PARTAI POLITIK ISLAM

PARTAI POLITIK ISLAM
MENANG ATAU KALAH LAGI ?
Oleh Haedar Nashir
Memasuki Pemilu 2004 semua partai politik terutama yang lolos verifikasi tahap
ketiga dan kini terdaftar di KPU benar-benar siap bertarung untuk memperebutkan kursi
kekuasaan baik untuk legislatif (DPR dan DPD) maupun pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden. Di luar partai politik pun, melalui kekuatan-kekuatan interest groups (kelompok
kepentingan), pada umumnya ikut berkompetisis untuk terlibat dalam proses politik
memasuki Pemilu 2004 yang tidak lama lagi. Dinamika politik Indonesia rupanya
semakin meriah, semoga saja dapat menghasilkan anggota legislatif dan kepemimpinan
nasional baru yang benar-benar dapat mengeluarkan Indonesia dari krisis sekaligus
membuka lembaran baru menuju kemajuan. Jika sekadar status-quo maka untuk apa
Pemilu diselenggarakan dengan dana dan energi politik besar-besaran seperti itu.
Bagi umat Islam yang tumpuannya ialah partai-partai politik yang memiliki basis
keumatan yaitu partai-partai Islam tentu saja Pemilu 2004 pun merupakan momentum
untuk mengukur seberapa jauh representasi politik Islam dalam kancah nasional. Apakah
jumlah mayoritas secara demografis seiring dengan kekuatan secara politik atau justru
malah sebaliknya. Masalah yang satu ini tentu sangat menentukan sekaligus penuh
kerawanan sebab selama ini jumlah mayoritas umat Islam tidaklah sebanding dengan
suara mayoritas secara politik, sehingga Islam politik atau kekuatan politik umat Islam
selalu menelan kegagalan dan kekalahan. Di sinilah apa yang disebut dengan partai

politik Islam dipertaruhkan. Tetapi perlu dicatat, bahwa selain ketidakselarasan antara
kekuatan demografis dan kekuatan politik, umat Islam di Indonesia juga masih terjebak
pada perdebatan konseptual dan strategi mengenai partai politik Islam.
Konsep tentang Partai Politik Islam di Indonesia masih beragam, yang terbagi
dalam dua kategori utama yaitu : (a) partai politik yang identitas formalnya memakai azas
dan simbol-simbol Islam dengan basis konstituen khusus umat Islam, atau (b) partai
politik yang tidak memiliki identitas formal Islam dan bahkan bersifat inklusif
(pendukung dan keanggotaanya boleh dari kalangan non muslim) tetapi berbasis
konstituen utama umat Islam (santri). Masalah ini masih merupakan agenda konseptual
yang berangkat dari alam berpikir atau paradigma/perspektif yang berbeda antara yang
berorientasi ekslusivisme dan inklusivisme atau formalisme dan substansialisme.
Kontroversi konseptual semacam itu tetap menjadi masalah laten dalam dinamika politik
umat Islam, yang melahirkan polarisasi politik pada tingkat perilaku dan pengelompokan
politik yang beragam serta pada akhirnya melahirkan kegagalan-kegagalan politik umat
Islam di negeri ini.
Pada Pemilu 2004 partai-partai Islam yang telah terdaftar dan diperkirakan masih
tetap eksis ialah PPP, PKB, PAN, dan PBB (keempatnya di atas electoral treshold),
kemudian PK (Kini PKS di mana PK pada 1999 di bawah electoral treshold) yang
dikategorikan sebagai partai yang memperoleh suara cukup signifikan pada Pemilu 1999.
Pada 2004 diperkirakan partai-partai Islam lain bermunculan, meskipun tidak sebanyak

pada Pemilu 1999. Dengan jumlah partai yang tetap banyak seperti itu kecenderungan
1

fragmentasi atau polarisasi politik umat Islam akan tetap tinggi dan kemungkinan besar
tidak akan melahirkan suara mayoritas jika diperhadapkan dengan partai politik
nasionalis-sekular, yang berarti akan mengulangi kegagalan politik seperti selama ini
selalu dialami umat Islam Indonesia. Kemungkinan kegagalan politik tersebut tidak
hanya dalam meraih suara Pemilu 2004 untuk legislatif/parlemen (DPR dan DPD) juga
untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara langsung. Padahal
kalaupun bersatu, suara partai Islam dengan basis politik muslim santri tidak akan
mencapai angka di atas 50%, paling maksimal ialah 47% (Pemilu 1955) atau menurun
lagi 37% (Pemilu 1999). Jika hal itu terjadi maka Pemilu 2004 bagi parati-partai Islam
hanyalah menghasilkan pertandingan-ulang kegagalan.
Partai Islam dalam konteks politik di Indonesia hingga saat ini memang masih
menyimpan persoalan dilematik baik secara konseptual maupun faktual. Secara
konseptual masih terdapat masalah yaitu (a) identitas partai : apakah inklusif atau ekslusif
(formalis atau substansialis), (b) orientasi partai apakah bercorak ideologis atau
program/pragmatis, dan (c) cita-cita politik kenegaraan : format negara yang dicitacitakan yang semacam apa ?. Secara faktual partai Islam di Indonesia masih menyimpan
masalah berupa : (1) kesenjangan antara fakta demografis (umat Islam sebagai mayoritas
dari total penduduk) dan fakta politik (pemilih partai Islam) di mana fakta yang kedua

selalu lebih kecil dari yang pertama, (2) polarisasi atau fragmentasi politik di kalangan
partai Islam dan umat Islam (santri) sendiri, (3) dilema posisi kepemimpinan elit muslim
dalam konteks partai dan struktur sosial umat Islam dengan partai dan struktur sosial
masyarakat Indonesia, yang melahirkan kesulitan-kesulitan dilematik dalam mencapai
posisi puncak dalam kekuasaan di pemerintahan.
Agenda ke depan bagi partai-partai Islam ialah : (a) bagaimana melakukan
rasionalisasi jumlah partai ke titik paling minimal, akan lebih bagus jika menuju ke satu
titik partai Islam ; (b) membangun pola kepemimpinan yang lebih sinergi dengan
menyatukan kepemimpinan politik dengan melakukan penokohan berjenjang atau
melalui konsensus-konsensus paling rasional berdasarkan kualitas dan peluang politik
secara lebih tersistem ; (c) mengembangkan peta politik umat Islam sebagai basis
konstituen politik yang konkret, sekaligus melakukan pemetaan sosiologi politik
masyarakat Indonesia untuk kepentingan politik Islam ; (d) memformat ulang relasi
antara partai politik Islam dan kekuatan-kekuatan organisasi kemasyarakatan, yang sering
menimbulkan ketegangan dan konflik kepentingan yang serius dan melahirkan
kebingungan umat Islam dalam melangkah ke masa depan ; (e) memformat ulang konsep
dan struktur partai politik Islam dalam konteks politik dan format negara-bangsa di
Indonesia ; dan (f) memformat ulang konsep umat Islam sebagai satu entitas politik, yang
seringkali ”menipu” atau meninakbobokan kalangan Islam selama ini.
Namun lepas atau mungkin juga terkait dengan agenda strategis jangka panjang,

yang tak kalah mendesaknya ialah agenda taktis jangka pendek memasuki Pemilu 2004.
Intinya bahwa suatu keniscayaan jika umat Islam ingin meraih kemenangan maka
kekuatan-kekuatan partai politik Islam yang juga didukung oleh kekuatan-kekuatan
ormas Islam haruslah berani melakukan konsensus dan koalisi atau aliansi politik
strategis untuk memenangkan Pemilu 2004 secara bersatu. Langkah ini harus juga
dimulai dari konsensus dan koalisi atau aliansi antar elit politik dan elit sosial muslim di
tingkat puncak. Itulah harga mati jika ingin meraih kemenengan. Tetapi jika masih
menuruti ego atau ananiyah sendiri-sendiri dan terpecah-belah dalam firqah-firqah politik

2

maka jangan harap akan meraih kemenangan, yang terjadi justru sebaliknya yakni
tayangan ulang kegagalan demi kegagalan. Kini bola dan nasib politik umat Islam berada
sepenuhnya di tangan elit-elit muslim, partai-partai Islam, dan ormas-ormas Islam yang
memegang kunci kendali. Mau menang atau mengulangi kekalahan terus-menerus ?
Sumber
Suara Muhammadiyah
Edisi 04 2004

3