus pterigoideus di sertai anastesia dan parastesi daerah persarafan nervus maksilaris dan mandibularis. Perluasan ke arah nasofaring dapat menimbulkan gejala sumbatan tuba Eustachius, seperti nyeri telinga, tinnitus dan gangguan pendengaran.1,9,12,32
Gambaran karakteristik klinis berbagai varian papilloma sinonasal ini dirangkum oleh Cheng et al. dalm satu tabel.
2.6 Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologi modern memainkan peranan penting dalam evaluasi tumor sinonasal. Foto polos sinus paranasal mungkin kurang berfungsi dalam mendiagnosis dan menentukan perluasan tumor kecuali pada tumor tulang seperti osteoma. Tetapi foto polos tetap berfungsi sebagai diagnosis awal, terutama jika ada erosi tulang dan perselubungan padat unilateral, harus di curigai keganasan dan selanjutnya dapat dilakukan CT Scan. Computed Tomography (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) memberikan informasi yang signifikan tentang tekstur, margin, efek pada tulang dan bahkan vaskularisasi. Dan bila diperlukan dapat juga dilanjutkan dengan pemeriksaan Positron Emission Tomography (PET) dan angiography. Meskipun pemeriksaan histopatologi masih diperlukan untuk memastikan sifat tumor, namun pemeriksaan radiologi dapat membantu membatasi daftar diagnosa banding.32,33,34,35
(34)
2.7 Pemeriksaan Patologi
Diagnosis pasti tumor sinonasal ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor tampak di rongga hidung atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus segera dilakukan. Biopsi tumor sinus maksila, dapat dilakukan melalui tindakan sinoskopi atau melalui operasi Caldwel-Luc yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukal. Namun jika dicurigai tumor vaskuler, misalnya angiofibroma, jangan lakukan biopsi karena akan sangat sulit menghentikan perdarahan yang terjadi. Diagnosis adalah dengan angiografi.1,3,28,34,35
Klasifikasi histologi tumor sinonasal menurut WHO yaitu : 1) epithelial tumours, 2)soft tissue tumours, 3) haematolymphoid tumours, 4) neuroectodermal, 5) germ cell tumours, dan 6) secondary tumours.3,13
2.7.1 Papilloma Sinonasal (Schneiderian Papilloma)
Mukosa respiratori bersilia yang merupakan derivat dari ektoderm yang melapisi rongga hidung dan sinus paranasal disebut dengan membran Schneiderian, menghasilkan tiga tipe morfologi papilloma yang berbeda, diantaranya inverted papilloma, oncocytic papilloma, dan exophytic papilloma atau secara keseluruhan disebut dengan Schneiderian papilloma. Schneiderian papilloma ini jarang terjadi, hanya mewakili 0,4-4,7% dari semua tumor sinonasal.1,3,36,37,38
Inverted papilloma terjadi di sepanjang dinding lateral rongga hidung (middle turbinate atau ethmoidal recesses), dengan ekstensi sekunder ke sinus paranasal (terutama maksila dan etmoid). Sangat jarang inverted papilloma yang
(35)
berasal dari sinus paranasal. Oncocytic papillomas terjadi paling sering di sepanjang dinding lateral rongga hidung tetapi juga dapat berasal dalam sinus paranasal (maksila atau ethmoid). Exophytic papilloma hampir selalu terbatas pada septum nasi. Tipe inverted dan oncocytic sangat jarang terjadi pada septum nasi. Papilloma sinonasal biasanya unilateral, tetapi dapat juga terjadi bilateral. Tumor ini memiliki kecenderungan untuk menyebar di sepanjang mukosa ke daerah sekitarnya, termasuk nasofaring. Walaupun jarang papilloma sinonasal dapat berasal dari luar saluran sinonasal, diantaranya pada faring, telinga tengah, mastoid, nasofaring, dan kantung lakrimalis. Migrasi ektopik dari membran Schneiderian selama embriogenesis mungkin dapat menjelaskan terjadinya papilloma yang menyimpang ini.3,28,39
Inverted Papilloma (Schneiderian papilloma, inverted type), pemeriksaan fisik berupa massa berwarna merah atau abu-abu, tidak transparan, konsistensi padat sampai lunak dan rapuh, berbentuk polipoid dengan permukaan berbelit atau berkerut. Pemeriksaan histopatologi tumor ini memiliki pola pertumbuhan endofit atau "inverted", dilapisi membran epitel yang proliferatif, tumbuh ke bawah ke dalam stroma yang mendasarinya. Sel epitel ini berlapis-lapis (5-30 lapis) dan bervariasi, terdiri dari sel skuamosa, sel transisional, dan sel kolumnar (mungkin ketiganya ada dalam satu lesi), bercampur dengan mucocytes (sel goblet) dan kista musin intraepitel. Sel skuamosa nonkeratin dan sel transisional lebih dominan, dan sering dilapisi selapis sel epitel kolumnar bersilia. Ketiga jenis sel dapat muncul bersamaan pada satu lesi dengan proporsi yang bervariasi. Infiltrasi sel radang kronis menyusup pada semua lapisan epitel permukaan. Sel-sel epitel pelapis merupakan Sel-sel normal dengan inti seragam. Sel-Sel-sel atipik dan
(36)
pleomorfik mungkin dapat dijumpai. Komponen epitel dapat menunjukkan gambaran clear cell yang luas, mengindikasikan adanya konten glikogen yang berlimpah. Aktivitas mitosis sedikit dan biasanya dapat dilihat pada lapisan basal dan parabasal, tetapi tidak dijumpai mitosis yang atipik. Fokus keratinisasi permukaan dijumpai pada 10-20% kasus dan sel-sel displastik dijumpai pada 5-10% kasus. Hal ini bukan merupakan tanda-tanda keganasan, tetapi penting untuk dievaluasi. Kelenjar saliva minor biasanya tidak dijumpai. Komponen stroma bervariasi dari miksomatus sampai fibrosa, dengan atau tanpa disertai sel radang (terutama neutrofil) dan vaskularisasi yang bervariasi. Kelenjar seromusinosa normal jarang absen dari tumor ini, karena epitel neoplastik menggunakan saluran-saluran dan kelenjar sebagai jalan untuk memperluas ke dalam stroma. Inverted papilloma yang besar dapat menghambat drainase sinus di dekatnya. Akibatnya, tidak jarang juga menemukan polip hidung normal pada spesimen inverted papilloma, yang teridentifikasi dengan penampilan terlalu miksoid dan transiluminasi, sedangkan inverted papilloma tidak akan seperti itu.1,3,28,29,36,39
(37)
Gambar 2.1 Inverted Papilloma. A. Gambaran makroskopis, tampak seperti pita yang tumbuh ke dalam stroma. B-C. Gambaran mikroskopis, tampak epitel skuamosa tumbuh hiperplastik ke dalam stroma membentuk polipod. D. Inverted papilloma dengan pelapis epitel saluran pernafasan bersilia yang hiperplastik, dan tampak transmigrasi neutrofil dari basal membran ke epitel. E. Inverted papilloma dengan epitel skuamosa dan epitel saluran pernafasan bersilia. F. Gambaran koilosit pada infeksi HPV.1,3,28
Oncocytic Papilloma (Schneiderian papilloma, oncocytic type), pemeriksaan fisik berupa massa fleshy berwarna merah kehitaman sampai coklat, atau abu-abu, berbentuk papilari atau polipoid, berhubungan dengan obstruksi hidung dan epistaksis yang intermitten. Pola pertumbuhan tumor ini dapat exophytic dan endophytic. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan sel epitel proliferatif, tersusun berlapis-lapis (2 - 8 lapis sel) yang terdiri dari sel-sel bentuk kolumnar tinggi, inti sel kecil, gelap (hiperkromatin), relatif seragam, kadang-kadang vesikular, dan anak inti kurang jelas. Sitoplasma eosinofilik berlimpah (bengkak) dan bergranul, dan pada permukaan paling luar dapat dijumpai beberapa sel epitel bersilia. Pada lapisan epitel ini khas dijumpai beberapa kista kecil berisi musin atau sel radang neutrofil (mikroabses). Kista ini tidak dijumpai pada submukosa. Umumnya tidak dijumpai kelenjar saliva minor. Komponen
A
B
E D
C
(38)
stroma bervariasi, dari miksomatus sampai fibrous, disertai infiltrasi sel radang limfosit, sel plasma, dan neutrofil, namun hanya sedikit eosinofil dan vaskularisasi yang bervariasi.1,3,28
Gambar 2.2 Oncocytic papilloma. A. Gambaran makroskopis, tampak pertumbuhan exophytic (panah putih) dan inverted (panah hitam). B dan C. Gambaran mikroskopis, tampak pelapis epitel onkositik berlapis, disertai kista berisi musin dan mikroabses pada intraepitel.1,28
Exophytic Papilloma (Schneiderian papilloma, exophytic type, pemeriksaan fisik exophytic papilloma berupa massa papillary atau warty, exophytic, verrucous, cauliflower-like lesions, ukuran rata-rata 2 cm, berwarna abu-abu, merah muda atau coklat, tidak transparan, melekat pada septum hidung dengan dasar relatif luas, konsistensi kenyal sampai keras padat. Tampak massa bertangkai melekat pada mukosa. Pemeriksaan histopatologi tampak pola papilar dengan fibrovascular core yang dilapisi oleh epitel yang berlapis-lapis (5-20 lapis sel), yang bervariasi dari sel skuamosa (epidermoid), sel transisional (intermediet), sampai sel kolumnar pseudostratifikasi bersilia (sel respirasi), disertai mucocytes (goblet cell), dan kista musin intraepitel. Tidak dijumpai keratinisasi pada permukaan, kecuali pada tumor yang teriritasi atau jika papilloma sangat besar dan menggantung ke vestibulum hidung, dimana tumor terkena efek pengeringan oleh udara. Mitosis jarang dan tidak pernah atipik. Stroma berupa fibrovascular core diinfiltrasi oleh sedikit sel radang.1,3,12,28
(39)
Gambar 2.3 Exophytic papilloma. A. Gambaran makroskopis, tampak pertumbuhan exophytic pada septum nasi. B. Gambaran mikroskopis, tampak struktur papilar dengan epitel skuamosa. C.
Tampak pelapis epitel skuamosa hiperplastik, koilositik1,3,.28
Wassef et al. menyimpulkan perbandingan ketiga varian papilloma sinonasal ini dalam suatu tabel.19
Tabel 2.2 Perbandingan ketiga varian papilloma sinonasal19
2.7.2 Karsinoma Sel Skuamosa (KSS)
KSS merupakan tumor ganas epitel yang berasal dari epitel mukosa rongga hidung atau sinus paranasal yang terbagi atas tipe keratin dan nonkeratin. Sinonim KSS berkeratin adalah KSS, sedangkan nonkeratinizing carcinoma adalah schneiderian carcinoma, cylindrical cell carcinoma, transitional (cell) carcinoma, Ringertz carcinoma, respiratory epithelial carcinoma. KSS sinonasal
A
C B
(40)
paling sering muncul pada sinus maksila (60-70%), diikuti rongga hidung (12-25%), sinus etmoid (10-15%) dan sfenoid dan sinus frontal (< 1%). KSS pada vestibulum hidung harus dianggap sebagai karsinoma kulit daripada epitel mukosa sinonasal.1,3,28,40
Pola pertumbuhan KSS sinonasal dapat berupa massa exophytic, fungating atau papillary, konsistensi rapuh, mudah berdarah, sebagian nekrosis, massa berbatas tegas atau infiltratif. Karsinoma rongga hidung dapat menyebar ke lokasi yang berdekatan dengan rongga hidung atau sinus etmoid, atau dapat meluas ke rongga hidung kontralateral, tulang, sinus maksila, palatum, kulit dan jaringan lunak hidung, bibir, atau pipi, juga rongga kranium. Karsinoma sinus maksila dapat menyebar ke rongga hidung, palatum, sinus paranasal lain, kulit atau jaringan lunak hidung atau pipi, orbita, kranium, atau pterygopalatine dan ruang infratemporal. Metastasis kelenjar getah bening jarang terjadi dibandingkan KSS dari tempat lain di kepala dan leher.1,3,28,41
KSS merupakan karsinoma yang paling sering pada saluran sinonasal. Tumor berdiferensiasi baik yang menunjukkan gambaran keratinisasi umumnya dapat didiagnosa dengan pemeriksaan biopsi aspirasi jarum halus. Pada pemeriksaan hapusan ini menunjukkan sel-sel tumor pleomorfik atipik, diantaranya sel-sel bentuk spindel, poligonal, dan sel-sel keratin. KSS Spindle cell harus dibedakan dari tumor-tumor sel spindel lainnya, seperti spindle cell melanomas, sarkoma dan tumor neurogenik.3,12
(41)
Gambar 2.4 Pemeriksaan biopsi aspirasi jarum halus pada SCC dengan Diff-Quik stain. A. Poorly differentiated tumor cells. B. Spindled tumor cells. C. Fragmen debris keratin dan sel-sel keratin dengan inti tidak jelas.42
KSS berkeratin pada sinonasal memiliki gambaran histopatologi identik dengan KSS dari tempat lain di kepala dan leher. Dimana tampak diferensiasi sel skuamosa, disertai keratin ekstraselular atau keratin intraselular (sitoplasma merah muda, sel diskeratotik) dan tampak jembatan antar sel (intercellular bridges). Tumor ini dapat dibagi menjadi karsinoma diferensiasi baik, sedang, dan buruk. Meskipun pada karsinoma yang diferensiasi buruk hanya tampak berupa fokus-fokus. Invasi ke stroma membentuk sarang-sarang atau untaian, atau mungkin hanya sel-sel ganas yang terisolasi. Sering disertai reaksi stroma desmoplastik.1,3,28,42
Gambar 2.5 KSS berkeratin A. Pembesaran kecil, tampak massa keratin pada beberapa tempat. B. Pembesaran besar, tampak sel malignan, inti sel membesar, pleomorfik, hiperkromatin, dispolarisasi, dan aktivitas mitosis meningkat.1,3
Tipe nonkeratin juga memiliki pola pertumbuhan papillary atau exophytic tetapi sering tumbuh ke bawah (inverted atau endophytic), membentuk pita-pita yang saling berhubungan, pleksiformis, atau sarang-sarang epitel neoplastik. Sarang tumor berbentuk bulat atau sejajar membran basal, seperti pola karsinoma
(42)
kandung kemih. Tumor ini terdiri atas sel-sel kolumnar atau transisional yang tersusun memanjang, berorientasi tegak lurus ke permukaan, dan tidak dijumpai keratin.1,3,28,40
Gambar 2.6 Nonkeratin Karsinoma. A dan B. Pembesaran kecil tampak struktur sarang-sarang dan papilar. C. Pembesaran besar, tampak sel malignan, inti sel membesar, pleomorfik, hiperkromatin, dispolarisasi, dan aktivitas mitosis meningkat. D. Tipe sel transisional.1,3,28
Secara umum KSS sinonasal adalah tumor yang hiperselular, inti sel pleomorfik, hiperkromatin, rasio inti/sitoplasma meningkat, dispolarisasi, dan aktivitas mitosis meningkat, termasuk mitosis atipik. Pada kasus invasi sel tumor halus pada membran basal, mungkin tidak didiagnosa sebagai karsinoma invasif, bahkan mungkin didiagnosa sebagai papilloma dengan displasia berat atau karsinoma in situ. Seharusnya tumor ini didiagnosa sebagai karsinoma invasif. Pada kedua jenis tumor ini dapat terjadi epitel displasia ringan, sedang sampai berat (karsinoma in situ).1,3,28
A
D C
(43)
Varian KSS sangat jarang terjadi di saluran sinonasal. Secara histopatologi varian-varian ini identik dengan KSS dari tempat lain di kepala dan leher yang frekuensinya juga lebih sering dibandingkan dengan KSS sinonasal.3,28,41
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tumor sinonasal adalah eksisi bedah lengkap, umumnya melalui rhinotomy lateralis, tergantung pada derajat keganasan dan histologi tumor, pembedahan merupakan eksisi lokal sampai prosedur yang lebih radikal (maxillectomy, ethmoidectomy, dan additional exenterations).13,29,36
Radioterapi digunakan pada tumor yang luas (besar) atau pada tumor derajat tinggi, sebagai metode tunggal untuk membantu pembedahan atau sebagai terapi paliatif. Radiasi post operasi dapat mengontrol secara lokal tetapi tidak menyebabkan kelangsungan hidup spesifik atau absolut. Sel-sel tumor yang sedikit dapat dibunuh dengan radiasi.13,29,35,43
Kemoterapi biasanya sebagai terapi paliatif, penggunaan efek cytoreductive untuk mengurangi rasa nyeri dan penyumbatan, atau untuk mengecilkan lesi eksternal massif. Kemoterapi digunakan pada pasien yang menunjukkan resiko pembedahan yang buruk dan yang menolak untuk dilakukan operasi. Pada kondisi ini biasanya dipertimbangkan untuk mendapatkan kombinasi radiasi dan kemoterapi.13,29,36
2.9 Prognosis
Prognosis tumor sinonasal jinak umumnya baik. Tentunya jika penanganan eksisi tumor dilakukan segera dan belum menyebabkan penekanan
(44)
pada organ sekitar. Sedangkan prognosis tumor sinonasal yang mengalami keganasan umumnya buruk. Dimana banyak sekali faktor yang mempengaruhi prognosis tumor sinonasal, cara yang tepat dan akurat. Faktor-faktor tersebut seperti perbedaan diagnosis histopatologi, asal tumor primer, perluasan tumor, pengobatan yang diberikan sebelumnya, status batas sayatan, terapi adjuvan yang diberikan, status imunologis, lamanya follow up dan banyak lagi faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap agresifitas penyakit dan hasil pengobatan yang tentunya berpengaruh juga terhadap prognosis penyakit ini. Walaupun demikian, pengobatan yang agresif secara multimodalitas akan memberikan hasil yang terbaik dalam mengontrol keganasan primer dan akan meningkatkan angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium tumor.3,13
2.10 Gen p63
Gen p53, p63 dan p73 merupakan satu keluarga protein gen penekan tumor. Secara filogenetik dan analisis fungsional diketahui bahwa p63 adalah anggota pertama dari keluarga protein ini, diikuti oleh p73 dan kemudian p53. Gen p53, p63 dan p73 ini mengkode protein dengan struktur domain yang mirip dan mempunyai urutan asam amino yang homolog secara signifikan dalam proses transaktivasi, ikatan pada DNA dan proses oligomerisasi.44,45,46,47
Proses transkripsi p53, p63 dan p73 diatur oleh mekanisme yang sama, dimana pengaturannya dilakukan oleh dua promoter, yaitu P1 dan P2. Produk transkrip dan protein dari gen-gen tersebut secara umum dikategorikan atas dua grup atau isoform utama yaitu TA dan ΔN. Isoform TA mengandung N-terminal transactivation domain, isoform ΔN tidak mengandung domain tersebut. Isoform
(45)
TA diatur oleh promoter P1, sedangkan isoform ΔN diatur oleh promoter Pβ. Variasi dari berbagai protein yang dihasilkan oleh gen p53, p63 dan p73 merupakan hasil alternative splicing mRNA. Hasil varian dari splicing akan membentuk protein varian dari masing-masing protein penekan tumor tersebut, seperti varian α, , dari p5γ, p6γ dan p7γ.44,45,46,47
Gambar 2.7 Struktur gen p53, p63, p73. A. Perbandingan struktur protein p53, p63 dan p73. Semua protein terdiri dari transactivation domain (TAD), DNA binding domain (DBD), oligomerization (OD) domain. p63 dan p73 memiliki domain tambahan yaitu sterile alpha motif (SAM) domain. Persentase homolog antara p53, p63, dan p73 juga ditunjukkan. B. Gen p53, p63 dan p73 memiliki dua promoter (P1 dan P2). Promoter P1 memproduksi transactivation-competent full-length proteins (TA), sedangkan promoter P2 memproduksi TAD-deficient proteins (ΔN) dengan fungsi dominan negatif. Transkripsi gen p53 diinisiasi dari dua lokasi yang berbeda (P1
(46)
Gen p63 berada pada kromosom 3q27-29. Isoform TAp63 berperan dalam proses apoptosis dan penuaan, sedangkan isoform ΔNp6γ berperan dalam proses ketahanan hidup sel dan proliferasi. Mutasi gen p63 jarang dijumpai pada kanker manusia. Beberapa studi melaporkan bahwa ΔNp6γ memiliki perangkat onkogenik dimana ΔNp6γα menghambat penuaan sel yang disebabkan oleh onkogen dan bekerjasama dengan Ras untuk mempromosikan proliferasi sel dalam proses perkembangan tumor. Isoform ΔNp6γ dominan diekspresikan dalam kebanyakan sel-sel epitel. Overekspresi p63 ditemukan pada karsinoma nasofaring, keganasan kepala dan leher, kanker traktus urinarius, paru dan ovarium, dan tampilannya berhubungan dengan prognosis yang buruk. Tampilan ΔNp6γ juga berhubungan dengan meningkatnya kemoresistensi pada sebagian karsinoma payudara dan keganasan kepala dan leher.8,23,24,25,26
Isoform TAp63 menginduksi proses penuaan sel dan mencegah proliferasi sel. Defisiensi TAp63 meningkatkan proliferasi dan merangsang onkogenesis yang dimediasi oleh Ras. Semakin jelas bahwa TAp6γ dan ΔNp6γ memiliki fungsi yang berbeda sekaligus tumpang tindih dalam peranannya terhadap perkembangan kanker. Ekspresi ΔNp6γ dapat menghambat fungsi TAp63 juga p53 sehingga proliferasi sel lebih dominan. 8,23,24,25,26
Pola ekspresi TAp6γ dan ΔNp6γ ditunjukkan pada beberapa jaringan fisiologis secara terbatas. Isoform ΔNp6γ (terutama ΔNp6γα) diekspresikan pada sel-sel basal epitel seperti lapisan basal kulit, sel-sel myoepitel payudara, sel-sel basal prostat dan sel-sel epitel timus. Isoform TAp63 diekspresikan secara bermakna pada germline wanita. 8,23,24,25,26
(47)
Peranan p63 dalam kanker, tidak hanya disebabkan oleh aksi spesifik dari masing-masing isoform, tetapi dengan berinteraksi terhadap seluruh anggota keluarga p53, termasuk p53 mutan. Tidak seperti p53, p63 sendiri jarang mengalami mutasi pada kanker manusia. ΔNp6γα sering mengalami overekspresi pada karsinoma sel skuamosa derajat rendah. Umumnya berhubungan dengan amplifikasi kromosom. Pada satu studi klinis ditemukan overekspresi dari ΔNp6γα sekitar 85-100% dari seluruh kasus karsinoma sel skuamosa. Termasuk karsinoma sel skuamosa dari kepala dan leher, esofagus, paru-paru, servik dan sebagian karsinoma sel basal payudara. Studi lain menunjukkan ΔNp6γα menghambat penuaan yang diinduksi oleh onkogen dalam sel-sel keratinosit ketika bersama-sama dengan Ras. 8,23,24,25,26
Tabel 2.3 Ekspresi p63 pada beberapa lokasi jaringan/organ.24
Hagiwara et al. dan Osada et al. menganalisis urutan p63 yang diisolasi dari berbagai tumor manusia. Studi ini menunjukkan bahwa p63 tidak berfungsi sebagai penekan tumor melainkan sebagai onkogen. Diprediksi peran p63 adalah
(48)
lokus p63 diamplifikasi, keberadaan HPV juga memegang peranan penting selama perkembangan tumor, yaitu untuk menghilangkan fungsi p53 hingga terjadi peningkatan aktivitas p63 onkogenik yang menunjukkan overekspresi.8
Como DJ et al. pada penelitiannya melaporkan bahwa ekspresi p63 pada inti sel dapat dijumpai pada sel epitel berlapis, seperti kulit, esofagus, ektoservik, tonsil, dan kandung kemih, juga pada sel basal kelenjar prostat, payudara dan bronkus. Sesuai dengan fenotip yang diamati pada jaringan normal, ekspresi p63 juga dijumpai terutama pada sel basal karsinoma sel skuamosa, dan karsinoma sel transisional, tetapi negatif pada adenokarsinoma, termasuk pada payudara dan prostat. Menariknya p63 dijumpai overekspresi pada thymoma. p63 juga terekspresi pada sebagian limfoma non-Hodgkin. Metode spesifik isoform reverse transcription-PCR, ditemukan bahwa thymoma mengekspresikan semua isoform p63, sedangkan limfoma non-Hodgkin cenderung mengekspresikan isoform TAp63. Ekspresi p63 tidak dtemukan pada tumor endokrin , sel germinal, juga melanoma.24
p63 memainkan peranan penting dalam pengaturan proliferasi epitel dan diferensiasi sel. Hilangnya p63 menyebabkan cacat diferensiasi epidermal, serta agenesis kelenjar susu, kelenjar lakrimal, dan prostat. Di antara berbagai isoform, keratinosit normal lebih mengekspresikan isoform ΔNp63 daripada TAp63. Transkrip ΔNp63-encoding mengatur selama pertumbuhan ireversibel berhenti dan diferensiasi keratinosit manusia. Karsinoma sel skuamosa kepala dan leher menunjukkan amplifikasi genom 3q, mengekspresikan kedua isoform. p63 juga berperan dalam karsinoma sel skuamosa pada serviks.24
(49)
Epitel skuamosa berlapis, keratin maupun nonkeratin, terdiri dari lapisan sel basal sebagai sel germinativ dan lapisan berikut diatasnya berturut-turut berdiferensiasi hingga akhirnya menjadi sel matur. Como DJ et al. meneliti p63 pada semua epitel berlapis, termasuk kulit, tonsil, esofagus, dan ektoservik, menunjukkan tampilan intensitas warna yang kuat pada inti sel lapisan basal, selanjutnya tampak penurunan intensitas warna bertahap pada lapisan sel yang lebih berdiferensiasi pada lapisan suprabasal, dan pada sel-sel superfisial p63 sudah tidak terdeteksi lagi. Pada epitel transisional saluran kemih, tampak semua lapisan sel terwarnai dengan intensitas warna yang kuat, kecuali sel payung dipermukaan. Sel-sel epitel pada organ tertentu, seperti asinus dan duktus payudara dan prostat, menunjukkan tampilan p63 dengan intensitas warna sedang pada inti sel basal, sedangkan sel-sel lumen kelenjar tidak reaktif. Begitu juga pada berbagai adneksa kulit, seperti kelenjar sebasea dan kelenjar keringat. Secara umum karsinoma sel skuamosa dan karsinoma sel transisional menunjukkan tampilan p63 pada inti sel dengan intensitas warna yang kuat. Sedangkan pada adenokarsinoma (payudara dan prostat), mesotelioma dan karsinoma hepatoseluler, p63 tidak terdeteksi.24
Kriteria penilaian tampilan p63 berdasarkan studi yang dilakukan oleh Oncel at al. yaitu inti yang terwarnai dihitung pada masing-masing kasus. Semua penghitungan dilakukan di bawah mikroskop cahaya standar pada 1000x lapangan untuk mengevaluasi inti positif/ total jumlah sel. Sepuluh lapangan pandang atau setidaknya 500 sel dihitung pada setiap bagian. Bagian tumor dianggap negatif jika tidak terwarnai, atau terwarnai < 10% dari sel-sel tumor. Skor 1+ diberikan ketika dijumpai 10-30% dari sel-sel yangpositif terwarnai. Skor 2+ diberikan
(50)
ketika dijumpai 30-50% dari sel-sel yang positif terwarnai.Skor 3+ diberikan ketika >50% dari sel-sel yang positif terwarnai. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Salim at al. juga menilai inti sel yang terwarnai dihitung pada masing-masing kasus dengan menggunakan mikroskop cahaya pembesaran 400x pada 5 lokasi lapang pandang. Skor jumlah sel yang terwarnai yaitu 0 jika tidak ada sel yang terwarnai, 1 jika <10% jumlah sel yang terwarnai, 2 jika 10-50% jumlah sel yang terwarnai dan 3 jika >50% jumlah sel yang terwarnai. Skor intensitas warna yaitu 0 (negatif),1 (positif lemah),2 (positif sedang),dan 3 (positif kuat). Untuk skor akhir digunakan skor imunoreaktif dengan mengalikan skor jumlah yang terwarnai dengan skor intensitas warna. Interpretasi negatif (0-3) dan positif/overekspresi (4-9).8,13
Gambar 2.8 Tampilan p63 pada jaringan normal. A. Epidermis. B. Ektoservik. C. Bronkus. D. Payudara. E. Prostat. F. Kelenjar getah bening.24
(51)
Gambar 2.9 Tampilan p63, tampak positif kuat dan difus pada karsinoma sel skuamosa sinonasal.8
2.11 Kerangka Teori
Infeksi HPV 6/11 pada sinonasal Paparan karsinogen lingkungan, infeksi bakteri, inflamasi, alergi Papilloma sinonasal
Amplifikasi gen p63
Inhibisi p53
Proliferasi sel meningkat
Displasia
Karsinoma Sel Skuamosa
(52)
2.12 Kerangka Konsepsional
Imunohistokimia p63
Oncocytic Papilloma Exophytic Papilloma
Inverted Papilloma
Inti sel berwarna coklat
(53)
BAB 3
BAHAN DAN METODA
3.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian bersifat deskriptif analitik dengan desain penelitian cross sectional.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan mulai bulan Agustus 2012 sampai dengan Nopember 2013 yang meliputi studi kepustakaan, pengumpulan data, pengumpulan sampel, penelitian dan hasil penelitian.
Tabel 3.1. Waktu pelaksanaan penelitian
KEGIATAN
WAKTU PELAKSANAAN Agustus
2012 – Mei 2013 Juni-Agustus 2013 September- Oktober 2013 Nopember 2013 Pengajuan Judul Studi Kepustakaan Pengumpulan Data Pengolahan Data Laporan Hasil Penelitian
(54)
3.3 Subjek Penelitian 3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua data penderita yang didiagnosis papilloma sinonasal yang telah dilakukan pemeriksaan histopatologi di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dari 1 Januari 2009 sampai dengan 30 Juni 2013.
3.3.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah penderita yang didiagnosis papilloma sinonasal yang telah dilakukan pemeriksaan histopatologi di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dari 1 Januari 2009- 30 Juni 2013 yang datanya diambil dari rekam medik.
3.3.3 Besar Sampel
Besar sampel yang diperlukan adalah berdasarkan perhitungan dengan melihat proporsi yang digunakan pada penelitian ini sebesar 50% karena belum ada penelitian mengenai tampilan p63 pada berbagai varian papilloma sinonasal. Tingkat kemaknaan yang dipergunakan pada penelitian ini adalah 0,05 dengan interval kepercayaan 95%, sehingga dari tabel Z-score diperoleh Zα=1,96.
Perkiraan besarnya sampel penelitian berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus :
(55)
Keterangan : n= besar sampel
Zα = tingkat kepercayaan (95%→ Z-score= 1,96) p= proporsi penelitian (50% atau 0,5)
q= 1-p
d= presisi penelitian, yaitu kesalahanpenelitian yang dapat diterima (20% atau 0,2)
Besar sampel pada penelitian ini didapatkan 31 slaid papilloma sinonasal.
3.3.4. Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan metoda non random sampling dengan teknik consecutive sampling.
3.4 Kriteria Penelitian 3.4.1 Kriteria Inklusi
Yang termasuk kriteria inklusi adalah semua data penderita yang didiagnosis papilloma sinonasal yang telah dilakukan pemeriksaan histopatologi di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dari 1 Januari 2009- 30 Juni 2013.
3.4.2Kriteria Eksklusi
Yang termasuk kriteria eksklusi adalah :
1. Data penderita tumor sinonasal yang tidak lengkap (umur dan jenis kelamin). 2. Slaid dalam keadaan rusak atau tidak dapat dibaca ulang dan blok tidak
(56)
3.5 Kerangka Operasional
3.6 Definisi Operasional
1. Tumor sinonasal adalah tumor yang berasal dari rongga hidung dan sinus paranasal disekitar hidung.
2. Pemeriksaan histopatologi merupakan suatu jenis pemeriksaan jaringan yang diambil dari dalam tubuh, dengan proses fiksasi formalin pembuatan blok parafin dan pewarnaan hematoksilin-eosin, kemudian dilihat dengan mikroskop.
3. Pengumpulan slaid dan blok yaitu melakukan pengumpulan slaid dan blok penderita tumor sinonasal yang telah dilakukan pemeriksaan histopatologi.
Rekam Medik penderita yang didiagnosis papilloma sinonasal yang
telah dilakukan pemeriksaan
histopatologi dari
1 Januari 2009 – 30 Juni
2013
Pembacaan ulang slaid Pengumpulan slaid dan
blok Imunohistokimia p63 Papilloma Sinonasal Inverted Papilloma Oleh peneliti dan dua orang
spesialis patologi anatomi Exophytic Papilloma Oncocytic Papilloma - +
(57)
4. Pembacaan ulang slaid yaitu melakukan pembacaan ulang slaid oleh peneliti didampingi dua orang spesialis patologi anatomi.
5. Papilloma sinonasal adalah tumor jinak epitel mukosa sinonasal yang terdiri dari proliferasi sel kolumnar dan atau sel skuamosa yang tumbuh eksofitik atau endofitik, dengan atipia ringan sampai sedang, namun tanpa invasi stroma. 6. Inverted Papilloma adalah papilloma sinonasal yang memiliki pola
pertumbuhan endofit atau "inverted", dilapisi membran epitel yang proliferatif, tumbuh ke bawah ke dalam stroma yang mendasarinya.
7. Exophytic Papilloma adalah papilloma sinonasal yang meiliki pola pertumbuhan papilar dengan fibrovascular core yang dilapisi oleh epitel yang berlapis-lapis.
8. Oncocytic Papilloma adalah papilloma sinonasal yang memiliki pola pertumbuhan endofitik dan eksofitik.
9. Imunohistokimia dengan p63 adalah suatu pemeriksaan laboratorium terhadap sediaan jaringan dengan menggunakan pewarnaan khusus antibodi p63 terhadap target protein dalam sel yang berperan sebagai antigen dalam pemeriksaan ini.
10. Hasil pulasan p63 positif (+) adalah bila terdapat tampilan pulasan warna coklat pada inti sel dengan menggunakan mikroskop cahaya pembesaran 400x pada 5 lokasi lapang pandang dan pada saat yang sama kontrol (+).
11. Hasil pemulasan p63 negatif (-) bila tidak tertampil pulasan warna coklat pada inti sel dengan menggunakan mikroskop cahaya pembesaran 400x pada 5 lokasi lapang pandang dan pada saat yang sama kontrol (+).
(58)
Skor distribusi sel :
0 : tidak ada inti sel yang terwarnai
1 : positif pada inti sel lapisan sepertiga basal
2 : positif pada inti sel dari lapisan sepertiga basal sampai sepertiga medial 3 : positif pada inti sel seluruh lapisan
Skor intensitas warna : 0 : negatif 1 : lemah
2 : sedang 3 : kuat
Untuk skor akhir digunakan skor imunoreaktif. Skor imunoreaktif diperoleh dengan mengalikan skor jumlah inti sel yang terwarnai dengan skor intensitas warna.
Interpretasi : low expression : 0-6 high expression : 7-9
3.7 Cara Kerja
1. Mengumpulkan semua slaid dan blok yang berasal dari sinonasal yang telah didiagnosa sebagai papilloma sinonasal.
2. Dilakukan pembacaan ulang slaid oleh peneliti didampingi dua orang spesialis patologi anatomi.
3. Dilakukan pemotongan ulang blok parafin, kemudian dilakukan pewarnaan dengan imunohistokimia p63, lalu dinilai tampilan dari p63.
(59)
3.7.1 Pembuatan Sediaan Mikroskopis
Sediaan mikroskopis dibuat dengan cara sebagai berikut :
1. Blok parafin yang telah dikumpulkan, disimpan dalam freezer sampai cukup dingin, selanjutnya dipotong tipis dengan menggunakan mikrotom dengan tebal 4 µm. Setiap blok parafin, dipotong ulang 1 kali untuk pulasan imunohistokimia p63.
2. Sampel blok parafin yang sudah dipotong tipis (4 µm) ditempelkan pada kaca objek.
Pada pulasan imunohistokimia p63 digunakan kaca objek yang telah dicoating dengan poly-L-lysine atau Silanized slide agar jaringan dapat menempel pada kaca objek selama proses pulasan imunohistokimia.
Proses pembuatan coated slide kaca objek adalah sebagai berikut : 1. Kaca objek direndam seluruhnya dalam Aseton selama 10 menit.
Masukkan kaca objek dalam larutan APES (3-aminopropyltriethoxylene, cat no. A3548 sigma 5 mL + aseton 195 ml) selama 10 menit.
Kaca objek selanjutnya dicuci dengan akuades.
2. Keringkan dalam inkubator bersuhu 37⁰C selama satu malam. 3. Kaca objek siap digunakan.
Cara menempelkan potongan tipis pada kaca objek coated adalah menggunakan ujung pisau atau pinset yang runcing. Potongan tipis dipisahkan dan diratakan dengan memasukkannya ke dalam air hangat. Setelah mengembang, pindahkan ke atas kaca objek. Selanjutnya, kaca objek diletakkan di atas alat pemanas (hot plate) 50-60⁰C. Setelah parafin melunak, kaca objek dikeringkan dan potongan jaringan siap untuk dipulas.
(60)
3.7.2 Prosedur Sebelum Pulasan Antibodi Primer
1. Siapkan preparat berupa potongan tipis jaringan 4 µm yang sudah ditempelkan pada kaca objek silanized.
2. Deparafinisasi dengan mencelupkan preparat ke dalam cairan xylol sebanyak 3 kali, masing-masing 5 menit.
3. Rehidrasi dengan cara mencelupkan secara berurutan dalam etanol absolut, 96%, 80% dan 70%, masing-masing selama 5 menit.
4. Bilas dengan air mengalir selama 5 menit.
5. Blocking preparat dengan mencelupkannya ke dalam endogen peroksidase 0,5% (metanol 100ml + H2O2 1,6ml) selama 30 menit.
6. Bilas dengan air mengalir selama 5 menit.
7. Pretreatment dengan buffer sitrat pada microwave : a. Cook I, power level 8 selama 5 menit.
b. Cook II, power level 1 selama 5 menit. Dinginkan ± 45 menit.
8. Bilas dalam PBS pH 7,4 selama 3 menit dan keringkan air di sekitar potongan jaringan.
9. Tandai di sekitar jaringan yang ingin dipulas dengan Pap pen.
10. Blocking preparat dengan meneteskan Normal Horse Serum 5% dan dibiarkan selama 15 menit di dalam rak inkubasi.
3.7.3 Protokol Pemulasan p63 dengan MenggunakanMetode REAL Envision 1. Teteskan preparat dengan antibodi primer p63 dan dibiarkan selama 60 menit
di dalam rak inkubasi.
(61)
3. Teteskan preparat dengan Dako REAL Envision secukupnya dan dibiarkan selama 30 menit di dalam rak inkubasi.
4. Cuci dengan PBS pH 7,4 + Tween 20.
5. Teteskan preparat dengan DAB = substrat buffer (Dako) selama 2-5 menit. 6. Bilas dengan air mengalir selama 10 menit.
7. Counterstain preparat dengan pewarnaan hematoksilin selama 1-2 menit. 8. Bilas dengan air mengalir selama 5 menit.
9. Masukkan preparat ke dalam larutan Lithium carbonat jenuh (5% dalam aquadest) selama 2 menit.
10. Bilas dengan air mengalir selama 5 menit.
11. Dehidrasi dengan mencelupkan preparat secara berurutan dalam etanol 70%, 80%, 96% dan etanol absolut, masing-masing selama 5 menit.
12. Lakukan mounting dengan etilene dan tutup dengan kaca penutup.
3.8 Alat Dan Bahan Penelitian 3.8.1 Alat-Alat Penelitian
Alat-alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah : mikrotom, waterbath, hot plate, freezer, inkubator, staining jar, rak kaca objek, kaca objek, rak inkubasi, pensil Diamond, pipet mikro, timbangan bahan kimia, kertas saring, pengukur waktu, gelas Erlenmeyer, gelas Beker, tabung sentrifuge, microwave, thermolyte stirrerdan mikroskop cahaya.
3.8.2 Bahan Penelitian
1. Blok parafin yang telah didiagnosis dengan pulasan Hematoksilin Eosin sebagai inverted papilloma dan oncocytic papilloma.
(62)
2. Pulasan imunohistokimia menggunakan metode REAL Envision. Antibodi primer yang digunakan adalah mouse monoclonal antibody p63 dengan pengenceran 1:50-1:100.
3. Detection kit terdiri dari :
- 1 botol endogenous enzyme block - 1 botol Normal Horse Serum
- 1 botol Dako REAL Envision - 1 botol DAB + substrat chromogen 4. Larutan buffer sitrat.
5. Larutan PBS ph 7,4 :
- Natrium chloride : 80 gram - Kalium chloride : 2 gram
- Na2HPO4 : 11 gram
- KH2PO4 : 2 gram
- Tambahkan aquadest : 1000ml 6. Larutan Tween 20.
7. Larutan DAB + substrat buffer (1ml larutan cukup untuk 10 jaringan):
- Langkah 1 : masukkan 1ml aliquat substrat buffer secukupnya ke dalam container (tergantung dari jumlah spesimen yang akan dikerjakan)
- Langkah 2 : untuk setiap 1 ml buffer, tambahkan setetes (20µl) cairan DAB + substrat chromogen dan campurkan segera
8. Larutan counterstain Mayer’s haematoxylin
9. Larutan litium karbonas : 50 gram litium karbonas ditambah aquadest 1000 ml 10. Ethanol absolut, 96%, 80%, 70%
(63)
11. Larutan Xylol
3.9 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan adalah hasil pulasan imunohistokimia p63 terhadap sampel sediaan jaringan papilloma sinonasal. Untuk penilaian terhadap pulasan imunohistokimia p63 adalah sebagai berikut : - Kontrol positif : jaringan yang telah diketahui positif terhadap p63 yaitu
karsinoma sel skuamosa.
- Kontrol negatif : semua varian papilloma sinonasal dengan antibodi primer yang digantikan dengan serum normal.
- Positif : warna coklat yang tertampil pada inti sel.
3.10 Teknik Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan dirangkum dan disajikan dalam bentuk tabel induk untuk diolah dan dianalisis secara statistik dengan menggunakan program komputer SPSS (Statistical Package for Social Sciences) versi 19.0 dan dideskripsikan.
(1)
(2)
Lampiran 3. Foto mikroskopik sampel penelitian
Varian Papilloma Sinonasal dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin
A dan B. Inverted Papilloma; C. Inverted Papilloma disertai displasia; D. Inverted Papilloma dengan sel skuamosa.
A
C
B
A B
(3)
A, B dan C. Oncocytic Papilloma; D. Oncocytic Papilloma disertai displasia.
Tampilan p63 pada Papilloma Sinonasal
C D
F E
B A
(4)
A dab B. Tampilan p63 pada inverted papilloma, tertampil 1/3 basal; C dan D. Tampilan p63 pada inverted papilloma, tertampil dari 1/3 basal sampai 1/3 medial; E dan F. Tampilan p63 pada inverted papilloma, tertampil dari 1/3 basal sampai 1/3 superfisial.
A dan B. Tampilan p63 pada inverted papilloma dengan sel skuamosa, tertampil H
G
A
C
(5)
A dan B. Tampilan p63 pada oncocytic papilloma, tertampil pada 1/3 basal; C dan D. Tampilan p63 pada oncocytic papilloma, tertampil dari 1/3 basal sampai 1/3 medial; E dan F. Tampilan p63 pada oncocytic papilloma, tertampil dari 1/3 basal sampai 1/3 superfisial.
C B A D F E
(6)