Kedudukan Hukum Asuransi Nasional Terhad

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN:

A. LATAR BELAKANG

2

B. RUMUSAN MASALAH

3

PEMBAHASAN

4

KESIMPULAN

7

DAFTAR PUSTAKA


8

1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pasca 11 September 2001, arah kebijakan keamanan dan pertahanan dalam negri
Amerika Serikat mengalami perubahan yang amat drastis. Pemerintah Amerika Serikat
mengeluarkan kebijakan yang ketat di bidang pengangkutan barang dan transportasi orang
dengan alasan perlindungan terhadap serangan teroris. Hal ini berimbas kepada masukkeluarnya barang maupun mobilisasi masyarakat dari maupun ke Amerika Serikat.
Posisi Amerika Serikat sebagai sentra perniagaan dunia, trendsetter musik dan fashion,
serta pusat politik global membuat pihak penyedia jasa transportasi dan pengangkutan lokal
mengalami dampak buruk atas pemberlakuan kebijakan pertahanan tersebut. Paranoia
terhadap terorisme membuat pemerintah Amerika Serikat memberikan perhatian extra di
bidang pengangkutan, garda terdepan yang menjadi celah masuknya kekuatan asing.
Awalnya, Amerika mengadopsi sistem keamanan airport milik Israel yang dibentuk
segera setelah peristiwa peledakan di bandara Ben Gurion pada tahun 1990. Bandara Gurion
pasca serangan tersebut memang menjadi terkenal sebagai bandara paling aman di dunia.

Seiring dengan berjalannya waktu, Amerika mengembangkan sendiri teknologi serta bentukbentuk pertahanan khusus untuk kasus-kasus yang menjadi precedence mereka dalam kurun
belakangan ini.
Bentuknya tidak hanya berupa usaha penanggulangan, namun ada juga yang sifatnya
"political-preventive action". Di bidang imigrasi sebagai contoh, kesempatan untuk
mendapatkan visa Amerika Serikat menjadi semakin sulit jika track record seseorang
disinyalir berhubungan dengan sebuah gerakan kegamaan radikal, berperawakan Timur
Tengah, atau bernama Islami. Adapula metode pengawasan yang dilaksanakan dengan
berdasar tanda-tanda fisik maupun psikis dari pihak-pihak yang diduga teroris atau membawa
benda mencurigakan.1
Kebijakan yang banyak menuai kontroversi serta tudingan diskriminasif ini pun
sebenarnya telah direview oleh pemerintah Amerika Serikat. Akan tetapi, menengok asas
1 http://www.psosonline.com/en/Homeland-Security/the-revolution-when-airport-passenger-and-baggagescreening-went-technological.html.

2

perlindungan terhadap kedaulatan negara, serta asas nasional pasif, ketentuan tersebut tidak
diubah. Bahkan pada kenyataannya justru terus dikembangkan dengan beberapa penyesuaian.
Pada tahun 2004 (beberapa bulan setelah terjadinya ledakan bom di sebuah kereta api umum
di Madrid sebagai aksi terorisme) pemerintah Amerika Serikat memutuskan untuk
memberlakukan sistem PSI (Passenger Security Inspection) yang lazim pada airport-airport

di stasiun kereta api bawah tanah Boston. 2 Pemeriksaan barang bawaan secara acak maupun
pengecekan ID penumpang yang dianggap mencurigakan menjadi hal yang lumrah dengan
diputuskannya peraturan tersebut.
Isu terorisme yang hangat di media Barat telah menciptakan epidemi bagi sistem
pertahanan negri Paman Sam. Jika pemeriksaan barang dianggap sebagai usaha untuk
mempertahankan kedaulatan negara, maka isu lain seperti perlindungan terhadap privasi
masyarakat sipil maupun masyarakat internasional yang berkecimpung di Amerika Serikat
pun tidak kalah hebatnya mencuat di permukaan. Semenjak diberlakukannya baggage
inspection atau TSA atas setiap barang yang masuk ke dalam kategori checked baggage,
penyedia jasa pengangkutan udara mengalami dampak negatif atas pelaksanaan kewenangan
tanpa pertanggung jawaban yang jelas.
Kasus Berfieldt v. Napolitano di tahun 2009 membawa kesadaran bagi warga Amerika
Serikat serta dunia atas perlunya ketentuan mengenai pertanggung jawaban pengangkutan
udara yang dapat menjamin perlindungan atas orang maupun barang sesuai perkembangan
zaman. Bertolak dari isu kekinian tersebut, penulis menyusun makalah untuk kelas Hukum
Asuransi ini dengan judul: “PERTANGGUNGAN PENGANGKUTAN BARANG OLEH
PENYEDIA JASA ASURANSI TERKAIT KEBIJAKAN TSA DI AMERIKA SERIKAT”.

B. RUMUSAN MASALAH
 Bagaimana kedudukan hukum asuransi nasional dalam kasus kebijakan TSA?


2 John N. Balog, 2007. Public Transportation Security, United States: Transit Cooperative Research. Chapter
2, halaman 15.

3

PEMBAHASAN

Pada hakikatnya, menurut J.E. Kaihatu ada dua macam perdagangan dalam konteks
perniagaan global. Pertama, perdagangan Laut-Tengah dan kedua, perdagangan Samudera.
Berkembang dari kedua macam perdagangan tersebut, kebutuhan pokok manusia disalurkan
dan berpindah melalui satu tempat ke tempat yang lain. Seiring dengan semakin kompleksnya
perdagangan, yaitu dengan munculnya perkembangan perhubungan melalui daratan, maka
proses pengangkutan pun menduduki tempat-tempat yang signifikan. Penanggungan atau
jaminan dalam bentuk polis asuransi pun memainkan peranan penting di dalam proses
pengangkutan ini.
Satu hal yang perlu digarisbawahi, sebuah polis pengangkutan tidak pernah bertujuan
menutup semua kerugian yang mungkin diderita oleh tertanggung, melainkan hanya menutup
kerugian-kerugian yang diakibatkan oleh kejadian-kejadian yang secara kebetulan datang dari
luar dan yang berada di luar pengawasan atau kehendak pihak tertanggung itu. Ketentuan

hukum asuransi yang berlaku dalam pengangkutan internasional oleh Kaihatu dimasukkan ke
dalam kategori Polis-perjalanan. Menurut sifat pertanggungannya, polis jenis ini dibuat hanya
untuk satu perjalanan atau satu pelajaran yang tertentu saja, berarti sesudah perjalanan atau
pelajaran itu selesai, maka pertanggungan dengan polis ini terhenti pula. Secara umum, dalam
pengangkutan internasional perusahaan maskapai penerbangan yang mengangkut orang dan
barang bekerja sama dengan pihak penyedia asuransi angkutan untuk menjadi pihak
penanggung, sedangkan orang dan barang yang telah diasuransikan menjadi pihak
tertanggung.
Transportation Security Administration atau biasa disingkat TSA merupakan sebuah
lembaga yang bertanggung jawab dalam mengembangkan ketentuan hukum untuk
melindungi transportasi di Amerika Serikat, terutama dalam hal keamanan bandar udara dan
pembajakan pesawat. Wewenang TSA antara lain ialah keleluasaan untuk melaksanakan
baggage inspection atau membuka, memeriksa, serta mengambil barang-barang yang masuk
ke Amerika Serikat tanpa seizin pemilik barang. Tidak heran jika sejak tahun 2001 telah
banyak kasus barang yang digeledah tanpa izin, kerusakan, hingga kehilangan yang
dilakukan oleh lembaga ini.

4

Lembaga TSA yang diberi kewenangan oleh Aviation and Transportation Security Act

2001 untuk melaksanakan baggage inspection ternyata menyimpangi ketentuan yang ada
dalam peraturan hukum pertanggungan pengangkutan udara internasional maupun lokal. Jika
berdasarkan Protokol Guatemala dan Konvensi Warsawa pihak yang bertanggung jawab atas
kerusakan, kehilangan, maupun keterlambatan bagasi adalah maskapai penerbangan sebagai
penyedia jasa, maka kekuasaan TSA atas barang yang belum beralih ke pemilik haknya jelasjelas menyimpang. Dasar hukumnya menjadi absurd, karena TSA sudah secara eksplisit
menyatakan tidak bertanggung jawab atas kerusakan maupun kehilangan barang dalam
bagasi. Kesalahan akan dilimpahkan kepada perusahaan penyedia jasa penerbangan.
Protokol Guatemala Art. 17 ayat 2 menjelaskan; the carrier is liable for damage
sustained in case of destruction or loss of, or of damage to, baggage upon condition only that
the event which caused the destruction, loss, or damage took place on board the aircraft or in
the course of any of the operations of embarking or disembarking during any period within
which the baggage was in charge of the baggage. Jika berpatokan pada ketentuan tersebut
maka seharusnya penyedia jasa pengangkutan udara tidak dapat dijatuhi tanggung jawab atas
kerusakan atau kehilangan yang terjadi selama proses baggage inspection. Pihak pengangkut
hanya dapat dituntut atas ganti rugi jika kejadian yang menyebabkan kerugian tersebut terjadi
selama angkutan udara.
Kedudukan penyedia jasa asuransi atas pengangkutan udara terkait kebijakan TSA ini
dapat ditilik berdasarkan teori Kartasapoetra dan Roekasih.3 Penggantian kerugian kepada
para pernumpang oleh pengangkut (jika kesalahan terletak pada pengangkut) janganlah
dicampur adukkan dengan kewajiban pihak asuransi untuk membayar uang santunan (ganti

rugi). Karena eratnya inilah maka pengertian tanggungjawab dan asuransi sering dicampur
adukkan, terutama oleh mereka yang mempunyai wewenang menentukan dalam hal tanggung
jawab pengangkut.
Pasal 14 Charter Party Garuda Indonesian Airways menyebutkan: “Atas permintaan
“Penyewa” dengan perantaraan Garuda dapat memperoleh asuransi untuk menutup risikorisiko mengenai para penumpang dan barang-barang selama penerbangan charter, atas syaratsyarat serta harga-harga yang akan diberitahu lebih lanjut.” Berdasarkan penjabaran di atas,
maka dalam hal ini penyedia jasa angkutan udara memiliki tanggung jawab atas kerugian
yang diderita oleh pengguna jasanya, dan berkewajiban untuk mengucurkan santunan sebagai
3 Kartasapoetra, Roekasih. 1982. Segi-Segi Hukum dalam Charter dan Asuransi Angkutan Udara. Bandung:
Penerbit Aramco. Halaman 82.

5

ganti rugi melalui pihak penyedia jasa asuransi yang telah mengikatkan kerjasama
dengannya. Dengan demikian, perusahaan penyedia angkutan udara seolah-olah bertindak
sebagai petugas asuransi yang selain menerima uang pertanggungan itu juga membayarkan
santunannya.
Pada tanggal 18 Juni 2009, American Civil Liberties Union melaporkan kasus
mengenai TSA yang dinilai telah melanggar hak-hak sipil melalui unreasonable searches and
body screening terhadap seorang pria dan barang bawaannya. Kasus yang kemudian dikenal
dengan nama Bierfeldt v. Napolitano ini menjadi perbincangan yang hangat karena

mempertanyakan tindakan TSA serta kaitannya dengan perusahaan pengangkut udara.
Hukum di Amerika Serikat secara jelas memastikan setiap kasus kehilangan atau
rusaknya checked baggage sebagai tanggung jawab pengangkut udara, namun pada kasus ini
yang menjadi perdebatan adalah TSA yang melakukan pemeriksaan, bukan perusahaan
penerbangan.
Situs website resmi TSA secara halus menolak tanggung jawab atas kehilangan
maupun kerusakan barang yang diakibatkan oleh pemeriksaan mereka. Tanggung jawab
dilimpahkan kepada perusahaan penyedia pengangkutan udara secara sepihak; “for lost or
missing baggage, please contact your airline. Most airlines recommend reporting missing
baggage immediately upon arrival. TSA has sixteen airports that utilize private screening
services and does not handle claims for incidents that occur at these locations. Claims
pertaining to these airports must be filed directly with the company providing screener
services at the applicable airport...”.“ If you have a lost or damaged item AND you believe
that TSA was responsible, you should file a claim with the TSA Claims Management
Branch.”
Kebijakan baggage inspection yang terlahir sebagai lex specialis terhadap ketentuan
umum di ruang lingkup hukum pengangkutan udara menjaminnya untuk diberlakukan secara
legal. Konsekuensi dari pemberlakuan ini ialah ambigunya peran serta tanggung jawab yang
dipegang oleh perusahaan pengangkutan melalui udara. Mengingat pengaturan dalam
Protokol Guatemala menganut prinsip Absolut Liability atas bagasi, maka kedudukan

perusahaan angkutan udara maupun penyedia asuransi sebagai pihak yang harusnya
bertanggung jawab atas segala akibat dari pemeriksaan TSA menjadi amat tidak
menguntungkan.
KESIMPULAN
6

Pada prinsipnya, lembaga TSA yang diberi kewenangan oleh Pemerintah Amerika
Serikat untuk melaksanakan baggage inspection menyimpangi ketentuan yang ada, baik di
dalam peraturan hukum pertanggungan pengangkutan udara internasional maupun
lokal. sebuah polis pengangkutan tidak pernah bertujuan menutup semua kerugian yang
mungkin diderita oleh tertanggung, melainkan hanya menutup kerugian-kerugian yang
diakibatkan oleh kejadian-kejadian yang secara kebetulan datang dari luar dan yang berada di
luar pengawasan atau kehendak pihak tertanggung itu.
Perusahaan penyedia jasa pengangkutan udara maupun penyedia jasa asuransi atas
pengangkutan udara tidak dapat dituntut pertanggung jawabannya atas kesalahan yang
dilakukan oleh pihak TSA. Mengingat pengaturan dalam Protokol Guatemala menganut
prinsip Absolut Liability atas bagasi, maka kedudukan perusahaan angkutan udara maupun
penyedia asuransi sebagai pihak yang harusnya bertanggung jawab atas segala akibat dari
pemeriksaan TSA menjadi amat tidak menguntungkan.


DAFTAR PUSTAKA

7

Kaihatu, J.E. 1970. Asuransi Pengangkutan. Jakarta: Djambatan.
Kartasapoetra, Roekasih. 1982. Segi-Segi Hukum dalam Charter dan Asuransi Angkutan
Udara. Bandung: Penerbit Aramco.
Prakoso, Djoko. 1989. Hukum Asuransi Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.

8