LEGAL STANDING WARGA MASYARAKAT SEBAGAI

LEGAL STANDING WARGA MASYARAKAT SEBAGAI
PENGGUGAT DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA
(Sebuah Terobosan Baru Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara Berdasarkan UUAP)
Pendahuluan
Pembentukan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan (UUAP) adalah dalam rangka
meningkatkan
kualitas penyelenggaraan pemerintahan, dimana badan dan/atau pejabat
pemerintahan dalam menggunakan wewenangnya harus mengacu pada asasasas umum pemerintahan yang baik dan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pengaturan mengenai Administrasi Pemerintahan dalam
undang-undang ini juga diharapkan menjadi solusi dalam memberikan
perlindungan hukum, baik bagi warga masyarakat maupun pejabat
pemerintahan. Dan juga bahwa untuk mewujudkan pemerintahan yang baik,
khususnya bagi pejabat pemerintah, undang-undang ini menjadi landasan
hukum yang dibutuhkan guna mendasari keputusan dan/atau tindakan pejabat
pemerintahan untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Hal-hal inilah yang menjadi pertimbangan
dibentuknya UUAP sebagaimana tertuang dalam konsideran undang-undang
ini.
Di dalam Naskah Akademik Rancangan

Administrasi Pemerintahan dinyatakan bahwa:

Undang-Undang

Tentang

Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Undang-Undang Dasar
1945 memerlukan berbagai Undang-Undang untuk melaksanakan tugas
pemerintahannya sehari-hari. Tugas-tugas pemerintahan tersebut di
dalam prakteknya dilaksanakan oleh kekuasaan eksekutif dalam hal ini,
Pemerintah dibawah pimpinan Presiden bersama para Administrator
Negara yang ada dan bekerja di seluruh wilayah kedaulatan negara
Indonesia.
Salah satu dari berbagai Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut
adalah Undang-Undang tentang Administrasi Negara. Undang-Undang
tersebut dibutuhkan untuk memberikan dasar hukum terhadap segala
tindakan, perilaku, kewenangan, hak dan kewajiban dari setiap
administrator negara dalam menjalankan tugasnya sehari-hari melayani
masyarakat. Karena selama ini hal-hal tersebut belum diatur secara
lengkap dalam suatu UndangUndang yang khusus diadakan untuk itu.

Sedangkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 9 Tahun
2004 hanya mengatur hukum acara (hukum formil) saja. Dalam
praktiknya di Peradilan Tata Usaha Negara seringkali ditemui hakim
mengalami kesulitan apabila berhadapan dengan perkara yang hukum
materiilnya tidak diatur dalam Undang-undang PTUN, sehingga jalan
keluar yang kerap diambil adalah hakim mendasarkan pada pendapat
para ahli (doktrin) atau yurisprudensi.
Selain itu, di dalam naskah akademik, dinyatakan bahwa secara filosofis

kebutuhan akan adanya undang-undang yang mengatur tentang administrasi
negara merupakan bagian dari sistem yang menempatkan administrasi negara
sebagi hak masyarakat sebagaimana termaktub dalam Pasal 41 The Charter
of Fundamental Rights of the Union. Dan hak masyarakat tersebut secara
filosofis sekaligus merupakan kewajiban pemerintah untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian,
fungsi administrasi pemerintahan tidak lain adalah tugas pemerintah
dan negara untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia
sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945.
Tentang apa dan bagaimananya UUAP ini, atau gambaran umum dari

UUAP tertuang dalam Penjelasan Umum dari undang-undang ini:
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Selanjutnya
menurut ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, negara Indonesia adalah negara
hukum. Hal ini berarti bahwa sistem penyelenggaraan pemerintahan
negara Republik Indonesia harus berdasarkan atas prinsip kedaulatan
rakyat dan prinsip negara hukum. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut,
segala bentuk Keputusan dan/atau Tindakan Administrasi
Pemerintahan harus berdasarkan atas kedaulatan rakyat dan
hukum yang merupakan refleksi dari Pancasila sebagai ideologi
negara. Dengan demikian tidak berdasarkan kekuasaan yang
melekat pada kedudukan penyelenggara pemerintahan itu
sendiri.
Penggunaan kekuasaan negara terhadap Warga Masyarakat bukanlah
tanpa persyaratan. Warga Masyarakat tidak dapat diperlakukan secara
sewenang-wenang sebagai objek. Keputusan dan/atau Tindakan
terhadap Warga Masyarakat harus sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Pengawasan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan merupakan
pengujian terhadap perlakuan kepada Warga Masyarakat yang terlibat
telah diperlakukan sesuai dengan hukum dan memperhatikan prinsipprinsip
perlindungan
hukum
yang
secara
efektif
dapat
dilakukan oleh lembaga negara dan Peradilan Tata Usaha Negara yang
bebas dan mandiri. Karena itu, sistem dan prosedur penyelenggaraan
tugas pemerintahan dan pembangunan harus diatur dalam undangundang.
Tugas pemerintahan untuk mewujudkan tujuan negara sebagaimana
dirumuskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tugas tersebut merupakan tugas yang sangat
luas. Begitu luasnya cakupan tugas Administrasi Pemerintahan sehingga
diperlukan peraturan yang dapat mengarahkan penyelenggaraan
Pemerintahan menjadi lebih sesuai dengan harapan dan kebutuhan
masyarakat (citizen friendly), guna memberikan landasan dan pedoman
bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menjalankan tugas

penyelenggaraan pemerintahan.

Ketentuan penyelenggaraan Pemerintahan tersebut diatur dalam
sebuah Undang- ndang yang disebut Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan.
Undang-Undang
Administrasi
Pemerintahan
menjamin hak-hak dasar dan memberikan pelindungan kepada
Warga Masyarakat serta menjamin penyelenggaraan tugastugas negara sebagaimana dituntut oleh suatu negara hukum
sesuai dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 F,
dan Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan ketentuan tersebut, Warga
Masyarakat tidak menjadi objek, melainkan subjek yang aktif
terlibat dalam penyelenggaraan Pemerintahan.
Dalam rangka memberikan jaminan pelindungan kepada setiap
Warga Masyarakat, maka Undang-Undang ini memungkinkan
Warga Masyarakat mengajukan keberatan dan banding
terhadap Keputusan dan/atau Tindakan, kepada Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang bersangkutan.

Warga Masyarakat juga dapat mengajukan gugatan terhadap
Keputusan
dan/atau
Tindakan
Badan
dan/atau
Pejabat
Pemerintahan kepada Peradilan Tata Usaha Negara, karena
Undang-Undang ini merupakan hukum materiil dari sistem
Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan mengaktualisasikan secara
khusus norma konstitusi hubungan antara negara dan Warga
Masyarakat. Pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam UndangUndang ini merupakan instrumen penting dari negara hukum yang
demokratis, dimana Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan
dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau
penyelenggara negara lainnya yang meliputi lembaga-lembaga di luar
eksekutif, yudikatif, dan legislatif yang menyelenggarakan fungsi
pemerintahan yang memungkinkan untuk diuji melalui Pengadilan. Hal
inilah yang merupakan nilai-nilai ideal dari sebuah negara hukum.
Penyelenggaraan kekuasaan negara harus berpihak kepada

warganya dan bukan sebaliknya.
Undang-Undang ini diperlukan dalam rangka memberikan
jaminan kepada Warga Masyarakat yang semula sebagai objek
menjadi subjek dalam sebuah negara hukum yang merupakan
bagian dari perwujudan kedaulatan rakyat. Kedaulatan Warga
Masyarakat dalam sebuah negara tidak dengan sendirinya baik secara
keseluruhan maupun sebagian dapat terwujud.
Pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam Undang-Undang
ini menjamin bahwa Keputusan dan/atau Tindakan Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan terhadap Warga Masyarakat
tidak dapat dilakukan dengan semena-mena. Dengan UndangUndang ini, Warga Masyarakat tidak akan mudah menjadi objek
kekuasaan negara. Selain itu, Undang-Undang ini merupakan
transformasi AUPB yang telah dipraktikkan selama berpuluh-puluh
tahun dalam penyelenggaraan Pemerintahan, dan dikonkretkan ke
dalam norma hukum yang mengikat.

AUPB yang baik akan terus berkembang, sesuai dengan perkembangan
dan dinamika masyarakat dalam sebuah negara hukum. Karena itu
penormaan asas ke dalam Undang-Undang ini berpijak pada asasasas
yang berkembang dan telah menjadi dasar dalam penyelenggaraan

pemerintahan di Indonesia selama ini.
Undang-Undang
ini
menjadi
dasar
hukum
dalam
penyelenggaraan pemerintahan di dalam upaya meningkatkan
kepemerintahan yang baik (good governance) dan sebagai
upaya untuk mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Dengan
demikian,
Undang-Undang
ini
harus
mampu
menciptakan birokrasi yang semakin baik, transparan, dan
efisien.
Pengaturan terhadap Administrasi Pemerintahan pada dasarnya adalah
upaya untuk membangun prinsip-prinsip pokok, pola pikir, sikap,

perilaku, budaya dan pola tindak administrasi yang demokratis, objektif,
dan profesional dalam rangka menciptakan keadilan dan kepastian
hukum. Undang-Undang ini merupakan keseluruhan upaya untuk
mengatur kembali Keputusan dan/atau Tindakan Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan dan AUPB.
Undang-Undang ini dimaksudkan tidak hanya sebagai payung
hukum bagi penyelenggaraan pemerintahan, tetapi juga
sebagai instrumen untuk meningkatkan kualitas pelayanan
pemerintahan
kepada
masyarakat
sehingga
keberadaan
Undang-Undang
ini
benar-benar
dapat
mewujudkan
pemerintahan yang baik bagi semua Badan atau Pejabat
Pemerintahan di Pusat dan Daerah.

Dari Penjelasan Umum UUAP dan uraian ulasan dari Naskah Akademik
RUU UUAP tergambar bahwa utamanya adalah bahwa UUAP dibentuk untuk
memberikan perlindungan hukum bagi warga masyarakat terkait
dengan Administrasi Pemerintahan.
Secara khusus, yaitu tentang hak/kewenangan/kedudukan hukum/legal
standing “warga masyarakat” sebagai “penggugat” di Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) terkait Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), keputusan
dan/atau tindakan badan dan/atau pejabat pemerintahan, maka dalam tulisan
ini pembahasan
menitikberatkan
pada
hak
menggugat
“warga
masyarakat” terhadap KTUN di PTUN berdasarkan UUAP
dalam
payung hukum acara UUPTUN ( Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, serta Undang-Undang Nomor

51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara).

Konstruksi Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) Berdasarkan UUAP
Pasal 87 UUAP (ketentuan Peralihan) menyatakan bahwa:
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan Tata Usaha Negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51
Tahun
2009
harus
dimaknai
sebagai:
a. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan
eksekutif,
legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
c. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
d. bersifat final dalam arti lebih luas;
e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
f. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.
Ketentuan Pasal 87 UUAP tersebut memberikan konstruksi baru dari
KTUN. Konstruksi lama KTUN, Pasal 1 angka 9 UUPTUN adalah:
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi
tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual,
dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata.
Secara lebih jelas perbedaan konstruksi KTUN lama (berdasarkan
UUPTUN) dan KTUN baru (berdasarkan UUAP) dapat dilihat dalam tabel
berikut:
Konstruksi KTUN Lama
- penetapan tertulis
tindakan
hukum tata usaha
negara)

(yang

berisi

Konstruksi KTUN Baru
- penetapan tertulis yang juga
mencakup
tindakan faktual

- yang dikeluarkan oleh badan atau
pejabat
tata usaha negara

- (merupakan) Keputusan Badan
dan/atau
Pejabat Tata Usaha Negara di
lingkungan
eksekutif, legislatif, yudikatif, dan
penyelenggara negara lainnya

- berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku

- berdasarkan ketentuan perundangundangan dan AUPB

- bersifat konkret, individual, dan final

- bersifat final dalam arti lebih luas

- menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang
atau badan hukum perdata

- Keputusan yang berpotensi
menimbulkan
kibat hukum dan/atau Keputusan
yang
berlaku bagi Warga Masyarakat

Salah satu implikasi dari adanya konstruksi baru dari KTUN ini, menurut
Irvan Mawardi dalam sebuah artikelnya yang dimuat di website PTUN
Samarinda yang berjudul Konstruksi Baru Tentang Keputusan Tata Usaha
Negara Yang Dapat Diuji Di PTUN, adalah memperluas peluang legal
standing warga masyarakat atau kelompok dalam mengajukan
gugatan di PTUN.
Implikasi dari konstruksi baru ini secara lengkap menurut Irvan Mawardi adalah
sebagai berikut:
Salah satu elemen yang diatur dalam UU AP ini adalah terkait dengan Keputusan yang
dikeluarkan oleh pejabat administrasi pemerintah. Tujuan dan produk formal dari
sebuah prosedur Administrasi Pemerintahan adalah keputusan administrasi yang
memuat mengenai ketentuan hak dan kewajiban yang diperoleh oleh individu atau
anggota masyarakat lainnya dalam satu Administrasi Pemerintahan. Keputusan
tersebut dapat berupa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Setiap KTUN yang
dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara menggambarkan relasi pemerintah dengan
warganya. Sehingga titik singgung antara kepentingan warga dan pemerintah dalam
konteks administrasi senantiasa bermuara pada terbit dan berlakunya sebuah KTUN.
Sebagai negara hukum, setiap KTUN yang diterbitkan oleh pejabat tata usaha negara
dapat dipersoalkan atau digugat apabila merugikan kepentingan seseorang atau badan
hukum perdata. Peradilan Tata Usaha Negara adalah pengadilan yang memiliki
kewenangan untuk menguji, mengadili dan memutus sengketa tata usaha negara
antara pejabat tata usaha negara dengan warga masyarakat.
Sebelum disahkannya UU AP, konsepsi tentang KTUN beserta kriterianya diatur
dalam UU Nomor 5 tahun 1986 sebagaimana diubah dengan UU No 9 tahun 2004 dan
UU No 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Namun dengan
disahkannya UU AP yang mengatur konsepsi KTUN secara detail dan konprehensif,
maka ketentuan terdapat konstruksi baru tentang elemen-elemen yang terkandung
dalam KTUN yang menjadi obyek gugatan di PTUN. Tulisan ini akan membahas soal
implikasi hukum pengaturan KTUN di UU AP dengan proses pengujian sengketa di
PTUN.
Review tentang Konsepsi KTUN di UU PTUN
Undang-undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU. Nomor 5
tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 1 ayat 10 mengatur
bahwa Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata
usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata
usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya
keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan Pasal 1 ayat 10 tersebut, maka
konstruksi Sengketa Administrasi/tata usaha negara setidaknya memiliki 3 elemen:
1. Adanya seseorang/orang atau Badan Hukum Perdata
2. Pejabat Tata Usaha Negara, baik di Pusat maupun di daerah
3. Adanya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dikeluarkan berdasarkan
peraturan perUU-an
Selanjutnya 3 elemen tersebut akan dibahas sebagai berikut:
Seseorang/orang atau Badan Hukum Perdata . Pengertian seseorang atau

badan hukum perdata dalam konteks sengketa administrasi adalah apabila seseorang
atau badan hukum perdata yang kepentingannya merasa dirugikan oleh suatu
Keputusan tata usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan
yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata usaha negara yang disengketakan
itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi
dan/atau rehabilitasi (lihat Pasal 53 ayat 1 UU. No. 9 tahun 2004 tentang PTUN).
Sehingga legal standing dalam mengajukan gugatan ke PTUN harus memenuhi
beberapa syarat. Pertama, orang atau badan hukum perdata harus memiliki legalitas
hukum (Ahli Waris, Akta Notaris dll). Kedua, orang atau badan hukum perdata tersebut
harus memiliki hubungan hukum dengan obyek yang digugat. Ketiga, orang atau barang
hukum perdata tersebut harus mengalami atau mampu menunjukkan kerugian yang
dialami secara nyata akibat terbitnya obyek sengketa yang digugat. Kepentingan yang
dimaksud adalah kepentingan yang sifatnya materiil (nyata), bukan immateriil dan yang
benar-benar sudah terjadi.
Pejabat Tata Usaha Negara, baik di Pusat maupun di daerah . Sedangkan
yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau
pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. (lihat Pasal 1 ayat 8 UU. 51 tahun 2009). Badan atau Pejabat
TUN di sini ukurannya ditentukan oleh fungsi yang dilaksanakan Badan atau Pejabat TUN
pada saat tindakan hukum TUN itu dilakukan. Sehingga apabila yang diperbuat itu
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan suatu
pelaksanaan dari urusan pemerintahan, maka apa saja dan siapa saja yang
melaksanakan fungsi demikian itu, saat itu juga dapat dianggap sebagai suatu Badan
atau Pejabat TUN.
Sedang yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah segala macam
urusan mengenai masyarakat bangsa dan negara yang bukan merupakan tugas legislatif
ataupun yudikatif. Dengan demikian apa dan siapa saja tersebut tidak terbatas pada
instansi-instansi resmi yang berada dalam lingkungan pemerintah saja, akan tetapi
dimungkinkan juga instansi yang berada dalam lingkungan kekuasaan legislatif maupun
yudikatif pun, bahkan dimungkinkan pihak swasta, dapat dikategorikan sebagai Badan
atau Pejabat TUN dalam konteks sebagai subjek di Peratun
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dikeluarkan berdasarkan
peraturan perUU-an. Menurut UU. No. 51 tahun 2009 Pasal 1 ayat 9 disebutkan bahwa
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara
yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret,
individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata. Penetapan Tertulis itu harus dalam bentuk tertulis, dengan demikian suatu
tindakan hukum yang pada dasarnya juga merupakan Keputusan TUN yang dikeluarkan
secara lisan tidak masuk dalam pengertian Keputusan TUN ini.
Namun demikian bentuk tertulis tidak selalu disyaratkan dalam bentuk formal
suatu Surat Keputusan Badan/Pejabat TUN, karena seperti yang disebutkan dalam
penjelasan pasal 1 angka 3 UU No. 5 tahun 1986, bahwa syarat harus dalam bentuk
tertulis itu bukan mengenai syarat-syarat bentuk formalnya akan tetapi asal terlihat
bentuknya tertulis, oleh karena sebuah memo atau nota pun dapat dikategorikan suatu
Penetapan Tertulis yang dapat digugat (menjadi objek gugatan) apabila sudah
jelas : Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkannya, Maksud serta mengenai hal apa
isi putusan itu, Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya
jelas bersifat konkrit, individual dan final, Serta menimbulkan suatu akibat hukum bagi
seseorang atau Badan Hukum Perdata.

KTUN Konkrit yaitu apabila Penetapan tersebut jelas-jelas tertulis, tidak
abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, seperti Pemberhentian si X
sebagai Pegawai, IMB yang diberikan kepada si Y dan sebagainya. Individual yaitu
apabila KTUN tersebut menunjuk orang atau badan hukum perdata yang sifatnya
individual, bukan umum, Jadi sifat individual itu secara langsung mengenai hal atau
keadaan tertentu yang nyata dan ada. Final berarti KTUN yang terbit tersebut langsung
mengikat karena tidak perlu lagi mendapatkan persetujuan dari atasan pejabat yang
mengeluarkan KTUN tersebut.
Kata “berdasarkan” dalam rumusan tersebut dimaksudkan bahwa setiap
pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN harus
ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena hanya
peraturan perundang-undangan yang berlaku sajalah yang memberikan dasar
keabsahan (dasar legalitas) urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Badan atau
Pejabat TUN (pemerintah). Dari kata “berdasarkan” itu juga dimaksudkan bahwa
wewenang Badan atau Pejabat TUN untuk melaksanakan suatu bidang urusan
pemerintahan itu hanya berasal atau bersumber ataupun diberikan oleh suatu
ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menimbulkan Akibat Hukum disini artinya menimbulkan suatu perubahan dalam
suasana hukum yang telah ada. Karena Penetapan Tertulis itu merupakan suatu
tindakan hukum, maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Apabila tidak
dapat menimbulkan akibat hukum ia bukan suatu tindakan hukum dan karenanya juga
bukan suatu Penetapan Tertulis. Sebagai suatu tindakan hukum, Penetapan Tertulis
harus mampu menimbulkan suatu perubahan dalam hubungan-hubungan hukum yang
telah ada, seperti melahirkan hubungan hukum baru, menghapuskan hubungan hukum
yang telah ada, menetapkan suatu status dan sebagainya;
Konstruksi baru KTUN di UU AP
Konstruksi tentang definisi KTUN kemudian mengalami perubahan signifikan
setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan. Undang-Undang ini secara signifikan memperluas makna Keputusan Tata
Usaha Negara. Perluasan makna KTUN dapat dilihat dalam 2 pasal di dalam UU
Administrasi Pemerintahan yakni:
1.

Pasal 1 ayat 7 yang berbunyi:
Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha
Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan
adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan
Pasal ini menunjunjukkan arti yang cukup luas tentang definisi sebuah KTUN,
yakni hanya menggunakan 3 kriteria saja, yakni berupa ketetapan tertulis,
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan dan ketetapan tersebut
dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan. Dibanding definisi KTUN yang
diatur dalam UU nomor 51 tahun 2009 pasal 1 ayat 9 yang berbunyi Keputusan
Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan
atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara
yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat
konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang
atau badan hukum perdata. Pada UU nomor 51 tahun 2009 pasal 1 ayat 9
kriteria KTUN lebih sempit, yakni penetapan tertulis itu harus bersifat konkret,
individual dan final serta menimbulkan akibat hukum.

Pertanyaan selanjutnya bagaimana menjelaskan makna ”ketetapan
tertulis” sebagaimana dalam pasal 1 ayat 7 Undang-undang Administrasi
Pemerintahan? Apakah kriteria konkrit, individual dan final masih relevan
digunakan? Selanjutnya bagaimana mendudukkan makna ”menimbulkan akibat
hukum” akibat terbitnya sebuah KTUN sebagaimana diatur dalam UU No 5 2009
sementara definisi KTUN bersi UU AP tidak mensyaratkan adanya akibat hukum?.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat terjawab dengan bunyi pasal 87 UndangUndang Administrasi Pemerintahan.
2.

Pasal 87 yang berbunyi:
”Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan Tata Usaha Negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang- Undang Nomor 51 Tahun 2009 harus
dimaknai sebagai: a. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan
eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya; c. berdasarkan
ketentuan perundang-undangan dan AUPB; d. bersifat final dalam arti lebih
luas; e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau f.
Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.”
Penjelasannya pasal 87:
Huruf d Yang dimaksud dengan “final dalam arti luas” mencakup Keputusan
yang diambil alih oleh Atasan Pejabat yang berwenang.
Menurut penulis, bunyi pasal 87 memiliki beberapa pemaknaan:
Pertama, bahwa pasal ini menunjukkan bahwa UU Administrasi Pemerintahan
tidak secara tegas menghapus ketentuan KTUN pada pasal 1 ayat 9 UndangUndang Nomor 51 Tahun 2009 , namun menurut Pasal 87 ini, ketentuan KTUN
tersebut harus memiliki pemaknaan baru, yakni pemaknaan yang lebih luas
berupa a. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual; b. Keputusan
Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif,
yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya; c. berdasarkan ketentuan
perundang-undangan dan AUPB; d. bersifat final dalam arti lebih luas; e.
Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau f. Keputusan
yang berlaku bagi Warga Masyarakat
Kedua, Pasal 87 ini menunjukkan bahwa Pasal 1 angka 7 UU Administrasi
Pemerintahan tidak serta menghapus kriteria -kriteria KTUN yang diatur dalam
UU No 51 tahun 2009 mengingat kriteria - kriteria tersebut masih diakui
eksistensinya sepanjang diberikan pemaknaan yang lebih luas terhadap makna
sebuah KTUN.
Ketiga, ada beberapa kriteria KTUN yang diatur dalam UU No 51 tahun 2009
yang mengalami revitalisasi yakni:
1.

Penetapan tertulis. Penetapan tertulis tidak sekedar tindakan formal dalam
bentuk tulisan, namun sebuah penetapan juga harus dimaknai dalam bentuk
tindakan faktual, meskipun tidak dalam bentuk tertulis. Artinya pejabat tata
usaha negara dapat dikatakan telah mengeluarkan sebuah penetapan tidak
hanya sekedar dilihat dari adanya tindakan hukum (recht handelingen)
dalam bentuknya terbitnya sebuah beschikking akan tetapi penetepan juga
dimaknai dalam bentuk dan atau tindakan faktual (feitelijke handelingen).
Secara teoritis feitelijke handelingen selama ini dipahami bukan bagian dari

tindakan hukum pemerintah namun merupakan tindakan faktual/nyata yang
dilakukan tanpa atau memiliki dasar hukum.
Menurut penulis masuknya Tindakan Faktual sebagai bagian dari KTUN
sebagai obyek gugatan dalam sengketa TUN merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari adanya ketentuan tentang Diskresi yang diatur dalam pasal
22 sampai dengan pasal 32 UU AP tersebut. Sebelumnya dalam pasal 1 ayat
9 disebutkan Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan
dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan
konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal
peraturan perundang- undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur,
tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. UU
AP memberikan ruang bgai pejabat TUN untuk menerbitkan diskresi.
Persoalannya kemudian, bagaimana menguji produk pejabat TUN berupa
diskresi tersebut ?. dalam pasal 31 disebutkan:
(2) Akibat hukum dari penggunaan Diskresi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dibatalkan.
Dalam kontek pembatalan diskresi inilah kemudian PTUN berwenang
untuk mememeriksa, menguji, mengadili dan memutuskan. Namun apabila
menggunakan kriteria KTUN versi UU no 51 tahun 2009 maka lingkup
kewenangan (intra vires) Pengadilan Tata Usaha Negara saat ini adalah hanya
terbatas pada pengujian terhadap Keputusan Tata
Usaha Negara
(beschikking). Namun denga ketentuan pasal 87 UU AP di atas maka tindakan
faktual (feitelijk handelingen) yang sering menjadi perbuatan melawan
hukum oleh pemerintah/OOD (Onrechtmatige overheidsdaad) secara hukum
menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya
2.

Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan
eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya. Kalimat
dalam pasal 87 memperluas sumber terbitnya KTUN yang berpotensi menjadi
sengketa di PTUN. Selama ini berdasarkan Pasal 2 huruf e Undang-Undang
PTUN No 9 tahun 2004 ada 1 sumber KTUN yang dikecualikan sebagai KTUN,
yakni KTUN mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia. Pada
perkembangannya, tata usaha Tentara Nasional Indonesia saat ini
sepenuhnya berada di lingkungan eksekutif, baik yang dikoordinasikan
melalui Departemen Pertahanan maupun Markas Besar TNI di bawah
komando Panglima TNI. Pertanyaannya apakah dengan adanya bunyi pasal
87 di atas menghapus pengecualian sebagaimana dimaksud dalam pasal 2
huruf e Undang-Undang no 9 tahun 2004. Menurut penulis karena TNI saat ini
murni dibawah kekuasaan eksekutif yang bergerak dalam penyelenggaraan
pemerintahan di bidang pertahanan, maka setiap KTUN yang terbit dalam
pengelolaan tata usahanya harus dimaknai sebagai sebuah KTUN yang dapat
disengketakan di PTUN. Hal ini menunjukkan bahwa semangat demokratisasi
dana penegakan hukum harus berlangsung di semua elemen, termasuk di
kalangan Tentara Nasional Indonesia.

3.

Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum. Selama ini
berdasarkan pasal 53 ayat 2 UU No 9 tahun 2004 tentang PTUN makna
menimbulkan akibat hukum dapat ditelusuri oleh adanya kerugian hukum.
Dalam pengujian sengketa, Hakim PTUN dalam mengkontruksi kerugian
hukum berdasarkan adanya fakta kerugian hukum yang langsung,
berdasarkan asas kausalitas dan menimbulkan kerugian yang nyata. Adanya
kerugian langsung dan nyata dapat ditelusuri apabila KTUN yang

dipersoalkan tersebut memiliki hubungan hukum dengan orang atau badan
hukum perdata. Namun dengan adanya klausul ” berpotensi menimbulkan
akibat hukum” menyebabkan adanya perluasan makna terhadap legal
standing orang atau badan hukum perdata yang akan menggugat di PTUN.
Yakni apabila adanya sebuah KTUN yang berpotensi merugikan, meskipun
kerugian tersebut belum nyata dan tidak bersifat langsung, maka KTUN
tersebut sudah dapat digugat di PTUN.
Apabila ditelisik lebih jauh, klausul ” berpotensi menimbulkan akibat
hukum” yang menjadi kriteria KTUN memiliki relevansi dengan diaturnya
Tindakan Faktual dalam hal ini dalam bentuk Diskresi dalam UU AP ini.
Sebagai tindakan faktual, diskresi diterbitkan atas dasar adanya kekosongan
hukum, atau belum adanya hukum yang mengatur bagi pejabat TUN untuk
melakukan tindakan pemerintah. Dengan lahir dari kemungkinan kekosongan
hukum, maka lahirnya tindakan faktual berpotensi merugikan pihak-pihak
lain yang terkait dengan tindakan pemerintah tersebut.
4.

Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat. Klausul ini menambah
makna baru dari Individual dalam kriteria sebuah KTUN dan memperluas
peluang legal standing warga masyarakat atau kelompok dalam mengajukan
gugatan di PTUN. Menurut Pasal 1 ayat 15 UU Administrasi Pemerintahan
Warga Masyarakat adalah seseorang atau badan hukum perdata yang terkait
dengan Keputusan dan/atau Tindakan. Secara teks nampak tidak ada
perubahan baru antara definisi Warga Masyarakat sebagaimana diatur dalam
UU Administrasi Pemerintahan dengan kriteria KTUN sebagaimana diatur
dalam UU No 51 tahun 2009 yakni keduanya menggunakan istilah ”
seseorang atau badan hukum perdata”. Namun hilangnya redaksi
”Individual” baik dalam pasal 1 ayat 7 dan pasal 87 menunjukkan bahwa
semangat KTUN yang dikehendaki oleh UU Administrasi Pemerintahan bukan
semata-mata KTUN yang menunjukkan relasi sempit antara negara dengan
privat seorang warga negara. UU Administrasi Pemerintahan memberikan
kandungan makna yang lebih jauh bahwa meskipun KTUN itu secara teks
terkait pada Individu tertentu, namun tetap KTUN itu secara universal
berlaku bagi Warga Masyarakat secara keseluruhan.
Dalam konteks pengujian KTUN di PTUN, maka pemaknaan KTUN sebagai
sebuah keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat sangat relevan
dengan asas yang berlaku terhadap pemberlakuan putusan PTUN yakni asas
erga omnes yakni sebuah asas yang menegaskan bahwa putusan Peradilan
Administrasi bersifat mengikat secara publik tidak hanya dengan pihak-pihak
yang terkait langsung dengan sebuah perkara atau KTUN. Salah satu
konsekuensi logis dari penerapan asas erga omnes terhadap pemberlakuan
putusan PTUN adalah kriteria KTUN yang dapat digugat adalah Keputusan
yang berpotensi menimbulkan akibat hukum sebagaimana disebutkan di
atas. Dengan posisi dan makna berpotensi menimbulkan akibat
hukum, maka pihak yang berpeluang menggugat sebuah KTUN tidak
hanya individu tertentu yang terkait langsung dengan sebuah KTUN,
namun publik secara luas yang berpotensi mengalami akibat hukum
terhadap terbitnya sebuah KTUN juga berpeluang untuk mengajukan
gugatan ke PTUN.

Peluang “publik secara luas”, dalam arti warga masyarakan secara
umum, yang berpotensi mengalami akibat hukum terhadap terbitnya sebuah

KTUN dapat mengajukan gugatan ke PTUN adalah sangat selaras dengan
tujuan dari dibentukanya UUAP yang tertuang dalam Pasal 3 undang-undang
ini, yaitu memberikan perlindungan hukum kepada warga masyarakat dan
memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada warga masyarakat, dan juga
selaras dengan Penjelasan Umum UUAP yang menyatakan bahwa:
“... Warga Masyarakat juga dapat mengajukan
gugatan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan kepada
Peradilan Tata Usaha Negara, ...”

KETERKAITAN WARGA MASYARAKAT SEBAGAI PENGGUGAT DI PTUN
BERDASARKAN UUAP DENGAN KETENTUAN UUPTUN
Pasal 53 ayat (1) UUPTUN, menyatakan:
Orang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata
Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada
Pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar
Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu
dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa
disertai tuntutan gati rugi dan/atau rehabilitasi.
Penjelasan pasal ini adalah:
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 4, maka hanya orang atau badan hukum
perdata yang berkedudukan sebagai subyek hukum saja yang dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menggugat
Keputusan Tata Usaha Negara.
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan
Tata Usaha Negara untuk menggugat Keputusan Tata Usaha Negara.
Selanjutnya hanya orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya
terkena oleh akibat hukum Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan dan
karenanya yang bersangkutan merasa dirugikan dibolehkan menggugat
Keputusan Tata Usaha Negara.
Gugatan yang diajukan disyaratkan dalam bentuk tertulis karena gugatan itu akan
menjadi pegangan pengadilan dan para pihak selama pemeriksaan.
Mereka yang tidak pandai baca tulis dapat mengutarakan keinginannya untuk menggugat
kepada Panitera Pengadilan yang akan membantu merumuskan gugatannya dalam
bentuk tertulis.
Berbeda dengan gugatan di muka pengadilan perdata, maka apa yang dapat dituntut di
muka Pengadilan Tata Usaha Negara terbatas pada 1 (satu) macam tuntutan pokok yang
berupa tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang telah merugikan kepentingan
penggugat itu dinyatakan batal atau tidak sah.
Tuntutan tambahan yang dibolehkan hanya berupa tuntutan ganti rugi dan hanya dalam
sengketa kepegawaian saja dibolehkan adanya tuntutan tambahan lainnya yang berupa
tuntutan rehabilitasi

Pasal 1 angka 4 yang dimaksud dalam penjelasan tersebut adalah:
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam
bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum
perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di
pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan
Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dan Pasal 53 ayat (2) UUPTUN menyatakan:
Alasan-alasan yang dapat digunakan
dimaksud pada ayat (1) adalah:

dalam

gugatan

sebagaimana

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Pasal 53 memberikan pengertian:
1. Siapa Penggugat: Penggugat adalah ORANG atau BHP sebagai subjek
hukum,
2. Apa yang digugat: yang digugat adalah KTUN,
3. Mengapa menggugat: karena kepentingannya terkena oleh KTUN
tersebut, dan
penggugat merasa dirugikan,
4. Apa tuntutan gugatan tersebut: agar KTUN tersebut dinyatakan batal atau
tidak sah,
baik dengan permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi,
5. Kemana mengajukan gugatan: ke PTUN,
6. Apa yang menjadi alasan gugatan: bahwa KTUN yang dirasa merugikan
kepentingan
penggugat tersebut bertentangan dengan perundang-undangan yang
berlaku dan/atau
bertentangan dengan AUPB
7. Angka 1 sd 6 adalah Sengketa TUN.
Keterkaitan ketentuan Pasal 53 ayat (1) UUPTUN tersebut dengan UUAP
adalah Pasal 1 angka 15 UUAP yang menyatakan:
Warga Masyarakat adalah seseorang atau badan hukum
perdata yang terkait dengan Keputusan dan/atau
Tindakan;
dan Pasal 87 yang menyatakan :
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan Tata Usaha

Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah
diubah dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan UndangUndang Nomor 51 Tahun 2009 harus dimaknai sebagai:
a. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di
lingkungan
eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
c. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
d. bersifat final dalam arti lebih luas;
e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
f. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat;

sehingga menimbulkan pertanyaan apakah “warga masyarakat” dalam arti
harfiah/sesungguhnya/leterlek dapat juga mengajukan gugatan ke PTUN atas
KTUN yang dirasa merugikan kepentingan warga masyarakat tersebut,
sebagaimana dimaksud dalam penjelasan umum UUAP yang menyatakan:
Dalam rangka memberikan jaminan pelindungan kepada setiap
Warga Masyarakat, maka Undang-Undang ini memungkinkan
Warga Masyarakat mengajukan keberatan dan banding
terhadap Keputusan dan/atau Tindakan, kepada Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan atau Atasan Pejabat yang bersangkutan.
Warga Masyarakat juga dapat mengajukan gugatan terhadap
Keputusan
dan/atau
Tindakan
Badan
dan/atau
Pejabat
Pemerintahan kepada Peradilan Tata Usaha Negara, karena
Undang-Undang ini merupakan hukum materiil dari sistem
Peradilan Tata Usaha Negara
Kata kunci untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah:

“Adanya keterkaitan antara KTUN dengan ORANG atau
BHP atau Warga Masyarakat”
dan pemahama terhadap kata “ORANG dan BHP” dan kata “Warga Masyarakat”
Kata “warga masyarakat” dalam UUAP adalah WARGA MASYARAKAT DALAM
ARTI YANG SEBENARNYA atau WARGA MASYARAKAT DALAM ARTI HARFIAH atau
PENGERTIAN WARGA MASYARAKAT SECARA LETERLEK.
Hal ini dapat kita rasakan jika kita membaca kalimat-kalimat dalam UUAP secara
utuh. Ini dapat terasa jelas dalam konsidera UUAP:
Menimbang:
a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan, badan
dan/atau
pejabat pemerintahan dalam menggunakan wewenang harus mengacu pada asasasas umum
pemerintahan yang baik dan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan;
b. bahwa untuk menyelesaikan permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan,

pengaturan
mengenai administrasi pemerintahan diharapkan dapat menjadi solusi dalam
memberikan
pelindungan hukum, baik bagi warga masyarakat maupun pejabat pemerintahan;
c. bahwa untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, khususnya bagi pejabat
pemerintahan,
undang undang tentang administrasi pemerintahan menjadi landasan hukum yang
dibutuhkan
guna mendasari keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan untuk
memenuhi kebutuhan
hukum masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan;
d. Bahwa....
atau dalam Pasal 2
UUAP dimaksudkan sebagai salah satu dasar hukum bagi Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan, Warga Masyarakat, dan pihk-pihak lain yang terkait dengan
Administrasi
Pemerintahan
dalam
upaya
meningkatkan
kualitas
penyelenggaraan pemerintahan.
Atau dalam Pasal 3
Tujuan UUAP adalah:
a. menciptakan tertib penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan;
b. menciptakan kepastian hukum;
c. mencegah terjadinya penyalahgunaan Wewenang;
d. menjamin akuntabilitas Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan;
e. memberikan pelindungan hukum kepada Warga Masyarakat dan aparatur
pemerintahan;
f. melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menerapkan AUPB;
dan
g. memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada Warga Masyarakat
atau kata “warga masyarakat” lainnya dalam UU ini, atau secara lebih jelas dapat
kita lihat dalam Penjelasan Umum UU ini (sebagaimana telah Penulis tuangkan
dalam bagian Pendahuluan di atas).
Oleh karena itu maka sudah sangat jelaslah bahwa kata WARGA MASYARAKAT
dalam UU ini adalah WARGA MASYARAKAT DALAM ARTI YANG SEBENARNYA atau
WARGA MASYARAKAT DALAM ARTI HARFIAH atau PENGERTIAN WARGA MASYARAKAT
SECARA LETERLEK.
Mengenai mengapa Pasal 1 angka 15 UUAP menyatakan bahwa:
Warga Masyarakat adalah seseorang atau badan hukum perdata yang
terkait dengan Keputusan dan/atau Tindakan.
Pemaksudan ini adalah untuk menentukan SUBJEK HUKUM dari warga
masyarakat (dalam arti harfiah) terkait dengan Keputusan dan/atau
tindakan (KTUN).
Seseorang atau badan hukum perdata merupakan subjek hukum yang
merupakan elemen dari “warga masyarakat” dalam arti harfiah.
Sangat berbeda halnya dengan pemasudan yang diberikan oleh Pasal 1 angka
18:
Pengadilan adalah Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pemaksudan ini digunakan dalam rangka efisiensi penggunaan kata, atau dengan kata

lain untuk penghematan penggunaan kata demi kepntingan penulisan teks undang.
Hal yang sama juga untuk pasal 1 angka 25, yaitu menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara disingkat menjadi
Menteri (saja). Dan pada pemaksudan-pemaksudan lainnya dalam Pasal 1 adalah
merupakan pendefinisian.
Adalah sangat berbeda halnya dengan ORANG dan BHP dalam UUPTUN.
UUPTUN telah memberikan sifat individual dari subjek hukum pihak penggugat, yaitu
ORANG dan BHP. Hal ini dapat terlihat dari ketentuan Pasal 1 angka 10, Pasal 1 angka
12, dan Pasal 53 ayat (1). Dan inilah yang menyebabkan dalam Penjelasan Umum
UUAP memuat atau menyatakan bahwa “Warga masyarakat juga dapat mengajukan
gugatan ...”, karena UUPTUN telah memberikan sifat individual kepada ORANG dan
BHP yang terkait KTUN sebelum dikeluarkannya UUAP
Maka “Warga Masyarakat” sebagai subjek hukum Penggugat dalam UUAP terkait
dengan ketentuan UUPTUN dapat dibagi dalam:
1. Warga Masyarakat sebagai PERORANGAN DALAM SEBUAH TERITORI

MASYARAKAT: Kategori ORANG dalam Pasal 53 ayat (1) UU No. 9
Tahun 2004;
2. Warga Masyarakat sebagai KELOMPOK ORANG DALAM SEBUAH TERITORI

MASYARAKAT YANG TIDAK DALAM WADAH BADAN HUKUM PERDATA:
Kategori ORANG dalam Pasal 53 ayat (1) UU No. 9 Tahun 2004;
3. Warga Masyarakat sebagai KELOMPOK ORANG DALAM SEBUAH TERITORI
MASYARAKAT DALAM WADAH BADAN HUKUM PERDATA: Kategori BADAN
HUKUM PERDATA dalam Pasal 53 ayat (1) UU No. 9 Tahun 2004

Namun hal yang tidak dapat dipisahkan dari subjek hukum warga
masyarakat sebagai penggugat tersebut adalah adanya keterkaitan dengan
KTUN, kepentingannya terkena oleh sebuah KTUN dan merasa dirugikan oleh
KTUN tersebut.
Lantas bagaimanakah bentuk “keterkaitan” oleh sebuah KTUN
dan sifat kerugian yang dialami penggugat sebagai akibat dari KTUN
tersebut?
Pada saat sebelum keluarnya UUAP gugatan dari warga masyarakat, atau
kelompok orang (yang bukan BHP) yang mewakili atau mengatasnamakan
masyarakat, atau BHP yang
mewakili atau mengatasnamakan warga
masyarakat (publik), yang selanjutnya dalam tulisan ini disingkat sebagai
Gugatan WM, telah banyak diterima oleh PTUN. Walaupun sebagian besar
majelis hakim PTUN yang menerima gugatan memberikan putusan bahwa
gugatan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard/NO),
namun ada beberapa majelis hakim yang menerima gugatan tersebut. Ini
menunjukkan
bahwa
semangat
untuk
menegakkan
prinsip-prinsip
perlindungan hukum kepada warga masyarakat dan prinsip penegakan hak-hak
warga masyarakat sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 serta prinsip bahwa
penyelanggaraan negara haruslah berpihak kepada warganya telah ada
sebelum UUAP ini diundangkan.
Putusan NO terhadap Gugatan WM, pada saat UUAP belum diundangkan,
didasarkan pada alasan formal tidak terpenuhinya UNSUR PENGGUGAT,

UNSUR KETERKAITAN PENGGUGAT DENGAN KTUN, dan UNSUR MERASA
DIRUGIKAN sebagai tafsiran dari Pasal 53 ayat (1) UUAP. [Dan jika sebuah
gugatan telah dinyatakan NO maka kemateriilan dari KTUN yang digugat
tersebut - bahwa apakah KTUN tersebut bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan atau tidak, dan/atau bertentangan dengan AUPB atau
tidak – tidaklah lagi diperiksa dan diuji oleh PTUN, padahal sejatinya fungsi dari
PTUN adalah untuk menguji apakah sebuah KTUN bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan atau tidak, dan/atau bertentangan dengan
AUPB atau tidak]*)
Walaupun keberadaan PTUN dimaksudkan untuk menegakkan keadilan,
kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum, sehingga dapat memberikan
pengayoman kepada masyarakat, khususnya dalam hubungan Badan atau
Pejabat TUN dengan masyarakat, dan juga bahwa keberadaan PTUN adalah
untuk membina, menyempurnakan, dan menertibkan aparatur di bidang TUN,
agar mampu menjadi alat yang efisien, efektif, bersih serta berwibawa, dan
yang dalam melaksanakan tugasnya selalu berdasarkan hukum dengan
dilandasi semangat dan sikap pengabdian untuk masyarakat,
sebagaimana tertuang dalam pertimbangan huruf d dan huruf b konsideran
UUPTUN (UU No. 5 Tahun 1986), namun penafsiran terhadap ketentuan Pasal
53 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Orang atau badan hukum perdata yang
merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara
dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang...” dan
penjelasan dari pasal ini yang menyatakan “... Selanjutnya hanya orang atau
badan hukum perdata yang kepentingannya terkena oleh akibat
hukum Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan dan karenanya
yang bersangkutan merasa dirugikan dibolehkan menggugat
Keputusan Tata Usaha Negara. ...” telah menyebabkan Gugatan WM
dinyatakan tidak memenuhi unsur dari pasal ini.
Selain karena apa yang dimaksud dengan KTUN dalam UUPTUN haruslah
bersifat individual, sehingga keuniversalan atau keberlakuan sebuah KTUN
bagi warga masyarakat secara umum tidaklah terwadahi (lihat uraian
konstruksi KTUN Bedasarkan UUAP di atas), juga Pengabaian terhadap
penjelasan Pasal 53 ayat (1) UUPTUN yang menyatakan bahwa “maka hanya
orang atau badan hukum perdata yang berkedudukan sebagai subjek
hukum saja yang dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha
Negara untuk menggugat Keputusan Tata Usaha Negara” dan pemfokusan
kepada penjelasan yang menyatakan “hanya orang atau badan hukum perdata
yang kepentingannya terkena oleh akibat hukum Keputusan Tata Usaha
Negara yang dikeluarkan dan karenanya yang bersangkutan merasa dirugikan
dibolehkan menggugat Keputusan Tata Usaha Negara”, menjadi penyebab
tidak diterimanya Gugatan WM oleh Pengadilan TUN.
KETERKAITAN sebuah KTUN dengan Penggugat WM dalam UUAP telah
mengalami pergeseran yang sangat positif. Pergeseran mana telah
mengarahkan penyelenggaraan Pemerintahan menjadi lebih sesuai dengan harapan
dan kebutuhan masyarakat (citizen friendly). Pergeseran tersebut telah memberikan
peluang bagi warga maysarakat untuk melakukan gugatan terhadap sebuah KTUN.
Namun yang harus menjadi perhatian selanjutnya adalah UNSUR “MERASA
DIRUGIKAN”.
Gagalnya pembuktian UNSUR MERASA DIRUGIKAN oleh sebuah KTUN - Penulis
merasa lebih pas menggunakan kata UNSUR “MERASA DIRUGIKAN” ketimbang UNSUR

“KERUGIAN”. Kata “MERASA DIRUGIKAN” adalah norma dari Pasal 53 ayat (1)
UUPTUN, sedangkan kata “KERUGIAN” adalah kata yang digunakan dalam penafsiran
terhadap Pasal 53 ayat (1) UUPTUN menurut doktrin – menjadi dasar bagi Pengadilan
TUN untuk menjatuhkan putusan NO.
Kata MERASA dalam kalimat “... MERASA kepentingannya DIRUGIKAN oleh suatu
KTUN” tertuju pada suatu keadaan psikologis dari subjek hukum terkait
KTUN. Keadaan psikologis mana dapat saja muncul karena memang mengalami suatu
kerugian secara nyata atau kongkrit atau berbentuk atau dapat dikonversi dalam nilai
uang, ataupun kerugian yang bersifat abstrak (tidak kongkrit).
Sebagai contoh:


Keputusan Pemecatan PNS: Kerugian bersifat kongkret/nyata/dapat dikonversi
dengan nilai uang.



Penerbitan Sertifikat Hak Milik ganda: Kerugian bersifat kongkret/nyata/dapat
dikonversi dengan nilai uang.



Keputusan Pemindahan PNS: Kerugian bersifat abstrak, lebih tertuju pada rasa
nyaman dan perasaaan-perasaan lainnya seperti malu, harga diri, dll.



Keputusan Izin Lingkungan, misal Izin Lingkungan Pembangungan Pabrik Semen
di Kendeng (berdampak pada warga masyarakat): Kerugian abstrak



Keputusan Izin Penetapan Lokasi pembangunan, misal IPL Bandara Temon
Kulonprogo Jogjakarta (berdampak pada warga masyarakat): kerugian abstrak



Izin Lokasi Pembangunan proyek-proyek besar (berdampak pada warga
masyarakat): kerugian abstrak



Pengankatan Pejabat Publik (berdampak pada warga masyarakat): kerugian
abstrak

Sehingga dalam menentukan keterpenuhan UNSUR MERASA DIRUGIKAN sangat
kasuistis sekali, tidak dapat ditentukan secara general (umum), namun sangat
bergatung pada hubungan kausalitas (sebab-akibat) antara Penggugat dengan KTUN.
Dalam kaitannya dengan Gugatan WM maka pembuktian UNSUR MERASA DIRUGIKAN
haruslah melihat apakah suatu KTUN berdampak pada warga masyarakat. Dalam
kaitan ini jika bentuk kerugian harus bersifat nyata atau kongkrit atau dapat

dikonversi dengan nilai uang, maka apa yang menjadi tujuan dari UUAP dan
UUPTUN terutama untuk memberikan pelayan dan perlindungan hukum bagi
masyarakat aka

Dokumen yang terkait

ANALISIS KARAKTERISTIK MARSHALL CAMPURAN AC-BC MENGGUNAKAN BUTON GRANULAR ASPHALT (BGA) 15/20 SEBAGAI BAHAN KOMPOSISI CAMPURAN AGREGAT HALUS

14 283 23

OPTIMASI SEDIAAN KRIM SERBUK DAUN KELOR (Moringa oleifera Lam.) SEBAGAI ANTIOKSIDAN DENGAN BASIS VANISHING CREAM

57 260 22

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) SEBAGAI ADJUVAN TERAPI CAPTOPRIL TERHADAP KADAR RENIN PADA MENCIT JANTAN (Mus musculus) YANG DIINDUKSI HIPERTENSI

37 251 30

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

HUBUNGAN ANTARA KONDISI EKONOMI WARGA BELAJAR KEJAR PAKET C DENGAN AKTIVITAS BELAJAR DI SANGGAR KEGIATAN BELAJAR KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN PELAJARAN 2010/2011

1 100 15

IMPLEMENTASI PROGRAM PENYEDIAAN AIR MINUM BERBASIS MASYARAKAT (Studi Deskriptif di Desa Tiris Kecamatan Tiris Kabupaten Probolinggo)

21 177 22

INTENSIFIKASI PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH ( DI KABUPATEN BANYUWANGI

16 118 18