BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka 1. Hipertensi - Gagah Satria Hendrawan BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka 1. Hipertensi

  a. Definisi Hipertensi merupakan masalah kesehatan yang serius.

  Hipertensi juga merupakan faktor risiko terhadap berbagai penyakit lain, seperti penyakit jantung, gagal ginjal, maupun stroke. Hipertensi yang tidak dirawat dapat menyebabkan pengaruh negatif pada fungsi kognitif yang memberikan masalah dalam belajar, ingatan, pemusatan perhatian, penalaran abstrak, fleksibilitas mental, dan keterampilan kognitif lain. Masalah ini terutama terlihat pada penderita hipertensi berusia muda. Selain itu, mereka yang mudah stres dan memiliki emosi negatif yang memiliki kemampuan pemulihan rendah terlihat lebih banyak yang menderita hipertensi (Hasan, 2008).

  Definisi dari hipertensi itu sendiri adalah tekanan darah presisten dimana tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg. Pada populasi manula, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg (Brunner & Suddarth, 2002). Tekanan darah diukur dengan spygmomanometer yang telah dikalibrasi

  12 dengan tepat (80% dari ukuran manset menutupi lengan) setelah pasien beristirahat nyaman, posisi duduk punggung tegak atau terlentang paling sedikit selama lima menit sampai tiga puluh menit setelah merokok atau minum kopi. Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya didefinisikan sebagai hipertensi esensial. Beberapa penulis lebih memilih istilah hipertensi primer untuk membedakannya dengan hipertensi lain yang sekunder karena sebab-sebab yang diketahui (Yogiantoro, 2014).

  Menurut The Seventh Report of The Joint National

  Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII) klasifikasi tekanan darah pada

  orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1 dan derajat 2 (Yogiantoro, 2014).

  b. Epidemiologi Hipertensi ditemukan pada semua populasi dengan angka kejadian yang berbeda-beda, sebab ada faktor-faktor genetik, ras, regional, sosiobudaya yang juga menyangkut gaya hidup yang juga berbeda. Hipertensi akan makin meningkat bersama dengan bertambahnya umur (Munter, 1994 dalam Yogiantoro, 2014).

  Di seluruh dunia, hampir 1 miliar orang - sekitar seperempat dari seluruh populasi orang dewasa - menyandang hipertensi. Jumlah ini cenderung meningkat. Pada tahun 2025, penyandang tekanan darah tinggi diperkirakan mencapai hampir

  1,6 miliar. Prediksi ini didasarkan pada angka penderita hipertensi saat ini dan pertambahan penduduksaat ini (Palmer & Williams, 2007).

  Hipertensi mengambil porsi sekitar 60% dari seluruh kematian dunia. Pada anak-anak yang tumbuh kembang hipertensi meningkat mengikuti dengan pertumbuhan badan (Withworth, 2003 dalam Yogiantoro, 2014).

  Bila anamnesa keluarga ada yang didapatkan hipertensi, maka sebelum umur 55 tahun risiko menjadi hipertensi diperkirakan sekitar empat kali dibandingkan dengan anamnesa keluarga yang tidak didapatkan hipertensi. Setelah umur 55 tahun, semua orang akan menjadi hipertensi (90%) (Chobanian, 2003 dalam Yogiantoro, 2014).

  c. Etiologi Hipertensi disebut primer bila penyebabnya tidak diketahui (90%), bila ditemukan sebabnya disebut sekunder (10%).

  Penyebabnya antara lain penyakit, obat-obatan, dan makanan (DiPiro 2011 dalam Yogiantoro, 2014).

  Sampai saat ini penyebab hipertensi esensial (primer) memang tidak diketahui dengan pasti. Hipertensi primer tidak disebabkan oleh faktor tunggal dan khusus. Hipertensi ini disebabkan berbagai faktor yang saling berkaitan. Tipe initerjadi pada sebagian besar kasus hipertensi-sekitar 95%. Penyebabnya belum diketahui, walaupun dikaitkan dengan kombinasi faktor gaya hidup seperti kurang bergerak (inaktivitas) dan pola makan.

  Sedangkan untuk hipertensi sekunder lebih jarang terjadi- hanya sekitar 5% dari seluruh kasus hipertensi. Hipertensi tipe ini disebabkan oleh kondisi medis lain (misalnya penyakit ginjal) atau reaksi terhadap obat-obatan tertentu (misalnya pil KB). Bila tekanan darah tidak terkontrol dan menjadi sangat tinggi (keadaan ini disebut hipertensi berat atau hipertensi maligna). Risiko relatif hipertensi tergantung pada jumlah dan keparahan dari faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor- faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain faktor genetik, umur, jenis kelamin, dan etnis. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi meliputi stres, obesitas dan nutrisi (Palmer & Williams, 2007).

  d. Klasifikasi Tekanan darah diklasifikasikan berdasarkan pada pengukuran rata-rata dua kali atau lebih kunjungan.Klasifikasi tekanan darah menurut The Seventh Report of the Joint National

  Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII) :

Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah

  Tekanan darah Klasifikasi tekanan Tekanan darah sistolik diastolik (mmHg) darah (mmHg)

  < 80 Normal < 120

  80

  • – 89 Prehipertensi 120
  • – 139 90 - 99 Hipertensi tahap 1 140
  • – 159 Hipertensi tahap 2 >160 > 100

  e. Patofisiologi Hipertensi merupakan manifestasi gangguan keseimbangan hemodinamika sistem kardiovaskular, yang mana patofisiologinya adalah multi faktor, sehingga tidak bisa diterangkan dengan hanya satu mekanisme tunggal. Menurut Kaplan hipertensi banyak menyangkut faktor genetik, lingkungan dan pusat-pusat regulasi hemodinamika. Jika disederhanakan sebetulnya hipertensi adalah interaksi cardiac output (CO) dan total peripheral resistence (TPR) (Yogiantoro, 2014).

  Menurut Udjianti (2010) tekanan arteri sistemik adalah hasil dari perkalian cardiac output (curah jantung) dengan total tahanan perifer. Cardiac output (curah jantung) diperoleh dari perkalian antara srtoke volume dengan heart rate (denyut jantung).

  Pengaturan tahanan perifer dipertahankan oleh sistem saraf otonom dan sirkulasi hormon. Jika salah satu kinerja dari komponen- komponen tersebut terganggu maka itu akan mengganggu sistem kerja aliran darah.

  Tekanan Cardiac Peripheral =

  × darah Output Resistance Stroke Heart

  Volume Rate ×

Gambar 2.1 Skema Tekanan Darah

  Namun, penyebab-penyebab terjadinya hipertensi ternyata sangat banyak. Tidak bisa diterangkan hanya dengan satu faktor penyebab. Memang betul pada akhirnya kesemuanya itu akan menyangkut kendali natrium (Na) di ginjal sehingga tekanan darah meningkat (Kaplan, 2010 dalam Yogiantoro, 2014).

  Menurut Kaplan (2010) ada empat faktor yang mendominasi terjadinya hipertensi : (1) Peran volume intravaskuler. (2) Peran kendali saraf autonom. (3) Peran renin angiotensin aldosteron (RAA). (4) Peran dinding vaskuler pembuluh darah.

  Berikut penjelasan mengenai faktor-faktor yang mendominasi terjadinya hipertensi : (1) Peran volume intravaskuler.

  Menurut Kaplan (2010) tekanan darah tinggi adalah hasil interaksi antara cardiac output (CO) atau curah jantung dan TPR (total peripheral resistance, tahanan total perifer) yang masing-masing dipengaruhi oleh beberapa faktor.

  Volume intravaskuler merupakan determinan utama untuk kestabilan tekanan darah dari waktu ke waktu.

  Tergantung keadaan TPR apakah dalam posisi vasodilatasi atau vasokontriksi. Bila asupan NaCl meningkat, maka ginjal akan merespons agar ekskresi garam keluar bersama urine ini juga akan meningkat. Tetapi bila upaya mengeksresikan NaCl ini melebihi ambang kemampuan ginjal maka ginjal akan meretensi sehingga volume intravaskuler meningkat.

  Akibatnya terjadi ekspansi volume intravaskuler, sehingga tekanan darah akan meningkat. Seiring dengan perjalanan waktu TPR juga akan meningkat lalu secara berangsur CO atau

  Cl akan turun menjadi normal lagi akibat autoregulasi. Bila

  TPR vasodilatasi tekanan darah akan menurun, sebaliknya bila TPR vasokontriksi tekanan darah akan meningkat (Kaplan, 2010 dalam Yogiyantoro, 2014).

  (2) Peran Kendali Saraf Autonom.

  Persarafan autonom ada dua macam, yang pertama ialah sistem saraf simpatis yang mana saraf ini yang akan menstimulasi saraf viseral (termasuk ginjal) melalui

neurotransmiter : katekolamin, epinefrin, maupun dogamin.

  Sedang saraf parasimpatis adalah yang menghambat stimulasi saraf simpatis. Regulasi simpatis dan parasimpatis berlangsung independen tidak tergantung oleh kesadaran otak, akan tetapi terjadi secara automatis mengikuti siklus

  sirkardian

  (Klabunde, 2005 & Lόpez, 2004 dalam Yogiantoro, 2014).

  Ada beberapa reseptor adrenergik yang berada di jantung, ginjal, otak serta dinding vaskuler pembuluh darah ialah

  reseptor α1, α2, β1 dan β2. Belakangan ditemukan

reseptor β3 di aorta yang ternyata kalau dihambat dengan beta

bloker β1 selektif yang baru (nebivolol) maka akan memicu

  terjadinya vasodilatasi melalui peningkatan nitrit oksida (NO) (de Groot et al, 2003 dalam Yogiantoro, 2014).

  Karena pengaruh-pengaruh lingkungan misalnya genetik, stress kejiwaan, rokok, dan sebagainya, akan terjadi aktifitas sistem saraf simpatis berupa kenaikan katekolamin, nor epinefrin (NE) dan sebagainya.

  Selanjutnya, neurotransmiter ini akan meningkatkan denyut jantung (heart rate) lalu diikuti dengan kenaikan CO dan CJ, sehingga tekanan darah akan meningkat dan akhirnya akan mengalami agregasi platelet . Peningkatan

  

neurotransmiter NE ini akan mempunyai efek terhadap

  jantung, sebab di jantung ada reseptor

  α1, β1 dan β2 yang akan

  memicu terjadinya kerusakan miokard, hipertensi dan aritmia dengan akibat progresivitas dari hipertensi aterosklerosis.

  Pada ginjal NE juga berefek negatif, sebab di ginjal ada

  reseptor α1 dan β1 yang akan memicu terjadinya retensi natrium , mengaktivasi sistem RAA, memicu vasokontriksi

  pembuluh darah dengan akibat hipertensi aterosklerosis juga makin progresif.

  Selanjutnya bila NE kadarnya tidak pernah normal maka sindroma hipertensi aterosklerosis juga akan berlanjut makin progresif menuju kerusakan organ target/Target Organ

  Damage (TOG) (Klabunde, 2005 & Lόpez, 2004 dalam Yogiantoro, 2014).

  (3) Peran Sistem Renin Angiotensin Aldosteron.

  Beberapa sistem yang berperan dalam mempertahankan tekanan darah antara lain sistem

  baroreseptor arteri , sistem renin angiotensin dan autoregulasi vaskuler .

  Baroreseptor arteri terutama ditemukan di sinus carotid , tapi juga dalam aorta dan dinding ventrikel kiri.

  Baroreseptor ini memonitor derajat tekanan arteri. Sistem baroreseptor meniadakan peningkatan tekanan arteri melalui

  mekanisme perlambatan jantung oleh respons vegal (stimulasi parasimpatis) dan vasodilatasi dengan penurunan tonis simpatis. Oleh karena itu, refleks kontrol sirkulasi meningkatkan tekanan arteri sistemik bila tekanan

  

baroreseptor turun dan menurunkan tekanan tekanan arteri

  sistemik bila tekanan baroreseptor meningkat. Alasan pasti mengapa kontrol ini gagal pada hipertensi belum diketahui.

  Hal ini ditujukan untuk menaikan re-setting sensitivitas

  

baroreseptor sehingga tekanan meningkat secara anadekuat,

sekalipun tekanan tidak ada (Udjianti, 2010).

  Bila tekanan darah menurun maka hal ini akan memicu refleks baroreseptor. Berikutnya secara fisiologis sistem RAA akan dipicu mengikuti kaskade, yang mana pada akhirnya

  

renin akan disekresi, lalu angiotensin I, angiotensin II, dan

  seterusnya sampai tekanan darah meningkat kembali (Kaplan, 2010 dalam Yogiantoro, 2014).

  Renin dan angiotensin memegang peranan dalam

  pengaturan tekanan darah. Ginjal memproduksi renin yaitu suatu enzim yang bertindak pada substrat protein plasma untuk memisahkan angiotensin I, yang kemudian diubah oleh

  

converting enzym dalam paru menjadi bentuk angiotensin II

  kemudian menjadi angiotensin III. Angiotensin II dan

  

angiotensin III mempunyai aksi vasokonstriktor yang kuat

  pada pembuluh darah dan merupakan mekanisme kontrol terhadap pelepasan aldosteron. Aldosteron sangat bermakna dalam hipertensi terutama pada aldoteronisme primer. Melalui peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis, angiotensin II,

  

angiotensin III juga mempunyai efek inhibiting atau

  penghambatan pada ekskresi garam (Natrium) dengan akibat peningkatan tekanan darah.

  Sekresi renin yang tidak dapat diduga sebagai penyebab meningkatnya tahanan perifer vaskuler pada hipertensi esensial. Pada tekanan darah tinggi, kadar renin harus diturunkan karena peningkatan tekanan arteriolar renal mugnkin menghambat sekresi renin. Namun demikian, sebagian besar orang dengan hipertensi esensial mempunyai kadar renin normal (Udjianti, 2010).

  Kembali pada pembahasan sistem RAA. Sistem RAA yang aktif ini akan menyebabkan sekresi aldosteron oleh kelenjar adrenal. Aldosteron ini akan menyebabkan reabsorpsi

  dan . Akibat dari retensi natrium ini adalah tertahannya air di dalam ruang ekstraseluler dan dalam aliran darah oleh tekanan osmotik dari natrium. Volume darah akan bertambah dan cadangan vena akan terisi penuh dengan darah. Tekanan di dalam vena sistemik sentral juga akan meninggi dan atrium maupun ventrikel akan lebih direnggangkan dari sebelumnya (preload yang meninggi), sehingga mekanisme kompensasi dapat diperbaiki. Namun, bertambahnya isi darah vena ini akan menyebabkan pembengkakan hati. Penambahan jumlah ion Na dan pada ruang interstisial bersama-sama dengan

  2 tekanan yang tinggi di dalam sistem vena, terkadang menimbulkan edema sumuran (Naga, 2013)

  Angiotensinogen Renin disekresi ginjal Korteks adrenal dibuat di hati memproduksi

  Aldosteron Angiotensi converting enzym (ACE) darah Renin

Gambar 2.2 Proses angiotensinogen berubah menjadi angiotensin II

  (sistem RAA) Pada akhirnya angiotensin II ini akan bekerja pada

  Angiotensinogen Angiotensin I Angiotensin II Aldosterone

  reseptor-reseptor yang terkait dengan tugas proses fisiologinya

  • Retensi

  ialah di reseptor AT1, AT2, AT3, AT4 (Kaplan, 2010 dalam

  Retensi

  2

  • Ekskresi Yogiantoro, 2014).
  • Ekskresi

  Faktor risiko yang tidak dikelola akan memicu sistem RAA. Tekanan darah makin meningkat, hipertensi

  aterosklerosis makin progresif. Ternyata yang berperan utama

  untuk memicu progresifitas ialah angiotensin II, bukti uji klinisnya sangat kuat. Setiap intervensi klinik pada tahap- tahap aterosklerosis kardiovaskular kontinum ini terbukti selalu bisa menghambat progresifitas dan menurunkan kejadian kardiovaskular (Dzau et al, 1991; Yusuf et al, 2004 & Victor et al, 2007 dalam Yogiantoro, 2014).

  Begitulah secara fisiologis autoregulasi tekanan darah terjadi melalui aktifasi dari sistem RAA (Kaplan, 2010 dalam Yogiantoro, 2014). (4) Peran Dinding Vaskular Pembuluh Darah

  Hipertensi adalah the disease cardiovascular

  continuum , penyakit yang berlanjut terus menerus sepanjang

  umur. Paradigma yang baru tentang hipertensi dimulai dengan disfungsi endotel, lalu belanjut menjadi disfungsi vaskular, vaskular biologi berubah, lalu berakhir dengan TOD (Dzau et al , 2006 dalam Yogiantoro, 2014).

  Bonetti et al berpendapat bahwa disfungsi endotel merupakan sindrom klinis yang bisa langsung berhubungan dengan dan dapat memprediksi peningkatan risiko kejadian kardiovaskular (Yogiantoro, 2014).

  Progresivitas sindrom aterosklerosis ini dimulai dengan faktor risiko yang tidak dikelola, akibatnya hemodinamika tekanan darah makin berubah, dinding pembuluh darah makin menebal dan pasti berakhir dengan kejadian kardiovaskular (Dzau et al, 2006 dalam Yogiantoro, 2014).

  Dikenal ada faktor risiko tradisional dan non tradisional yang bila bergabung dengan faktor-faktor lokal atau yang lain serta faktor genetik maka vaskular biologi akan berubah menjadi makin tebal karena mengalami kerusakan berupa lesi vaskular dan remodelling, antara lain akibat : inflamasi, vasokontriksi, trombosis, ruptur plak/erosi (Bonetti

  et al , 2003 dalam Yogiantoro, 2014).

  Dikenal pula faktor risiko baru selain angiotensin II, ialah Ox-LDL, ROS (Radical Oxygen Species), homeosistein, CRP serta masih ada lagi yang lain (Harrison et al, 2007 & Kabir et al, 2006 dalam Yogiantoro, 2014).

  Sehingga, faktor risiko yang banyak ini harus dikelola agar aterosklerosis tidak progresif, sehingga risiko kejadian kardiovaskular bisa dicegah.

  Faktor risiko yang paling dominan memegang peranan untuk progresivitas ternyata tetap dipegang oleh angiotensin II (Strawn et al, 2002 & Ruiz-Ortega et al, 2001 dalam Yogiantoro, 2014). Bukti-bukti ini mencapai tingkat evidince

  

A , bahwa bila peran angiotensi II dihambat oleh ACE-Inhibitor

  (ACE-I) atau angiotensin reseptor blocker (ARB) risiko kejadian kardiovaskular dapat dicegah/diturunkan secara meyakinkan (Dzau et al, 1991; Gerstein et al, 2001 & Lindholm et al, 2002 dalam Yogiantoro, 2014).

  Penanda adanya disfungsi endotel dapat dilihat di retina mata dan dapat juga dilihat di ginjal (glomerulus), yaitu bilamana ditemukan mikroalbuminuria pada pemeriksaan urin (Yogiantoro, 2014).

  Kesimpulannya hipertensi adalah hanya salah satu gejala dari sebuah sindroma yang akan lebih sesuai bila disebut dengan sindroma hipertensi aterosklerotik (bukan merupakan penyakit), kemudian akan memicu pengerasan pembuluh darah sampai terjadi kerusakan target organ terkait. Awalnya memang hanya berupa risiko. Tetapi faktor risiko ini tidak diobati maka akan memicu gangguan hemodinamika dan gangguan vaskular biologi (Bonetti et al, 2003 dalam Yogiantoro, 2014).

  f. Komplikasi Perlu diketahui bahwa salah satu komplikasi utama dari hipertensi adalah stroke. Zat-zat yang terlarut seperti kolesterol, kalsium dan lain sebagainya akan mengendap pada dinding pembuluh yang dikenal dengan istilah penyempitan pembuluh darah. Bila penyempitan pembuluh darah terjadi dalam waktu yang lama dengan tekanan darah yang sangat tinggi, maka pembuluh darah akan pecah yang akan mengakibatkan suplai darah ke otak berkurang dan tidak adekuat lagi, bahkan terhenti yang selanjutnya menimbulkan stroke (Pudiastuti, 2011).

  Hubungan kenaikan tekanan darah dengan penyakit kardiovaskular (PKV) berlangsung secara terus menerus, konsisten dan independen dari faktor-faktor risiko yang lain. Pada jangka lama bila hipertensi tidak dapat turun stabil pada kisaran target normal tensi pasti akan merusak organ-organ terkait (TOD) (McPhee et al, 2006 dalam Yogiantoro, 2014).

  Penyakit kardiovaskular utamanya hipertensi tetap menjadi penyebab kematian tertinggi di dunia (Kochanek et al, 2011 dalam Yogiantoro, 2014). Risiko komplikasi ini bukan hanya tergantung kepada kenaikan tekanan darah yang terus menerus, tetapi juga tergantung bertambahnya umur penderita (Rosendorrf et al, 2007 dalam Yogiantoro, 2014).

  Kenaikan tekanan darah yang berangsur lama juga akan merusak fungsi ginjal. Makin tinggi tekanan darah, makin menurun laju filtrasi glomerulus sehingga akhirnya menjadi penyakit ginjal tahap akhir (Bakris et al, 2000 dalam Yogiantoro, 2014).

  Karena tingginya tekan darah adalah faktor risiko independen yang kuat untuk merusak ginjal menuju penyakit ginjal tahap akhir (PGTA), maka untuk untuk mencegah progresifitas PGTA, usahakanlah mempertahankan tekanan darah kisaran 120/80 mmHg (Klag et al, 1996 & National Kidney Foundation, 2004 dalam Yogiantoro, 2014).

  Peningkatan tekanan darah terus-menerus pada klien hipertensi esensial juga akan mengakibatkan kerusakan pembuluh darah pada organ-organ vital. Hipertensi esensial mengakibatkan

  (penebalan) arteriole-arteriole. Karena

  hyperplasia medial

  pembuluh darah menebal, maka perfusi jaringan menurun dan mengakibatkan kerusakan organ tubuh. Hal ini menyebabkan infark miokard, stroke, gagal jantung dan gagal ginjal.

  Hipertensi maligna adalah tipe hipertensi berat yang berkembang secara progresif. Seseorang dengan hipertensi

  maligna biasanya memiliki gejala-gejala morning headaches,

  penglihatan kabur dan sesak napas atau dispnea, dan/atau gejala urenia. Tekanan darah diastolik >115 mmHg, dengan rentang tekanan diastolik antara 130-170 mmHg. Hipertensi maligna meningkatkan risiko gagal ginjal, gagal jantung kiri dan stroke (Udjianti, 2010).

  g. Penatalaksanaan Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah: (1) Target tekanan darah yatiu <140/90 mmHg dan untuk individu berisiko tinggi seperti diabetes melitus, gagal ginjal target tekanan darah adalah <130/80 mmHg. (2) Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler.

  (3) Menghambat laju penyakit ginjal. Terapi dari hipertensi terdiri dari terapi nonfarmakologis dan farmakologis seperti penjelasan dibawah ini.

  (1) Terapi Farmakologis Terapi farmakologis yaitu obat antihipertensi yang dianjurkan oleh JNC VII yaitu diuretika, terutama jenis thiazide (Thiaz) atau aldosteron antagonis, beta blocker, calcium chanel

  blocker atau calcium antagonist, Angiotensin Converting

  (ACEI), Angiotensin II Receptor Blocker

  Enzyme Inhibitor

  atau AT1 receptor antagonist/ blocker (ARB) (Palmer & Williams, 2007).

  (2) Terapi Nonfarmakologis (a) Menurunkan berat badan bila status gizi berlebih.

  (b) Peningkatan berat badan di usia dewasa sangat berpengaruh terhadap tekanan darahnya. Oleh karena itu, manajemen berat badan sangat penting dalam prevensi dan kontrol hipertensi.

  (c) Meningkatkan aktifitas fisik. (d) Orang yang aktivitasnya rendah berisiko terkena hipertensi 30-50% daripada yang aktif. Oleh karena itu, aktivitas fisik antara 30-45 menit sebanyak >3x/hari penting sebagai pencegahan primer dari hipertensi.

  (e) Mengurangi asupan natrium.

  (f) Apabila diet tidak membantu dalam 6 bulan, maka perlu pemberian obat anti hipertensi oleh dokter.

  (g) Menurunkan konsumsi kafein dan alkohol. (h) Kafein dapat memacu jantung bekerja lebih cepat, sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya. Sementara konsumsi alkohol lebih dari 2-3 gelas/hari dapat meningkatkan risiko hipertensi.

  (i) Pengobatan terapi alternatif komplementer yang aman.

  a. Definisi Terapi komplementer akhir-akhir ini menjadi isu di banyak negara. Masyarakat menggunakan terapi ini dengan alasan keyakinan, keuangan, reaksi obat kimia dan tingkat kesembuhan. Perawat mempunyai peluang terlibat dalam terapi ini, tetapi memerlukan dukungan hasil-hasil penelitian (evidence-based

  practice ). Pada dasarnya terapi komplementer telah didukung

  berbagai teori, seperti teori Nightingale, Roger, Leininger, dan teori lainnya. Terapi komplementer dapat digunakan di berbagai level pencegahan. Perawat dapat berperan sesuai kebutuhan klien (Widyatuti, 2008).

  Pemanfaatan terapi alternatif komplementer mengalami peningkatan secara global, dan pengakuan diberikan oleh penyedia asuransi kesehatan di negara-negara maju (Eisenberg, Davis, Ettner, Appel, Wilkey, Van Rompay & Kessler, 1998). Faktor pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat herbal di negara maju adalah usia harapan hidup yang lebih panjang pada saat prevalensi penyakit kronik meningkat, adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk penyakit tertentu di antaranya kanker serta semakin luas akses informasi mengenai obat herbal di seluruh dunia (Sukandar, 2006).

  Klien yang menggunakan terapi komplemeter memiliki beberapa alasan. Salah satu alasannya adalah filosofi holistik pada terapi komplementer, yaitu adanya harmoni dalam diri dan promosi kesehatan dalam terapi komplementer. Alasan lainnya karena klien ingin terlibat untuk pengambilan keputusan dalam pengobatan dan peningkatan kualitas hidup dibandingkan sebelumnya. Sejumlah 82% klien melaporkan adanya reaksi efek samping dari pengobatan konvensional yang diterima menyebabkan memilih terapi komplementer (Snyder & Lindquis, 2002 dalam Widyatuti, 2008).

  Prinsip holistik pada keperawatan ini perlu didukung kemampuan perawat dalam menguasai berbagai bentuk terapi keperawatan termasuk terapi komplementer. Penerapan terapi komplementer pada keperawatan perlu mengacu kembali pada teori-teori yang mendasari praktik keperawatan. Misalnya teori Rogers yang memandang manusia sebagai sistem terbuka, kompleks, mempunyai berbagai dimensi dan energi. Teori ini dapat mengembangkan pengobatan tradisional yang menggunakan energi misalnya tai chi, chikung, dan reiki (Snyder & Lindquis, 2002 dalam Widyatuti, 2008).

  Peran yang dapat diberikan perawat dalam terapi komplementer atau alternatif dapat disesuaikan dengan peran perawat yang ada, sesuai dengan batas kemampuannya. Pada dasarnya, perkembangan perawat yang memerhatikan hal ini sudah ada. Sebagai contoh yaitu American Holistic Nursing Association (AHNA), Nurse Healer Profesional Associates (NHPA) (Hitchcock et al, 1999). Ada pula National Center for

  

Complementary/Alternative Medicine (NCCAM) yang berdiri

tahun 1998 (Snyder & Lindquis, 2002 dalam Widyatuti, 2008).

  Terapi alternatif komplementer adalah sebuah kelompok dari bermacam-macam sistem pengobatan dan perawatan kesehatan, termasuk terapi pijat, terapi herbal, healing touch,

  

energetic healing , acupuneture, dan acupressure (Nies &

  McEwen, 2001). Terapi komplementer juga ada yang menyebutnya dengan pengobatan holistik. Pendapat ini didasari oleh bentuk terapi yang mempengaruhi individu secara menyeluruh yaitu sebuah keharmonisan individu untuk mengintegrasikan pikiran, badan, dan jiwa dalam kesatuan fungsi (Smith et al, 2004 dalam Widyatuti 2008). Terapi ini juga telah digunakan sebagai pengobatan komplementer kontemporer pada pengobatan barat dan pemberian asuhan keperawatan dan telah ditunjuk untuk meningkatkan kenyamanan, kesehatan dan perilaku hidup yang baik (Snyder & Lindquis, 2010 dalam Allender et al, 2014).

  Penjelasan tersebut menunjukkan terapi komplemeter sebagai pengembangan terapi tradisional dan ada yang diintegrasikan dengan terapi modern yang mempengaruhi keharmonisan individu dari aspek biologis, psikologis, dan spiritual. Hasil terapi yang telah terintegrasi tersebut ada yang telah lulus uji klinis sehingga sudah disamakan dengan obat modern.

  Kondisi ini sesuai dengan prinsip keperawatan yang memandang manusia sebagai makhluk yang holistik (bio, psiko, sosial, dan spiritual).

  Menurut Andrews & Boyle (2003) terdapat berbagai kelompok atau kategori dalam pengobatan alternatif, seperti yang dipaparkan oleh The National Institute of Health (2002) mengelompokan terapi alternatif komplementer menjadi 5 kelompok : (1) Biologically based practice. Hal ini meliputi penggunaan dari suplemen vitamin dan mineral, produk alami seperti

  chondrotin sulfat yang berasal dari turunan tulang kartilago ikan hiu, produk herbal seperti Ginko biloba dan Echinacea serta diet diluar kebiasaan seperti diet rendah karbohidrat.

  (2) Manipulative and body-based approaches. Jenis pendekatan ini yang meliputi pijat (messages) sudah mulai digunakan sejak abad 19. (3) Mind-Body medicine. Jenis pendekatan ini meliputi pendekatan spiritual seperti meditasi dan teknik relaksasi.

  (4) Alternative Medical System. Terapi pengobatan ini mengacu pada metode pengganti atau alternatif dalam mengobati penyakit dan biasanya telah dilakukan sejak dahulu atau bersifat tradisional.

  (5) Energy medicine. Pendekatan ini menggunakan terapi yang meliputi penggunaan energi seperti biofield atau

  bioelectromagnetic atau keduanya dalam melakukan intervensi.

  Sedangkan Cupping therapy atau bekam itu sendiri masuk dalam kategori Alternatif Medical System bersama dengan

  

Acupunture, Ayurveda, Homeophatic tretment, dan Naturopathy,

  merupakan terapi alternatif pengobatan untuk berbagai penyakit diantaranya stroke yang telah dilakukan untuk menyembuhkan berbagai penyakit oleh masyarakat jauh sebelum adanya pengobatan moderen.

  Bekam (hijamah, Bahasa Arab; cupping, Bahasa Inggris) merupakan sebuah metode yang sudah cukup lama digunakan di daerah Cina atau sekelompok orang Arab dalam mengatasi berbagai keluhan kesehatan, seperti nyeri, pusing, bahkan dipercaya dapat mengatasi AIDS, hepatitis dan gangguan fungsi kardiovaskuler. Menurut Gao (2004) Terapi bekam termasuk dalam pengobatan tradisional Cina yang telah turun-temurun dari beberapa ratus tahun yang lalu. Terapi ini digunakan dengan bermacam-macam gelas atau kop, seperti kop bambu, kop dari tanah liat, menempatkannya pada titik acupoints pada kulit pasien untuk menimbulkan hiperemia atau hemostatis, yang mana bisa meningkatkan penyembuhan suatu penyakit (Cao et al, 2010).

  Bekam adalah metode pengobatan dengan metode tabung atau gelas yang ditelungkupkan pada permukaan kulit agar menimbulkan bendungan lokal. Kemudian darah yang telah terkumpul dikeluarkan dari kulit dengan dihisap, dengan tujuan meningkatkan energi, menimbulkan efek analgetik, anti-bengkak, serta mengusir patogen (Umar, 2008 dalam Ridho, 2012).

  Berkembangnya informasi, metode yang disebut sebagai pengobatan nabi ini mulai menyebar ke Indonesia yang memang mayoritas beragama Islam (Fatahillah, 2007 & Subiyanto, 2008). Secara umum, metode bekam ini belum cukup dikenal di masyarakat kita (Nilawati, 2008). Metode ini merupakan pilihan bagi individu yang menyukai terapi yang mendatangkan kesembuhan dengan biaya yang mudah dijangkau. Terlebih lagi dengan biaya pengobatan rumah sakit yang kian hari semakin mahal (Fatahillah, 2007). Bekam hanya mengambil darah perifer untuk berbagai jenis pengobatan penyakit. Perbedaan dari setiap jenis penyakit hanya pada titik-titik yang menjadi incaran pengambilan darah. Kebanyakan darah yang diambil yakni di daerah tengkuk, kaki, dan punggung. Sudah cukup banyak orang yang telah mencoba melakukan bekam untuk mengatasi keluhan kondisi kesehatannya, mulai dari nyeri, hipertensi hingga AIDS (Fatahillah, 2007 & Ullah et al, 2007).

  b. Titik-Titik Anatomis Bekam.

  Penelitian yang sudah ada dapat dipublikasikan untuk mengungkapkan dimana letak yang tepat secara anatomis pada pembekaman. Tetapi hal itu bisa didapat berdasarkan pemahaman Al-hijamah dikedokteran modern dan pengobatan kenabian. Pada dasarnya, manfaat yang akan didapatkan dalam penyembuhan suatu penyakit melalui Al-hijamah adalah penyakit dimana patogenesisnya dapat dicirikan oleh cairan jaringan yang berlebihan (transudat atau eksudat), cairan intravaskular atau CPS (Causative Pathological Substances/Substansi Penyebab Patologis) (Ahmed et al, 2011 dalam Mahmoud et al, 2013).

  Menentukan situs anatomi yang berbeda dari penyakit satu dengan penyakit lain penting menurut situs anatomi patologi dan derajat yang diperlukan untuk pembersihan darah dan ruang interstitial. Scientific bases dalam memilih lokasi anatomi tertentu saat merawat klien dengan kondisi patologis menggunakan Al- hijamah atau bekam (seperti yang kita pelajari dari pengobatan nabi) tergantung pada situs utama dari patologi, distribusi dan tingkat manfaat terapeutik yang diperoleh dari darah dan ruang cairan interstitial.

  Tingkat pembersihan dalam darah bisa ditingkatkan dengan meningkatkan jumlah, ukuran dan tekanan (untuk batas tertentu) dari cangkir atau kop. Optimalisasi dari manfaat Al-hijamah akan berbeda ketika mengubah titik peletakan cangkir atau jumlah cangkir (Mahmoud et al, 2013).

  Menurut Ahmed Hefny (1990) poin anatomi dalam pembekaman dapat diuraikan sebagai berikut : (1) Wilayah kepala dan leher (Tabel 2.2 dan Gambar 2.3, Gambar 2.4 dan Gambar 2.5).

  (2) Aspek frontal dada, abdomen dan pelvis (Tabel 2.3 dan Gambar 2.6).

  (3) Bagian belakang (Tabel 2.4 dan Gambar 2.7).

  (4) Anggota badan (Tabel 2.5).

  Teori ini merupakan sebuah rintisan awal karena belum ada penelitian yang dipublikasikan sebelumnya atau laporan dalam bidang hijamatology. Situs anatomi yang dipublikasikan oleh Ahmed Hefny ini adalah hasil dari mempelajari situs anatomi yang dipelajari dalam Al-hijamah kenabian dan dalam pengobatan kenabian, situs anatomi ini juga dipergunakan untuk berlatih akupunktur dan terapi bekam TCM di Cina dan menjadi referensi buku terkait yang ditulis oleh praktisi internasional akupunktur dan terapi bekam dari negara yang berbeda misalnya Jepang, Jerman, Australia dan lain-lain (Mahmoud et al, 2013).

  Menurut El-Ghazzawy (2000) bahwa situs anatomi untuk Al- hijamah didasarkan juga pada latar belakang dalam pengobatan kenabian dan praktik TCM (El-Ghazzawy, 2000 dalam Mahmoud

  

et al , 2013). Rafeek Tib Nabawi (RTN, pendamping pengobatan

  kenabian) merupakan situs anatomi yang baru-baru ini ditemukan sebagai situs anatomi baru yang dapat ditambahkan ke situs anatomi awal seperti yang dilaporkan oleh Ahmed Hefny (1990) tentang Teaching the treatment using Al-hijamah.

  Menurut Ahmed Hefny (1990) sampai saat ini, perlu adanya pemecahan masalah dalam mengoptimalkan hasil praktik Al- hijamah dan pengalaman menerapkan pembekaman di situs anatomi untuk menerapkan pengisapan cangkir dan ini akan memberikan dampak yang baik untuk modifikasi Al-hijamah di masa depan dalam penelitian masa depan (Mahmoud et al, 2013).

  Golden Role saat memilih situs anatomi untuk melakukan

  Al-hijamah adalah agar menempatkan kop pada kulit yang melapisi organ yang sakit, misalnya menempatkan kop di atas kulit yang meradang di cellulitis. Ini akan memfasilitasi kliring cairan interstitial dan kapiler darah dari CPS di daerah anatomi ini.

  Kedua, agar menempatkan kop di daerah kulit yang memungkinkan paling dekat dengan lokasi patologi, misalnya menempatkan kop di atas situs kepala dalam pengobatan sakit kepala dan migrain. Hal ini mungkin membantu sampai batas tertentu dalam membersihkan cairan interstitial dan kapiler darah dari CPS.

  Ketiga, agar meletakan kop di daerah kulit yang dipasok oleh persarafan kulit yang sama (dermatom yang sama dengan situs patologi) misalnya menempatkan kop di atas kulit dari bahu kiri (suplai saraf dermatomal yang sama dengan jantung) pada pengobatan iskemik miokard. Hal ini dapat mengurangi intensitas rasa sakit di jaringan yang sakit atau viskus dengan memanfaatkan jalur saraf untuk nyeri tersebut (nyeri yang muncul dalam organ dan dirasakan di tempat yang jauh biasanya daerah kulit dengan dermatom yang sama) (Mahmoud et al, 2013).

  Berikut merupakan penjelasan titik-titik anatomis pada pembekaman, menurut Ahmed Hefny, 1990; Clemente, 2010; Saladin, 2003 & El-Ghazzawy, 2000 dalam Mahmoud et al, 2013: (1) Titik-titik pembekaman pada daerah kepala dan leher, terdapat 22 titik pembekaman seperti pada tabel berikut :

Tabel 2.2 Titik-titik anatomis dalam melakukan pembekaman di daerah kepala dan leher.

  Titik anatomis dan penandaan pada permukaan No. Region

  

1 Pada permukaan kulit bagian atas processus spinosus dari vertebra

serviks 7. Ini adalah tulang vertebra paling menonjol pada aspek yang lebih rendah dari belakang leher.

2 dan 3 Pada kedua sisi kanan dan kiri di sisi perlekatan kedua

sternocleidomastoids menuju processus cleinoid di belakang tempurung kepala. Di belakang dari kedua telinga (aman dan mudah untuk praktik Al-hijamah di bagian belakang leher dan cocok untuk wanita yang memiliki daerah tidak berbulu).

  

32 Sekitar 14 cm di atas garis rambut bagian belakang pada titik tengah dari

garis imajiner yang menghubungkan kedua auricles. Di tengah bagian atas kubah tengkorak.

  33 Sedikit ke kanan pada wilayah #32.

34 dan 35 Ke arah ujung kanan dan kiri dari wilayah #32 pada kubah tengkorak

(keduanya melintasi kulit yang melapisi bagian dari tengkorak di atas belahan otak masing-masing kanan dan kiri).

  

36 Pada tonjolan oksipital eksternum. Pada permukaan kulit bagian atas di

atasnya titik bawah tengah tulang oksipital (bagian atas dari tengkorak di atas serebelum dan batang otak). 37 dan 38 Sekitar 3 cm bagian atas 2 telinga.

  

39 Bagian belakang tengkorak di penyisipan tendon 2 dari 2 otot

sternokleidomastoid dalam processus clinoid di belakang tengkorak (di tengah-tengah fossa pada garis rambut posterior).

  

40 Bagian bawah garis tengah pada bagian belakang leher (di bawah

wilayah #39 dan di atas wilayah #1). 41 dan 42 Pada kedua sisi wilayah #40 di bagian belakang leher.

43 dan 44 Pada kedua sisi leher belakang dan di bawah kedua telinga yang terkait

pada jalan vena jugularis (N.B. Kedua situs anatomi ini khusus dan memerlukan penggunaan Teknik Shalah).

  101 Bagian atas dahi (garis rambut dalam bagian anterior). 102 dan 103 Bagian atas dan medial pada kedua alis. 104 dan 105 Bagian lateral pada kedua mata. 106 6 cm di atas telinga kiri.

107 Pada pojok kanan dahi (sekitar 1 cm di dalam garis rambut di sudut

kanan dahi).

  108 dan 109 Pada kedua sisi hidung (di atas alae nasai).

110 Berjarak satu jari luasnya dari anterior dan superior pada sudut inferior

mandibula.

  111 Pada samping setelah wilayah #104

112 Pada samping setelah foramen infraorbital (sekitar 6 cm lateral

menujualae nasai sebelah kiri). 113 Bagian lateral pada sudut kiri mulut. 114 Pada bagian setelah dagu.

  (2) Titik-titik pembekaman pada daerah aspek ventral, dada dan abdomen, terdapat 17 titik pembekaman seperti pada tabel :

Tabel 2.3 Titik-titik anatomis dalam melakukan pembekaman di daerah aspek ventral, dada dan abdomen.

  No. Region Titik anatomis dan penandaan pada permukaan

115 dan 116 Diwakili oleh 2 titik di tengah-tengah aspek frontal otot deltoid ketika

lengan sepenuhnya pada posisi abduksi. (N.B. Beberapa penulis menggambarkan bahwa 2 titik itu adalah 2 poin yang berada di bahu

baik kiri dan kanan ke luar dari ujung lateral klavikula).

  

117 dan 118 Pada sendi sterno-klavikularis kiri dan kanan, yaitu di bawah

perbatasan medial lebih rendah dari kedua klavikula (sekitar 4 cm lateral dari garis tengah).

119 Sekitar 4 luas jari tangan di bawah bagian tengah klavikula kiri

(inferolateral ke wilayah #117).

  

120 Pada bagian tengah (titik tengah) sternum (menghadap posisi #49 di

belakang).

  121 Tepat di bawah processus xifoideus di garis tengah perut.

122 Pada bagian setelah lateral (ke samping kanan) pada wilayah #121.

  Sebuah titik di ruang interkostal 6 sekitar 5 cm dari garis tengah (sekitar 2 rusuk bawah puting). 123 Sekitar 3 cm di bawah wilayah #122. 124 Sekitar 4 cm di bawah dan lateral ke daerah #123.

125 dan 126 Langsung di atas alur inguinal (di atas dan lateral yang teraba denyut

arteri femoralis). 133 Bagian atas kulit yang melapisi epigastrium di depan xiphisternum.

134 Setelah payudara kiri (sekitar 10 cm lateral (ke kiri) ke daerah #121 di

linea).

135 dan 136 Dalam ruang interkostal 4 kiri dan kanan (4 cm dari garis tengah) yaitu

tepat di atas dan lateral pada daerah #133. 137 Pada garis tengah perut (4 cm di atas umbilikus). 138 dan 139 Sekitar 4 cm ke kiri dan kanan dari umbilikus. 140 Pada garis tengah perut (3 cm di bawah umbilikus).

141 dan 142 Setelah umbilikus pada sisi kiri dan kanan wilayah #140 (sekitar 4 cm

dari garis tengah). 143 Pada garis tengah perut tepat di atas simfisis pubis.

  (3) Titik-titik pembekaman pada daerah tubuh bagian belakang, terdapat 26 titik pembekaman seperti pada tabel berikut :

Tabel 2.4 Titik-titik anatomis dalam melakukan pembekaman di daerah tubuh bagian belakang.

  No. Region Titik anatomis dan penandaan pada permukaan

4 dan 5 Bagian dalam antara bagian atas dari batas medial skapula 2 yaitu sekitar

3 cm lateral processus spinosus dari 3 vertebra toraks.

  

6 Melewati aspek medial skapula kanan (lateral hingga batas bawah dari

processus spinosus dari vertebra toraks 10).

7 dan 8 Pada bagian tengah belakang di kedua sisi tulang belakang yaitu bagian

lateral pada batas bawah dari processus spinosus dari vertebra toraks

  12).

9 dan 10 Setelah poin 7 dan 8 (bagian lateral pada batas bawah dari processus

spinosus dari vertebra lumbalis 2).

  11 Di antara vertebra lumbalis 4 dan 5 (bagian bawah belakang).

  12 dan 13 Sedikit lebih tinggi dan dari kedua sisi posisi no. 11 sekitar 6 cm.

  47 Bagian kulit atas belakang bahu kiri.

  (4) Titik-titik pembekaman di daerah tubuh bagian bawah, terdapat 5 titik pembekaman seperti pada tabel berikut :

  55 Di bawah wilayah #1.

  52 Bagian bawah dan lateral wilayah #31 pada aspek panggul lateral.

  51 Bagian bawah dan lateral wilayah #28 pada aspek panggul lateral.

  

50 Bagian lateral menuju wilayah #23 (sekitar 6 cm di atas dan di sebelah

kiri daerah #8).

  

49 Di bawah processus spinosus dari vertebra toraks 6 (di bawah dan

medial ke daerah #5 di garis tengah bagian belakang antara 2 skapula).

  48 Di atas dan bagian lateral daerah #4.

  Diwakili oleh garis di bagian atas dari kedua bokong kanan dan kiri di bagian belakang panggul. Poin 28 dan 31 yang hadir di kulit dan melapisi aspek posterior luar krista iliaka. 45 dan 46 Pada kedua sisi wilayah #55.

  14 Di bawah dan bagian lateral wilayah #9.

  27 Di bawah dan bagian lateral wilayah #17. 28, 29, 30 dan 31

  26 Di bawah dan bagian lateral wilayah #16.

  

24 dan 25 Pada bagian atas dari bagian bawah belakang (di atas dan lateral ke

wilayah #18).

  19 Di sekitar sisi belakang skapula kiri (bawah dan lateral wilayah #5).

20 dan 21 Pada titik-titik tengah dari kulit yang menutupi trapezii. Titik-titik ini