Tinjauan hukum pidana Islam terhadap putusan no.35/Pid.Sus/2015/PN.Ngw tentang tindak pidana membujuk anak untuk melakukan persetubuhan.

(1)

SKRIPSI

OLEH :

UVI FATUR ROHMAH NIM : C73213102

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

JURUSAN HUKUM PUBLIK ISLAM PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan No. 35/ Pid.Sus/2015/ PN.Ngw Tentang Tindak Pidana Membujuk Anak Untuk Melakukan Persetubuhan. Adalah hasil penelitian pustaka untuk menjawab pertanyaan tentang, 1) Bagaimana pertimbangan hakim terhadap putusan No. 35/Pid.sus/2015/Pn.Ngw. tentang tindak pidana membujuk anak untuk melakukan persetubuhan. 2) Bagaimana analisis hukum pidana islam terhadap pertimbangan hakim pada putusan No. 35/Pid.sus/2015/Pn.Ngw tentang tindak pidana membujuk anak.

Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik dokumentasi. Setelah data terkumpul, data diolah dan dianalisis dengan metode deskriptif analisis dan dengan pola fikir deduktif untuk memperoleh kesimpulan yang khusus dan dianalisis menurut hukum pidana Islam.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pertimbangan Hakim terhadap putusan No. 35/Pid.Sus/2015/PN.Ngw. tentang tindak pidana membujuk anak untuk melakukan persetubuhan berlandaskan KUHP Pasal 1 ayat (2) yakni Hakim memberikan sanksi yang lebih menguntungkan bagi terdakwa sesuai dengan UU No. 23 tahun 2002, terdakwa dikenai sanksi penjara 3 tahun dan denda Rp. 60.000.000. Hakim juga menggunakan asas legalitas dalam putusannya yaitu tiada hukuman sebelum adanya ketentuan terlebih dahulu. Dimana undang-undang yang telah diperbaharui diberlakukan setelah pidana itu dilakukan oleh terdakwa dan masih dalam proses persidangan, dengan demikian diberlakukanlah undang-undang yang lama bagi terdakwa. Sedangkan dalam hukum pidana Islam pertimbangan Hakim dalam memutuskan pada putusan No.35/Pid.Sus/2015/PN.Ngw dengan pemberian sanksi yang lebih menguntungkan bagi terdakwa sesuai dengan teori dalam hukum pidana Islam karena tujuan pemberian sanksi yang lebih diutamakan adalah untuk kemaslahatan umat.

Menyarankan kepada pihak aparat penegak hukum, terutama para hakim agar menegakkan hukum dengan adil terhadap pelaku kejahatan dengan mempertimbangkan berbagai aspek sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan juga diharapkan bisa mempertimbangkan lagi baiknya memberikan sanksi yang menguntungkan bagi terdakwa.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... \ viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiv

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah... 11

C. Rumusan Masalah ... 12

D. Kajian Pustaka ... 12

E. Tujuan Penelitian ... 14

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 14

G. Definisi Oprasional ... 15

H. Metode Penelitian ... 16


(8)

BAB II : TINDAK PIDANA MEMBUJUK ANAK UNTUK MELAKUAKN

PERSETUBUHAN ... 22

A. Tindak Pidana Membujuk Anak Untuk Melakukan Persetubuhan ... 22

1. Pengertian Persetubuhan ... 22

2. Membujuk Anak Untuk Melakukan Persetubuhan ... 23

B. Asas Legaliatas ... 29

1. Asas Legalitas Dalam Hukum Positif ... 27

2. Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Islam ... 29

C. Syarat Berlakunya Sebuah Undang-Undang ... 32

D. Undang-Undang No. 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak... 35

E. Teori Menguntungkan Bagi Terdakwa ... 36

1. Teori Menguntungkan Bagi Terdakwa Dalam Hukum Pidana Positif ... 36

2. Teori Menguntungkan Bagi Terdakwa Dalam Hukum Pidana Islam ... 38

BAB III : PUTUSAN PENGADILAN NEGERI NGAWI No.35/Pid.Sus/2015/PN NGW TENTANG TINDAK PIDANA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN ... 43

A. Para Pihak Dalam Putusan Negeri Ngawi No. 35/Pid.Sus/2015/Pn/Ngw. ... 43

B. Kronologi Dalam Putusan Negeri Ngawi No. 35/Pid.Sus/2015/Pn/Ngw ... 44

C. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Negeri Ngawi No. 35/Pid.Sus/2015/Pn/Ngw. ... 53 BAB IV : ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP


(9)

TENTANG TINDAK PIDANA MEMBUJUK ANAK UNTUK MELAKUKAN PERSETUBUHAN ... 64 A. Analisis Pertimbangan Hakim Terhadap Putusan No.

35/Pid.Sus/2015/Pn/Ngw Tentang Tindak Pidana Membujuk Anak Untuk Melakukan Persetubuhan ... 64 B. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan No.

35/Pid.Sus/2015/Pn/Ngw Tentang Tindak Pidana Membujuk Anak Untuk Melakukan Persetubuhan ... 71

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 75 B. Saran ... 76 DAFTAR PUSTAKA ... 77 LAMPIRAN


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Persoalan kejahatan telah menduduki tempat utama sebagai sasaran pembahasan dalam berbagai pertemuan ilmiah, pernyataan-pernyataan kalangan resmi pemberitaan media massa serta pembicaraan warga masyarakat. Masalah ini kian mengedepankan oleh karena realitas meluasnya korban langsung dari kejahatan maupun tidak langsung dari kejahatan, dan mungkin pula sebagai hasil penggambaran terjadinya peningkatan kuantitatif maupun kualitatif jenis-jenis kejahatan tertentu. Akan tetapi yang jelas sebagaimana diakui oleh pihak resmi maupun masyarakat umum adalah timbulnya situasi-situasi ketakutan pada kejahatan (fear of crime), yang menyentuh segenap lapisan masyarakat.

Perubahan-perubahan kondisi ekonomi,sistem politik,situasi sosio-historik, nilai-nilai dan norma-norma hubungan-hubungan kekuasaan dan hukum yang berlangsung sering kali berdampak ganda pada satu pihak memperlihatkan hasil-hasil yang bermanfaat bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat dalam arti luas termasuk terpenuhinya kebutuhan akan rasa aman. Sedangkan pihak lain juga menghasilkan semakin kompleksnya interaksi faktor-faktor kriminogenik yang


(11)

melatarbelakangi timbulnya pelbagai bentuk kejahatan. Di wilayah perkotaan, pertumbuhan faktor-faktor kriminogenik tidak lepas kaitannya dengan pengembangan fungsi kota yang semakin menjadi simpul interaksi sosial budaya yang sangat mempengaruhi nilai, norma,pandangan, sikap dan perilaku warganya. Ketidak mampuan eko-sosial kota dirasakan bertambah ketika kota tampil sebagai tempat persemaian unsur-unsur

sistem budaya “modern”, sarat oleh simbol modernitas serta segenap nilai

-nilai disekitarnya, padat oleh kemajuan.1

Namun menurut Made Darma Weda dalam bukunya Kriminologi kejahatan tidak hanya muncul di perkotaan maupun masyarakat modern, namun juga muncul dalam masyarakat primitif.2

Kejahatan sendiri pengertiannya bisa cukup luas, namun juga bisa dikatakan kejahatan adalah:3

1. Perbuatan anti sosial yang melanggar hukum atau undang-undang pada waktu tertentu.

2. Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja.

3. Perbuatan yang diancam dengan hukuman atau suatu perbuatan anti sosial yang sengaja merugikan serta menggangu ketertiban umum, perbuatan yang boleh dihukum oleh negara.

1

Mulyana W.Kusuma, Kejahatan dan Penyimpangan dalam Prespektif Kriminologi (Jakarta : YLBH, 1998),1.

2

Made Darma Weda, KRIMINOLOGI (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1969), 69.

3

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan , Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual,


(12)

Pendapat di atas mempertegas mengenai perbuatan yang merugikan kepentingan sosial dan ditemukan secara hukum sebagai kejahatan. Ada unsur kesengajaan yang dimunculkan dan kerugian yang ditimbulkan, sedang disatu sisi harus pula ada undang-undang yang menentukan.

Salah satu bentuk kejahatan yang sering terjadi di masyarakat adalah kejahatan perkosaan atau pemaksaan dalam persetubuhan. Kejahatan ini bukan merupakan kejahatan yang baru. Kejahatan perkosaan sama tuanya dengan keberadaan manusia. Pemunculannya tidak saja dalam masyarakat modern, melainkan juga masyarakat primitif.4

Persetubuhan dalam KUHP disebut juga dengan kejahatan kesusilaan di mana seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengannnya diluar perkawinan.5 Sedangkan membujuk anak melakukan persetubuhan adalah setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.6

Mengenai fenomena ini pemerintah telah mengeluarkan peraturan terhadap tindak pidana membujuk anak melakukan persetubuhan dalam UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan kemudian diperbaruhi dengan UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan kemudian diperbaruhi lagi

4

Made Darma Weda, KRIMINOLOGI…,69.

5

Roeslan Saleh, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan penjelasannya (Jakarta: Aksara Baru,1981), 56.


(13)

dan juga berlaku sekarang yakni UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 76D dengan ancaman hukuman pada pasal 81 ayat (2).7

Pasal 76D “ Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa melakukan persetubuhan.

Pasal 81 ayat (2) “ Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangakaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.”

Sebagaimana pada ayat (1) yang menjelaskan. Pasal 81 ayat (1) “ Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76D dipidana penjara paling singkat 5 (lima tahun) dan paling lama 15 (lima belas tahun) dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Sehubungan dengan perilaku di atas, Islam mengakui bahwa manusia mempunyai hasrat yang paling tinggi dan besar untuk melangsungkan hubungan seksual, terutama terhadap lawan jenis. Untuk itu Islam melalui hukum yang berdasarkan al-Qur’a>n dan Hadis mengatur penyaluran kebutuhan biologis yang halal dan sah.8

Dalam al-Qur’a>n menjelaskan pada surat al-Isra>’ (17) : 32

                

Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.9

7

Undang-undang No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

8

Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshari, Problematika Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: PT Andiguana), 75.

9

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: Gema Risalah Press, 1992), 284.


(14)

Ulama’ menjelaskan bahwa kalimat janganlah kamu mendekati zina maknanya lebih dalam dari pada janganlah kamu berzina. Artinya jangan mendekati hal-hal yang berhubungan dengan zina sehinggga terbawa dan terlena hingga akhirnya berzina.10 Menurut Abdul Qadir Audah berpendapat bahwa zina ialah hubungan badan yang diharamkan dan disengaja oleh pelakunya.11 Menurut M.Quraish Sihab persetubuhan atau zina adalah persentuhan dua alat kelamin dari jenis yang berbeda dan tidak terikat oleh akad nikah atau kepemilikan , dan juga tidak disebabkan oleh syubhat (kesamaran).12

Namun dalam Islam tindak pidana membujuk anak melakukan persetubuhan disertai dengan beberapa perbuatan pemaksaan atau ancaman termasuk dalam perbuatan jari>mah sebagaimana dijelaskan dalam surat A>li-Imra>n ayat 104:

                         

Artinya:“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.”13

10

Nurul Irfan dan Masyrofah, FIQIH JINAYAH (Jakarta: AMZAH,2013) 163.

11

Ibid.,18.

12

Neng Djubaidah, Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-undangan DI Indonesia di Tinjau Dari Hukum Islam (Jakarta: KENCANA 2010), 120.


(15)

Dalam konteks hukum pidana Islam tindak pidana disebut dengan

jari>mah. Hukum pidana Islam adalah perbuatan manusia yang dinilai sebagai pelanggaran atau kejahatan kepada sesamanya baik pelanggaran-pelanggaran atau kejahatan tersebut secara fisik atau non fisik, seperti membunuh, menuduh atau memfitnah maupun kejahatan terhadap harta benda lainnya. Sedangkan jari>mah adalah segala larangan syara’ (melakukan hal -hal yang dilarang dan atau meninggalkan -hal--hal yang diwajibkan) yang diancam dengan hukum h{ad atauta’zi>r.14

Mengatasi kejahatan persetubuhan yang merupakan fenomena yang ada dalam masyarakat tidak dapat dilepaskan dari hal-hal yang melatarbelakangi mengapa perbuatan tersebut terjadi.

Di Ngawi ada peristiwa atau kasus membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya yaitu antara “GE” dan “IO” yang menimpa “IO” sebagai korban dan “GE” sebagai pelaku atau terdakwa yang telah diputuskan oleh pengadilan Negeri Ngawi NO.35/pid.sus/2015/PN.Ngw. korban merupakan anak dibawah umur.

Peristiwa ini berawal ketika mereka sedang berstatus pacaran, “GE” memaksa “IO” untuk melakukan persetubuhan dengannya. “GE” berjanji tidak akan terjadi apa-apa. Namun “IO” takut bahwa dia nanti akan hamil. Tapi “GE” berjanji ini tidak akan sampai hamil. Kejadian itu berulang sampai empat kali, di tempat yang berbeda dan waktu yang berbeda juga.

14

A. Djazuli, Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam) (Jakarta: PT Raja Grafindo, Persada, 2000), 11.


(16)

Di dalam hasil keputusan pengadilan negeri Ngawi yakni NO.35/pid.sus/2015/PN.Ngw, dalam perkara tindak pidana memaksa melakukan persetubuhan terhadap anak diputuskan bahwasanya terdakwa “GE” telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Membujuk Anak untuk Melakukan Persetubuhan Dengannya” oleh karena itu terdakwa dijatuhkan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan denda sebesar Rp 60.000,- (enam puluh juta rupiah), sesuai dengan ketentuan pasal 81 ayat (2) UU.RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pada pasalnya menjelaskan, bahwasanya “Setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas tahun) dan paling singkat 3 (tiga tahun) dan denda paling banyak Rp 300.000.000,- ( tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,-(enam puluh juta rupiah)". Dengan berbagai alasan yang meringankan hukuman terdakwa dikenai yang paling ringan.

Dalam putusan tersebut diketahui bahwasanya masih menggunakan Undang-undang yang lama yakni UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Padahal sudah terbit Undang-Undang yang baru yakni UU No.35 Tahun 2014 Perubahan atas UU. No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Di lihat dari tanggal putusannya yakni diputuskan pada hari selasa, tanggal 23 April 2015. Yang pada saat itu pula UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak mulai berlaku pada tanggal yang diundangkan yaitu tanggal


(17)

17 Oktober 2014. Dengan demikian putusan ini masih menggunakan undang-undang yang lama.

Namun dilihat pada kronologinya pula, yang tertera dalam isi putusan kejadian itu terjadi sekitar pada bulan Desember 2013 sampai bulan Februari 2014. Dalam artian UU No.35 Tahun 2014 belum berlaku ketika kejadian atau peristiwa dalam kasus pada putusan .35/pid.sus/2015/PN.Ngw, itu terjadi. Namun jika dilihat dari tanggal putusannya yakni tanggal 23 April 2015, berarti perubahan UU No.35 tahun 2014 terjadi perubahan ketika perkara masih dalam proses persidangan.

Asas legalitas secara jelas dapat diketahui di dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang berbunyi : “sesuatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya”.15

Dari bunyi di atas dapat diketahui isi utama dalam asas legalitas tindak pidana harus dirumuskan dalam undang-undang, dan undang-undang tersebut harus ada sebelum tindak pidana itu dilakukan. Bahwa makna asas legalitas adalah perbuatan yang dapat dipidana hanya jika diatur dalam perundang-undangan dan undang-undang yang dirumuskan secara terperinci dan cermat atau

lex certa.16

15

KUHP pasal 1 ayat (1).

16

Eddy O.S Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana (Jakarta: Erlangga, 2009), 24-25.


(18)

Di dalam hukum pidana Islam ada asas legalitas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya. Asas ini berdasarkan al-Qur’a>n Surah al-Isra>’ (17) ayat 15 :































































Artinya: Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.17

Ayat tersebut menjelaskan bahwasanya, Allah tidak akan menjatuhkan hukuman bagi umat manusia dan tidak akan meminta pertanggung jawaban manusia sebelum, adanya penjelasan dan pemberitahuan melalui RasulNya. Demikian juga kewajiban yang harus diemban oleh umat manusia adalah kewajiban yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, yakni taklif atau beban yang sanggup dikerjakan.

Dalam arti jika sesuatu kejahatan itu dilakukan sebelum adanya undang-undang yang berlaku maka tidak akan ada sanksi bagi pelakunya. Namun bagaimana jika adanya perubahan dalam pemberlakuan suatu hukum.


(19)

Dalam KUHP pasal 1 ayat (2) yang berbunyi :

“ jikalau undang-undang diubah setelah perbuatan itu dilakukan, maka

kepada terdakwa dikenakan hukuman yang menguntungkan baginya”.18

Maksud ayat 2 pasal 1 ialah, bahwa apabila peristiwa pidana dilakukan sebelum ketentuan pidana yang mengenai peristiwa pidana itu diubah, sehingga peristiwa pidana ini dapat dikenakan dua macam ketentuan pidana ialah yang lama dan yang baru, maka hakim harus menyelidiki terlebih dahulu ketentuan pidana manakah yang lebih menguntungkan kepada terdakwa yang lamakah atau yang baru.19

Sedangakan dalam hukum pidana Islam menjelaskan bahwa aturan yang paling menguntungkan bagi pelaku jari>mah lebih diutamakan walaupun aturan itu dibuat setelah perbuatan jari>mah tersebut dilakukan.20

Dari paparan di atas maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tentang tinjaun hukum pidana Islam mengenai bagaimana pertimbangan hakim terhadap putusan No.35/Pid.Sus/2015/PN.Ngw. tentang tindak pidana membujuk anak untuk melakukan persetubuhan.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

18

KUHP Pasal 1 ayat (@2).

19

R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Bogor: Poletia, 1991), 28.

20

Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqih Jinayah (Asas-Asas hukum pidana Islam),… 57.


(20)

Berangkat dari latar belakang di atas, penulis mengidentifikasi beberapa masalah yang timbul sebagai berikut:

1. Pengertian tindak pidana membujuk anak untuk melakukan persetubuhan.

2. Pengertian tindak pidana membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dalam hukum pidana Islam.

3. Putusan yang diberikan oleh hakim Pengadilan Negeri Ngawi pada putusan No.35/Pid.Sus/2015/PN.Ngw.

4. Asas legalitas.

5. Asas legalitas dalam hukum pidana Islam.

6. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap putusan No. 35/Pid.Sus/2015/PN.Ngw.

7. Sanksi yang menguntungkan bagi pelaku dalam hukum positif dan hukum pidana Islam.

Berdasarkan identifikasi masalah di atas dan juga bertujuan agar permasalahan ini dapat dikaji dengan baik, maka penulis membatasi penulisan karya ilmiah ini dengan batasan sebagai berikut:

1. Pertimbangan hakim terhadap tindak pidana membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dalam putusan No. 35/Pid.sus/2015/Pn.Ngw. 2. Analisis hukum pidana Islam terhadap terhadap tindak pidana

membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dalam putusan No. 35/Pid.sus/2015/Pn.Ngw.


(21)

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana analisis pertimbangan hakim terhadap putusan No. 35/Pid.sus/2015/Pn.Ngw. tentang tindak pidana membujuk anak untuk melakukan persetubuhan.

2. Bagaimana analisis hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hakim pada putusan No. 35/Pid.sus/2015/Pn.Ngw tentang tindak pidana membujuk anak untuk melakukan persetubuhan.

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi singkat tentang kajian atau penelitian yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang diteliti sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan duplikasi dari kajian atas penelitian tersebut. Penelitian tentang tindak pidana membujuk anak untuk melakukan persetubuhan memang sudah cukup banyak dan beragam, namun keberagaman tema tersebut justru merefleksikan suatu yang berbeda baik mengenai obyek maupun fokus penelitian sebagai berikut:

1. Penelitian atau tulisan yang sejenis adalah tulisan Ika Fenny Widiawati

Fakultas Syari’ah prodi Hukum Pidana Islam, UIN Sunan Ampel

Surabaya tentang “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Hukuman Bagi Perempuan yang Membujuk Anak laki-laki Melakukan Persetubuhan (studi putusan N0.815 K/PID.SUS/2014)”. Dengan kesimpulan dalam menjatuhkan sanksi pada terdakwa dilihat dengan


(22)

hal yang terdakwa merusak masa depan korban yang masih tergolong anak-anak, sedang yang meringankan karena terdakwa belum pernah dihukum dan menyesali perbuatannya. Dan menurut analisis hukum pidana islam, perbuatan terdakwa dikenai hukuman ta’zi>r.

2. Tulisannya Moh.Syafroni Fakultas Syari’ah prodi jinayah siyasah,

UIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta tahun 2009 tentang “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tindak Pidana Pedofilia” dengan kesimpulan tindak pidana pedofilia terjadi apabila ada persetubuhan itu di luar pernikahan yang sah antara keduanya, pelaku adalah orang dewasa. Korban belum dewasa. Sedangakan menurut hukum Islam hukuman rajam memang layak dijadikan sanksi tindak pidana pedofilia.

3. Tulisannya Risnawati Fakultas Hukum Prodi Hukum Pidana Universitas Hasanudin Makassar tahun 2014 tentang “Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak (studi kasus putusan No 761/Pid.B/2013/PN.Makassar)” dengan kesimpulan penerapan hukum pidana materil pada putusan telah sesuai dengan pertimbangan hal-hal yang memberatkan dan meringankan hukuman. 4. Tulisannya Aditya Widyatmoko Fakultas Hukum Universitas Sebelas

Maret Surakarta tahun 2010 tentang “Komparasi Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dengan Kesimpulan perbedaan asas legalitas dalam hukum pidana Islam dengan KUHP yaitu dalam hukum pidana Islam yaitu mengakui sumber tertulis dan tidak tertulis dimana memberikan


(23)

kepastian hukum formal dan material sedangkan dalam KUHP hanya mengakui sumber tertulis hanya memberikan kepastian hukum formal.

E. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui analisis pertimbangan hakim terhadap putusan No. 35/Pid.sus/2015/Pn.Ngw. tentang tindak pidana membujuk anak untuk melakukan persetubuhan.

2. Untuk memahami analisis hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hakim pada putusan No. 35/Pid.sus/2015/Pn.Ngw. tentang tindak pidana membujuk anak untuk melakukan persetubuhan.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Dengan adanya penelitian ini diharapkan mampu membawa beberapa manfaat sebagai berikut:

1. Secara Teoritis: dapat dijadikan pedoman untuk menyusun hipotesis penulisan berikutnya, bila ada kesamaan dengan masalah ini, dan memperluas khasanah ilmu pengetahuan mengenai pertimbangan hakim terhadap putusan No. 35/Pid.sus/2015/Pn.Ngw tentang tindak pidana membujuk anak untuk melakukan persetubuhan.

2. Secara praktis: hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menganalisis dan argumentasi hukum yang


(24)

diperlukan agar diperoleh daya guna yang diharapkan bagi penegakkan hukum demi terciptanya suasana yang adil dan kondusif serta menjamin kepastian hukum bagi hak-hak rakyat. Dengan demikian, dapat ikut mengupayakan pemikiran ilmiah dalam bidang hukum yang diharapkan bermanfaat bagi upaya terciptanya keadilan dan kemaslahatan bagi rakyat yang sesuai dengan Undang-Undang dasar serta al-Qura>n dan al-Hadis.

G. Definisi Operasional

Sebagai gambaran di dalam memahami suatu pembahasan maka perlu adanya pendefinisian terhadap judul yang bersifat operasional dalam penulisan skripsi ini agar mudah dipahami secara jelas tentang arah dan tujuannya, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami maksud yang terkandung.

Adapun judul skripsi ini adalah “Tinjauan Hukum Pidana Islam

Terhadap Putusan No. 35/Pid.Sus/2015/Pn.Ngw. Tentang Tindak Pidana Membujuk Anak Untuk Melakukan Persetubuhan”.

Dan agar tidak terjadi kesalahpahaman di dalam memahami judul skripsi ini maka perlu penulis menguraikan tentang:

1. Hukum pidana Islam adalah perbuatan manusia yang dinilai sebagai pelanggaran atau kejahatan kepada sesamanya baik pelanggaran-pelanggaran atau kejahatan tersebut secara fisik atau non fisik. Dalam hal ini mengenai Jarima>h zina yakni membujuk


(25)

anak untuk melakukan persetubuhan adalah wanita maupun anak yang dipaksa untuk melakukan persetubuhan yang dilarang (zina). 2. UU No.23 tahun 2002 adalah undang-undang tentang perlindungan

anak dalam hal ini mengenai sanksi bagi pelaku membujuk anak untuk melakukan persetubuhan.

3. Putusan No.35/pid.sus/2015/PN.Ngw adalah putusan mengenai perkara membujuk anak untuk melakukan persetubuhan.

H. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang akan dipakai adalah kajian pustaka (library research), yaitu studi kepustakaan dari berbagai referensi yang relevan dengan pokok bahasan tinjauan hukum pidana Islam terhadap putusan No. 35/Pid.Sus/2015/PN.Ngw. tentang tindak pidana membujuk anak untuk melakukan persetubuhan. Dalam kaitannya dengan penelitian ini akan digunakan beberapa pendekatan perundang-undangan dan asas perundang-undangan.

1. Data yang dikumpulkan

Berdasarkan masalah yang dirumuskan, maka data yang di kumpulkan dalam penelitian ini meliputi:

a. Data tentang tindak pidana membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dalam putusan No.35/Pid.Sus/2015/PN.Ngw.


(26)

b. Pandangan hukum pidana Islam terhadap putusan No.35/Pid.Sus/2015/PN.Ngw.

2. Sumber Data

Sumber data merupakan bagian dari skripsi yang akan menentukan keontetikan skripsi, berkenaan dengan skripsi ini sumber data yang dihimpun dari:

a. Sumber Data Primer

Yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya yakni putusan No.35/pid.sus/2015/PN.Ngw. Dimana data diperoleh dari situs resmi pengadilan tersebut.

b. Sumber Data Sekunder

Yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian yang penulis bahas. Diantaranya:

1) A. Djazuli Fiqih Jinaya>h

2) Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshari,

Problematika Hukum Islam Kontemporer.

3) Prof. Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum

4) Nasrun Haroen, Ushul Fiqih

5) Mr. Roeslan Saleh, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan penjelasannya,

6) Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


(27)

7) Undang-undang No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

3. Teknik Pengumpulan Data Dokumentasi

Pembahasan skripsi ini merupakan penelitian dokumentasi, maka dari itu teknik yang digunakan adalah dengan pengumpulan data literatur, yaitu dari dokumen putusan No.35/pid.sus/2015/ PN.Ngw. yang dilengkapi dengan penggalian bahan-bahan pustaka yang berhubungan dengan implementasi undang-undang no 23 tahun 2002. Bahan bahan pustaka yang digunakan disini adalah buku-buku yang ditulis oleh para pakar atau ahli hukum terutama dalam bidang hukum pidana dan hukum pidana Islam. 4. Teknik Pengolahan Data

Semua data yang terkumpul kemudian diolah dengan cara sebagai berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali semua data yang diperoleh, terutama dengan kelengkapan, kejelasan makna, kesesuaian dan keselarasan antara yang satu dengan yang lain. Dalam hal ini penulis akan memeriksa kembali kelengkapan data-data putusan No.35/pid.sus/2015/ PN.Ngw, tentang tindak pidana membujuk anak untuk melakukan persetubuhan terkait dengan asas legalitas


(28)

ditinjau dari hukum pidana islam mengenai sanksi yang menguntungkan bagi tersdakwa serta kesusaian data-data dari putusan dengan data-data dari kepustakaan.

b. Organizing, yaitu menyusun dan mensistematikan data yang diperoleh dalam kerangka paparan yang sudah direncanakan yang tersusun pada bab III tentang tindak pidana membujuk anak untuk melakukan persetubuhan perkara pada putusan No.35/pid.sus/2015/ PN.Ngw.

c. Analyzing, yaitu analisis dari data yang telah dideskripsikan pada bab III dan menganalisis pada bab IV dalam rangka untuk menunjang atas proses menjawab permasalahan yang dipaparkan di dalam rumusan masalah. Tinjaun hukum pidana Islam terhadap putusan No. 35/Pid.Sus/2015/PN.Ngw.

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1) Teknik deskriptif analisis, yaitu dengan cara memaparkan tentang tindak pidana membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dalam memutuskan perkara pada putusan No.35/pid.sus/2015/ PN.Ngw


(29)

2) Deduktif, yaitu pola fikir yang membahas persoalan yang dimulai dengan memaparkan hal-hal yang bersifat umum berupa tinjauan hukum pidana Islam terhadap putusan No.35/Pid.Sus/2015/PN.Ngw. kemudian ditarik suatu kesimpulan yang bersifat khusus dari penelitian yang dilakukan.

I. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dalam skripsi ini dikelompokkan menjadi lima bab, terdiri dari sub-sub bab yang masing-masing mempunyai hubungan dengan yang lain dan merupakan rangkaian yang berkaitan. Agar penulisan skripsi ini terkesan teratur, maka dalam sistematikanya sebagai berikut:

Bab yang pertama tentang pendahuluan yang menguraikan mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua landasan teori yang membahas tentang tinjauan hukum pidana Islam terhadap putusan No.35/Pid.Sus/2015/PN.Ngw. meliputi: pengertian pemaksaan persetubuhan dalam hukum pidana positif dan hukum pidana Islam, asas legalitas dan UU No. 23 tahun 2002 tentang


(30)

Perlindungan Anak, serta konsep konsep menguntungkan bagi terdakwa dalam hukum positif dan hukum pidana Islam.

Bab ketiga memaparkan tentang hasil yang diperoleh dari proses meneliti data-data dari putusan Pengadilan Negeri Ngawi mengenai Putusan Pengadilan Negeri Ngawi No.35/pid.sus/2015/ PN.Ngw. tentang tindak pidana membujuk anak untuk melakukan persetubuhan.

Bab ke empat menjelaskan tentang analisis pertimbangan hakim terhadap putusan Pengadilan Negeri Ngawi No. 35/Pid.Sus/2015/PN.Ngw tentang tindak pidana membujuk anak untuk melakukan persetubuhan serta ditinjau dari hukum pidana Islam.

Bab ke lima tentang penutup yang menguraikan mengenai kesimpulan yang dapat diperoleh dari keseluruhan hasil pembahasan dan proses meneliti, serta saran-saran yang dapat penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait dengan pembahasan penulisan hukum ini.


(31)

BAB II

TINDAK PIDANA MEMBUJUK ANAK UNTUK MELAKUKAN PERSETUBUHAN

A. Tindak Pidana Membujuk Anak Untuk Melakukan Persetubuhan 1. Pengertian Persetubuhan

Menurut R. Soesilo persetubuhan adalah “perpaduan antara kelamin laki-laki dan perempuan yang biasanya dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota kemaluan laki-laki harus masuk ke dalam anggota kemaluan perempuan sehingga mengeluarkan air mani”. Menurut Andi Zainal Abidin Farid berpendapat bahwa persetubuhan itu terjadi karena pertemuan atau peraduan alat kelamin laki-laki dan perempuan baik keluar air mani atau tidak.1

Persetubuhan adalah tindakan memasukkan kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan perempuan yang pada umumnya menimbulkan kehamilan, dengan kata lain apabila kemaluan itu mengeluarkan air mani di dalam kemaluan perempuan. Oleh karena itu, apabila dalam peristiwa perkosaan walaupun kemaluan laki-laki telah agak lama masuknya ke dalam kemaluan perempuan, air mani laki-laki belum keluar hal itu belum merupakan perkosaan, akan tetapi percobaan perkosaan.2

1

Andi Zainal Abidin Farid dan Andi Hamzah, Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2010), 32.

2


(32)

Pengertian persetubuhan tersebut masih pengertian aliran klasik dan menurut teori modern tanpa mengeluarkan air mani pun maka hal tersebut sudah dapat dikatakan sebagai persetubuhan sehingga tidak tepat jika disebut hanya sebagai percobaan.

Persetubuhan dengan yang bukan mahramnya dalam hukum pidana Islam disebut dengan zina. Zina adalah hubungan kelamin sesaat yang tak bertanggung jawab. Perbuatan semacam ini merupakan perbuatan binatang yang semestinya dihindari oleh yang setiap manusia yang menyadari dari kemuliaan harkat manusia. Pendekatan zina sudah terang merupakan perbuatan yang menimbulkan kerusakan besar. Zina adalah salah satu di antara sebab-sebab dominan yang mengakibatkan kerusakan dan kehancuran peradaban, menularkan penyakit-penyakit yang sangat berbahaya, mendorong orang untuk terus menerus hidup membujang serta praktek hidup bersama tanpa nikah. Dengan demikian zinah merupakan sebab utama dari dari pada kemlaratan, pemborosan, kecabulan dan pelacuran.3

2. Membujuk Anak Untuk Melakukan Persetubuhan

Dalam undang-undang No. 23 tahun 2002 pada pasal 81 ayat (2) menyatakan bahwa:4

“Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pada bagi orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan

3

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 9 (Bandung: PT Alma’arif, 1984), 88-89.


(33)

persetubuhan dengannya atau dengan orang lain” sebagaimana pada ayat (1) “ setiap orang yang dengan sengaja melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain……

Di sini dijelaskan bahwa dalam membujuk anak untuk mau melakukan persetubuhan juga ada unsur pemaksaan. Semua bentuk hubungan kelamin yang menyimpang dari ajaran agama Islam dianggap zina yang dengan sendirinya mengundang hukuman yang telah digariskan, karena zina merupakan salah satu di antara perbuatan-perbuatan yang telah dipaksa hukumnya. Batasan zina yang mengharuskan hukuman itu ialah maksudnya kepala kemaluan laki-laki (seukuran kemaluan itu, bagi orang yang terpotong kemaluannya) ke dalam kemaluan wanita yang btidak halal disetubuhi oleh laki-laki yang bersangkutan, tanpa adanya hubungan pernikahan diantara keduanya, sekalipun tanpa keluarnya sperma. Tetapi jika terjadi perbuatan (mesum) antara seseorang laki-laki dengan seseorang wanita tanpa menyentuh daerah terlarang itu, maka atas perbuatan tersebut tidak dapat dijatuhkan hukuman zina melainkan hanya ta’kzi>r.5

Hukuman yang ditetapkan atas diri seseorang yang berzina dapat dilaksanakan dengan syarat-syarat sebagai berikut :6

a. Orang yang berzina itu adalah orang yang berakal waras. b. Orang yang berzina itu sudah cukup umur (baligh).

5

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 9, …. 94.

6


(34)

c. Zina itu dilakukannya dalam keadaan tidak terpaksa, tetapi atas kemauannya sendiri.

d. Orang yang berzina itu tahu bahwa zina diharamkan.

Dengan demikian, hukuman tidak dapat dijatuhkan dan dilaksanakan terhadap anak kecil, orang gila dan atau orang yang dipaksa melakukan zina.

Para ulama’ sepakat bahwasanya tidak ada hukuman h{udu>d atas

orang yang dipaksa berzina atau melakukan persetubuhan. Allah SWT berfirman dalam al-Qur’>an Surah al-An’>am (6); 119:































Artinya: “…..Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang

terpaksa….”7

Pemaksaan dianggap syubhat menurut ulama’ yang mengatakan syubhat dan hukuman h{udu>d gugur karena ada syubhat. Para ulama’

sepakat tidak ada perbedaan antara dipaksa dengan cara ilja>’, yaitu pemaksaan absolute (paksaan yang menghilangkan kerelaan dan merusak pilihan serta dikhawatirkan akan menghabiskan jiwa), dan dipaksa dengan cara ancaman. Seorang perempuan yang dipaksa bersetubuh datang kepada Rasulullah SAW. dan Rasulullah menggugurkan hukuman h{udu>d atas si perempuan. Jika seseorang laki-laki dipaksa berzina, ia wajib dijatuhi

7


(35)

hukuman h{udu>d. Ini merupakan pendapat lemah kalangan ulama’ Malikiyah, Hanafiyah, Syafi’iyah, Hanabilah dan Syiah Zaidiyah. Mereka beralasan bahwa perempuan berada dalam keadaan dipaksa karena posisinya hanya menerima, sedangkan laki-laki tidak dipaksa selama ereksi. Ereksi adalah bukti kesiapan. Menurut mereka, tidak ada hukuman

h{udu>d jika penis tidak ereksi (menegangnya alat kelamin laki-laki) dan terbukti ada pemaksaan.8

Pendapat yang kuat dikalangan ulama’ beberapa madzhab ini menyatakan tidak ada hukuman h{udu>d atas laki-laki yang dipaksa. Pemaksaan atas lelaki maupun perempuan hukumnya sama. Jika perempuan tidak wajib dijatuhi hukuman h{udu>d, lelaki yang juga tidak dijatuhi hukuman h{udu>d. Terkadang eraksi adalah tabiat, yaitu bukti kelelakian, bukan kesepian. Pernyataan bahwa ancaman bisa menafikkan ereksi (menegangnya alat kelamin laki-laki) tidak benar. Orang yang memaksa hanya mengancam ketika orang tidak mau melakukan, bukan ketika melakukan. Jadi, perbuatannya sendiri bukan hal yang ditakutkan terlebih pemaksaan adalah syubhat dan hukuman hudud gugur karena ada

syubhat.

B. Asas Legalitas

8


(36)

1. Asas Legalitas dalam Hukum Positif

Asas legalitas merupakan asas yang mengandung arti bahwa tidak satupun perbuatan yang dianggap melanggar hukum dan tidak ada hukuman pidana yang boleh dijatuhkan atas suatu perbuatan sebelum ada ketentuannya di dalam sebuah hukum.9

Asas legalitas biasanya tercermin dari ungkapan bahasa latin

Nullum Deliktum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poeneli (tiada delik tiada hukuman sebelum ada ketentuan terlebih dahulu). Asas ini merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan member batas aktivitas apa yang di larang secara tepat dan jelas. Asas ini melindungi dari penyalahgunaan dan kesewenang-wenanangan hakim menjamin keamanan individu dengan informasi yang boleh dan yang dilarang. Setiap orang harus diberi peringatan sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan illegal dan hukumnya. Jadi berdasarkan asas ini tiada satu perbuatan yang dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan jika belum dinyatakan secara jelas oleh suatu hukum pidana dan selama perbuatan itu belum dilakukan. Hakim hanya dapat menjatuhkan pidana hanya terhadap orang yang melakukan perbuatan setelah dinyatakan sebelumnya sebagai tindak pidana.10

Asas legalitas adalah bagian dari sistem hukum yang dibangun dari sejumlah asas-asas hukum (legal principle) yang melahirkan sejumlah

9

Muhammad Tahmid Nur, Menggapai Hukum Pidana Ideal (Yogyakarta : CV Budi Utama, 2016), 132.

10


(37)

norma hukum (legal rules), baik yang tertulis (peraturan) maupun yang tidak tertulis. Namun khusus dalam perkara pidana yang dapat dijadikan dasar untuk menuntut seseorang menjadi terdakwa dan juga memidanakannya hanyalah peraturan hukum (peraturan hukum tertulis). Asas legalitas juga merupakan asas universal dalam hukum pidana yang menjadikan dasar hukum dibenarkannya penjatuhan hukuman pidana atau kriminalisasi pada seseorang termasuk anak.11

Secara garis besar asas legalitas mengandung 3 pengertian yaitu:12 a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana

kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.

b. Untuk menyatakan adanya perbuatan pidana tidak boleh menggunakan analogi.

c. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

Pengertian pertama bahwa harus ada aturan undang-undang jadi harus ada aturan tertulis lebih dahulu, itu jelas tampak dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP, dimana dalam teks Belanda disebutkan wetelijke strafbepalling yaitu aturan pidana dalam undang-undang.

Dengan ketentuan ini konsekunsinya adalah bahwa perbuatan-perbuatan pidana menurut hukum adat lalu tidak dapat dipidana, sebab disitu tidak ditentukan dengan aturan yang tertulis.13

11

Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Purnama, 2010), 147.

12


(38)

2. Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Islam

Hukum pidana Islam mempunyai istilah yaitu jina>yah, yang mempunyai pengertian suatu perbuatan yang dilarang oleh syara>’,

baik perbuatan mengenai agama, jiwa, harta pikiran dan keturunan. Dalam hukum pidana Islam tersebut memiliki asas yang sangat penting, karena menunjukkan suatu keadilan dan ketidaksewenang-wenangan dalam dalam menghukum seseorang yang melakukan

jarim>ah, yaitu asas legalitas dimana dalam hukum pidana Islam asas legalitas tersebut sudah dikenal walaupun secara tersirat dibanding dengan hukum positif yang baru mengenalnya pada akhir delapan belas Masehi, ketika pertama kali dimuat dalam hukum Prancis sebagai hasil revolusi Prancis.

Asas legalitas dalam hukum pidana Islam tersurat dalam

al-Qur’>an surat Al-Isra>’ (17) ayat 15 dan surat Al-An’am (6) ayat 19 :

                                  

Artinya: Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.


(39)

                                                                

Artinya: Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah: "Allah". Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan Dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya). Apakah Sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?" Katakanlah: "Aku tidak mengakui." Katakanlah: "Sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)".

Asas legalitas yang tersurat dalam Al-Isra>’ ayat 15 dan surat Al

-An’am diatas memuat beberapa pengertian seperti :14

a. Sebelum ada nas{ (ketentuan) dimana ketentuan setelah wahyu yaitu Al-Qur’>an, harus berasal dari berpijak pada

Al-Qur’>an sebagai dasar, tidak ada hukum bagi perbuatan

orang-orang yang berakal sehat.

b. Pada dasarnya semua perkara dibolehkan, sehingga ada dalil yang menunjukkan ke haramannya.

c. Suatu perbuatan atau sikap tidak berbuat tidak boleh dianggap jarimah kecuali karena adanya nas{ (ketentuan) yang jelas yang melarang perbuatan dan sikap tidak berbuat tersebut. Apabila tidak ada nas{ yang demikian sifatnya, maka tidak ada tuntutan atas hukuman atas pelakunya.

14

Ahmad Wardi Muchlis, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), 29-31.


(40)

d. Menurut syara’ seseorang tidak dapat diberi pembebanan (taklif) kecuali apabila ia mampu memahami dalil-dalil taklif dan cakap untuk mengerjakannya.

Dari pengertian di atas mengenai asas legalitas dalam hukum pidana Islam dapat ditarik suatu kesimpulan mengenai pengertiannya, yaitu nas{-nas{ pidana Islam baru berlaku setelah dibuat dan diketahui orang banyak yang sudah dapat dibebani kewajiban dan hak dalam hukum yang disebut subjek hukum (mukallaf), dan tidak berlaku terhadap peristiwa-peristiwa sebelum nas{-nas{ itu diketahui dan dibuat.

Asas legalitas dalam Islam bukan berdasar dari manusia tetapi dari ketentuan Tuhan, berupa hukuman yang hanya berlaku bagi kaum yang telah didatangi oleh rasul dan telah sampai kepada mereka peringatan (Al-Qur’a>n). Ketentuan tersebut membuktikan keadilan Tuhan untuk tidak berbuat semena-mena, meskipun kepada Makhluk ciptaannya seperti manusia. Sekiranya Tuhan berkehendak hal itu dapat saja terlaksana, tetapi Tuhan tidak melakukannya karena Maha keadilan-Nya, agar menjadi contoh manusia dalam menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.

Dalam syari’at Islam telah dikenal asas legalitas dalam pemberlakuan

hukum, terutama di dalam menerapkan aturan-aturan pidana yang berhubungan langsung dengan kemaslahatan hidup manusia secara keseluruhan (public). Dalam asas legalitas hukum pidana Islam yang memiliki pengertian yang intinya ketentuan hukum pidana Islam dimana di dalamnya memuat suatu hukuman yang dapat dijatuhkan kepada


(41)

mukallaf yang melanggar hukum pidana Islam, hal ini dapat dikesampingkan atau dihapuskan hukumannya walaupun mukallaf telah melakukan suatu jarimah, dengan suatu hadis yang artinya : “Dihapuskan umatku kekeliruan lupa, dan perbuatan yang dipaksakan atasnya”. Selain lupa, perbuatan yang dipaksakan atas dirinya pengenyampingan asas legalitas yang lain adalah dengan taubat, karena dengan taubat, karena dengn taubat seseorang yang melakukan jarima>h dapat dihapuskan hukumannya.15

C. Syarat Berlakunya Sebuah Undang-Undang

Mulai tidak berlakunya sebuah undang-undang itu dinyatakan dengan tegas oleh instansi yang membuatnya atau oleh instansi yang lebih tinggi dengan menyatakan : Undang-undang nomor sekian dicabut; dapat juga suatu undang-undang tidak berlaku lagi dengan tidak disebut-sebutkan yaitu karena hal itu telah diatur dengan undang-undang yang baru oleh instansi yang membuatnya atau oleh instansi yang lebih tinggi; juga kalau waktu berlakunya undang-undang itu telah habis.

Singkatnya:16

a. Suatu peraturan tidak berlaku lagi bila waktu yang telah ditentukan oleh peraturan itu sudah lampau.

b. Bila keadaan untuk mana bunyi peraturan itu diadakan sudah tidak ada lagi.

15

Ahmad Wardi Muchlis, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam,…80.

16

C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 275-276.


(42)

c. Bila peraturan itu dicabut (dengan tegas atau tidak langsung). d. Bila ada peraturan yang baru yang isinya bertentangan dengan

peraturan peraturan yang lama.

Menurut Kansil syarat mutlak untuk berlakunya suatu undang-undang ialah diundangkan dalam Lembaran Negara (LN) oleh Menteri/ Sekretaris Negara (dahulu : Menteri Kehakiman). Tanggal mulai berlakunya suatu undang-undang menurut tanggal yang ditentukan dalam undang-undang itu sendiri. Jika tanggal berlakunya itu tidak disebutkan dalam undang-undang, maka undang-undang itu mulai berlaku 30 hari sesudah diundangkan dalam negeri untuk Jawa dan Madura, dan untuk daerah-daerah lainnya baru berlaku 100 hari setelah pengundangan dalam luar negeri sesudah syarat tersebut dipenuhi, maka berlaku suatu fictie

(menerima sesuatu yang tidak benar sebagai suatu hal yang benar) dalam

hukum “ Setiap orang dianggap telah mengetahui adanya sesuatu

undang-undang”. Hal ini berarti bahwa jika ada seseorang yang melanggar

undang-undang tersebut, ia tidak diperkenankan membela atau membebaskan diri dengan alasan: “ Saya tidak tahu menahu adanya undang-undang itu”.17

Menurut UU No. 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada kerangka peraturan perundang-undangan bagian penutup No. 124 yakni berbunyi “ pada dasarnya setiap peraturan perundang-undangan mulai berlaku pada saat peraturan yang bersangkutan

17


(43)

diundangkan”18

. Menunjukkan bahwasanya ketika undang-undang tersebut diedarkan maka undang-undang itupun mulai berlaku.

Penghapusan dan pencabutan undang-undang dapat dinyatakan dengan tegas dengan undang-undang dan dapat pula dilakukan dengan diam-diam yaitu dalam hal ketentuan undang-undang yang baru berlainan dengan ketentuan undang-undang yang lama. Baik dalam ilmu hukum maupun perundang-undangan berlaku suatu asas yang berbunyi sebagai berikut “

lex posteriot derogate lex priori”.19

D. Undang-undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Undang-undang No. 23 tahun 2002 adalah undang-undang tentang perlindungan anak yang mengatur segala peraturan mengenai anak. Pada pasal 1 angka 2 UU No.23 tahun 2002 ditentukan bahwa: “ Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan

hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi”.

Secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi perlindungan anak dapat juga diartikan sebagai segala upaya yang ditujukan untuk mencegah terjadinya pemberdayakan terhadap anak yang mengalami tindak perlakuan salah (child abused), eksploitasi, dan penelataran agar

18

Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Peraturan Perundang-undangan.

19


(44)

dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara wajar, baik fisik, mental, dan sosialnya. Arif Gosita berpendapat bahwa perlindungan anak adalah suatu usaha untuk melindungi anak agar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.20

Ada banyak sekali hal mengenai anak yang diatur pada setiap pasal dalam UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Salah satunya yakni tentang tindak pidana persetubuhan. Dalam undang-undang tersebut, pengaturan tentang persetubuhan terhadap anak diatur dalam pasal 81, yang berbunyi:

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.21

E. Teori Menguntungkan Bagi Terdakwa

1. Teori Menguntungkan Bagi Terdakwa dalam Hukum Pidana Positif

Dalam KUHP pasal 1 ayat (2) yang berbunyi :

“ jikalau undang-undang diubah setelah perbuatan itu dilakukan, maka

kepada terdakwa dikenakan hukuman yang menguntungkan

20

Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak (Jakarta: Akademi Presindo, 1989), 17.


(45)

baginya”.22

Maksud ayat 2 pasal 1 ialah, bahwa apabila peristiwa pidana dilakukan sebelum ketentuan pidana yang mengenai peristiwa pidana itu diubah, sehingga peristiwa pidana ini dapat dikenakan dua macam ketentuan pidana ialah yang lama dan yang baru, maka hakim harus menyelidiki terlebih dahulu ketentuan pidana manakah yang lebih menguntungkan kepada terdakwa yang lamakah atau yang baru. Bila yang lama lebih menguntungkan, maka yang lama itulah yang yang dipakai, sebaliknya bila yang baru lebih menguntungkan, maka yang barulah yang dipakai. Lebih menguntungkan itu berarti lebih menguntungkan sesudah ditinjau dari semua sudut, misalnya mengenai berat ringannya hukuman, soal anasir peristiwa pidananya, soal masuk delik aduan atau tidak, mengenai persoalan salah tidak salahnya terdakwa.23 Jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapakan keuntungan yang paling menguntungkan yang paling menguntungkannya (terdakwa). Dengan ketentuan ini maka pada lex temporis delicti di atas diadakan pembatasan, dalam arti bahwa asas itu tidak berlaku jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan dan sebelum perkara diadili. Dalam hal demikian, yang dipakai untuk mengadili ialah aturan yang paling ringan bagi terdakwa.24

22

KUHP Pasal 1 ayat (@2).

23

R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Bogor: Poletia, 1991), 28.

24


(46)

Ada pendapat yang menyatakan, bahwa kini pasal 1 ayat 2 KUHP tidak berlaku oleh karena pasal yang bersangkutan dari KUHP tidak diubah, maka tersangka harus tetap dihukum. Pendapat lain, yang menurut Van Hattum dianut oleh Pengadilan Tertinggi Belanda, menganggap kini ada perubahan perundang-undangan yang dimaksudkan oleh pasal 1 ayat 2 KUHP, maka si terdakwa harus tidak dihukum.

Kalau ada orang melanggar larangan itu dan baru diadili setelah periode itu lampau, maka kini benar dapat dikatakan, tidak ada perubahan perundang-undangan. Maka seorang itu harus tetap dihukum (temporaire strafbepalingen).

Perlu diketahui apa yang diceritakan oleh Hazewinkel-Suringa (halaman 283), bahwa di Inggris ketentuan seperti ayat 2 dari pasal 1 KUHP ini sama sekali tidak ada, sehingga konsekuen diperlakukan larangan berlaku surut. Sedangkan di negara lain, seperti di Swedia ditentukan, bahwa apabila setelah perbuatan dilakukan tetapi perkaranya diputuskan oleh hakim, ada perubahan dalam perundang-undangngan, maka oleh hakim harus selalu dilakukan hukum baru, jadi juga apabila hukum baru ini tidak menguntungkan si terdakwa. Dan ini merupakan sistem tengah-tengah antara sistem Inggris dan sistem Swedia.25

25


(47)

2. Teori Menguntungkan Bagi Terdakwa dalam Hukum Pidana Islam

ةحلصم ي كلا ذ ن اك املك يعجر رثأ هل نوكي نأ بج يء انجا عي رشتلا نإ

ي اجا

Artinya : Hukum pidana Islam harus berlaku surut apabila menguntungkan si pelaku jari>mah.26

Apabila keluar suatu nas{ (aturan) pidana baru yang lebih menguntungkan bagi pembuat, maka nas{ inilah yang diterapkan padanya, meskipun ketika mengerjakan perbuatanya nas{ yang berlaku nas{ yang berlaku berisi hukuman-hukuman yang lebih berat. Syarat yang diperlukan untuk berlaku surut nas{ baru tersebut ialah bahwa keputusan hukuman yang dijatuhkan padanya berdasar nas{ yang lama belum mendapat kekuatan tetap (in kracht van gewijsde), misalnya kalau naik banding atau diajukan ke Mahkamah Agung atau diajukan grasi, sudah ada keputusanya. Kalau sudah mendapat kekuatan tetap maka tidak lagi dikenakan nas baru ataupun diperiksa kembali berdasarkan nas baru.

Alasan pemakaian nas{ yang lebih menguntungkan bagi para pembuat ialah bahwa tujuan menjatuhkan hukuman ialah memberantas perbuatan jarima>h dan melindungi masyarakat dari keburukan-keburukannya. Jadi penjatuhan hukuman ialah membrantas perbuatan jarimah dan melindungi masyarakat dari keburukan-keburukannya. Jadi penjatuhan hukuman merupakan kebutuhan sosial yang diperlukan oleh kepentingan masyarakat dan setiap kebutuhan diukur dengan kepentingan

26

Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqih Jinayah (Asas-Asas Hukum Pidana Islam),


(48)

tersebut. Kalau kepentingan masyarakat menghendaki peringanan hukuman, maka pembuat yang belum dijatuhi putusan (juga putusan yang mendapat kekuatan tetap) sudah sepantasnya kalau memperoleh keuntungan dari nas baru yang berisi hukuman yang lebih ringan. Pemeliharaan kepentingan masyarakat tidak terletak pada penjatuhan hukuman yang berat, dan suatu keadilan pula kalau hukuman yang dijatuhkan itu tidak melebihi dari keperluan masyarakat, selama hukuman tersebut dijatuhkan untuk melindunginya.27

Kaidah ini didasarkan atas perbuatan Rasulullah SAW yang pernah menghukum orang yang telah menzihar istrinya dengan nas{ yang datang terkemudian karena nas{ tersebut lebih menguntungkan. Nas{ tersebut adalah :                                                                                                                                              

Artinya :1. Sesungguhnya Allah telah mendengar Perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. dan Allah mendengar

27


(49)

soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat.2. orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. 3. orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.4. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi Makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. (al-Mujadilat (58): 1-4).28

Ayat di atas turun berkenaan dengan kasus Aws bin Shamit yang menzihar istrinya, Khawlat binti Tsa’labat. Sebelum ayat ini turun hukuman bagi mereka menzhihar istrinya adalah memutuskan ikatan pernikahan untuk selama-lamanya. Dengan ayat ini, hukuman menjadi lebih ringan yaitu dengan kifarat sebagaimana disebutkan di atas. Perbuatan Rasulullah SAW menunjukkan bahwa aturan pidana itu dapat berlaku surut, jika aturan tersebut lebih menguntungkan bagi (memaslahatkan) bagi pelaku. Hal ini disebabkan pula oleh maksud dari adanya hukum itu sendiri. Pada dasarnya hukum dibuat untuk mewujudkan kemaslahatan. Oleh karena itu, aturan yang paling

28


(50)

menguntungkan bagi pelaku jari>mah lebih diutamakan walaupun aturan itu dibuat setelah perbuatan jari>mah tersebut dilakukan.29

Menurut Osman Abdul Malik as-Saleh, profesor hukum publik dari Universitas Kuwait dan Nagaty Sanad, kebanyakan ahli hukum Islam berpendapat bahwa hanya ada satu pengecualian bagi berlakunya asas ini, yaitu jika yang baru memberikan sanksi yang lebih ringan dibandingkan pada waktu perbuatan dilakukan. Dalam kasus seperti ini, hukuman yang ringanlah yang diterapkan. Pengecualian ini dalam kejahatan az-zihar. Di masa pra-Islam kejahatan ini adalah perceraian yang diharuskan dan selamanya. Hukuman yang berat ini dikurangi oleh al-Qur’a>n dengan membebaskan budak, berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makmakan 60 orang miskin. Nabi Muhammad SAW menerapkan sanksi yang lebih ringan itu dalam kasus istri Aus Ibnu al-Samith yang terjadi sebelum turunnya wahyu mengenai kasus itu. Contoh lainnya dari pelaksanaan pengecualian ini adalah untuk kejahatan al-Li’a>n. Pada masa Islam, praktik ini diancam dengan hukuman yang sama bagi tuduhan palsu perzinahan (yaitu 80 kali cambukan). Kemudian, Allah menurunkan wahyu yang lebih ringan berkaitan dengan hal itu (al-Maidah : 6-9). Ketentuan yang menguntungkan bagi terdakwa ini, diterapkan bagi perbuatan yang dilakukan sebelum turunnya wahyu. Suatu pendapat yang

29


(51)

berbeda diajukan oleh ahli hukum Mesir Abdul Qadir’ Audah. Menurutnya, ada dua pengecualian dari asas tidak berlaku surut, yaitu (1) Bagi kejahatan-kejahatan berbahaya yang membahayakan keamanan dan ketertiban umum. (2) Dalam keadaan sangat diperlukan, untuk suatu kasus yang penerapan berlaku surutnya adalah bagi kepentingan masyarakat.30

30


(52)

BAB III

TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN No. 35/Pid.Sus/2015/PN.Ngw TENTANG TINDAK PIDANA MEMBUJUK

ANAK UNTUK MELAKUKAN PERSETUBUHAN

A. Para Pihak Dalam Putusan Pengadilan Negeri Ngawi No. 35/Pid.Sus/2015/PN Ngw.

1. Pelaku:

Pelaku adalah seorang laki-laki bernama Giri Eko Prasetyo bin Sugiyanto yang beragama Islam. lahir di Cirebon, 11 September 1995. Dengan status pelajar SMK kelas XI , ia tinggal di Dusun Satrian 1 RT. 01/ RW. 06, Dsa Tepas Kecamatan Geneng, Kabupaten Ngawi. 2. Korban:

Korban adalah seorang perempuan bernama Ida Oktaviani Mardisari yang beragama Islam. Bertempat tinggal di Dusun Ngegot RT/RW 01/01, Desa Tambak Romo Kecamatan Geneng, Kabupaten Ngawi. Ia masih berusia 16 tahun dan berstatus pelajar. Kondisinya dalam keadaan hamil + 8 bulan.

3. Saksi-saksi:

a. Saksi 1 : Ida Oktaviani Mardisari (sebagai korban) b. Saksi II : Sumardiyanto (ayah korban)

c. Saksi III : Ratrhri Wahyu Primahardyani, S.Pd. (sebagai guru BK korban)


(53)

d. Saksi IV : Suginah (sebagai bibi korban)

e. Saksi V : Yatno (sebagai sebagai kepala dusun)

B. Kronologi Dalam Putusan Pengadilan Negeri Ngawi No. 35/Pid.Sus/2015/PN Ngw.

Kejadian ini terjadi pada bulan Desember tahun 2013, bertempat di Dusun Ngenggot RT/RW 01/01 Desa Tambakromo, Kec. Geneng, Kab. Ngawi yang masih termasuk dalam daerah Hukum Pengadilan Negeri Ngawi, dengan kronologis kejadian sebagai berikut:

Bermula dari perkenalan antara terdakwa Giri Eko Prasetyo Bin Sugiyono dengan Ida Oktaviani Mardisari (saksi korban) melalui facebook yang akhirnya menjalin hubungan sebagai pacar selanjutnya sering ketemuan, dengan cara terdakwa pertama pada hari dan tanggal lupa dalam bulan Desember 2013 saksi korban dan terdakwa Giri Prasetyo janjian untuk bertemu, kemudian esok harinya korban dijemput oleh terdakwa, selanjutnya korban dibonceng menuju rumah terdakwa. Setelah sampai rumah terdakwa, korban langsung diajak masuk ke dalam rumah terdakwa karena saat itu rumah dalam keadaan sepi lalu korban diajak masuk ke dalam kamar, setelah berada di dalam kamar terdakwa

mengatakan “Bun ayo ML" dan korban menjawab “Emoh aku wedi nek meteng”

lalu dijawab terdakwa “Ora-ora nek meteng , aku sayang tenan ning kowe, nek

meteng aku sing tanggung jawab”. Setelah saksi korban mendengar kata-kata


(54)

sehingga saksi korban menyetujui permintaan terdakwa, selanjutnya terdakwa memulai dengan mencium pipi, bibir, telinga dan leher korban, kemudian meraba-raba dan meremas-remas payudara korban, lalu terdakwa melepas celana panjang dan celana dalam korban hingga batas lutut lalu terdakwa melepas celana panjang dan celana dalamnya hingga batas lutut sehingga kelihatan alat kelaminnya yang sudah menegang, kemudian terdakwa meraba-raba kemaluan korban kemudian menusuk-nusuk dengan jari tangannya kedalam kemaluan korbani hingga beberapa kali, selanjutnya terdakwa menyuruh korban untuk memegang dan menciumi alat kelaminnya kemudian terdakwa menyuruh korban dengan posisi menungging, terdakwa memasukkan alat kelaminnya dari belakang kedalam kemaluan korban dan melakukan gerakan maju mundur kira-kira 4 menit hingga mengeluarkan sperma kedalam kemaluan korban.1

Kejadian yang kedua hari Minggu tanggal 05 Januari 2014 sekitar jam 08.00 WIB di rumah korban (ida oktaviani) Dsn. Ngegot RT/RW 01/01, Desa Tambakromo, Kec. Geneng, Kab. Ngawi terdakwa datang di rumah korban dan pada saat itu orangtua korban tidak berada di rumah terdakwa, mengajak korban untuk ML dan korban menyetujuinya, dengan cara terdakwa duduk dikursi lalu menciumi pipi, bibir, telinga dan leher saksi selanjutnya terdakwa melepas celana pendek dan dan celana dalamnya hingga batas lutut demikian juga terdakwa melepas celana panjang dan celana dalamnya sehingga kelihatan alat kelaminnya yang sudah menegang kemudian terdakwa meraba-raba dan menusuk-nusukkan jarinya kedalam kemaluan korban lalu terdakwa menyuruh korban disuruh


(55)

menungging dengan berperpegangan kursi alat kelamin terdakwa dimasukkan ke dalam kemaluan saksi dengan gerakan maju mundur sekitar 4 menit hingga mengeluarkan sperma ke dalam kemaluan korban.2 Kejadian yang ketiga pada hari dan tanggal lupa akhir bulan januari 2014 sekitar jam 19.00 WIB di area persawahan belakang Bulog Geneng Ngawi korban dibonceng sepeda motor. Sesampai tempat yang dituju terdakwa berhenti dan mengajak saksi untuk ML lagi dengan cara meraba-raba dan meremas-remas payudara lalu menyingkap rok pendek korban dan melepas celana dalamanya demikian juga terdakwa membuka resleting celana dan menyuruh korban untuk mengocok alat kelamin terdakwa dan setelah menegang alat kelamin terdakwa dimasukkan kedalam kemaluan korban hingga mengeluarkan sperma didalam kemaluan korban.3

Bahwa yang keempat pada hari dan tanggal lupa dalam bulan februari 2014 sekitar jam 19.00 WIB di area persawahan belakang Bulog Geneng Ngawi saksi dibonceng sepeda motor, sesampai tempat yang dituju terdakawa berhenti dan mengajak korban untuk ML lagi dengan sara meraba-raba dan meremas-remas payudara lalu menyingkap rok pendek korban dan melepas celana dalamnya demikian juga terdakwa membuka resleting , kemudian terdakwa menyuruh korban untuk mengocok alat kelamin terdakwa dimasukkan ke dalam kemaluan korban hingga mengeluarkan sperma di dalam kemaluan korban.4

Selanjutnya sejak bulan Februari 2014 korban telat tidak mendapatkan haid, bahwa benar kemudian orang tua korban menghubungi keluarga terdakwa untuk

2

Ibid, 7.

3

Ibid.

4


(56)

dimintai pertanggung jawaban dan tidak menerimakan atas perbuatan terdakwa, langsung melaporkan terdakwa ke Polres Ngawi untuk dilakukan penyidikan lebih lanjut. Bahwa akibat perbuatan terdakwa korban Ida Oktaviani Mardisari berdasarkan Visum et Repertum No:800/1319/404.02.06/2014 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Mulyono Sigit Raharjo selaku Kepala Puskesmas Geneng pada Puskesmas Geneng an. Ida Oktaviani Mardisari, :

Hasil pemeriksaan :

 Pasien datang di Puskesmas Geneng dalam keadaan sadar,

 Tekanan darah 110/70 Mm Hg

 Nadi 84x/ menit, suhu 36 C

 Pemeriksaan fisik

Keadaan fisik baik, pakaian rapi, cara jalan normal, dada baik tidak ada tanda-tanda kekerasan, keadaan payudara tidak terdapat tanda-tanda-tanda-tanda kekerasan, ada perubahan bentuk (pembesaran) ; Pada anggota gerak atas dan bawah normal, pada perut terdapat pembesaran sampai 3 jari diatas pusat, teraba bagian-bagian janin, terdengar detak jantung janin baik, gerak janin baik, tidak terdapat tanda-tanda kekerasan, selaput darah sudah tidak ada. Kesimpulan hasil pemeriksaan pasien + 8 bulan kondisi ibu dan bayi baik.

Ada 5 (lima) orang saksi dalam kasus tindak pidana membujuk anak melakukan persetubuhan yang dilakukan oleh terdakwa Giri Eko Prasetyo bin Sugiyono dengan korban I.O.M. Saksi-saksi tersebut pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut:


(57)

1. Saksi 1 Ida Oktaviani Mardisari (saksi korban), saksi adalah kekasih terdakwa. Saksi belum genap usia 16 (enam belas ) tahun. Terdakwa menyetubuhi saksi sebanyak 4 (empat) kali dengan cara awalnya saksi kenal dengan terdakwa melalui facebook yang akhirnya menjalin hubungan sebagai pacar selanjutnya sering ketemuan, selanjutnya dalam bulan Desember 2013 saksi dan terdakwa janjian untuk bertemu. Yang pada akhirnya besoknya mereka bertemu di rumah terdakwa. Saksi dibawah masuk ke kamar terdakwa. Setelah mereka sudah berada di dalam kamar terdakwa mengatakan “ Bun ayo ML” dan saksi korban menjawab “

emoh aku wedi nek meteng” lalu dijawab oleh terdakwa “ora-ora nek

meteng aku sayang tenan ning kowe, nek meteng aku tanggung jawab”,

mendengar kata-kata terdakwa tersebut saksi menjadi percaya, sehingga saksi menyetujui permintaan terdakwa. Selanjutnya terjadilah ML tersebut. dimulai dari si terdakwa meraba-raba, menciumi, saksi hingga sampai masuklah alat kelamin terdakwa dari belakang kedalam kemaluan saksi dan melakukan gerakan maju mundur kira-kira 4 menit hingga mengeluarkan sperma kedalam kemaluan saksi. Kemudia selanjutnya yang kedua terjadi pada tanggal 05 Januari 2014 sekitar jam 08.00 WIB bertempat di rumah saksi, terdakwa datang ke rumah saksi dan pada saat itu orang tua saksi tidak berada di rumah, selanjutnya terdakwa mengajak saksi untuk ML lagi dan saksi menyetujuinya. Pada kejadian yang ketiga dan yang keempat pada hari dan tanggal lupa pada akhir bulan januari 2014 dan pada bulan Februari 2014 sekitar jam 19.00 WIB di area


(58)

persawahan belakang Bulog Geneng Ngawi saksi dibonceng sepeda motor oleh terdakwa, sampai tempat yang dituju terdakwa berhenti dan mengajak saksi untuk ML lagi dengan cara yang seperti kemarin-kemarin yang pernah mereka lakukan. Saksi mau disetubuhi terdakwa karena terdakwa sayang terhadap saksi dank arena juga terdakwa mengatakan pada saksi kalau saksi tidak akan hamil. Akibat perbuatan terdakwa tersebut saksi menjadi hamil dan orang tua saksi menghubungi keluarga terdakwa untuk dimintai pertanggung jawaban, selanjutnya dilaporkan ke Polisi Ngawi. Atas keterangan saksi tersebut terdakwa tidak keberatan dan membenarkannya.

2. Saksi II Sumardiyanto (ayah korban) saksi tidak mengetahui dengan cara bagaimana terdakwa menyetubuhi anak saksi tersebut. Saksi mengetahui kejadian tersebut pada saat Guru anak saksi datang ke rumah kemudian menanyakan kepada saksi mengapa anak saksi tidak masuk sekolah selama 4 (empat) hari, selanjutnya saksi bersama dengan guru anak saksi menanyakan kepada anak saksi alasan tidak masuk sekolah dan dijawab oleh anak saksi sedang hamil karena disetubuhi terdakwa. Kemudian saksi membawa anak saksi ke puskesmas untuk dilakukan visum. Saksi juga melaporkan terdakwa ke kantor polisi untuk dimintai pertanggungjawabannnya. Atas keterangan saksi tersebut terdakwa tidak keberatan dan terdakwa mebenarkannya.

3. Saksi III Ratri Wahyu Primahardhayani, S.pd. (Guru korban) saksi tidak mengetahui dengan cara bagaimana terdakwa menyetubuhi korban Ida


(59)

Oktaviani Mardisari tersebut. saksi mengetahui kejadian tersebut setelah berkunjung ke rumah korban untuk menanyakan kepada orang tua korban alasan kenapa korban tidak masuk selama 4 (empat) hari. Dan saksi juga menanyakannnya secara langsung ke korban bersama ayah korban. Korban menjawab pertanyaan saksi dan mengakui alasannya kenapa tidak masuk sekolah selama 4 (empat) hari karena hamil dan disetubuhi terdakwa. Kemudian korban mengundurkan diri dari sekolah. Atas keterangan saksi tersebut terdakwa tidak keberatan dan membenarkannya.

4. Saksi IV Suginah (bibi korban) saksi mengetahui bahwa korban telah hamil dan disetubuhi oleh terdakwa. Saksi ketahui berawal pada saat korban datang ke rumah saksi pada bulan oktober 2014 sekitar jam 08.00 Wib. Selanjutnya saksi bertanya kepada korban Ida Oktaviani Mardisari apakah tidak masuk sekolah dan dijawab oleh korban bahwa hari itu tidak ada pelajaran, selanjutnya korban makan kemudian tidur di rumah saksi, kemudian sekitar jam 13.00 WIB korban pamit pulang. Saksi tidak mengetahui dengan cara bagaimana terdakwa menyetubuhi korban Ida Oktaviani Mardisari. Atas keterangan saksi tersebut terdakwa tidak keberatan dan membenarkannya.

5. Saksi V Yatno (kepala Dusun) kejadian yang saksi ketahui adalah korban Ida Oktaviani Mardisari telah disetubuhi oleh terdakwa sebanyak 4 (empat) kali. Kejadian tersebut berawal pada saat saksi datang ke rumah saksi selaku kepala Dusun Satrean, Desa Tepas, Kec Geneneng, Kab. Ngawi melaporkan bahwa anak saksi Mardiyanto yang bernama Ida


(1)

74

Disini yang akan diberlakukan adalah hukuman yang

menguntungkan baginya, meski sudah adanya perubahan undang-undang yang berlaku. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka pertimbangan hakim sesuai dengan hukum Islam. Hal ini dikarenakan undang-undang yang dipakai adalah undang-undang yang lama karena melihat pasal 1 ayat (@@2) KUHP, yaitu sanksi yang menguntungkan bagi tersangka. Terbukti bahwa hukuman yang diberikan adalah pidana penjara selama 3 (tahun) dan denda sebesar Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) sesuai dengan undang-undang yang lama yakni UU No. 23 tahun 2002 pasal 81 ayat (2). Dalam hukum Islam juga diberlakukan karena tujuan menjatuhkan hukuman ialah membrantas perbuatan

jarima>h dan melindungi masyarakat dari keburukan-keburukannya. Jadi

penjatuhan hukuman merupakan kebutuhan sosial yang diperlukan oleh kepentingan masyarakat, dan setiap setiap kebutuhan diukur dengan kepentingan tersebut.


(2)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian serta analisis yang penulis bahas diatas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Pertimbangan Hakim terhadap putusan No. 35/Pid.Sus/2015/PN.Ngw.

tentang tindak pidana membujuk anak untuk melakukan persetubuhan berlandaskan KUHP Pasal 1 ayat (2) yakni Hakim memberikan sanksi yang lebih menguntungkan bagi terdakwa sesuai dengan UU No. 23 tahun 2002, terdakwa dikenai sanksi penjara 3 tahun dan denda Rp. 60.000.000. Hakim juga menggunakan asas legalitas dalam putusannya yaitu tiada hukuman sebelum adanya ketentuan terlebih dahulu. Dimana undang-undang yang telah diperbaharui diberlakukan setelah pidana itu dilakukan oleh terdakwa dan masih dalam proses persidangan, dengan demikian diberlakukanlah undang-undang yang lama bagi terdakwa.

2. Analisis hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hakim pada putusan No.35/Pid.Sus/2015/ PN.Ngw Tentang Tindak Pidana Membujuk Anak untuk melakukan Persetubuhan. Hakim memberikan sanksi yang menguntungkan pada terdakwa seperti halnya teori dalam hukum pidana Islam dalam pemberian sanksi lebih mengutamakan untuk kemaslahatan umat.


(3)

76

B. SARAN

1. Adanya perubahan undang-undang lama dengan undang-undang yang baru yakni UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan UU N0. 35 tahun 2014 perubahan atas undang-undang No. 23 tahun 2002 merupakan perubahan dengan menyisipkan, menambah , menghapus atau mengganti sebagian materi Peraturan Perundang-undangan. Aparat penegak hukum bisa mempertimbangkannya lagi yang bisa menguntungkan bagi terdakwa.

2. Untuk aparat penegak hukum seperti Hakim, diharapkan bisa cepat dalam mendapatkan informasi terkait dengan perubahan undang-undang yang lama dengan undang-undang-undang-undang yang baru.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Chandra, et.al. Modul Matakuliyah Eksaminasi. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Atmajaya. 2004.

Djazuli, A. Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam). Jakarta: PT Raja Grafindo. Persada. 2000.

Djubaidah, Neng . Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-undangan Di

Indonesia di Tinjau Dari Hukum Islam. Jakarta: KENCANA .2010.

Farida, Maria Indrati Soeprapto. Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan

Pembentukannya. Yogyakarta: KANISIUS. 1998.

Gosita, Arif. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademi Presindo. 1989. Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 2006

Irfan, Nurul Masyrofah. FIQIH JINAYAH. Jakarta: AMZAH. 2013

Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Sinar Grafika. 2007.

Kusuma, W Mulyana. Kejahatan dan Penyimpangan dalam Prespektif

Kriminologi. Jakarta: YLBH, 1998.

Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : PT Rineka Cipta. 2008.

Mubarok, Jiah dan Arif Faizal Enceng. Kaidah Fiqih Jinayah (asas-asas hukum

pidana Islam). 2009.

O.S, Hiariej Eddy.Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana. Jakarta: Erlangga. 2009.

Prodjodikiro, Wirjono. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Cet.ke 6 . Bandung: PT Eresco. 1989.


(5)

78

Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah 9. Bandung: PT Alma’arif. 1984.

Saleh, Roeslan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan penjelasannya. Jakarta: Aksara Baru. 1988

Santoso, Topo. Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta : Gema Insani Press.2003.

Soesilo, R. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Bogor: Poletia.1991

Sudarsono. Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke 2. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1995.

Supeno, Hadi. Kriminalisasi Anak. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Purnama. 2010.

Tahmid, Nur Muhammad. Menggapai Hukum Pidana Ideal. Yogyakarta : CV Budi Utama. 2016.

Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Jakarta : Sinar Grafika. 2011

Undang-undang No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Jakarta : Sinar Grafika. 2011

Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Peraturan Perundang-undangan

Wahid, Abdul, Irfan Muhammad. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan

Seksual. Jakarta: Advokat atas Hak Asasi Perempuan. 2009.

Wardi, Muchlis Ahmad. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika. 2006

Weda, Made Darma. KRIMINOLOGI. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1969.

Wirjono, Prodjodikiro. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: PT Eresco.1989.

Yanggo, Chuzaimah T., Anshari Hafiz . Problematika Hukum Islam

Kontemporer. Jakarta: PT Andiguana 2013.

Zainal, Andi Abidin Farid, Andi Hamzah. Bentuk-bentuk Khusus Perwujudan

Delik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2010.

Zainal, Andi Abidin Farid. Hukum Pidana Islam 1, Cet ke 2. Jakarta: Sinar Grafika. 2007.


(6)

Usman, Iskandar. Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. 1994.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: Gema Risalah