T1__BAB V Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran ASEAN Convention Against Trafficking in Persons (ACTIP) dalam Mengatasi Permasalahan Trafficking di Sulawesi Utara T1 BAB V
BAB V
INDONESIA DALAM MENGATASI PERMASALAHAN TRAFFICKING
5.1 Indonesia dan Trafficking
Trafficking di Indonesia juga tidak terlepas dari konsep hak asasi manusia.
Perkembangan hak asasi manusia di Indonesia mengalami jatuh bangun. Pada awal mula
kemerdekaan Indonesia, hak asasi manusia telah dirumuskan dalam UUD 1945, namun
rumusan ini masih belum spesifik dan tersusun rapih terlebih mengenai hak asasi
manusia. Hal ini wajar dimana perumusan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945
dibawah tekanan sehingga perumusan UUD 1945 terkesan apa adanya, yang sesuai
dengan situasi Indonesia pada waktu itu (Budiardjo, 2016). Disamping itu, Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (1948) pada saat penyusunan UUD 1945 belum ada,
sehingga Indonesia sendiri merumuskan berdasarkan apa yang dialami oleh Indonesia
dalam bertahun-tahun masa penjajahan negara lain. Walaupun pada saat itu konsep hak
asasi manusia masih dirasa kurang, namun Indonesia telah memiliki gambaran mengenai
hak asasi manusia yang perlu diperjuangkan sebagaimana mestinya. Kemudian seiring
dengan berjalannya waktu dan konsep hak asasi masusia serta Deklarasi Hak Asasi
Manusia telah ada, maka barulah Indonesia membahasnya kembali.
Banyak permasalahan yang menyebabkan trafficking, serta banyak permasalahan
yang ditimbulkan dari trafficking. Indonesia yang dengan jumlah penduduknya tergolong
terbanyak di dunia, rentan dengan berbagai tindak kejahatan. Praktek trafficking di
Indoesia juga diperkirakan tidak terlepas dari ‘perbudakan’ yang pernah terjadi di
beberapa daerah di Indonesia pada masa kolonialisme. Annual Trafficking in Person
Report menunjukkan, bahwa pada periode antara April 2001 dan Maret 2002, Indonesia
termasuk dalam negara yang dianggap tidak memenuhi ketentuan standar minimum The
Trafficking Victims Protection Act of 2000 yang adalah pencegahan, perlindungan,
penindakan dan upaya-upaya mengeliminasi perdagangan orang.
50
Penduduk Indonesia yang banyak, dengan sedikitnya lapangan pekerjaan
membuat banyak orang berlomba mendapatkan pekerjaan agar kebutuhan hidup dapat
terpenuhi. Pendidikan juga ikut mengambil bagian dalam pengangguran yang terjadi di
Indonesia. Hal ini mengakibatkan keputusasaan bagi mereka yang ingin bekerja untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Ditambah dengan krisis ekonomi yang terjadi di
Indonesia menyebabkan perekonomian masyarakat Indoneisa yang tidak stabil.
Pengangguran yang terjadi dimana-mana menyebabkan berkurangnya atau tidak adanya
pendapatan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Menurut Badan
Pusat Statistik (2016), pengangguran Indonesia dari umur pekerja diatas 15 tahun dari
tahun 2010 sebesar 7.1%, tahun 2011 sebesar 6.6%, tahun 2012 sebanyak 6.1%, tahun
2013 sebanyak 6.1%, dan tahun 2014 sebanyak 5.9%. Dari Tabel 5.1 (lihat lampiran 1),
menunjukkan bahwa tingginya tingkat pengangguran juga dipengaruhi berdasarkan
jenjang pendidikan yang ditempuh. Angka menunjukkan pengganguran yang tertinggi
adalah
lulusan
Sekolah
Dasar
(SD)/sederajat,
Sekolah
Menengah
Pertama
(SMP)/sederajat, dan Sekolah Menegah Atas (SMA)/sederajat. Disisi lain, kenaikan
bahan pokok di masyarakat menambah buruk keadaan. Karenanya suatu pekerjaan dirasa
sangat penting. Setiap orang berusaha untuk mendapatkan pekerjaan. Dari sinilah pelaku
trafficking mengembangkan sayapnya. Para sindikat pelaku trafficking mulai menjaring
korban-korbannya dengan berkedok sebagai penyalur atau penyedia tenaga kerja dengan
gaji yang besar.
Kasus trafficking Indonesia meningkat dari tahun 2005-2010. Korban trafficking
mencapai 3.735 orang menurut IOM, 2010 dan kemungkinan angka sebenarnya melebihi
yang tercatat. Data dari Bareskrim Polri (Badan Reserse Kriminal Polisi Republik
Indonesia), kasus trafficking mencapai 607 kasus pada tahun 2010 dengan 857 orang
sebagai pelaku. Korbannya terdiri dari orang dewasa 1.570 orang dan 485 anak-anak.
Trafficking di Indonesia termasuk dalam kategori kejahatan terorganisir, dimana
memiliki jaringan yang rapih dari kota besar sampai daerah terpencil dengan tersistematis
(Budiardjo, 2016:261). Kebanyakan korban trafficking yang adalah perempuan dan anak
(dibawah 18 tahun) karena mereka dari segi budaya Indonesia yang patriarki tergolong
51
kedalam kelompok yang rentan dan termajinalkan. Dari sisi pekerjaan, perempuan lebih
memiliki peluang untuk dipekerjakan dalam berbagai sektor, sedangkan pria hanya
dibutuhkan dalam sektor pekerjaan yang membutuhkan tenaga fisik yang lebih besar.
Dalam Laporan Perdagangan Manusia di Indonesia (2003) adanya kenaikan permintaan
perempuan dan anak dalam bidang prostitusi.
Gambar 5.2 Trafficking
Berdasarkan Usia
Gambar 5.1 Trafficking
Berdasarkan Jenis Kelamin
13%
Laki-laki
Perempu 30%
an
70%
87%
Laki-laki
Perempuan
Dewasa
Anak-anak
Sumber: IOM Indonesia (2005-2015)
Tabel 5.2 Informasi Umum Mengenai Korban Trafficking Jumlah Korban
Berdasarkan Jenis Kelamin/Usia
Jenis Kelamin
Berdasarkan Umum
Total
Anak-Anak
Dewasa
Perempuan
741
2636
3377
Laki-laki
148
210
358
Total
889
2846
3735
Sumber: IOM Maret 2005-2010
Jumlah korban trafficking pada anak saja bervariasi disetiap tahunnya. Dari data
Bareskrim Polri, dari tahun 2011-2013, terdapat peningkatan dan penurunan. Tahun
52
2011, korban trafficking pada anak sebanyak 87 kasus. Tahun 2012 naik menjadi 72
kasus. Tahun 2013 mengalami penurunan dengan 40 kasus yang ditangani.
Korban trafficking Indonesia biasanya dipekerjakan sebagai pekerja domestik,
dengan tidak mendapatkan hak-hak mereka atau tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan
oleh pelaku. Beberapa tindakan yang didapatkan oleh para korban dalam keadaan
trafficking, mulai dari kekerasan fisik serta psikis. Berbagai kasus trafficking yang terjadi
di dalam negeri (Indonesia) kebanyakan para korban dipekerjakan secara paksa di bidang
prostitusi. Sedangkan untuk kasus trafficking yang dikirimkan keluar negeri (luar
Indonesia) selain bidang prostitusi, pekerja paksa dalam sektor informal seperti pekerja
rumah tangga atau buruh migran yang tidak memiliki keterampilan yang spesifik juga
terjadi.
Jika dilihat dari laporan IOM Indonesia (2015) terkait korban trafficking
berdasarkan tingkat pendidikan, kebanyakan korban yang masuk dalam kondisi
trafficking adalah mereka yang berpendidikan sampai pada tingkat Sekolah Dasar (SD)
yang mencapai 31%, drop out SD dengan 18%, dan Sekolah Menengah Pertama (SMP)
dengan 19%. Untuk tingkat perguruan tinggi atau drop out perguruan tinggi, angka
presentasenya sekitar 1%. Hal ini secara tidak langsung menggambarkan bahwa tingkat
pendidikan mempengaruhi potensi seseorang menjadi korban trafficking. Semakin
rendah tingkat pendidikan seseorang, maka semakin besar potensinya untuk direkrut oleh
pelaku trafficking.
53
Gambar 5.3 Trafficking Berdasarkan Tingkat Pendidikan
35%
30%
25%
20%
15%
10%
5%
0%
Tidak
sekolah
SD
Drop out
SD
SMP
Drop out
SMP
SMA
Drop out Perguruan
SMA
Tinggi
atau Drop
out
Perguruan
Tinggi
Sumber: IOM Indonesia (2005-2015)
Selain dari daerah yang memiliki permasalahan ekonomi dan pendidikan yang
kurang, terdapat juga faktor geografis yang mudah mempengaruhi terjadinya trafficking,
dalam maupun luar negeri, seperti daerah-daerah yang dekat dengan perbatasan.
Diketahui bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang banyak lebih banyak
memiliki batas laut dibandingkan darat yang sulit untuk diawasi. Selain faktor umum,
terdapat faktor lain yang mempengaruhi perkembangan trafficking di Indonesia
(Rosenberg, 2003), mulai dari bertumbuhnya kelompok kriminal transnasional, kurang
kewaspadaan saat mencari atau ditawari pekerjaan, serta kurangnya penegakan hukum
dalam mengatasi permasalahan trafficking. Terdapat kasus diantaranya tidak ditindak
lanjuti dalam proses hukum karena adanya korupsi (menerima suap) yang dilakukan
aparat terkait. Menurut perpindahan trafficking Indonesia (IOM, 2015), sebanyak 74%
perpindahan korban menggunakan lebih dari 1 jasa transportasi. Hal ini dilakukan karena
tempat tujuan yang sering berubah-ubah atau medan perjalanan yang ditempuh untuk
54
mencapai tempat tujuan sangatlah sulit. Disamping itu hal tersebut dilakukan untuk
mencegah aparat berwenang mengagalkan operasi mereka.
Gambar 5.4
Peta Indonesia
Sumber: World Atlas
55
Gambar 5.5 Trafficking Berdasarkan Jenis Transportasi
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Laut
Udara
Darat
Lebih dari
satu
Sumber: IOM Indonesia (2005-2015)
Walaupun kriminalisasi trafficking ini dapat terkait dengan siapa saja, orang
memang seringkali mengidentikan korbannya dengan perdagangan perempuan dan anak.
Trafficking atau perdagangan manusia sejatinya adalah kegiatan ilegal kejahatan
terorganisasi yang melanggar HAM, seperti hak untuk hidup bebas, merasa aman, bebas
dari penyiksaan, kekejaman, dan perlakuan tidak manusiawi lainnya.
5.1.1 Sulawesi Utara dan Trafficking
Pada awalnya, trafficking yang terjadi di Sulawesi Utara adalah
dampak dari salah satu bentuk ketimpangan gender, dimana perempuan
dalam fungsi, status dan peran dalam pembangunan, serta dalam
pengambilan keputusan masih belum setara dengan pria, sehingga belum
mendapatkan perhatian dari pemerintah (Lapian, 2006). Perempuan
memang masih menjadi objek eksploitasi dimana dipengaruhi oleh budaya
56
yang mengesampingkan perempuan dalam bermasyarakat. Trafficking
juga terjadi akibat gaya hidup masyarakat Sulawesi Utara yang sangat
konsumtif. Terbukti dengan slogan yang berkembang dalam masyarakat
Sulawesi Utara ‘lebe bae kalah nasi daripada kalah aksi’ (lebih baik kalah
nasi daripada kalah aksi) yang memiliki arti dimana gaya atau penampilan
fisik lebih penting (Aswiyanti et.al, 2013:98). Total pengeluaran terhadap
makanan di Sulawesi Utara menurut Badan Pusat Statistik Sulawesi Utara
(lampiran 2 Tabel 5.3) sebesar 50.44%, dan total pengeluaran terhadap
non-makanan sebesar 49.56%. Terkadang gaya hidup yang konsumtif ini
tidak diimbangi dengan keadaan ekonomi mereka yang sebenarnya,
sehingga orang yang konsumtif cenderung menjadi sasaran empuk bagi
pelaku trafficking untuk menjaring calon korbannya seperti menawarkan
pekerjaan dengan gaji yang besar.
Dalam Kajian Sejarah Trafficking Perempuan dan Anak di Kota
Manado dan Kabupaten Minahasa, perempuan daerah Sulawesi Utara
yang dikenal dengan sebutan ‘cewek Manado’ pada umumnya putih,
cantik, dan modis, yang tinggal di lingkungan yang terbuka (welcome),
dapat dengan mudah bagi para pelaku trafficking untuk merayu,
memberikan janji palsu kepada calon korbannya. Adanya pergeseran gaya
hidup yang dengan mudah diadopsi oleh kalangan muda yang lebih
konsumtif, modern, dan semacamnya memperparah keadaan. Dalam
jurnal oleh Siti Nurbayani K yang berjudul Penyebab Terjadinya Human
Trafficking di Jawa Barat, pergaulan dan gaya hidup menjadi salah satu
dari beberapa faktor terjadinya trafficking, seperti menerima ajakan dari
teman yang baru dikenalnya di sosial media dan atau gaya hidup yang
terlalu tinggi seperti membawa handphone (smartphone) lebih dari satu
(1). Cewek Manado pun dikenal dalam bidang prostitusi memiliki nilai
jual yang tinggi (Aswiyanti et.al, 2013).
57
Hukum mengenai hak wanita, yang berlaku di daerah Sulawesi
Utara memang telah ada namun pelaksanaannya masih belum maksimal
serta masih bersifat umum. Belum adanya pembicaraan mengenai
permasalahan-permasalahan lain yang terkait seperti trafficking, sehingga
belum cukup untuk memperbaiki ketimpangan gender dalam masyarakat.
Permasalahan yang menimpa wanita, terkhususnya dalam trafficking
masih kurang untuk diperjuangkan karena landasan hukum dalam bentuk
perda belum ada, sehingga rancangan-rancangan terkait perlindungan dan
pencegahan kekerasan terhadap wanita yang dibuat oleh Biro
Pemberdayaan Perempuan Pemerintah Daerah Sulawesi Utara terhambat.
Namun, dengan dukungan atas keseriusan dan keaktifan beberapa dosen
hukum Universitas Sam Ratulangi dan beberapa orang terkait dalam
rancangan perda, sampai memberikan hasil Perda No. 1 tahun 2004
mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Manusia terutama Perempuan dan Anak (Lapian, 2006).
Manado
dan
Bitung,
Sulawesi
Utara
menjadi
tempat
keberangkatan dan singgah (transit untuk keberangkatan atau perjalanan
selanjutnya) bagi korban trafficking. Dari kasus-kasus yang ada, banyak
korban trafficking yang digagalkan dari Tim Kepolisian Sulawesi Utara
yang sengaja dibentuk untuk menanggulangi permasalahan yang ada
seperti trafficking di kota ini. Kebanyakan pelaku dan korban digagalkan
di kawasan Bandar Udara Sam Ratulangi, pelabuhan Manado, dan
pelabuhan Bitung. Banyak korbannya berasal dari daerah Minahasa dan
Manado. Untuk permasalahan ekonomi sendiri, presentase kemiskinan di
daerah di Sulawesi Utara (lampiran 3 Tabel 5.4) lebih banyak berasal dari
Minahasa Tenggara dan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan dengan
15.76% dan 15% pada tahun 2015. Korban trafficking yang berasal dari
Sulawesi Utara menurut data diatas lebih banyak ditujukan ke daerahdaerah di kota besar dalam negeri. Namun hal ini tidak menutup
58
kemungkinan korban akan dipindahkan kembali ke tempat lain di dalam
maupun luar negeri.
Tabel 5.5 Angka Partisipasi Murni Sulawesi Utara (Pendidikan)
Tahun/Year
SD/MI
SMP/Mts
SM/MA
1
2
3
4
2010**
92.25
67.07
50.7
2011**
85.88
60.94
50.15
2012
87.78
62.39
51.15
2013
91.61
64.55
57.26
2014
93,42
72,32
61,69
** Mulai tahun 2010 dan tahun-tahun berikutnya APM mencakup pendidikan non formal (paket A setara
SD/MI, paket B setara SMP/MTs dan paket C setara SM/SMK/MA)
Sumber: BPS Sulawesi Utara
Dari Tabel 5.5 menunjukan bahwa partisipasi di bidang
pendidikan terbesar pada tingkatan pertama (SD/sederajat). Partisipasi
untuk melanjutkan pendidikan ke tingkatan selanjutnya menurun lebih
dari 10% dan konsisten di setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa
sumber daya manusia di Sulawesi Utara berdasarkan partisipasi
pendidikan kebanyakan yang menempuh pendidikan SD/sederajat
dibandingkan dengan tingkatan yang lebih tinggi. Ini juga disebabkan oleh
beberapa faktor terkait seperti ekonomi.
59
Tabel 5.6 Korban TPPO yang Digagalkan
Tahun
2010
2011
2012
Jumlah
Daerah Tujuan
Daerah Asal
4 orang
Batam
Tondano
4 orang
Jakarta
Manado, Minahasa
4 orang
Jakarta
Tondano
2 orang
Tobelo
Tondano
1 orang
Manado
Manado
3 orang
Makasar-NTT
AirmadidiMinahasa Utara
2013
2 orang
Gorontalo
Manado
4 orang
Ternate
Tomohon
Sumber: UPPA Polda Sulut
60
Tabel 5.7 Korban TPPO yang Dipulangkan (Evakuasi)
Tahun
Jumlah
Daerah Tujuan
Daerah Asal
2010
20 orang
Jayapura
Manado,
Bitung
1 orang
Sorong
Minahasa
Utara,
Tondano,
Bolaang
1 orang
Merauke
Mongondouw
2011
5 orang
Palembang
Manado
2012
1 orang
Sorong
Manado
3 orang
Jayapura
Manado
2 orang
Batam
Tombatu-Minahasa
Selatan
2013
2014
Tondano
4 orang
Manokwari
3 orang
Jayapura
1 orang
Nabire
Manado
1 orang
Maumere (NTT)
Manado
4 orang
Lubang
Airmadidi
3 orang
Papua
Kawangkoan
1 orang
Balikpapan
Manado
Sumber: UPPA Polda Sulawesi Utara
61
-
Tabel 5.8 Data Kasus TPPO yang ditangani Polda Sulawesi Utara (2007-2016)
Tahun
Jumlah Kasus
Jumlah Korban Jumlah Korban Jumlah Pelaku
Dewasa
Anak
2007
10
9
17
24
2008
17
24
14
30
2009
16
11
19
17
2010
24
27
30
23
2011
17
(belum ada data) (belum ada data) 17
2012
13
2
11
5
2013
13
2
9
-8(?)
2014
5
(belum ada data) (belum ada data) (belum ada data)
2015
7
(belum ada data) (belum ada data) (belum ada data)
2016
8
(belum ada data) (belum ada data) (belum ada data)
Sumber: Polda Sulawesi Uatara
Terdapat kasus dimana adanya dugaan oknum polisi Sulawesi
Utara yang ikut serta dalam kejahatan trafficking. Hal ini dikabarkan dari
tertangkapnya di Bandar Udara Sam Ratulangi dengan pelaku yang salah
satunya adalah oknum polisi beserta 5 (lima) korban yang akan
diperdagangkan untuk menjadi wanita penghibur di salah satu kafe. Wakil
rakyat mendesak Polda Sulawesi Utara untuk menelurusi adanya dugaan
oknum polisi yang membantu kejahatan trafficking ini. Kementrian PPPA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) meminta kepada
62
Polda Sulut untuk menuntaskan terkait kasus oknum polisi ini, dan
meminta kepada Pemerintah Provinsi melalui Badan Pemberdayaan
Perempuan dan Anak (BPP-PA) untuk mengawal kasus tersebut.
Dalam mengatasi permasalahan trafficking, tertama pada
perempuan dan anak, Kepala BPP-PA menyebutkan bahwa mereka telah
bekerjasama dengan 18 Provinsi (membuat MoU) untuk memberantas
kejahatan trafficking beberapa diantaranya Kalimantan Utara, Papua,
Gorontalo, dan Sulawesi Selatan, yang merupakan tempat paling sering
dituju oleh pelaku trafficking dari Sulawesi Utara.
Dari penjabaran diatas, nasional maupun daerah, dapat disimpulkan bahwa
trafficking terjadi berdasarkan beberapa faktor yang saling berkaitan, seperti Vicious
Cycle (lingkaran setan). Vicious Cycle (Nurkes) menggambarkan relasi berputar dalam
suatu permasalahan dalam sisi permasalahan dasar seperti permintaan dan penawaran
dengan berbagai latar belakang. Konsep ini sering digunakan dalam permasalahan
kesejahteraan. Dengan kata lain, merupakan merupakan sebuah situasi yang tidak
menyenangkan, yang dibuat dari satu masalah yang menimbulkan permasalahan lainnya
yang pada akhirnya membuat kondisi masalah pertama menjadi lebih buruk. Vicious
cycle ini seperti rantai yang saling mengikat satu dengan yang lain, yang akan terlepas
jika salah satu rantai dihilangkan. Korban trafficking kebanyakan dari mereka yang
memiliki latar belakang kemiskinan (ekonomi), kurang mendapat pendidikan, serta gaya
hidup (sosial).
Latar belakang kemiskinan yang sering dicari pelaku trafficking, dimana masih
tingginya angka kemiskinan di Indonesia, Provinsi maupun Daerah Kabupaten/Kota,
dimana banyaknya penduduk dengan tingkat pengangguran yang tinggi akibat dari tidak
banyaknya lapangan pekerjaan yang ada, ditambah lagi dengan kebutuhan hidup yang
tinggi menyebabkan seseorang rentan menjadi korban trafficking. Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) untuk luar negeri seakan menjadi solusi bagi mereka untuk membiayai
63
hidup diri sendiri maupun keluarga. Karenanya sering modus operandi yang digunakan
oleh pelaku trafficking yang menyamar sebagai penyalur TKI. Migrant Care
menyebutkan bahwa kurang-lebih 450.000 orang Indonesia diberangkatkan sebagai TKI
yang 70% diantaranya adalah perempuan, kemudian 46% terindikasi korban trafficking.
Pengiriman TKI yang paling sering dilakukan oleh Indonesia di kawasan Asia Pasifik
paling banyak ke Singapura, Malaysia, dan Brunei Darrussalam (lihat lampiran 4, Tabel
5.9). Kemudian adanya indikasi dimana kurang diberdayakannya TKI yang telah
menyelesaikan tugas di luar negeri, sehingga ketika kembali ke Indonesia dengan tidak
memiliki pekerjaan dan penghasilan, maka mereka cenderung untuk kembali bekerja di
luar negeri. Untuk memenuhi kebutuhannya ini, maka tidak jarang dari mereka memilih
untuk melakukan pekerjaan apa pun bentuknya tanpa melihat dampak atau konsekuensi
yang akan didapatkan nantinya. Dari segi pendidikan, semakin tingginya harga yang
dikeluarkan untuk mendapatkan akses pendidikan formal, dimana mempersulit
masyarakat yang dibawah garis kemiskinan. Terlepas dari adanya beasiswa atau bantuan
yang diberikan oleh pemerintah maupun swata kepada mereka yang tidak mampu, namun
tetap meninggalkan tingginya anak yang tidak bersekolah atau tidak menuntaskan
pedidikan ke tingkatan selanjutnya. Kurangnya pendidikan formal, dengan tidak memiliki
keahlian khusus, akan membuatnya susah untuk mendapatkan pekerjaan. Juga kurangnya
pengetahuan dasar menjadikan seseorang mudah untuk ditipu oleh pelaku trafficking.
Dalam segi sosial, selain karena budaya Indonesia yang kebanyakan menganut partiarki,
dimana perempuan terkesan menjadi objek dalam kehidupan bermasyarakat, serta gaya
hidup yang konsumtif juga menjadi salah satu pendorong terjadinya trafficking.
Konsumsi seseorang yang semakin tinggi akibat dari perkembangan teknologi dan
globalisasi, yang tidak diimbangi dengan ekonomi yang kuat, juga dapat dengan mudah
masuk kedalam situasi trafficking.
64
Gambar 5.6 Vicious Cycle of Trafficking
Ekonomi
Trafficking
Sosial (gaya
hidup)
Pendidikan
Sumber: dari data yang ada, olah sendiri
5.2 Lingkungan Kebijakan Indonesia dalam Mengatasi Permasalahan Trafficking
Permasalahan trafficking merupakan permasalahan yang populer dikalangan
masyarakat saat ini, seperti fenomena gunung es dimana kasus-kasus berhasil diproses
atau ditangani secara hukum masih sedikit dibandingkan dengan fakta yang terjadi
dilapangan (Budiardjo, 2016). Terdapat dua hal utama yaitu ekonomi dan pendidikan,
dimana terjadi kemiskinan, pengangguran, banyaknya pekerja di bawah umur, serta
migrasi juga keadaan sosial-kultural yang mempengaruhi permasalahan trafficking di
Indonesia. ASEAN Responses on Trafficking in Persons (2006) menjelaskan bahwa aksi
nasional Indonesia terhadap penghapusan trafficking, korban atau objek trafficking masih
terfokus kepada perempuan dan anak.
Mengingat bahwa kejahatan trafficking merupakan tindak kekerasan yang
melanggar hak asasi manusia dan melanggar martabat manusia, maka dibentuklah Gugus
65
Tugas implementasi Rancangan Aksi Nasional (RAN) no. 88 tahun 2002 yang terdiri dari
Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak, Kementerian Koordinasi
Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
Direktorat Jendral Imigrasi, dan Kementerian Luar Negeri diberikan mandat untuk
menyusun peraturan dalam perundang-undangan mengenai penghapusan trafficking di
Indonesia.
5.2.1 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana
Perdagangan Orang
Dasar hukum nasional Indonesia terkait dengan tindak pidana
trafficking dibuat dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Undang-Undang ini
juga disebut sebagai salah satu komitmen Indonesia dalam Protokol
Palermo tentang Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in
Persons pada tahun 2000 yang telah disepakati. Namun, dokumen ratifikasi
perjanjian Protokol Palermo baru diserahkan oleh Indonesia pada tahun
2009 dalam Undang-Undang No. 14 tahun 2009 tentang Pengesahan
Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons,
Especially Women and Children, Supplementing The United Nation
Convention Against Transnational Organized Crime. Gugus Tugas Tindak
Pidana Perdagangan Orang (TPPO) juga dibuat agar dapat bersinergis
dalam mengatasi permasalahan trafficking, termasuk perlindungan dan
pemulihan korban.
Ada juga perjanjian bilateral yang dilakukan oleh Indonesia dalam
memerangi kejahatan transnasional, yang juga membahas mengenai
kerjasama dalam mengatasi permasalahan trafficking. Indonesia-Singapura
66
tahun 2007 tentang Perjanjian Ekstradiksi Buronan, dimana dalam Pasal 2
(1):
“… tindak pidana yang termasuk dalam daftar tindak pidana
berikut ini …” (a)(ix) “pembelian, atau perdagangan wanita atau anakanak”.
Indonesia-Vietnam pada tahun 2005 mengadakan kerja sama dalam
pencegahan dan memerangi kejahatan kriminal (Coorporation in
Preventing and Combating Crimes) . Dengan Malaysia, Indonesia juga
memiliki nota kesepahaman tentang tenaga kerja migran, dimana Indonesia
banyak mengirimkan tenaga kerja migran, terlebih tenaga kerja dalam
bidang domestik seperti pembantu rumah tangga. Namun, kesepakatan
tersebut belum membahas mengenai perlindungan terhadap tenaga kerja
migran, padahal mereka tergolong rentan menjadi bagian dalam
permasalahan trafficking. Pada tahun 2004, Malaysia sepakat untuk
berunding kembali dengan Indonesia terkait dengan nota kesepahaman
tersebut,
tentang
perlindungan
terhadap
tenaga
kerja
migran
(Rismawanharsih, 2012). Perjanjian ekstradiksi juga dilakukan oleh
Indonesia-Thailand.
Dengan peningkatan komitmen dalam berbagai bidang oleh
pemerintah Indonesia dalam penanganan dan pencegahan kejahatan
trafficking, membuat Indonesia memiliki kemajuan dalam standar
minimum pencegahan dan penanganan terhadap kejahatan trafficking yang
sesuai dengan ketentuan internasional. Dengan hal itu dibuatlah berbagai
peraturan seperti adanya Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak
Pidana Perdagangan Orang dengan harapan: (1) mengkoordinasikan upaya
pencegahan dan penanganan perdagangan orang; (2) melakukan advokasi,
sosialisai, pelatihan dan kerjasama; (3) memantau perkembangan
pelaksanaan perlindungan korban yang meliputi rehabilitasi kesehatan,
67
rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi sosial; (4) memantau
perkembangan pelaksanaan penegakan hukum; (5) melakukan pelaporan
dan evaluasi. Gugus tugas ini dibentuk di 20 provinsi dan 72
Kabupaten/Kota. Instansi-instansi pemerintahan dan swasta yang ikut serta
dalam penanggulangan dan pencegahan kejahatan trafficking, kemudian
dengan upaya lokal, nasional, dan internasional dala berbagai bentuk
kerjasama terkait.
Sanksi yang diterima oleh pelaku trafficking dalam UndangUndang ini paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun pidana dan dengan denda paling sedikit Rp 120.000.000,- (seratus
dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,- (enam ratus juta
rupiah). Sanksi ini dapat berlipat ganda atau bertambah minimal-maksimal
waktu penahanan dan denda sesuai dengan kategori pelanggaran yang
dilakukan pelaku, seperti pelaku yang merupakan aparat pemerintahan,
atau korban yang menderita luka berat.
Perlindungan terhadap saksi dan korban juga diatur dalam UndangUndang ini, dimana dalam Bab V Pasal 43-55, korban dan saksi berhak
memperoleh berbagai perlindungan, kerahasiaan identitas korban dan
saksi, ganti rugi, serta fasilitas-fasilitas rehabilitasi untuk pemulihan fisik
maupun mental korban trafficking serta dapat kembali bersosial,
pembiayaan pemulangan korban jika kasus terjadi di luar negeri.
68
5.2.2 Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Utara No 1 Tahun 2004 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Manusia (Trafficking )
Terutama Perempuan dan Anak.
Beberapa pertimbangan bagi pemerintah Provinsi Sulawesi Utara
dalam mengesahkan peraturan daerah tentang pencegahan dan
pemberantasan trafficking terutama perempuan dan anak, dimana bahwa
trafficking menjadikan perempuan dan anak menjadi objek yang
diperdagangkan dan dieksploitasi yang membawa penderitaan dan
merendahkan martabat manusia. Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara
berupaya untuk melindungi warganya, terlebih khusus perempuan dan
anak dari tindakan trafficking yang dilakukan dalam maupun luar negeri.
Dengan pertimbangan-pertimbangan juga mengenai undang-undang
terkait serta perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh
Pemerintah Indonesia sendiri, maka terbentuklah sebuah Peraturan Daerah
Provinsi Sulawesi Utara No. 1 tahun 2004 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perdagangan Manusia (Trafficking) terutama Perempuan
dan Anak yang ditetapkan di Manado, 6 Januari 2004.
Permasalahan trafficking yang terjadi di Sulawesi Utara
merupakan bentuk dari ketidaksetaraan gender di Sulawesi Utara dimana
adanya perbedaan peran dan fungsi perempuan dalam masyarakat di
beberapa tempat di daerah Sulawesi Utara. Kekerasan terhadap
perempuan di Sulawesi Utara terkhususnya dalam kasus trafficking sangat
banyak terjadi. Maka dari itu beberapa kalangan akademisi Fakultas
Hukum, Universitas Sam Ratulangi bersama dengan Biro Pemberdayaan
dan Perlindungan Perempuan dan Anak serta Kejaksaan Tinggi Sulawesi
Utara turut aktif dalam pembuatan Peraturan Daerah (Perda) mengenai
permasalahan trafficking yang terjadi. Setelah melakukan pertemuan dan
diskusi kelompok dengan beberapa tokoh masyarakat, dirumuskanlah
69
rancangan aksi penghapusan trafficking terhadap perempuan dan anak
Sulawesi Utara dalam bentuk Peraturan Daerah.
Peraturan Daerah Sulawesi Utara tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perdagangan Manusia (Trafficking) merupakan Peraturan
Daerah pertama yang dikeluarkan di Indonesia terkait dengan
penghapusan praktek trafficking yang meresahkan. Trafficking yang
dimaksudkan dalam Pasal 1 poin a Perda Provinsi Sulawesi Utara tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Manusia (Trafficking)
terutama Perempuan dan Anak:
“Trafficking adalah rangkaian kegiatan dengan
maksud eksploitasi terhadap perempuan dan atau anak
yang meliputi kegiatan Perdagangan manusia (trafficking)
khususnya perempuan dan anak adalah segala tindakan
pelaku trafficking, yang mengandung salah satu atau lebih
tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan
antar negara, pemindahtanganan, pemberangkatan,
penerimaan dan penampungan sementara atau ditempat
tujuan, perempuan dan anak dengan cara ancaman,
penggunaan kekerasan verbal dan fisik, penculikan,
penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan ketenaran
(misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain,
terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang, dan lainlain), memberikan atau menerima pembayaran atau
keuntungan, dimana peremuan dan anak digunakan untuk
tujuan pelacuuran dan eksploitasi seksual (termasuk
phaedopili), buruh migran legal maupun illegal, adopsi
anak, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga,
mengemis, industri pornografi, pengedaran obat-obatan
terlarang dan penjualan organ tubuh, serta bentuk-bentuk
eksploitasi lainnya.”
Selanjutnya dalam poin c,
“Anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18
(delapan belas) tahun, …”.
70
Jadi, yang termasuk dalam tindak trafficking dalam Peraturan Daerah ini
adalah manusia terutama perempuan dan anak yang diperjual-belikan
dalam maupun luar negeri, serta korban dieksploitasi baik dalam bentuk
eksploitasi seksual ataupun eksploitasi dalam pekerjaan.
Dalam Pasal 2 menyebutkan bahwa:
“Tujuan dari Peraturan Daerah ini adalah untuk
mencegah dan memberantas bentuk-bentuk trafficking
baik untuk pekerjaan tertentu maupu untuk kegiatan seks
komersial, menyelamatkan dan merehabilitasi korban
trafficking, serta memberikan keadilan dan hukuman yang
efektif terhadap perilaku maupun pihak-pihak yang
mendukung trafficking.”
Peraturan Daerah ini juga berisikan mengenai partisipasi
masyarakat dalam pencegahan trafficking (dalam Pasal 13 dan 14), serta
perlidungan terhadap korban dimana memberikan fasilitas seperti
pemulihan kesehatan fisik dan mental korban (dalam Pasal 15). Untuk
sanksi pelaku, peraturan ini menyebutkan sanksi sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku. Perlindungan terhadap korban dan
sanksi dalam Pasal 23:
“Korban/sanksi kasus trafficking berhak mendapatkan
perlindungan kerahasiaan diri, identitas dan keluarganya,
tempat tinggal dan tempat kerja dari suatu publikasi untuk
tidak disebarkan pada khalayak umum termasuk dari
petugas berwenang, pers, maupun terdakwa”
Namun, Peraturan Daerah ini memiliki celah hukum dimana
pembahasan dalam peraturan ini sangat terspesifik kepada perempuan dan
anak. Hal ini dapat terlihat dari bahasa yang digunakan dalamnya
kebanyakan ‘traffciking yang terjadi pada perempuan dan anak’
71
5.3 Kepentingan Indonesia dalam ASEAN Convention Against Trafficking in Persons
Expecially Woman and Children (ACTIP)
Dalam hubungan internasional kontemporer, prinsip kedaulatan negara telah
berubah dari kedaulatan yang mengontrol menjadi kedaulatan yang bertanggungjawab.
Dalam prinsip tersebut memiliki tiga arti yaitu negara bertanggungjawab terhadap fungsifungsi untuk perlindungan keamanan dan kehidupan warga negaranya serta memajukan
kesejahteraan, bertanggungjawab terhadap warga negaranya, dan aparatur negara
bertanggungjawab atas segala tindakannya (Sefrani, 2015: 23). Atas dasar tanggungjawab
tersebut, juga berkaitan dengan kepentingan nasional, maka negara akan melakukan yang
terbaik untuk mejaga keamanan warga dan negaranya dalam permasalahan yang
dihadapi.
Hukum bukanlah sesuaitu yang netral, melainkan memiliki keberpihakan kepada
para pembuat hukum yang memiliki kekuasaan lebih atas hal tersebut. Hukum
internasional dibutuhkan untuk menciptakan masyarakat yang damai, adil, dan tertib
dalam masyarakat internasional. Hukum internasional berfungsi sebagai instrument
politik yang didasarkan atas kepentingan dalam hubungan antarnegara (Sefrani, 2015).
Kepentingan Indonesia dalam hal ini berkaitan dengan keamanan, masyarakat maupun
negrara.
Indonesia merupakan tempat dimana trafficking banyak terjadi kepada perempuan
dan anak-anak. Seiring dengan berjalannya waktu, Indonesia tidak hanya menjadi tempat
penyedia trafficking, tapi juga menjadi tempat transit dan tujuan trafficking. Trafficking
yang terjadi dari Indonesia ke luar negeri biasanya tersebar di kawasan Asia tenggara,
Timur Asia, Timur Tengah, Australia, Amerika Selatan, dan Eropa (Rosenberg. 2003).
Menurut data dari IOM Indonesia periode tahun 2005-2015, di Indonesia, menurut jenis
perpindahannya lebih banyak data dari kasus trafficking ke luar negeri.
72
Gambar 5.7 Trafficking Berdasarkan Jenis
Perpindahan
Dalam Negeri
Indonesia
16%
Dalam Negeri Indonesia
Lintas Negara
Lintas Negara
84%
Sumber: IOM Indonesia (2005-2015)
Letak geografis Indonesia yang strategis membuat negara ini rentan terhadap
berbagai bentuk kejahatan transnasional, seperti trafficking. Karenanya dalam mengatasi
permasalahan-permasalahan kejahatan transnasional, maka instansi terkait seperti
Kementerian
Luar
Negeri
melakukan
berbagai
kerjasama
bilateral
maupun
regional/internasional untuk melindungi kepentingan dan kedaulatan Indoneisa
(Kementerian Luar Negeri, 2016). Indonesia saat ini telah aktif dalam berbagai kerjasama
mengatasi permasalahan kejahatan transnasional seperti drugs trafficking, trafficking in
persons, terrorisme, dan kejahatan lingkungan hidup. Kejahatan trafficking merupakan
kejahatan yang tidak dapat dibiarkan karena menyebabkan banyaknya korban dan
kerugian dalam berbagai hal, terutama perempuan dan anak.
Permasalahan trafficking menjadi salah satu isu strategis yang dibahas oleh
Indonesia dalam kerjasama Pilar Politik-Keamanan ASEAN. Dengan diangkatnya
permasalahan trafficking, maka akan memberikan perlindungan yang efektif bagi para
korban trafficking serta solusi untuk memerangi permasalahan trafficking yang ada di
73
ASEAN. Kaitannya dalam mengatasi permasalahan trafficking, yang merupakan
permasalahan transnasional yang tidak bisa diselesaikan sendiri oleh negara
bersangkutan, Indonesia berpegang pada prinsip burden sharing dimana negara-negara
bekerjasama untuk mencari solusi dalam permasalahan kejahatan ini serta menghindari
pengalihan beban kepada negara lain. Prinsip yang kedua adalah prinsip shared
responsibility dimana adanya tanggung jawab bersama negara yang terlibat (asal, transit,
dan tujuan) dalam mengatasi permasalahan ini (Kemlu, 2016). Kepentingan Indonesia
disini terlihat dalam mencapai keamanan secara nasional dan regional dengan
perlindungan terhadap masyarakat, terkhususnya bagi korban dan saksi trafficking dan
yang rentan untuk masuk kedalam situasi trafficking dengan sifat instrument yang legally
binding. Pengesahan konvensi ini juga merupakan salah satu komitmen Indonesia dalam
melaksanakan ketertiban dunia, yang dikandung dalam Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Kepentingan Indonesia dalam berbagai hubungan luar negeri seperti yang telah
disampaikan diawal yaitu berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
dengan melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Kepentingan Indonesia dalam ASEAN sendiri selain untuk mencapai kepentingan
nasional Indonesia, terlebih kepentingan masyarakat Indonesia, juga untuk meningkatkan
bargaining power yang dimiliki Indonesia dalam berbagai forum internasional.
Di sisi lain, Indonesia tergolong kedalam penyumbang tenaga kerja migran, yang
secara legal maupun ilegal kurang lebih berjumlah 700.000 pekerja untuk bekerja yang
kebanyakan di Malaysia dan Timur Tengah (IOM Indonesia, 2006). Dengan kebanyakan
pekerja migran yang bekerja di luar Indonesia berada pada sektor informal, dimana
mereka tidak memerlukan keahlian khusus dalam pekerjaan (unskilled workers), serta
kebanyakan dari mereka adalah tenaga kerja perempuan yang bekerja sebagai pembantu
rumah tangga atau pengasuh yang sangat rentan mendapatkan perlakuan tidak manusiawi
dan rentan untuk menjadi korban trafficking. Terdapat kurang lebih 65 ribu orang tenaga
kerja professional warga negara Indonesia di ASEAN (Kemlu, 2014). Sedangkan untuk
74
posisi Indonesia di ASEAN sendiri, Indonesia menyumbang 40% populasi di ASEAN
dan 38% untuk ekonomi ASEAN (IMF, 2014). Dilihat dari data yang ada, banyak pekerja
Indonesia yang bekerja di ASEAN, dan data ini akan naik jika digabungkan dengan data
tenaga kerja yang tidak memiliki dokumen (undocumented workers). Kebanyakan
diantara kekerasan kepada pekerja migran yang terjadi, terlebih kepada pekerja migran
ilegal merupakan salah satu indikasi akan adanya campur tangan dari agensi penyedia
tenaga kerja, dimana mereka yang mengetahui proses dari awal pengurusan terhadap
calon tenaga kerja Indonesia. Korupsi dan kurang trasparansi merupakan unsur
pendukung terjadinya trafficking.
Indonesia secara aktif terlibat dalam beberapa forum ASEAN terkait dengan
perbincangan mengenai permasalahan keamanan seperti trafficking. Indonesia mendapat
dukungan dari Filipina, Kamboja, dan Brunei Darussalam menyampaikan untuk
memfokuskan pembuatan ASEAN Convention Against Trafficking in Persons (ACTIP)
dan instrumen hukum lainnya untuk menangani kejahatan transnasional sebagaimana
yang telah disepakati oleh para pemimpin ASEAN. Akhirnya Working Group
menyepakati usulan dari Indonesia untuk membentuk draft ACTIP dan RPoA.
Pembahasan rancangan ACTIP selesai pada pertemuan ke-9 Experts Working Group di
Manila tahun 2014. Pembahasan RPoA juga selesai di waktu yang sama dan akhirnya
mendapat kesepakatan mengenai ACTIP pada tahun 2015 dalam ASEAN Summit ke-27.
Indonesia baru-baru ini menyelenggarakan Jakarta Declaration Rountable Meeting on
Addressing the Root Causs of Irregula r Movement of Persons pada 27-28 November
2015 di Jakarta dengan bidang kerja sama dalam mengatasi permasalahan migrasi
ireguler seperti trafficking .
Indonesia aktif dalam forum-forum internasional dan regional seperti Converence
of State Parties dan Working Grup lainnya yang merupakan agenda dari United Nation
Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC) , Global Forum on
Migration and Development , ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime
(AMMTC), serta Bali Process on People Smuggling, Trafficking in Persons and Relater
75
Transnational Crimes (Bali Process) . Dalam Bali Process, Indonesia dan Australia
merupakan pendiri dan Co-chair .
Kepemimpinan Indonesia di ASEAN memberikan peran penting bagi Indonesia.
Banyak gagasan yang disetujui yang merupakan salah satu bentuk dari eksistensi
Indonesia dalam kerja sama regional ASEAN. Dalam pertemuan ASEAN Leaders’s Joint
Statement in Enchancing Cooperation against Trafficking in Persons in Southeast Asia
tahun 2011 di Jakarta, serta ditegaskan kembali dalam pertemuan Joint Statement of 8 th
AMMTC di Bali tahun 2011, para pemimpin ASEAN sepakat untuk membuat ASEAN
Convention Against Trafficking in Persons (ACTIP). Negara anggota ASEAN sadar
bahwa permasalahan trafficking hanya dapat diselesaikan dengan cara kerjasama, terlebih
dalam level regional.
Indonesia dalam ASEAN Regional Formum (ARF) berusaha untuk memasukkan
memerangi permasalahan trafficking menjadi prioritas kerja dalam ARF. ARF dianggap
sebagai wadah yang tepat untuk kewaspadaan regional akan trafficking (Majalah
ASEAN, 2015:13). Keseriusan Indonesia dalam mempercepat kesepakatan instrument
ACTIP dan dengan mengajuka Workplan on Trafficking in Persons di ARF dengan
menunjukkan kevokalan Indonesia terhadap permasalahan trafficking yang ada. Upaya
Indonesia dalam memasukan Workplan ini dimulai sejak ARF Inter-Sessional Meeting
on Counter-Terrorism and Transnational Crime ke 9 tahun 2011 dan ke 13 pada tahun
2012, serta kesediaan Indonesia menjadi lead countries TIP (trafficking) di ARF bersama
dengan Uni Eropa.
Dr. Dianna Wisnu dalam pertemuan konsultasi antara AICHR dan Senior
Officials’ Meeting on Trasnational Crime on Human Rights-based Approach to
Implementation of ACTIP and APA yang berlangsung di Jakarta, September 2016,
mengatakan bahwa untuk memerangi permasalahan trafficking, kerjasama lintas negara
dalam level regional maupun internasional sangat diperlukan. Lanjutnya dikatakan bahwa
perlu adanya langkah lebih lanjut perihal identifikasi dan gambaran korban berdasarkan
sudut pandang dari pelaku, juga untuk mengidentifikasikan respons bersama ASEAN
76
untuk melengkapi hak dan kebutuhan korban didalam berbagai bidang dalam memerangi
permasalahan trafficking. Dalam kesempatan yang sama, Brigjen M. Naufal Yahya
mengatakan bahwa untuk mempercepat dalam memerangi permasalahan trafficking,
Indonesia harus mengambil langkah bersama anggota ASEAN, mengenai pencegahan
dan perlindungan, bantuan, rehabilitasi dan langkah-langkah yang lainnya dengan kerja
sama regional, dengan pendekatan HAM.
Pada tahun 2015, Thailand, Kamboja dan Singapura memasukan dokumen ratifikasi
ACTIP ke Sekretariat ASEAN. Pada awal tahun 2017 ini, Vietnam dan Myanmar
memasukan dokumen ratifikasi terkait. Sampai sekarang ini tersisa Indonesia, Malaysia,
Brunei Darrussalam, Laos, dan Fillipina yang belum memasukan dokumen ratifikasi atas
perjanjian ACTIP ini. Namun, secra resmi dikemukakan oleh Direktur Kerjasama
ASEAN, Jose Tavares, bahwa Indonesia merencanakan akan ratifikasi perjanjian ACTIP,
melalui proses harmonisasi perjanjian kedalam hukum nasional Indonesia. ACTIP ini
akan mejadi instrument hukum yang legally binding (mengikat) kepada semua anggota
menyetujui, 30 hari setelah semua dokumen ratifikasi oleh anggota-anggota telah
diserahkan kepada Sekretariat ASEAN. Selanjutnya, sesudah semua anggota telah
meratifikasi, maka akan diimplementasikan ASEAN Plan of Action (APA) Against
Trafficking in Persons Especially Woman and Children dalam level regional dan
nasional.
Dalam buku Peran Hukum Internasional (2015: 15), dikatakan bahwa apabila
negara telah menerima aturan hukum sebagai suatu yang adil, maka dengan sendirinya
negara tesebut akan mematuhi aturan tersebut. Kemudian ada juga apabila negara selalu
menjustifikasi apa yang dilakukan negara mitra kerjasamanya berdasar kepada aturan
dalam perjanjian, maka dengan sendirinya negara secara sukarela mematuhi aturan
perjanjian tersebut. Oleh karena itu, ACTIP disepakati dan akan diratifikasi oleh negara
anggota ASEAN sebagai sebuah aturan yang adil dalam menangani permasalahan
trafficking di ASEAN, serta menjadi parameter peraturan penanganan dalam
permasalahan trafficking, sehingga negara-negara ASEAN akan tetap mematuhinya.
77
V.4 Roadmap Kebijakan ASEAN dan Indonesia dalam Mengatasi Permasalahan
Trafficking .
Roadmap adalah rincian rencana yang berisikan mengenai tahapan bersifat
sistematis mengenai pelaksanaan suatu yang memiliki tujuan misalnya menangani suatu
permasalahan1. Singkatnya roadmap dapat dikatakan sebagai sebuah instrument yang
menjadi acuan suatu hal.
Dalam mengatasi permasalahan hak asasi manusia, manusia harus dilihat sebagai
komunitas global, bukan hanya sekedar bagian dari suatu negara. Namun hal tersebut
tidak berarti bahwa kedaulatan suatu negara tidak dilihat atau dihilangkan. Negara harus
menyesuaikan hukum nasionalnya (ratifikasi) agar sejalan dengan aturan atau standar
nilai yang diakui dalam masyarakat internasional (Sefrani, 2015: 23). Untuk
menyesuaikan perjanjian internasional kedalam hukum nasional, maka harus melihat
lingkungan kebijakan nasional agar tidak melenceng dari kepentingan nasional yang ada.
Kebijakan memerangi permasalahan trafficking dilakukan oleh ASEAN dan
Indonesia, dimana saling membantu dalam penyelesaian permasalahan trafficking.
Indonesia yang juga adalah anggota ASEAN memiliki permasalahan yang sama dalam
hal trafficking, seperti dalam laporan kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, Negara
anggota ASEAN masuk dalam list Tier 2 (kategori rendah) dalam penanganan trafficking.
Disamping itu, semua Negara anggota ASEAN kecuali Brunai Darrussalam dan
Singapura sudah meratifikasi Protokol Palermo tentang Pencegahan dan Penanggulangan
Trafficking.
Protokol Palermo dan ASEAN Convention Against Trafficking in Persons
memiliki isi yang hampir sama, dengan isinya yang normatif dan mengatur dalam tataran
internasional dan regional mengenai trafficking. Pertimbangan yang terdapat dalam
1
Penyusunan Roadmap Reformasi Birokrasi Pemeritah Provinsi . Retrieved from
www.menpan.go.id/jdih/category/37-raker-mataram-09-12-april-2012?download=2884:kedeputian-1program-dan-rb-kedeputian-1-penyusunan-road-map&start=10, diakses September 2016
78
Protokol Palermo, dimana adanya berbagai aturan hukum yang berbeda-beda dalam
mengatasi permasalahan eksploitasi terutama pada perempuan dan anak, serta tidak
adanya aturan hukum universal yang mengatur tentang hal serupa dengan seluruh aspek
dari trafficking, sehingga seseorang yang rentan tidak bisa dikatakan aman dari
trafficking. (Tabel 5.10).
Terdapat beberapa kekurangan dalam peraturan daerah Sulawesi Utara dalam
menangani permasalahan trafficking. Dilihat dari segi bahasa yang digunakan, peraturan
daerah Sulawesi Utara No. 1 Tahun 2004 ini masih mengkategorikan korban trafficking
yang adalah perempuan dan anak, padahal dalam peraturan internasional, regional
maupun nasional, korban disini tidak hanya perempuan dan anak melainkan
manusia/orang (tidak mengkhususkan jenis kelamin tertentu). Selain itu beberapa kata
atau kalimat seperti pemindahan seseorang dengan ancama penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat,
sehingga memperoleh persetujuan dari seseorang yang memegang kendali atas orang lain,
dan seterusnya, hilang dalam Perda Sulawesi Utara. Hal ini terlihat dalam Tabel V.10
bagian Definisi.
Di sisi lain, UU No. 21 Tahun 2007 dan Perda Sulawesi Utara juga
menghilangkan unsur hak asasi manusia seperti yang ada dalam peraturan ACTIP,
dimana dalam objektivitasnya dalam Art 1 (b)
‘Protect and assist victims of trafficking in persons, with full respect
for their human rights.’
Menjadi:
‘Tujuan Peraturan Daerah ini adalah untuk mencegah dan
memberantas bentuk-bentuk trafficking baik untuk pekerjaan tertentu
maupun untuk kegiatan seks komersial, menyelamatkan dan merehabilitasi
korban trafficking, serta memberikan keadilan dan hukuman yang efektif
terhadap pelaku maupun pihak-pihak yang mendukung trafficking.’ Pasal 2
(4) dalam Perda Sulawesi Utara
79
Menimbang masih banyaknya kekurangan yang ada bagian peraturan daerah
Sulawesi Utara, maka dirasa penting untuk merevisi peraturan ini, sesuai dengan nasional
maupun dengan perjanjian internasional atau regional yang telah disepakati oleh
Indonesia. Kemudian, peraturan yang ada di Indonesia baik UU No. 21 Tahun 2007 dan
juga Perda Sulawesi Utara No. 1 Tahun 2004 lebih banyak membahas mengenai korban
dan pelaku yang merekrut atau menjual, hal ini baik adanya, namun lebih baik juga
mengatur mengenai pelaku sebagai pembeli korban yang di traffick.
Selain itu, Indonesia masih belum memberikan dokumen ratifikasi ACTIP ke
Sekretariat ASEAN. Proses ratifikasi tidaklah gampang, melihat masih perlu adanya
pembahasan dan pertimbangan kembali mengenai perjanjian yang telah disepakati, agar
sesuai dengan kepentingan nasional masing-masing negara. Negara yang belum
meratifikasi sebuah perjanjian internasional atau regional tetap harus menghormati
moral/norma dalam perjanjian tersebut (Sefriani, 2016). Sampai saat ini Indonesia belum
meratifikasi konvensi ini dikarenakan masih ada pertimbangan-pertimbangan yang harus
diambil untuk mengharmonisasikan konvensi kedalam peraturan perundang-undangan,
tanpa melenceng dari kepentingan nasional Indonesia. Jika diperhatikan, Indonesia tidak
memiliki kesulitan dalam proses ratifikasi (mengadopsi atau harmonisasi) peraturan
ACTIP kedalam peraturan nasional Indonesia. Dalam perjalanannya, pemerintah
mungkin akan memfokuskan kepada pasal yang membahas mengenai eksradisi dan
penyelesaian masalah (art. 19 dan 27) dengan pertimbangan kepentingan nasional
Indonesia.
80
Tabel 5.10 Roadmap Kebijakan Internasional, Regional, dan Nasional Tentang
Mengatasi Permasalahan Trafficking
Instrument
Internasional
(Palermo Protocol)
Definisi
“trafficking in
persons/
perdagangan
manusia”
Instrument Regional
Intrument Domestik
(ASEAN Convention Nasional (UU RI No. Daerah
(Perda
Against Trafficking in 21 tahun 2007)
Provinsi
Sulawesi
Persons)
Utara No. 1 tahun
2004)
Art. 3 (a)
Art. 2 (a)
Pasal 1 (1)
“The
recruitment,
transportation,
transfer, harbouring
or receipt of persons,
by means of the threat
or use of force or other
forms of coercion, of
abduction, of fraud, of
deception, of the abuse
of power or of the
position
of
vulnerability or of the
giving or receving of
payments or benefits to
achieve the consent of
a
person
having
control over another
person, for the purpose
of
exploitation.
Exploitation
shall
include, at a minimum,
the exploitation of the
prostitution of other or
other forms of sexual
exploitation,
force
labour or service,
slavery or practices
similar to slavery,
servitude
or
the
removal of organs.”
“The
recruitment,
transportation,
transfer, harbouring
or receipt of persons,
by means of the threat
or use of force or
other
forms
of
coercion,
of
abduction, of fraud, of
deception, of the
abuse of power or of
the
position
of
vulnerability or of the
giving or receving of
payments or benefits
to achieve the consent
of a person having
control over another
person,
for
the
purpose
of
exploitation.
Exploitation
shall
include,
at
a
minimum,
the
exploitation of the
prostitution of other
or other forms of
sexual exploitation,
force
labour
or
service, slavery or
practices similar to
slavery, servitude or
“Perdagangan Orang
adalah
tindakan
perekrutan,
pengangkutan,
penampungan,
pengiriman,
pemindahan,
atau
penerimaan seseorang
dengan
ancama
kekerasan,
penculikan,
penykapan,
pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan
kekuasa
INDONESIA DALAM MENGATASI PERMASALAHAN TRAFFICKING
5.1 Indonesia dan Trafficking
Trafficking di Indonesia juga tidak terlepas dari konsep hak asasi manusia.
Perkembangan hak asasi manusia di Indonesia mengalami jatuh bangun. Pada awal mula
kemerdekaan Indonesia, hak asasi manusia telah dirumuskan dalam UUD 1945, namun
rumusan ini masih belum spesifik dan tersusun rapih terlebih mengenai hak asasi
manusia. Hal ini wajar dimana perumusan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945
dibawah tekanan sehingga perumusan UUD 1945 terkesan apa adanya, yang sesuai
dengan situasi Indonesia pada waktu itu (Budiardjo, 2016). Disamping itu, Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (1948) pada saat penyusunan UUD 1945 belum ada,
sehingga Indonesia sendiri merumuskan berdasarkan apa yang dialami oleh Indonesia
dalam bertahun-tahun masa penjajahan negara lain. Walaupun pada saat itu konsep hak
asasi manusia masih dirasa kurang, namun Indonesia telah memiliki gambaran mengenai
hak asasi manusia yang perlu diperjuangkan sebagaimana mestinya. Kemudian seiring
dengan berjalannya waktu dan konsep hak asasi masusia serta Deklarasi Hak Asasi
Manusia telah ada, maka barulah Indonesia membahasnya kembali.
Banyak permasalahan yang menyebabkan trafficking, serta banyak permasalahan
yang ditimbulkan dari trafficking. Indonesia yang dengan jumlah penduduknya tergolong
terbanyak di dunia, rentan dengan berbagai tindak kejahatan. Praktek trafficking di
Indoesia juga diperkirakan tidak terlepas dari ‘perbudakan’ yang pernah terjadi di
beberapa daerah di Indonesia pada masa kolonialisme. Annual Trafficking in Person
Report menunjukkan, bahwa pada periode antara April 2001 dan Maret 2002, Indonesia
termasuk dalam negara yang dianggap tidak memenuhi ketentuan standar minimum The
Trafficking Victims Protection Act of 2000 yang adalah pencegahan, perlindungan,
penindakan dan upaya-upaya mengeliminasi perdagangan orang.
50
Penduduk Indonesia yang banyak, dengan sedikitnya lapangan pekerjaan
membuat banyak orang berlomba mendapatkan pekerjaan agar kebutuhan hidup dapat
terpenuhi. Pendidikan juga ikut mengambil bagian dalam pengangguran yang terjadi di
Indonesia. Hal ini mengakibatkan keputusasaan bagi mereka yang ingin bekerja untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Ditambah dengan krisis ekonomi yang terjadi di
Indonesia menyebabkan perekonomian masyarakat Indoneisa yang tidak stabil.
Pengangguran yang terjadi dimana-mana menyebabkan berkurangnya atau tidak adanya
pendapatan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Menurut Badan
Pusat Statistik (2016), pengangguran Indonesia dari umur pekerja diatas 15 tahun dari
tahun 2010 sebesar 7.1%, tahun 2011 sebesar 6.6%, tahun 2012 sebanyak 6.1%, tahun
2013 sebanyak 6.1%, dan tahun 2014 sebanyak 5.9%. Dari Tabel 5.1 (lihat lampiran 1),
menunjukkan bahwa tingginya tingkat pengangguran juga dipengaruhi berdasarkan
jenjang pendidikan yang ditempuh. Angka menunjukkan pengganguran yang tertinggi
adalah
lulusan
Sekolah
Dasar
(SD)/sederajat,
Sekolah
Menengah
Pertama
(SMP)/sederajat, dan Sekolah Menegah Atas (SMA)/sederajat. Disisi lain, kenaikan
bahan pokok di masyarakat menambah buruk keadaan. Karenanya suatu pekerjaan dirasa
sangat penting. Setiap orang berusaha untuk mendapatkan pekerjaan. Dari sinilah pelaku
trafficking mengembangkan sayapnya. Para sindikat pelaku trafficking mulai menjaring
korban-korbannya dengan berkedok sebagai penyalur atau penyedia tenaga kerja dengan
gaji yang besar.
Kasus trafficking Indonesia meningkat dari tahun 2005-2010. Korban trafficking
mencapai 3.735 orang menurut IOM, 2010 dan kemungkinan angka sebenarnya melebihi
yang tercatat. Data dari Bareskrim Polri (Badan Reserse Kriminal Polisi Republik
Indonesia), kasus trafficking mencapai 607 kasus pada tahun 2010 dengan 857 orang
sebagai pelaku. Korbannya terdiri dari orang dewasa 1.570 orang dan 485 anak-anak.
Trafficking di Indonesia termasuk dalam kategori kejahatan terorganisir, dimana
memiliki jaringan yang rapih dari kota besar sampai daerah terpencil dengan tersistematis
(Budiardjo, 2016:261). Kebanyakan korban trafficking yang adalah perempuan dan anak
(dibawah 18 tahun) karena mereka dari segi budaya Indonesia yang patriarki tergolong
51
kedalam kelompok yang rentan dan termajinalkan. Dari sisi pekerjaan, perempuan lebih
memiliki peluang untuk dipekerjakan dalam berbagai sektor, sedangkan pria hanya
dibutuhkan dalam sektor pekerjaan yang membutuhkan tenaga fisik yang lebih besar.
Dalam Laporan Perdagangan Manusia di Indonesia (2003) adanya kenaikan permintaan
perempuan dan anak dalam bidang prostitusi.
Gambar 5.2 Trafficking
Berdasarkan Usia
Gambar 5.1 Trafficking
Berdasarkan Jenis Kelamin
13%
Laki-laki
Perempu 30%
an
70%
87%
Laki-laki
Perempuan
Dewasa
Anak-anak
Sumber: IOM Indonesia (2005-2015)
Tabel 5.2 Informasi Umum Mengenai Korban Trafficking Jumlah Korban
Berdasarkan Jenis Kelamin/Usia
Jenis Kelamin
Berdasarkan Umum
Total
Anak-Anak
Dewasa
Perempuan
741
2636
3377
Laki-laki
148
210
358
Total
889
2846
3735
Sumber: IOM Maret 2005-2010
Jumlah korban trafficking pada anak saja bervariasi disetiap tahunnya. Dari data
Bareskrim Polri, dari tahun 2011-2013, terdapat peningkatan dan penurunan. Tahun
52
2011, korban trafficking pada anak sebanyak 87 kasus. Tahun 2012 naik menjadi 72
kasus. Tahun 2013 mengalami penurunan dengan 40 kasus yang ditangani.
Korban trafficking Indonesia biasanya dipekerjakan sebagai pekerja domestik,
dengan tidak mendapatkan hak-hak mereka atau tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan
oleh pelaku. Beberapa tindakan yang didapatkan oleh para korban dalam keadaan
trafficking, mulai dari kekerasan fisik serta psikis. Berbagai kasus trafficking yang terjadi
di dalam negeri (Indonesia) kebanyakan para korban dipekerjakan secara paksa di bidang
prostitusi. Sedangkan untuk kasus trafficking yang dikirimkan keluar negeri (luar
Indonesia) selain bidang prostitusi, pekerja paksa dalam sektor informal seperti pekerja
rumah tangga atau buruh migran yang tidak memiliki keterampilan yang spesifik juga
terjadi.
Jika dilihat dari laporan IOM Indonesia (2015) terkait korban trafficking
berdasarkan tingkat pendidikan, kebanyakan korban yang masuk dalam kondisi
trafficking adalah mereka yang berpendidikan sampai pada tingkat Sekolah Dasar (SD)
yang mencapai 31%, drop out SD dengan 18%, dan Sekolah Menengah Pertama (SMP)
dengan 19%. Untuk tingkat perguruan tinggi atau drop out perguruan tinggi, angka
presentasenya sekitar 1%. Hal ini secara tidak langsung menggambarkan bahwa tingkat
pendidikan mempengaruhi potensi seseorang menjadi korban trafficking. Semakin
rendah tingkat pendidikan seseorang, maka semakin besar potensinya untuk direkrut oleh
pelaku trafficking.
53
Gambar 5.3 Trafficking Berdasarkan Tingkat Pendidikan
35%
30%
25%
20%
15%
10%
5%
0%
Tidak
sekolah
SD
Drop out
SD
SMP
Drop out
SMP
SMA
Drop out Perguruan
SMA
Tinggi
atau Drop
out
Perguruan
Tinggi
Sumber: IOM Indonesia (2005-2015)
Selain dari daerah yang memiliki permasalahan ekonomi dan pendidikan yang
kurang, terdapat juga faktor geografis yang mudah mempengaruhi terjadinya trafficking,
dalam maupun luar negeri, seperti daerah-daerah yang dekat dengan perbatasan.
Diketahui bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang banyak lebih banyak
memiliki batas laut dibandingkan darat yang sulit untuk diawasi. Selain faktor umum,
terdapat faktor lain yang mempengaruhi perkembangan trafficking di Indonesia
(Rosenberg, 2003), mulai dari bertumbuhnya kelompok kriminal transnasional, kurang
kewaspadaan saat mencari atau ditawari pekerjaan, serta kurangnya penegakan hukum
dalam mengatasi permasalahan trafficking. Terdapat kasus diantaranya tidak ditindak
lanjuti dalam proses hukum karena adanya korupsi (menerima suap) yang dilakukan
aparat terkait. Menurut perpindahan trafficking Indonesia (IOM, 2015), sebanyak 74%
perpindahan korban menggunakan lebih dari 1 jasa transportasi. Hal ini dilakukan karena
tempat tujuan yang sering berubah-ubah atau medan perjalanan yang ditempuh untuk
54
mencapai tempat tujuan sangatlah sulit. Disamping itu hal tersebut dilakukan untuk
mencegah aparat berwenang mengagalkan operasi mereka.
Gambar 5.4
Peta Indonesia
Sumber: World Atlas
55
Gambar 5.5 Trafficking Berdasarkan Jenis Transportasi
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Laut
Udara
Darat
Lebih dari
satu
Sumber: IOM Indonesia (2005-2015)
Walaupun kriminalisasi trafficking ini dapat terkait dengan siapa saja, orang
memang seringkali mengidentikan korbannya dengan perdagangan perempuan dan anak.
Trafficking atau perdagangan manusia sejatinya adalah kegiatan ilegal kejahatan
terorganisasi yang melanggar HAM, seperti hak untuk hidup bebas, merasa aman, bebas
dari penyiksaan, kekejaman, dan perlakuan tidak manusiawi lainnya.
5.1.1 Sulawesi Utara dan Trafficking
Pada awalnya, trafficking yang terjadi di Sulawesi Utara adalah
dampak dari salah satu bentuk ketimpangan gender, dimana perempuan
dalam fungsi, status dan peran dalam pembangunan, serta dalam
pengambilan keputusan masih belum setara dengan pria, sehingga belum
mendapatkan perhatian dari pemerintah (Lapian, 2006). Perempuan
memang masih menjadi objek eksploitasi dimana dipengaruhi oleh budaya
56
yang mengesampingkan perempuan dalam bermasyarakat. Trafficking
juga terjadi akibat gaya hidup masyarakat Sulawesi Utara yang sangat
konsumtif. Terbukti dengan slogan yang berkembang dalam masyarakat
Sulawesi Utara ‘lebe bae kalah nasi daripada kalah aksi’ (lebih baik kalah
nasi daripada kalah aksi) yang memiliki arti dimana gaya atau penampilan
fisik lebih penting (Aswiyanti et.al, 2013:98). Total pengeluaran terhadap
makanan di Sulawesi Utara menurut Badan Pusat Statistik Sulawesi Utara
(lampiran 2 Tabel 5.3) sebesar 50.44%, dan total pengeluaran terhadap
non-makanan sebesar 49.56%. Terkadang gaya hidup yang konsumtif ini
tidak diimbangi dengan keadaan ekonomi mereka yang sebenarnya,
sehingga orang yang konsumtif cenderung menjadi sasaran empuk bagi
pelaku trafficking untuk menjaring calon korbannya seperti menawarkan
pekerjaan dengan gaji yang besar.
Dalam Kajian Sejarah Trafficking Perempuan dan Anak di Kota
Manado dan Kabupaten Minahasa, perempuan daerah Sulawesi Utara
yang dikenal dengan sebutan ‘cewek Manado’ pada umumnya putih,
cantik, dan modis, yang tinggal di lingkungan yang terbuka (welcome),
dapat dengan mudah bagi para pelaku trafficking untuk merayu,
memberikan janji palsu kepada calon korbannya. Adanya pergeseran gaya
hidup yang dengan mudah diadopsi oleh kalangan muda yang lebih
konsumtif, modern, dan semacamnya memperparah keadaan. Dalam
jurnal oleh Siti Nurbayani K yang berjudul Penyebab Terjadinya Human
Trafficking di Jawa Barat, pergaulan dan gaya hidup menjadi salah satu
dari beberapa faktor terjadinya trafficking, seperti menerima ajakan dari
teman yang baru dikenalnya di sosial media dan atau gaya hidup yang
terlalu tinggi seperti membawa handphone (smartphone) lebih dari satu
(1). Cewek Manado pun dikenal dalam bidang prostitusi memiliki nilai
jual yang tinggi (Aswiyanti et.al, 2013).
57
Hukum mengenai hak wanita, yang berlaku di daerah Sulawesi
Utara memang telah ada namun pelaksanaannya masih belum maksimal
serta masih bersifat umum. Belum adanya pembicaraan mengenai
permasalahan-permasalahan lain yang terkait seperti trafficking, sehingga
belum cukup untuk memperbaiki ketimpangan gender dalam masyarakat.
Permasalahan yang menimpa wanita, terkhususnya dalam trafficking
masih kurang untuk diperjuangkan karena landasan hukum dalam bentuk
perda belum ada, sehingga rancangan-rancangan terkait perlindungan dan
pencegahan kekerasan terhadap wanita yang dibuat oleh Biro
Pemberdayaan Perempuan Pemerintah Daerah Sulawesi Utara terhambat.
Namun, dengan dukungan atas keseriusan dan keaktifan beberapa dosen
hukum Universitas Sam Ratulangi dan beberapa orang terkait dalam
rancangan perda, sampai memberikan hasil Perda No. 1 tahun 2004
mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Manusia terutama Perempuan dan Anak (Lapian, 2006).
Manado
dan
Bitung,
Sulawesi
Utara
menjadi
tempat
keberangkatan dan singgah (transit untuk keberangkatan atau perjalanan
selanjutnya) bagi korban trafficking. Dari kasus-kasus yang ada, banyak
korban trafficking yang digagalkan dari Tim Kepolisian Sulawesi Utara
yang sengaja dibentuk untuk menanggulangi permasalahan yang ada
seperti trafficking di kota ini. Kebanyakan pelaku dan korban digagalkan
di kawasan Bandar Udara Sam Ratulangi, pelabuhan Manado, dan
pelabuhan Bitung. Banyak korbannya berasal dari daerah Minahasa dan
Manado. Untuk permasalahan ekonomi sendiri, presentase kemiskinan di
daerah di Sulawesi Utara (lampiran 3 Tabel 5.4) lebih banyak berasal dari
Minahasa Tenggara dan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan dengan
15.76% dan 15% pada tahun 2015. Korban trafficking yang berasal dari
Sulawesi Utara menurut data diatas lebih banyak ditujukan ke daerahdaerah di kota besar dalam negeri. Namun hal ini tidak menutup
58
kemungkinan korban akan dipindahkan kembali ke tempat lain di dalam
maupun luar negeri.
Tabel 5.5 Angka Partisipasi Murni Sulawesi Utara (Pendidikan)
Tahun/Year
SD/MI
SMP/Mts
SM/MA
1
2
3
4
2010**
92.25
67.07
50.7
2011**
85.88
60.94
50.15
2012
87.78
62.39
51.15
2013
91.61
64.55
57.26
2014
93,42
72,32
61,69
** Mulai tahun 2010 dan tahun-tahun berikutnya APM mencakup pendidikan non formal (paket A setara
SD/MI, paket B setara SMP/MTs dan paket C setara SM/SMK/MA)
Sumber: BPS Sulawesi Utara
Dari Tabel 5.5 menunjukan bahwa partisipasi di bidang
pendidikan terbesar pada tingkatan pertama (SD/sederajat). Partisipasi
untuk melanjutkan pendidikan ke tingkatan selanjutnya menurun lebih
dari 10% dan konsisten di setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa
sumber daya manusia di Sulawesi Utara berdasarkan partisipasi
pendidikan kebanyakan yang menempuh pendidikan SD/sederajat
dibandingkan dengan tingkatan yang lebih tinggi. Ini juga disebabkan oleh
beberapa faktor terkait seperti ekonomi.
59
Tabel 5.6 Korban TPPO yang Digagalkan
Tahun
2010
2011
2012
Jumlah
Daerah Tujuan
Daerah Asal
4 orang
Batam
Tondano
4 orang
Jakarta
Manado, Minahasa
4 orang
Jakarta
Tondano
2 orang
Tobelo
Tondano
1 orang
Manado
Manado
3 orang
Makasar-NTT
AirmadidiMinahasa Utara
2013
2 orang
Gorontalo
Manado
4 orang
Ternate
Tomohon
Sumber: UPPA Polda Sulut
60
Tabel 5.7 Korban TPPO yang Dipulangkan (Evakuasi)
Tahun
Jumlah
Daerah Tujuan
Daerah Asal
2010
20 orang
Jayapura
Manado,
Bitung
1 orang
Sorong
Minahasa
Utara,
Tondano,
Bolaang
1 orang
Merauke
Mongondouw
2011
5 orang
Palembang
Manado
2012
1 orang
Sorong
Manado
3 orang
Jayapura
Manado
2 orang
Batam
Tombatu-Minahasa
Selatan
2013
2014
Tondano
4 orang
Manokwari
3 orang
Jayapura
1 orang
Nabire
Manado
1 orang
Maumere (NTT)
Manado
4 orang
Lubang
Airmadidi
3 orang
Papua
Kawangkoan
1 orang
Balikpapan
Manado
Sumber: UPPA Polda Sulawesi Utara
61
-
Tabel 5.8 Data Kasus TPPO yang ditangani Polda Sulawesi Utara (2007-2016)
Tahun
Jumlah Kasus
Jumlah Korban Jumlah Korban Jumlah Pelaku
Dewasa
Anak
2007
10
9
17
24
2008
17
24
14
30
2009
16
11
19
17
2010
24
27
30
23
2011
17
(belum ada data) (belum ada data) 17
2012
13
2
11
5
2013
13
2
9
-8(?)
2014
5
(belum ada data) (belum ada data) (belum ada data)
2015
7
(belum ada data) (belum ada data) (belum ada data)
2016
8
(belum ada data) (belum ada data) (belum ada data)
Sumber: Polda Sulawesi Uatara
Terdapat kasus dimana adanya dugaan oknum polisi Sulawesi
Utara yang ikut serta dalam kejahatan trafficking. Hal ini dikabarkan dari
tertangkapnya di Bandar Udara Sam Ratulangi dengan pelaku yang salah
satunya adalah oknum polisi beserta 5 (lima) korban yang akan
diperdagangkan untuk menjadi wanita penghibur di salah satu kafe. Wakil
rakyat mendesak Polda Sulawesi Utara untuk menelurusi adanya dugaan
oknum polisi yang membantu kejahatan trafficking ini. Kementrian PPPA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) meminta kepada
62
Polda Sulut untuk menuntaskan terkait kasus oknum polisi ini, dan
meminta kepada Pemerintah Provinsi melalui Badan Pemberdayaan
Perempuan dan Anak (BPP-PA) untuk mengawal kasus tersebut.
Dalam mengatasi permasalahan trafficking, tertama pada
perempuan dan anak, Kepala BPP-PA menyebutkan bahwa mereka telah
bekerjasama dengan 18 Provinsi (membuat MoU) untuk memberantas
kejahatan trafficking beberapa diantaranya Kalimantan Utara, Papua,
Gorontalo, dan Sulawesi Selatan, yang merupakan tempat paling sering
dituju oleh pelaku trafficking dari Sulawesi Utara.
Dari penjabaran diatas, nasional maupun daerah, dapat disimpulkan bahwa
trafficking terjadi berdasarkan beberapa faktor yang saling berkaitan, seperti Vicious
Cycle (lingkaran setan). Vicious Cycle (Nurkes) menggambarkan relasi berputar dalam
suatu permasalahan dalam sisi permasalahan dasar seperti permintaan dan penawaran
dengan berbagai latar belakang. Konsep ini sering digunakan dalam permasalahan
kesejahteraan. Dengan kata lain, merupakan merupakan sebuah situasi yang tidak
menyenangkan, yang dibuat dari satu masalah yang menimbulkan permasalahan lainnya
yang pada akhirnya membuat kondisi masalah pertama menjadi lebih buruk. Vicious
cycle ini seperti rantai yang saling mengikat satu dengan yang lain, yang akan terlepas
jika salah satu rantai dihilangkan. Korban trafficking kebanyakan dari mereka yang
memiliki latar belakang kemiskinan (ekonomi), kurang mendapat pendidikan, serta gaya
hidup (sosial).
Latar belakang kemiskinan yang sering dicari pelaku trafficking, dimana masih
tingginya angka kemiskinan di Indonesia, Provinsi maupun Daerah Kabupaten/Kota,
dimana banyaknya penduduk dengan tingkat pengangguran yang tinggi akibat dari tidak
banyaknya lapangan pekerjaan yang ada, ditambah lagi dengan kebutuhan hidup yang
tinggi menyebabkan seseorang rentan menjadi korban trafficking. Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) untuk luar negeri seakan menjadi solusi bagi mereka untuk membiayai
63
hidup diri sendiri maupun keluarga. Karenanya sering modus operandi yang digunakan
oleh pelaku trafficking yang menyamar sebagai penyalur TKI. Migrant Care
menyebutkan bahwa kurang-lebih 450.000 orang Indonesia diberangkatkan sebagai TKI
yang 70% diantaranya adalah perempuan, kemudian 46% terindikasi korban trafficking.
Pengiriman TKI yang paling sering dilakukan oleh Indonesia di kawasan Asia Pasifik
paling banyak ke Singapura, Malaysia, dan Brunei Darrussalam (lihat lampiran 4, Tabel
5.9). Kemudian adanya indikasi dimana kurang diberdayakannya TKI yang telah
menyelesaikan tugas di luar negeri, sehingga ketika kembali ke Indonesia dengan tidak
memiliki pekerjaan dan penghasilan, maka mereka cenderung untuk kembali bekerja di
luar negeri. Untuk memenuhi kebutuhannya ini, maka tidak jarang dari mereka memilih
untuk melakukan pekerjaan apa pun bentuknya tanpa melihat dampak atau konsekuensi
yang akan didapatkan nantinya. Dari segi pendidikan, semakin tingginya harga yang
dikeluarkan untuk mendapatkan akses pendidikan formal, dimana mempersulit
masyarakat yang dibawah garis kemiskinan. Terlepas dari adanya beasiswa atau bantuan
yang diberikan oleh pemerintah maupun swata kepada mereka yang tidak mampu, namun
tetap meninggalkan tingginya anak yang tidak bersekolah atau tidak menuntaskan
pedidikan ke tingkatan selanjutnya. Kurangnya pendidikan formal, dengan tidak memiliki
keahlian khusus, akan membuatnya susah untuk mendapatkan pekerjaan. Juga kurangnya
pengetahuan dasar menjadikan seseorang mudah untuk ditipu oleh pelaku trafficking.
Dalam segi sosial, selain karena budaya Indonesia yang kebanyakan menganut partiarki,
dimana perempuan terkesan menjadi objek dalam kehidupan bermasyarakat, serta gaya
hidup yang konsumtif juga menjadi salah satu pendorong terjadinya trafficking.
Konsumsi seseorang yang semakin tinggi akibat dari perkembangan teknologi dan
globalisasi, yang tidak diimbangi dengan ekonomi yang kuat, juga dapat dengan mudah
masuk kedalam situasi trafficking.
64
Gambar 5.6 Vicious Cycle of Trafficking
Ekonomi
Trafficking
Sosial (gaya
hidup)
Pendidikan
Sumber: dari data yang ada, olah sendiri
5.2 Lingkungan Kebijakan Indonesia dalam Mengatasi Permasalahan Trafficking
Permasalahan trafficking merupakan permasalahan yang populer dikalangan
masyarakat saat ini, seperti fenomena gunung es dimana kasus-kasus berhasil diproses
atau ditangani secara hukum masih sedikit dibandingkan dengan fakta yang terjadi
dilapangan (Budiardjo, 2016). Terdapat dua hal utama yaitu ekonomi dan pendidikan,
dimana terjadi kemiskinan, pengangguran, banyaknya pekerja di bawah umur, serta
migrasi juga keadaan sosial-kultural yang mempengaruhi permasalahan trafficking di
Indonesia. ASEAN Responses on Trafficking in Persons (2006) menjelaskan bahwa aksi
nasional Indonesia terhadap penghapusan trafficking, korban atau objek trafficking masih
terfokus kepada perempuan dan anak.
Mengingat bahwa kejahatan trafficking merupakan tindak kekerasan yang
melanggar hak asasi manusia dan melanggar martabat manusia, maka dibentuklah Gugus
65
Tugas implementasi Rancangan Aksi Nasional (RAN) no. 88 tahun 2002 yang terdiri dari
Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak, Kementerian Koordinasi
Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
Direktorat Jendral Imigrasi, dan Kementerian Luar Negeri diberikan mandat untuk
menyusun peraturan dalam perundang-undangan mengenai penghapusan trafficking di
Indonesia.
5.2.1 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana
Perdagangan Orang
Dasar hukum nasional Indonesia terkait dengan tindak pidana
trafficking dibuat dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Undang-Undang ini
juga disebut sebagai salah satu komitmen Indonesia dalam Protokol
Palermo tentang Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in
Persons pada tahun 2000 yang telah disepakati. Namun, dokumen ratifikasi
perjanjian Protokol Palermo baru diserahkan oleh Indonesia pada tahun
2009 dalam Undang-Undang No. 14 tahun 2009 tentang Pengesahan
Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons,
Especially Women and Children, Supplementing The United Nation
Convention Against Transnational Organized Crime. Gugus Tugas Tindak
Pidana Perdagangan Orang (TPPO) juga dibuat agar dapat bersinergis
dalam mengatasi permasalahan trafficking, termasuk perlindungan dan
pemulihan korban.
Ada juga perjanjian bilateral yang dilakukan oleh Indonesia dalam
memerangi kejahatan transnasional, yang juga membahas mengenai
kerjasama dalam mengatasi permasalahan trafficking. Indonesia-Singapura
66
tahun 2007 tentang Perjanjian Ekstradiksi Buronan, dimana dalam Pasal 2
(1):
“… tindak pidana yang termasuk dalam daftar tindak pidana
berikut ini …” (a)(ix) “pembelian, atau perdagangan wanita atau anakanak”.
Indonesia-Vietnam pada tahun 2005 mengadakan kerja sama dalam
pencegahan dan memerangi kejahatan kriminal (Coorporation in
Preventing and Combating Crimes) . Dengan Malaysia, Indonesia juga
memiliki nota kesepahaman tentang tenaga kerja migran, dimana Indonesia
banyak mengirimkan tenaga kerja migran, terlebih tenaga kerja dalam
bidang domestik seperti pembantu rumah tangga. Namun, kesepakatan
tersebut belum membahas mengenai perlindungan terhadap tenaga kerja
migran, padahal mereka tergolong rentan menjadi bagian dalam
permasalahan trafficking. Pada tahun 2004, Malaysia sepakat untuk
berunding kembali dengan Indonesia terkait dengan nota kesepahaman
tersebut,
tentang
perlindungan
terhadap
tenaga
kerja
migran
(Rismawanharsih, 2012). Perjanjian ekstradiksi juga dilakukan oleh
Indonesia-Thailand.
Dengan peningkatan komitmen dalam berbagai bidang oleh
pemerintah Indonesia dalam penanganan dan pencegahan kejahatan
trafficking, membuat Indonesia memiliki kemajuan dalam standar
minimum pencegahan dan penanganan terhadap kejahatan trafficking yang
sesuai dengan ketentuan internasional. Dengan hal itu dibuatlah berbagai
peraturan seperti adanya Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak
Pidana Perdagangan Orang dengan harapan: (1) mengkoordinasikan upaya
pencegahan dan penanganan perdagangan orang; (2) melakukan advokasi,
sosialisai, pelatihan dan kerjasama; (3) memantau perkembangan
pelaksanaan perlindungan korban yang meliputi rehabilitasi kesehatan,
67
rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi sosial; (4) memantau
perkembangan pelaksanaan penegakan hukum; (5) melakukan pelaporan
dan evaluasi. Gugus tugas ini dibentuk di 20 provinsi dan 72
Kabupaten/Kota. Instansi-instansi pemerintahan dan swasta yang ikut serta
dalam penanggulangan dan pencegahan kejahatan trafficking, kemudian
dengan upaya lokal, nasional, dan internasional dala berbagai bentuk
kerjasama terkait.
Sanksi yang diterima oleh pelaku trafficking dalam UndangUndang ini paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun pidana dan dengan denda paling sedikit Rp 120.000.000,- (seratus
dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,- (enam ratus juta
rupiah). Sanksi ini dapat berlipat ganda atau bertambah minimal-maksimal
waktu penahanan dan denda sesuai dengan kategori pelanggaran yang
dilakukan pelaku, seperti pelaku yang merupakan aparat pemerintahan,
atau korban yang menderita luka berat.
Perlindungan terhadap saksi dan korban juga diatur dalam UndangUndang ini, dimana dalam Bab V Pasal 43-55, korban dan saksi berhak
memperoleh berbagai perlindungan, kerahasiaan identitas korban dan
saksi, ganti rugi, serta fasilitas-fasilitas rehabilitasi untuk pemulihan fisik
maupun mental korban trafficking serta dapat kembali bersosial,
pembiayaan pemulangan korban jika kasus terjadi di luar negeri.
68
5.2.2 Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Utara No 1 Tahun 2004 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Manusia (Trafficking )
Terutama Perempuan dan Anak.
Beberapa pertimbangan bagi pemerintah Provinsi Sulawesi Utara
dalam mengesahkan peraturan daerah tentang pencegahan dan
pemberantasan trafficking terutama perempuan dan anak, dimana bahwa
trafficking menjadikan perempuan dan anak menjadi objek yang
diperdagangkan dan dieksploitasi yang membawa penderitaan dan
merendahkan martabat manusia. Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara
berupaya untuk melindungi warganya, terlebih khusus perempuan dan
anak dari tindakan trafficking yang dilakukan dalam maupun luar negeri.
Dengan pertimbangan-pertimbangan juga mengenai undang-undang
terkait serta perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh
Pemerintah Indonesia sendiri, maka terbentuklah sebuah Peraturan Daerah
Provinsi Sulawesi Utara No. 1 tahun 2004 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perdagangan Manusia (Trafficking) terutama Perempuan
dan Anak yang ditetapkan di Manado, 6 Januari 2004.
Permasalahan trafficking yang terjadi di Sulawesi Utara
merupakan bentuk dari ketidaksetaraan gender di Sulawesi Utara dimana
adanya perbedaan peran dan fungsi perempuan dalam masyarakat di
beberapa tempat di daerah Sulawesi Utara. Kekerasan terhadap
perempuan di Sulawesi Utara terkhususnya dalam kasus trafficking sangat
banyak terjadi. Maka dari itu beberapa kalangan akademisi Fakultas
Hukum, Universitas Sam Ratulangi bersama dengan Biro Pemberdayaan
dan Perlindungan Perempuan dan Anak serta Kejaksaan Tinggi Sulawesi
Utara turut aktif dalam pembuatan Peraturan Daerah (Perda) mengenai
permasalahan trafficking yang terjadi. Setelah melakukan pertemuan dan
diskusi kelompok dengan beberapa tokoh masyarakat, dirumuskanlah
69
rancangan aksi penghapusan trafficking terhadap perempuan dan anak
Sulawesi Utara dalam bentuk Peraturan Daerah.
Peraturan Daerah Sulawesi Utara tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perdagangan Manusia (Trafficking) merupakan Peraturan
Daerah pertama yang dikeluarkan di Indonesia terkait dengan
penghapusan praktek trafficking yang meresahkan. Trafficking yang
dimaksudkan dalam Pasal 1 poin a Perda Provinsi Sulawesi Utara tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Manusia (Trafficking)
terutama Perempuan dan Anak:
“Trafficking adalah rangkaian kegiatan dengan
maksud eksploitasi terhadap perempuan dan atau anak
yang meliputi kegiatan Perdagangan manusia (trafficking)
khususnya perempuan dan anak adalah segala tindakan
pelaku trafficking, yang mengandung salah satu atau lebih
tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan
antar negara, pemindahtanganan, pemberangkatan,
penerimaan dan penampungan sementara atau ditempat
tujuan, perempuan dan anak dengan cara ancaman,
penggunaan kekerasan verbal dan fisik, penculikan,
penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan ketenaran
(misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain,
terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang, dan lainlain), memberikan atau menerima pembayaran atau
keuntungan, dimana peremuan dan anak digunakan untuk
tujuan pelacuuran dan eksploitasi seksual (termasuk
phaedopili), buruh migran legal maupun illegal, adopsi
anak, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga,
mengemis, industri pornografi, pengedaran obat-obatan
terlarang dan penjualan organ tubuh, serta bentuk-bentuk
eksploitasi lainnya.”
Selanjutnya dalam poin c,
“Anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18
(delapan belas) tahun, …”.
70
Jadi, yang termasuk dalam tindak trafficking dalam Peraturan Daerah ini
adalah manusia terutama perempuan dan anak yang diperjual-belikan
dalam maupun luar negeri, serta korban dieksploitasi baik dalam bentuk
eksploitasi seksual ataupun eksploitasi dalam pekerjaan.
Dalam Pasal 2 menyebutkan bahwa:
“Tujuan dari Peraturan Daerah ini adalah untuk
mencegah dan memberantas bentuk-bentuk trafficking
baik untuk pekerjaan tertentu maupu untuk kegiatan seks
komersial, menyelamatkan dan merehabilitasi korban
trafficking, serta memberikan keadilan dan hukuman yang
efektif terhadap perilaku maupun pihak-pihak yang
mendukung trafficking.”
Peraturan Daerah ini juga berisikan mengenai partisipasi
masyarakat dalam pencegahan trafficking (dalam Pasal 13 dan 14), serta
perlidungan terhadap korban dimana memberikan fasilitas seperti
pemulihan kesehatan fisik dan mental korban (dalam Pasal 15). Untuk
sanksi pelaku, peraturan ini menyebutkan sanksi sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku. Perlindungan terhadap korban dan
sanksi dalam Pasal 23:
“Korban/sanksi kasus trafficking berhak mendapatkan
perlindungan kerahasiaan diri, identitas dan keluarganya,
tempat tinggal dan tempat kerja dari suatu publikasi untuk
tidak disebarkan pada khalayak umum termasuk dari
petugas berwenang, pers, maupun terdakwa”
Namun, Peraturan Daerah ini memiliki celah hukum dimana
pembahasan dalam peraturan ini sangat terspesifik kepada perempuan dan
anak. Hal ini dapat terlihat dari bahasa yang digunakan dalamnya
kebanyakan ‘traffciking yang terjadi pada perempuan dan anak’
71
5.3 Kepentingan Indonesia dalam ASEAN Convention Against Trafficking in Persons
Expecially Woman and Children (ACTIP)
Dalam hubungan internasional kontemporer, prinsip kedaulatan negara telah
berubah dari kedaulatan yang mengontrol menjadi kedaulatan yang bertanggungjawab.
Dalam prinsip tersebut memiliki tiga arti yaitu negara bertanggungjawab terhadap fungsifungsi untuk perlindungan keamanan dan kehidupan warga negaranya serta memajukan
kesejahteraan, bertanggungjawab terhadap warga negaranya, dan aparatur negara
bertanggungjawab atas segala tindakannya (Sefrani, 2015: 23). Atas dasar tanggungjawab
tersebut, juga berkaitan dengan kepentingan nasional, maka negara akan melakukan yang
terbaik untuk mejaga keamanan warga dan negaranya dalam permasalahan yang
dihadapi.
Hukum bukanlah sesuaitu yang netral, melainkan memiliki keberpihakan kepada
para pembuat hukum yang memiliki kekuasaan lebih atas hal tersebut. Hukum
internasional dibutuhkan untuk menciptakan masyarakat yang damai, adil, dan tertib
dalam masyarakat internasional. Hukum internasional berfungsi sebagai instrument
politik yang didasarkan atas kepentingan dalam hubungan antarnegara (Sefrani, 2015).
Kepentingan Indonesia dalam hal ini berkaitan dengan keamanan, masyarakat maupun
negrara.
Indonesia merupakan tempat dimana trafficking banyak terjadi kepada perempuan
dan anak-anak. Seiring dengan berjalannya waktu, Indonesia tidak hanya menjadi tempat
penyedia trafficking, tapi juga menjadi tempat transit dan tujuan trafficking. Trafficking
yang terjadi dari Indonesia ke luar negeri biasanya tersebar di kawasan Asia tenggara,
Timur Asia, Timur Tengah, Australia, Amerika Selatan, dan Eropa (Rosenberg. 2003).
Menurut data dari IOM Indonesia periode tahun 2005-2015, di Indonesia, menurut jenis
perpindahannya lebih banyak data dari kasus trafficking ke luar negeri.
72
Gambar 5.7 Trafficking Berdasarkan Jenis
Perpindahan
Dalam Negeri
Indonesia
16%
Dalam Negeri Indonesia
Lintas Negara
Lintas Negara
84%
Sumber: IOM Indonesia (2005-2015)
Letak geografis Indonesia yang strategis membuat negara ini rentan terhadap
berbagai bentuk kejahatan transnasional, seperti trafficking. Karenanya dalam mengatasi
permasalahan-permasalahan kejahatan transnasional, maka instansi terkait seperti
Kementerian
Luar
Negeri
melakukan
berbagai
kerjasama
bilateral
maupun
regional/internasional untuk melindungi kepentingan dan kedaulatan Indoneisa
(Kementerian Luar Negeri, 2016). Indonesia saat ini telah aktif dalam berbagai kerjasama
mengatasi permasalahan kejahatan transnasional seperti drugs trafficking, trafficking in
persons, terrorisme, dan kejahatan lingkungan hidup. Kejahatan trafficking merupakan
kejahatan yang tidak dapat dibiarkan karena menyebabkan banyaknya korban dan
kerugian dalam berbagai hal, terutama perempuan dan anak.
Permasalahan trafficking menjadi salah satu isu strategis yang dibahas oleh
Indonesia dalam kerjasama Pilar Politik-Keamanan ASEAN. Dengan diangkatnya
permasalahan trafficking, maka akan memberikan perlindungan yang efektif bagi para
korban trafficking serta solusi untuk memerangi permasalahan trafficking yang ada di
73
ASEAN. Kaitannya dalam mengatasi permasalahan trafficking, yang merupakan
permasalahan transnasional yang tidak bisa diselesaikan sendiri oleh negara
bersangkutan, Indonesia berpegang pada prinsip burden sharing dimana negara-negara
bekerjasama untuk mencari solusi dalam permasalahan kejahatan ini serta menghindari
pengalihan beban kepada negara lain. Prinsip yang kedua adalah prinsip shared
responsibility dimana adanya tanggung jawab bersama negara yang terlibat (asal, transit,
dan tujuan) dalam mengatasi permasalahan ini (Kemlu, 2016). Kepentingan Indonesia
disini terlihat dalam mencapai keamanan secara nasional dan regional dengan
perlindungan terhadap masyarakat, terkhususnya bagi korban dan saksi trafficking dan
yang rentan untuk masuk kedalam situasi trafficking dengan sifat instrument yang legally
binding. Pengesahan konvensi ini juga merupakan salah satu komitmen Indonesia dalam
melaksanakan ketertiban dunia, yang dikandung dalam Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Kepentingan Indonesia dalam berbagai hubungan luar negeri seperti yang telah
disampaikan diawal yaitu berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
dengan melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Kepentingan Indonesia dalam ASEAN sendiri selain untuk mencapai kepentingan
nasional Indonesia, terlebih kepentingan masyarakat Indonesia, juga untuk meningkatkan
bargaining power yang dimiliki Indonesia dalam berbagai forum internasional.
Di sisi lain, Indonesia tergolong kedalam penyumbang tenaga kerja migran, yang
secara legal maupun ilegal kurang lebih berjumlah 700.000 pekerja untuk bekerja yang
kebanyakan di Malaysia dan Timur Tengah (IOM Indonesia, 2006). Dengan kebanyakan
pekerja migran yang bekerja di luar Indonesia berada pada sektor informal, dimana
mereka tidak memerlukan keahlian khusus dalam pekerjaan (unskilled workers), serta
kebanyakan dari mereka adalah tenaga kerja perempuan yang bekerja sebagai pembantu
rumah tangga atau pengasuh yang sangat rentan mendapatkan perlakuan tidak manusiawi
dan rentan untuk menjadi korban trafficking. Terdapat kurang lebih 65 ribu orang tenaga
kerja professional warga negara Indonesia di ASEAN (Kemlu, 2014). Sedangkan untuk
74
posisi Indonesia di ASEAN sendiri, Indonesia menyumbang 40% populasi di ASEAN
dan 38% untuk ekonomi ASEAN (IMF, 2014). Dilihat dari data yang ada, banyak pekerja
Indonesia yang bekerja di ASEAN, dan data ini akan naik jika digabungkan dengan data
tenaga kerja yang tidak memiliki dokumen (undocumented workers). Kebanyakan
diantara kekerasan kepada pekerja migran yang terjadi, terlebih kepada pekerja migran
ilegal merupakan salah satu indikasi akan adanya campur tangan dari agensi penyedia
tenaga kerja, dimana mereka yang mengetahui proses dari awal pengurusan terhadap
calon tenaga kerja Indonesia. Korupsi dan kurang trasparansi merupakan unsur
pendukung terjadinya trafficking.
Indonesia secara aktif terlibat dalam beberapa forum ASEAN terkait dengan
perbincangan mengenai permasalahan keamanan seperti trafficking. Indonesia mendapat
dukungan dari Filipina, Kamboja, dan Brunei Darussalam menyampaikan untuk
memfokuskan pembuatan ASEAN Convention Against Trafficking in Persons (ACTIP)
dan instrumen hukum lainnya untuk menangani kejahatan transnasional sebagaimana
yang telah disepakati oleh para pemimpin ASEAN. Akhirnya Working Group
menyepakati usulan dari Indonesia untuk membentuk draft ACTIP dan RPoA.
Pembahasan rancangan ACTIP selesai pada pertemuan ke-9 Experts Working Group di
Manila tahun 2014. Pembahasan RPoA juga selesai di waktu yang sama dan akhirnya
mendapat kesepakatan mengenai ACTIP pada tahun 2015 dalam ASEAN Summit ke-27.
Indonesia baru-baru ini menyelenggarakan Jakarta Declaration Rountable Meeting on
Addressing the Root Causs of Irregula r Movement of Persons pada 27-28 November
2015 di Jakarta dengan bidang kerja sama dalam mengatasi permasalahan migrasi
ireguler seperti trafficking .
Indonesia aktif dalam forum-forum internasional dan regional seperti Converence
of State Parties dan Working Grup lainnya yang merupakan agenda dari United Nation
Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC) , Global Forum on
Migration and Development , ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime
(AMMTC), serta Bali Process on People Smuggling, Trafficking in Persons and Relater
75
Transnational Crimes (Bali Process) . Dalam Bali Process, Indonesia dan Australia
merupakan pendiri dan Co-chair .
Kepemimpinan Indonesia di ASEAN memberikan peran penting bagi Indonesia.
Banyak gagasan yang disetujui yang merupakan salah satu bentuk dari eksistensi
Indonesia dalam kerja sama regional ASEAN. Dalam pertemuan ASEAN Leaders’s Joint
Statement in Enchancing Cooperation against Trafficking in Persons in Southeast Asia
tahun 2011 di Jakarta, serta ditegaskan kembali dalam pertemuan Joint Statement of 8 th
AMMTC di Bali tahun 2011, para pemimpin ASEAN sepakat untuk membuat ASEAN
Convention Against Trafficking in Persons (ACTIP). Negara anggota ASEAN sadar
bahwa permasalahan trafficking hanya dapat diselesaikan dengan cara kerjasama, terlebih
dalam level regional.
Indonesia dalam ASEAN Regional Formum (ARF) berusaha untuk memasukkan
memerangi permasalahan trafficking menjadi prioritas kerja dalam ARF. ARF dianggap
sebagai wadah yang tepat untuk kewaspadaan regional akan trafficking (Majalah
ASEAN, 2015:13). Keseriusan Indonesia dalam mempercepat kesepakatan instrument
ACTIP dan dengan mengajuka Workplan on Trafficking in Persons di ARF dengan
menunjukkan kevokalan Indonesia terhadap permasalahan trafficking yang ada. Upaya
Indonesia dalam memasukan Workplan ini dimulai sejak ARF Inter-Sessional Meeting
on Counter-Terrorism and Transnational Crime ke 9 tahun 2011 dan ke 13 pada tahun
2012, serta kesediaan Indonesia menjadi lead countries TIP (trafficking) di ARF bersama
dengan Uni Eropa.
Dr. Dianna Wisnu dalam pertemuan konsultasi antara AICHR dan Senior
Officials’ Meeting on Trasnational Crime on Human Rights-based Approach to
Implementation of ACTIP and APA yang berlangsung di Jakarta, September 2016,
mengatakan bahwa untuk memerangi permasalahan trafficking, kerjasama lintas negara
dalam level regional maupun internasional sangat diperlukan. Lanjutnya dikatakan bahwa
perlu adanya langkah lebih lanjut perihal identifikasi dan gambaran korban berdasarkan
sudut pandang dari pelaku, juga untuk mengidentifikasikan respons bersama ASEAN
76
untuk melengkapi hak dan kebutuhan korban didalam berbagai bidang dalam memerangi
permasalahan trafficking. Dalam kesempatan yang sama, Brigjen M. Naufal Yahya
mengatakan bahwa untuk mempercepat dalam memerangi permasalahan trafficking,
Indonesia harus mengambil langkah bersama anggota ASEAN, mengenai pencegahan
dan perlindungan, bantuan, rehabilitasi dan langkah-langkah yang lainnya dengan kerja
sama regional, dengan pendekatan HAM.
Pada tahun 2015, Thailand, Kamboja dan Singapura memasukan dokumen ratifikasi
ACTIP ke Sekretariat ASEAN. Pada awal tahun 2017 ini, Vietnam dan Myanmar
memasukan dokumen ratifikasi terkait. Sampai sekarang ini tersisa Indonesia, Malaysia,
Brunei Darrussalam, Laos, dan Fillipina yang belum memasukan dokumen ratifikasi atas
perjanjian ACTIP ini. Namun, secra resmi dikemukakan oleh Direktur Kerjasama
ASEAN, Jose Tavares, bahwa Indonesia merencanakan akan ratifikasi perjanjian ACTIP,
melalui proses harmonisasi perjanjian kedalam hukum nasional Indonesia. ACTIP ini
akan mejadi instrument hukum yang legally binding (mengikat) kepada semua anggota
menyetujui, 30 hari setelah semua dokumen ratifikasi oleh anggota-anggota telah
diserahkan kepada Sekretariat ASEAN. Selanjutnya, sesudah semua anggota telah
meratifikasi, maka akan diimplementasikan ASEAN Plan of Action (APA) Against
Trafficking in Persons Especially Woman and Children dalam level regional dan
nasional.
Dalam buku Peran Hukum Internasional (2015: 15), dikatakan bahwa apabila
negara telah menerima aturan hukum sebagai suatu yang adil, maka dengan sendirinya
negara tesebut akan mematuhi aturan tersebut. Kemudian ada juga apabila negara selalu
menjustifikasi apa yang dilakukan negara mitra kerjasamanya berdasar kepada aturan
dalam perjanjian, maka dengan sendirinya negara secara sukarela mematuhi aturan
perjanjian tersebut. Oleh karena itu, ACTIP disepakati dan akan diratifikasi oleh negara
anggota ASEAN sebagai sebuah aturan yang adil dalam menangani permasalahan
trafficking di ASEAN, serta menjadi parameter peraturan penanganan dalam
permasalahan trafficking, sehingga negara-negara ASEAN akan tetap mematuhinya.
77
V.4 Roadmap Kebijakan ASEAN dan Indonesia dalam Mengatasi Permasalahan
Trafficking .
Roadmap adalah rincian rencana yang berisikan mengenai tahapan bersifat
sistematis mengenai pelaksanaan suatu yang memiliki tujuan misalnya menangani suatu
permasalahan1. Singkatnya roadmap dapat dikatakan sebagai sebuah instrument yang
menjadi acuan suatu hal.
Dalam mengatasi permasalahan hak asasi manusia, manusia harus dilihat sebagai
komunitas global, bukan hanya sekedar bagian dari suatu negara. Namun hal tersebut
tidak berarti bahwa kedaulatan suatu negara tidak dilihat atau dihilangkan. Negara harus
menyesuaikan hukum nasionalnya (ratifikasi) agar sejalan dengan aturan atau standar
nilai yang diakui dalam masyarakat internasional (Sefrani, 2015: 23). Untuk
menyesuaikan perjanjian internasional kedalam hukum nasional, maka harus melihat
lingkungan kebijakan nasional agar tidak melenceng dari kepentingan nasional yang ada.
Kebijakan memerangi permasalahan trafficking dilakukan oleh ASEAN dan
Indonesia, dimana saling membantu dalam penyelesaian permasalahan trafficking.
Indonesia yang juga adalah anggota ASEAN memiliki permasalahan yang sama dalam
hal trafficking, seperti dalam laporan kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, Negara
anggota ASEAN masuk dalam list Tier 2 (kategori rendah) dalam penanganan trafficking.
Disamping itu, semua Negara anggota ASEAN kecuali Brunai Darrussalam dan
Singapura sudah meratifikasi Protokol Palermo tentang Pencegahan dan Penanggulangan
Trafficking.
Protokol Palermo dan ASEAN Convention Against Trafficking in Persons
memiliki isi yang hampir sama, dengan isinya yang normatif dan mengatur dalam tataran
internasional dan regional mengenai trafficking. Pertimbangan yang terdapat dalam
1
Penyusunan Roadmap Reformasi Birokrasi Pemeritah Provinsi . Retrieved from
www.menpan.go.id/jdih/category/37-raker-mataram-09-12-april-2012?download=2884:kedeputian-1program-dan-rb-kedeputian-1-penyusunan-road-map&start=10, diakses September 2016
78
Protokol Palermo, dimana adanya berbagai aturan hukum yang berbeda-beda dalam
mengatasi permasalahan eksploitasi terutama pada perempuan dan anak, serta tidak
adanya aturan hukum universal yang mengatur tentang hal serupa dengan seluruh aspek
dari trafficking, sehingga seseorang yang rentan tidak bisa dikatakan aman dari
trafficking. (Tabel 5.10).
Terdapat beberapa kekurangan dalam peraturan daerah Sulawesi Utara dalam
menangani permasalahan trafficking. Dilihat dari segi bahasa yang digunakan, peraturan
daerah Sulawesi Utara No. 1 Tahun 2004 ini masih mengkategorikan korban trafficking
yang adalah perempuan dan anak, padahal dalam peraturan internasional, regional
maupun nasional, korban disini tidak hanya perempuan dan anak melainkan
manusia/orang (tidak mengkhususkan jenis kelamin tertentu). Selain itu beberapa kata
atau kalimat seperti pemindahan seseorang dengan ancama penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat,
sehingga memperoleh persetujuan dari seseorang yang memegang kendali atas orang lain,
dan seterusnya, hilang dalam Perda Sulawesi Utara. Hal ini terlihat dalam Tabel V.10
bagian Definisi.
Di sisi lain, UU No. 21 Tahun 2007 dan Perda Sulawesi Utara juga
menghilangkan unsur hak asasi manusia seperti yang ada dalam peraturan ACTIP,
dimana dalam objektivitasnya dalam Art 1 (b)
‘Protect and assist victims of trafficking in persons, with full respect
for their human rights.’
Menjadi:
‘Tujuan Peraturan Daerah ini adalah untuk mencegah dan
memberantas bentuk-bentuk trafficking baik untuk pekerjaan tertentu
maupun untuk kegiatan seks komersial, menyelamatkan dan merehabilitasi
korban trafficking, serta memberikan keadilan dan hukuman yang efektif
terhadap pelaku maupun pihak-pihak yang mendukung trafficking.’ Pasal 2
(4) dalam Perda Sulawesi Utara
79
Menimbang masih banyaknya kekurangan yang ada bagian peraturan daerah
Sulawesi Utara, maka dirasa penting untuk merevisi peraturan ini, sesuai dengan nasional
maupun dengan perjanjian internasional atau regional yang telah disepakati oleh
Indonesia. Kemudian, peraturan yang ada di Indonesia baik UU No. 21 Tahun 2007 dan
juga Perda Sulawesi Utara No. 1 Tahun 2004 lebih banyak membahas mengenai korban
dan pelaku yang merekrut atau menjual, hal ini baik adanya, namun lebih baik juga
mengatur mengenai pelaku sebagai pembeli korban yang di traffick.
Selain itu, Indonesia masih belum memberikan dokumen ratifikasi ACTIP ke
Sekretariat ASEAN. Proses ratifikasi tidaklah gampang, melihat masih perlu adanya
pembahasan dan pertimbangan kembali mengenai perjanjian yang telah disepakati, agar
sesuai dengan kepentingan nasional masing-masing negara. Negara yang belum
meratifikasi sebuah perjanjian internasional atau regional tetap harus menghormati
moral/norma dalam perjanjian tersebut (Sefriani, 2016). Sampai saat ini Indonesia belum
meratifikasi konvensi ini dikarenakan masih ada pertimbangan-pertimbangan yang harus
diambil untuk mengharmonisasikan konvensi kedalam peraturan perundang-undangan,
tanpa melenceng dari kepentingan nasional Indonesia. Jika diperhatikan, Indonesia tidak
memiliki kesulitan dalam proses ratifikasi (mengadopsi atau harmonisasi) peraturan
ACTIP kedalam peraturan nasional Indonesia. Dalam perjalanannya, pemerintah
mungkin akan memfokuskan kepada pasal yang membahas mengenai eksradisi dan
penyelesaian masalah (art. 19 dan 27) dengan pertimbangan kepentingan nasional
Indonesia.
80
Tabel 5.10 Roadmap Kebijakan Internasional, Regional, dan Nasional Tentang
Mengatasi Permasalahan Trafficking
Instrument
Internasional
(Palermo Protocol)
Definisi
“trafficking in
persons/
perdagangan
manusia”
Instrument Regional
Intrument Domestik
(ASEAN Convention Nasional (UU RI No. Daerah
(Perda
Against Trafficking in 21 tahun 2007)
Provinsi
Sulawesi
Persons)
Utara No. 1 tahun
2004)
Art. 3 (a)
Art. 2 (a)
Pasal 1 (1)
“The
recruitment,
transportation,
transfer, harbouring
or receipt of persons,
by means of the threat
or use of force or other
forms of coercion, of
abduction, of fraud, of
deception, of the abuse
of power or of the
position
of
vulnerability or of the
giving or receving of
payments or benefits to
achieve the consent of
a
person
having
control over another
person, for the purpose
of
exploitation.
Exploitation
shall
include, at a minimum,
the exploitation of the
prostitution of other or
other forms of sexual
exploitation,
force
labour or service,
slavery or practices
similar to slavery,
servitude
or
the
removal of organs.”
“The
recruitment,
transportation,
transfer, harbouring
or receipt of persons,
by means of the threat
or use of force or
other
forms
of
coercion,
of
abduction, of fraud, of
deception, of the
abuse of power or of
the
position
of
vulnerability or of the
giving or receving of
payments or benefits
to achieve the consent
of a person having
control over another
person,
for
the
purpose
of
exploitation.
Exploitation
shall
include,
at
a
minimum,
the
exploitation of the
prostitution of other
or other forms of
sexual exploitation,
force
labour
or
service, slavery or
practices similar to
slavery, servitude or
“Perdagangan Orang
adalah
tindakan
perekrutan,
pengangkutan,
penampungan,
pengiriman,
pemindahan,
atau
penerimaan seseorang
dengan
ancama
kekerasan,
penculikan,
penykapan,
pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan
kekuasa