DOCRPIJM 1504167747Bab 8 Aspek Sosial dan Lingkungan EDIT

  BAB

  VIII ASPEK LINGKUNGAN DAN SOSIAL DALAM PEMBANGUNAN BID. CIPTA KARYA Kategorisasi Dampak Lingkungan dan Sosial Rencana Tindak Penanganan Dampak

  Rencana Terpadu dan Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2JM) bidang Cipta Karya membutuhkan kajian pendukung dalam hal lingkungan dan sosial untuk meminimalkan pengaruh negatif pembangunan infrastruktur bidang Cipta Karya terhadap lingkungan permukiman baik di perkotaan maupun di perdesaan. Kajian aspek lingkungan dan sosial meliputi acuan peraturan perundang-undangan, kondisi eksisting lingkungan dan sosial, analisis dengan instrumen, serta pemetaan antisipasi dan rekomendasi perlindungan lingkungan dan sosial yang dibutuhkan.

8.1 Aspek Lingkungan

  Beberapa amanat perlindungan dan pengelolaan lingkungan dalam pelaksanaan kegiatan bidang cipta karya antara lain sebagai berikut: 1) Undang-Undang No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan

  “Instrumen pencegahan pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup terdiri atas antara lain Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dan Upaya Pengelolaan Lingkungan-Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL) dan Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (S

  PPLH)” 2) Undang – Undang No.17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional:

  “Dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan hidup yang baik perlu penerapan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan secara konsisten di segala bidang”

  3) Peraturan Presiden No. 5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014: “Dalam bidang lingkungan hidup, sasaran yang hendak dicapai adalah perbaikan mutu lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam di perkotaan dan pedesaan, penahanan laju kerusakan lingkungan dengan peningkatan daya dukung dan daya tampung lingkungan; peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim”

  4) Permen LH No. 9 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Kajian Lingkungan Hidup Strategis: Dalam penyusunan kebijakan, rencana dan/atau program, KLHS digunakan untuk menyiapkan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana dan/atau program agar dampak dan/atau risiko lingkungan yang tidak diharapkan dapat diminimalkan 5) Permen LH No. 16 Tahun 2012 tentang Penyusunan Dokumen Lingkungan.

  Sebagai persyaratan untuk mengajukan ijin lingkungan maka perlu disusun dokumen Amdal, UKL dan UPL, atau Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau disebut dengan dengan SPPL bagi kegiatan yang tidak membutuhkan Amdal atau UKL dan UPL.

  Adapun Tugas dan wewenang pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam aspek lingkungan terkait bidang Cipta Karya mengacu pada UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu: 1) 1. Pemerintah Pusat a.

  Menetapkan kebijakan nasional.

  b.

  Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria.

  c. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai KLHS.

  d.

  Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL.

  e.

  Melaksanakan pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.

  f.

  Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pengendalian dampak perubahan iklim dan perlindungan lapisan ozon.

  g.

  Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan nasional, peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah.

  h.

  Mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup. i.

  Mengembangkan dan melaksanakan kebijakan pengaduan masyarakat. j.

  Menetapkan standar pelayanan minimal. 2) Pemerintah Provinsi a.

  Menetapkan kebijakan tingkat provinsi.

  b.

  Menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat provinsi.

  c.

  Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL.

  d.

  Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan, peraturan daerah dan peraturan kepala daerah kabupaten/kota.

  e.

  Mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup.

  f.

  Melakukan pembinaan, bantuan teknis, dan pengawasan kepada kabupaten/kota di bidang program dan kegiatan.

  g.

3) Pemerintah Kabupaten/Kota a.

  Menurut UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kajian Lingkungan Hidup Strategis, yang selanjutnya disingkat KLHS, adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.

  Meningkatnya luasan lahan kritis baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan, juga kerusakan fisik pada ekosistem pesisir dan laut yang berupa defoorestrasi hutan mangrove dan degradasi terumbu karang; b. Adanya pelanggaran K3 (Kebersihan, Keindahan, Ketertiban umum) dan kerusakan lingkungan perlu diupayakan perbaikan lingkungan melalui pencegahan secara dini ataupun penanggulangan pencemaran lingkungan; c. Belum memadainya data potensi dan konservasi air tanah;

  Kabupaten Kendal melalui Peraturan Daerah Kabupaten Kendal Nomor 11 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Kabupaten Kendal, telah membuat kebijakan antisipatif guna menjawab permasalahan dan tantangan yang dihadapi Kabupaten Kendal di bidang Lingkungan hidup yang antara lain : a.

  KLHS dijadikan sebagai alat kajian lingkungan dalam RPI2-JM adalah karena RPI2-JM bidang Cipta Karya berada pada tataran Kebijakan/Rencana/Program. Dalam hal ini, KLHS menerapkan prinsip-prinsip kehati-hatian, dimana kebijakan, rencana dan/atau program menjadi garda depan dalam menyaring kegiatan pembangunan yang berpotensi mengakibatkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup

  b.

  KLHS perlu diterapkan di dalam RPI2-JM antara lain karena: a. RPI2-JM membutuhkan kajian aspek lingkungan dalam perencanaan pembangunan infrastruktur.

  Melaksanakan standar pelayanan minimal.

  Melaksanakan standar pelayanan minimal.

  e.

  Mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup.

  d.

  c. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL.

  Menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota.

  b.

  Menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota.

8.1.1 Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)

  d. Belum memadainya data daerah rawan bencana dan geologi lingkungan guna membantu mengantisipasi setiap bencana yang akan terjadi; e.

  Ditinjau dari aspek kelembagaan upaya pengelolaan lingkungan menuju pembangunan berkelanjutan ditemukan adanya kelemahan koordinasi antar instansi, belum konsistennya peraturan perundangan pengelolaan lingkungan mulai dari pusat sampai daerah, rendahnya tingkat kesadaran masyarakat segala strata kehidupan serta lemahnya pengawasan dan pengendalian kerusakan/pencemaran lingkungan; f. Lemahnya penegakan hukum lingkungan menjadi faktor penghambat dalam menyelesaikan kasus-kasus lingkungan hidup yang terjadi; g. Belum tersedianya sarana dan prasarana pengelolaan lingkungan hidup yang memadai seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

8.1.2 AMDAL, UKL – UPL DAN SPPLH

  Pengelompokan atau kategorisasi proyek mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan dalam

  Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 5 tahun 2012 tentang jenis rencana usaha dan/atau kegiatan Wajib AMDAL dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 10 Tahun 2008 Tentang Penetapan Jenis Rencana Usaha Dan/Atau Kegiatan Bidang Pekerjaan Umum yang Wajib Dilengkapi dengan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup, yaitu: a.

  Proyek wajib AMDAL b. Proyek tidak wajib AMDAL tapi wajib UKL-UPL c. Proyek tidak wajib UKL-UPL tapi SPPLH

  Dengan adanya payung hukum tersebut maka tindak lanjut dalam proses Tataran Rencana dan Program dibutuhkan Dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Sedangkan pada tataran kegiatan atau keproyekan, instrumen yang lebih tepat diterapkan adalah Amdal, UKL-UPL. Dan PPLH.

  Berikut beberapa perbedaan antara KLHS dan AMDAL.

  Untuk Jenis Kegiatan Bidang Cipta Karya dan batasan kapasitasnya yang wajib dilengkapi dokumen AMDAL adalah sebagai berikut Jenis Kegiatan Bidang Cipta Karya yang kapasitasnya masih di bawah batas menjadikannya tidak wajib dilengkapi dokumen AMDAL tetapi wajib dilengkapi dengan dokumen UKL-UPL. Jenis kegiatan bidang Cipta karya dan batasan kapasitasnya yang wajib dilengkapi dokumen UKL-UPL, seperti terlihat pada tabel berikut ini :

  

Jenis Kegiatan Bidang Cipta Karya yang kapasitasnya masih di bawah batas wajib dilengkapi

dokumen UKL-UPL menjadikannya tidak wajib dilengkapi dokumen UKL-UPL tetapi wajib

dilengkapi dengan Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan

Hidup (SPPLH).

8.2 Aspek Sosial

  Aspek sosial terkait dengan pengaruh pembangunan infrastruktur idang Cipta Karya kepada masyarakat pada taraf perencanaan, pembangunan, maupun pasca pembangunan/pengelolaan. Pada taraf perencanaan, pembangunan infrastruktur permukiman seharusnya menyentuh aspek-aspek sosial yang terkait dan sesuai dengan isu-isu yang marak saat ini, seperti pengentasan kemiskinan serta pengarusutamaan gender. Sedangkan pada saat pembangunan kemungkinan masyarakat terkena dampak sehingga diperlukan proses konsultasi, pemindahan penduduk dan pemberian kompensasi, maupun permukiman kembali. Kemudian pada pasca pembangunan atau pengelolaan perlu diidentifikasi apakah keberadaan infrastruktur bidang Cipta Karya tersebut membawa manfaat atau peningkatan taraf hidup bagi kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitarnya

  Dasar peraturan perundang-undangan yang menyatakan perlunya memperhatikan aspek sosial adalah sebagai berikut: a.

  UU No.17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional:  Dalam rangka pembangunan berkeadilan, pembangunan sosial juga dilakukan dengan memberi perhatian yang lebih besar pada kelompok masyarakat yang kurang beruntung, termasuk masyarakat miskin dan masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil, tertinggal, dan wilayah bencana.

   Penguatan kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan anak di tingkat nasional dan daerah, termasuk ketersediaan data dan statistik gender.

  b.

  UU No. 2/2012 tentang Pengadaan UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Lahan bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum:

   Pasal 3: Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak.

  c.

  Peraturan Presiden No. 5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014:

   Perbaikan kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan melalui sejumlah program pembangunan untuk penanggulangan kemiskinan dan penciptaan kesempatan kerja, termasuk peningkatan program di bidang pendidikan, kesehatan, dan percepatan pembangunan infrastruktur dasar.

   Untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender, peningkatan akses dan partisipasi perempuan dalam pembangunan harus dilanjutkan.

  d.

  Peraturan Presiden No.15/2010 tentang Percepatan penanggulangan Kemiskinan

   Pasal 1: Program penanggulangan kemiskinan adalah kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah dunia usaha, serta masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin melalui bantuan sosial, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil, serta program lain dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi.

  e.

  Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional

   Menginstruksikan kepada Menteri untuk melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi, serta kewenangan masing-masing

  

Tugas dan wewenang pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota

  terkait aspek sosial bidang Cipta Karya adalah: 1) Pemerintah Pusat: a.

  Menjamin tersedianya tanah untuk kepentingan umum yang bersifat strategis nasional ataupun bersifat lintas provinsi.

  b.

  Menjamin tersedianya pendanaan untuk kepentingan umum yang bersifat strategis nasional ataupun bersifat lintas provinsi.

  c.

  Meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin melalui bantuan sosial, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan usaha mikro dan kecil, serta program lain dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi di tingkat pusat.

  d.

  Melaksanakan pengarusutamaangende guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional berperspektif gender, khususnya untuk bidang Cipta Karya. 2) Pemerintah Provinsi: a.

  Menjamin tersedianya tanah untuk kepentingan umum yang bersifat regional ataupun bersifat lintas kabupaten/kota.

  b.

  Menjamin tersedianya pendanaan untuk kepentingan umum yang bersifat regional ataupun bersifat lintas kabupaten/kota.

  c.

  Meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin melalui bantuan sosial, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan usaha mikro dan kecil, serta program lain dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi di tingkat provinsi. d. Melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan di tingkat provinsi berperspektif gender, khususnya untuk bidang Cipta Karya

3) Pemerintah Kabupaten/Kota: a.

  Menjamin tersedianya tanah untuk kepentingan umum di kabupaten/kota.

  b.

  Menjamin tersedianya pendanaan untuk kepentingan umum di kabupaten/kota.

  c.

  Meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin melalui bantuan sosial, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan usaha mikro dan kecil, serta program lain dalam rangka peningkatan ekonomi di tingkat kabupaten/kota.

  d.

  Melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan di tingkat kabupaten/kota berperspektif gender, khususnya untuk bidang Cipta Karya Kerangka ini dimaksudkan untuk membantu Kabupaten Kendal untuk dapat melakukan evaluasi secara sistematik dalam penanganan, pengurangan dan pengelolaan resiko sosial yang tidak diinginkan, promosi manfaat sosial dan pelaksanaan keterbukaan serta konsultasi publik dengan warga yang terkena dampak atau DP (Displaced People).

  Komponen perlindungan sosial dalam hal ini terkait pengadaan tanah dan permukiman kembali. Pengadaan tanah dan permukiman kembali biasanya terjadi jika kegiatan investasi berlokasi di atas tanah yang bukan milik pemerintah atau telah ditempati oleh swasta/masyarakat selama lebih dari satu tahun. Prinsip utama pengadaan tanah adalah bahwa semua langkah yang diambil harus dilakukan untuk meningkatkan, atau sedikitnya memperbaiki, pendapatan dan standar kehidupan warga yang terkena dampak akibat kegiatan pengadaan tanah ini.

  Pengadaan tanah dan permukiman kembali atau land acquisition and resettlement untuk kegiatan RPI2-JM mengacu pada prinsip-prinsip sebagai berikut ini:

  1. Transparan: Sub proyek dan kegiatan yang terkait harus diinformasikan secara transparan kepada pihak-pihak yang akan terkena dampak. Informasi harus mencakup, antara lain, daftar warga dan aset (tanah, bangunan, tanaman, dan lainnya) yang akan terkena dampak.

  2. Partisipatif: Warga yang berpotendi terkena dampak/dipindahkan (DP) harus terlibat dalam seluruh perencanaan proyek, seperti: penentuan batas lokasi proyek jumlah dan bentuk kompensasi/ganti tugi, serta lokasi tempat permukiman kembali.

  3. Adil: Pengadaan tanah tidak boleh memperburuk kondisi kehidupan DP. Warga tersebut memiliki hak untuk mendapatkan ganti rugi yang memadai, sepert tanah pengganti dan /atau uang tunai yang setara dengan harga pasar tanah dan asetnya. Biaya terkait lainnya, seperti biaya pindah, pengurusan surat tanah, dan pajak, harus ditanggung oleh pemrakarsa kegiatan. DP harus diberi kesempatan untuk mengkaji rencana pengadaan tanah ini secara terpisah di antara mereka sendiri dan menyetujui syarat-syarat dan jumlah ganti rugi dan /atau permukiman kembali.

  Metoda pendugaan perlindungan sosial atau pembebasan tanah dan permukiman kembali dirumuskan berdasarkan sejumlah regulasi terkait yang berlaku antara lain sesuai dengan Keputusan Presiden No 55/1993 tentang Pembebasan Tanah untuk Pembangunan Bagi Kepentingan Umum.

  Prosedur pelaksanaan perlindungan pembebasan tanah dan permukiman kembali terdiri dari beberapa kegiatan utama yang meliputi: penypisan awal dari usulan kegiatan untuk melihat apakah kegiatan yang bersangkutan memerlukan pembebasan tanah atau kegiatan permukiman kembali atau tidak; pengklasifikasian/kategorisasi dampak pembebasan tanah dan permukiman kembali dari sub proyek yang diusulkan ; perumusan surat pernyataan bersama (jika melibatkan hibah sebidang tanah secara sukarela) atau perumusan Rencana Tindak Pembebasan Tanah dan Permukiman Kembali (RTPTPK) sederhana atau menyeluruh sesuai kebutuhan didukung SK Gubernur/Bupati/Walikota.

  Pembebasan tanah dan permukimkan kembali yang telah dilaksanakan sebelum usulan sub proyek disampaikan, harus diperiksa kembali dengan tracer study. Tracer study ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa proses pembebasan tanah telah sesuai dengan standar yang berlaku, tidak mengakibatkan kondisi kehidupan DP menjadi lebih buruk, dan mekanisme penanganan keluhan dilaksanakan denagn baik.

  

Tabel VIII-1

Kategori Pendugaan Dampak Pembebasan Tanah

Dan Permukiman Kembali

Kategori Dampak Persyaratan

  A Sub Proyek tidak melibatkan kegiatan pembebasan tanah

  1. Surat Pernyataan dari Sub Proyek seluruhnya menempati tanah negara pemrakarsa kegiatan

  2. Laporan yang disusun oleh Sub Proyek seluruhnya atau sebagian menempati tanah yang dihibahkan secara pemrakarsa kegiatan sukarela

  B Pembebasan tanah secara sukarela: Surat Persetujuan yang disepakati dan ditandatangai Hanya dapat dilakukan bila lahan produktif yang bersama antara pemrakarsa dihubahkan < 10% dan memotong < bidang kegiatan dan warga yang lahan sejarak 1,5 m dari batas kavling atau garis menghibahkan tanahnya dengan sepadan bangunan, dan bangunan atau aset sukarela tidak bergerak lainnya yang dihibahkan senilai < Rp. 1 Juta.

  C Pembebasan tanah berdampak pada < 200 oran RTPTPK sederhana atau 40 KK atau < 10% dari aset produktif atau melibaykan pemindahan warga sementara selama masa konstruksi

  D Pembebasan tanah berdampak pada > 200 RTPTPK menyeluruh orang atau memindahkan warga > 100 orang