Pengembangan Ekonomi Kreatif Sebagai Pen

Pengembangan Ekonomi Kreatif Sebagai Penggerak
Industry Pariwisata Bali
4 Januari 2015
BY APRIST96

BAB I
PENDAHULUAN

Ekonomi kreatif adalah Mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan
stock of knowledge dari Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai faktor produksi utama dalam
kegiatan ekonominya. Struktur perekonomian dunia mengalami transformasi dengan cepat seiring
dengan pertumbuhan ekonomi, dari yang tadinya berbasis Sumber Daya Alam (SDA) sekarang
menjadi berbasis SDM, dari era pertanian ke era industri dan informasi. Alvin Toffler (1980) dalam
teorinya melakukan pembagian gelombang peradaban ekonomi kedalam tiga gelombang.
Gelombang pertama adalah gelombang ekonomi pertanian. Kedua, gelombang ekonomi industri.
Ketiga adalah gelombang ekonomi informasi. Kemudian diprediksikan gelombang keempat yang
merupakan gelombangekonomi kreatif dengan berorientasi pada ide dan gagasan
kreatif.Konsep Ekonomi Kreatif ini semakin mendapat perhatian utama di banyak negara karena
ternyata dapat memberikan kontribusi nyata terhadap perekonomian. Di Indonesia,
gaung Ekonomi Kreatif mulai terdengar saat pemerintah mencari cara untuk meningkatkan daya
saing produk nasional dalam menghadapi pasar global. Pemerintah melalui Departemen

Perdagangan yang bekerja sama dengan Departemen Perindustrian dan Kementerian Koperasi dan
Usaha Kecil Menengah (UKM) serta didukung oleh KADIN kemudian membentuk tim Indonesia
Design Power 2006 2010 yang bertujuan untuk menempatkan produk Indonesia menjadi produk
yang dapat diterima di pasar internasional namun tetap memiliki karakter nasional. Setelah
menyadari akan besarnya kontribusi ekonomi kreatif terhadap negara maka pemerintah
selanjutnya melakukan studi yang lebih intensif dan meluncurkan cetak biru pengembangan
ekonomi kreatif.
BAB II
ISI

Beberapa Alasan Pengembangan Industry Kreatif Di Indonesia
Bila dilihat luasan cakupan ekonomi kreatif tersebut, sebagian besar merupakan sektor ekonomi
yang tidak membutuhkan skala produksi dalam jumlah besar. Tidak seperti industri manufaktur
yang berorientasi pada kuantitas produk, industri kreatif lebih bertumpu pada kualitas sumber
daya manusia. Industri kreatif justru lebih banyak muncul dari kelompok industri kecil menengah.
Sebagai contoh, adalah industri kreatif berupa distro yang sengaja memproduksi desain produk
dalam jumlah kecil. Hal tersebut lebih memunculkan kesan eksklusifitas bagi konsumen sehingga
produk distromenjadi layak untuk dibeli dan bahkan dikoleksi. Hal yang sama juga berlaku untuk
produk garmen kreatif lainnya, seperti Dagadu dari Jogja atau Joger dari Bali. Kedua industri kreatif
tersebut tidak berproduksi dalam jumlah besar namun ekslusifitas dan kerativitas desain

produknya digemari konsumen.
Walaupun tidak menghasilkan produk dalam jumlah banyak, industri kreatif mampu memberikan
kontribusi positif yang cukup signifikan terhadap perekonomian nasional. Depertemen
Perdagangan (2008) mencatat bahwa kontribusi industri kreatif terhadap PDB di tahun 2002 hingga
2006 rata-rata mencapai 6,3% atau setara dengan 152,5 trilyun jika dirupiahkan. Industri kreatif
juga sanggup menyerap tenaga kerja hingga 5,4 juta dengan tingkat partisipasi 5,8%. Dari segi
ekspor, industri kreatif telah membukukan total ekspor 10,6% antara tahun 2002 hingga 2006.

Merujuk pada angka-angka tersebut di atas, ekonomi kreatif sangat potensial dan penting untuk
dikembangkan di Indonesia. Dr. Mari Elka Pangestu dalam Konvensi Pengembangan Ekonomi
Kreatif 2009-2015 menyebutkan beberapa alasan mengapa industri kreatif perlu dikembangkan di
Indonesia, antara lain :

1.

Memberikan kontibusi ekonomi yang signifikan

2.

PDB


3.

Menciptakan lapangan pekerjaan

4.

Ekspor

5.

Menciptakan iklim bisnis yang positif

6.

Penciptaan lapangan usaha

7.

Dampak bagi sector lain


8.

Pemasaran

3.

Membangun citra dan identitas bangsa

4.

Turisme

5.

Ikon nasional

6.

Membangun budaya, warisan budaya dan nilai lokal


7.

Berbasis kepada sumber daya yang terbarukan

8.

Berbasis pengetahuan, kreatifitas

9.

Green community

10.

Menciptakan inovasi dan kreativitas yang merupakan keunggulan kompetitif suatu bangsa

11.

Ide dan gagasan


12.

Penciptaan nilai

13.

Memberikan dampak sosial yang positif

14.

Kualitas hidup

15.

Pemerataan kesejahteraan

16.

Peningkatan toleransi social


Salah satu alasan dari pengembangan industri kreatif adalah adanya dampak positif yang akan
berpengaruh pada kehidupan sosial, iklim bisnis, peningkatan ekonomi, dan juga berdampak para
citra suatu kawasan tersebut.

Dalam konteks pengembangan ekonomi kreatif pada kota-kota di Indonesia, industri kreatif lebih
berpotensi untuk berkembang pada kota-kota besar atau kota-kota yang telah “dikenal”. Hal ini
terkait dengan ketersediaan sumber daya manusia yang handal dan juga tersedianya jaringan
pemasaran yang lebih baik dibanding kota-kota kecil. Namun demikian, hal itu tidak menutup
kemungkinan kota-kota kecil di Indonesia untuk mengembangkan ekonomi kreatif. Bagi kota-kota
kecil, strategi pengembangan ekonomi kreatif dapat dilakukan dengan
memanfaatkan landmark kota atau kegiatan sosial seperti festival sebagai venue untuk
mengenalkan produk khas daerah (Susan, 2004).
Ekonomi Kreatif Dan Pengembangan Wisata Pulau

Bali

Pariwisata didefinisikan sebagai aktivitas perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu dari
tempat tinggal semula ke daerah tujuan dengan alasan bukan untuk menetap atau mencari nafkah
melainkan hanya untuk bersenang senang, memenuhi rasa ingin tahu, menghabiskan waktu

senggang atau waktu libur serta tujuan tujuan lainnya (UNESCO, 2009). Seseorang atau lebih yang
melakukan perjalanan wisata serta melakukan kegiatan yang terkait dengan wisata disebut
Wisatawan. Wisatawan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu wisatawan nusantara dan
wisatawan mancanegara. Wisatawan nusantara adalah wisatawan warga negara Indonesia yang
melakukan perjalanan wisata sementara wisatawan mancanegara ditujukan bagi wisatawan warga

negara asing yang melakukan perjalanan wisata.Untuk mengembangkan kegiatan wisata, daerah
tujuan wisata setidaknya harus memiliki komponen-komponen sebagai berikut (UNESCO, 2009) :
1.

Obyek/atraksi dan daya tarik wisata

2.

Transportasi dan infrastruktur

3.

Akomodasi (tempat menginap)


4.

Usaha makanan dan minuman

5.

Jasa pendukung lainnya (hal-hal yang mendukung kelancaran berwisata misalnya biro
perjalanan yang mengatur perjalanan wisatawan, penjualan cindera mata, informasi, jasa
pemandu, kantor pos, bank, sarana penukaran uang, internet, wartel, tempat penjualan
pulsa, salon, dll).

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia sebelumnya telah menetapkan program yang
disebut dengan Sapta Pesona. Sapta Pesona mencakup 7 aspek yang harus diterapkan untuk
memberikan pelayanan yang baik serta menjaga keindahan dan kelestarian alam dan budaya di
daerah kita. Program Sapta Pesona ini mendapat dukungan dari UNESCO (2009) yang menyatakan
bahwa setidaknya 6 aspek dari tujuh Sapta Pesona harus dimiliki oleh sebuah daerah tujuan wisata
untuk membuat wisatawan betah dan ingin terus kembali ke tempat wisata, yaitu: Aman; Tertib;
Bersih: Indah; Ramah; dan Kenangan.

Pada era tradisional, souvenir yang berupa memorabilia hanya terbatas pada foto polaroid yang

menampilkan foto sang wisatawan di suatu obyek wisata tertentu. Seiring dengan kemajuan
tekonologi dan perubahan paradigma wisata dari sekedar “melihat” menjadi “merasakan
pengalaman baru”, maka produk-produk kreatif melalui sektor wisata mempunyai potensi yang
lebih besar untuk dikembangkan. Ekonomi kreatif tidak hanya masuk melalui something to
buy tetapi juga mulai merambah something to do dan something to see melalui paket-paket wisata
yang menawarkan pengalaman langsung dan interaksi dengan kebudayaan lokal.
Penerapan strategi pengembangan ekonomi kreatif melalui sektor wisata ini telah diterapkan di
beberapa wilayah.

Dalam pengembangan ekonomi kreatif melalui sektor wisata yang dijelaskan lebih lanjut oleh
Yozcu dan İçöz (2010), kreativitas akan merangsang daerah tujuan wisata untuk menciptakan
produk-produk inovatif yang akan memberi nilai tambah dan daya saing yang lebih tinggi
dibanding dengan daerah tujuan wisata lainnya. Dari sisi wisatawan, mereka akan merasa lebih
tertarik untuk berkunjung ke daerah wisata yang memiliki produk khas untuk kemudian dibawa
pulang sebagai souvenir. Di sisi lain, produk-produk kreatif tersebut secara tidak langsung akan
melibatkan individual dan pengusahaenterprise bersentuhan dengan sektor budaya. Persentuhan
tersebut akan membawa dampak positif pada upaya pelestarian budaya dan sekaligus
peningkatan ekonomi serta estetika lokasi wisata.
Salah satu pengembangan ekonomi kreaatif yang strategis adalah Ekonomi Kreatif Berbasis
Budaya Lokal. Menumbuhkembangkan ekonomi kreatif tak bisa lepas dari budaya setempat.

Budaya harus menjadi basis pengembangannya. Dalam kebudayaan lokal ada yang disebut
dengan kearifan lokal yang menjadi nilai-nilai bermakna, antara lain, diterjemahkan ke dalam
bentuk fisik berupa produk kreatif daerah setempat. Pulau bali terkenal dengan keanekaragaman
budayanya sehingga sangat tepat jika dikembangkan kegiatan kegiatan untuk menunjang
pariwisata bali. Adapun usaha yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut :

Pengembangan Ekonomi Kreatif Untuk Menunjang Pariwisata Bali melalui “something
to see”

Budaya Seni Pertunjukan Tradisional adalah elemen budaya yang paling konkret yang bisa segera
ditawarkan kepada wisatawan karena sifat universal seni tari dan musik sebagai pengiringnya lebih
mudah untuk dinikmati (diapresiasi) wisatawan tanpa perlu keterlibatan yang mendalam; dan
mudah dipaket/dikemas untuk didatangkan ke hotel-hotel, termasuk dipertontonkan ke luar negeri
dalam wujud misi kesenian untuk promosi pariwisata. Reputasi seni pertunjukan tradisional Bali
sudah diakui secara luas baik oleh para spesialis maupun wisatawan kebanyakan. Seni pertunjukan
adalah salah satu aset terpenting bagi citra pariwisata budaya.

Secara umum seni pertunjukan Bali dapat dikatagorikan menjadi tiga: wali (seni pertunjukan
sakral) yang hanya dilakukan saat ritual pemujaan; bebali pertunjukan yang diperuntukkan untuk
upacara tetapi juga untuk pengunjung; dan balih-balihan yang sifatnya untuk hiburan belaka di
tempat-tempat umum. Pengkatagorian ini ditegaskan pada tahun 1971 oleh Majelis Pertimbangan
dan Pembinaan Kebudayaan (LISTIBIYA) Bali sebagai respon dari semakin merambahnya
pertunjukan untuk pariwisata ke seni-seni yang sifatnya sakral. Pertemuan ini merekomendasikan
agar kesenian yang sifatnya wali dan bebali tidak dikomersialkan. Bandem dan deBoer dalam
bukunya Kaja and Kelod: Balinese Dance in Transition secara rinci mengklasifikasi berbagai seni
pertunjukan yang ada di Bali hingga awal tahun 1980-an. Tergolong ke dalam wali misalnya:
Berutuk, Sang Hyang Dedari, Rejang dan Baris Gede; bebali seperti: Gambuh, Topeng Pajegan,
Wayang Wong; dan balih-balihandiantaranya: Legong, Parwa, Arja, Prembon, dan Joged.
Bisa dibayangkan bahwa pertunjukan drama dan tari sering tidak sepenuhnya bisa difahami oleh
para wisatawan terutama karena faktor bahasa; disamping pada umumnya jadwal tour wisatawan
yang padat. Karena itu intervensi dilakukan oleh agen perjalanan wisata agar pertunjukan bisa
dipersingkat ke format yang lebih bisa dimengerti dan dinikmati oleh wisatawan. Genre-genre
campuran mulai bermunculan yang mengkombinasikan genre satu dengan yang lain, misalnya Cak
sebagai perpaduan cerita Ramayana dengan vokal dari Sang Hyang Dedari yang dilakukan oleh
Spies dan seorang penari bernama Limbak; atau tari Barong dan Kris dengan cuplikan dari
Mahabarata. Pertunjukan yang biasanya berdurasi satu jam. Disamping itu juga bermunculan taritari lepas (tari yang berdiri sendiri, tidak merupakan bagian dari drama); dan paket pementasan
yang menggabungkan berbagai tari lepas dari genre topeng, baris, legong dan lainnya. Seni
pertunjukan Bali yang sifatnya sakral biasanya memiliki nilai eksotisme dan magis sehingga dicaricari oleh wisatawan. Ada ketergiuran para penyedia jasa pariwisata pun kemudian menawarkan
paket-paket tiruan seni sakral tersebut. Pertunjukan barong-rangda dengan unying (tari keris)
adalah salah satu contoh klasik profanisasi yang terjadi (Lihat Bandem dan deBoer 1981: 145-150).

Kiranya idealisme untuk tidak mengkomersialkan tari wali dan bebali tidak bisa dijalankan
sepenuhnya. Sekarang pertunjukan-pertunjukan untuk pariwisata sudah mulai mepertontonkan
imitasi tari Sang Hyang Dedari; Sang Hyang Jaran, Calonarang, dan sebagainya. Dan yang terakhir
berkembang adalah istilah pertunjukan kemasan baru sebagai gabungan aspek prosesi ritual
dengan pagelaran berbagai jenis pertunjukan secara simultan seperti wayang, tari cak api, joged
bungbung, dan pertunjukan selama makan malam berupa legong, beberapa tari lepas dan drama
tari barong. Pertunjukan seperti ini kerap dilakukan dalam paket wisata puri (keraton) berupa royal
dinner seperti yang dilakukan di puri Mengwi, Kerambitan dan ditiru oleh puri-puri lain. Hotel-hotel
besar ketika menyelengarakan konvensi atau gala dinner juga kerap memakai pertunjukan
kemasan baru. Tekanan pasar untuk senantiasa menawarkan sesuatu yang baru akhirnya
berpengaruh pada penciptaan jenis-jenis pertunjukan baru.
Pengembangan Ekonomi Kreatif Untuk Menunjang Pariwisata
“Something To Do”.

Bali Melalui

Tempat suci serta alamnya yang sangat indah sangat mendukung Bali sebagai destinasi wisata
spiritual kelas dunia. Pura besakih merupakan tempat yang sangat disucikan oleh umat Hindu. Bali,
dalam lima tahun terakhir mulai berkembang spiritual tourism (wisata spiritual). Wisata spiritual
merupakan tren baru, dan bentuk pariwisata yang berkualitas. Kini, Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif melirik potensi ini, potensi pasarnya semakin luas di seluruh dunia.
“Spiritual tourism trend baru sekaligus pariwisata yang berkualitas untuk dikembangan di masa
mendatang,” kata Kepala Badan Pengembangan Sumberdaya Pariwisata Kemenparekraf, Prof. Dr.
Gde Pitana dalam suatu seminar di Denpasar, belum lama ini.
Spiritual Tourism sebagai bentuk pariwisata berkualitas karena dalam praktiknya sangat
menghargai budaya lokal, mencintai alam dan lingkungan, serta sebagian besar turisnya berasal
dari kalangan yang berpendidikan. Potensi spiritual tourism untuk dikembangkan di Indonesia
sangat besar karena Indonesia memiliki sejumlah destinasi yang cocok untuk itu terutama Bali.
“Apalagi di Bali sangat layak untuk spiritual tourism. Alamnya sangat cocok, bisa di pantai, bisa
juga di gunung (nyegara gunung). Belakangan ini di seluruh dunia, tren spirituality
makin meningkat, banyak yang tidak mendiskusikan agama melainkan berbicara spiritual. Mereka
mencari peace and harmony,”
komunitas spiritual tourism saat ini sudah mulai meluas dan kerap menjadikan Indonesia sebagai
salah satu tujuannya. Bahkan pada September 2012, rencananya akan digelar acara besar bertajuk
“Bali International Meditator Summit” dan “Bali International Yoga Conference”. “Dalam kebijakan
saat ini pengembangan spiritual tourism masuk dalam cultural heritage tourism. Dr. Somvir dari
Bali Indian Foundation (BIF) pernah mengungkapkan destinasi Bali kini mulai dilirik wisatawan
sebagai wisata spiritual. Banyak wisatawan asal Eropa tertarik untuk berlatih yoga dan meditasi
(pemusatan pikiran) saat berlibur di Bali. “Mereka berada di Bali hingga tiga bulan lamanya,
melakukan kegiatan yoga dan meditasi, di samping menikmati keunikan seni budaya dan
panorama alam Pulau Dewata. Hotel-hotel perlu memprogramkan seperti aktivitas Yoga atau
program spiritual tour untuk berkunjung ke kawasan yang layak untuk melakukan aktivitas spiritual
seperti meditasi, yoga dan lain-lain. Tidak lagi hanya dalam wacana tapi perlu “action” yang
kongkrit. Contohnya; kawasan di sekitar Pura Besakih bisa dijadikan sebagai salah satu tempat
untuk kawasan spiritual.
Bali memiliki potensi sangat besar untuk pengembangan wisata spiritual. Sebab, Pulau Bali
didukung keberadaan tempat ibadah seperti Pura Sad Kahyangan, Dang Kahyangan, dan
Kahyangan Tiga. “Julukan Bali sebagai Pulau Seribu Pura (Land of One Thousand Temples), menjadi
kekuatan bagi untuk mengembangkan wisata spiritual. Hal ini tidaklah berlebihan, karena jumlah
pura di Bali saat ini tercatat lebih dari 20 ribu unit,” Pengembangan wisata spiritual di Bali saat ini
belum digarap dengan maksimal. Sejumlah daerah di Bali memang mulai melirik pengembangan
wisata spiritual ini. Misalnya, Pemkab Gianyar yang telah menjadikan pura sebagai objek wisata
spiritual. Promosi pun gencar dilakukan, khususnya untuk pura yang telah ditetapkan sebagai objek
wisata spiritual seperti Pura Tirtha Empul, Pura Goa Gajah, Pura Gunung Kawi, di Desa Sebatu, Pura
Masceti, Pura Medahan dan Pura Keramas.

Di Bali dari sekian banyak pasraman sebagai tempat dan melatih kegiatan yoga dan
meditasi bagi wisatawan mancanegara adalah ashram Telaga Mas Ratu Bagus Desa Muncan,
Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem.Ashram yang dibangun dalam lingkungan desa yang
kondisinya masih asri dan lestari itu lokasinya tidak begitu jauh dari kawasan suci Pura Besakih,
tempat suci umat Hindu terbesar di Pulau Dewata. Bali mewarisi gerakan-gerakan yoga dengan
jurus-jurus yang beragam dan unik, serta kolaborasi dengan silat, gerakan bela diri, sehingga
dinilai mempunyai keistimewa dibanding yoga secara umum. Yoga kolaborasi dengan silat itu
seperti yang ditampilkan dalam Bali Internasional Festival Yoga Meditasi memiliki lebih dari 100

gerakan, sehingga menjadikan Bali memiliki potensi yoga cukup besar di tingkat nasional maupun
internasional.Demontrasi yoga yang ditampilkan utusan dari 13 pasraman di Bali itu masingmasing dikemas dalam suguhan seni, satu sama lainnya berbeda, semuanya warisan dari para
leluhur yang hingga kini masih dapatdilestarikan.Unjuk kemampuan yoga dari masing-masing
pasraman itu juga dikombinasikan dengan penampilan seni tari Siddha Urif garapan pasraman
Ratu Bagus Karangasem, persembahan seni dari Yayasan Anand Krishna Ashram, barong sai dan
kesenian Bali topeng bondres. Festival yoga itu juga dimeriahkan dengan ritual Homa Yadnya (agni
Hotra) yang melibatkan seluruh peserta, baik dari mancanegara maupun peserta lokal di Bali.
Semua kegiatan itu diharapkan mampu mendukung Pulau Dewata sebagai salah satu tujuan wisata
spiritual.
Pengembangan Ekonomi Kreatif Untuk Menunjang Pariwisata Bali Melalui “Something
To Buy”.
Salah satu produk yang terkenal dari Indonesia adalah produk tenun. Tenun adalah warisan budaya
dan jati diri bangsa Indonesia. Permintaan akan kain-kain tenun terus meningkat tiap tahun .
Banyak orang-orang dari mancan negara dating ke Indonesia untuk membeli produk-produk tenun
baik untuk barang koleksi maupun untuk dijual lagi di Negaranya . Jadi produk tenun ini sangat
berpeluang untuk dikembangkan dan menjadi salah satu alternatif untuk menciptakan produk
ekonomi kreatif .

Banyak daerah yang menghasilkan kerajinan tenun di Indonesia , salah satunya adalah provinsi
Bali , khususnya di Kabupaten Karangasem . Di Bali terdapat perusahaan yang menghasilkan
produk tenun yaitu Bali Arta Nadi . Perusahaan ini memproduksi berbagai jenis kain tenun yaitu
endek , songket . Kain-kain ini banyak digemari oleh para wisatawan . Perusahaan Bali Arta Nadi
selain mempunyai usaha produk tenun , juga mempunyai beberapa fasilitas akomodasi wisata
seperti villa . Hal ini akan meningkatkan perkembangan pariwisata karangasem , serta
meningkatkan omset penjualan produk tenun . Jika di lihat dari sector pariwisata produksi tenun
inilah yang mendatangkan wisatawan , sehingga produksi tenun merupakan salah satu sektor
ekonomi kreatif yang bisa meningkatkan kunjungan wisatawan domestic maupun mancanegara .

Pengaruh Perkembangan Pariwisata Bali Terhadap Struktur

Perekonomian dan

Kesejahteraan Masyarakat Bali
Dengan berkembangnya sektor pariwisata di Provinsi Bali, yaitu dengan indikator meningkatnya
kunjungan wisatawan asing dan domestik serta meningkatnya pendapatan pada subsektor
perdagangan hotel dan restoran, menyebabkan sektor jasa meningkat pesat melebihi sektor
pertanian dan sector industri. Dengan pesatnya pertumbuhan sektor jasa sebagai akibat dari
perkembangan pariwisata, maka terjadi ketidak seimbangan pertumbuhan sektorsektor ekonomi di
Provinsi Bali, yang selanjutnya menyebabkan terjadinya perubahan struktur produksi dan struktur
penyerapan tenaga kerja dari pertanian ke jasa.

Struktur perekonomian Bali sangat spesifik dan mempunyai karateristik tersendiri dibandingkan
dengan propinsi lainnya di Indonesia. Spesifik perekonomian Bali itu dibangun dengan
mengandalkan industri pariwisata sebagai leading sector, telah mampu mendorong terjadinya
suatu perubahan struktur. Perubahan struktur ekonomi Bali tidak saja dilihat dari segi pendapatan
saja, namun juga dari kesempatan kerja. Presentase pekerja di Bali turun setiap tahunnya sebesar
43,12% di sektor pertanian,yang mengalami fluktuasi pertumbuhan penyerapan tenaga kerja dari
2,6% menjadi 1,3%. Membaiknya pertumbuhan ekonomi Bali menjadi salah satu indikator semakin
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Pulau Dewata. Sektor pertanian memberikan andil

sebesar 18,21 persen, pertambangan dan penggalian 0,65 persen, sektor industri pengolahan 9,16
persen, serta listrik, gas dan air bersih dua persen. Sektor bangunan menyumbang sekitar 4,4
persen, perdagangan, hotel dan restoran 30 persen, angkutan dan komunikasi 13,76 persen, sektor
keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 7,11 persen dan sektor jasa-jasa lainnya 14,72 persen.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Bali atas dasar harga berlaku mencapai Rp57,579 miliar
selama 2009, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya Rp49,922 triliun. PDRB perkapita
mengalami peningkatan dari Rp14,2 juta pada tahun 2008 menjadi Rp16,21 juta pada akhir
2009. Perkembangan pariwisata menyebabkan kesejahteraan masyarakat secara tidak langsung
meningkat melalui kinerja perekonomian dan perubahan struktur ekonomi yang dihasilkan oleh
perkembangan pariwisata. Melalui kinerja perekonomian dan perubahan struktur ekonomi
pengaruh perkembangan pariwisata terhadap kesejahteraan masyarakat meningkat menjadi
0,569. Hal ini berarti bahwa pengaruh tidak langsung perkembangan pariwisata tidak langsung
meningkat melalui kinerja perekonomian dan perubahan struktur ekonomi adalah sebesar 0,345
yang lebih besar dari koefisien pengaruh langsung yang hanya 0,224. Kesimpulan ini sesuai
dengan pendapat Spillane (1989; 47) dan juga Ave (2006) yang mengatakan bahwa pariwisata di
samping memberikan dampak langsung juga memberikan dampak tidak langsung dan dampak
ikutan (induced effect) terhadap perekonomian. Dampak tidak langsung dinikmati oleh karyawan
hotel, restoran, biro perjalanan wisata, objek tujuan wisata, sopir angkutan, penerimaan pajak bagi
pemerintah, pengrajin cenderamata, seniman, percetakan, pedagang sayur-sayuran dan buahbuahan, pompa bensin, dan sebagainya. Dampak ikutan antara lain meningkatkan pendapatan
bagi petani sayur dan buah-buahan, peternak, pemasok bahan baku untuk barang kerajinan, sektor
industri, perdagangan, dan sektor agribisnis.
Tidak adanya pengaruh langsung dan signifikan perkembangan pariwisata terhadap kesejahteraan
masyarakat dijelaskan sebagai berikut. Seperti yang dikemukakan oleh Spillane (1989: 47) dan Ave
(2006) bahwa industri pariwisata merupakan mata rantai yang sangat panjang, dan dampak
langsung dari kunjungan pariwisata adalah hanya terhadap subsektor yang menerima pendapatan
dari belanja wisatawan, yaitu: hotel, restoran, biro perjalanan, perdagangan. Karena masyarakat
yang bekerja langsung pada sektor pariwisata relatif kecil, yaitu 14,52 persen pada tahun 1980,
tahun 1990 sebanyak 15,58 persen, tahun 2000 sebanyak 24,06 persen dan tahun 2004 sebanyak
26,63 persen, sehingga perkembangan pariwisata tidak memberikan pengaruh langsung yang
signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Ekonomi kreatif yang strategis adalah Ekonomi Kreatif Berbasis Budaya Lokal.
Menumbuhkembangkan ekonomi kreatif tak bisa lepas dari budaya setempat. Budaya harus
menjadi basis pengembangannya. Dalam kebudayaan lokal ada yang disebut dengan kearifan lokal
yang menjadi nilai-nilai bermakna, antara lain, diterjemahkan ke dalam bentuk fisik berupa produk
kreatif daerah setempat. Melalui ide pemasaran ini menjadikan Pulau Bali terkenal dengan
keanekaragaman budayanya ke mancanegara.

DAFTAR PUSTAKA
http://bali-bisnis.com/index.php/wisata-spiritual-wisman-tertarik-yoga-di-bali/
http://tourismbali.wordpress.com/2011/04/10/dimensi-ekonomi-pariwisata-kajianterhadap-dampak-ekonomi-dan-refleksi-dampak-pariwisata-terhadap