Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Kanker Payudara Di Instalasi Rawat Inap RSUP H. Adam Malik Kota Medan Chapter III V

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif, yakni penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran atau
deskripsi suatu keadaan secara objektif. Metode penelitian deskriptif ini dilakukan
dengan pendekatan Cross Sectional yaitu penelitian yang dilakukan untuk
mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor beresiko dengan efek, dengan
cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat.
Pengambilan data dilakukan secara retrospektif di mana peneliti akan mengkaji
informasi dan mengumpulkan data yang telah ada sebelumnya lalu data tersebut
ditelaah (Notoatmodjo, 2010).

3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian
3.2.1 Waktu
Waktu penelitian dilakukan pada bulan Juni 2016-September 2016.
3.2.2 Lokasi penelitian
Lokasi penelitian di ruang rawat inap Rindu B RSUP H. Adam Malik
Medan.


3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi adalah seluruh pasien kanker payudara di ruang rawat inap Rindu
B RSUP H. Adam Malik Medan periode Juni 2016-September 2016.

Universitas Sumatera Utara

3.3.2 Sampel
Sampel yang dipilih pada penelitian ini harus memenuhi kriteria inklusi dan
tidak memenuhi kriteria eksklusi.
Adapun yang menjadi kriteria inklusi adalah:
a. Rekam medis pasien dengan diagnosis utama kanker payudara yang
disertai komplikasi ataupun tanpa komplikasi penyakit lainnya yang
dirawat inap di Rindu B RSUP H. Adam Malik Medan.
b. Pasien kanker payudara yang mendapatkan obat kanker dan selain obat
kanker.
c. Pasien kanker payudara yang tidak mendapatkan obat kanker.
d. Kategori semua jenis kelamin.
e. Kategori semua usia.
Kriteria eksklusi merupakan keadaan yang menyebabkan subjek tidak dapat

diikutsertakan. Adapun yang menjadi kriteria eksklusi:
a. Data pasien pulang atas permintaan sendiri.
b. Data pasien yang disertai penyakit kanker lainnya.
c. Data pasien yang tidak lengkap (tidak memenuhi informasi dasar yang
dibutuhkan dalam penelitian).

3.4 Rancangan Penelitian
Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif yang diambil dari data
rekam medis dan status pasien penyakit kanker payudara yang dirawat inap di
Rindu B RSUP H. Adam Malik Medan periode Juni 2016-September 2016
menjadi beberapa kelompok.

Universitas Sumatera Utara

Adapun data rekam medis yang dikelompokan dalam penelitian ini adalah:
a. Mengelompokkan data rekam medis berdasarkan inklusi.
b. Mengelompokkan identitas, pengobatan yang diberikan dan data klinis.
c. Mengidentifikasi DRPs berdasarkan studi literatur.

3.5 Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian ini akan dianalisis secara deskriptif, data
kuantitatif diuraikan dalam bentuk tabel dan grafik, sedangkan data kualitatif
diuraikan dalam bentuk uraian.

3.6 Diagram Alur Penelitian
Gambaran pelaksanaan penelitian adalah seperti Gambar 3.1.
Rekam Medis

Memilih data rekam
medis berdasarkan
kriteria inklusi

Analisis Data

Penarikan Kesimpulan

Identifikasi
DRPs

Analisis DRPs, meliputi:

a. Obat tanpa indikasi
b. Obat tidak efektif
c. Perlu tambahan obat
d. Dosis terlalu rendah
e. Dosis terlalu tinggi
f. Adverse drug reaction
(Cipolle, et al., 2004)

Gambar 3.1 Alur Pelaksanaan Penelitian

Universitas Sumatera Utara

3.7 Langkah Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Meminta rekomendasi Dekan Fakultas Farmasi USU untuk dapat
melakukan penelitian di RSUP H. Adam Malik Medan.
b. Menghubungi Direktur Utama RSUP H. Adam Malik Medan untuk
mendapatkan izin melakukan penelitian dan pengambilan data dengan
membawa surat rekomendasi dari fakultas.
c. Mengumpulkan data berupa rekam medis dan status yang tersedia di

RSUP H. Adam Malik Medan.
d. Menganalisis data dan informasi yang sehingga didapatkan kesimpulan
dari penelitian.

3.8 Definisi Operasional
Penelitian ini menggunakan variabel bebas yaitu obat-obat yang tercatat
dalam rekam medis pasien, serta menggunakan variabel terikat yaitu: obat tanpa
indikasi, obat tidak efektif, perlu tambahan obat, dosis terlalu rendah, dosis terlalu
tinggi, dan adverse drug reaction. Namun, dalam penelitian yang dilakukan hanya
menggunakan 6 kategori DRPs karena dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan retrospektif sehingga kepatuhan pasien tidak dapat diidentifikasi.
Adapun penjelasan kategori DRPs yang digunakan yaitu:
a. Obat tanpa indikasi adalah pasien tidak memiki indikasi medis untuk
terapi obat yang digunakan.
b. Perlu tambahan obat adalah pasien memerlukan obat untuk kondisi medis
pasien pada saat itu.

Universitas Sumatera Utara

c. Obat tidak efektif adalah obat yang digunakan tidak efektif untuk

menimbulkan respon yang diinginkan.
d. Dosis terlalu rendah adalah pasien mendapatkan obat yang benar tetapi
dosis obat tersebut terlalu rendah.
e. Dosis terlalu tinggi adalah pasien mendapatkan obat yang benar tetapi
dosis obat tersebut terlalu tinggi sehingga dapat meningkatkan resiko
reaksi obat merugikan.
f. Adverse drug reactions adalah pasien mempunyai kondisi medis akibat
reaksi obat yang tidak diinginkan seperti interaksi obat.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Demografi Pasien Kanker Payudara Berdasarkan Cara Pulang
Berdasarkan rekam medis di RSUP H. Adam Malik periode Juni 2016September 2016 diperoleh seluruh data penderita kanker payudara di ruang rawat
inap Rindu B RSUP H. Adam Malik sebanyak 62 pasien. Rekam medis yang
memenuhi kriteria inklusi adalah sebanyak 40 orang (64,51%) yang pulang
dengan cara berobat jalan.


4.2 Demografi Pasien Kanker Payudara Berdasarkan Usia
Berdasarkan rekam medis penderita kanker payudara di ruang rawat inap
Rindu B RSUP H. Adam Malik Medan periode Juni 2016-September 2016
diperoleh gambaran karakteristik subjek penelitian berdasarkan usia seperti
ditunjukkan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Usia
Usia (Tahun)
26-35
36-45
46-55
56-65
>65

Jumlah Pasien (n=40)
5
13
15
5
2


%
12,5
32,5
37,5
12,5
5

Berdasarkan Tabel 4.1 menunjukkan pasien yang terdiagnosis kanker
payudara didominasi oleh pasien yang mempunyai kelompok usia 46-55 tahun
berjumlah 15 pasien (37,5%), diikuti kelompok usia 36-45 tahun sebanyak 13
pasien (32,5%), dan kelompok usia 56-65 tahun sebanyak 5 pasien (12,5%) dan
26-35 tahun sebanyak 5 pasien (12,5%). Data WHO menunjukkan bahwa 78%

Universitas Sumatera Utara

kanker payudara terjadi pada wanita usia di atas 40 tahun, sedangkan 6% pada
usia kurang dari 40 tahun (American Cancer Society, 2017).

4.3 Demografi Pasien Kanker Payudara Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan data dari rekam medis di RSUP H. Adam Malik periode Juni

2016-September 2016 diperoleh seluruh data penderita kanker payudara di ruang
rawat inap Rindu B RSUP H. Adam Malik adalah berjenis kelamin perempuan.
Penyakit kanker payudara sering terjadi pada perempuan daripada pria sekitar 100
kalinya (American Cancer Society, 2017).

4.4 Demografi Pasien Kanker Payudara Berdasarkan Stadium Kanker
Berdasarkan rekam medis penderita kanker payudara di ruang rawat inap
Rindu B RSUP H. Adam Malik Medan periode Juni 2016-September 2016
diperoleh gambaran karakteristik subjek penelitian berdasarkan stadium kanker
seperti ditunjukkan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Stadium Kanker
Stadium Kanker
IIB
IIIB
IIIC
IV
Ca mamae

Jumlah Pasien (n=40)
1

7
1
24
7

%
2,5
17,5
2,5
60
17,5

Berdasarkan Tabel 4.2, pasien yang terdiagnosis kanker payudara
didominasi oleh pasien yang menderita stadium 4 (stadium lanjut). Di Indonesia,
berdasarkan Pathological Based Registration, kanker payudara memiliki insidensi
relatif 11,5% terhadap kejadian kanker pada wanita. Insidensi di Indonesia adalah

Universitas Sumatera Utara

sedikitnya 20.000 kasus baru per tahun dengan kenyataan bahwa lebih dari 50%

sudah di tahap akhir (Indrasto, et al., 2008).

4.5 Kejadian DRPs
Menurut Cipolle, Drug Related Problems (DRPs) atau sering diistilahkan
dengan Drug Therapy Problems adalah kejadian atau efek yang tidak diharapkan
yang dialami pasien dalam proses terapi. Adapun penyebab untuk masing-masing
kategori DRPs antara lain obat tanpa indikasi, perlu tambahan obat, obat tidak
efektif, dosis terlalu rendah, dosis terlalu tinggi, adverse drug reaction dan
kepatuhan pasien (Cipolle, et al., 2004).
Berdasarkan identifikasi terhadap regimen dosis yang diberikan kepada
pasien kanker payudara di ruang rawat inap rindu B RSUP H. Adam Malik Medan
periode Juni 2016-September 2016, terdapat 31 pasien (77,5%) yang mengalami
DRPs (+) dan 9 pasien (22,5%) tidak mengalami DRPs (-) seperti ditunjukkan
pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Persentase Kejadian DRPs
Adapun angka kejadian masing-masing kategori yaitu obat tanpa indikasi
sebanyak 11 kasus (10,78%); obat tidak efektif sebanyak 11 kasus (10,78%);
perlu tambahan obat 26 kasus (25,49%); dosis terlalu rendah 9 kasus (8,82%);

Universitas Sumatera Utara

dosis terlalu tinggi 15 (14,71%); dan adverse drug reaction sebanyak 30 kasus
(29,41%). Gambaran umum kejadian DRPs secara keseluruhan ditunjukkan pada
Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Kategori DRPs
No

Kategori DRPs

Jumlah
Kasus
11

Persentase
(%)
10,78

1

Obat tanpa indikasi

2

Obat tidak efektif

11

10,78

3

Perlu tambahan obat

26

25,49

4

Dosis terlalu rendah

9

8,82

5

Dosis terlalu tinggi

15

14,71

6

Adverse drug reaction

30

29,41

102

100

Total

4.6 Pembahasan
4.6.1 Obat Tanpa Indikasi
Obat tanpa indikasi adalah pasien tidak memiliki indikasi klinis pada saat itu
untuk mendapat terapi saat itu. Obat tanpa indikasi biasanya disebabkan oleh tidak
adanya indikasi medis yang valid untuk terapi obat yang digunakan, banyak
produk obat yang digunakan untuk kondisi tertentu yang hanya memerlukan terapi
obat tunggal, kondisi medis lebih tepat diobati tanpa terapi obat, terapi obat yang
digunakan untuk mencegah adverse drug reaction yang berhubungan dengan
terapi lainnya (Cipolle, et al., 2004).
Tabel 4.4 Analisis DRPs Obat Tanpa Indikasi
Penyebab

Jenis Obat

Tidak ada indikasi medis yang Antibiotika
valid untuk terapi obat yang
digunakan

Jumlah
Kasus

%

7

6,86

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4.4 (Lanjutan)
Penyebab

Jenis Obat

Kondisi yang hanya memerlukan Antibiotika
terapi tunggal
Ketorolac
Tramadol

dan

Jumlah
Kasus
3

%
2,94

1

0,98

Berdasarkan Tabel 4.4 menunjukkan terdapat 7 kasus (6,86%) pasien
dengan obat tanpa indikasi pada penggunaan antibiotika. Berdasarkan hasil
laboratorium hematologi pasien, menunjukkan nilai-nilai yang normal dan tidak
adanya tanda-tanda infeksi, sehingga tidak diperlukan penggunaan antibiotika
kuratif. Dalam kasus ini, pasien juga tidak dijadwalkan menjalani tindakan
operasi, sehingga tidak diperlukan penggunaan antibiotika profilaksis. Antibiotika
profilaksis diberikan untuk tujuan profilaksis operasi kemudian melihat faktorfaktor lain yang berpengaruh terhadap risiko terjadinya morbiditas pasca operasi
(Komite Farmasi dan Terapi RSUP H. Adam Malik, 2014).
Berdasarkan Tabel 4.4 ditemukan 3 kasus (2,94%) yang menggunakan 2
antibiotika

sebagai tujuan profilaksis. Penggunan antibiotika profilaksis

pembedahan yang direkomendasikan pada pasien kanker payudara adalah
antibiotika dosis tunggal. Salah satu kriteria penggunaan obat rasional termasuk
antibiotika menurut WHO adalah pasien mendapatkan pengobatan yang sesuai
dengan kebutuhuan klinisnya. Dampak negatif paling bahaya dari penggunaan
antibiotika secara tidak rasional adalah muncul dan berkembangnya kumankuman kebal antibiotika atau dengan kata lain terjadinya resistensi antibiotika.
Hal ini mengakibatkan layanan pengobatan menjadi tidak efektif, peningkatan
morbiditas maupun mortalitas pasien dan meningkatkan biaya perawatan
kesehatan (Negara, 2014).

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan Tabel 4.4 terdapat 1 kasus (0,98%) pasien mendapatkan
pengobatan anti nyeri kombinasi. Pasien mendapatkan ketorolac dan tramadol
bersamaan. Penggunaan anti nyeri pada pasien kanker dengan tingkatan nyeri
yang sedang, kombinasi ketorolac dan tramadol tidak direkomendasikan dan tidak
memberikan manfaat untuk meningkatkan efektifitas anti nyeri. Sebaiknya untuk
kasus nyeri yang sedang diberikan ketorolac tunggal ataupun tramadol tunggal.
Bila perlu diberikan kombinasi untuk meningkatkan efektifitas anti nyeri pada
tingkatan sedang, lebik baik ketorolac dikombinasikan dengan parasetamol.
Ketorolac dan parasetamol bermanfaat dalam pelaksanaan nyeri sedang dan berat.
Seabagai opioid tambahan, parasetamol dan ketorolac menunjukkan manfaat
untuk meningkatkan efek anti nyeri dan mengurangi penggunaan opioid (National
Cancer Institute, 2017).
4.6.2 Obat Tidak Efektif
Obat tidak efektif adalah produk obat yang digunakan tidak efektif untuk
menimbulkan respon yang diinginkan. Beberapa hal yang sering menyebabkan
obat tidak efektif terdiri atas obat yang digunakan bukan obat yang paling efektif
untuk kondisi masalah medis yang dialami, kondisi medis yang sukar
disembuhkan dengan produk obat, bentuk sediaan obat tidak tepat, dan produk
obat tidak efektif terhadap indikasi yang dialami (Cipolle, et al., 2004).
Berdasarkan dari hasil penelitian ditemukan 11 kasus (10,78%) obat tidak
efektif pada penggunaan antibiotika. Kasus obat tidak efektif yang dijumpai pada
penelitian adalah pasien mendapatkan pergantian antibiotika tanpa disertai uji
kultur bakteri, pasien mendapatkan kombinasi antibiotika tanpa disertai uji kultur
bakteri, dan pasien mendapatkan terapi antibiotika lebih dari 3 hari tanpa disertai

Universitas Sumatera Utara

uji kultur bakteri. Ditemukan pemberian terapi antibiotika empiris pada pasien
yang mengalami infeksi selama lebih dari 72 jam. Lama pemberian antibiotika
empiris adalah 48-72 jam, selanjutnya harus dievaluasi berdasarkan data
mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya. Hal ini
diperlukan untuk menentukan jenis bakteri yang menyebabkan infeksi dan
pemilihan antibiotika yang tepat (Kemenkes RI, 2011).
Pengguaan antibiotika untuk tujuan kuratif adalah penggunaan antibiotika
yang diberikan ketika terjadi infeksi. Terjadinya infeksi ditandai dengan
peningkatan jumlah leukosit di atas nilai normal. Penggunaan antibiotika empiris
didasarkan oleh pengalaman dengan unit khusus, dengan harapan penanganan
awal akan memperbaiki hasil. Dalam pengertian lain, penggunaan antibiotika
empiris diberikan pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri
penyebabnya, tujuannya untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang diduga
menjadi penyebab infeksi, sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi.
Contoh antibiotika empiris yang paling sering digunakan dalam terapi kanker
payudara adalah golongan sefalosporin generasi ketiga dan aminoglikosida
(Kemenkes RI, 2011).
4.6.3 Perlu Tambahan Obat
Perlu tambahan obat adalah terapi yang dibutuhkan pasien untuk mengobati
kondisi medis atau penyakit yang telah memburuk. Beberapa hal yang sering
menyebabkan kejadian DRPs terkait perlu tambahan obat adalah kondisi medis
yang memerlukan inisiasi obat, terapi pencegahan obat diperlukan untuk
mengurangi resiko berkembangnya penyakit baru, dan kondisi medis yang

Universitas Sumatera Utara

memerlukan farmakoterapi lanjutan untuk memperoleh sinergisme atau efek
tambahan (Cipolle, et al., 2004).
Tabel 4.5 Analisis DRPs Kategori Perlu Tambahan Obat
Penyebab
Kondisi
medis
membutuhkan terapi obat

Kondisi Pasien

Jumlah
Kasus
10

9,80

Sel darah putih tinggi

3

2,94

Anemia

12

11,76

Diabetes mellitus tipe
II

1

0,98

yang Albumin rendah

%

Berdasarkan Tabel 4.5 ditemukan 10 kasus (9,80%) pasien menunjukkan
hasil laboratorium didapatkan nilai albumin rendah dibawah normal, kondisi ini
perlu dipertimbangkan untuk pemberian terapi albumin. Albumin berfungsi
sebagai pembawa obat-obatan termasuk obat kanker. Penurunan albumin akan
mengakibatkan obat tidak dapat memberikan efek farmakologis yang optimal.
Untuk

meningkatkan kadar albumin sebaiknya diberikan terapi secara

farmakologis (terapi penggantian albumin) dan non farmakologis (substansi yang
mengandung albumin seperti putih telur, disebut albuminoid) (Dinkes Pakpak
Bharat, 2016).
Berdasarkan Tabel 4.5 sebanyak 3 kasus (2,94%) dengan hasil laboratorium
menunjukkan nilai sel darah putih pasien diatas normal, sebaiknya pasien
diberikan antibiotika sesuai kondisi klinis pasien. Penderita kanker sangat rentan
mengalami infeksi, karena penurunan daya tahan tubuh akibat penyakit kanker itu
sendiri atau akibat berbagai pengobatan seperti pembedahan, radiasi, maupu n
kemoterapi (Sukrisman, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan Tabel 4.5 terdapat 12 kasus (11,76%) pasien berdasarkan hasil
laboratorium menunjukkan nilai hemoglobin dan sel darah merah di bawah
normal yang menunjukkan pasien mengalami anemia, sebaiknya pasien diberikan
terapi antianemia untuk meningkatkan kondisi umum pasien. Anemia pada pasien
kanker merupakan anemia sekunder, yaitu anemia yang disebabkan oleh penyakit
kronis. Gejala klinis anemia dapat berupa pucat, lemah, dan keluhan anemia
lainnya (gejala lain sesuai penyakit pasien). Terapi anemia sekunder sesuai
dengan penyakit utama pasien, apabila diperlukan pasien diberikan tranfusi darah
(Komite Medik RSUP H. Adam Malik, Medan).
Efek samping kemoterapi yang paling banyak adalah anemia. Beberapa obat
kemoterapi bisa mengganggu kinerja sumsum tulang belakang sebagai tempat
produksi sel darah. Dengan demikian, jumlah sel darah merah dalam tubuh akan
berkurang atau menurun. Turunnya pasokan dan jumlah sel darah merah dapat
mengakibatkan darah mudah terserang infeksi, perdarahan dan anemia (Silberstein
et al., 2008).
Berdasarkan Tabel 4.5 terdapat 1 kasus pasien (0,98%) mengalami diabetes
mellitus tipe II yang tidak mendapatkan terapi untuk menurunkan nilai glukosa
darah. Sebaiknya pasien dengan diabetes mellitus tipe II diberikan terapi penurun
glukosa darah oral (golongan sulfonilurea, biguanid dan acarbose), terapi ini
diberikan bagi pasien yang glukosa darahnya tidak terkontrol dengan diet dan
latihan jasmani (Komite Medik RSUP H. Adam Malik, Medan).
4.6.4 Dosis Terlalu Rendah
Dosis obat terlalu rendah adalah dosis yang diberikan terlalu rendah untuk
memberikan efek farmakologis. Dosis terlalu rendah biasanya disebabkan oleh

Universitas Sumatera Utara

dosis yang diberikan terlalu rendah untuk menimbulkan respon yang diinginkan,
interval dosis yang tidak sesuai, interaksi obat menurunkan zat aktif yang tersedia
dan durasi obat terlalu singkat untuk menghasilkan efek farmakologis (Cipolle, et
al., 2004).
Berdasarkan dari hasil penelitian, ditemukan 9 (8,82%) kasus durasi obat
terlalu singkat untuk menimbulkan respon yang diinginkan pada pasien kanker
payudara yang mendapatkan terapi antibiotika. Pasien mendapatkan terapi
antibiotika kurang dari 3 hari. Sebaiknya, terapi antibiotika diberikan minimal 3
hari sebagai terapi empiris, kemudian dilakukan evaluasi berdasarkan data
mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya untuk
menentukan jenis bakteri yang menyebabkan infeksi dan pemilihan antibiotika
yang tepat (Kemenkes RI, 2011).
4.6.5 Dosis Terlalu Tinggi
Dosis yang diberikan kepada pasien terlalu tinggi sehingga menimbulkan
respon yang tidak diinginkan. Beberapa hal yang sering menyebabkan kejadian
DRPs kategori dosis terlalu tinggi adalah dosis yang diberikan terlalu tinggi,
frekuensi obat yang terlalu singkat, durasi obat terlalu lama, interaksi obat terjadi
karena hasil reaksi toksik obat dan dosis obat yang diberikan terlalu cepat
(Cipolle, et al., 2004).
Berdasarkan dari hasil penelitian, ditemukan dosis terlalu tinggi sebanyak
15 kasus (16,30%) seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6 Analisis DRPs Kategori Dosis Terlalu Tinggi
Penyebab

Obat

Dosis yang diberikan terlalu Metoclopramid
tinggi

Jumlah
Kasus
1

%
0,98

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4.6 (Lanjutan)
Penyebab

Obat

Jumlah
Kasus
1

0,98

Ketorolac

11

10,78

Antibiotika

2

1,96

Sefadroksil
Durasi obat terlalu lama

%

Berdasarkan Tabel 4.6, ditemukan 11 kasus (10,78%) pemakaian dosis
terlalu tinggi pada ketorolac yang digunakan dalam jangka waktu yang panjang
(>5 hari). Pemakaian ketorolac digunakan≤5 hari karena pemakaian lebih dari 5
hari dikhawatirkan terjadi efek samping pada gastrointestinal (Mitra, et al., 2012).
Berdasarkan Tabel 4.6, penggunaan metoklopramid dosis terlalu tinggi
ditemukan 1 kasus (0,98%) pada pasien yang mengalami gagal ginjal kronik
stadium 5. Pasien

diberikan metoklopramid dengan dosis yang tidak sesuai

dengan kondisi pasien. Hasil laboratorium menunjukkan nilai CrCl pasien