T LIN 1202062 Chapter5

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

Bab 5 ini dihadirkan simpulan dan saran berdasarkan hasil temuan dan
pembahasan pada bab sebelumnya. Simpulan dipaparkan di awal (5.1) sedangkan
saran disampaikan belakangan (5.2).
5.1

Simpulan

Penelitian ini terfokus pada perubahan fonologis konsonan bilabial dan
apikoalveolar pada anak DS. Permasalahan penelitian terpusat pada tiga hal yaitu
tuturan anak DS dalam melafalkan konsonan bilabial, tuturan anak DS dalam
melafalkan konsonan apikoalveolar, dan pola perubahan fonologis konsonan
bilabial dan apikoalveolar anak DS berdasarkan tipe perubahan bunyi.
Simpulan pertama merujuk pada permasalahan penelitian pertama yaitu
tuturan anak DS dalam melafalkan konsonan bilabial. Dalam pelafalan konsonan
bilabial, anak DS melakukan kesalahan pelafalan baik pada posisi awal, tengah,
maupun akhir. Kesalahan pelafalan ini dapat disimpulkan pada tiga hal. Pertama,
penghilangan bunyi pada posisi awal, tengah, dan akhir kata. Penghilangan bunyi
ini terjadi pada tiga kemungkinan yaitu penghilangan fonem, penghilangan

silabel, dan penghilangan silabel yang disertai dengan salah satu fonem dari
silabel yang mengikutinya. Untuk penghilangan fonem cenderung terjadi pada
posisi akhir dan pada kata yang terdiri dari satu suku kata sedangkan
penghilangan silabel terjadi pada kata yang terdiri dari multisilabel, posisi awal
dan tengah kata. Kedua, penggantian bunyi. Bunyi pengganti merupakan bunyi
yang memiliki kesamaan baik dalam cara berartikulasi, tempat artikulasi atau
bergetar tidaknya pita suara. Gejala kesalahan tipe ini terjadi pada posisi awal,
tengah, dan akhir kata. Pada posisi awal, bunyi [p] diganti dengan bunyi [b] dan
[t], bunyi [m] diganti dengan bunyi [n]. Posisi tengah, bunyi [p] diganti dengan
bunyi [b], dan posisi akhir bunyi [b] diganti dengan bunyi [h], bunyi [p] diganti
Laili Rahmatul Fajri, 2014
PERUBAHAN FONOLOGIS KONSONAN BILABIAL DAN APIKOALVEOLAR PADA ANAK DOWN
SYNDROME
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

dengan bunyi [y], [ŋ], dan [h], dan bunyi [m] diganti dengan bunyi [h]. Terakhir,
gejala penambahan berupa bunyi sertaan [h] pada posisi awal dalam pelafalan
bilabial /b/ dan /p/.
Simpulan kedua terkait dengan tuturan anak DS dalam melafalkan konsonan
apikoalveolar. Anak DS tidak terlalu mengalami kesulitan besar ketika melafalkan

bunyi apikoalveolar hambat dan nasal seperti [d], [t], dan [n]. Sebaliknya bunyi
apikoalveolar sampingan dan getar cenderung kurang mampu dilafalkan. Tanda
bahwa mereka kesulitan dalam melafalkan bunyi-bunyi apikoalveolar dapat
dilihat dengan adanya penghilangan dan penggantian bunyi. Penghilangan bunyi
terjadi pada fonem apikoalveolar posisi awal, tengah, dan akhir. Sama halnya
seperti bunyi bilabial, penghilangan bunyi terjadi pada tiga kondisi yaitu
penghilangan fonem, penghilangan

silabel, dan penghilangan silabel disertai

salah satu fonem dari silabel selanjutnya. Penghilangan fonem terjadi pada posisi
awal, tengah, dan akhir dalam kata yang terdiri dari satu suku kata sedangkan
penghilangan silabel terjadi pada posisi awal dan tengah dalam kata multisilabel.
Kemudian gejala kesalahan selanjutnya ditandai dengan penggantian bunyi yang
terjadi pada posisi awal, tengah dan akhir kata. Pada posisi awal, bunyi [l] dan [r]
diganti dengan bunyi [y]. Posisi tengah, bunyi [d] diganti dengan bunyi [t] dan
[w], bunyi [n] diganti dengan [t], bunyi [l] dan [r] diganti dengan bunyi [y] dan
[t]. Sedangkan pada posisi akhir, bunyi [t], [n], [l], dan [r] diganti dengan bunyi
[h].
Simpulan ketiga mengacu pada pola perubahan fonologis anak DS dalam

melafalkan konsonan bilabial dan apikoalveolar berdasarkan tipe perubahan
bunyi. Tipe perubahan bunyi ini diadopsi dari teori Crowley (1992). Menurut
Crowley jenis-jenis perubahan bunyi itu adalah lenisi, rotasi, aferesis, apokop,
sinkop, reduksi kluster, kompresi, eksresins, dll. Perubahan bunyi menurut teori
Crowley berdasarkan posisi pada kata. Hasil yang didapat dari tes pelafalan
konsonan bilabial dan apikoalveolar anak DS selama penelitian adalah anak DS
cenderung melakukan apokop atau penanggalan bunyi pada akhir kata (35 %).
Penghilangan bunyi pada akhir kata ini dilakukan demi kenyamana mereka dalam
Laili Rahmatul Fajri, 2014
PERUBAHAN FONOLOGIS KONSONAN BILABIAL DAN APIKOALVEOLAR PADA ANAK DOWN
SYNDROME
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

melafalkan kata secara sempurna. Selain apokop, anak DS pun melafalkan
perubahan bunyi lain seperti lenisi, sinkop dll. Lebih tepatnya ada delapan tipe
perubahan yang teridentifikasi dilakukan oleh anak DS dalam melafalkan bunyi
konsonan bilabial dan apikoalveolar. Frekuensi kemunculan terbanyak dari
kedelapan tipe perubahan ini adalah pola apokop. Namun, adapula dari beberapa
tuturan anak DS yang muncul berupa perubahan-perubahan bunyi yang belum
terwadahi oleh teori.

Jadi, dapat dikatakan bahwa anak DS mampu menghasilkan kata walaupun
banyak terjadi penyimpangan bunyi dalam pengucapan, terutama bunyi getar,
letupan bersuara, dan geseran. Penyimpangan ini muncul dengan teratur
membentuk pola-pola penyimpangan. Selain itu muncul pula pola penyimpangan
lain yang belum terwadahi oleh teori sebagai bentuk ketidakmampuan anak DS
dalam melafalkan suatu kata. Selain itu, anak DS pun akan memproduksi bunyi
akhir pada kata. Ini ditemukan ketika anak DS melafalkan bentuk kata yang terdiri
dari multisilabel, mereka tidak akan menghilangkan suku kata terakhir seperti
yang terjadi pada proses kompresi. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Slobin
(1979) bahwa anak akan cenderung untuk melafalkan atau memperhatikan akhir
dari suatu bentuk. Inilah perubahan fonologis anak DS dalam melafalkan
konsonan bilabial yang bersifat nondistingtif terhadap fonem yang artinya
perubahan-perubahan ini tidak mempengaruhi makna kata karena fungsi
perubahan fonologis ini hanya mempermudah pelafalan konsonan bilabial dan
apikoalveolar anak DS saja. Disamping itu, anak DS mengalami banyak kesalahan
pelafalan dikarenakan adanya kelainan organ berbicara, diantaranya lidah yang
berukuran besar dan panjang yang selalu menjulur keluar dan mengeluarkan
cairan (lingual), kelainan pada paru-paru (pulmonal) sehingga mengakibatkan
banyaknya pelafalan secara aspirasi seperti terengah-engah ketika berbicara, pada
pita suara (laringal), dan pada rongga mulut dan kerongkongan (resonantal).

5.2

Saran

Laili Rahmatul Fajri, 2014
PERUBAHAN FONOLOGIS KONSONAN BILABIAL DAN APIKOALVEOLAR PADA ANAK DOWN
SYNDROME
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Penelitian ini memiliki keterbatasan, oleh karena itu disarankan agar deskripsi dan
eksplorasi mengenai perubahan fonologis anak DS pada konsonan bilabial dan
apikoalveolar dapat lebih komprehensif dan mendalam. Untuk penelitian
selanjutnya disarankan memberikan tes pelafalan dengan jumlah kata yang lebih
banyak. Dengan menyertakan banyak kata, gambaran yang lebih utuh mengenai
tuturan dan perubahan bunyi konsonan bilabial dan apikoalveolar akan lebih
terlihat. Disarankan pula disertai kajian psikolinguistik dengan pembahasan yang
lebih detail seperti pada tataran semantik atau makna, sintaksis, dan pragmatik
sehingga penelitian ini akan lebih lengkap dan menarik. Selain itu, pola fonotaktif
hasil penelitian dapat digunakan sebagai dasar pelatihan untuk terapis wicara.


Laili Rahmatul Fajri, 2014
PERUBAHAN FONOLOGIS KONSONAN BILABIAL DAN APIKOALVEOLAR PADA ANAK DOWN
SYNDROME
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Laili Rahmatul Fajri, 2014
PERUBAHAN FONOLOGIS KONSONAN BILABIAL DAN APIKOALVEOLAR PADA ANAK DOWN
SYNDROME
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu