T LIN 1202062 Chapter1

BAB I
PENDAHULUAN

Tesis ini membahas gejala perubahan bunyi konsonan bilabial dan apikoalveolar
yang terjadi ketika anak Down Syndrome bertutur. Pada bab pendahuluan ini
disajikan secara berurutan mulai dari latar belakang penelitian (1.1), batasan
penelitian (1.2), rumusan masalah (1.3), tujuan penelitian (1.4), manfaat penelitian
(1.5), dan terakhir definisi operasional (1.6).
1.1

Latar Belakang Penelitian

Perkembangan bahasa sering menjadi indikator tingkat kecerdasan anak karena
bahasa melibatkan kemampuan kognitif, sensorik, motorik, psikologis, dan emosi
(Pusponegoro, 1997:80). Setiap anak yang normal pertumbuhan pikirannya akan
belajar bahasa pertama atau bahasa ibu dalam tahun-tahun pertama dalam
hidupnya dan proses ini terjadi hingga kira-kira umur 5 tahun. Pembelajaran
bahasa berlanjut pada masa pubertas (sekitar 12-14 tahun) hingga menginjak
dewasa (sekitar 18-20 tahun). Sesudah pubertas keterampilan bahasa anak tidak
banyak kemajuannya, umpamanya dalam kosakata, ia belajar bahasa ibu terus
menerus selama hidupnya. Anak dikatakan mengalami keterlambatan atau

kesulitan berbahasa jika kemampuannya menyimpang dari standar tersebut. Salah
satu yang mengalami kesulitan berbahasa pada anak ditemui pada penderita Down
Syndrome (DS).
DS merupakan kelainan kromosom yang paling lazim dan juga merupakan
penyebab ketidakmampuan intelektual yang paling sering ditemukan pada anak.
Kelainan yang berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental ini
pertama kali dikenal pada tahun 1866 oleh Dr. Jhon Langdon Down (Selikowitz,
2001:37). Anak DS memiliki ciri-ciri fisik seperti wajah yang lebih rata dari anakanak normal dengan mata sipit seperti mongol. Selain itu ciri-ciri yang langsung
1
Laili Rahmatul Fajri, 2014
PERUBAHAN FONOLOGIS KONSONAN BILABIAL DAN APIKOALVEOLAR PADA ANAK DOWN
SYNDROME
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

terlihat adalah saat lahir, bayi DS memiliki telinga yang kecil, tengkorak kepala
yang pendek, kepala bagian belakang yang rata, leher yang pendek dengan
lipatan-lipatan yang banyak, bentuk tubuh yang pendek dan lidah yang kuat
(Mangunsong, 1998:120). Selain ciri fisik yang dapat dikenali dengan mudah,
penderita DS pun memiliki kemampuan intelektual yang sangat beragam dan
salah jika kita menganggap kemampuan berbahasa semua penderitanya sama.

Menurut Carrol (1986:95) tingkatannya terbagi atas ringan (IQ 53-68), sedang (IQ
36-52), berat (IQ 20-35) dan parah (IQ di bawah 20).
Perkembangan

bahasa

anak

DS

mengalami

keterlambatan

memproduksi kata dibanding dengan anak normal lainnya karena

dalam
mereka

memiliki kerusakan pada organ tubuh yang menyebabkan keterlambatan proses

perkembangan baik fisik ataupun mental (Anderson, 2001 dalam Lewis, 2003:
193). Keterlambatan fisik dan mental inilah yang kerap menjadi kendala penderita
DS dalam berbahasa baik produktif maupun reseptif. Kendala utama penderita DS
dapat terlihat ketika mereka melafalkan bunyi dan berbicara. Dalam hal pelafalan
bunyi, penderita DS terkadang harus berhadapan dengan kesalahan-kesalahan
pengucapan. Bunyi-bunyi dan suara yang diproduksi oleh alat ucap manusia
dipelajari, dibahas, dan dianalisis oleh fonologi (Chaer, 2009:1). Perkembangan
kompetensi fonologis didefinisikan sebagai proses yang kompleks dan tergantung
pada beberapa hal seperti mengikuti urutan bunyi, memproduksi suara dan
mengkombinasikan keduanya sehingga menjadi suatu kata atau frasa yang dapat
dipahami (Berk, 2006: 368).
Stoel-Gammon (2001) memaparkan bahwa kendala perkembangan fonologi
anak DS dilatarbelakangi oleh tiga faktor yaitu: 1) adanya gangguan pendengaran
(hearing loss); 2) perbedaan dalam anatomi dan fisiologi (differences in anatomy
and physiology); dan 3) lingkungan pembelajaran bahasa (language learning
environment). Kendala lain penderita DS adalah berbicara. Tidak seperti anak
normal lainnya yang memulai memproduksi kalimat ketika pemerolehan kosakata
mereka sekitar 50 kata, hal yang berbeda dialami oleh anak DS. Mereka belum
2
Laili Rahmatul Fajri, 2014

PERUBAHAN FONOLOGIS KONSONAN BILABIAL DAN APIKOALVEOLAR PADA ANAK DOWN
SYNDROME
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

dapat memproduksi kalimat hingga kosakata yang diakuisisi sekitar 100 kata
(Buckley,1993). Namun karakteristik kalimat yang diproduksi cenderung pendek
dan telegrafis (Lewis, 2003: 231). Meskipun kemampuan berbahasa mereka
cenderung pendek dan telegrafis (tanpa imbuhan dan kata sambung, mirip bahasa
dalam telegram) namun ini tidak menjadi hambatan bagi penderita DS untuk
berprestasi. Salah satu penderita DS yang membuat bangga nama Indonesia
adalah Stephanie Handojo yang menjadi salah satu pembawa obor Olimpiade
London pada tahun 2012 (Kompas, 24 April 2014). Ini membuktikan bahwa
penderita DS pun bisa berprestasi asal didampingi oleh orang tua yang memiliki
kesabaran dan kasih sayang yang besar untuk membantu mereka dalam menekuni
bakat yang mereka minati.
Kini istilah DS sudah tidak asing lagi di masyarakat karena mereka sudah
menyadari akan keunikan DS. Hal ini diimbangi oleh jumlah kenaikan penderita
DS yang semakin bertambah dan penelitian-penelitian yang dilakukan dalam
mengamati fenomena-fenomena DS. Kajian terhadap fenomena penderita DS
yang telah banyak diteliti di antaranya mengenai bagaimana perkembangan anak

DS dengan perkembangan anak normal. Selain itu penelitian DS merambah pada
area pengajaran dan terapi (Lecas et al. 2010; Baylis &Margaret 2011; Burgoyne
et al. 2013). Akan tetapi penelitian mengenai aspek kebahasaan khususnya polapola perubahan bunyi segmental yang diujarkan penderita DS belum banyak yang
meneliti dan buku literatur khusus membahas DS sulit ditemukan. Kesulitan inilah
yang menjadi latar belakang penulis untuk memberikan gambaran terkait
fenomena kelainan pelafalan bunyi anak DS ketika melafalkan sebuah kata dan
memberikan sudut pandang linguistik dalam meneliti anak berkebutuhan khusus
yang biasanya hanya dilihat dari segi kesehatan dan psikologi saja.
Penelitian ini mengusung judul perubahan fonologis konsonan bilabial dan
apikoalveolar pada anak DS. Hal ini didasari oleh penelitian Leddy (1999); Miller
and Leddy (1998) bahwa kesalahan pengucapan yang ditemukan pada beberapa
kasus DS adalah kesalahan dalam melafalkan konsonan bilabial seperti [b], [p],
3
Laili Rahmatul Fajri, 2014
PERUBAHAN FONOLOGIS KONSONAN BILABIAL DAN APIKOALVEOLAR PADA ANAK DOWN
SYNDROME
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

dan [m]. Penelitian ini dikhususkan untuk melihat perubahan serta pola bunyi
konsonan apikoalveolar dan bilabial ketika penderita DS melafalkan kata. Katakata yang dipakai adalah kata Indonesia karena bahasa ibu yang diakuisisi oleh

kedua informan adalah bahasa Indonesia. Kata Indonesia ini terdiri dari nomina,
verba, dan ajektifa yang merupakan kata utama dan memiliki suku kata yang
bervariasi yaitu satu, dua, dan tiga.
Pada akhirnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi studi
ilmu kebahasaan dalam mengembangkan konsep baru terhadap bunyi-bunyi
ujaran khususnya ujaran anak DS. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberi kontribusi bagi para ahli dalam ilmu kesehatan untuk mengembangkan
hasil penelitian ini sebagai dasar dalam melakukan terapi wicara terhadap anak
DS.

1.2

Batasan Penelitian

Penelitian ini hanya mendeskripsikan tuturan dan merumuskan pola perubahan
bunyi yang dihasilkan ketika anak DS melafalkan kata bahasa Indonesia.
Perubahan bunyi yang diteliti adalah bunyi konsonan bilabial dan apikoalveolar.
Bunyi-bunyi konsonan ini dipilih karena ketidakmampuan informan dalam
melafalkan bunyi konsonan jenis ini sehingga terjadi pelafalan bunyi lain. Maka
pemilihan bunyi konsonan bilabial dan apikoalveolar ini bertujuan untuk

membuktikan bahwa anak DS membutuhkan upaya yang besar ketika melafalkan
bunyi-bunyi segmental yang tersusun dari konsonan bilabial dan apikoalveolar
sehingga sering terjadi perubahan bunyi segmental lain. Bunyi-bunyi konsonan ini
kemudian di transkripsi ke dalam transkripsi fonetis dari Chaer (2013) dan
dianalisis menggunakan teori perubahan bunyi Crowley (1992). Dengan
pembatasan masalah ini maka pembahasan penelitian tidak terlalu jauh yaitu
hanya meneliti ihwal perubahan fonologis dan pola perubahan fonologis konsonan
bilabial dan apikoalveolar anak DS dalam melafalkan kata Indonesia.

4
Laili Rahmatul Fajri, 2014
PERUBAHAN FONOLOGIS KONSONAN BILABIAL DAN APIKOALVEOLAR PADA ANAK DOWN
SYNDROME
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

1.3

Rumusan Masalah

Peneliti merumuskan permasalahan yang dikaji dalam beberapa pertanyaan

berikut.
1) Bagaimana tuturan anak DS dalam melafalkan konsonan bilabial?
2) Bagaimana tuturan anak DS dalam melafalkan konsonan apikoalveolar?
3) Bagaimana pola perubahan fonologis anak DS dalam melafalkan konsonan
bilabial dan apikoalveolar berdasarkan tipe perubahan bunyi?

1.4

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah menjawab beberapa pertanyaan yang telah dirumuskan
dalam rumusan masalah penelitian, yakni:
1) Mendeskripsikan tuturan anak DS dalam melafalkan konsonan bilabial.
2) Mendeskripsikan

tuturan

anak

DS


dalam

melafalkan

konsonan

apikoalveolar.
3) Mendeskripsikan pola perubahan fonologis anak DS dalam melafalkan
konsonan bilabial dan apikoalveolar berdasarkan tipe perubahan bunyi .
4) Mengungkap perwujudan perubahan fonologis konsonan bilabial dan
apikoalveolar anak DS seperti adanya penghilangan, penambahan serta
bunyi pengiring pada awal, tengah, dan akhir kata yang dilafalkan dan
memfokuskan penelitian ini hanya pada bidang fonologi.

1.5

Manfaat Penelitian

Dalam melakukan penelitian, setiap peneliti pasti mempunyai harapan agar hasil

penelitiannya bermanfaat bagi orang lain atau untuk kepentingan pengembangan
ilmu pengetahuan. Adapun manfaat yang diperoleh dan penelitian adalah sebagai
berikut.
1) Memperkaya hasil penelitian dalam pengembangan ilmu kebahasaan pada
umumnya dan menambah khasanah dalam bidang fonologi khususnya.

5
Laili Rahmatul Fajri, 2014
PERUBAHAN FONOLOGIS KONSONAN BILABIAL DAN APIKOALVEOLAR PADA ANAK DOWN
SYNDROME
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

2) Memberikan gambaran perubahan fonologis anak DS dalam memproduksi
kata.
3) Memperluas ruang lingkup kajian tentang DS yang sebelumnya lebih
banyak diungkap oleh kalangan psikologi untuk lebih menyentuh area
linguistik dalam ranah fonologi.
4) Memberikan informasi kepada masyarakat umumnya dan para linguis
khususnya untuk lebih bijaksana dalam menghadapi anak-anak DS.
5) Memberikan kontribusi bagi ilmu pengetahuan selain kebahasaan seperti

ilmu kesehatan sebagai dasar melakukan terapi wicara terhadap anak DS.

1.6

Definisi Operasional

1) Istilah perubahan fonologis identik dengan bidang ilmu linguistik historis
komparatif yang merupakan salah satu cakupan ilmu linguistik yang
mempersoalkan bahasa dalam bidang waktu serta perubahan-perubahan
unsur bahasa yang terjadi dalam waktu tersebut (Keraf, 1984:22). Meskipun
demikian, istilah perubahan fonologis pun termasuk dalam salah satu teori
bidang fonologi yang dikenal dengan istilah natural processes (perubahan
alamiah) (Ariyanto, 2009:11).
Perubahan fonologis yang dimaksud dalam penelitian ini ialah perwujudan
bunyi bilabial dan apikoalveolar dalam pelafalan kata Indonesia yang
diproduksi oleh anak DS pada posisi kata di awal, tengah, dan akhir yang
tidak menimbulkan perubahan makna. Perubahan fonologis dalam
penelitian ini hanya terbatas pada tataran fonologi segmental dan peneliti
tidak membahas penyebab terjadinya perubahan bunyi seperti kelainan
artikulator anak DS.
2) Konsonan adalah klasifikasi bunyi yang terjadi setelah arus udara melewati
pita suara yang terbuka sedikit atau agak lebar, diteruskan ke rongga mulut

6
Laili Rahmatul Fajri, 2014
PERUBAHAN FONOLOGIS KONSONAN BILABIAL DAN APIKOALVEOLAR PADA ANAK DOWN
SYNDROME
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

atau rongga hidung dengan mendapat hambatan di tempat-tempat artikulasi
tertentu.
Bunyi konsonan yang dikaji dalam penelitian ini adalah bunyi konsonan
bilabial dan apikoalveolar. Ini didasarkan bahwa kedua informan tidak
mampu melafalkan bunyi-bunyi konsonan apikoalveolar seperti bunyi [t],
bunyi [d], bunyi [n], bunyi [l], dan bunyi [r]. Misalnya bunyi [t] pada kata
dilafalkan menjadi bunyi [ŋ] yang diujarkan [ŋaŋan].
3) Menurut National Dissemination Center for Children with Disabilities
(2010) down syndrome adalah kondisi kromosom yang umum dan mudah
diidentifikasi yang berkaitan dengan cacat intelektual. Hal ini disebabkan
karena terjadi kegagalan dalam proses pembelahan sel sehingga menjadi
berjumlah 47 kromosom, dimana normalnya kromosom adalah 46
kromosom. Kelebihan kromosom ini mempengaruhi perkembangan tubuh
dan otak. Terdapat berbagai variasi dalam hal kemampuan mental, perilaku
dan kemajuan perkembangan pada anak DS. Tingkat hambatan intelektual
terjadi mulai dari tingkat ringan sampai berat dengan mayoritas berada
dikisaran ringan sampai sedang.
Jadi yang dimaksud anak DS dalam penelitian ini adalah anak DS yang
telah didiagnosa memiliki perubahan fonologis dalam produksi kata karena
dislogia dan memiliki tingkat intelektual sedang.
4) Kata adalah bentuk terkecil yang ditemukan dalam sebuah bahasa (Aronof
& Fudeman, 2005: 243). Kata ini merupakan gabungan dari struktur suku
dengan struktur lain (Dardjowidjojo, 2008: 41). Struktur suku kata ini terdiri
dari vokal dan konsonan.
Untuk aspek kata yang dikaji dalam penelitian ini hanya aspek fonologis
yaitu bunyi-bunyi yang diatur sehingga menjadi sebuah bahasa.

7
Laili Rahmatul Fajri, 2014
PERUBAHAN FONOLOGIS KONSONAN BILABIAL DAN APIKOALVEOLAR PADA ANAK DOWN
SYNDROME
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu