Pertanggungjawaban Pidana Anak Terhadap Tindak Pidana Turut Sertadengan Sengaja Membujuk Anak Melakukan Persetubuhan (Analisis Nomor 14 Pid.Sus-Anak 2015 PN-Pdg)

BAB I
PENDAHULUAN

H. Latar Belakang
Arus globalisasi yang diikuti oleh perkembangan ekonomi,

ilmu

pengetahuann dan teknologi menimbulkan dampak positif dan dampak negatif.
Dampak positif pesatnya perkembangan antara lain terciptanya berbagai macam
produk yang berkualitas dan berteknologi, terbukanya informasi yang diperoleh
melalui satelit dan meningkatnya pendapatan masyarakat. 1 Dampak negatifnya
antara lain semakin meningkatnya krisis moral di masyarakat yang berpotensi
meningkatnya jumlah orang melawan hukum pidana dalam berbagai bentuk.
Tindak kejahatan yang dilakukan anak dan menyebabkan anak konflik
hukum setiap tahunnya cenderung menunjukkan peningkatan yang signifikan. Jika
dicermati perkembangan tindak pidana yang dilakukan anak selama ini, baik dari
kualitas maupun modus operandi yang dilakukan anak dirasakan telas meresahkan
semua pihak khususnya tindak kekerasan yang dilakukan anak seolah-olah tidak
berbanding lurus dengan usia pelaku. 2
Kekerasan sering terjadi terhadap anak, yang dapat merusak, berbahaya dan

menakutkan anak. Anak yang menjadi korban kekerasan menderita kerugian, tidak
saja bersifat material, tetapi juga bersifat imamterial seperti goncangan emosional
dan psikologis, yang dapat mempengaruhi kehidupan masa depan anak. Pelaku
kekerasan terhadap anak dapat saja orang tua (ayah dan atau ibu korban), anggota
1

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice), (Bandung: Refika Aditama, 2012), h. 1
2
Edy Iksan, dkk, Diversi dan Keadilan Restoratif Kesiapan Aparat Penegak Hukum dan
Masyarakat Studi di 6 Kota di Indonesia, (Medan: Pustaka Indonesia, 2014), h. 1

Universitas Sumatera Utara

keluarga, masyarakat dan bahkan pemerintah sendiri (aparat penegak hukum).
Kekerasan sering terjadi terhadap anak rawan. Disebut rawan karena kedudukan
anak yang kurang menguntungkan.

3


Anak bukanlah untuk dihukum melainkan harus diberikan bimbingan dan
pembinaan, sehingga bisa tumbuh dan berkembang sebagai anak normal yang sehat
dan cerdas seutuhnya. Anak adalah anugerah Allah Yang Maha Kuasa sebagai
calon generasi penerus bangsa yang masih dalam masa perkembangan fisik dan
mental. 4 Terkadang anak mengalami situasi sulit yang membuat melakukan
tindakan yang melanggar hukum. Walaupun demikian, anak yang melanggar
hukum tidaklah layak untuk dihukum apalagi kemudian dimasukkan kedalam
penjara.
Definisi anak secara nasional didasarkan pada batasan usia anak menurut
hokum pidana, hukum perdata, hukum adat dan hukum Islam. Secara internasional
definisi anak tertuang dalam konversi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
mengenai Hak Anak (United Nation Conversation on the Right Chlid), 1989.
Secara

nasional definisi

anak

menurut


perundang-undangan,

diantaranya

menjelaskan anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 tahun (belum
menikah). Pasal 292, 294, 295 dan Pasal 297 Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1979 tentang Kesejahteraan Anak. Ada yang mengatakan anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 tahun Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan

3

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, (Bandung:
Refika Aditama, 2014), h 1-2
4
M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum (catatan Pembahasan UU Sistem
Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA). (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h 1

Universitas Sumatera Utara


Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan bahkan masih dalam kandungan
Pasal 1 angka (1), sedangkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak
yang telah berumur 12 (dua belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Bangsa Indonesia sudah selayaknya memberikan perhatian terhadap
perlindungan anak karena amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 B (2) dinyatakan bahwa “Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh kembang, serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi”. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia Pasal 33 ayat (1) dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk
bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan kejam yang tidak manusiawi”
, sedangkan Pasal 29 ayat (1) menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak miliknya”
Akhir-akhir ini terdapat berbagai fenomena perilaku negatif terlihat dalam
kehidupan sehari-hari pada anak-anak. Melalui surat kabar atau televisi dapat
dijumpai kasus-kasus anak usia dini seperti kekerasan baik itu kekerasan fisik,
verbal, mental bahkan pelecehan atau kekerasan seksual juga sudah menimpa anakanak. Bentuk kekerasan seperti ini biasanya dilakukan oleh orang yang telah
dikenal anak, seperti keluarga, ayah kandung, ayah tiri, paman, tetangga, guru
maupun teman sepermainannya sendiri. 5


5

La
Ode
http://ejournal.iainkendari.ac.id/index.php?journal=shautut-tarbiyah
Anhusadar, Fenomena Kekerasan Seksual Terhadap Anak, Artikel Shautut Tarbiyah, Ed. Ke-35
Th. XXII, November 2016, h.53.

Universitas Sumatera Utara

Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya
manusia, merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Selain itu,
anak sebagai bagian dari keluarga, merupakan buah hati, penerus, dan harapan
keluarga. 6 Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan mata rantai awal
yang penting dan menentukan dalam upaya menyiapkan dan mewujudkan masa
depan bangsa dan negara. Namun apabila anak kurang mendapatkan perhatian dari
lingkungan terdekatnya maka mudah baginya untuk melakukan perbuatan yang
menyimpang dari norma hukum yang berlaku di masyarakat.
Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Pelecehan dan

kekerasan seksual terhadap anak di Tanah Air meningkat 100 persen dari tahuntahun sebelumnya. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan,
angka korban pelecehan seksual terhadap anak semakin tinggi setiap tahun. “Dari
2013 ke 2014 itu naiknya 100 persen, baik itu mereka yang jadi korban atau pun
pelaku. Modus pelecehan seksual semakin beragam dan aneh. Hal-hal yang tak
terduga dapat terjadi. Selain kemajuan teknologi dan kurangnya pengetahuan
orangtua dalam mengasuh dan mendidik anaknya, lingkungan pergaulan juga
menjadi penyebabnya. “Semakin hari, semakin aneh-aneh yang akan kita dengar, di
luar dugaan dan nalar. Sebab modus pelecehan dan kekerasan seksual pada anak
terjadi karena cara asuh yang salah, sehingga peluang pelaku kejahatan semakin
lebar. 7

6

Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h 103.
http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelecehan-seksual-pada-anak-meningkat100/diakses tanggal 11 April 2017.
7

Universitas Sumatera Utara

Sedangkan menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA)

menyebut pengaduan pelanggaran hak anak terus meningkat. Ini berdasar data yang
dihimpun Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Komnas Anak, dalam kurun waktu
2010-2015.Jumlah aduan pada 2010 sebanyak 2.046, di mana 42 persen di
antaranya merupakan kejahatan seksual. Pada 2011 menjadi 2.467 kasus, yang 52
persennya kejahatan seksual. Sementara pada 2012, ada 2.637 aduan yang 62
persennya kekerasan seksual. "Meningkat lagi di 2013 menjadi 2.676 kasus, di
mana 54 persen didominasi kejahatan seksual. Kemudian pada 2014 sebanyak
2.737 kasus dengan 52 persen kekerasan seksual. Melihat 2015, terjadi peningkatan
pengaduan sangat tajam, ada 2.898 kasus di mana 59,30 persen kekerasan seksual
dan sisanya kekerasan lainnya. 62 persen kekerasan terhadap anak terjadi di
lingkungan terdekat keluarga dan lingkungan sekolah, selebihnya 38 persen di
ruang publik. Bukan hanya itu, predator atau pelaku kejahatan terhadap anak juga
dilakukan orang terdekat seperti anak, guru, ayah tiri, abang, keluarga terdekat,
tetangga, bahkan penjaga sekolah. 8
Kasus yang menarik untuk dikaji berdasarkan uraian di atas yaitu kasus
dalam Putusan Pengadilan Negeri Padang Bahwa ia Anak (Terdakwa) bersamasama dengan saksi IV dan saksi V (dilakukan penuntutan terpisah) pada hari Jum’at
tanggal 21 November 2014 sekira pukul 19,00 Wib, pada hari Sabtu tanggal 22
November 2014 sekira pukul 16.00 Wib dan pada hari Minggu tanggal 7
Desember 2014 sekira pukul 22.00 Wib atau setidak-tidaknya


selama kurun

waktu dalam tahun 2014, bertempat 2 (dua) kali pertama di dalam rumah Anak
8

http://news.liputan6.com/read/2396014/komnas-pa-2015-kekerasan-anak-tertinggiselama-5-tahun-terakhir, diakses tanggal 11 April 2017.

Universitas Sumatera Utara

yaitu di Kota Padang dan 1 (satu) kali terakhir di sebuah kedai dalam Komplek
suatu Institut di Kecamatan Nanggalo Kota Padang, atau setidak tidaknya pada
suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri
Padang yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini, yang melakukan,
yang

menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan itu, melakukan

kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa Anak

melakukan persetubuhan


dengannya atau dengan orang lain yaitu terhadap saksi korban yang berumur + 17
(tujuh belas) tahun.
Akibat dari perbuatan terdakwa tersebut akibat perbuatan Anak (Terdakwa),
masa depan saksi korban menjadi hancur karena saksi korban hamil sesuai dengan
Visum et Repertum dari Rumah Sakit

Bhayangkara Padang Nomor : VER/47/

I/2015/RUMKIT Tanggal 19 Januari 2015 yang ditanda tangani oleh dr. Hariadi,
Sp.OG dengan hasil pemeriksaan Korban datang dalam keadaan sadar dengan
keadaan umum baik. Kepala tidak ada tanda-tanda kekerasan. Leher tidak ada
tanda-tanda kekerasan. Perut tidak ada tanda-tanda kekerasan. Kemaluan selaput
dara robek pada jam satu, enam, sembilan sampai ke dasar liang vagina, dapat
dilewati dua jari. Pada pemeriksaan tubuh korban : selaput dara robek pada jam
satu, enam, dan

sembilan sampai ke dasar. USG sesuai kehamilan dua belas

minggu. Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab sebagai penerus

bangsa, maka anak dapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan
berkembang secara optimal, baik mental maupun fisik serta sosial maka perlu
dilakukan upaya perlindungan anak terhadap pemenuhan anak tanpa ada

Universitas Sumatera Utara

diskriminasi (Undang-undang No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
bagian menimbang pada huruf d).
Berdasarkan latar belakang dan uraian di atas penulis memilih judul
Pertanggungjawaban Pidana Anak Dalam Turut Serta Terhadap Tindak Pidana
Turut

Serta

Dengan

Sengaja

Membujuk


Anak

Melakukan

Persetubuhan(Analisis putusan Nomor14/Pid.Sus-Anak/2015/PNPdg).

I. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
untuk memudahkan menyusun skripsi ini, penulis merumuskan permasalahan,
yaitu:

1. Bagaimana pengaturan tindak pidana anak turut serta dengan sengaja
membujuk anak melakukan persetubuhan yang dilakukan oleh anak?
2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi anak pelaku tindak pidana
kekerasan seksual?
3. Bagaimana penerapan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana turut serta
dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan? (Analisis
Nomor14/Pid.Sus-Anak/2015/PNPdg)?

J. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang diatas adapun tujuan penulisan skripsi ini
adalah:
1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana anak turut serta dengan sengaja
membujuk anak melakukan persetubuhan yang dilakukan oleh anak.

Universitas Sumatera Utara

2. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum bagi anak pelaku tindak
pidana kekerasan seksual.
3. Untuk mengetahui penerapan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana turut
serta dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan? (Analisis
Nomor14/Pid.Sus-Anak/2015/PNPdg)?
Adapun manfaat penulisan skripsi, yaitu:
1. Secara teoritis
Diharapkan dapat memberikan sumbangan dan masukan pemikiran di bidang
ilmu pengetahuan hukum, khususnya pengetahuan ilmu hukum pidana
berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana anak dalam turut serta terhadap
tindak pidana turut serta dengan sengaja membujuk anak melakukan
persetubuhan.
2. Secara praktis
Diharapkan agar penulisan skripsi ini dapat memberikan informasi yang tepat
kepada masyarakat mengenai pertanggungjawaban pidana anak dalam turut
serta terhadap tindak pidana turut serta dengan sengaja membujuk anak
melakukan persetubuhan.

K. Keaslian Penulisan
Sepanjang penelusuran di perpustakaan Fakultas hukum USU skripsi
dengan judul Pertanggungjawaban Pidana Anak Dalam Turut Serta Terhadap
Tindak Pidana Turut Serta Dengan Sengaja Membujuk Anak Melakukan
Persetubuhan(Analisis

putusan

Nomor14/Pid.Sus-Anak/2015/PNPdg),

belum pernah diteliti dalam bentuk skripsi dari Departemen Hukum Pidana di

Universitas Sumatera Utara

Fakultas Hukum USU, namun ada beberapa judul skripsi yang mengangkat tema
pertanggungjawaban pidana anak dalam turut serta melakukan tindak pidana,
dengan kajian yang berbeda, diantaranya:
Nesya Yulya (2015), dengan Pertanggungjawaban Pidana Terhadap
Pelaku Tindak Pidana Pembujukan Anak Melakukan Persetubuhan Dari
Perspektif Viktimologi (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Medan No.
1518/Pid.B/2014/PN.Mdn;

Putusan

No.1840/Pid.B/2014/PN.Mdn,

dan

Pengadilan

Putusan

Negeri

Pengadilan

Medan

Negeri

Medan

No.1969/Pid.B/2014/PN.Mdn). Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah
Pengaturan yang mengatur tentang Tindak Pidana pembujukan anak untuk
melakukan persetubuhan. Faktor penyebab terjadinya Tindak Pidana pembujukan
anak untuk melakukan persetubuhan. Pertanggungjawaban terhadap pelaku
pembujukan anak untuk melakukan persetubuhan apakah sudah memberikan
perlindungan terhadap anak.
Febrina Permatasari (2014), Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai
Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Lubuk
Pakam No. 117/Pid.B/P.A/2013/PN.LP). Adapun permasalahan dalam penelitian
ini adalah Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku
Tindak Pidana Persetubuhan, Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang
Melakukan Tindak Pidana Persetubuhan Dalam Putusan Pengadilan Negeri Lubuk
Pakam NO. 117/PID.B/P.A/2013/PN.LP. Komisi PerlindunganAnakIndonesia
(KPAI)

melaporkanadanyakenaikanangka

tahun2012ada

1637kasus,tahun

2013ada

kejahatan

seksualyaknipada

2070kasusdantahun

2014sampai

Universitas Sumatera Utara

denganbulan

Septemberada

2626kasus,sekitar
9

237kasusnyadilakukanolehanakdibawahumur.

Salah

kejahatanseksualdenganpelakudankorbananakbaru

satukasus
sajaterjadipada

tanggal1Juli2015didekat LapanganGolf JagorawiCimpaen,Tapos,Depokdimana
anakperempuanberusia

7tahunyang

dudukdibangkukelasISekolahDasar(SD)menjadikorbanpencabulanolehtigatemanb
ermainnya

yangdudukdibangkukelasIII

dankelasVSDsertaseorangtemanyangbelumsekolah. 10
Penulisan dalam skripsi ini berbeda dari penulisan skripsi sebelumnya
yang mengangkat tentang pertanggungjawaban pidana anak dalam turut serta
melakukan tindak pidana,. Penulisan skripsi ini membahas tentang bentuk
perlindungan

hukum

bagi

anak

terhadap

tindak

kekerasan

seksual

dan bentuk pertanggungjawaban pidana anak dalam turut serta terhadap tindak
pidana

turut

serta

dengan

sengaja

membujuk

anak

melakukan

persetubuhan, sehingga dapat dapat dipertanggungjawaban secara ilmiah
maupun akademik.

L. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian pertanggungjawaban pidana
Pertanggungjawaban pidana mengandung arti bahwa setiap orang yang
melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam
undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan
9

http://hizbut-tahrir.or.id/2014/12/30/kekerasan-terhadap-anak-dan-perempuan. diakses
tanggal 1 Juni 2017
10
http://metro.tempo.co/read/news/2015/07/31/064687975/menyedihkan-anak-anakmenjadi-pelaku- pelecehan-seksual-di-depok),diakses tanggal 1 Juni 2017

Universitas Sumatera Utara

sesuai dengan kesalahannya. 11 Dasar pertanggungjawaban adalah kesalahan yang
terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan kelakuannya yang dapat di
pidana serta berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena kelakuannya
itu. Dengan kata lain hanya dengan hubungan batin inilah maka perbuatan yang
dilarang itu dapat dipertanggungjawabkan pada si pelaku.
Pertanggungjawaban pidana merupakan pertanggungjawaban oleh orang
terhadap perbuatan pidana yang telah dilakukannya. “Pada hakikatnya pertanggung
jawaban pidana merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana
untuk bereaksi atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.”12
Pertanggungjawaban pidana dalam arti luas disebut kesalahan, mengacu
pada suatu asas pokok yang sifatnya tidak tertulis yaitu asas tiada pidana tanpa
kesalahan. Berbicara pertanggungjawaban pidana, maka dapat dilepaskan dengan
tindak pidana. Walaupun di dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk masalah
pertanggung jawaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya
suatu perbuatan. Tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu berarti setiap orang yang
melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat
dipidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah
asas kesalahan. Hal ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya dipidana jika ia
mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. 13
Menurut Roeslan Saleh dalam Marlina dipidana atau tidaknya seseorang
yang melakukan perbuatan pidana tergantung apakah pada saat melakukan

11

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 130
Chairul Huda, Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ menuju kepada ‘Tiada
Pertanggung Jawaban Pidana Tanpa Kesalahan’, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 71.
13
Dewidjo Priyatno, Kapita selekta Hukum Pidana, (Bandung: STHB Press, 2005), h.73
12

Universitas Sumatera Utara

perbuatan ada kesalahan atau tidak, apakah seseorang yang melakukan perbuatan
pidana itu memang punya kesalahan, maka tentu ia dapat dikenakan sanksi pidana,
akan tetapi bila ia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, tetapi
tidak mempunyai kesalahan ia tentu tidak dipidana. 14
Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme
yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas
kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.15
2. Batasan Anak
Batasan umur anak tergolong sangat penting dalam perkara pidana anak,
karena dipergunakan untuk mengetahui seseorang yang diduga melakukan
kejahatan termasuk kategori anak atau bukan. 16 Mengetahui batasan umur anakanak, terjadi berbagai pendapat mengenai batasan usia anak yang dapat dihukum.
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa batas bawah usia anak
yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana adalah 12 tahun. Sebelum putusan
ini, menurut UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, anak yang berusia 8
hingga 18 tahun dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pidana. 17
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan. 18 Hak dan Kewajiban Anak dalam

14

Marlina. Op.Cit, h. 69
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana dalam Chairul Huda, Dari Tiada Pidana
Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cet. II,
(Jakarta: Kencana, 2006), h. 68
16
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), h 20
17
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d669dccee142/batas-usia-anak-dapatdipidana-naik, diakses tanggal 1 April 2017.
18
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 angka 1.
15

Universitas Sumatera Utara

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Batas usia anak memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk
dapat disebut sebagai seorang anak. Yang dimaksud dengan batas usia anak
adalah pengelompokan usia maksimal sebagai wujud kemampuan anak dalam
status hukum sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau
menjadi seorang subyek hukum yang dapat bertanggungjawab secara mandiri
terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan anak
itu.
Batasan dari segi usia akan sangat berpengaruh pada kepentingan hukum
anak yang bersangkutan. Pertanggungjawaban pidana anak diukur dari tingkat
kesesuaian antara kematangan moral dan kejiwaan anak dengan kenakalan yang
dilakukan anak, keadaan kondisi fisik, mental dan sosial anak menjadi
perhatian. 19
Pengertiananakdapatdilihatdaribeberapaperaturan

perundang-undangan

sebagai berikut:
a. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Pasal1 angka 1Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak,

menyatakanbahwa:Anak adalah seseorang yang belum berusia 18

(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

19

Maidin Gultom, Op.Cit, h. 33.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan batasan tersebut, kewajiban orang tua mengasuh dan mendidikanakanaknyasampaidenganmereka

berusia

18

tahun.

Setelah

usia

tersebut

diasumsikan bahwa anak sudah menjadi dewasa, sehingga tidak lagi menjadi
tanggungan orangtua, meskipun secara ekonomi dan psikis seringkali masih
bergantung pada orangtuanya karena kedewasaaannya belum matang. 20
b. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak
Pasal 1 angka 3

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Anak menyatakan Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang
selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun,
tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak
pidana. 21
c. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memberikan
definisi

yang

tegas

mengenai

anak.

Setidaknya

terdapat

dua

PasalyangdapatdianalisisuntukmencaribatasanmengenaianakyaituPasal
6ayat(2)danPasal7ayat(1).Pasal6ayat(2)Undang-UndangNo.1Tahun
1974menyebutkan:
Untukmelangsungkanperkawinan,seorangyangbelummencapaiumur

21

(dua

puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orangtua. Pasal 7 ayat (1) UndangUndang No. 1 Tahun 1974 menegaskan: Perkawinan hanya diizinkan jika pihak
pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 (enam belas)tahun”.
20

Perundang-undangan tentang Anak, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2014), h. 66
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. (Yogayakarta:
Pustaka Mahardika, 2012), h 5
21

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan kedua ketentuan Pasal tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwasecaraumum seseorangyang belum mencapaiumurduapuluhsatu tahun
masih

dikatakan

sebagai

anak karena

masih

membutuhkan

orangtuaketikaakanmelaksanakanperkawinan(Pasal6
khususlagiterdapatperbedaanantara
yaituuntukpriabatasananakadalah

izin

ayat2).Secaralebih

batasananakantarapriadanwanita,
seseorangyangberumurkurangdari

sembilanbelastahunsedangkanuntuk.Wanitabatasananakadalahseseorang

yang

belumkurang dari enambelas tahun (Pasal 7 ayat (1)).
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan akhir bahwa menurut
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat batasan yang
berbeda mengenai anak untuk pria dan wanita. Batasan “anak” untuk pria yaitu
seseorang yang berumur kurang dari sembilan belas tahun. Sedangkan batasan
“anak” untuk wanita yaitu seseorang yang berumur kurang dari enambelas
tahun.
d. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
MenurutKUHPerdatabataskedewasaananakdiaturdalam

BukuIBab

XVBagianKesatuyangterdapatdalam Pasal330yang menyatakan bahwa: Belum
dewasaadalahmerekayangbelum mencapaiumurgenapdua puluh satu tahun, dan
tidak lebih dahulu kawin.
Berdasarkan

ketentuan

tersebutdiatasdapatditarikpenjelasanbahwa

anakmenurutKUHPerdatayaituseseorangyangusianyabelummencapai
duapulusatutahunataubelum pernahkawinsebelum mencapaiusiadua puluh satu
tahun.

Dengan

demikian

dapat

dikatakan

bahwa

seseorang

yang

Universitas Sumatera Utara

telahkawinmeskipunbelum

berusiaduapuluhsatutahundankemudian

perkawinannyaitububarsebelum usianyamencapaisatutahunpula, makaia tidak
dapat kembali pada satu “anak”.

e. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
BerdasarkanKUHP,batasanusiaanakadalahsebelumberumurenam

belas

tahun, hal ini dapat ditemukan pada Pasal 45 KUHP yang merumuskan: Jika
seorang

yang

belum

dewasa

dituntut

karena

perbuatan

yang

dikerjakannyaketikaumurnyabelumenambelastahun,hakimboleh: memerintahkan,
supaya

si

tersalah

itu

dikembalikan

kepada

orang

tuanya,walinyaataupemeliharanya, dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman,
atau memerintahkan supaya si tersalah diserahkan kepada Pemerintah dengan
tidak dikenakan sesuatu hukuman, yakni jika perbuatanitumasukbagiankejahatan
atau

salah

satu

pelanggaran

yang

diterangkandalamPasal489,490,492,496,497,503–505,514,519,
526,531,532,536,dan540danperbuatanitudilakukannyasebelum lalu dua tahun
sesudah

keputusan

dahulu

yang

menyalahkan

salahsatupelanggaraniniatausesuatukejahatanataumenghukum

dia

melakukan
anak

yang

bersalah itu. 22
Memberikanbatasanumuranakdalam Pasal45pokokisinyaadalah sebagai
berikut:
1) Memerintahkansupayayangbersalahdikembalikankepadaorangtuanya, walinya
22

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1995), h. 6

Universitas Sumatera Utara

atau pemeliharanya, tanpa pidana apapun.
2) Memerintahkan supaya si pelaku pidana diserahkan kepada pemerintah.
3) Menghukum si pelaku pidana.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas disimpulkan bahwa seseorang
yang melakukan tindak pidana dapat dikatakan sebagai “anak” apabila ia
belumberumurenambelastahun,atauseseorangdikatakanmelakukantindak
pidanaanakapabilasaatmelakukantindakpidanaiabelum berumurenam belastahun.
f. Undang-UndangNomor8Tahun1981tentangKitabUndang-Undang

Hukum

AcaraPidana (KUHAP).
Undang-undang
pengertian

anak,

initidaksecaraekspilitmengaturtentang

namundalam

Pasal153

ayat(5)

memberi

batasusia
wewenang

kepadahakimuntukmelarang anakyang belummencapai17(tujuh belas)tahun untuk
menghadiri sidang.
g. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia
Pasal1sub5dinyatakanbahwaanakadalahsetiapmanusia
berusia18(delapanbelas)tahundanbelummenikah,termasuk

yang
anakyang

masih

dalamkandunganapabilahaltersebutdemi kepentingannya

3. Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana
Belanda yaitu strafbaar feit.23 Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda,
dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan
23

Adami Chazawi, (1) Pelajaran Hukum Pidana Bagian I (Stelsel Pidana, Tindak
Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2014), h. 67.

Universitas Sumatera Utara

resmi tentang apa yang dimaksud dengan stafbaar feit itu. Oleh karena itu, para
ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu.
Tindak pidana merupakan terjemahan dari istilah Belanda “Strafbaar Feit”
sedangkan dalam bahasa Latin dipakai istilah “Delict” atau “Delictum” dalam
Bahasa Indonesia digunakan istilah Delik. Adapun pengertian tindak pidana
menurut pakar ahli hukum pidana, meurut Moeljatno tindak pidana adalah:
“Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar
larangan tersebut dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan
yang oleh suatu aturan dilarang dan diancam pidana. Asal saja dalam pidana itu
diingat bahwa larangan ditunjukkan pada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau
kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang yang menimbulkan kejadian
itu)” 24
Herlina Manullang dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Indonesia
merumuskan bahwa tindak pidana (peristiwa pidana) adalah suatu kejadian yang
mengandung unsur-unsur perbuatan yang dilarang oleh undang-undang sehingga
siapa saja yang menimbulkan peristiwa itu dapat dikenai sanksi pidana
(hukuman) 25
MenurutAmirIlyas,TindakPidanadalah setiapperbuatanyang mengandung
unsur-unsursebagai berikut:6
a. Perbuatan tersebutdilaran oleh undang-undang (Mencocoki rumusan delik)

24

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, cetakan ke-8, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h.

25

Herlina Manullang. Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, (Medan:UNS Press, 2010), h 71.

60.

Universitas Sumatera Utara

b. Memiliki sifatmelawan hukum;dan
c. Tidakada alasan pembenar. 26
Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undangundang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.
Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan
perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai
kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat
menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan. 27
Jadi setiap perbuatan seseorang yang melanggar, tindak mematuhi
perintah-perintah dan larangan-larangan dalam undang-undang pidana disebut
dengan tindak pidana. Dari batasan-batasan tentang tindak pidana itu kiranya
dapat ditarik kesimpulan, bahwa untuk terwujudnya suatu tindak pidana atau agar
seseorang dapat dikatan tindak pidana, haruslah memenuhi unsur-unsur sebagi
berikut:
a. Harus ada perbuatan manusia, jadi perbuatan manusia yang dapat
mewujudkan tindak pidana dengan demikian pelaku atau subjek tindak
pidana itu adalah manusia, hal ini tidak hanya terlihat dari pernyataan
“barangsiapa”
b. Perbuatan itu haruslah sesuai dengan apa yang dilukisakan didalam
ketentuan undang-undang, maksudnya adalah kalau seseorang itu dituduh
atau disangka melakukan suatu tindak pidana tertentu. 28

26

AmirIlyas,Asas-asas HukumPidana,(Yogyakarta, Rangkeng Offset,2012), h 28
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2001), h. 22
28
Buchari Said, Hukum Pidana Materil, (Bandung: FH UNPAS, 2009), h 67
27

Universitas Sumatera Utara

4. Turut serta
Rumusan ini terlihat pada Pasal 55 dan pasal 56 KUHP yang berbunyi :
Pasal 55 (1) Sebagai pelaku suatu tindak pidana akan dihukum: Ke-1 : mereka
melakukan, menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan itu; Ke-2 :
mereka yang dengan pemberian, kesanggupan, penyalahgunaan, kekuasaan atau
martabat, dengan paksaan, ancaman, atau penipuan, atau dengan memberikan
kesempatan, sarana, atau keterangan dengan sengaja membujuk perbuatan itu. (2)
Tentang orang-orang tersebut belakangan (sub ke-2) hanya perbuatan-perbuatan
yang oleh mereka dengan sengaja dilakukan, serta akibat-akibatnya dapat
diperhatikan. Pasal 56 Sebagai pembantu melakukan kejahatan akan dihukum :
Ke-1 : mereka yang dengan sengaja membantu pada waktu kejahatan itu dilakukan.
Ke-2 : mereka yang dengan sengaja member kesempatan, serana, atau keterangan
untuk melakukan kejahatan
Dari kedua pasal tersebut, dapatlah diketahui bahwa menurut KUHP penyertaan itu
dibedakan dalam dua kelompok, yaitu :
1. kelompok orang-orang yang perbuatannya disebutkan dalam Pasal 55 ayat (1),
yang dalam hal ini disebut dengan para pembuat (mededader), adalah mereka :
a. yang melakukan perbuatan (plegen);
b. yang menyuruh melakukan perbuatan (doen pleger);
c. yang turut melakukan perbuatan (medeplegen);
d. yang sengaja menganjurkan (uitlokken).
2. orang yang disebut dengan pembuat pembantu (medeplichtige) kejahatan, yang
dibedakan menjadi :

Universitas Sumatera Utara

a. pemberian bantuan pada saat pelaksanaan kejahatan;
b. pemberian bantuan sebelum pelaksanaan kejahatan. 29
Olehkarena ituberbeda perbuatanantara masing-masingpeserta yang
terlibat, sudah barang tentu peranan atau andil yang timbul dari setiap atau
beberapa perbuatan oleh masing-masing orang itu juga berbeda.
M. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif.
Metode penelitian normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk
menemukan
normatifnya.

kebenaran
30

berdasarkan

logika

keilmuan

hukum

dari

sisi

Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang

meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma mengenai asas-asas,
norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian
serta doktrin. 31
2. Sifat penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis.
Dikatakan bersifat deskriptif karena dalam penelitian ini diharapkan memperoleh
gambaran

yang

menyeluruh,

lengkap

dan

sistematis

mengenai

pertanggungjawaban pidana anak dalam turut serta terhadap tindak pidana turut
serta dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan.

29

Adami Chazawi, (2) Pelajaran Hukum Pidana 3, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2002), h. 79.
30
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2011), h 57.
31
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h 34.

Universitas Sumatera Utara

Sifat penelitian ini adalah deskriptif , yaitu menggambarkan semua gejala
dan fakta serta menganalisa permasalahan yang ada sehubungan dengan
pertanggungjawaban pidana anak dalam turut serta terhadap tindak pidana turut
serta dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan. 32

3. Sumber data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yaitu data yang diperoleh lewat penelitian kepustakaan (library research), yang
dilakukan dengan menghimpun data yang terkait meliputi:
a. Bahan hukum primer. 33 Bahan hukum sekunder yaitu terdiri dari aturan
hukum yang terdapat pada berbagai peraturan perundang-undangan
khususnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Putusan
Pengadilan Negeri Padang Nomor14/Pid.Sus-Anak/2015
b. Bahan hukum sekunder. yaitu bahan hukum yang dapat memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer di atas berupa pendapat para ahli
hukum, jurnal ilmiah, majalah, surat kabar (koran) dan berita internet yang
memiliki relevansi dengan penelitian ini.

32

Ibid.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2010), h. 141-142
33

Universitas Sumatera Utara

c. Bahan hukum tertier, yaitu berupa data penunjang yang dapat memberikan
penjelasan lebih lanjut terhadap bahan hukum primer dan sekunder berupa
kamus hukum, kamus umum dan atau ensiklopedi.
4. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kepustakaan (library research) yaitu pengumpulan data yang dilakukan
dengan cara menghimpun data yang berasal dari kepustakaan, berupa peraturan
perundang-undangan, buku-buku atau literatur, jurnal ilmiah, majalah-majalah
artikel, putusan Pengadilan yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti serta
tulisan-tulisan yang terkait dengan pertanggungjawaban pidana anak dalam turut
serta terhadap tindak pidana turut serta dengan sengaja membujuk anak
melakukan persetubuhan. 34
5. Analisa data
Adapun metode analisis data yang dilakukan adalah metode kualitatif.
Metode kualitatif lebih menekankan kepada kebenaran berdasakan sumbersumber hukum dan doktrin yang ada, bukan dari segi kuantitas kesamaan data
yang diteliti. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan dengan
melakukan penelitian yang bersifat deskriptif analitis yaitu dengan memberikan
penjelasan mengenai proses pemeriksaan saksi di pengadilan, serta pemaparan
mengenai pertimbangan hakim dalam meringankan dan memberatkan terdakwa
dalam putusannya. 35

34
35

Ibid
Johnny Ibrahim, Op.Cit, h. 59

Universitas Sumatera Utara

N. Sistematika Penulisan
Hasil penelitian akan disusun dalam format empat bab untuk mendapatkan
gambaran secara menyeluruh mengenai apa yang akan penulis uraikan dalam
penelitian ini. Untuk lebih mempermudah dalam melakukan pembahasan, maka
penulis menyusun sistematika penulisan dalam lima bab. Adapun bab-bab tersebut,
yaitu :

Universitas Sumatera Utara

BAB I

PENDAHULUAN
Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah Tujuan dan
Manfaat Penelitian, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, metode
penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA
DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN
PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
Bab ini berisikan tindak pidana persetubuhan dalam KUHPidana,
Tindak Pidana Persetubuhan diluar KUHPidana.

BAB III

BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANAK PELAKU
TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL
Bab ini berisikan mengenai, pemberian sanksi pidana, konseling,
rehabilitasi dan pendampingan

BAB IV

PENERAPAN HUKUM TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK
PIDANA TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK
MELAKUKAN
PERSETUBUHAN
(ANALISIS
NOMOR
14/PID.SUS-ANAK/2015/PN PDG)
Bab ini berisikan Kasus Posisi, Dakwaan, Tuntutan Jaksa Penutut
Umum, Fakta Hukum, Putusan Pengadilan dan analisis putusan

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab kesimpulan dan
saran yang berisi kesimpulan mengenai permasalahan yang dibahas
dan saran-saran dari penulis berkaitan dengan pembahasan skripsi.

Universitas Sumatera Utara